Anda di halaman 1dari 63

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmatNYA, sehingga buku ini dapat tersusun dengan baik. Buku dengan judul
“Cegah dan tangani Bullying di Lingkungan Sekolah”. Kami mengucapkan terima
kasih kepada ibu Wiwik Afifah, S.Pi., S.H., M.H. Selaku dosen mata kuliah
Hukum Pidana Anak yang telah memberikan tugas ini sehingga dengan adaya tugas
ini, kami dapat memahami mengenai upaya bullying di sekolah. Tujuan dari
penyusunan buku ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang bullying dari
berbagai aspek, agar dapat menjadi acuan bagi warga sekolah, anggota keluarga dan
yang lainnya serta meminimalisasi kejadian bullying yang akan terjadi di sekolah.
Dan juga kami berharap semoga melalui tugas ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi tugas agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman kami. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
tugas ini.

Surabaya, 2 Juni 2022


DAFTAR ISI :
Kata Pengantar
Daftar Isi
Pengertian bullying/perundungan
Faktor Pencetus Awal Mula Terjadi Tindak Bullying
Jenis jenis bullying
Bentuk dan modus bullying
Tempat terjadinya bullying
Pihak yang terlibat bullying
Peran Sekolah Dalam Kegiatan Bullying
Lingkungan sekolah sebagai penyebab dari terjadinya bullying
Faktor penyebab terjadinya bullying di sekolah
Pengaruh Bullying Verbal di Lingkungan Sekolah terhadap Siswa
Perilaku bullying disekolah dan pengaruhnya terhadap prestasi siswa
Ciri ciri anak yang terkena kasus bullying
Hubungan Tindak Bullying Dengan Pembentukan Mental Korban
Unsur- unsur terjadinya bullying
Tindakan yang perlu dilakukan jika melihat tindak kejahatan bullying
Data Jumlah Kasus Bullying Yang Terlaporkan
Dampak perilaku bullying terhadap kesehatan mental anak
Dampak perilaku bullying terhadap perkembangan anak
Dampak bullying bagi pelaku, korban, dan saksi factor
Faktor Korban Dijadikan Target Pembulllyan
Sanksi dan Kebijakan yang diberikan terhadap pelaku bullying
Penanganan yang bisa dilakukan oleh guru pada saat terjadinya bullying
Penanganan buat anak yang menjadi pelaku Bullying-
Upaya pencegahan bullying di lingkungan sekolah
Upaya pencegahan bullying oleh satuan pendidikan
Bullying Dilingkungan Pendidikan Agama (Pondok Pesantren)
Perilaku Bullying yang terjadi di Lingkungan Pendidikan Playgroup (PAUD)
Upaya pencegahan bullying dengan cara proses akademis
Upaya pencegahan bullying dengan cara penal dan non penal
Upaya Pemerintah Indonesia Mencegah Perundungan di Institusi Pendidikan
Upaya pencegahan bullying oleh keluarga atau orang tua
Peran Orang Tua untuk Mencegah Anak Menjadi Korban Bullying
Peran psikologi dan guru BK dalam mengatasi kasus bullying di sekolah
Cara Mengatasi Dampak Psikologis Bullying pada Anak
Peran guru dalam menanggapi kasus bullying
Cara mengatasi dampak psikologis bullying pada anak
Cara Mengatasi Bullying
Solusi untuk orang tua atau wali apabila anak menjadi korban intimidasi (bullying)
di sekolah
Pencegahan untuk anak yang menjadi korban bullying
Aspek perlindungan anak dalam tindak kekerasan bullying
Aspek Pidana dan Perdata dalam kasus bullying pada anak
Kebijakan Hukum Pidana dalam penyelesaian keresahan bullying terhadap anak
Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana dalam penyelesaian tindak
pidana perundungan atau bullying
Pengertian Bullying:

https://pelatihanparenting.com/contoh-bullying-di-sekolah/
https://id.theasianparent.com/bullying-di-sekolah
Bullying sering dikenal dengan istilah pemalakan, pengucilan, serta intimidasi.
Bullying merupakan perilaku dengan karakteristik melakukan tindakan yang
merugikan orang lain secara sadar dan dilakukan secara berulang-ulang dengan
penyalahgunaan kekuasaan secara sistematis. Perilaku ini meliputi tindakan secara
fisik seperti menendang dan menggigit, secara verbal seperti menyebarkan isu dan
melalui perangkat elektronik atau cyberbullying. Semua tindakan bullying, baik
fisik maupun verbal, akan menimbulkan dampak fisik maupun psikologis bagi
korbannya.
Bullying merupakan “bentuk tindakan atau perilaku agresif seperti mengganggu,
menyakiti, atau melecehkan tindakan yang dilakukan secara sadar dan sengaja
dengan cara berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok orang. Disebut pula
perilaku ilegal, negatif, dan juga agresif yang ada di dalam lingkungan sosial.
Bullying memiliki perbedaan dengan perilaku agresif yang terlihat dari perbedaan
jangka waktu, dimana bullying akan berkelanjutan sedangkan perilaku agresif
hanya satu kali kesempatan dan waktu jangka pendek. Pengaruh yang ditimbulkan
yaitu jangka pendek dan jangka panjang. “Bullying merupakan serangan berulang
secara fisik, psikologis, sosial ataupun verbal, yang dilakukan dalam posisi
kekuatan yang secara situasional didefinisikan untuk keuntungan atau kepuasan diri
sendiri” (Rofik, 2014). Dari berbagai kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa
Bullying merupakan suatu perilaku agresif, ilegal, negatif seperti menghina,
mengejek dalam lingkungan sosial.
Perundungan/Bullying adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal,
fisik, ataupun sosial di dunia nyata maupun dunia maya yang membuat seseorang
merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan baik dilakukan oleh perorangan
ataupun kelompok. Menurut American Psychological Association (APA)
mendefinisikan bullying adalah sebagai sebuah bentuk perilaku agresif yang
dilakukan secara berulang dan disengaja untuk menimbulkan perasaan tidak
nyaman maupun cidera bagi korban. Adapun pengertian lain dari Bullying adalah
suatu bentuk tindak kekerasan fisik dan psikologis dengan jangka panjang yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok kepada seseorang yang tidak mampu
mempertahankan diri didalam situasi apapun dan ada hasrat untuk melukai atau
merendahkan orang lain atau membuat orang tertekan, trauma atau depresi.
Peraturan tentang bullying terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
yaitu tentang Perlindungan Anak, Pasal 54 ditentukan “Anak di dalam dan di
lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan,
atau lembaga pendidikan lainnya”.

Faktor Pencetus Awal Mula Terjadi Tindak Bullying

Kebanyakan perilaku Bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang


kompleks. Tidak ada faktor tunggal menjadi penyebab munculnya Bullying.
Bullying bisa terjadi dalam berbagai format dan bentuk tingkah laku yang berbeda-
beda. Di antara format dan bentuk tersebut adalah; nama panggilan yang tidak
disukai, terasing, penyebaran isu yang tidak benar, pengucilan, kekerasan fisik, dan
penyerangan (mendorong, memukul, dan menendang), intimidasi, pencurian uang
atau barang lainnya, bisa berbasis suku, agama, gender, dan lain-lain.
Menurut Sullivan (dalam Juwita & Mustikolaksmi, 2010) Bullying adalah
perbuatan agresi atau manipulasi yang disadari dan bertujuan oleh satu atau lebih
orang terhadap satu atau sekelompok orang lainnya. Adapun menurut Priyatna
(2010) menyatakan bahwa bulying merupakan problem yang dampaknya harus
ditanggung oleh semua pihak. Baik itu pelaku, korban, ataupun dia yang
menyaksikan tindakan tersebut. Sedangkan menurut Rigby (dalam Juwita &
Mustikolaksmi, 2010) bullying adalah merupakan pola berulang dari tingkah laku
agresif terhadap orang lain yang memiliki status kekuatan yang lebih lemah.
Bullying merupakan suatu bentuk ekspresi, aksi bahkan perilaku kekerasan. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberi pengertian bullying sebagai
“kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau
kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam
situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang
tertekan, trauma atau depresi dan tidak berdaya.”Bullying biasanya dilakukan
berulang sebagai suatu ancaman, atau paksaan dari seseorang atau kelompok
terhadap seseorang atau kelompok lain.

Jenis- jenis Bullying :


•Bullying Fisik

https://koleksigambarposter.blogspot.com/2019/04/dapatkan-inspirasi-untuk-poster-
stop.html

Penindasan fisik merupakan jenis bullying yang paling tampak dan paling dapat
diidentifikasi diantara bentuk-bentuk penindasan lainnya, namun kejadian
penindasan fisik terhitung kurang dari sepertiga insiden penindasan yang dilaporkan
oleh siswa. Atau pengertian lain dari Bullying adalah suatu bentuk tindak kekerasan
fisik dan psikologis dengan jangka panjang yang dilakukan oleh seseorang atau
kelompok kepada seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri didalam
situasi apapun dan ada hasrat untuk melukai atau merendahkan orang lain atau
membuat orang tertekan, trauma atau depresi.
.Anak yang secara teratur melakukan bullying dalam bentuk ini kerap merupakan
anak yang paling bermasalah dan cenderung beralih pada tindakan-tindakan
kriminal yang lebih lanjut.
Jenis penindasan secara fisik di antaranya adalah memukul, mencekik, menyikut,
meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, serta meludahi anak yang
ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan, serta merusak dan menghancurkan
pakaian serta barangbarang milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan semakin
dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis serangan ini, bahkan walaupun
tidak dimaksudkan untuk mencederai secara serius.

•Bullying Verbal

https://www.wajibbaca.com/2016/02/coba-kalian-kenali-14-tanda-ini-berarti.html
https://cermin-dunia.github.io/cari/post/gambar-bullying-verbal/

Kekerasan verbal adalah bentuk penindasan yang paling umum digunakan, baik
oleh anak perempuan maupun anak laki-laki. Kekerasan verbal mudah dilakukan
dan dapat dibisikkan dihadapan orang dewasa serta teman sebaya, tanpa terdeteksi.
Dari ketiga jenis bullying, bullying dalam bentuk verbal adalah salah satu jenis yang
paling mudah dilakukan, kerap menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya
serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih jauh.
Penindasan verbal dapat diteriakkan di taman bermain bercampur dengan hingar
binger yang terdengar oleh pengawas, diabaikan karena hanya dianggap sebagai
dialog yang bodoh dan tidak simpatik di antara teman sebaya. Penindasan verbal
dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan, dan
pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual. Selain itu,
penindasan verbal dapat berupa perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon
yang kasar, e-mail yang mengintimidasi, surat-surat kaleng yang berisi ancaman
kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji, serta gosip.

•Bullying Relasional

https://www.kompasiana.com/weedykoshino/55280c3cf17e61d7088b45a9/ijime-
bully-di-jepang
Digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau bahkan untuk
merusak hubungan persahabatan. Bullying secara relasional adalah pelemahan
harga diri si korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian
atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap yang tersembunyi
seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, bahu yang bergidik,
cibiran, tawa mengejek dan bahasa tubuh yang kasar. Bullying secara relasional
mencapai puncak kekuatannya di awal masa remaja, saat terjadi perubahan-
perubahan fisik, mental, emosional dan seksual. Ini adalah saat ketika remaja
mencoba untuk mengetahui diri mereka dan menyesuaikan diri dengan teman-teman
sebaya.
Jenis ini paling sulit dideteksi dari luar. Penindasan relasionaladalah pelemahan
harga diri si korban penindasan secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan,
pengecualian, atau penghindaran. Penghindaran, suatu tindakan penyingkiran,
adalah alat penindasan yang terkuat.
Anak yang digunjingkan mungkin akan tidak mendengar gosip itu, namun tetap
akan mengalami efeknya. Penindasan relasional dapat digunakan untuk
mengasingkan atau menolak seorang teman atau secara sengaja ditujukan untuk
merusak persahabatan. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti
pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan napas, bahu yang bergidik, cibiran,
tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar.
•Cyber bullying

https://kutalkutil.blogspot.com/2014/02/hukuman-penyiksaan-disekolah-paling.html
https://www.istockphoto.com/id/vektor/cyber-bullying-orang-vektor-ilustrasi-
kartun-datar-sedih-muda-diganggu-karakter-gm1264371767-370301817
Sedangkan bullying secara elektronik bisa dengan mengirimkan pesan atau image
melalui internet atau telepon seluler. Bentuk bullying tersebut bisa terjadi di
kalangan pelajar maupun masyarakat luas, tidak terkecuali pada pengguna internet
atau media massa elektronik lainnya. Pelaku bullying pada media massa elektronik
biasanya dilakukan dengan memposting gambar atau foto seseorang dengan
meminimalisir memodifikasi minimal sehingga pembaca masih mudah mengenali
korban. Tidak hanya gambarnya saja yang dimodifikasi serta di-upload dalam akun
jejaring sosial, namun pelaku bullying juga menambahkan kata-kata yang tidak
pantas dibaca, mengolok-olok, melecehkan, mencaci maki, bahkan menghina
Ini adalah bentuk bullying yang terbaru karena semakin berkembangnya teknologi,
internet dan media sosial. Pada intinya adalah korban terus menerus mendapatkan
pesan negative dari pelaku bullying baik dari sms, pesan di internet dan media
sosial lainnya. Bentuknya seperti, mengirim pesan yang menyakitkan atau
menggunakan gambar, meninggalkan pesan voicemail yang kejam, menelepon terus
menerus tanpa henti namun tidak mengatakan apa-apa (silent calls), membuat
website yang memalukan bagi si korban, si korban dihindarkan atau dijauhi dari
chat room dan lainnya, dan “Happy slapping” – yaitu video yang berisi dimana si
korban dipermalukan.
Bentuk dan modus bullying
1. Fisik
tendangan, pukulan, jambakan, tinju, tamparan, lempar benda, meludahi,
mencubit, merusak, membotaki, mengeroyok, menelanjangi, push up
berlebihan, menjemur, mencuci WC, lari keliling lapangan yang berlebihan/
tidak mengetahui kondisi siswa, menyundut rokok, dll
2. Verbal
Berupa julukan nama, menggosip, memaki, menggoda, celaan, fitnah, kritik
kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial), memberi
label seseorang jelek/dekil, pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan
seksual atau pelecehan seksual, teror, surat-surat yang mengintimidasi,
tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip
dan lain sebagainya

3. Psikis
pelecehan seksual, memfitnah, menyingkirkan, mengucilkan, mendiamkan,
mencibir, penghinaan, menyebarkan gossip

4. Elektronik
memodifikasi sebuah gambar serta di-upload dalam akun jejaring sosial,
namun pelaku bullying juga menambahkan kata-kata yang tidak pantas
dibaca, mengolok-olok, melecehkan, mencaci maki, bahkan menghina

Tempat Terjadinya Bullying:

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170719001647-282-228771/disdik-
dki-bullying-jangan-sekolah-melulu-yang-disalahkan
https://hitput.com/tips-menghadapi-bullying-di-sekolah/

https://news.okezone.com/read/2012/01/04/373/551665/bullying-membelit-sekolah-
di-korsel
• Bullying terjadi di lingkungan sekolah, terutama di tempat-tempat yang bebas dari
pengawasan guru maupun orang tua. Guru yang sadar akan potensi bullying harus
lebih sering memeriksa tempat-tempat seperti :
1. ruang kelas
2. lorong sekolah
3. kantin
4. pekarangan
5. lapangan
6. toilet
Pada saat yang tidak diperkirakan oleh siswa akan ada pemeriksaan sebaiknya
lakukan pemantauan rutin tetapi pada jam yang tidak menentu. Dengan pengawasan
menyeluruh dan pemantauan yang intensif, guru dapat mencegah terjadinya
bullying. Bullying juga terjadi di kawasan yang lebih luas, seperti jalan yang
menuju sekolah dan sebaliknya. Bahkan juga bisa terjadi di rumah atau di tempat
umum karena kemajuan tehnologi sekarang memungkinkan pelaku bullying
menjajah korbannya melalui pesan pendek telepon genggam Short Massage Service
SMS atau cyber bullying melalui e-mail.

