Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

ANAK AUTISM

Kelompok 17
School of Nursing, University of Jember
Kalimantan Road 37, Tegal Boto Campus, Jember, East Java, Indonesia
Pendahuluan
Berdasarkan UU RI No.18 Tahun 2014 kesehatan jiwa
merupakan kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya.
Menurut data WHO pada tahun 2012 angka
penderita gangguan jiwa mengkhawatirkan secara
global, sekitar 450 juta orang yang menderita
gangguan mental. Orang yang mengalami
gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara
berkembang, sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan
mental itu tidak mendapatkan perawatan. (Kemenkes RI,
2012).
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat Prevalensi
gangguan jiwa berat di Indonesia mencapai 1,7 per mil.
Artinya, 1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia
mengalami gangguan jiwa berat. Hal ini diperburuk dengan
minimnya pelayanan dan fasilitas kesehatan jiwa di berbagai
daerah Indonesia sehingga banyak penderita gangguan
kesehatan mental yang belum tertangani dengan baik. Dalam
UU RI No. 18 Tahun 2014 Bab I Pasal 3 Tentang
Kesehatan Jiwa telah dijelaskan bahwa upaya kesehatan
jiwa bertujuan menjamin setiap orang dapat mencapai
kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan
yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan lain
yang dapat mengganggu kesehatatan jiwa.
Beberapa penyakit tidak hanya menimbulkan masalah fisik,
tetapi juga dapat menimbulkan masalah gangguan
perkembangan pervasif seseorang misalnya yaitu Autisme.
Contoh Kasus
An. R usia 12 tahun, suku jawa, kelas 6 di SLB. An. R adalah anak angkat dari Tn
dan Ny S yang diketahui menderita autis sejak usia 3 tahun, tidak pernah masuk RS
secara khusus, hanya dirawat jalan, dan sesekali pergi ke RS di Jakarta hanya untuk
kontrol saja. Saat kecil gejala tidak terlihat, karena An.R masih merespon semuanya
dengan baik seperti anak normal biasanya. Kemudian si anak sering jatuh tapi tidak
sakit/panas. Setelah usia 3 tahun baru terlihat gejala autisnya. Saat menonton tv dia
bisa tahan berjam-jam dengan tidak bergerak tetapi matanya memandang kemana-
mana, dan saat diajak bicara tidak mau melihat mata yang bicara dengannya,
terkadang An.R juga menangis dengan alasan yang tidak jelas dan tangisannya tidak
wajar. Dan saat usia 3 tahun An.R belum bisa berbicara. Jika keluar rumah banyak
sekali anak-anak seusianya yang mengejeknya dan bahkan para orangtuanya juga
ikut menjauhinya, sehingga membuat Ny.S merasa sedih, marah, dan kecewa bahkan
sampai menangis. Akan tetapi Ny.S tidak sendiri dia mendapat dukungan penuh dari
suami dan saudara-saudaranya baik dalam bentuk materi ataupun dukungan secara
sosial dan spiritual.
Definisi Autisme
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri.
Penyandang autisme seakan-akan hidup dalam
dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan
oleh Leo Kanner sejak 1943 (Handojo, 2008 dalam
Yusuf,dkk 2015).
Menurut kamus psikologi, pengertian dari autisme
adalah anak dengan kecenderungan diam dan suka
menyendiri yang ekstrem. Anak autisme bisa duduk
dan bermain berjam-jam lamanya dengan jemarinya
sendiri atau dengan serpihan kertas, serta tampaknya
mereka ini tenggelam dalam satu dunia sendiri. (Yusuf
dkk, 2015)
Ada beberapa pendapat mengenai klasifikasi anak
autis, antara lain dapat diklasifikasikan ke dalam
gangguan perkembangan pervasif menurut ICD-10
(International Classification of Diseases, WHO 1993)
dan DSM-IV (American Psychiatric Association, 1994)
dalam Prasetyono (2008 : 54-65) adalah:
1. Autisme Masa Kanak-kanak (Childbood Autism)
2. Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise
Specified (PDD-NOS)
3. Sindrom Rett (Rett’s Syndrome)
4. Gangguan Disintegratif Masa Kanak-kanak
(Childbood DisintegrativeDisorder)
5. Asperger Syndrome (AS)
Psikopatologi/Psikodinamika

1) Faktor Predisposisi : Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang menjadi


sumber terjadinya stres yang memengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk
menghadapi stres baik yang biologis, psikososial, dan sosiokultural.
1. Biologi: Latar belakang genetik, status nutrisi, kepekaan biologis, kesehatan
umum, dan terpapar racun.
 Saat masih kecil klien seperti anak normal lainnya

 Klien baru terlihat gangguannya saat baru memasuki usia 3 tahun

 Status nutrisi klien baik karena keluarga pengasuh merupakan keluarga


mampu
2. Psikologis: Kecerdasan, keterampilan verbal, moral, personal, pengalaman
masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, dan kontrol.
 Klien cenderung pendiam dan tidak mau berbicara dengan orang-orang
disekitarnya
 Saat berbicara klien tidak melihat mata dari si pembicara

