Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI

DI RSJ GRHASIA DINAS KESEHATAN PROVINSI DIY

Disusun oleh:
AYU LESTARI
1910206059

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2020

A. Halusinasi
1. Definisi Halusinasi

Halusinasi merupakan kondisi dimana individu mengalami perubahan dalam jumlah


atau pola dari stimulus yang datang dikaitkan dengan penurunan, berlebihan, distorsi, atau
kerusakan respon terhadap stimuli.

Halusinasi adalah gangguan penerimaan pancaindra tanpa stimulasi eksternal.


Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan
perubahan sensori persepsi yaitu merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak
ada (Keliat, 2011).
Halusinasi merupakan persepsi sensorik penglihatan, sentuh, pendengaran, penghidu,
atau pengecap tanpa rangsang luar (Dorland dalam Danayanti, 2009). Halusinasi
merupakan salah satu gejala positif pada pasien skizofrenia yang dapat terjadi pada sistem
pengindraan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik, maksudnya
rangsangan tersebut 3 terjadi pada saat pasien dapat menerima rangsangan dari luar dan
dari dalam diri individu. Dengan kata lain pasien merespon terhadap rangsangan yang tidak
nyata, yang hanya dirasakan pasien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution dalam Nadia,
2012). Halusinasi merupakan persepsi dimana sensasi yang nyata oleh pikiran yang
diciptakan sendiri. Penderita gangguan jiwa 20% berada di Rumah Sakit Jiwa sedangkan
5% berada di panti sosial.

2. Jenis-Jenis Halusinasi

Terdapat beberapa jenis dari halusinasi, diantaranya yaitu:

• Halusinasi Penglihatan (Halusinasi Optic)

Halusinasi penglihatan biasanya klien seolah-olah melihat bayangan berbentuk


orang, binatang, barang, atau benda. Halsuniasi penglihatan juga dapat dilihat seolah-
olah klien melihat bayangan tidak berbentuk, seperti sinar, kilat, dan ppola cahaya.
Seseorang juga dapa melihat bayangan yang berwarna atau tidak berwarna

• Halusinasi Audit (Halusiniasi Akustik)

Halusinasi seseorang seolah-olah mendengar suara manusia, suara hewan, suara


barang, suara mesin, suara music, dan suara kejadian alami. Halusinasi pendengaran
adalah gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara-suara
orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu (Prabowo, 2014).

• Halusinasi Penciuman (Halusinasi Olfaktorik)

Halusinasi yang dialami seeorang seolah-olah mencium suatu bau tertentu.

• Halusinasi Pengecap (Halusinasi Gustatorik)

Halusinasi seseorang yang seolah-olah mengecap suatu zat atau rasa tentang
suatu yang dimakan.

• Halusinasi Peraba (Halusinasi Taktil)

Halusinasi seseorang yang seolah-olah merasa diraba0raba, disentuh, dicolek,


ditiup, dirambati ukat, dan disinari.

• Halusinasi Gerak (Halusinasi Kinestik)

Halusinasi seseorang seolah-olah merasa badannya bergerak disebuah ruangan


tertentu dan merasa anggota gerak badannya bergerak dengan sendirinya.

• Halusinasi Visceral

Halusinasi alat tubuh bagian dalam yang seolah-olah ada perasan tertentu yang
timbul ditubuh bagian dalam, seperti lambung ditusuk-tusuk jarum.

• Halusinasi Hipnagonik

Persepsi sensori seseorang bekerja secara salah yang terdapat pada orang
normal yang akan terjadi sebelum tidur.

• Halusinasi Hipnopompik

Persepsi sensori bekerja yang salah dirasakan pada orang normal, terjadi tepat
sebelum bangun tidur.

• Halusinasi Histerik

Halusinasi yang timbul pada neurosis histerik karena konflik emosional.

C. Etiologi Halusinasi

1. Faktor Predisposisi

Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam Muhith Abdul (2015) Faktor
Perkembangan Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah
frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.

2. Faktor sosiokultural seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi
(unwanted child)akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.

3. Faktor biokimia mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akandihasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase
(DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter
otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholine dan dopamine.
4. Faktor psikologis tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan
klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi Universitas Sumatera Utara masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam
hayal.