Pihak – pihak yang terlibat di dalam bullying

•KORBAN
Terkadang, korban bullying tidak ingin mengadu atau menceritakan tindakan
perundungan yang dialaminya. Mereka cenderung merasakan rasa sakit dan
sedihnya sendiri. Penting bagi orangtua, teman, guru atau masyarakat secara umum
untuk memahami ciri-ciri korban bullying agar kita bisa membantu mereka dan
menghukum pelakunya.
Anak yang seringkali menjadi korban perundungan/bullying biasanya mengarah
pada kondisi anak yang ”berbeda” baik secara fisik maupun non fisik yaitu:
1. Anak yang cenderung sulit bersosialisasi yang sering disebut dengan
“culun”
2. Anak yang fisiknya berbeda dengan yang lain (terlalu kurus, terlalu gemuk,
mempunyai ciri fisik yang menonjol, dll)
3. Anak yang cenderung berbeda dengan yang lain misalnya berasal dari
keluarga yang sangat kaya, sangat sukses, sangat miskin, sangat terpuruk,
dll
Ciri-ciri anak yang menjadi korban bullying :
Beberapa perubahan sikap dan perilaku dapat menunjukkan tanda bahwa anak
menjadi korban bullying. Berikut adalah beberapa perubahan sikap dan perilaku
korban perundungan yang harus diperhatikan oleh Anda sebagai orang tua:
1. Sering mengalami mimpi buruk
2. Penurunan nafsu makan yang menurun
3. Malas dan takut untuk berangkat sekolah
4. Kemunduran tumbuh kembang pada anak (seperti mengompol)
5. Separation anxiety (kecemasan parah ketika berpisah dengan orang tua)
6. Munculnya luka yang tak jelas penyebabnya
7. Barang-barang pribadi yang rusak tiba-tiba (buku, gawai, perhiasan)
8. Sering sakit kepala dan sakit perut
9. Kerap berpura-pura sakit
10. Perubahan pola makan, seperti tidak sarapan tiba-tiba atau tidak makan
siang di sekolah
11. Sulit tidur
12. Performa akademis yang menurun
13. Tidak tertarik mengerjakan pekerjaan rumah (PR)
14. Kehilangan teman tiba-tiba
15. Menghindari situasi sosial
16. Merasa rendah diri dan tidak berdaya
17. Melakukan hal-hal berisiko yang bisa merugikan dirinya sendiri.
•PELAKU

CIRI - CIRI PELAKU


1. Perundungan/Bullying cenderung memiliki sikap hiperaktif, impulsif, aktif
dalam gerak, dan merengek, menangis berlebihan, menuntut perhatian,
tidak patuh, menantang, merusak, ingin menguasai orang lain
2. Memiliki temperamen yang sulit dan masalah pada atensi/ konsentrasi, dan
hanya peduli terhadap keinginan sendiri.
3. Sulit melihat sudut pandang orang lain dan kurang empati.
4. Adanya perasaan iri,benci, marah, dan biasanya menetupi rasa malu dan
gelisah.
5. Memiliki pemikiran bahwa “permusuhan” adalah sesuatu yang positif.
6. Cenderung memiliki fisik yang lebih kuat, lebih dominan dari pada teman
sebayanya.
7. Berasal dari keluarga yang memiliki banyak masalah
8. Biasanya orang yang suka membully merupakan korban dari bully itu
sendiri.
9. Terlihat percaya diri sebenarnya tidak
10. Sangat pandai berbohong atau disebut juga berdalih
11. Sangat pemarah, kasar, dan implusif
12. Tidak memiliki simpati kepada orang lain
13. Manipulati terhadap orang lain
14. Mendominasi di antara teman-temannya dan juga memiliki perasaan narsis
melebihi anak-anak seumurannya.

•SAKSI Tindak Bullying


Tindakan bullying bukan hanya membebani korban yang mendapat perlakuan tidak
nyaman tersebut. Tapi, saksi juga bisa alami tekanan psikis lantaran bingung untuk
melaporkan bullying tersebut atau tidak. Ketakutan untuk bicara maupun
melaporkan pelaku bullying jadi tertahan, baik oleh saksi maupun si korban sendiri.
Padahal pengakuan dari keduanya sama pentingnya.
Psikolog klinis dewasa Pingkan Rumondor, S.Psi., M.Psi., mengcatakan,
kebanyakan orang yang menjadi saksi akan diam saja saat tidak tahu apa yang harus
dilakukan ketika menyaksikan tindakan bullying. Terutama, apabila saksi terdiri
dari beberapa orang.
Ada dua respons yang bisa terjadi pada saksi bullying. Respons pertama, saksi
terlalu bersimpati dengan korban bullying, sehingga ia ikut merasa tersiksa karena
melihat kejadian itu. Studi bahkan menunjukkan bahwa saksi tindakan bullying
mungkin bisa lebih menderita akibat merasa bersalah, tidak berdaya, cemas, hingga
depresi.
Respons lainnya justru bertentangan, saksi dari tindakan bullying justru tidak
merasa perlu membantu korban dan cuek saja, karena ia menganggap akan ada
orang lain yang akan membantu korban. Respons ini umumnya terjadi jika bullying
terjadi di tempat umum yang dilihat banyak orang.

•Tindakan yang perlu dilakukan jika melihat tindak kejahatan bullying


1. Jangan ikut mem-bully
Terkadang anak-anak belum mengerti bahwa mengolok-olok atau mengejek
temannya merupakan tindakan bullying. Karena dianggap lucu, mungkin saja anak
menjadi ikut tertawa bersama sang pelaku. Peran keluarga diperlukan untuk
menjelaskan pada anak tindakan apa saja yang termasuk bullying. Katakan padanya
untuk tidak ikut melakukan hal tersebut kepada korban atau ikut menertawakan
korban. Memberikan respons positif, seperti tertawa, terhadap tindakan bullying
justru membuat pelaku menjadi merasa tidak bersalah.
Ajarkan juga anak untuk mengajak teman-teman lain di sekitarnya yang melihat
tindakan bullying untuk tidak ikut serta dan tidak memberikan respons positif
kepada pelaku.

2. Laporkan kepada orang dewasa


Lingkungan keluarga perlu mengajarkan kepada anak untuk berani melaporkan
tindakan bullying pada orang dewasa, misalnya pada guru atau orang tua, dan
menceritakan kejadian yang ia lihat. Dengan begitu, anak akan memiliki peran
untuk membantu menghentikan tindakan bullying dengan aman.
Bullying tidak selalu terjadi secara langsung, tapi juga bisa terjadi di dunia maya.
Jadi, mintalah Si anak untuk melaporkan kepada Bunda atau guru di sekolah ketika
menemukan foto, video, atau komentar media sosial yang tergolong bullying. Minta
juga ia untuk tidak menyebarluaskan foto atau video tersebut.
3. Tegur pelaku bullying
Anak dituntut untuk memiliki keberanian, minta ia untuk menegur pelaku bullying
secara baik-baik. Ketika tidak mendapatkan respons positif dari orang lain, biasanya
pelaku akan menghentikan tindakannya tersebut.
Namun, keluarga juga haru memberitahu si anak kalau ia boleh menegur pelaku
bullying hanya jika ia merasa aman. Bila tindakan bullying berupa kekerasan fisik
atau terlihat sangat kasar, sebaiknya Si anak langsung menghindar, menjauh dan
segera melaporkannya kepada orang dewasa.

4. Rangkul korban
Sebuah penelitian membuktikan bahwa menemani korban bullying dapat
melindunginya dari tindakan bullying yang akan terjadi ke depannya. Sebagai
orangtua berikanlah pengertian kepada anak untuk berteman dengan korban
bullying, misalnya dengan duduk bersama di kelas, makan siang bersama, atau
bermain bersama ketika jam istirahat. Tindakan yang dilakukan dapat membuat
korban bullying merasa ada temannya dan tidak memikirkan cara jelek untuk meng
akhiri semua ini. Selain mencegah tindakan bully kembali, korban juga jadi tidak
putus asa karena sadar bahwa ada orang yang peduli dan dia tidak sendirian.

5. Jangan musuhi pelaku bully


Bullying memang perilaku tidak terpuji, tetapi keluarga khusnya orangtua
diharapkan dapat mengajarkan anak untuk tidak memusuhi pelaku bullying atau
membicarakan hal jelek soal pelaku, ya. Bagaimana pun, anak tetap harus tetap
memiliki sikap baik dengan setiap orang.
Demi keamanan anak, orangtua bisa meminta ia untuk berjaga jarak dan bersikap
asertif dengan pelaku, agar Sianak tidak ikut ke dalam pergaulan pelaku bullying
atau malah menjadi korban bully.
*Peran Sekolah Dalam Kegiatan Bullying

Sekolah menjadi lingkungan pada siswa atau murid dalam proses untuk berinteraksi
sosial secara langsung dengan teman sebaya atau guru. Akan tetapi, sekarang ini
banyak terjadi permasalahan yang dilakukan oleh siswa atau murid di lingkungan
sekolahnya. Masalah yang sering muncul salah satunya adalah tentang bullying.
Sebagian masyarakat kita bahkan guru sendiri menganggap bullying sebagai hal
biasa dalam lingkungan pendidikan dan tidak perlu dipermasalahkan. Bullying
dianggap hanya bagian dari cara anak-anak untuk bermain, padahal dampak dari
bullying itu sendiri sangat mempengaruhi kesehatan psikologis bagi anak. Hal ini
terjadi karena kurangnya pengetahuan guru tentang bullying. National Association
of Elementary School Principals (2013) melaporkan bahwa setiap tujuh menit anak
di bully di lingkungan sekolah, dan setiap bulan ada tiga juta murid absen dari
sekolah karena merasa tidak nyaman.
Tingkat pengawasan di sekolah menentukan seberapa banyak dan seringnya terjadi
peristiwa bullying. Sebagaimana rendahnya tingkat pengawasan di rumah,
rendahnya pengawasan di sekolah berkaitan erat dengan berkembangnya perlaku
bullying di kalangan siswa. Pentingnya pengawasan dilakukan terutama di tempat
bermain dan lapangan, karena biasanya di kedua tempat tersebut perilaku bullying
kerap dilakukan. Penanganan yang tepat dari guru atau pengawas terhadap peristiwa
bullying adalah hal yang penting karena perilaku bullying yang tidak ditangani
dengan baik akan meyebabkan kemungkinan perilaku itu terulang.
Banyaknya kasus bullying yang ada di dunia pendidikan di Indonesia, maka baru-
baru ini menteri pendidikan dan kebudayaan telah mengeluarkan peraturan menteri
tentang anti bullying dalam kegiatan masa orientasi siswa baru melalui
Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014 dan surat edaran Nomor
59389/MPK/PD/2015. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan usaha preventif
(pencegahan) dengan menanamkan sejak dini kepada anak bahwa kita semua saling
mencintai antar sesama, memberikan nilai-nilai keagamaan kepada anak, sehingga
anak akan berfikir bahwa jika menyakiti orang lain pasti akan mendapatkan dosa.
Tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan guru adalah
memberikan pelatihan dan penyuluhan tentang bullying yang dilakukan oleh sesama
guru kepada guru yang lain dan menambah pengawasan pada siswanya baik saat di
dalam kelas dan di luar kelas.
*Data Jumlah Kasus Bullying Yang Terlaporkan

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari tahun 2011 sampai Agustus
2014, tercatat 369 pengaduan terkait masalah bullying. Jumlah itu sekitar 25% dari
total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Di provinsi Jawa
Timur, Surabaya menjadi kota tertinggi dari kasus bullying dengan prosentase
59,8%. (Wiyani, 2012). Menurut data kasus di Komisi Perlindungan Perempuan dan
Anak (KPPA) wilayah Kabupaten Ponorogo dari tahun 2013 sampai September
2016, tercatat ada 8 pengaduan terkait masalah bullying di sekolah, mulai dari
bullying secara fisik, verbal, dan psikologis.
KPAI menemukan angka bahwa anak yang menjadi korban bullying di lingkungan
sekolah sebesar (87,6%). Dari angka (87,6%) tersebut, (29,9%) kasus bullying
dilakukan oleh guru, (42,1%) dilakukan oleh teman sekelas, dan (28,0%) dilakukan
oleh teman lain kelas (Nauli, FA, Novayelinda, R., & Putri, HN, 2012). Data di atas
dapat membuktikan bahwa sekolah menjadi penyumbang terbesar terhadap perilaku
bullying. Data juga menunjukkan bahwa tindakan bullying juga dilakukan oleh
guru, yang seharusnya menjadi contoh bagi siswana. Jika guru saja melakukan aksi
bullying, maka tidak menutup kemungkinan bahwa pelajar akan melakukan
bullyingkarena mereka meilhat perilaku yang ditunjukkan oleh guru

https://toquedemaedecoracoes.blogspot.com/2019/08/10-ide-gambar-ilustrasi-stop-
bullying.html
https://paautism.org/resource/bullying-prevention-autism/

15.Lingkungan sekolah sebagai penyebab terjadinya bullying


Maraknya terjadi kasus-kasus kekerasan pada anak dan pelajar membuat hal
tersebut menjadi perhatian khusus bagi orang tua, guru, serta pemerhati
perlindungan anak. Kasus kekerasan yang paling banyak dibicarakan adalah kasus
kekerasan dalam bentuk bullying. Bullying didefinisikan sebagai sikap mengejek,
menghina, mengancam, memukul, mencuri, dan serangan langsung yang dilakukan
oleh seorang atau lebih terhadap korban Bullying adalah kasus yang bisa terjadi
dimana saja, baik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Pada kehidupan
saat ini, bullying sering ditemukan di lingkungan sekolah, yang dimana sekolah
seharusnya menjadi tempat siswa untuk menimba ilmu.
Dalam hal yang lain, sekolah merupakan tempat yang kurang terjangkau untuk
diawasi oleh orang tua. Sehingga pelajar merasa akan lebih leluasa untuk
melakukan perilaku bullying tanpa perlu takut perilakunya akan diketahui oleh
orang tua mereka. Kebanyakan perilaku bullying dilakukan oleh siswa yang lebih
tua dan dilakukan kepada adik kelas atau siswa yang lebih muda dari pelaku, atau
yang lebih dikenal dengan istilah senioritas.
Para senior merasa bahwa mereka memegang kekuasaan di sekolah dan adik kelas
harus menghormati mereka. Mereka akan melakukan bullying ini dengan alasan
bahwa adik kelasnya juga harus merasakan apa yang dulu pernah mereka rasakan
dari seniornya. Mereka melakukan bullying tersebut kepada adik kelas yang
dianggap lemah dan tidak bisa melawan perilaku mereka, karena mereka juga tahu
bahwa korban tidak akan melaporkan perilaku tersebut kepada guru.
Perilaku bullying yang dilakukan oleh pelajar merupakan perilaku yang cukup
banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya seperti objek,
mencemooh, dan mendorong, menekan serta melakukan tindak kekerasan lainnya.
Bagi pelaku bullying, hal seperti itu merupakan hal yang menyenangkan dirinya dan
dapat memuaskan perasaannya, dan sebagai bentuk penunjukan eksistensi bahwa ia
memiliki kekuasaan di sekolah. Namun bagi korban, perilaku bullying sangat tidak
menyenangkan dan menggangu kehidupan mereka, bukan hanya kehidupan di
sekolah namun juga kehidupan di luar sekolah. Tidak menutup kemungkinan juga
bahwa korban akan mengalami trauma akibat perilaku bullyingyang saya terima
sehingga muncul keengganan untuk kembali ke sekolah.
Dalam hal yang lain, sekolah merupakan tempat yang kurang terjangkau untuk
ditawarkan oleh orang tua. Sehingga pelajar merasa akan lebih leluasa untuk
melakukan perilaku bullying tanpa perlu takutnya akan diketahui oleh orang tua
mereka. Kebanyakan perilaku bullying yang dilakukan oleh siswa yang lebih tua
dan dilakukan kepada adik kelas atau siswa yang lebih muda dari pelaku, atau yang
lebih dikenal dengan istilah senioritas. .
KPAI menemukan angka bahwa anak yang menjadi korban bullying di lingkungan
sekolah sebesar (87,6%). Dari angka (87,6%) tersebut, (29,9%) kasus bullying
dilakukan oleh guru, (42,1%) dilakukan oleh teman sekelas, dan (28,0%) dilakukan
oleh teman lain kelas (Nauli, FA, Novayelinda, R., & Putri, HN, 2012). Data di atas
dapat membuktikan bahwa sekolah menjadi penyumbang terbesar terhadap perilaku
bullying. Data juga menunjukkan bahwa tindakan bullying juga dilakukan oleh
guru, yang seharusnya menjadi contoh bagi siswana. Jika guru saja melakukan aksi
bullying, maka tidak menutup kemungkinan bahwa pelajar akan melakukan
bullyingkarena mereka meilhat perilaku yang ditunjukkan oleh guru. Satu hal yang
dapat terjadi adalah para pelajar akan menganggap bahwa bullying menjadi suatu
perilaku yang wajar dan tidak berbahaya bila dilakukan kepada teman-temannya.
Dan disatu sisi juga, pelajar akan menjadikan gurunya sebagai alasan jika ia
ketahuan melakukan perilaku bullying kepada temannya, ia akan mengatakan
bahwa ia meniru perilaku tersebut dari gurunya.

