Anda di halaman 1dari 34

KONSEP DIRI PADA ANAK

JALANAN

Disusun oleh:
Annisa Shada
(173080007)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fenomena anak jalanan sering diidentifikasi sebagai fenomena di kota
besar, sebab kebanyakan mereka ditemukan di kota-kota besar. Mereka
banyak ditemukan di tempat-tempat keramaian umum, seperti pasar, terminal,
pusat-pusat pertokoan, stasiun, perempatan jalan, dan sebagainya. Pekerjaan
merekapun beraneka ragam. Anak jalanan biasanya bekerja sebagai tukang
semir, pengamen, pengemis, penjual asongan, dan sebagainya. Mereka biasa
menghabiskan waktu sehari-harinya di jalanan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
mereka biasanya memang dikoordinir oleh kelompok yang rapi dan
profesional, yang saat ini sering disebut sebagai mafia anak jalanan. Setiap
anggota kelompok tersebut memiliki tugasnya masing-masing. Ada yang
melakukan mapping di setiap perempatan jalan, ada yang mengatur
antarjemput, dan lain-lain. Di sini, terjadi eksploitasi terhadap anak dan
menjadikan mereka sebagai ladang bisnis. Sangat memprihatinkan, hal ini
terjadi justru atas persetujuan orang tua mereka sendiri, yang juga tak jarang
berperan sebagai bagian dari mafia anak jalanan.
Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan. Baik untuk mencari
nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya. Anak
jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun,
melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, dengan penampilan
kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, serta mobilitasnya yang tinggi
(Departemen Sosial RI, dalam Murniatun, 2004). Anak jalanan adalah anak
yang tidak berdaya secara psikologis, anak yang pada suatu taraf tertentu
belum memiliki cukup mental dan emosional yang kuat, sementara mereka
harus bergelut dengan kehidupan jalanan yang keras dan cenderung negatif
bagi perkembangan perilaku dan pembentukan kepribadian mereka. Ditambah
lagi latar belakang keluarga yang mempunyai masalah-masalah ekonomi,
minimnya peranan/fungsi dalam keluarga, kurangnya perhatian dari
lingkungan, dan latar belakang pendidikan yang rendah, spiritual agama yang
minim menjadikan anak jalanan pribadi yang mudah depresi sehingga mereka
seringkali terpaksa melakukan perilaku-perilaku yang merugikan masyarakat.
Data terakhir oleh Kementrian Sosial RI, mengklaim bahwa jumlah anak
jalanan setiap tahun mengalami penurunan berdasarkan tahun 2015-2016,
namun angka tersebut masih dinilai tinggi.
Tabel 1. Jumlah Anak Jalanan di Indonesia
TAHUN JUMLAH ANAK JALANAN
2015 33.400 anak
2016 20.719 anak
2017 16.416 anak

Kelompok umur remaja (usia 14-18 tahun) merupakan bagian terbesar dari
kelompok anak jalanan. Anak jalanan menghabiskan sebagian besar waktu di
jalanan sehingga meningkatkan kerentanan mereka terhadap gangguan
kesehatan. Anak jalanan secara psikologi memiliki konsep diri negatif, tidak
atau kurang percaya diri, mudah tersinggung, ketergantungan pada orang lain
dan emosi yang tidak stabil. Kondisi ini menyebabkan mereka mudah
terpengaruh orang lain dan cenderung berperilaku antisosial seperti bekelahi,
mencuri, merampas, menggunakan dan menjalankan bisnis narkotika, dan
perilaku seks bebas. Mereka juga dapat mengalami eksploitasi fisik dan
seksual terutama oleh orang dewasa hingga kehilangan nyawa, sehingga
timbul masalah kesehatan reproduksi seperti infeksi menular seksual
(KemenKes, 2014). Masalah kesehatan reproduksi ketika melakukan seks
bebas pada anak jalanan yang sering mereka lakukan tidak terlepas dari
keadaan yang membuat anak jalanan itu harus bergantung kepada kehidupan
anak jalanan dan dipengaruhi oleh rasa keingintahuan terhadap seks serta
adanya pengaruh dari teman sekitar maupun pergaulan (Purba, 2012).
Berbagai akibat muncul disebabkan oleh perilaku seksual, antara lain KTD
(Kehamilan Tidak Diinginkan), terkena PMS (Penyakit Menular Seksual), dan
HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Sunanti, 2001).
Pada awal masa remaja, remaja biasanya merasakan adanya tekanan agar
mereka menyesuaikan dengan norma-norma dan harapan kelompoknya.
Gambaran tentang dirinya banyak dipengaruhi oleh bagaimana mereka dapat
berperilaku sesuai dengan kelompok atau sifat-sifat yang dikehendaki oleh
kelompoknya. Oleh karena itu sistem nilai merekapun sering bergantung
kepada nilai-nilai orang lain. Keberhasilan mereka dalam kelompok akan
memberikan gambaran diri positif, sebaliknya kegagalan-kegagalan akan
memberikan gambaran diri yang negatif. Dalam kehidupan kelompok
biasanya remaja juga akan melakukan perbandingan antara dirinya dan orang
lain dan penilaian diri ini sangat mempengaruhi gambaran diri mereka.
Apabila mereka menilai dirinya lebih baik dibandingkan orang lain maka akan
memberikan gambaran diri yang positif dan mereka memiliki konsep diri yang
tinggi. Sebaliknya apabila dirinya kurang baik bila dibandingkan orang lain
maka akan memberikan gambaran diri yang negatif dan mereka akan memiliki
konsep diri yang rendah (Soetjiningsih, 2004).
Menjadi anak jalanan bukan pilihan hidup yang diinginkan oleh setiap
orang dan bukan pula pilihan yang menyenangkan, terutama terkait dengan
keamanannya. Anak jalanan sering dianggap sebagai masalah bagi banyak
pihak, yang disebut sebagai ‘sampah masyarakat’. Masyarakat seringkali
menganggap anak jalanan merupakan kaum yang urakan, tidak tahu aturan
dan sangat dekat dengan tindak kriminal. Umumnya anak jalanan memang
tidak dihargai, melakukan pekerjaan yang tidak jelas, tidak ada tujuan hidup,
serta yang dilakukan hanya mendapatkan uang untuk makan hari ini saja.
Kondisi ini memosisikan anak jalanan sebagai korban dari kekeliruan atau
ketidaktepatan pemilihan model pembangunan yang selama ini dilakukan.
Selama ini, pembangunan di Indonesia lebih banyak menekankan aspek
pertumbuhan dan pembangunan wilayah yang terlalu terpusat pada kota-kota
besar. Kebijakan pembangunan antardaerah yang tidak merata, berimbas pada
kesenjangan sosial dan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat. Saat
pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik, jumlah anak jalanan juga