5. Faktor genetik dan pola asuh penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh
oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit
ini (Yosep, 2011). Kebanyakan penelitian genetika berfokus pada keluarga terdekat,
seperti orang tua, saudara kandung, dan anak cucu untuk melihat apakah skizofrenia
diwariskan atau diturunkan secara genetik. Hanya sedikit penelitian yang memfokuskan
pada kerabat yang lebih jauh. Penelitian yang paling penting memusatkan pada
penelitian anak kembar yang menunjukkan bahwa kembar identik berisiko mengalami
gangguan ini sebesar 50%, sedangkan kembar praternal berisiko hanya 15%. Penelitian
penting lain menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki satu orang tua biologis
penderita skizofrenia memiliki risiko 15% dan angka ini meningkat sampai 35% jika
kedua orang tua biologis menderita skizofrenia. Anak-anak yang memiliki orang tua
biologis dengan riwayat skizofrenia tetapi diadopsi pada saat lahir oleh keluarga tanpa
riwayat skizofrenia masih memiliki risiko genetik dari orang tua biologis mereka.
Semua penelitian ini menunjukkan bahwa ada risiko genetik atau kecenderungan
skizofrenia, tetapi ini bukan satu-satunya faktor. Kembar identik memiliki risiko 50%
Universitas Sumatera Utara walaupun gen mereka identik 100% (Cancro & Lehman,
2000 dalam Videbeck, 2008).

6. Faktor ekonomi dan pendidikan menurut penelitian Erlina, Soewadi, Pramono (2010),
status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami gangguan jiwa
skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Pada analisis multivariabel, status
ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk menderita ganguan jiwa skizofrenia dibanding
dengan status ekonomi tinggi dengan OR=7,482 (95%IK;2,852-19,657) dengan
p=0,000. Artinya kelompok ekonomi rendah kemungkinan mempunyai risiko 7,48 kali
lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan kelompok ekonomi tinggi.
Menurut Werner et al. dalam Erlina, Soewadi, Pramono (2010), yang melakukan
penelitian di Israel mengatakan orang yang dilahirkan mempunyai orangtua yang
berstatus sosio ekonomi dan didaerah miskin berhubungan dengan dengan peningkatan
risiko skizofrenia (OR1.39 (95%CI;1.10– 1.78).
7. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan individu sebagai


tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan energy ekstra untuk koping. Adanya
rangsang lingkungan yang sering seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama
diajak komunikasi dan suasana sepi atau isolasi sering sebagai pencetus terjadinya
halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang dapat
merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.

8. Biologis Stressor biologis yang berhubungan dengan respons neurobiologik yang


maladaptif termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses
informasi dan adanya abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.

9. Gejala Pemicu atau stimulus yang sering menimbulkan episode baru suatu penyakit
yang biasanya terdapat pada respons neurobiologis yang maladaptif berhubungan
dengan kesehatan, lingkungan, sikap dan perilaku individu.

10. Kesehatan, seperti gizi buruk, kurang tidur, keletihan, infeksi, obat Sistem Saraf Pusat,
gangguan proses informasi, kurang olahraga, alam perasaan abnormal dan cemas.

11. Lingkungan, seperti lingkungan penuh kritik, gangguan dalam hubungan interpersonal,
masalah perumahan, stress, kemiskinan, tekanan terhadap penampilan, perubahan dalam
kehidupan dan pola aktivitas sehari-hari, kesepian (kurang dukungan) dan tekanan
pekerjaan (Trimeilia, 2011)..

D. Dimensi Halusinasi

Dimensi-dimensi Halusinasi Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam Muhith


Abdul (2015:213) Masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang
individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur biopsiko-sosio-
spriritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu:

• Dimensi Fisik, manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh
beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
dan kesulitan tidur dalam waktu yang lama.

• Dimensi Emosional, perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan. Sehingga klien tidak sanggup lagi untuk
menentang perintah tersebut maka menjadikan klien berbuat sesuatu terhadap
ketakutan tersebut.

• Dimensi Intelektual, dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu


dengan halusinasi memperlihatkan adanya fungsi penurunan ego.