*Penyebab Terjadinya Tindak Bullying

Penyebab terjadinya bullying antara lain, Keluarga yang bermasalah, orang tua yang
sering menghukum anaknya secara berlebihan akan meniru dan melakukan pada
temannya, Sekolah, karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying
ini, anak-anak akan mendapatkan penguatan terhadap perlu mereka untuk
melakukan intimidasi ke anak lain, faktor kelompok sebaya, beberapa anak
melakukan bullying untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam
kelompok tertentu.
Pelaku bullying bisa jadi menerima perlakuan bullying pada dirinya, yang
mungkin dilakukan oleh seseorang di dalam keluarga. Anak-anak yang tumbuh
dalam keluarga yang agresif dan berlaku kasar akan meniru kebiasaan tersebut
dalam kesehariannya. Kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan orangtua kepada
anak akan menjadi contoh perilaku. Hal ini akan diperparah dengan kurangnya
kehangatan kasih sayang dan tiadanya dukungan dan pengarahan membuat anak
memiliki kesempatan untuk menjadi seorang pelaku bullying. Sebuah studi
membuktikan bahwa perilaku agresif meningkat pada anak yang menyaksikan
kekerasan yang dilakukan sang ayah terhadap ibunya.

*Dampak Bullying Terhadap Mental Korban


Dampak lain yang kurang terlihat, namun berefek jangka panjang adalah
menurunnya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan penyesuaian
sosial yang buruk. Dari penelitian yang dilakukan Riauskina dkk., ketika mengalami
bullying, korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan,
takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) namun tidak berdaya menghadapinya.
Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan
rendah diri bahwa dirinya tidak berharga.
Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial juga muncul pada para
korban. Mereka ingin pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah itu, dan
kalaupun mereka masih berada di sekolah itu, mereka biasanya terganggu prestasi
akademisnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah.
Menurut Elliot dalam Naskah Krida Rakyat (2011) mengatakan bahwa bullying
memiliki dampak yang negatif bagi perkembangan karakter anak seperti timbul
perasaan tertekan, kesakitan fisik dan psikologis, kepercayaan diri menurun, malu,
trauma, merasa sendiri, takut sekolah sampai tidak mau sekolah, Yang paling
ekstrim dari dampak psikologis ini adalah kemungkinan untuk timbulnya gangguan
psikologis pada korban bullying, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut,
depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stres pasca-trauma (post-
traumatic stress disorder).
Dampak bullying pada korban diantaranya kesehatan fisiknya menurun, dan sulit
tidur. Seorang korban juga cenderung memiliki psychological well-being yang
rendah, seperti perasaan tidak bahagia secara umum, self-esteem rendah perasaan
marah, sedih, tertekan dan terancam ketika berada pada situasi tertentu Secara
psikologis,
seseorang korban akan mengalami psychological distress;

 misalnya adalah tingkat kecemasan yang tinggi,


 depresi dan
 pikiran-pikiran untuk bunuh diri.
Secara akademis seorang korban akan mengalami poor results, prestasi akademis
menurun, kurangnya konsentrasi korban.

*Penelitian Para Ahli Tentang Bullying

bullying tidak menerima perhatian penelitian signifikan sampai tahun 1970-an


(Olweus, 1978). Profesor Dan Olweus adalah ilmuwan pertama yang memfokuskan
diri pada topik tersebut dan mengkontribusikan data ilmiahnya pada literatur
bullying. Banyak penelitian Olweus menjelaskan mengapa beberapa anak
melakukan bullying dan mengapa beberapa lainnya menjadi korban bullying. Bukan
itu saja, Olweus juga menunjukkan bahwa bullying di sekolah dapat direduksi
secara signifikan. Hal ini merupakan pencapaian yang sangat penting.
Hasil studi dari Olweus mengesankan banyak peneliti sosial di dunia. Sebelum abad
ke -20 berakhir, ratusan studi serupa telah dilakukan di banyak negara. Buku,
artikel, website, video dan CD mulai bermunculan dengan maksud untuk
menjelaskan apa saja yang perlu kita lakukan untuk mereduksi bahkan
menghentikan bullying di sekolah
Hasil penelitian tentang prososial, menemukan bahwa hubungan dekat dengan
korban akan meningkatkan simpati dari bystander (orang lain yang melihat pada
saat bullying terjadi) dan akan meningkat bila korban tersebut mengalami kesamaan
pengalaman kemalangan. Bystander adalah peran orang-orang yang berada pada
situasi bullying dan menyaksikan situasi. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah
kedekatan dengan korban dan kesamaan kemalangan meningkatkan tindakan
prososial terhadap korban (Small dan Simonsohn dalam Sudibyo, 2012)
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa partisipan yang memiliki sikap positif
terhadap peer yang melakukan secondary victimization (merendahkan korban,
menyalahkan korban, menghindari korban) akan melakukan secondary
victimization lebih banyak terhadap korban bullying yang termasuk outgroup
daripada korban yang berasal dari ingroup (Correia et. al. dalam Sudibyo, 2012).
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas tersebut, dapat diasumsikan bahwa
seseorang yang melihat kejadian bullying (bystander) akan menentukan sikap
terhadap kejadian itu, selanjutnya akan memilih peran yang sesuai menurut
sikapnya membantu korban atau terlibat melakukan bullying. Karena itu penelitian
mengenai bullying biasanya memfokuskan pada korban atau pelaku bullying. Bisa
pula memfokuskan pada bystander, apa saja yang menyebabkan bystander tergerak
untuk menolong pada situasi bullying. Fokus lainnya bisa pula ingin mengetahui
pengaruh kedekatan korban dan sikap terhadap bullying kepada perilaku prososial
bystander saat melihat teman ditindas. Dengan mengetahui hal-hal yang
mempengaruhi tindakan menolong bystander maka diharapkan fenomena bullying
bisa ditangani.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Panca (2011) dapat diketahui bahwa ada
pengaruh yang signifikan antara distorsi kognitif terhadap perilaku bullying dengan
hasil analisa sebesar 0,667 atau sebesar 66,7% sedangkan sisanya sekitar 33,3%
dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini
seperti variabel sikap yaitu sikap diam yang dilatarbelakangi oleh pemikiran apabila
korban melaporkan tentang apa yang menimpanya maka tidak akan menyelesaikan
masalah, kondisi fisik berfisik besar dan kuat dan kondisi lingkungan yang
mendukung terjadinya perilaku bullying.
Pelaku adalah individu yang memiliki kekuatan lebih dan berbuat dengan sengaja
unuk menyakiti pihak lain yang lebih lemah. Ciri pelaku bullying adalah hidup
berkelompok dan menguasai kehidupan sosial siswa di sekolah, menempatkan diri
di tempat tertentu di sekolah, seorang yang popular di sekolah, dan gerak-gerik
yang seringkali dapat ditandai dengan berjalan didepan, sengaja menabrak, berkata
kasar, dan melecehkan. Hasil penelitian Wisnu Sri, dkk (2015) yang berjudul Profil
Pelaku dan Korban Bullying di Sekolah Dasar, menyatakan bahwa dari 212 subjek
penelitian, 17% subjek sekitar 16 siswa berperan sebagai pelaku. Dari jumlah 69%
berjenis kelamin laki-laki dan sisanya 31% adalah perempuan. Dari korban
menunjukkan bahwa terdapat 22% subjek sekitar 20 siswa berperan sebagai korban.
Dari jumlah korban, lebih banyak korban berjenis kelamin perempuan sebanyak
55% dan sisanya adalah laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Dewa Ayu (2016),
yang berjudul Gambaran Kejadian dan Karakteristik Bullying Pada Anak Usia
Sekolah di Sekolah Dasar Wilayah Kerja Puskesmas I Pekutatan Kabupaten
Jembrana Bali 2015. Bahwa kejadian bullying sebesar 71% pada anak-anak sekolah
dasar di wilayah kerja Puskesmas I Pekutatan.
*Pengaruh Kepribadian Dengan Tindak Bullying
Salah satu faktor terbesar penyebab anak melakukan bullying adalah tempramen.
Tempramen adalah karakterisktik atau kebiasaan yang terbentuk dari respon
emosional. Hal ini mengarah pada perkembangan tingkah laku personalitas dan
sosial anak. Seseorang yang aktif dan impulsif lebih mungkin untuk berlaku
bullying dibandingkan orang yang pasif atau pemalu.
Beberapa anak pelaku bullying sebagai jalan untuk mendapatkan popularitas,
perhatian, atau memperoleh barang-barang yang diinginkannya. Biasanya mereka
takut jika tindakan bullying menimpa diri mereka sehingga mereka mendahului
berlaku bullying pada orang lain untuk membentuk citra sebagai pemberani.
Meskipun beberapa pelaku bullying merasa tidak suka dengan perbuatan mereka,
mereka tidak sungguh-sungguh menyadari akibat perbuatan mereka terhadap orang
lain.
Pada sisi yang lain bullying merupakan pola berulang dari tingkah laku agresif
terhadap orang lain yang memiliki status kekuatan yang lebih lemah. penyebab
bullying menurut Juwita dan Mustikolaksmi (2010) mencakup faktor personal dan
situasional dari bullying dimana faktor-faktor tersebut meliputi pola asuh ayah yang
otoriter, pola asuh ibu yang otoriter, tayangan televisi, bullying oleh guru dan
konformitas pada remaja. Lemahnya emosi seseorang akan berdampak pada
terjadinya masalah di kalangan remaja, misalnya bullying yang sekarang kembali
mencuat di media. Kekerasan di sekolah ibarat fenomena gunung es yang nampak
ke permukaan hanya bagian kecilnya saja. Akan terus berulang, jika tidak ditangani
secara tepat dan berkesinambungan dari akar persoalannya

Faktor Penyebab Terjadinya Bullying di Sekolah.

1. Faktor yang pertama

adalah iklim sekolah. Jika iklim sekolah positif maka semakin rendah
potensi bullying akan terjadi, namun jika iklim sekolah negatif maka
semakin tinggi pula potensi perilaku bullying yang terjadi. Kondisi sekolah
yang tidak mendukung kenyamanan pelajar di sekolah memungkinkan
terjadinya bullying . Seperti pengawasan guru yang tidak secara
menyeluruh saat jam kosong atau istirahat, guru yang tidak peduli atau
menjadi pelaku bullying, siswa lain yang tidak peduli terhadap bullying dan
tidak melaporkan kepada guru jika melihat kejadianbullying, serta
minimnya informasi mengenai bahaya perilaku bullying di sekolah yang
dapat menyebabkan bullying terjadi.

2. Faktor kedua

Berasal dari lingkungan kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya


dapat mempengaruhi terjadinya perilaku bullying. Jika seorang pelajar
berteman atau bergaul dengan anak-anak yang memiliki masalah dalam
lingkungan sekolahnya dan berperilaku tidak sopan, maka pelajar tersebut
dapat terpengaruh untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan
teman-temannya tersebut. Anak akan lebih berani melakukan sesuatu yang
negatif jika mereka memiliki teman yang mau melakukan hal yang sama
dengan mereka. Karena jika mereka ketahuan, mereka tidak akan sendiri
dalam menerima hukumannya termasuk dalam melakukan perilaku
bullying, dimana tindakan bullyinglebih sering dilakukan secara terbalik
individu dan yang menjadi korban adalah individu.

3. Faktor ketiga
perhatian pihak sekolah terhadap bullying yang terjadi di lingkungan
sekolah. Cukup banyak sekolah yang mengalami perilaku bullying sehingga
menjadi satu-satunya kekuatan yang cukup untuk mempelajari perilaku
bullying. Hal ini juga didukung dengan rendahnya pengawasan dari pihak
sekolah mengenai bullying yang terjadi di lingkungan sekolah, sehingga
pihak sekolah juga sulit untuk melakukan tindakan pencegahan bullying
maupun hukuman kepada pelaku bullying. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Tumon (2014) didapatkan bahwa dari 188 siswa, 76,6%mengatakan
pihak sekolah tidak mengetahui adanya bullying, dan 62,8% mengatakan
meskipun pihak sekolah mengetahui namun mereka tidak akan memberikan
sanksi apapun (Auli, R., & Fithria., 2016). Dari hasil penelitian di atas
dapat dikatakan bahwa jika pihak sekolah juga lemah dalam memberikan
sanksi kepada pelaku bullying, karena hal tersebut pelaku bullying dapat
dengan mudah menyebarluaskan perilakunya di lingkungan sekolah.

4. Faktor terakhir
lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah dimana guru melakukan kasar
kepada siswanya menyebabkan kegiatan belajar menjadi tidak
menyenangkan dan efektif, peraturan dan kebijakan yang tidak konsisten
atau peraturan dan kebijakan yang terlalu ketat membuat pelajar melanggar
peraturan tersebut, serta guru yang tidak memperhatikan pergaulan yang
dilakukan siswanya selama di sekolah. Perilaku bullying bisa terjadi di
sekolah dengan lingkungan yang kurang pengawasan, lemah terhadap
peraturan dan sanksi, dan pejabat sekolah yang tidak peduli terhadap
bullying yang terjadi di sekolah. Pelajar akan merasakan perilaku
bullyingmenjadi hal yang biasa terjadi. Maka jika lingkungan sekolah tidak
memberikan kondisi yang menyatakan bahwa bullying adalah tindakan atau
tidak adanya tindakan nyata dari pihak sekolah, maka bullying akan terus
berkembang dan menjadi semakin parah di lingkungan sekolah.

Dari berbagai faktor yang telah dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa sekolah
menjadi salah satu bagian penyumbang terhadap terjadinya tindakan bullying di
kalangan pelajar. Jika dari keempat faktor tersebut kita tidak melakukan perubahan
apapun, maka perilaku bullying tetap bisa berkembang dan semakin besar
kemungkinannya terjadi di lingkungan sekolah. Pihak sekolah juga merupakan
pihak yang penting untuk memberikan sumbangsih terhadap pencegahan dari
perilaku bullying setelah orang tua dan keluarga, sehingga jika pihak sekolah saja
lemah dan terkesan tidak peduli serta menunda-nunda dalam menangani
permasalahan ini, maka tidak menutup kemungkinan bullying akan menjadi tradisi
dan kegiatan wajib tahun ke tahun oleh pelajar di dalam lingkungan sekolah.
Bullying dapat terjadi jika terdapat celah untuk melakukan tindakan bullying.
Namun bila kita menutup celah tersebut atau mengurangi celah tersebut, maka
perilaku bullying tidak akan terjadi atau seminimal mungkin frekuensi terjadinya di
lingkungan sekolah akan menurun. Hanya dengan memberikan perhatian kecil
kepada pelajar atas setiap perilaku yang mereka lakukan atau perhatian yang mereka
harapkan dari kita, maka celah-celah tersebut dapat berkurang sedikit demi sedikit. 
Pengaruh Bullying Verbal di Lingkungan Sekolah terhadap Siswa

Maraknya kasus Bullying Verbal yang terjadi di lingkungan sekolah memberi


pengaruh tersendiri terhadap perkembangan perilaku siswa, khususnya dalam
membentuk karakter siswa. Bullying verbal dapat memberikan dampak buruk bagi
korban dan pelakunya. Dampak bagi korban seperti kepercayaan diri yang rendah,
tidak dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik, mudah marah, dan
cenderung menjadi pemurung.
Namun dilapangan ditemukan bahwa tidak semua siswa menanggapi bullying
verbal dengan serius, bahkan siswa cenderung cuek dan menganggap bullying
verbal sebagai hal yang lumrah. Bullying verbal sering kali dianggap tidak terlalu
berbahaya, selain karena dampaknya tidak terlihat secara fisik, orang-orang yang
melakukannyapun seringkali tidak menyadari telah melakukan bullying verbal.
Padahal, bullying verbal dapat menimbulkan dampak buruk yang cukup besar
terhadap kesehatan mental dan perkembangan psikologis seseorang. Bullying verbal
bahkan memiliki dampak yang lebih besar dan buruk dibandingkan dengan bullying
fisik, karena sifatnya yang tersembunyi dan melukai aspek mental dan psikologis
seseorang, yang akan lebih sulit disembuhkan dibanding luka fisik.
Mirisnya orang yang mengalami bullying verbal seringkali tidak menyadari bahwa
dirinya telah menjadi korban, sehingga dia (korban) merasa bahwa semua hal-hal
buruk yang dikatakan terhadap dirinya adalah benar. Korban bullying juga mulai
percaya bahwa semua hal buruk yang terjadi kepadanya adalah sepenuhnya karena
kesalahannya. Ini membuat mereka (korban bullying) tumbuh menjadi pribadi
dengan kepercayaan diri dan konsep diri yang rendah.
•Menurut Sukmadinata (2009: 164),
“lingkungan sekolah memegang perananan penting bagi perkembangan belajar para
siswanya”. Sedangkan menurut Sabdulloh (2010: 196) bahwa: Sekolah merupakan
lingkungan pendidikan yang secara sengaja dirancang dan dilaksanakan dengan
aturan- aturan yang ketat seperti harus berjenjang dan berkesinambungan, sehingga
disebut pendidikan formal dan sekolah adalah lembaga khusus, suatu wahana, suatu
tempat untuk menyelenggarakan pendidikan, yang di dalamnya terdapat suatu
proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Sejalan dengan pendapat Dalyono (2009: 59) bahwa, Keadaan sekolah tempat turut
mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar. kualitas guru, metode mengajarnya,
kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak, keadaan fasilitas atau
perlengkapan di sekolah, pelaksanaan tata tertib sekolah, dan sebagainya, semua ini
turut mempengaruhi keberhasilan anak. Sekolah merupakan lingkungan pendidikan
yang secara sengaja dirancang dan dilaksanakan dengan aturan-aturan yang ketat
seperti harus berjenjang dan berkesinambungan sehingga disebut pendidikan
formal. Selain itu sekolah menyelenggarakan proses pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan. Lingkungan sekolah juga menyangkut lingkungan akademis,
yaitu sarana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, berbagai kegiatan
kurikuler, dan lain sebagainya (Syaodih, 2004: 164).
•Yang dimaksud dengan bullying verbal yaitu bullying yang dilakukan secara lisan
atau dengan menggunakan kata-kata yang menyebabkan korbannya terluka atau
sakit hati. Seperti : celaan, fitnah, ancaman, atau penggunaan kata-kata yang tidak
baik guna menyakiti orang lain.
Beberapa contoh kasus bullying verbal yang peneliti temukan dilapangan antara lain
:
1) guru yang memarahi siswa didepan kelas sehingga membuat siswa tersebut
merasa malu dan tidak percaya diri,
2) siswa mengejek kekurangan fisik atau kelemahan siswa lain,
3) siswa memberi julukan atau sebutan nama yang tidak baik kepada guru dan
siswa lain.
•Bullying secara verbal sangat gampang ditemui dan terjadi dimana- mana. Seperti
tindakan memaki, mengejek, menggosip, membodohkan dan mengkerdilkan. Baik
itu dalam konteks disengaja ataupun tidak. Baik dilakukan dalam konteks bercanda
atau pun serius.Bullying verbal bisa terjadi baik di lingkungan keluarga, pergaulan,
bahkan yang lebih parah adalah di lingkungan pendidikan. Verbal abuse, terjadi
ketika orangtua, pengasuh atau lingkungan disekitarnya sering melontarkan kata-
kata yang merendahkan, memojokkan, meremehkan, atau mencap anak dengan
label negatif, yang membuat semua hinaan tersebut mengkristal dalam diri anak.
Setelah dampak tersebut mengkristal dalam diri sang anak, maka rasa percaya diri
yang dimiliki sang anak akan relatif rendah dan juga akan mempengaruhi aspek-
aspek kehidupannya baik kehidupan pribadi ataupun kehidupan sosialnya kelak.
Terkadang, orangtua tanpa sadar juga sering melakukan bullying verbal kepada
anaknya. Seperti mengejek atau memaki anak dengan mengatakan kalimat yang
membuat anak drop. Hubungan bullying verbal dengan perilaku siswa adalah
bullying meruapakan stimulus dan respon perilakunya merupakan sikap siswa
setelah mendapat bullying, korban bullying yang peneliti temui dilapangan seperti
siswa yang enggan pergi ke sekolah karena merasa takut dan trauma, siswa yang
dendam kepada gurunya karena guru tersebut pernah membentaknya dihadapan
teman-temannya, bahkan ada siswa yang berani berkata kasar kepada gurunya.
Ciri-ciri yang harus diperhatikan di antaranya:
1. Enggan untuk pergi sekolah
2. Sering sakit secara tiba-tiba
3. Mengalami penurunan nilai
4. Barang yang dimiliki hilang atau rusak
5. Mimpi buruk atau bahkan sulit untuk terlelap
6. Rasa amarah dan benci semakin mudah meluap dan meningkat
7. Sulit untuk berteman dengan teman baru
8. Memiliki tanda fisik, seperti memar atau luka
9. Kesulitan Untuk Tidur
10. Mengompol di tempat tidur
11. Mengeluh sakit kepala atau perut
12. Tidak nafsu makan atau muntah muntah
13. Menangis sebelum atau sesudah kesekolah
14. Sering mengeluh sakit sebelum pergi kesekolah
15. Perubahan drastis pada sikap , perilaku , cara berpakaian , atau kebiasaannya
Jika menemukan ciri-ciri seperti di atas, langkah yang harus dilakukan orangtua di
antaranya:
1. Berbicara dengan orangtua si anak yang melakukan bully terhadap anak Anda
2. Mengingatkan sekolah tentang masalah seperti ini
3. Datangi konseling profesional untuk ikut membantu mengatasi masalah ini

Beberapa hal yang dapat dicermati dalam kasus Bullying adalah :

a. Anak menjadi Korban


Tanda-tandanya :
1. Munculnya keluhan atau perubahan perilaku atau emosi anak akibat stres yang ia
hadapi karena mengalami perilaku bullying (anak sebagai korban).
2. Laporan dari guru atau teman atau pengasuh anak mengenai tindakan bullying
yang terjadi pada anak.

b. Anak sebagai Pelaku


Tanda-tandanya :
1. Anak bersikap agresif, terutama pada mereka yang lebih muda usianya, atau lebih
kecil atau mereka yang tidak berdaya (binatang, tanaman, mainan).
2. Anak tidak menampilkan emosi negatifnya pada orang yang lebih tua/ lebih besar
badannya/ lebih berkuasa, namun terlihat anak sebenarnya memiliki perasaan tidak
senang.
3. Sesekali anak bersikap agresif yang berbeda ketika bersama anda.
4. Melakukan tindakan agresif yang berbeda ketika tidak bersama anda (diketahui
dari laporan guru, pengasuh, atau teman-teman).
5. Ada laporan dari guru/ pengasuh/ teman-temannya bahwa anak melakukan
tindakan agresif pada mereka yang lebih lemah atau tidak berdaya (no. 1).
6. Anak yang pernah mengalami bully mungkin menjadi pelaku bully.

Karakter-karakter tertentu pada anak yang biasanya menjadi korban bullying,


misalnya:
• Sulit berteman
• Pemalu
• Memiliki keluarga yang terlalu melindungi
• Dari suku tertentu
• Cacat atau keterbatasan lainnya
• Berkebutuhan khusus
• Sombong, dll.
Anak yang menjadi korban biasanya merasa malu, takut, tidak nyaman. Sehingga
untuk membuat ia kembali mampu menjalani kegiatannya sehari-hari seperti biasa,
ia harus dibekali dengan “tools” yang membuat ia yakin bahwa ia akan
mendapatkan pertolongan. Ia harus tahu dan percaya bahwa guru kelas dan
temannya akan membantu, misalnya. Atau ia kemudian mendapatkan teman selama
jam istirahat atau kegiatan di luar kelas. Rasa percaya dirinya kembali dipupuk
dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang menjadi kelebihan dan potensinya.
Yang terakhir ini biasanya berjakan dengan sendirinya jika rasa aman sudah
kembali dimiliki.
Bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya, takut, terintimidasi, oleh
tindakan seseorang baik secara verbal, fisik atau mental. Ia takut bila perilaku
tersebut akan terjadi lagi, dan ia merasa tak berdaya mencegahnya.
Perilaku bullying di institusi pendidikan bisa terjadi oleh siswa kepada siswa, siswa
kepada guru, guru kepada siswa, guru kepada guru, orang tua siswa kepada guru
atau sebaliknya, dan antarcivitas akademika di institusi pendidikan/sekolah.

*Faktor Korban Dijadikan Target Pembulllyan

Bullying dapat terjadi dimana saja, di perkotaan, pedesaan, sekolah negeri, sekolah
swasta, di waktu sekolah maupun di luar waktu sekolah. Bullying terjadi karena
interaksi dari berbagai faktor yang dapat berasal dari pelaku, korban, dan
lingkungan dimana bullying tersebut terjadi.
Pada umumnya, anak-anak korban bullying memiliki salah satu atau beberapa faktor
resiko berikut:
1) Dianggap “berbeda”, misalnya memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok
seperti lebih kurus, gemuk, tinggi, atau pendek dibandingkan dengan yang
lain, berbeda dalam status ekonomi, memiliki hobi yang tidak lazim, atau
menjadi siswa/siswi baru.
2) Dianggap lemah atau tidak dapat membela dirinya.
3) Memiliki rasa percaya diri yang rendah. 4) Kurang populer dibandingkan
dengan yang lain, tidak memiliki banyak teman.
Alasan seseorang melakukan bullying adalah karena korban mempunyai persepsi
bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu
diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan,
marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan,
mendapatkan kepuasan (menurut korban laki – laki ), dan iri hati (menurut korban
perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban
bullying karena penampilan yang menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai,
perilaku dianggap tidak sopan, dan tradisi.
Unsur – unsur terjadinya bullying
1. Perilaku yang menyebabkan seseorang/ siswa/ guru terhina, terintimidasi, takut,
terisolasi
2. Perilaku yang dilakukan berulang-ulang baik verbal, fisik, dan psikis, yang
menimbulkan powerless
3. Adanya aktor yang superior dan inferior
4. Perilaku yang dilakukan berdampak negative

Dampak perilaku bullying terhadap kesehatan mental anak.


Berikut ini 4 aspek penting pada perkembangan anak yang dipengaruhi dampak
buruk perundungan:
1. Aspek Fisik Motorik
Pada korban perundungan dapat mengalami cedera fisik yang dapat mengganggu
perkembangan fisik motoriknya. Hal ini disebabkan oleh tindakan kekerasan yang
dialami korban. Seperti luka memar karena bekas cubitan atau kekerasan fisik
lainnya. Kerap kali korban bullying menutupi jika mengalami tindak kekerasan
sehingga tidak ada penanganan yang serius terhadap cedera yang korban alamai.
Halinilah yang membuat mayoritas korban bullying memiliki bekas luka yang
permanen (tidak dapat hilang)

2. Aspek Kognitif
Aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental
yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi
yaitu evaluasi.
Perasaan takut dan perasaan tertekan yang ditimbulkan oleh pelaku perundungan
kepada korban, dapat menyebabkan anak tidak berani mengungkapkan ide dan
gagasan sehingga mengganggu perkembangan kognitifnya. Selain itu,
ketidakpercayaan diri ini di masa mendatang dapat menghambat anak dalam
memaksimalkan potensi kognitifnya.
3. Aspek Sosial Emosional
Perkembangan sosial emosional anak usia dini merupakan proses belajar pada diri
anak tentang berinteraksi dengan orang disekitarnya yang sesuai dengan aturan
sosial dan anak lebih mampu dalam mengandalikan perasaannya yang sesuai
dengan kemampuannya dalam mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaannya
yang diperoleh secara bertahap dan melalui proses penguatan dan modeling.
Pelaku perundungan berpotensi mengalami gangguan perkembangan sosial
emosional. Seperti sikap arogan, pemarah dan suka melanggar aturan. Korban
perundungan berpotensi mengalami gangguan kecemasan dan depresi yang
berpengaruh pada perkembangan sosial seperti murung dan emosi tidak terkontrol.
4. Aspek Bahasa
Perundungan dalam bentuk verbal kerap menggunakan bahasa kasar dan
merendahkan sesama. Hal ini dapat berakibat pada perkembangan bahasa anak
dalam jangka panjang. Seperti terbiasa berkata kasar dan mengejek sesama.
Dampak bullying terhadap kesehatan mental anak berpengaruh pada semangat
korban yang menurun, korban juga menjadi sakit hati. Selain itu juga rasa bersalah
terus menyelimuti korban yang mengakibatkan korban lebih sering menyendiri,
kepercayaan diri menurun, semangat hidup berkurang. Hal ini membuat korban
menanamkan rasa dendam dan berniat melakukan apa yang mereka alami kepada
orang lain.
Oleh karena itu pencegahan perilaku bullying dapat dilakukan dengan dorongan dan
edukasi dari berbagai pihak. Konseling dalam lingkup sekolah dapat membantu
mengatasi berbagai masalah, pendidikan agama dan moral juga dapat dilakukan
oleh orang tua dan guru demi membentuk kepribadian anak yang baik serta
tangguh. Pemberian penyuluhan mengenai kesehatan mental dapat mencegah dan
mengurangi timbulnya gangguan mental, bahkan dapat menyembuhkan penyakit
mental tersebut. Maka dari itu, selain pencegahan pembullyan yang marak terjadi,
perlu adanya pemberian pelajaran terkait cara menjaga kesehatan mental.

Dampak bulliying terhadap korban, pelaku


• Dampak bullying terhadap korban
Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud Ristek serius dalam pencegahan bulliying
di dunia pendidikan karena membawa dampak serius bagi para korbannya. Dampak
serius yang dirasakan korban bullying seperti:
a. Kepercayaan diri (self-esteem) yang merosot.
b. Malu, trauma, merasa sendiri, serba salah.
c. Takut ke sekolah.
d. Korban mengasingkan diri dari sekolah.
e. Menderita ketakutan sosial.
f. Timbul keinginan untuk bunuh diri dan mengalami gangguan jiwa.
g. Muncul perasaan yang tidak biasa.
h. Depresi.
i. Tidak percaya pada orang lain.
j. Kesakitan fisik maupun psikologis.