meningkat. Pola ini menunjukkan bahwa ada satu sisi kemiskinan yang belum
terungkap, yang berpotensi untuk terus menumbuhkan anak jalanan di
Indonesia.
Keberadaan dan berkembangnya jumlah anak jalanan merupakan
persoalan yang perlu mendapat perhatian, mengingat anak-anak melakukan
kegiatan atau tinggal di jalanan senantiasa berhadapan dengan situasi buruk.
Anak jalanan rentan untuk mendapatkan situasi yang buruk seperti menjadi
korban dari berbagai perlakuan salah dan eksploitasi, diantaranya adalah
kekerasan fisik, penjerumusan tindak kriminal, penyalahgunaan narkoba,
objek seksual dan sebagainya. Situasi serta lingkungan semacam itu jelas akan
menimbulkan berbagai dampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan
anak. Anak yang seharusnya berada dalam lingkungan belajar, bermain dan
berkembang, justru harus mengarungi kehidupan yang keras dan penuh
dengan berbagai bentuk eksploitasi. Situasi semacam tersebut, jelas akan
mempengaruhi pembentukan konsep diri, dimana lingkungan atau pola asuh
merupakan salah satu faktor pembentuk konsep diri.
Konsep diri adalah semua bentuk kepercayaan, perasaan, dan penilaian
yang diyakini individu tentang dirinya sendiri dan mempengaruhi proses
interaksi sosial dengan lingkungan sekitar (Pambudi, 2012). Konsep diri juga
merupakan gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri. Menurut
Chaplin (dalam Pardede, 2008) mengemukakan bahwa konsep diri adalah
evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian atau penafsiran mengenai
diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Konsep diri memberikan sebuah
gambaran yang menentukan bagaimana seseorang mengolah informasi yang
didapatkan.
Remaja melihat gambaran diri mereka dan melakukan perbandingan
dirinya dengan orang lain. Saat remaja menilai gambaran dirinya yang positif
maka mereka memiliki konsep diri yang tinggi. Sebaliknya jika remaja
menilai gambaran dirinya yang negatif bila dibandingkan dengan orang lain
maka remaja akan memiliki konsep diri yang rendah. Kesadaran mengenai
gambaran diri sendiri ini yang dimaksud dengan konsep diri. Apa yang
dipersepsikan individu lain mengenai diri individu, tidak terlepas dari struktur,
peran, dan status sosial yang disandang seorang individu (Papalia, Olds, dan
Feldman, 2004).
Seorang remaja sangat tergantung konsep diri yang dibangun dengan
adanya intervensi dari lingkungan sekitar. Keluarga, saudara, teman sebaya
dan kondisi lingkungan sekitar memberikan andil yang besar dalam
pembentukan konsep diri seorang remaja. Masa remaja adalah mencari jati
diri, remaja lebih sering menghabiskan waktunya dengan teman-temannya dari
pada dengan orang tuanya. Dengan begitu teman-teman sebaya mempunyai
pengaruh dalam pembentukan konsep diri pada remaja.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
identifikasi masalah pada penelitian ini adalah:
1. Anak jalanan menghabiskan sebagian besar waktu di jalanan sehingga
meningkatkan kerentanan mereka terhadap gangguan kesehatan.
2. Masalah kemiskinan, disfungsi keluarga dan kekerasan dalam keluarga
menjadi faktor penyebab timbulnya anak jalanan.
3. Anak jalanan rentan menjadi korban eksploitasi fisik dan seksual terutama
oleh orang dewasa hingga kehilangan nyawa.
4. Anak jalanan mudah terpengaruh orang lain dan cenderung berperilaku
antisosial seperti bekelahi, mencuri, merampas, menggunakan dan
menjalankan bisnis narkotika, dan perilaku seks bebas.
5. Situasi yang berada di sekeliling anak jalanan mempengaruhi
pembentukan konsep diri remaja.

1.3 Batasan Masalah


Untuk menghindari kesimpangsiuran dari penelitian ini, serta mengingat
keterbatasan penulis, maka perlu adanya pembatasan masalah untuk memberi
arah pada penelitian ini yaitu gambaran konsep diri pada anak jalanan usia
remaja.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan
mendeskripsikan secara jelas gambaran mengenai konsep diri yang dimiliki
anak jalanan serta mengetahui proses terbentuknya konsep diri pada anak
jalanan.

1.5 Manfaat Penelitian


Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, diharapkan penelitian ini dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan teori keilmuan, khususnya di bidang psikologi sosial.
2. Manfaat Praktis
a. Peneliti selanjutnya
Memberi kontribusi yang positif bagi para insan akademik.
b. Keluarga dan masyarakat
Menambah pengetahuan bagi masyarakat luas pada umumnya,
khususnya dalam hal ini kepada keluarga anak jalanan.
c. Dinas Sosial (Pemerintah Terkait)
Lembaga yang peduli pada anak jalanan seperti dinas sosial mengenai
pentingnya menanamkan konsep diri positif pada anak.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Konsep Diri
A. Definisi
Istilah konsep diri biasanya mengarah kepada sebuah pembentukan
konsep pribadi dari diri seseorang. Secara umum konsep diri adalah
pandangan dan sikap individu terhadap diri sendiri. Pandangan diri
yang tidak hanya melihat pada kekuatan atau kelebihan seseorang,
melainkan juga melihat kelemahan bahkan kegagalan dirinya. Konsep
diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang mencangkup keyakinan,
pandangan, dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep
diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat diri sendiri sebagai
pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana
kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang
kita harapkan. Konsep diri adalah kumpulan keyakinan dan persepsi
diri mengenai diri sendiri yang terorganisasi dengan kata lain, konsep
diri tersebut bekerja sebagai skema dasar. Diri memberikan sebuah
kerangka berpikir yang menentukan bagai mana mengolah informasi
tentang diri sendiri, termasuk motivasi, keadaan emosional, evaluasi
diri, kemampuan, dan banyak hal lainya Klein (dalam Baron, 2003)
Menurut Anant (1996), konsep diri adalah pandangan seseorang
tentang dirinya sendiri yang menyangkut apa yang ia ketahui dan
rasakan tentang perilakunya, isi pikiran dan perasaannya, serta
bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain.
Sedangkan menurut Burns (1993), konsep diri adalah hubungan antara
sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri. Konsep diri merupakan
suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang
kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada
manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari
makhluk hidup lainnya. Para ahli psikologi kepribadian berusaha
menjelaskan sifat dan fungsi dari konsep diri, sehingga terdapat
beberapa pengertian.Konsep diri adalah konseptualisasi individu
terhadap dirinya sendiri.
Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang
dirinya, yang dibentuk oleh pengalaman pengalaman yang diperoleh
dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan
bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus
dan terus terdeferensiasi. Dasar-dasar dari konsep diri individu yang
ditanamkam pada saat anak-anak dan menjadi dasar yang
mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari. Konsep diri
seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya yang merupakan
aktualisasi orang tersebut. Manusia sebagai organisme yang memiliki
dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia
sadar akan keberadaan dirinya. Orang cenderung menolak perubahan
dan salah memahami atau berusaha meluruskan informasi yang tidak
konsisten dengan konsep diri mereka.
Konsep diri didefinisikan secara berbeda oleh para ahli. Seifert dan
Hoffnung (dalam Desmita, 2009), mendefinisikan konsep diri sebagai
suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang diri sendiri. Santrock
(1996) menggunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi
bidang tertentu dari diri sendiri. Sementara itu, Atwater (1987)
menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri,
yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan,
dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Selanjutnya,
Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body
image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang
melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita
dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self,
yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.
Berdasarkan pada beberapa definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang
mencangkup keyakinan, pandangan, dan penilaian seseorang terhadap
dirinya sendiri. Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat
diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri
sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi
manusia sebagaimana yang kita harapkan. Dan dapat disimpulkan
bahwa konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang
dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang
dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya.