• Dimensi Sosial, dimensi sosial pada individu menunjukan kecenderungan untuk


menyendiri. Individu yang asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, control diri, dan harga diri
yang tidak didapatkan di dunia nyata.

• Dimensi Spiritual, individu yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri dan


individu tidak sadar dengan keberadaannya sehingga halusinasi menjadi sistem
control dalam indivu tersebut.

• Rentang Respon

Respon perilaku klien dapat diidentifikasi sepanjang rentang respon yang


berhubungan dengan fungsi neurobiologik. Perilaku yang dapat diamati dan
mungkin menunjukkan adanya halusinasi, respon yang terjadi dapat berada dalam
rentang adaptif sampai maladaptif yang dapat digambarkan sebagai berikut
disajikan dalam tabel berikut:

• Respon adaptif

• Pikiran logis berupa pendapat atau pertimbangan yang dapat diterima akal.

• Persepsi akurat berupa pandangan dari seseorang tentang suatu peristiwa


secara cermat dan tepat sesuai perhitungan.

• Emosi konsisten berupa kemantapan perasaan jiwa sesuai dengan peristiwa


yang pernah dialami.

• Perilaku sesuai dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan


dengan individu tersebut diwujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan yang
tidak bertentangan dengan moral.

• Hubungan sosial dapat diketahui melalui hubungan seseorang dengan orang


lain dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat (Stuart, 2007).

• Respon transisi

• Distorsi pikiran berupa kegagalan dalam mengabstrakan dan mengambil


kesimpulan.

• Ilusi merupakan persepsi atau respon yang salah terhadap stimulus sensori.

• Menarik diriyaitu perilaku menghindar dari orang lain baik dalam


berkomunikasi ataupun berhubungan sosial dengan orang-orang
disekitarnya.

• Reaksi Emosi berupa emosi yang diekspresikan dengan sikap yang tidak
sesuai.

• Perilaku tidak biasa berupa perilaku aneh yang tidak enak dipandang,
membingungkan, kesukaran mengolah dan tidak kenal orang lain. (Stuart,
2007).

• Respon maladaptif

• Gangguan pikiran atau waham berupa keyakinan yang salah yang secara
kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan realita sosial.

• Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi yang salah


terhadap rangsangan.

• Sulit berespon berupa ketidakmampuan atau menurunnya kemampuan untuk


mengalami kesenangan, kebahagiaan, keakraban dan kedekatan.

• Perilaku disorganisasi berupa ketidakselarasan antara perilaku dan gerakan


yang ditimbulkan.

• Isolasi sosial merupakan suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang


karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam.

• Fase-Fase Halusinasi

Terjadinya Halusinasi dimulai dari beberapa fase.Hal ini dipengaruhi oleh


intensitas keparahan dan respon individu dalam menanggapi adanya rangsangan
dari luar.Menurut (Stuart, 2007) tahapan halusinasi ada empat tahap. Semakin
berat tahap yang diderita klien, maka akan semakin berat klien mengalami
ansietas. Berikut ini merupakan tingkat intensitas halusinasi yang dibagi dalam
empat fase.

• Fase I (Comforting):Ansietas tingkat sedang, secara umum halusinasi bersifat


menyenangkan.

• Karakteristik: Orang yang berhalusinasi mengalami keadaan emosi seperti


ansietas, kesepian, merasa bersalah, dan takut serta mencoba untuk
memusatkan pada penenangan pikiran untuk mengurani ansietas, individu
mengetahui bahwa pikiran dan sensori yang dialaminya tersebut dapat
dikendalikan jika ansietasnya bisa diatasi (Nonpsikotik).

• Perilaku klien: Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai. Menggerakkan


bibirnya tanpa menimbulkan suara. Gerakan mata yang cepat. Respons
verbal yang lamban. Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.

• Fase II (Complementing): Ansietas tingkat berat, Secara umum halusinasi


bersifat menjijikan.

• Karakteristik: Pengalaman sensori yang bersifat menjijikan dan


menakutkan. Orang yang berhalusinasi mulai merasa kehilangan kendali
dan mungkin berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang
dipersepsikan, individu mungkin merasa malu karena pengalaman
sensorinya dan menarik diri dari orang lain (Nonpsikotik).