*Dampak Psikologis Bullying pada Korban Terutama pada anak

Dampak psikologi daripada bullying dapat berkembang menjadi serangan panik,


depresi, PTSD (Post Traumatic Syndrome Disorder), serta sindrom kecemasan.
Pada umumnya, dampak psikologis korban bullying tersebut memiliki gejala-gejala
awal sebagai berikut: Perasaan sedih dan kesepian yang berkepanjangan. Sulit tidur.
Kehilangan selera makan. Kehilangan minat terhadap hal-hal yang tadinya sangat
disukai. Trauma psikologis. Hal-hal ini akan terus terasa dan semakin parah hingga
dewasa jika tidak mendapat penanganan segera. Dilansir dari laman Forbes, korban
bullying anak-anak sangat berpotensi mengalami depresi, dorongan bunuh diri, serta
agorafobia. Agorafobia merupakan ketakutan berlebihan terhadap perasaan terjebak
di tempat umum. Rasa tidak bisa melarikan diri dan panik karena khawatir tidak
mendapatkan pertolongan. Dampak psikologi ini juga sering terlihat pada kesehatan
korban. Hal ini disebut dengan gangguan psikosomatis, misalnya anak akan
terserang sakit kepala hebat atau mual-mual setiap kali akan pergi ke sekolah.
Korban bullying rentan mengalami masalah pada kesehatan fisik maupun mental,
seperti:
# Mengalami masalah mental. Bullying pada anak bisa memicu perasaan rendah
diri, depresi, cemas, serta kesulitan tidur dengan nyenyak. Kondisi ini juga
menyebabkan Si Kecil memiliki keinginan untuk menyakiti diri sendiri.
# Memicu masalah kesehatan, sebab dampak bullying bisa membuat anak atau
remaja berisiko merusak atau menyakiti diri sendiri, misalnya dengan mengonsumsi
makanan tidak sehat atau hal lain yang bisa berdampak pada kesehatan tubuh.
# Merasa takut dan malas untuk berangkat ke sekolah. Anak yang mengalami
bullying juga lebih mungkin berbohong untuk menutupi perilaku yang diterimanya.
# Mengalami penurunan prestasi akademik. Hal ini bisa terjadi akibat Si Kecil tidak
memiliki keinginan lagi untuk belajar atau merasa kesulitan untuk fokus dalam
menerima pelajaran.
# Berpikiran untuk membalas dendam. Ini adalah dampak bullying yang paling
berbahaya. Sebab, anak mungkin berpikiran untuk melakukan kekerasan pada orang
lain sebagai upaya balas dendam atas perundungan yang dialami.

*Hubungan Tindak Bullying Dengan Pembentukan Mental Korban

Bullying biasanya dilakukan dengan alasan pembentukan mental si yunior. Tetapi,


bullying biasanya terjadi atas dasar ‘balas dendam’ si senior karena mereka juga
pernah menjadi korban bullying senior sebelum mereka. Akibat dari perilaku
tersebut banyak siswa yang merasa terkucil, sehingga ia selalu merasa gelisah
ketika bertemu dengan orang lain. bullying tidak juga hanya dilakukan dengan
kekerasan, melainkan bisa juga dilakukan dengan mengejek, memaki, melanggar
bahasa, di hakimi oleh pengurus pondok pesantren dan menggosipi orang lain. Dan
beberapa korban bullying memiliki karakter yang berbeda dengan yang lainnya,
seperti selalu cemas, tidak percaya diri, dan memiliki kemampuan bersosialisasi
yang kurang. Fenomena kekerasan bullying bisa juga diartikan sebagai perbuatan
atau perkataan seseorang kepada orang lain yang dapat menimbulkan rasa takut,
sakit dan tertekan baik secara fisik maupun mental yang telah direncanakan oleh
pihak yang lebih kuat dan berkuasa terhadap pihak yang dianggap lebih lemah
darinya.
• Dampak Psikologis Bullying pada Pelaku
Pelaku juga tidak akan lepas dari dampak psikologi bullying hingga dewasa.
Mereka yang sering melakukan perundungan saat masa anak-anak dan remaja lebih
rentan terjebak di dalam tindak kekerasan saat dewasa. Termasuk tindak kriminal,
penyalahgunaan narkoba, memiliki sifat abusive, dan destruktif kepada pasangan
dan anak-anaknya kelak.

• Dampak Psikologis Bullying pada Saksi


Anak-anak atau seseorang yang menjadi saksi perundungan akan merasakan
dampak psikologi berupa rasa tidak percaya diri, kecanduan alkohol, dan narkoba
saat dewasa. Mereka juga cenderung mengalami kegagalan di sekolah, sering
membolos dan dikejar rasa bersalah yang menyiksa. Tidak heran bahwa sebagian
saksi perundungan pun bisa diserang depresi dan kecenderungan sindrom
kecemasan di masa depan.

*Bullying Dilingkungan Pendidikan Agama (Pondok Pesantren)


Tradisi bullying agar sering terjadi di suatu lembaga pendidikan, baik formal,
maupun informal, tidak terkecuali di pondok pesantren, seperti yang kita ketahui
bahwasannya pondok pesantren memiliki peraturan terhadap santrinya, yaitu santri
dapat langsung menginap di asrama pondok yang telah disediakan oleh pihak
pondok pesantren. Terjadinya bullying di pondok pesantren ini menjadi hal yang
menarik diteliti karena pondok pesantren sebagai tempat pendidikan agama namun
demikian bullying menjadi hal biasa yang sering dilakukan para santri senior
kepada santri yuniornya. Pelaku bullying biasanya memiliki karakter merasa paling
hebat dan overactive. Bagi seseorang yang tak kuat lagi menagalami bullying,
mereka akan mengalami gangguan psikologis (stress).
Pelaku bullying biasanya memiliki karakter merasa paling hebat dan overactive.
Bagi seseorang yang tak kuat lagi megalami bullying, mereka akan mengalami
gangguan psikologis (stress). Seperti hasil wawancara yang di lakukan di suatu
pondok pesantren seorang senior memukul yuniornya dikarenakan ia susah
dibangunkan untuk menunaikan ibadah sholat Subuh, karena menurut korban
seniornya sudah keterlaluan ia langsung memanggil teman-temannya yang berada di
luar pondok pesantren untuk membalas perbuatan seniornya, ketika itu seniornya
mendengar kalau si korban memanggil teman-temannya yang berada di luar pondok
pesantren seniornya langsung juga memanggil teman-temannya yang berada di luar
pondok pesantren akhirnya terjadilah tawuran di depan pondok pesantren.
Peristiwa bullying yang terjadi di lingkungan pondok pesantren menjadi fenomena
yang menarik karena sebagai lembaga pendidikan keislaman yang syarat dengan
nilai agama, bulying masih sering terjadi baik berupa fisik maupun non fisik.

*Perilaku Bullying yang terjadi di Lingkungan Pendidikan Playgroup (PAUD)

Anak usia dini disebut sebagai masa the golden age. Kondisi ini bagi guru dan
orang tua harus menjadi the golden ways untuk mewujudkan citacita pendidikan
nasional. Anak usia dini adalah investasi masa depan bagi keluarga dan bangsa.
Nantinya, anak usia dini akan menjadi orang-orang yang akan membangun bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang maju dan tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain.
Dengan kata lain, masa dengan bangsa sangat ditentukan oleh pendidikan yang
diberikan kepada anak usia dini. Di Indonesia, pendidikan yang diperuntukkan
untuk anak usia 0-6 tahun ini dikenal sebagai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
PAUD juga merupakan proses yang sangat penting serta menentukan kondisi
perkembangan dan keberhasilanya di masa yang akan datang. PAUD berfungsi
untuk mengembangkan berbagai potensi anak secara optimal, sesuai dengan
kemampuan bawaannya.
umumnya perilaku bullying yang sering terjadi pada anak usia dini adalah
mengejek, suka memukul, suka berkata kasar terhadap teman, tidak menaati
peraturan kelas, tidak sabar menunggu giliran, merusak mainan milik temannya,
mencubit, menjulurkan lidah, memberi panggilan nama dan mendiamkan teman
yang lain. Munculnya perilaku ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor sehingga
mengintervensi pelaku untuk melakukan perilaku bullying pada korbannya.
Sebenarnya anak-anak tidak diajarkan untuk berperilaku bullying. Tingkah laku
itupun juga tidak diajarkan secara langsung kepada anak-anak.

Sanksi yang diberikan terhadap pelaku bullying

Munculnya masalah bullying pada institusi pendidikan formal (sekolah) ini


bertentangan dengan isi dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, Pasal 1 yang berbunyi: anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan serta
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin, melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam
bulan dan atau denda paling banyak Rp 72.000.000.
•Dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 80 ayat (1), (2), (3)
Tentang Perlindungan Anak:
1. Pasal 80 ayat (1)
“Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 76 C,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)”
2. Pasal 80 ayat (2)
“Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”
3. Pasal 80 ayat (3)
“Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”
4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

•Kebijakan bagi Perlindungan Anak (Kebijakan dan Sanksi):


1. Undang-Undang No. 35 tahun 2014 yang merupakan Perubahan atas Undang-
Undang No.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak Pasal 76 C
yang menyebutkan“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”.
2. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang merupakan Perubahan atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 9 Ayat (1a) yang
menyebutkan : Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan
dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
pendidik, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.
3. Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan Penanggulangan
Tindak kekerasan di Lingkungan Satuan pendidikan.
Untuk pelaku bullying verbal dapat ancaman pidana sesuai Pasal 80 yang
menyatakan setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud.

Penanganan yang bisa dilakukan oleh guru:


1). Usahakan mendapat kejelasan mengenai apa yang terjadi. Tekankan bahwa
kejadian tersebut bukan kesalahannya.
2). Bantu anak mengatasi ketidaknyamanan yang ia rasakan, jelaskan apa yang
terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Pastikan anda menerangkan dalam bahasa
sederhana dan mudah dimengerti anak. JANGAN PERNAH MENYALAHKAN
ANAK atas tindakan bullying yang ia alami.
3). Mintalah bantuan pihak ketiga (guru atau ahli profesional) untuk membantu
mengembalikan anak ke kondisi normal, jika dirasakan perlu. Untuk itu bukalah
mata dan hati Anda sebagai orang tua. Jangan tabu untuk mendengarkan masukan
pihak lain.
4). Amati perilaku dan emosi anak anda, bahkan ketika kejadian bully yang ia
alami sudah lama berlalu (ingat bahwa biasanya korban menyimpan dendam dan
potensial menjadi pelaku di kemudian waktu). Bekerja samalah dengan pihak
sekolah (guru). Mintalah mereka membantu dan mengamati bila ada perubahan
emosi atau fisik anak anda. Waspadai perbedaan ekspresi agresi yang berbeda yang
ditunjukkan anak anda di rumah dan di sekolah (ada atau tidak ada orang tua /
guru / pengasuh).
5). Binalah kedekatan dengan teman-teman anak anda. Cermati cerita mereka
tentang anak anda. Waspadai perubahan atau perilaku yang tidak biasa.
6). Minta bantuan pihak ke tiga (guru atau ahli profesional) untuk menangani
pelaku.

Penanganan buat anak yang menjadi pelaku Bullying.


1). Segera ajak anak bicara mengenai apa yang ia lakukan. Jelaskan bahwa
tindakannya merugikan diri dan orang lain. Upayakan bantuan dari tenaga ahlinya
agar masalah tertangani dengan baik dan selesai dengan tuntas.
2). Cari penyebab anak melakukan hal tersebut. Penyebab menjadi penentu
penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan ditangani
secara berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam karena pernah menjadi
korban.Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh agresifitasnya yang berbeda.
3). Posisikan diri untuk menolong anak dan bukan menghakimi anak.

Upaya mencegah bullying di lingkungan sekolah


Bullying dapat terjadi jika terdapat celah untuk melakukan tindakan bullying.
Namun bila kita menutup celah tersebut atau mengurangi celah tersebut, maka
perilaku bullying tidak akan terjadi atau seminimal mungkin frekuensi terjadinya di
lingkungan sekolah akan menurun. Hanya dengan memberikan perhatian kecil
kepada pelajar atas setiap perilaku yang mereka lakukan atau perhatian yang mereka
harapkan dari kita, maka celah-celah tersebut dapat berkurang sedikit demi sedikit.
1) Sosialisasi pemahaman perundungan di lingkungan sekolah.
2) Sensitif terhadap situasi dan kebutuhan korban.
3) Membuat kebijakan terkait aksi perundungan.
4) Memastikan jalur komunikasi yang terbuka untuk pelaporan kasus.
5) Mengadakan kegiatan anti perundungan.

Cara mencegah bullying disekolah bisa dilakukan oleh siswa


1) Mengembangkan budaya relasi atau pertemanan yang positif.
2) Ikut serta membuat dan menegakkan aturan sekolah terkait pencegahan bullying.
3) Memahami dan menerima perbedaan tiap individu di lingkungan sebaya serta
saling menerima kelebihan & kekurangan teman.
4) Saling mendukung satu sama lain. Merangkul teman yang menjadi korban
bullying.
5) Menjaga sikap dan prilaku terhadap sesama teman.
6) Siswa diharapkan dapat memikirkan dampak dari apa yang mereka ucapkan dan
bicarakan.
7) Sekolah harus pro aktif mengadakan pengertian tentang dampak negatif bullying.
8) Pemberian sanksi yang tegas.
9) Memberikan dukungan kepada para korban bullying.
10) Saling mengingatkan sesama teman untuk tidak melakukan bullying.

Namun, pencegahan bullying tidak bisa terlaksana, jika dilakukan oleh satu pihak
saja. Butuh sinergi antarpihak untuk mencegah tindakan ini terulang lagi. Upaya
pencegahan bullying yang bisa dilakukan masyarakat antara lain:
# Mengembangkan perilaku peduli dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak
dan semua anak adalah anak kita yang harus dilindungi.
# Bekerja sama dengan satuan pendidikan untuk bersama-sama mengembangkan
budaya anti-kekerasan.
# Bersama-sama dengan satuan pendidikan melakukan pengawasan terhadap
kemungkinan munculnya praktik-praktik bullying di lingkungan sekitar satuan
pendidikan.
# Bersama dengan satuan pendidikan memberikan bantuan pada siswa yang
menjadi korban dengan melibatkan stakeholder terkait

Upaya pencegahan bullying oleh satuan pendidikan


1. Adanya layanan pengaduan kekerasan/ media bagi murid untuk melaporkan
bullying secara aman dan terjaga kerahasiannya.
2. Bekerjasama dan berkomunikasi aktif antara siswa, orang tua, dan guru (3 pilar
SRA)
3. Kebijakan anti bullying yang dibuat bersama dengan siswa
4. Memberikan bantuan bagi siswa yang menjadi korban
5. Pendidik dan tenaga kependidikan memberi keteladanan dengan berperilaku
positif dan tanpa kekerasan
6. Program anti bullying di satuan pendidikan melibatkan siswa, guru, orang tua,
alumni, yang dan masyarakat/lingkungan sekitar satuan pendidikan
7. Memastikan sarpras di satuan pendidikan tidak mendorong anak berperilaku
bullying
8. Memberikan edukasi dan sosialisasi kepada para siswa tentang bahaya
melakukan tindak bullying.