 Saat melihat TV tetapi klien tidak berfokus pada Tv melainkan melihat yang
lainnya
3. Sosiokultural: Usia, gender, pendidikan, pendapatan,
okupasi, posisi sosial, latar belakang budaya,
keyakinan, politik, pengalaman sosial, dan tingkatan
sosial.
 Klien berusia 12 tahun berjenis kelamin laki-laki dan
seorang pelajar di SLB
 Di masyarakat klien sering dijauhi oleh teman-teman
sebayanya
 Para orang tua teman sebayanya sering melarang
anaknya berteman dengan klien, sehingga hal itu
membuat klien merasa sedih dan kecewa
2) Faktor Presipitasi : Faktor presipitasi adalah stimulus yang mengancam
individu. Faktor presipitasi memerlukan energi yang besar dalam
menghadapi stres atau tekanan hidup. Faktor presipitasi ini dapat bersifat
biologis, psikologis, dan sosiokultural.
 Nature (sifat)
Klien menderita penyakit autis dan klien merasa tidak bisa berinteraksi
dengan baik sehingga klien cenderung menarik diri dari masyarakat
sekitarnya.
 Origin (asal)
1) Internal: Klien merasa kondisinya baik baik saja akan tetapi menurut
orang disekitarnya tidak, sehingga klien merasa memiliki persepsi yang
beda dengan masyarakat dan dia mulai marah-marah sendiri.
2) Eksternal: Klien merasa orang tuanya tidak sayang terhadap dirinya
karena klien sesekali dimarahi bahkan dipukul saat dia nakal
 Timing (waktu)
Klien diketahui menderita autis sejak usia 3 tahun
 Number (jumlah stressor)
Klien merasa kondisinya semakin hari semakin
membaik tetapi klien merasa lelah karena harus
menjalani berbagai pengobatan, mulai dari
pengobatan medis bahkan sampai pengobatan
alternatif.
3) Penilaian Terhadap Stressor
1. Respons Kognitif
Klien kurang konsentrasi saat diajak berbicara , mengalami
kebingungan dengan apa yang dia lihat, kreatifitas berkurang,
merasa pesimis karena banyak anak sebayanya yang menjauhinya,
sulit untuk membuat keputusan
2. Respons Afektif
Klien merasa tertekan karena harus terus menjalani pengobatan dan
terapi. Tetapi klien tetap patuh dengan pengobatan yang dianjurkan
3. Respons Fisiologis
Perubahan tekanan darah, perubahan denyut jantung dan frekuensi
pernafasan, dada berdebar-debar dan keluar keringat dingin.
4. Respon Perilaku
Klien mudah tersinggung, mudah menangis,
kurang berpartisipasi dalam perawatan, gelisah
atau tidak bisa tenang, kepasifan hingga apatis.
5. Respon Sosial
Klien merasa diasingkan , akhirnya hal itu
membuat klien kurang partisipasi dalam
lingkungan sosialnya.
4) Kemampuan Mengatasi Masalah/Sumber Koping
a. Kemampuan personal (personal ability) : Kemampuan
mengidentifikasi masalah yang berhubungan dengan
kesehatannya (Autisme), hubungan interpersonal yang baik,
kemampuan dalam berkomunikasi secara efektif terutama
dalam pencarian sumber informasi untuk mengatasi
masalahnya (Autisme), kemampuan memahami perubahan fisik
dan peran atau kondisi kesehatan dan kehidupannya, perawatan
diri baik.
b. Dukungan Sosial (sosial support): Hubungan yang baik dengan
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, kualitas
dukungan sosial yang diberikan keluarga (baik), anggota
masyarakat tentang keberadaan klien saat ini, terlibat dalam
organisasi sosial/kelompok sebaya.
c. Material Asset: Klien atau keluarga mempunyai
penghasilan yang cukup dan stabil untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, terdapat pelayanan kesehatan
dan mampu mengakses pelayanan kesehatan yang
ada.
d. Keyakinan Positif (positive belief): Klien mempunyai
keyakinan bahwa penyakitnya akan dapat
disembuhkan dan menyadari adanya perubahan fisik
akibatnya penyakitnya akan berdampak pada
kehidupannya, klien dapat menjalani hidup dengan
semangat dengan perubahan gaya hidup yang terjadi.
5) Mekanisme Koping
1. Konstruktif : Menilai pencapaian hidup yang realistis, dalam perubahan
fisik dan peran yang dialami akibat penyakitnya klien mempunyai
penilaian yang nyaman, (keluarga) klien secara kreatif mencari
informasi terkait perubahan status kesehatannya sehingga klien dapat
beradaptasi secara normal, mampu mengembangkan minat dan hobi
baru sesuai dengan perubahan status kesehatan dan peran yang telah
dialami, dengan keterbatasan akibat perubahan status kesehatan dan
peran dalam kehidupan sehari-hari klien masih tetap produktif
menghasilkan sesuatu.
2. Destruktif: Kurang memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu yang
bermanfaat, tidak kreatif/kurang memiliki keinginan dan minat
melakukan aktivitas harian (pasif) , ketidakmampuan untuk mencari
informasi tentang perawatan, tidak mampu mengekspresikan perasaan
terkait dengan perubahan kondisi kesehatannya dan menjadi merasa
tertekan atau depresi.
Diagnosa
1. Diagnosa Medis
Gangguan Perkembangan Pervasif : 299.0 Kelainan
Autistik.
2. Diagnosa Keperawatan
 00121 Gangguan Identitas Pribadi

 00051 Hambatan komunikasi Verbal

 00052 Hambatan Interaksi Sosial


Penatalaksanaan Medis
Target Terapi : Perilaku Destruktif
 Thioridazin

 Haloperidol (0,20 mg)

 Klonidin

 Clompramin (3,75 mg)

Target Terapi : Perilaku Repetitif


 Untuk mengatasi perilaku stereotipik seperti melukai diri sendiri,
resisten terhadap perubahan hal-hal rutin dan ritual obsesif dengan
anxietas tinggi jenis yang dipakai yaitu Neuroleptik (Risperidon)
dan SSRI
Target Terapi : Insomnia
 Dyphenhidramine dan neuroleptik dapat mengatasi keluhan ini,
obat yang dipakai yaitu Benadryl dan Tioridazin.
Penatalaksanaan Keperawatan

Click here 
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai