Anda di halaman 1dari 9

1.

Pengertian Bullying
Secara harfiah, kata bully berarti menggertak dan mengganggu yang lebih lemah. Istilah
bullying kemudian digunakan untuk menunjuk perilaku agresif seseorang atau sekelompok orang
yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap orang atau sekelompok orang lain yang lebih
lemah untuk menyakiti korban baik secara fisik maupun mental. Bullying merupakan masalah
internasional yang memiliki dampak negatif terhadap hak anak-anak untuk belajar di lingkungan
yang aman dan tanpa rasa takut. Bullying didefinisikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan
oleh mereka yang mencoba mempertahankan posisi yang dominan atas orang lain dengan niat
yang terencana dan menyebabkan mental atau fisik orang lain menderita. (Buxton, Potter, &
Bostic, 2015). Olweous (dalam (Saracho, 2016) menyatakan bullying adalah interaksi dimana
orang yang mendominasi (pengganggu) terus menampilkan perilaku yang agresif untuk
menimbulkan kesedihan pada seseorang (korban).
Bullying dapat berupa kekerasan dalam bentuk fisik (misal: menampar, memukul,
menganiaya, melukai), mental/psikis (misal: memalak, mengancam, mengintimidasi,
mengucilkan), verbal (misal: mengejek, mengolok-olok, memaki) atau gabungan diantara
ketiganya.
Jurnal Bullying: young children's roles, social status, and prevention programmes,
Olivia N. Saracho

Olweous (dalam (Saracho, 2016) menyatakan bullying adalah interaksi dimana orang
yang mendominasi (pengganggu) terus menampilkan perilaku yang agresif untuk menimbulkan
kesedihan pada seseorang (korban). Bullying memiliki dampak negatif yang abadi bagi anak-
anak baik yang melakukan bullying maupun yang menjadi korban bullying (Banks, 2013).

 Bullying di Pendidikan Anak Usia Dini


Banyak penelitian yang mengatakan bahwa ada persamaan frekuensi bullying antara anak
prasekolah dan sekolah dasar. Bullying biasanya terjadi ketika (a) Anak terus menerus menjadi
korban, (b) beberapa anak ikut bergabung dengan pelaku bullying untuk melakukan pembullyan
(c) Korban bullying tidak memiliki kesempatan untuk melindungi dirinya sendiri Alasker (2014)
(dalam Saracho, 2016). Bullying pada anak usia dini dapat terjadi dengan frekuensi terutama jika
mereka berbeda dalam ukuran fisik, kemampuan, dan pengalaman keluarga. Karakteristik ini
dapat memicu pola perilaku yang menyakitkan pada anak dimana anak berperilaku kejam antara
satu sama lain. Jenis bullying yang paling umum adalah verbal dan penganiayaan fisik (Yerger &
Gehret, 2011). Banyak anak yang melakukan bullying kepada teman mereka ketika mereka
dengan sengaja dan terus menerus menganiaya anak-anak lain dengan melakukan pemanggilan
nama, serangan fisik, penghinaan verbal, menyebarkan rumor, dan perilaku serupa lainnya.
Dengan demikian, bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti fisik (misalkan,
memukul, menendang, meninju) dan penghinaan verbal (misalnya, mengancam, mengejek,
menyebut nama, menyebarkan rumor jahat, dll), isolasi sosial, dan atau pengecualian.