Upaya pencegahan bullying dengan cara proses akademis yaitu,


1) pendekatan secara pribadi/individu,
2) perdamaian antara anak didik yang terlibat bullying,
3) menggunakan bantuan guru bimbingan konseling sebagai mediator anak didik
yang terlibat bullying,
4) melibatkan orang tua dalam proses perdamaian antar anak didik yang terlibat
bullying,
5) pemberian sanksi akademis kepada pelaku bullying.
Upaya penanggulangan bullying dapat menggunakan kebijakan penal (hukum
pidana) dan kebijakan non penal (di luar hukum pidana).
Kebijakan penal dalam menanggulangan tindak pidana khususnya kejahatan
bullying dapat menggunakan peraturan perundang-undangan yang ada seperti Pasal
170 ayat (1), (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana22, Pasal 351 sampai Pasal
355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana23, Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002.
Upaya penal ini dapat dilaksanakan apabila kasus bullying yang terjadi di sekolah
masuk ke dalam ranah hukum. Namun tidak semua kasus bullying diselesaikan
melalui sarana penal (hukum pidana), sanksi akademik atau proses akademik juga
digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi bullying ketika bullying sudah
terjadi di lingkungan sekolah.

Upaya non penal,


(1) memberikan informasi kepada anak didik tentang bullying,
(2) upaya pengendalian emosi anak didik,
(3) pemberian layanan konseling bagi para anak didik di sekolah,
(4) adanya sosialisasi, pemberian penyuluhan tentang hukum, norma agama,
penanaman ahklak yang baik oleh pihak terkait seperti guru, ustad/pembimbing
rohani, polisi, Departemen Hukum dan HAM serta LSM,
(5) menyiapkan anak didik yang bebas dari aksi bullying, baik sebagai pelaku
maupun sebagai korban bullying, menumbuhkan empati anak didik.

Upaya Pemerintah Indonesia Mencegah Perundungan di Institusi Pendidikan


Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa Indonesia tidak memiliki
program yang secara khusus dan berskala nasional seperti yang dilakukan
Pemerintah Norwegia, akan tetapi langkah kebijakan yang ditempuh dengan
menerbitkan peraturan perundangundangan mengenai pencegahan kekerasan dan
perundungan, serta perubahan perilaku merupakan salah satu komponennya.
1) Pendekatan Norma Hukum
Upaya pencegahan perundungan di institusi pendidikan telah dilakukan oleh
pemerintah Indonesia melalui peraturan perundang-undangan, seperti: Undang-
Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan, dan
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2016
(Permendikbud 18 Tahun 2016) tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi
Siswa Baru yang menggantikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Siswa Baru.
Melalui UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak 2014).
Penambahan penting dalam undang-undang ini adalah ketentuan tentang kekerasan
dan diskriminasi.
Pertimbangan diaturnya masalah kekerasan karena “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945”.
Ketentuan ini menegaskan komitmen pemerintah untuk melindungi anak Indonesia
dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di berbagai ranah, baik
domestik maupun publik.
Menurut Pasal 1 UU Nomor 35 Tahun 2014, yang dimaksud dengan kekerasan
adalah “Setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran, termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemukulan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum.” Selain itu, perlindungan terhadap hak-hak anak di sekolah telah
ditambahkan di Pasal 9 dan Pasal 25 UU Perlindungan Anak 2014. Pasal 9 ayat (1a)
setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan
seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama
peserta didik, dan/atau pihak lain. Hak anak ini kembali dipertegas dengan adanya
ketentuan yang memberi kewajiban kepada masyarakat, termasuk di sini adalah
para akademisi untuk ikut serta dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak
anak (Pasal 25). Pelaku pelanggaran atas hak-hak anak dapat dipidana penjara dan
pidana denda.
Penambahan ketentuan tentang ‘kekerasan’dan perlindungan hak anak di sekolah
menjadi sangat penting karena selama ini UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak tidak pernah memberi definisi yang jelas tentang kekerasan
terhadap anak, padahal kuantitas dan kualitas kekerasan terhadap anak (dan
dilakukan oleh anak) di sekolah di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
meningkat, sehingga mereka berpotensi menjadi anak-anak yang berhadapan
hukum.
Upaya pemerintah untuk mencegah perundungan dan segala macam bentuk
kekerasan di institusi pendidikan juga telah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang menerbutkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan
Di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbud 82 Tahun 2015).
Pertimbangan dibuatnya Permendikbud tersebut adalah untuk menyelenggarakan
pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi seluruh anak didik.
Selain itu karena tindak kekerasan (termasuk juga perundungan) yang terjadi di
lingkungan satuan pendidikan maupun antar satuan pendidikan, dapat mengarah
kepada suatu tindak kriminal dan menimbulkan trauma bagi peserta didik.
Di tingkat sekolah, peraturan ini seyogyanya dijalankan. salah satunya adalah
dengan membuat peraturan sekolah tentang perundungan. Akan tetapi dalam
kenyataannya tidak semua sekolah memiliki peraturan yang dengan jelas menyebut
perundungan.28 Upaya untuk menginisiasi sebuah model tata tertib yang responsive
anti kekerasan atau perundungan telah dilakukan oleh Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata melalui 10 Sekolah
Menengah Atas di Kota Semarang.Tata tertib ini mengatur mengenai beberapa hal,
yaitu: larangan untuk melakukan tindakan bullying, jenis bullying dan sanksi, alur
pemulihan terhadap korban, alur pelaporan dan penyelesaiannya.30 Model tata
tertib ini diharapkan dapat memutus mata rantai perundungan atau kekerasan
sebagaimana yang telah disampaikan oleh Doni Berdasarkan berbagai penelitian
mengenai pelaksanaan Permendikbud 82 Tahun 2015, diperoleh temuan bahwa
pelaksanaan Permendikbud 82 Tahun 2015 di semua tingkat institusi pendidikan,
khususnya di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, belum
maksimal. Hal tersebut dipengaruhi berbagai faktor, misalnya: tingkat pemahaman
guru dan siswa, perilaku siswa, kesiapan sekolah menyediakan sarana dan
praasarana, serta budaya individualisme dalam kehidupan masyarakat, yang
menyebabkan mereka bersikap acuh tidak acuh apabila terjadi perundungan.
Sanksi terhadap sekolah yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenai sanksi
rekomendasi berupa penurunan level akreditasi, penghentian bantuan dari
pemerintah, hingga rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk melakukan
langkah tegas berupa penggabungan, relokasi, hingga penutupan sekolah dalam hal
terjadinya pelanggaran yang berulang. Pemberian sanksi tersebut tidak
menghapuskan sanksi lain yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan terkait
lainnya, seperti: Undang-Undang Perlindungan Anak dan Permendikbud Nomor 82
Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan pada
Satuan Pendidikan.

2) Pendekatan Perilaku
Program yang digagas Olweus maupun pendapat dari Federasi Guru telah
menekankan pentingnya guru dan siswa belajar menyikapi perilaku kekerasan untuk
mengantisipasinya, Secara konsisten menghindari penghukuman yang menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi yang negatif dan yang merusak apabila terjadi
pelanggaran aturan, dan bertindak sebagai
model yang dapat ditiru.Penelitian terkait dengan perilaku untuk mencegah
perundungan di institusi pendidikan, khususnya di sekolah menengah pertama telah
dilakukan oleh UNICEF bekerjasama dengan pemerintah daerah di Proinsi Jawa
Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan melalui program Roots, yaitu: program
global pencegahan kekerasan di kalangan teman sebaya yang berfokus pada upaya
membangun iklim yang aman di sekolah dengan mengaktivasi peran siswa sebagai
Influencer atau Agents of Change. Program Roots lebih menekankan pada peran
siswa karena penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa siswa memiliki
pengaruh yang besar dalam menghentikkan kekerasan, khususnya dalam konteks
kekerasan antarsiswa di sekolah.
Ada komitmen nasional yang kuat dari pemerintah Indonesia sekarang ini untuk
menghapuskan semua bentuk kekerasan, termasuk perundungan, di sekolah-
sekolah. Upaya ini dilakukan dengan lebih menekankan pada perubahan norma
sosial saat ini yang menerima, mentolerir, dan mengabaikan perundungan yang
terjadi di lingkungan sekolah.
Penelitian yang dilakukan oleh UNICEF di Semarang dan Klaten, serta di Gowa
menunjukkan bahwa perundungan di sekolah terkait erat dengan perilaku dan sikap
para guru di sekolah yang menganggap dan menerapkan hukuman fisik sebagai
sesuatu hal yang perlu dan efektif ketika berhadapan dengan siswa yang terlibat
dalam perundungan. Selanjutnya, sikap guru terhadap siswaperilaku sering kurang
wawasan; sebagai contoh Temuan kualitatif kami menyarankan bahwa guru
dipandang bullying sebagai normatif, dan sesuatu itu tidak bisa diubah. Pelatihan
guru di Indonesia terikat dengan kurikulum inti dan belajar. Disiplin positif
diberikan kepada para guru agar mereka mampu membangun kapasitas diri sebagai
guru untuk menghindari hukuman fisik dengan memberi keterampilan untuk
menerapkan disiplin positif. disiplin positif mengajarkan keterampilan sosial dan
kehidupan yang penting bagi anak-anak dan orang dewasa, termasuk orang tua,
guru dan pendidik lainnya.

Upaya pencegahan bullying oleh keluarga atau orang tua.

Komunikasi di dalam keluarga untuk mencegah perilaku bullying pada anak


meliputi:
(1) Untuk mencegah bullying, perlu diupayakan proses komunikasi keluarga yang
efektif, meliputi rasa hormat, empati, terdengar.
(2) Faktor penyebab bullying adalah pola asuh yang tidak tepat dalam konteks
komunikasi keluarga. Proses komunikasi berlangsung dalam setiap aspek
kehidupan, termasuk dalam lapisan masyarakat dan lapisan keluarga. Ketika
manusia melakukan interaksi satu sama lainnya, kadang-kadang mengarah pada
perilaku bullying. Bullying, khususnya dalam fenomena yang baru lagi, khususnya
dalam sebuah keluarga.
Bullying artinya ancaman, pemaksaan, kekerasan fisik maupun verbal yang
dilakukan berulang-ulang, misalnya kakak kepada adiknya. Disinilah letak keunikan
penelitian ini. Komunikasi keluarga menjadi dasar utama untuk mencegah
terjadinya perilaku bullying bagi anak. Peneliti fenomena melihat ini merupakan
masalah yang unik dan menarik untuk diteliti. Berdasarkan fenomena tersebut,
peneliti tertarik untuk mengangkat “Komunikasi Keluarga dalam Pencegahan
Perilaku Bullying bagi Anak”.
komunikasi keluarga dalam pencegahan perilaku bullying bagi anak meliputi:
(1) Untuk mencegah bullying harus diupayakan proses komunikasi keluarga yang
efektif yaitu: respek, empati, audible.
(2) Adapun faktor penyebab terjadinya perilaku bullying adalah pengasuhan
orangtua yang tidak tepat dalam konteks komunikasi keluarga.

Peran Orang Tua untuk Mencegah Anak Menjadi Korban Bullying


Anak termasuk hal yang penting.
Menurut Karina Istifarisny, S.Psi., M.Psi., berikut ini adalah hal yang dapat
dilakukan orang tua untuk mencegah bullying.
1.Sering diskusi dengan anak. Sering dengarkan pendapatnya. Dari sini kita ajarkan
anak untuk berani bicara jika ada hal yang ingin ia utarakan.
2. Memuji tingkah laku yang diharapkan. Ini juga merupakan hal yang penting agar
anak merasa dirinya berharga.
3. Jangan bandingkan anak. Kita tidak suka kan dibandingkan dengan orang lain,
begitu juga anak. Daripada membandingkan, fokuslah mencari kelebihan diri anak
dan menguatkan hal itu.
4. Ajarkan ia untuk mentertawakan kelemahannya sendiri, kemudian mengubah
diri. Jadi ia lebih berani mengakui kelemahan diri tanpa menghalangi perubahan ke
arah yg lebih baik.
5. Ajarkan anak untuk bersyukur dengan apa yang ia miliki.
6. Dibutuhkan pengaturan emosi yang baik antara anak dan orangtua.
7. Tidak menjadikan anak sebagai bahan lelucon dan megoloknya.
8. Berusaha mendengarkan apabila anak memiliki opini dan berpendapat.
9. Menasehati anak apabila melakukan kesalahan bukan dibiarkan.
10. Membagi pekerjaan rumah dengan rata, tidak berat sebelah.
11. Saling menerima kekurangan sesama anggota keluarga.
12. aktif dan berani bertindak ketika ada anggota keluarga yang melakukan
bullying.

Peran psikologi dan guru BK dalam mengatasi kasus bullying disekolah.


Adapun peran guru BK menurut pasal 1 ayat 6 Undang-undang RI nomor 20 tahun
2003 adalah Guru Bk turut berpartisipasi dalam penyelenggara pendidikan. Bentuk
dan wujud partisipasinya adalah sebagai pengampu ahli pelayanan bimbingan dan
konseling yang memandirikan peserta didik atau konseli melalui penyelenggaraan
pelayanan bimbingandan konseling yang mencakup empat bidang, yaitu bidang
bimbingan pribadi, bidang bimbingan sosial, bidang bimbingan belajar, dan bidang
bimbingan karir yang diprogramkan ke dalam empat komponen pelayanan; yaitu
komponen program pelayanan dasar,komponen program pelayanan peminatan dan
perencanaan individual,komponen pelayanan program responsif,dan komponen
pelayanan program pelayanan dukungan sistem.
Adapun fungsi BK mencakup pemahaman fungsi, pemeliharaan dan
pengembangan, pencegahan, pengentasan, dan advokasi. Yang perlu di garis
bahawahi adalah fungsi pencegahan dan fungsi advokasi. Fungsi pencegahan dalam
hal ini adalah fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu peserta didik atau
konseli agar mampu mencegah atau menghindarkan diri dari berbagai permasalahan
yang dapat menghambat perkembangan diri. Namun, yang dilakukan oleh pihak
sekolah justru tidak memberikan pencegahan dalam kasus ini.

Adapun peran psikologi dalam mengentaskan masalah bullying dalam ranah


pendidikan adalah :
1). bekerja sama dengan guru BK untuk memberikan edukasi terkait dampak
dari perilaku bullying.
2). Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melaporkan kejadian-
kejadian yang mengarah pada perilaku bullying.
3). Memberikan advokasi untuk para peserta didik mengenai masalah yang
dihadapi.
4). Mengubah pandangan terkait ruang BK yang hanya memikirkan anak yang
bermasalah.
5). Guru BK dan Psikologi bekerja sama untuk menyatukan kejadian yang ada
di sekolah, khususnya di kelas dengan melakukan penyebaran melalui
angket yang tertuju pada masalah bullying.

Peran guru dalam menanggulangi kasus bullying


•Guru yang berperan sebagai pendidik tidak hanya bertanggung jawab pada nilai
akademis siswa, akan tetapi guru mempunyai tanggung jawab dalam membentuk
tingkah laku dan karakter siswa. Peran guru terhadap bullying pada siswa di
sekolah dasar yaitu sebagai pembimbing, memberi nasehat dan mengarahkan siswa
sehingga dapat mengatasi khasus yang terjadi mengenai bullying agar dapat
meminimalisir bullying yang terjadi disekolah dasar.
Berikut ialah peran seorang guru dalam mengatasi dan mencegah tindakan bullying,
tindakan guru:
1. Bertindak dengan tegas
Banyak guru di sekolah dasar yang bersikap cuek dan terlalu santai dalam
menanggapi perilaku bullying. Hal ini menyebabkan si pelaku semakin bebas dan
merasa diizinkan dalam melakukan tindakan bullying

2. Buat kampanye atau pamflet anti bullying


Ada baiknya mengadakan acara anti bullying yang mengajak para murid-murid di
sekolah dasar untuk membuat poster atau pamflet anti bullying atau stop bullying
3. Mengadakan seminar anti bullying
Supaya pemikiran murid-murid menjadi luas dan terbuka tentang buruknya perilaku
bullying
4. Mengadakan mentoring anti bullying
Meskipun kesannya membuang-buang waktu, tetapi ini sangat penting bagi murid-
murid dan sangat dibutuhkan anak disekolah. Karena guru adalah orang tua kedua
selain orang tua dirumah
5. Menyediakan waktu untuk saling share atau sharing pengelaman- pengalaman
disekolah.