• Perilaku klien, Peningkatan syaraf otonom yang menunjukkan ansietas


misalnya, peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah. Penyempitan
kemampuan konsentrasi.Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan
mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi
dengan realitas.

• Fase III (Controling): Ansietas tingkat berat, pengalaman sensori menjadi


penguasa.

• Karakteristik: Orang yang berhalusinasi menyerah untuk melawan


pengalaman halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya.Isi
halusinasi dapat berupa permohonan, individu mungkin mengalami
kesepian jika pengalaman sensori tersebut berakhir (Psikotik).

• Perilaku klien, Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh


halusinasinya daripada menolaknya. Kesulitan berhubungan dengan orang
lain. Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik. Gejala fisik dari
ansietas berat, seperti berkeringat, tremor, ketidakmampuan untuk
mengikuti petunjuk.
• Fase IV (Conquering panic) : Ansietas tingkat panic, Secara umum halusinasi
menjadi lebih rumit dan saling terkait dengan delusi.

• Karakteristik: Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu


tidak mengikuti perintah. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam
atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik (Psikotik).

• Perilaku klien, Perilaku menyerang seperti panik. Sangat potensial


melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain. Kegiatan fisik yang
merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi, menarik diri, atau
katatonik. Tidak mampu berespons terhadap petunjuk yang kompleks.

D. PenatalaksanaanMedis

Klien skizoprenia adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu:

1. Psikofarmakologis

Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/skizofrenia biasanya diatasi


dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain golongan butirofenon:
Haloperidol, Haldol, Serenace, Ludomer. Pada kondisi akut biasanya diberikan dalam
bentuk injeksi 3 x 5 mg via im.Pemberian injeksi biasanya akan diberikan sebanyak 3 x
24 jam. Terapi berikutnya klien biasanya diberikan obat per oral 3 x 1,5 mg atau 3 x 5
mg.Golongan fenotiazine: Chlorpromazine/Largactile/Promactile. Biasanya diberikan
per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3 x 100 mg. Apabila kondisi sudah stabil
dosis dapat dikurangi 1 x 100 mg pada malam hari saja (Yosep, 2011).

2. Terapi kejang listrik/electro compulsive therapy (ECT)

Menurut Riyadi & Purwanto (2009), ECT adalah suatu tindakan terapi dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun
klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan alur listrik
melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang
grandmall. Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manik
depresi, klien skizofrenia super katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT lebih
efektif dari antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid
dan gejala vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200-300 mg/hari
Universitas Sumatera Utara selama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu
dipertimbangkan tindakan ECT. Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan
ECT, terutama jika litium karbonat tidak berhasil. Pada klien depresi memerlukan
waktu 6-12 kali terapi untuk mencapai perbaikan, sedangkan pada mania dan katatonik
membutuhkan waktu lebih lama yaitu antara 10-20 kali terapi secara rutin. Terapi ini
dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali. Jika efektif, perubahan perilaku mulai
kelihatan setelah 2-6 terapi.

Penatalaksanaan Keperawatan pada Halusinasi

• Terapi Generalis pada Klien Halusinasi Menurut Keliat & Akemat (2009), tindakan
keperawatan pada klien halusinasi adalah sebagai berikut:

• Mengkaji isi, waktu, frekuensi, situasi pencetus, dan respons klien terhadap halusinasi
(mengenal halusinasi) Mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan mengobservasi
perilaku klien dan menanyakan secara verbal apa yang sedang dialami oleh klien.
Kemudian perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya
halusinasi yang dialami oleh klien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi
khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan
munculnya halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat
direncanakan frekuensi tindakan untuk pencegahan terjadinya halusinasi. Kemudian
untuk mengetahui dampak halusinasi pada klien dan apa respons klien ketika
halusinasi itu muncul perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau
dilakukan saat halusinasi timbul.

• Melatih klien mengontrol halusinasi, Untuk membantu klien agar mampu mengontrol
halusinasi, perawat dapat mendiskusikan empat cara mengontrol halusinasi pada
klien. Keempat cara tersebut meliputi:

• Menghardik halusinasi, Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri


terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. klien dilatih untuk
mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memedulikan
halusinasinya. Kalau ini bisa dilakukan, klien akan mampu mengendalikan diri dan
tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada namun dengan
kemampuan ini klien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam
halusinasinya. Tahapan tindakan meliputi:

• Menjelaskan cara menghardik halusinasi.

