Disusun oleh:
AYU LESTARI
1910206059
A. Halusinasi
1. Definisi Halusinasi
2. Jenis-Jenis Halusinasi
Halusinasi seseorang yang seolah-olah mengecap suatu zat atau rasa tentang
suatu yang dimakan.
• Halusinasi Visceral
Halusinasi alat tubuh bagian dalam yang seolah-olah ada perasan tertentu yang
timbul ditubuh bagian dalam, seperti lambung ditusuk-tusuk jarum.
• Halusinasi Hipnagonik
Persepsi sensori seseorang bekerja secara salah yang terdapat pada orang
normal yang akan terjadi sebelum tidur.
• Halusinasi Hipnopompik
Persepsi sensori bekerja yang salah dirasakan pada orang normal, terjadi tepat
sebelum bangun tidur.
• Halusinasi Histerik
C. Etiologi Halusinasi
1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam Muhith Abdul (2015) Faktor
Perkembangan Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah
frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
2. Faktor sosiokultural seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi
(unwanted child)akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
3. Faktor biokimia mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akandihasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase
(DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter
otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholine dan dopamine.
4. Faktor psikologis tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan
klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi Universitas Sumatera Utara masa
depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam
hayal.
5. Faktor genetik dan pola asuh penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh
oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit
ini (Yosep, 2011). Kebanyakan penelitian genetika berfokus pada keluarga terdekat,
seperti orang tua, saudara kandung, dan anak cucu untuk melihat apakah skizofrenia
diwariskan atau diturunkan secara genetik. Hanya sedikit penelitian yang memfokuskan
pada kerabat yang lebih jauh. Penelitian yang paling penting memusatkan pada
penelitian anak kembar yang menunjukkan bahwa kembar identik berisiko mengalami
gangguan ini sebesar 50%, sedangkan kembar praternal berisiko hanya 15%. Penelitian
penting lain menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki satu orang tua biologis
penderita skizofrenia memiliki risiko 15% dan angka ini meningkat sampai 35% jika
kedua orang tua biologis menderita skizofrenia. Anak-anak yang memiliki orang tua
biologis dengan riwayat skizofrenia tetapi diadopsi pada saat lahir oleh keluarga tanpa
riwayat skizofrenia masih memiliki risiko genetik dari orang tua biologis mereka.
Semua penelitian ini menunjukkan bahwa ada risiko genetik atau kecenderungan
skizofrenia, tetapi ini bukan satu-satunya faktor. Kembar identik memiliki risiko 50%
Universitas Sumatera Utara walaupun gen mereka identik 100% (Cancro & Lehman,
2000 dalam Videbeck, 2008).
6. Faktor ekonomi dan pendidikan menurut penelitian Erlina, Soewadi, Pramono (2010),
status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami gangguan jiwa
skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Pada analisis multivariabel, status
ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk menderita ganguan jiwa skizofrenia dibanding
dengan status ekonomi tinggi dengan OR=7,482 (95%IK;2,852-19,657) dengan
p=0,000. Artinya kelompok ekonomi rendah kemungkinan mempunyai risiko 7,48 kali
lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan kelompok ekonomi tinggi.
Menurut Werner et al. dalam Erlina, Soewadi, Pramono (2010), yang melakukan
penelitian di Israel mengatakan orang yang dilahirkan mempunyai orangtua yang
berstatus sosio ekonomi dan didaerah miskin berhubungan dengan dengan peningkatan
risiko skizofrenia (OR1.39 (95%CI;1.10– 1.78).
7. Faktor Presipitasi
9. Gejala Pemicu atau stimulus yang sering menimbulkan episode baru suatu penyakit
yang biasanya terdapat pada respons neurobiologis yang maladaptif berhubungan
dengan kesehatan, lingkungan, sikap dan perilaku individu.
10. Kesehatan, seperti gizi buruk, kurang tidur, keletihan, infeksi, obat Sistem Saraf Pusat,
gangguan proses informasi, kurang olahraga, alam perasaan abnormal dan cemas.
11. Lingkungan, seperti lingkungan penuh kritik, gangguan dalam hubungan interpersonal,
masalah perumahan, stress, kemiskinan, tekanan terhadap penampilan, perubahan dalam
kehidupan dan pola aktivitas sehari-hari, kesepian (kurang dukungan) dan tekanan
pekerjaan (Trimeilia, 2011)..
D. Dimensi Halusinasi
• Dimensi Fisik, manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh
beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
dan kesulitan tidur dalam waktu yang lama.