Berikut ialah cara guru untuk mengatasi kasus bullying di sekolah dasar:
1. Memberikan sanksi atau hukuman kepada murid agar hal tersebut tidak terulang
kembali
2. Segera tangani dengan disiplin
3. Ciptakan kesempatan untuk berbuat baik
4. Tumbuhkan rasa empati
5. Ajari keterampilan berteman
6. Libatkan siswa dalam konstruktif atau kegiatan sekolah yg positif
7. Menghiburnya

Penanganan- penanganan yang bisa dilakukan oleh guru atau wali kelas
1. Usahakan mendapat kejelasan mengenai apa yang telah terjadi
2. Membantu anak mengatasi ketidaknyamanan yang ia rasakan (keresahan)
3. Menjelaskan apa yang terjadi dan mengapa hal itu terjadi dengan bahasa yang
mudah dipahami dan dicerna oleh anak, dan jangan pernah menyalahkan anak atas
tindakan bullying yang ia alami
4. Meminta bantuan pihak ketiga(ahli profesional atau bimbingan konseling) untuk
membantu mengembalikan ke kondisi normal, jika perlu.
5. Membina kedekatan dengan teman-teman anak, cermati cerita anak dan
mewasdai perubahan anak
6. Mengamati perilaku emosi anak, bahkan ketika saat kejadian bullying

Cara Mengatasi Dampak Psikologis Bullying pada Anak yaitu :


Mengajarkan anak sopan santun, empati, dan kasih sayang sejak dini.
Mengajarkan anak untuk membela diri.
Tidak mengabaikan setiap perubahan kecil yang terjadi terhadap anak.
Meningkatkan bonding antar anggota keluarga.
Tidak membiarkan pelaku bullying lepas tanpa tindakan apapun.
Mengunjungi tenaga profesional jika diperlukan.
Cara Mengatasi Bullying
Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi bullying
dibagi menjadi 2,yaitu :
1.Usaha Preventif (pencegahan)
 Usaha tersebut bisa berupa preventif (pencegahan) tetapi juga bisadengan membuat
para pelaku bullying tidak akan melakukan bullying lagi kepada siapapun. Dalam
hal ini peran orang tua sangatlah penting, karenaanak yang biasanya terlibat dalam
masalah seperti ini adalah merekakurang mendapat perhatian dari orang tua mereka
dan berasal darikeluarga yang retak keharmonisannya (broken home). Usaha
preventif yang bisa kita lakukan adalah menanamkan sejak dini kepada anak bahwa
kita semua saling bersaudara dan harus saling mencintai antar sesama,memberikan
nilai-nilai keagamaan kepada anak, sehingga anak
akan berpikir bahwa jika menyakiti orang lain pasti akan mendapatkan dosa.Orang
tua juga perlu mengawasi pergaulan anak, agar anak tidak salahdalam bergaul dan
salah dalam berteman, karena pengaruh teman sebayasangat besar dalam
perkembangan diri seorang individu. Selain itu orangtua juga harus mengawasi apa
yang ditonton oleh anak ketika menontontelevisi, karena tayangan televisi saat ini
justru banyak menampilkansinetron dengan adegan-adegan yang tidak patut untuk
dilihat oleh anak,cenderung menampilkan pergaulan yang bebas, kehidupan yang
serbamewah, bahasa yang dipergunakan pun cenderung alay, dan
terkadang banyak sinetron yang menampilkan adegan adegan anak yang sering
membantah nasihat dari orang tua mereka.
2.Kuratif
Sedangkan untuk mengatasi Tindakan bullying yang sudah terlanjur terjadi adalah
dengan memberikan treatment kepada anak yang bersangkutan, dan bagi anak yang
beresiko menjadi korban bullying , hal-hal yang perlu diperhatikan agar tidak
menjadi korban bullying 
 antara lain:
1.Jangan membawa barang-barang mahal atau uang berlebihan
2.Jangan sendirian, karena pelaku bullying akan melihat anak yangmenyendiri
sebagai mangsa yang potensial
3.Jangan mencari gara-gara dengan pelaku bullying, dan jika terperangkap
dalam situasi bullying maka percaya dirilah. Jangan sampai terlihat lemahdan
ketakutan. Serta harus berani melapor kepada guru atau orangtua
Solusi untuk orang tua atau wali apabila anak menjadi korban intimidasi
(bullying) di sekolah. Beberapa di antaranya:
1. Satukan Persepsi dengan Istri/Suami. Sangat penting bagi suami-istri untuk
satu suara dalam menangani permasalahan yang dihadapi anak-anak di
sekolah. Karena kalau tidak, anak akan bingung, dan justru akan semakin
tertekan. Kesamaan persepsi yang dimaksud meliputi beberapa aspek,
misalnya: apakah orang tua perlu ikut campur, apakah perlu datang ke
sekolah, apakah perlu menemui orang tua pelaku intimidasi, termasuk
apakah perlu lapor ke polisi.
2. Pelajari dan Kenali Karakter Anak Kita. Perlu kita sadari, bahwa satu satu
penyebab terjadinya bullying adalah karena ada anak yang memang punya
karakter yang mudah dijadikan korban. Saya sudah sampaikan tadi, salah
satunya adalah sikap “cepat merasa bersalah”, atau penakut, yang dimiliki
anak saya. Dengan mengenali karakter anak kita, kita akan bisa
mengantisipasi berbagai potensi intimidasi yang menimpa anak kita, atau
setidaknya lebih cepat menemukan solusi (karena kita menjadi lebih siap
secara mental). Sekedar ilustrasi, anak saya yang kedua, sampai saat ini
(sudah SMA) belum pernah menjadi korban intimidasi seperti yang dialami
oleh kakaknya dulu.
3. Jalin Komunikasi dengan Anak. Tujuannya adalah anak akan merasa cukup
nyaman (meskipun tentu saja tetap ada rasa tidak nyaman) bercerita kepada
kita sebagai orang tuanya ketika mengalami intimidasi di sekolah. Ini
menjadi kunci berbagai hal, termasuk untuk memonitor apakah suatu kasus
sudah terpecahkan atau belum. Untuk saya sendiri, anak-anak lebih
banyak/sering bercerita ke ibunya, meskipun kalau sudah sampai pada
tahap pemecahan masalah, saya yang lebih banyak berperan.
4. Jangan Terlalu Cepat Ikut Campur. Idealnya, masalah antar anak-anak bisa
diselesaikan sendiri oleh mereka, termasuk di dalamnya kasus-kasus
bullying. Oleh karena itu, prioritas pertama memupuk keberanian dan rasa
percaya diri pada anak-anak kita (yang menjadi korban intimidasi). Kalau
anak kita punya kekurangan tertentu, terutama kekurangan fisik, perlu kita
tanamkan sebuah kepercayaan bahwa itu merupakan pemberian Tuhan dan
bukan sesuatu yang memalukan. Kedua, jangan terlalu “termakan” oleh
ledekan teman, karena hukum di dunia ledek-meledek adalah “semakin kita
terpengaruh ledekan teman, semakin senang teman yang meledek itu”.
5. Masuklah di Saat yang Tepat. Jangan lupa, bahwa seringkali anak kita
sendiri (yang menjadi korban intimidasi) tidak senang kalau kita (orang
tuanya) turut campur. Situasinya menjadi paradoksal: Anak kita menderita
karena diintimidasi, tapi dia takut akan lebih menderita lagi kalau orang
tuanya turut campur. Karena para pelaku bullying akan mendapat ‘bahan’
tambahan, yaitu mencap korbannya sebagai “anak mami”, cemen, dsb. Oleh
karena itu, kita mesti benar-benar mempertimbangkan saat yang tepat
ketika memutuskan untuk ikut campur menyelesaikan masalah.
Ada beberapa indikator: (1) Kasus tertentu tak kunjung terselesaikan, (2)
Kasus yang sama terjadi berulang-ulang, (3) Kalau kasusnya adalah
pemerasan, melibatkan uang dalam jumlah cukup besar, (4) Ada indikasi
bahwa prestasi belajar anak mulai terganggu.
6. Bicaralah dengan Orang yang Tepat. Jika sudah memutuskan untuk ikut
campur dalam menyelesaikan masalah, pertimbangkan masak-masak
apakah akan langsung berbicara dengan pelaku intimidasi, orang tuanya,
atau gurunya. Seperti yang saya ceritakan di atas, kalau saya lebih suka
untuk berbicara langsung dengan anak saya, pelaku intimidasi, dan
sekaligus guru/wali kelasnya dalam satu kesempatan di sekolah. Saya
cenderung untuk menghindari berbicara dengan orang tua pelaku intimidasi,
karena khawatir masalahnya jadi melebar kemana mana dan situasi menjadi
sangat emosional.
7. Kalau Perlu, Intimidasilah Pelaku Intimidasi. Menjadi pertanyaan memang,
koq melawan intimidasi dengan intimidasi? Idealnya memang jangan
melakukan itu, tapi kalau memang diperlukan, saya tak segan
melakukannya. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah: (1) Untuk anak
saya, saya ingin dia tahu bahwa saya ada di sisinya, sehingga dia tidak
merasa sendirian, (2) Untuk pelaku intimidasi, saya ingin dia tahu bahwa
kalau dia melakukannya terus, dia akan berhadapan dengan saya, (3) Untuk
guru/sekolah, saya ingin mereka tahu bahwa kalau sekolah/guru tidak bisa
menyelesaikan masalah itu, maka saya akan ikut campur
menyelesaikannya, dengan cara saya sendiri. Tentu saja pendekatan yang
agak-agak bergaya ‘preman’ ini sebaiknya menjadi pilihan terakhir
(sebelum lapor ke polisi, mungkin).
8. Jangan Ajari Anak Lari dari Masalah. Dalam beberapa kasus yang
diceritakan teman-teman saya, anak-anak kadang merespon intimidasi yang
dialaminya di sekolah dengan minta pindah sekolah. Kalau dituruti, itu
sama saja dengan lari dari masalah. Jadi, sebisa mungkin jangan dituruti.
Kalau ada masalah di sekolah, masalah itu yang mesti diselesaikan, bukan
dengan ‘lari’ ke sekolah lain. Jangan lupa, bahwa kasus-kasus bullying itu
terjadi hampir di semua sekolah.
9. Buah Simalakama? Makanlah Salah Satunya. Kadang-kadang kita
dihadapkan pada dua situasi yang sama-sama buruk. Seperti kasus yang
saya sampaikan tadi: (1) Anak kita menjadi korban, atau (2) Anak kita tidak
mau menjadi korban dan melawannya dengan kekerasan. Saya tidak tahu
bagaimana “teori”-nya, tapi ketika dihadapkan pada dua pilihan yang sama-
sama buruk itu, saya memilih yang kedua, yaitu membiarkan anak saya
melawan, meskipun dengan cara kekerasan.
10. Jangan Larut dalam Emosi. Ada yang bilang, “orang emosi selalu kalah”.
Jadi, usahakan semaksimal mungkin untuk tidak larut dalam emosi, baik
dalam bentuk “menangisi anak kita” (yang menjadi korban) maupun
melabrak teman anak kita atau orang tuanya. Semua langkah yang kita
ambil harus terkendali oleh akal sehat. Karena kalau tidak, masalah bisa
melebar ke mana-mana. Dan kalau masalahnya sudah selesai, atau dianggap
selesai, jangan diungkit-ungkit terus. Jadikan pelajaran, dan lupakan saja.
Masih banyak persoalan lain yang menunggu.

Pencegahan untuk anak yang menjadi korban bullying:


1). Bekali anak dengan kemampuan untuk membela dirinya sendiri, terutama ketika
tidak ada orang dewasa/ guru/ orang tua yang berada di dekatnya. Ini berguna untuk
pertahanan diri anak dalam segala situasi mengancam atau berbahaya, tidak saja
dalam kasus bullying. Pertahanan diri ini dapat berbentuk fisik dan psikis
• Pertahanan diri Fisik : bela diri, berenang, kemampuan motorik yang baik
(bersepeda, berlari), kesehatan yang prima
• Pertahanan diri Psikis : rasa percaya diri, berani, berakal sehat, kemampuan
analisa sederhana, kemampuan melihat situasi (sederhana), kemampuan
menyelesaikan masalah.
Bekali anak dengan kemampuan menghadapi beragam situasi tidak menyenangkan
yang mungkin ia alami dalam kehidupannya. Untuk itu, selain kemampuan
mempertahankan diri secara psikis seperti yang dijelaskan di no. 1a. Maka yang
diperlukan adalah kemampuan anak untuk bertoleransi terhadap beragam kejadian.
Sesekali membiarkan (namun tetap mendampingi) anak merasakan kekecewaan,
akan melatih toleransi dirinya.
Walau anak sudah diajarkan untuk mempertahankan diri dan dibekali kemampuan
agar tidak menjadi korban tindak kekerasan, tetap beritahukan anak kemana ia dapat
melaporkan atau meminta pertolongan atas tindakan kekerasan yang ia alami
(bukan saja bullying). Terutama tindakan yang tidak dapat ia tangani atau tindakan
yang terus berlangsung walau sudah diupayakan untuk tidak terulang.
Upayakan anak mempunyai kemampuan sosialisasi yang baik dengan sebaya atau
dengan orang yang lebih tua. Dengan banyak berteman, diharapkan anak tidak
terpilih menjadi korban bullying karena :
a. Kemungkinan ia sendiri berteman dengan pelaku, tanpa sadar bahwa temannya
pelaku bullying pada teman lainnya.
b. Kemungkinan pelaku enggan memilih anak sebagai korban karena si anak
memiliki banyak teman yang mungkin sekali akan membela si anak.
c. Sosialisasi yang baik dengan orang yang lebih tua, guru atau pengasuh atau
lainnya, akan memudahkan anak ketika ia mengadukan tindakan kekerasan yang ia
alami.

Aspek perlindungan anak dalam tindak kekerasan bullying


Anak adalah aset masa depan bangsa dan penerus impian generasi bangsa, sehingga
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi dan
berhak atas perlindungan dari diskriminasi serta memiliki hak-hak sipil dan
kebebasan. Dewasa ini terjadi perilaku agresif dan depresi pada anak, berupa
tindakan fisik dan bullying yang terjadi di lingkungan pendidikan mulai dari tingkat
dasar hingga perguruan tinggi.
Bullying sebagai nama baru untuk mengidentifikasi situasi dimana terjadi
penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok,
pada dasarnya bukan fenomena baru. Di sekolah khususnya, sudah tertanam tradisi
atau pameo yang mengatakan: di ujung rotan ada emas. Artinya kekerasan dianggap
sah dalam rangka menegakan pendidikan dan pembelajaran terhadap siswa.
Di lingkungan sekolah bersama teman-temannya, siswa belajar mengembangkan
dirinya, mengembangkan rasa kemasyarakatannya dan juga berlatih menjadi
pemimpin. Keadaan yang demikian membantu si anak dalam menemukan
jatidirinya. Dengan berteman terbentuk rasa solidaritas, menumbuhkan jiwa
bersaing, berprestasi serta mengenali lingkungan. Pertemanan dan persaingan saling
berhimpitan dan memungkinkan muncul tindak kekerasan ketika kepentingan salah
satu diantaranya tidak terpenuhi.
Dari penelitian juga ditemukan bahwa lebih banyak bullying terjadi siswa antar
siswa. Sebaliknya tidak terungkap bullying yang dilakukan oleh guru, karyawan
atau kepala sekolah. Padahal, dalam wawancara bebas dengan beberapa siswa di
berbagai sekolah, mereka menuturkan banyak guru yang terbiasa berkata kasar,
menghukum, memukul dengan lidi serta melempari kapur.
Dari hasil penelitian bullying fisik sebanyak 9 kali; bullying verbal sebanyak 14 kali
dan bullying fisik/mental sebanyak 8 kali. Bullying ini dilakukan secara psikis dan
verbal. Bullying menimbulkan dampak tersendiri bagi siswa. Perlindungan hukum
terhadap siswa di sekolah diatur dalam UU No.32 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.