• Memperagakan cara menghardik.

• Meminta klien memperagakan ulang.

• Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku klien.


• Melatih bercakap-cakap dengan orang lain. Untuk mengontrol halusinasi dapat juga
dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Bercakap-cakap dengan orang lain dapat
membantu mengontrol halusinasi. Ketika klien bercakap-cakap dengan orang lain
maka terjadi distraksi; fokus perhatian klien akan beralih dari halusinasi ke
percakapan yang dilakukan dengan orang lain tersebut. Sehingga salah satu cara yang
efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain.

• Melatih klien beraktivitas secara terjadwal Libatkan klien dengan terapi modalitas.
Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri
melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, klien tidak
akan mengalami banyak waktu luang yang sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh
karena itu halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari
bangun pagi sampai tidur malam. Tahapan intervensi sebagai berikut:

• Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi

• Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh klien

• Melatih klien melakukan aktivitas

• Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih.
Upayakan klien mempunyai aktivitas dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari
dalam seminggu.

• Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi penguatan terhadap perilaku klien


yang positif

• Melatih klien menggunakan obat secara teratur, Agar klien mampu mengontrol
halusinasi maka perlu dilatih untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan
program. Klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat
sehingga akibatnya klien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk
mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit. Oleh karena itu klien dilatih minum
obat sesuai program dan berkelanjutan. Berikut ini tindakan yang perlu dilakukan
perawat agar klien patuh menggunakan obat:

• Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa

• Jelaskan akibat bila obat tidak digunakan sesuai program

• Jelaskan akibat bila putus obat

• Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien,
benar cara, benar waktu, dan benar dosis).

• Memantau efek samping obat

Menurut Yosep (2011), perawat perlu memahami efek samping yang sering
ditimbulkan oleh obat-obat psikotik seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke atas,
kaku-kaku otot, otot bahu tertarik sebelah, hipersaliva, pergerakan otot tak terkendali.
Untuk mengatasi ini biasanya dokter memberikan obat anti parkinsonisme yaitu
Trihexyphenidile 3 x 2 mg. Apabila terjadi gejala-gejala yang dialami Universitas
Sumatera Utara oleh klien tidak berkurang maka perlu diteliti apakah obat betul-betul
diminum atau tidak.

E. Patofisiologi

Halusinasi diawali denganadanya kebutuhan yang tidak terpenuhi pada diri


seseorang yang mengakibatkannya merasa cemas dan mencari cara untuk mengatasi rasa
cemasnya. Individu yang tidak memiliki mekanisme koping yang adaftif akan mengatasi
masalahnya dengan cara yang maladaftif, seperti menarik diri dan membayangkan
sesuatu yang berlawanan dari kenyataan yang dihadapi atau membayangkan sesuatu yang
diharapkannya terjadi dan memenuhi kebutuhannya. Cara yang digunakan ini
membuatnya merasa nyaman dan menurunkan rasa cemasnya. Apabila klien terus
menerus menggunakan koping yang maladaftif untuk mengatasi cemasnya. Lama
kelamaan rasa nyaman yang diperolehnya berubah menjadi rasa yang menakutkan karena
pada perkembangan selanjutnya klien mendengar suara-suara yang mengancamnya,
sementara klien sudah tidak mampu lagi untuk mengontrolnya, akibat dari rasa takut atau
menuruti perintah suara-suara klien dapat melakukan hal yang membahayakan dirinya,
orang lain dan lingkungan sekitar klien.
DAFTAR PUSTAKA
Wahyuni S., Yuliet S.N., Elita V. 2011. Hubungan Lama Hari Rawat dengan Kemampuan
Pasiendalam Mengontrol Halusinasi. Jurnal Ners Indonesia Vol. 1 No. 2

Kusumawati F & Hartono Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa( Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: Andi.

Purwanto, T. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Yosep, I & Sutini, T. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Zelika A.A., Dermawan D. 2015. Kajian Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi Pendengaran
pada Saudara D di Ruang Nakula RSJD Surakarta. Jurnal Profesi Vol. 12, No. 2.

Anda mungkin juga menyukai