• Dimensi Emosional, perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan. Sehingga klien tidak sanggup lagi untuk
menentang perintah tersebut maka menjadikan klien berbuat sesuatu terhadap
ketakutan tersebut.
• Rentang Respon
• Respon adaptif
• Pikiran logis berupa pendapat atau pertimbangan yang dapat diterima akal.
• Respon transisi
• Ilusi merupakan persepsi atau respon yang salah terhadap stimulus sensori.
• Reaksi Emosi berupa emosi yang diekspresikan dengan sikap yang tidak
sesuai.
• Perilaku tidak biasa berupa perilaku aneh yang tidak enak dipandang,
membingungkan, kesukaran mengolah dan tidak kenal orang lain. (Stuart,
2007).
• Respon maladaptif
• Gangguan pikiran atau waham berupa keyakinan yang salah yang secara
kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan realita sosial.
• Fase-Fase Halusinasi
D. PenatalaksanaanMedis
Klien skizoprenia adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu:
1. Psikofarmakologis
Menurut Riyadi & Purwanto (2009), ECT adalah suatu tindakan terapi dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun
klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan alur listrik
melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang
grandmall. Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manik
depresi, klien skizofrenia super katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT lebih
efektif dari antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid
dan gejala vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200-300 mg/hari
Universitas Sumatera Utara selama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu
dipertimbangkan tindakan ECT. Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan
ECT, terutama jika litium karbonat tidak berhasil. Pada klien depresi memerlukan
waktu 6-12 kali terapi untuk mencapai perbaikan, sedangkan pada mania dan katatonik
membutuhkan waktu lebih lama yaitu antara 10-20 kali terapi secara rutin. Terapi ini
dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali. Jika efektif, perubahan perilaku mulai
kelihatan setelah 2-6 terapi.
• Terapi Generalis pada Klien Halusinasi Menurut Keliat & Akemat (2009), tindakan
keperawatan pada klien halusinasi adalah sebagai berikut:
• Mengkaji isi, waktu, frekuensi, situasi pencetus, dan respons klien terhadap halusinasi
(mengenal halusinasi) Mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan mengobservasi
perilaku klien dan menanyakan secara verbal apa yang sedang dialami oleh klien.
Kemudian perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya
halusinasi yang dialami oleh klien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi
khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan
munculnya halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat
direncanakan frekuensi tindakan untuk pencegahan terjadinya halusinasi. Kemudian
untuk mengetahui dampak halusinasi pada klien dan apa respons klien ketika
halusinasi itu muncul perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau
dilakukan saat halusinasi timbul.
• Melatih klien mengontrol halusinasi, Untuk membantu klien agar mampu mengontrol
halusinasi, perawat dapat mendiskusikan empat cara mengontrol halusinasi pada
klien. Keempat cara tersebut meliputi:
• Melatih klien beraktivitas secara terjadwal Libatkan klien dengan terapi modalitas.
Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri
melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, klien tidak
akan mengalami banyak waktu luang yang sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh
karena itu halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari
bangun pagi sampai tidur malam. Tahapan intervensi sebagai berikut:
• Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih.
Upayakan klien mempunyai aktivitas dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari
dalam seminggu.
• Melatih klien menggunakan obat secara teratur, Agar klien mampu mengontrol
halusinasi maka perlu dilatih untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan
program. Klien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat
sehingga akibatnya klien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk
mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit. Oleh karena itu klien dilatih minum
obat sesuai program dan berkelanjutan. Berikut ini tindakan yang perlu dilakukan
perawat agar klien patuh menggunakan obat:
• Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien,
benar cara, benar waktu, dan benar dosis).
Menurut Yosep (2011), perawat perlu memahami efek samping yang sering
ditimbulkan oleh obat-obat psikotik seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke atas,
kaku-kaku otot, otot bahu tertarik sebelah, hipersaliva, pergerakan otot tak terkendali.
Untuk mengatasi ini biasanya dokter memberikan obat anti parkinsonisme yaitu
Trihexyphenidile 3 x 2 mg. Apabila terjadi gejala-gejala yang dialami Universitas
Sumatera Utara oleh klien tidak berkurang maka perlu diteliti apakah obat betul-betul
diminum atau tidak.
E. Patofisiologi
Kusumawati F & Hartono Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa( Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: Andi.
Yosep, I & Sutini, T. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama
Zelika A.A., Dermawan D. 2015. Kajian Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi Pendengaran
pada Saudara D di Ruang Nakula RSJD Surakarta. Jurnal Profesi Vol. 12, No. 2.