 Pemahaman Anak Terhadap Bullying


Pengalaman dan pemahaman anak usia dini terhadap bullying berbeda dengan anak usia
sekolah. Menurut Younger, Schwartzman, dan Ledingham (1986) anak usia dini hanya bisa
membedakan satu segi perilaku yang menyimpang. Madsen (1996) meminta anak berusia lima
tahun untuk mengartikan bullying. Mereka menanggapi dengan kata sifat dan contoh langsung
tapi jarang disebut dengan pengulangan atau tindakan yang tidak beralasan.
 Peran Anak Dalam Bullying
Korban bullying pada anak prasekolah biasanya lebih muda, lebih kecil, dan kurang
dewasa, dan secara fisik karakteristik (misalnya, kelebihan berat badan, berat badan kurang,
memakai kacamata) yang berbeda dengan teman lainnya.
 Pelaku Bullying pada anak prasekolah
Pelaku bullying adalah orang-orang yang biasanya menganggap agresi adalah sesuatu hal
yang positif dan melakukan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan situasi yang sulit atau
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pembully biasanya melakukan bullying terhadap anak-
anak yang tidak melawan serta mendapatkan dukungan dari teman sebayanya.
Pada masa kanak-kanak, pelaku bullying menikmati dalam melakukan perilaku negatif untuk
melecehkan teman tertentu. Perilaku bullying biasanya menyembunyikan sepatu, merusak
gambar, memukul, melempar batu dan perilaku serupa lainnya. Penelaku bullying dapat
menggunakan agresi fisik untuk melecehkan korban mereka dan memanipulasinya, karena
mereka dapat mengganggu mereka tanpa balas dendam dengan atau tanpa orang yang
mengamatinya. Sebagai contoh, Eric yang berusia enam tahun menyatakan: 'Saya adalah bos di
sini'. Alsaker (2014) menunjukkan bahwa 10% pelaku bullying di TK mengetahui norma dan
peraturan sosial namun memilih untuk mengabaikannya.
Para pelaku bullying di prasekolah memiliki kompetensi sosial dan tantangan akademis, sikap
negatif, pemikiran buruk terhadap orang lain, sulit menyelesaikan masalah dengan orang lain,
lingkungan keluarga dengan pengawasan dan perselingkuhan orang tua yang buruk, dan
terpengaruh secara negatif oleh teman sebaya (Cook, Williams, Guerra, Kim, & Sadek, 2010).
 Korban bullying di prasekolah
Korban bullying di prasekolah adalah anak-anak yang menjadi korban tanpa alasan atau
bersikap agresif (Perren & Alsaker, 2006). Agresi ditargetkan pada anak-anak tertentu dan
akhirnya beberapa rekan terus-menerus mengasumsikan peran korban secara berulang. Korban
biasanya lebih kecil, lebih muda, kurang dewasa, (Olweus, 1993), dan secara fisik berbeda
dengan karakteristik fisik atipikal (misalnya kelebihan berat badan, berat badan kurang,
kacamata pakai) dibandingkan rekan mereka (Espelage & Aisado, 2001). Mereka juga memiliki
sedikit teman, kurang percaya diri, dan harga diri rendah dibandingkan dengan anak-anak lain
(Grif fi & Gross, 2004).
Korban bullying di prasekolah tidak memiliki keterampilan sosial yang dapat diterima oleh
teman mereka. Kurangnya teman di prasekolah mungkin merupakan faktor risiko sosial karena
menjadi korban. Namun, menjadi korban bisa mengurangi jumlah pertemanan atau hubungan
teman bermain.

 Program Pencegahan Bullying


Perilaku bullying muncul di prasekolah. Program intervensi ini cenderung lebih berhasil
dengan anak kecil. Program pencegahan hanya diharapkan dapat mengurangi perilaku kekerasan
atau agresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konteks sosial atau lingkungan sekolah
mempengaruhi tingkat intimidasi dan imunisasi rekan kerja serta efektivitas intervensi
pencegahan (Bradshaw, Sawyer, & O'Brennan, 2009).
Program Pencegahan Bullying adalah program keterampilan sosial berbasis kelas untuk
anak-anak berusia antara 4 dan 14 tahun. Anak-anak belajar mengurangi perilaku impulsif,
berisiko tinggi, dan agresif sambil meningkatkan kompetensi sosioemosional mereka. Program
Pencegahan berfokus pada kompetensi sosial anak-anak. Anak-anak belajar keterampilan sosial
yang (a) membantu mereka mengurangi perilaku impulsif dan agresif mereka terhadap anak-
anak dan (b) meningkatkan tingkat kompetensi sosial mereka.
Anak kecil mengembangkan keterampilan sosial dalam mengambil perspektif, pemecahan
masalah sosial, kontrol impuls, dan manajemen kemarahan. Mereka juga mengubah sikap dan
perilaku mereka yang berkontribusi terhadap kekerasan. Program Pencegahan ini menggunakan
pembelajaran untuk mengajarkan pemodelan, latihan, bermain peran, dan strategi intervensi
verbal untuk membantu anak mengembangkan kemampuan dalam pengambilan perspektif
(empati), kontrol impuls, dan manajemen kemarahan. Untuk meningkatkan kompetensi sosial
anak-anak, penilaian risiko, kemampuan pengambilan keputusan, pengaturan sendiri, dan
penentuan tujuan positif, Program Pencegahan ini menerapkan diskusi kelompok, pemodelan,
pembinaan, dan latihan. Meskipun isi pelajaran berbeda berdasarkan usia anak-anak,
keterampilan yang mereka pelajari sesuai perkembangannya. Program ini memiliki beberapa
komponen termasuk kurikulum untuk kelas prasekolah, taman kanak-kanak, dan kelas dasar
Kemampuan guru untuk berhasil mengatasi intimidasi dan pengorbanan di ruang kelas taman
kanak-kanak dan kelas dasar (Alsaker, 2004; Alsaker & Vedaover, 2001, 2012).
Pelatihan guru adalah program empat bulan yang intens yang terdiri dari (1) pengawasan, (2)
diskusi kelompok, dan (3) berbagi dukungan dan kolaborasi antara konsultan dan guru dan antara
guru dan orang tua (Alsaker, 2004). Ini disajikan dalam enam langkah:

