Pada masa ini, anak-anak juga harus melalui berbagai macam kesulitan. Dalam
masaperkembangannya, anak akan melalui beberapa fase dengan berbagai macam
tingkatkesulitan dan permasalahan. Sehingga dengan mengetahui tugas perkembangan dari
anak,konflik yang akan ditimbulkan dalam kehidupan sehari-hari dapat dicegah. Pada masa
inipun, anak-anak akan mengalami fase pengenalan dengan lingkungan sosialnya,
mulailingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolahnya.
Olweus (1993) mengungkapkan bahwa perilaku bullying terjadi mulai usia TK danpuncak
permasalahannya pada sekolah menengah. Sekolah Taman Kanak-Kanak merupakaninstitusi
yang sangat berperan penting dalam kedua hal tersebut di atas. Anak memperolehpengetahuan
dan pengalaman berharga berkaitan dengan pembentukan perilaku anti bullyingmelalui
metode-metode pendidikan yang diimplementasikan oleh guru TK. Salah satu upayadalam
bidang pendidikan untuk mencegah maupun mengatasi masalah bullying sejak diniadalah
dengan memberikan bimbingan kepada anak usia dini di lingkungan sekolah itusendiri (Putri,
2016). Contoh perilaku bullying yang terjadi di TK X di kota Surabaya.Penelitian yang dilakukan
oleh Putri (2016) menyatakan bahwa perilaku bullying terjadi diTK tersebut. Korban bullying
adalah siswa bernama D. D selalu menjadi bahan ejekan oleh teman-teman sebayanya.
Biasanya teman-temannya membully dia dengan sebutan cewekdekil, hitam, dan tangannya
asin.
Perilaku bullying sering diartikan sebagai bagian dari perilaku agresif. Bullying
adalahpengulangan perilaku negatif (baik secara fisik, verbal maupun psikologis) yang
ditujukansecara langsung kepada korban dan akan menyakiti korban (Olweus, 1997),
dilakukanberulang-ulang dan sepanjang waktu, dan melibatkan adanya perbedaan kekuatan
antarakorban dan pelaku (Olweus, 2005). Menurut Robinson & Maines (2008), bullying
adalahsebuah perilaku sosial yang melibatkan beberapa anak, terjadi berulang kali, dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan anak yang berkuasa di lingkungan sosialnya, dan dapat menjadi
bahayabagi anak yang tidak punya kekuatan untuk menghentikannya. Bullying biasanya terjadi
secara berkelanjutan dan dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga korban akan
selalumerasa cemas dan terintimidasi. Bullying berbeda dengan perilaku agresif lain
yangdilakukan hanya satu kali kesempatan dan dalam jangka waktu pendek.
Perilaku agresi tidak akan diidentifikasi sebagai perilaku bullying kecuali korbanmerasa takut
yang berkelanjutan. Olweus (Safe School Centre, 1999) menyebutkan tigakondisi utama yang
membedakan perilaku bullying dengan bentuk perilaku agresif lainnya,yaitu kekuatan: anak-
anak yang melakukan bullying mendapatkan kekuatannya melaluiukuran fisik serta status
dalam kelompok sebayanya, dan dengan mendapatkan dukungan darikelompok sebayanya,
frekuensi: perilaku bullying bukan merupakan tindakan yang acak.Bullying selalu ditandai
dengan adanya serangan yang terjadi dan dilakukan berulang-ulang, dan adanya niat untuk
menyakiti: anak-anak yang melakukan bullying umumnya melakukan tindakan tersebut untuk
membahayakan anak lain, baik secara fisik ataupun emosional.
Perilaku bullying dibagi menjadi dua kategori, bullying yang dilakukan secara langsung dan tidak
langsung (Smith et.al, 2005). Bullying yang dilakukan secara langsungtermasuk pada perilaku
verbal dan non verbal. Perilaku verbal pada bullying seperti mengejek, berteriak, dll.
Mengancam melalui telepon adalah bentuk baru dari bullying verbal (Porter, 2007). Perilaku
non verbal pada bullying seperti memukul, menendang, dll. Bullying yang dilakukan secara tidak
langsung lebih sulit untuk diobservasi, seperti menyebarkangosip, mengucilkan seseorang dari
kelompok mereka, dll. Bullying yang dilakukan secara tidak langsung akan sulit untuk dideteksi
oleh pihak sekolah.
Perilaku bullying yang terjadi seringkali kurang mendapat perhatian yang lebih dariorang tua
dan guru, sehingga dampak yang terjadi pada korban maupun pelaku terlambat untuk diketahui
oleh lingkungan sekitar. Dalam kasus ini, bullying menimbukan efek yangnegatif, yaitu
munculnya masalah kecemasan, depresi, dan mengalami penurunan kemampuan belajar
karena ia mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dan penurunan dalam ingatannya sehingga
prestasi anak secara akademis akan menurun secara signifikan (Hidayati, 2012). Terkadang,
korban bullying mengalami depresi yang ekstrim sehingga ia memutuskan untuk melakukan
upaya bunuh diri. Anak-anak yang mengalami bullying, mungkin terlihat mampu mengatasi
dampak bullying yang terjadi pada dirinya. Tetapi sebenarnya mungkin mereka masih bergulat
dengan inner distress dalam diri mereka. Anakanak dengan pengalaman semacam ini apabila
tidak memperoleh bantuan dan penanganan yang semestinya akan berkembang menjadi anak
yang secara perilaku nampak kuat dan normal namun pada saat bersamaan secara psikologis ia
seorang anak yang rentan.