Aspek Pidana dan Perdata Bullying pada anak


Menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(“UU 35/2014”), kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Berdasarkan pendapat di atas
dihubungkan dengan pengertian kekerasan dalam UU perlindungan Anak, maka
dapat disimpulkan bahwa bullying termasuk dalam bentuk kekerasan terhadap anak.
Mengingat bahwa bullying merupakan tindakan kekerasan terhadap anak, maka
menurut UU Perlindungan anak, bullying adalah tindak pidana. Terhadap pelaku
bullying dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta. Di hal lain, UU
Perlindungan Anak juga memiliki aspek perdata yaitu diberikannya hak kepada
anak korban kekerasan (bullying) untuk menuntut ganti rugi materil/immateril
terhadap pelaku kekerasan. Hal tersebut diatur pada Pasal 71D ayat (1) Jo Pasal 59
ayat (2) huruf i UU 35/2014. Lalu secara umum, dapat pula mengajukan gugatan
perdata untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku kekerasan atas dasar telah
melakukan Perbuatan Melawan Hukum menggunakan Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Berdasar dari perspektif UU
Perlindungan Anak, kekerasan (bullying) terhadap anak memiliki dua aspek baik
pidana maupun perdata.
Sekolah, Keluarga, Pemerintah, dan Penegak hukum memiliki peran apabila
ditinjau dari UU 35/2014. Pada dasarnya, seluruh masyarakat baik Negara,
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua ataupun
Wali, berkewajiban dan bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan dan
menjamin terpenuhinya hak asasi Anak sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya.
Kewajiban masyarakat dilaksanakan melalui kegiatan peran Masyarakat dalam
penyelenggaraan Perlindungan Anak. Pasal 72 UU 35/2014.

Pelaku bullying tidak hanya dilakukan oleh murid di sekolah tetapi dapat juga
dilakukan oleh guru-guru maupun civitas yang berada di lingkungan sekolah. Hal
tersebut akan menimbulkan perasaan dendam, benci, takut, dan tidak percaya diri,
sehingga mengakibatkan anak tidak bisa konsentrasi dalam belajar karena adanya
tekanan dari guru, kakak kelas, maupun anggota geng yang berkuasa (trauma).
Upaya penanggulangan terhadap bullying ini sama dengan penanggulangan tindak
pidana pada umumnya. Secara garis besar dapat dibagi ke dalam penanggulangan
kejahatan secara penal (hukum pidana) dan penanggulangan kejahatan secara non
penal (di luar hukum pidana). Penanggulangan secara penal dilakukan setelah
bullying terjadi dan masuk ke dalam proses hukum di Pengadilan sedangkan upaya
non penal dilakukan apabila bullying belum terjadi. Upaya pencegahan bullying
dengan cara non penal yaitu,
(1) memberikan informasi kepada anak didik tentang bullying,
(2) upaya pengendalian emosi anak didik,
(3) pemberian layanan konseling bagi para anak didik di sekolah,
(4) adanya sosialisasi, pemberian penyuluhan tentang hukum, norma agama,
penanaman ahklak yang baik oleh pihak terkait seperti guru, ustad/pembimbing
rohani, polisi, Departemen Hukum dan HAM serta LSM,
(5) menyiapkan anak didik yang bebas dari aksi bullying, baik sebagai pelaku
maupun sebagai korban bullying, menumbuhkan empati anak didik.
Namun upaya penanggulangan bullying tidak semuanya menggunakan sarana penal
(hukum pidana), proses akademis atau sanksi akademis juga digunakan untuk
menanggulangi bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Upaya penanggulangan
bullying dengan cara proses akademis yaitu,
1) pendekatan secara pribadi/individu,
2) perdamaian antara anak didik yang terlibat bullying,
3) menggunakan bantuan guru bimbingan konseling sebagai mediator anak didik
yang terlibat bullying,
4) melibatkan orang tua dalam proses perdamain antar anak didik yang terlibat
bullying,
5) pemberian sanksi akademis kepada pelaku bullying.

Kebijakan Hukum Pidana dalam penyelesaian keresahan bullying terhadap


anak
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana dalam penyelesaian
tindak pidana perundungan atau bullying, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor Penegak Hukum


Dalam kasus perundungan atau bullying sendiri, penegak hukum diharapkan dapat
menyediakan tim penyelidik yang cukup untuk pembuktian kasus perundungan atau
bullying tersebut serta sumber daya manusia dari aparat penegak hukum itu sendiri
agar tidak menganggap remeh kasus penindasan atau bullying.
2. Faktor Hukum
Berdasarkan hasil wawancara dengan Putri Marleney, P. S.Psi, M.Psi, selaku
Koordinator Rumah Duta Revolusi Mental, bahwa belum adanya peraturan yang
sangat dibutuhkan untuk menegakan hukum pidana tentang tindakan perundungan.
Perundungan atau bullying sendiri sering kali diselesaikan dengan cara non litigasi
atau mendamaikan kedua belah pihak tanpa jalur hukum. Hal tersebut dibenarkan
adanya, namun bila Penindasan atau bullying itu sendiri sudah masuk ketahap
kriminal seperti, penganiayaan, pemerasan dan lain-lain, jalur hukum dapat
ditempuh.
3. Faktor Sarana dan Prasarana
Dalam proses penegakan hukum, sarana dan prasarna hukum mutlak diperlukan
untuk memperlancar dan terciptakan kepastian hukum. Sarana dan prasarana hukum
yang memadai dimaksudkan untuk mengimbangi kemajuan teknologi dan
globalisasi, yang telah mempengaruhi anak-anak untuk merundung temannya
dengan media apapun. Dengan media sosial salah satunya atau biasa kita kenal
cyberbullying.

4. Faktor Masyarakat
Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah dapat menjadi hambatan bagi
proses penegakan hukum. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya rasa enggan dalam
masyarakat untuk ikut berperan dalam mencegah terjadinya perundungan atau
bullying. Peranan orang tua dan keluargalah yang paling berpengaruh untuk
menentukan apakah anak-anak mereka dibesarkan oleh kasih sayang dan perhatian
yang cukup agar anak tidak melakukan tindakan yang buruk seperti menindas
temannya.
5. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia didalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan yang sebenarnya
bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karen didalam
pembahasannya diketengahkan masalah spiritual atau non materiel sebagai suatu
sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan). Berdasarkan hasil wawancara
dengan Putri Marleney, selaku Koordinator Rumah Duta Revolusi Mental, bahwa
yang menjadi faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap pelaku
tindakan penindasan atau bullying di sekolah dasar adalah faktor substansi, faktor
penegak hukum, dan faktor budaya hukum.
Perilaku bullying disekolah dan pengaruhnya terhadap prestasi siswa.
Tindakan bullying yang saat ini banyak ditemukan dilingkungan sekolah sedikit
banyak tentunya akan memiliki pengaruh bagi siswa. Pengaruh yang ditimbulkan
dari kegiatan bullying tidak hanya berlaku kepada siswa yang menjadi korban
bullying tetapi juga akan berlaku kepada teman-temannya. Untuk meraih prestasi
siswa membutuhkan adanya dukungan dari lingkungan sosialnya, tetapi pada siswa
yang menjadi korban bullying lingkungan sosialnya justru menjadi boomerang bagi
dia. Pada korban kasus bullying lingkungan sosialnya justru memojokkan siswa
tersebut sehingga tidak dapat berkembang. Dampak negative yang ditimbulkan
akibat adanya kegiatan bullying sangat besar, maka dari itu pelaku pembullyan
terhadap siswa perlu ditindak secara tegas. Berikut ini dampak bullying di
lingkungan sekolah yang berpengaruh terhadap prestasi siswa, diantaranya :
1. Korban bullying mengalami penurunan nilai pelajaran, dikarenakan adanya
tekanan mental yang ia peroleh.
2. Siswa yang terkena imbas dari pelaku pembullyan di lingkungan sekolah,
cenderung akan menjadi siswa yang tertutup dan jarang bersosialisasi
kepada guru dan siswa lainnya.
3. Siswa yang menjad korban bullying merasa tidak percayadiri dalam segala
aspek, hal ini menyebabkan siswa tidak percaya diri untuk mengikuti
kegiatan akademis ataupun non akademis yang diselenggarakan oleh
sekolah.
4. Turunnya tingkat kepercayaan wali murid dan masyarakat sekitar terhadap
sekolah yang siswanya terlibat kegiatan bullying.
5. Akreditasi sekolah dapat mengalami penurunan.
6. Siswa yang menjadi korban bullying kerap kali kelihalangan motivasi untuk
belajar.
7. Para pelaku bullying yang terdapat dilingkungan sekolah akan memiliki
riwayat perilaku yang buruk, sehingga akan mengalami kesulitan untuk
mendaftar ke jenjang pendidikan selanjutnya.
8. Para siswa yang lain akan tidak focus juga dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran karena adanya kegiatan negative tersebut, yang akan
berdampak pada turunnya nilai rapot.
Dalam kegiatan bullying kedua belah pihak yaitu korban bullying dan pelaku
bullying akan saling mengalami kerugian dalam bidang prestasi. Kerugian yang
ditimbulkan dari kegiatan bullying akan berdampak langsung sampai ke jenjang
pendidikan yang lebih lanjut. Apabila kita tidak memberikan efek jera kepada
pelaku bullying, ia akan terus melakukan bullying yang nantinya akan berdampak
pada masa depannya. Pelaku bullying kerap kali susah untuk mendapatkan
pekerjaan dan tidak dapat dipungkiri para pelaku bullying ini akan melakukan
tindak bullying yang lebih parah sehingga dapat menjerumuskan mereka pada
tindak criminal yang berakhir pada tindak pidana.
Kebijakan hukum pidana dalam penyelesaian kekerasan bullying.
Mengingat bullying merupakan tindakan kekerasan terhadap anak, maka menurut
UU Perlindungan anak, bullying adalah tindak pidana. Terhadap pelaku bullying
dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam)
bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.
Pasal 54 UU 35/2014 juga mengatur bahwa setiap anak berhak mendapat
perlindungan dari tindak kekerasan di sekolah, sebagai berikut:
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan
perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan
lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik,
dan/atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik,
tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
Di sisi lain, UU Perlindungan Anak juga memiliki aspek perdata yaitu diberikannya
hak kepada anak korban kekerasan (bullying) untuk menuntut ganti rugi
materil/immateril terhadap pelaku kekerasan. Hal ini diatur dalam Pasal 71D ayat
(1) Jo Pasal 59 ayat (2) huruf i UU 35/2014 sebagai berikut:

 Pasal 71D ayat (1) UU 35/2014:

Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59


ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak
mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung
jawab pelaku kejahatan.

 Pasal 59 ayat (2) huruf i UU 35/2014:


Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada:
i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
Atau secara umum, bisa juga mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti
rugi kepada pelaku kekerasan atas dasar telah melakukan Perbuatan Melawan
Hukum menggunakan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH
Perdata”).

 Pasal 1365 KUHPerdata


Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari perspektif UU
Perlindungan Anak, kekerasan (bullying) terhadap anak memiliki dua aspek baik
pidana maupun perdata.

*Manfaat Diterbitkannya Buku Ini


1. Bagi Guru
Memberi wawasan bagi guru untuk dapat mengarahkan anak dalam bertingkah laku
dan bersosialisasi dengan teman dengan cara yang baik dan aktif, agar guru lebih
peka dengan perilaku yang ditunjukkan oleh anak terutama perilaku-perilaku agresif
yang dapat membahayakan diri anak usia dini dan membahayakan terhadap
lingkungan disekitarnya.
2. Bagi Sekolah
Untuk dijadikan pedoman dalam menanggulangi masalah bullying yang dilakukan
antara anak usia dini yang terjadi di sekolah.
3. Bagi Orang tua
Memberikan pemahaman kepada orang tua untuk lebih memberikan perhatian
kepada putra dan putrinya serta mengawasi lingkungan pergaulannya serta
bagaimana cara menghindari anak agar tidak mengalami atau melakukan bullying.
4. Bagi Peneliti
Menambah pemahaman peneliti tentang dampak dan akibat yang dapat ditimbulkan
dari munculnya perilaku bullying di sekolah, juga cara–cara apa saja yang dapat
digunakan untuk mencegah terjadinya perilaku bullying di sekolah sehingga dapat
meminimalisir terjadinya pada anak usia dini.
Kontak Penulis dan Pembimbing penulisan
Penulis
1.
2.
3.
4.
5.
Pembimbing
Daftar Pustaka
1. http://repositori.kemdikbud.go.id/22974/1/20210308%20Buku%20Saku-
Stop%20Bullying-Spread%20Pages.pdf
https://www.sehatq.com/artikel/tips-mencegah-bullying-di-sekolah-yang-
penting-diketahui-orangtua
https://www.kompasiana.com/amp/
mochaffanfildametadelfiero7455/61c93f7f9bdc40610c2bbf52/kejadian-
bullying-di-lingkungan-pendidikan-khususnya-pada-lingkungan-sekolah

2. https://www.sehatq.com/artikel/tips-mencegah-bullying-di-sekolah-yang-
penting-diketahui-orangtua

3. https://text-id.123dok.com/document/oy86jd0qr-pihak-pihak-yang-terlibat-
dalam-perilaku-bullying.html

4. https://www.kompas.com/edu/read/2022/02/05/144317871/butuh-sinergi-
begini-cara-cegah-bullying-di-sekolah?page=all
https://kumparan.com/kumparanmom/dampak-bullying-bagi-korban-dan-
pelaku-yang-perlu-orang-tua-waspadai-1wHeDmLtVkD

5. https://doktersehat.com/psikologi/kesehatan-mental/dampak-psikologis-
bullying-bagi-korban-saksi-dan-pelaku/

6. https://www.detik.com/edu/sekolah/d-5909105/bullying-di-sekolah-
bagaimana-cara-mencegahnya
https://www.kompas.com/edu/read/2022/02/05/144317871/butuh-sinergi-
begini-cara-cegah-bullying-di-sekolah?page=all
https://www.halodoc.com/artikel/ini-5-efek-bullying-bagi-kesehatan-anak
https://doktersehat.com/psikologi/kesehatan-mental/dampak-psikologis-
bullying-bagi-korban-saksi-dan-pelaku/#:~:text=Efek%20psikologis
%20bullying%20bisa%20sangat,hingga%20gangguan%20kesehatan
%20mental%20lainnya.

7. https://www.fimela.com/lifestyle/read/3956610/peran-orang-tua-dalam-
mencegah-bullying-di-sekolah-menurut-ahli

8. https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/legitimasi/article/view/1846
https://irmadevita.com/2020/bullying-dan-ancaman-hukumnya

9. http://journal.unika.ac.id/index.php/jhpk/article/download/2670/pdf_2
10. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/464-lingkungan-sekolah-
sebagai-penyebab-terjadinya-bullying

11. https://smkn1bjm.sch.id/perilaku-bullying-di-sekolah-dan-pengaruhnya-
terhadap-prestasi/
12. https://www.kompasiana.com/anisacaa/60df07a41525104cc64f2404/opini-
peran-psikologi-dan-guru-bimbingan-konseling-dalam-mengatasi-kasus-
bullying-di-sekolah

13. https://ketik.unpad.ac.id/posts/2927/bullying-dan-dampaknya-terhadap-
kesehatan-mental#:~:text=Masih%20dengan%20buku%20yang
%20sama,diri%20menurun%2C%20semangat%20hidup%20berkurang.

14. https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/legitimasi/article/view/1846

15. https://www.hukumonline.com/klinik/a/aspek-pidana-dan-perdata-dalam-
kasus-bullying-terhadap-anak-lt57a0d75f6d984

16. http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/234

17. https://www.academia.edu/10078242/
BULLYING_faktor_faktor_penyebab_bullying_dan_solusi_mengatasi_bull
ying?sm=b

18.

Anda mungkin juga menyukai