Langkah 1: Guru diberikan informasi tentang viktimisasi. Langkah 2: Guru mendiskusikan


informasi tersebut dengan implikasinya.
Langkah 3: Guru dipresentasikan dengan eksplisit menggunakan tanggung jawab.
Langkah 4: Guru membentuk kelompok untuk mempersiapkan pencapaian praktis dari tanggung
jawab ini. Langkah 5: Guru menerapkan komponen di kelas untuk periode waktu tertentu.
Langkah 6: Guru mengadakan dan berbagi pengalaman mereka mengenai penerapan prosedur
perlindungan.

Dalam pelatihan empat bulan guru tersebut, mereka mengadakan delapan pertemuan untuk
membahas isu-isu yang berkaitan dengan pencegahan intimidasi. Alsaker (2004) memberikan
contoh pelatihan ini (lihat Tabel 1).
Biasanya, tujuan program intervensi intimidasi terdiri dari (1) memodifikasi lingkungan sekolah,
(2) melatih guru dan staf sekolah lainnya, (3) menawarkan keterlibatan orang tua, dan (4)
melibatkan setiap orang (misalnya anak-anak, keluarga, masyarakat , Staf sekolah) dalam
program pencegahan. Sekolah yang ingin mengurangi intimidasi perlu mempraktikkan program
pencegahan intimidasi (Yerger & Gehret, 2011).

Banyak program pencegahan telah dikembangkan, diterapkan, tersedia, dan diteliti (Yerger &
Gehret, 2011) untuk mengurangi perilaku kekerasan atau agresif di sekolah-sekolah. Efektivitas
mereka telah dinilai dalam (a) mencegah intimidasi dan pengorbanan rekan (Bradshaw
& Johnson, 2011) dan (b) mengajari anak-anak keterampilan sosial dan emosional untuk
menghindari risiko. Program bullying telah terbukti lebih berhasil dengan anak-anak yang lebih
muda. Rigby dan Smith (2011) meninjau kembali studi bullying dari berbagai negara yang
diterbitkan antara tahun 1990 dan 2009. Mereka melaporkan bahwa setelah pelaksanaan program
anti-intimidasi di sekolah-sekolah di seluruh dunia, bullying tradisional telah menurun secara
signifikan di banyak negara. Sebaliknya, cyberbullying telah meningkat, yang mungkin
merupakan hasil teknologi seperti penggunaan telepon seluler dan internet (Smith et al., 2008).
Meskipun selama lebih dari empat dekade para peneliti di bullying sekolah telah berusaha untuk
memberikan pemahaman tentang kerumitan masalah dan tantangan dalam mengatasinya, masih
banyak pertanyaan daripada jawaban, yang menyarankan untuk menggunakan kutipan korban
untuk sebuah kesimpulan.

... tidak ada kesimpulan untuk apa anak-anak yang diganggu hidup bersama. Mereka
membawanya pulang dengan mereka di malam hari. Ia tinggal di dalam diri mereka dan
memakan mereka. Tidak pernah berakhir. Jadi tidak harus perjuangan kita untuk mengakhirinya.
(Hymel & Swearer,
2015, hal. 296)
Daftar Pustaka
Banks, R. (2013). Bullying in schools. School and Academics. Retrieved from
http://www.education.com/reference/article/ Ref_Bullying_Schools/
Jurnal Bullying di Sekolah dan dampaknya bagi masa depan anak. Ahmad Baliyo Eko Prasetyo

Menurut Prasetyo (2011: Bullying dapat terjadi karena dua hal :


1. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying yang lebih kuat dan target
(korban) bullying yang lebih lemah. Ketidakseimbangan ini bisa berupa ukuran badan,
kekuatan fisik, status sosial, dan perasaan lebih hebat.
2. Adanya penyalahgunaan ketidakseimbangan kekuatan tersebut untuk kepentingan pelaku
bullying dengan cara mengganggu, menyerang secara berulang-ulang, atau dengan cara
mengucilkan orang lain. Kepentingan tersebut bisa berupa keinginan untuk menunjukkan
kekuasaan, kepentingan ekonomi atau hanya sekedar memenuhi kepuasan diri melihat orang
lain tunduk padanya (Olweus, 1993:25)

Bullying dapat terjadi di lingkungan yang terjadi interaksi sosial antar manusia, antara lain
sekolah (school bullying), kampus, tempat kerja (workplace bullying), dunia maya (cyber
bullying), lingkungan politik (political bullying), lingkungan militer (military bullying), dan
lingkungan masyarakat. Bullying di sekolah menyebabkan efek yang serius baik dalam jangka
panjang maupun jangka pendek. Dalam jangka pendek bullying dapat menimbulkan perasaan
tidak aman, takut pergi ke sekolah, merasa terisolasi, dan depresi. Bullying dalam jangka panjang
menyebabkan korban bullying menderita masalah gangguan emosional.

 Agresi dan Bullying


Bullying merupakan salah satu dari bentuk perilaku agresi. Agresi merupakan perilaku
yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis. Faktor-faktor
yang menyebabkan perilaku agresi adalah:
1. Terhalangnya seseorang dalam mencapai tujuan, kebutuhan, keinginan, atau
pengharapannya.
2. Media, cetak maupun elektronik, juga dapat memicu perilaku agresi pada anak. Tayangan
kekerasan dapat menimbulkan rangsangan dan memungkinkan anak melihatnya, kemudian
mereka menirukan model kekerasan tersebut.
3. Keluarga, lingkungan, dan teman sebaya yang memiliki perilaku agresi dapat menularkan
perilaku tersebut
4. Kemiskinan, apabila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku
agresi secara alami mengalami penguatan
 Dampak Bullying
Bullying dapat menimbulkan perasaan tidak aman, terisolasi, perasaan harga diri yang
rendah, depresi atau menderita stres yang dapat berakhir dengan bunuh diri. Dampak Bullying
dalam jangka panjang adalah korban dapat menderita masalah emosional dan perilaku. Efek
jangka panjang bullying sering tidak disadari oleh pelaku, korban, dan guru maupun orang tua
karena dampaknya lebih bersifat psikis dan emosi yang tidak terlihat prosesnya sangat lambat,
serta tidak muncul saat itu juga.
 Mencegah Bullying
1. Mengubah cara mendidik dan memperlakukan anak
2. Membangun komunikasi yang baik dengan orang tua. Memberikan informasi tentang
perkembangan anak secara up-to-date kepada orang tua.
3. Memberikan pemahaman yang tepat mengenai bullying terhadap guru, anak, dan orang tua
melalui seminar dan workshop. Pemberian pemahaman ini berupa materi tentang
karakteristik bullying, pencegahan dan penanganannya.
4. Sekolah perlu menyediakan semacam bullying center bagi para siswa. Bagian ini berperan
sebagai tempat pengaduan yang sangat rahasia, artinya identitas korban pelapor akan
dirahasiakan. Bagian ini juga merupakan tempat terapi dan juga berperan sebagai konseling
bagi para siswa korban maupun pelaku bullying.
5. Penyebab lain dari perilaku bullying adalah pola asuh keluarga. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Hassan & Ee (2015) mengungkapkan bahwa, secara keseluruhan
terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perilaku pelaku bullying dan gaya
pengasuhan orangtua. anak-anak yang menganggap orang tua mereka bersikap positif
terhadap mereka cenderung tidak terlibat dalam bullying. Temuan dari penelitian ini
menytakan bahwa terdapat hubungan positif signifikan yang rendah antara prilaku
bullying dan gaya pengasuhan otoriter dan permisif. Selanjutnya, penelitian ini juga
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku bullying dan
gaya pengasuhan otoritatif. Hal ini dikarenakan orang tua otoritatif mengenali hak orang
tua dan anak, sekaligus berusaha membimbing aktivitas anak secara rasional dan
berorientasi. Mereka mengendalikan perilaku anak sesuai kebutuhan namun responsif
dan sering berinteraksi efektif dengan anak-anak. Dengan demikian, anak-anak dari
orang tua otoritatif jauh lebih baik daripada anak-anak lain.

Anda mungkin juga menyukai