Bullying merupakan perilaku yang berbahaya karena dapat memberikan dampak traumatik
yang dapat mempengaruhi perilaku anak-anak pada tahap perkembangan selanjutnya, baik
pada pelaku bullying, maupun pada korban bullying. Anak yang diusia dininya terindikasi dan
terlibat dalam perilaku bullying, berpotensi untuk menjadi pelaku kenakalan di usia remajanya,
tindakan kekerasan, serta terjebak dalam tindakan criminal. Pelaku dan korban bullying akan
kesulitan untuk melakukan hubungan dengan sosialnya (Surilena, 2016). Sebanyak 57% orang
yang pernah mengalami bullying di usia kanak-kanak 53 saat mereka dewasa akan menalami
depresi, mempunyai self-esteem yang rendah, dan kesulitan interpersonal.
Salah satu penyebab terjadinya bullying adalah iklim sekolah yang tidak kondusif. Sekolah
seharusnya menjadi tempat bagi anak menimba ilmu serta membantu membentuk karakter
pribadi yang positif, ternyata menjadi tempat praktik perilaku bullying (Surilena, 2016). Guru
memiliki peranan yang sangat besar dalam dinamika kelas. Sebagai pihak yang dinilai memiliki
otoritas atas jalannya suatu kegiatan belajar, guru dituntut untuk dapat menciptakan iklim kelas
yang sejuk dan memungkinkan interaksi yang sehat antar komponen kelas yang ditandai
dengan penghargaan dan kesadaran akan perbedaan tiap-tiap siswa di kelas. Kurangnya
pengawasan orang dewasa atau guru pada saat jam istirahat, ketidak pedulian guru dan siswa
terhadap perilaku bullying, serta penerapan peraturan anti bullying yang tidak konsisten
merupakan kondisi-kondisi yang menumbuh suburkan terjadinya bullying di sekolah (Sitasari,
2016).Bullying seringkali terjadi di sekolah yang kurang memiliki pengawasan, longgar dalam
menerapkan aturan serta pihak-pihak pemegang otoritas tidak memiliki sikap dan pandangan
yang tegas terhadap bullying (Elliot, 2008). Disamping itu, jumlah siswa yang terlalu banyak
dalam satu kelas juga dapat memicu timbulnya bullying di kalangan siswa (Elliot, 2008).
Walaupun tidak ada peraturan yang mengharuskan sekolah mempunyai kebijakan proram anti
bullying, akan tetapidalam undang-undang perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 54 yang
menyatakan bahwa: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah
yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”. Hal tersebut menunjukkan bahwa
lingkungan sekolah mempunyai kontribusi dalam membentukkepribadian dan karakter anak.
Komitmen guru di sekolah menjadi faktor yang menentukan dalam penurunan kasus bullying
(Arumsari & Adiyanti, 2013). Pengetahuan yang dimiliki oleh guru TK tentang bullying juga
dirasakan masih terbatas. Para guru sering mendengar dan membaca kasus yang terkait dengan
perilaku bullying melalui media. Akan tetapi, para guru belum menyadari apakah mungkin di
sekitar anak di lingkungan sekolah juga berisiko terjadi bullying, atau bahkan ada anak-anak
yang membutuhkan bimbingan karena tampaknya sering menyakiti temannya yang lain (Putri,
2016). Semakin guru memahami dan memiliki keterampilan maka penanganannya menjadi
lebih intensif (Horne, Newman, & Bartolomucci, 2004).
Adanya kesenjangan pengetahuan dan keterampilan guru dalam menangani bullying, maka
diperlukan usaha untuk meningkatkannya. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan 54 guru
dapat dilakukan dengan program psikoedukasi (Arumsari & Adiyanti, 2013). Psikoedukasi pada
guru tentang penanganan bullying di sekolah sangat perlu dilakukan. Oleh karena itu, guru
perlu dilatih untuk mengetahui perilaku bullying secara peka dan konsisten(Siswati &
Widayanti, 2009), agar guru dapat mengidentifikasi dan menanggapi perilaku bullying dengan
benar. Psikoedukasi yang diberikan pada guru akan menjadi bagian penting dalam program
anti-bullying yang ada di sekolah. Dengan pemberian psikoedukasi mengenai bullying kepada
guru, guru mulai mengetahui perihal bullying, mampu tidak menggunakan hukuman dalam
menyelesaikan masalah bullying ini, dan mulai mampu meningkatkan empati pelaku dan
bystander untuk korban (Arumsari & Adiyanti, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Cassidy, Toni. (2009). Bullying and victimization in school children: the role of social identity,problem-
solving style, and family and school context. Soc Psychol Educ (2009) 12:63-76.
Elliot, Michele (ed). (2008). Bullying, A Practical uide to Coping for Schols, 3rd Edition.London: Pearson
Education in Association with Kidscape.
Entenman, J., Murnen, T. J., & Hendricks, C. (2005). Victims, Bullies, and Bystanders in K-3Literature.
International Reading Association (pp. 352-364).
Khasanah, Iswatun. (2013). Program “SAHABAT” Sebagai Salah Satu Program AlternatifPenanganan
Bullying pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, vol. II, Edisi 2,bulan Desember.
Horne, M. A., Bartolomucci, C. L., & Carlson, D. N. (2004). Elementary School Bully BusterProgram:
Understanding Why Children Bullying and What To Do About It. In A.
Newman-Carlson, D., & Horne, M. A. (2004). Bully Buster: A Psychoeducational Interventionfor Reducing
Bullying Behavior in Middle School Students. Journal of CounselingDevelopment, 83 (2), 259-265.
Olweus, D. (1997). Bully / Victim Problems in School: Facts and Intervention. EuropeanJournal of
Psychology of Education, XII (4), 495-510.