B. Aspek-aspek Konsep Diri


Berk (dalam Dariyo, 2007), Konsep diri (self-concept) ialah
gambaran diri sendiri yang bersifat menyeluruh terhadap keberadaan
diri seseorang. Konsep diri ini bersifat multi-aspek yaitu meliputi 4
(empat) aspek seperti (1) aspek fisiologis, (2) psikologis, (3)
psikososiologis, (4) psiko-etika dan moral. Gambaran konsep diri
berasal dari interaksi antara diri sendiri maupun antara diri dengan
orang lain (lingkungan sosiainya). Oleh karna itu, konsep diri sebagai
cara pandang seseorang mengenai diri sendiri untuk memahami
keberadaan diri sendiri maupun memahami orang lain. Pemahaman
keberadaan diri sendiri berhubungan erat dengan pemahaman terhadap
karakteristik pribadi secara objektif terhadap diri sendiri, atau yang
disebut sebagai kategori diri (self-categorial). Ada beberapa aspek
aspek psikologi menurut Berk, yaitu:
1. Aspek Fisiologis
Aspek fisiologis dalam diri berkaitan dengan unsur-unsur fisik,
seperti warna kulit, bentuk, berat atau tinggi badan, raut muka
(tampan, cantik, sedang, atau jelek), memiliki kondisi badan yang
sehat, normal/cacat dan sebagainya. Karakteristik fisik
mempengaruhi bagaimana seseorang menilai diri sendiri;
demikian pula tak dipungkiri bahwa orang lain pun menilai
seseorang diawali dengan penilaian terhadap hal-hal yang bersifat
fisiologis. Walaupun belum tentu benar masyarakat seringkali
melakukan penilaian awal terhadap penampilan fisik untuk
dijadikan sebagai dasar respon perilaku seseorang terhadap orang
lain.
2. Aspek Psikologis
Aspek-aspek psikologis (psychological aspect) meliputi tiga hal
yaitu: kognisi (kecerdasan, minat dan bakat, kreativitas,
kemampuan konsentrasi), afeksi (ketahanan, ketekunan dan
keuletan bekerja, motivasi berprestasi, toleransi stress) maupun
konasi (kecepatan dan ketelitian kerja, coping stress, resitiensi).
Pemahaman dan penghayatan unsur-unsur aspek psikologis
tersebut akan mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri.
Penilaian yang baik, akan meningkatkan konsep diri yang positif
(positive self-concept), sebaliknya penilaian yang buruk
cenderung akan mengembangkan konsep diri yang negatif
(negative self concept).
3. Aspek Sosial
Yang dimaksud dengan aspek psiko-sosiologis ialah pemahaman
individu yang masih memiliki hubungan dengan lingkungan
sosialnya. Aspek sosial ini meliputi 3 (tiga) unsur yaitu: orangtua
saudara kandung, dan kerabat dalam keluarga, teman-teman
pergaulan (peer-group) dan kehidupan bertetangga, lingkungan
sekolah (guru, teman sekolah, aturan aturan sekolah). Oleh karena
itu, seseorang yang menjalin hubungan dengan lingkungan sosial
dituntut untuk dapat memiliki kemampuan berinteraksi sosial
(social interaction), komunikasi, menyesuaikan diri (adjustment)
dan bekerja sama (cooperation) dengan mereka.
Tuntutan sosial secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi agar individu mentaati aturan-aturan sosial.
Individu pun juga berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya melalui lingkungan sosialnya. Dengan demikian terjadi
hubungan mutualisme antara individu dengan iingkungan
sosialnya.
4. Aspek Moral
Aspek psikoetika dan moral (moral aspect) yaitu suatu
kemampuan memahami dan melakukan perbuatan berdasarkan
nilai-nilai etika dan moralitas. Setiap pemikiran, perasaan, dan
perilaku individu harus mengacu pada nilai-nilai kebaikan,
keadilan, kebenaran, dan kepantasan. Oleh karena itu, proses
penghayatan dan pengamatan individu terhadap nilai-nilai moral
tersebut menjadi sangat penting, karena akan dapat menopang
keberhasilan seseorang dalam melakukan kegiatan penyesuaian
diri dengan orang lain.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri


Menurut Brooks (Rakhmat, 2008). bahwa konsep diri adalah
pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Sedangkan Centi (1993)
mengemukakan konsep diri (self concept) tidak lain tidak bukan
adalah gagasan tentang diri sendiri, konsep diri terdiri dari bagaimana
kita melihat diri sendiri sebagai pribadi menjadi manusia sebagaimana
yang diharapkan, antara lain:
1. Inteligensi
Inteligensi mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap
lingkungannya, orang lain dan dirinya sendiri. Semakin tinggi
taraf intreligensinya semakin baik penyesuaian dirinya dan lebih
mampu bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain
dengan cara yang dapat diterima. Maka jelas akan meningkatkan
konsep dirinya, demikian pula sebaliknya.
2. Pendidikan
Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan
meningkatkan prestasinyaa. Jika prestasinya meningkat maka
konsep dirinya akan berubah.
3. Status Sosial Ekonomi
Status sosial seseorang mempengaruhi bagaimana penerimaan
orang lain terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat
mempengaruhi konsep diri seseorang. Penerimaan lingkungan
terhadap seseorang cenderung didasarkan pada status sosial
ekonominya. Maka dapat dikatakan individu yang status sosialnya
tinggi akan mempunyai konsep diri yang lebih positif
dibandingkan individu yang status sosialnya rendah.
4. Hubungan Keluarga
Seseorang yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang
anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain
dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila
tokoh ini sesama jenis, maka akan tergolong untuk
mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya.
5. Orang Lain
Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih
dahulu. Bagaimana anda mengenal diri saya, akan membentuk
konsep diri saya. Sullivan (dalam Rakhmat,2005) menjelaskan
bahwa individu diterima orang lain, dihormati dan disenangi
karena keadaan dirinya, individu akan cenderung bersikap
menghormati dan menerima dirinya. Sebaliknya, bila orang lain
selalu meremehkan dirinya, menyalahkan dan menolaknya, ia
akan cenderung tidak akan menyenangi dirinya. Miyamoto dan
Dornbusch (dalam Rakhmat, 2005) mencoba mengkorelasikan
penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan skala lima
angka dari yang paling jelek sampai yang paling baik.
Yang dinilai adalah kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik,
dan kesukaan orang lain terhadap dirinya. Dengan skala yang
sama mereka juga menilai orang lain. Ternyata, orang-orang yang
dinilai baik oleh orang lain, cenderung memberikan skor yang
tinggi juga dalam menilai dirinya. Artinya, harga diri sesuai
dengan penilaian orang lain terhadap dirinya.
Hurlock (1999) mengemukakan bahwa ada 12 faktor yang
mempengaruhi konsep diri, yaitu: 1) fisik; 2) tempo kematangan
biologis; 3) sikap terhadap anggota keluarga; 4) harapan orang tua; 5)
sikap terhadap teman sebaya; 6) masalah pribadi keluarga; 7) masalah
ekonomi keluarga; 8) sekolah; 9) pendapat teman sebaya; 10) agama;
11) kesempatan sekolah; dan 12) pengaruh radio-televisi.
Konsep diri menurut Fitts (Agustiani, 2006) dipengaruhi oleh
beberapa faktor sebagai berikut:
1. Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal, yang
memunculkan perasaan positif dan berharga.
2. Kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang
lain.
3. Aktualisasi diri, implementasi dan realisasi dari potensi yang
sebenarnya.
Menurut Coopersmith (Tim Pustaka Familia, 2010), ada 4 faktor
yang berperan dalam pembentukan konsep diri yaitu sebagai berikut.
1. Faktor kemampuan. Setiap orang mempunyai potensi, oleh sebab
itu seseorang harus diberikan peluang agar dapat melakukan
sesuatu.
2. Faktor perasaan berarti. Seseorang yang yang selalu dipupuk
dengan perasaan berarti akan membentuk sikap positif pada
dirinya. Sebaliknya, jika seseorang selalu mendapat perlakuan
negatif dari orang lain maka akan tumbuh sikap negatif pada
dirinya.
3. Faktor kebajikan. Bila seseorang telah memiliki perasaan berarti,
maka akan tumbuh kebajikan dalam dirinya.
4. Faktor kekuatan. Pola perilaku berkarakteristik positif memberi
kekuatan bagi seseorang untuk melakukan perbuatan baik.
D. Perkembangan Konsep Diri
Konsep diri tidak terbentuk waktu lahir, tetapi datang dari
pengalaman unik seseorang dalam dirinya, pengalaman berhubungan
dengan orang lain dan melalui kontak sosial. Individu dengan konsep
diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari
kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan
lingkungan. Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan dan
keadaan sosial yang mal adaptif (Keliat, 1994).
Perkembangan konsep diri dapat terjadi secara terus menerus dan
berdasarkan pengalaman yang dimiliki remaja tersebut. Hurlock
(1997) menyebutkan adanya konsep diri yang pertama kali diperoleh
anak dari keluarga atau melalui interaksi dengan keluarganya yang
tidak terbatas pada ayah dan ibunya. Menurut Fauzan dan Hidayah
dalam Nuraini, (2002) konsep diri berkembang melalui proses
interaksi individu dengan lingkungannya. Pengembangan konsep diri
ini dipengaruhi oleh konsep diri primernya. Oleh karena itu dengan
semakin banyak dan luas lingkungan di mana individu dapat bergaul
maka perubahan konsep diri dapat terjadi setiap kali individu
mengadakan penilaian ulang terhadap dirinya berdasarkan
pengalaman-pengalaman individu yang diperoleh dari lingkungan
sekitarnya. Hurlock (1997) mengatakan bahwa: ”Konsep diri anak
berkembang didasarkan pada hubungannya atau interaksinya dengan
keluarga. Perlakuan-perlakuan yang diterima anak baik lisan maupun
fisik atau perbuatan akan membentuk konsep diri anak. Konsep diri
dimulai di lingkungan keluarga (oleh orang tua) dalam
perkembangannya dapat lebih dimantapkan atau diubah”.
Dari uraian pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep diri
berkembang apabila individu berinteraksi dengan lingkungan sekitar,
sehingga individu akan memperoleh pengalaman dari lingkungannya.
Dengan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya maka
individu akan melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri sehingga
perubahan konsep diri dapat terjadi. Selain itn perlakuan-perlakuan
dari keluarga baik fisik maupun nonfisik dapat mempengaruhi konsep
diri anak sehingga dapat berdampak tidak baik bagi pembentukan
konsep dirinya. Misalnya, anak yang dididik oleh orang tua dengan
keras hal ini dapat menyebabkan anak menjadi anak yang pemarah,
keras. Konsep diri individu dinyatakan melalui sikap dirinya yang
merupakan aktualisasi orang tersebut. Manusia sebagai organisme
yang memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya
menyebabkan ia sadar akan keberadaan dirinya.

E. Jenis-Jenis Konsep Diri


Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya
konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri
negatif.
1. Konsep Diri Positif
Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri
dimana individu dengan konsep diri positif mengenal dirinya
dengan baik sekali. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan
bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif dapat
memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-
macam tentang dirinya sendiri sehingga evaluasi terhadap dirinya
sendiri menjadi positif dan dapat menerima dirinya apa adanya.
Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-
tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki
kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi
kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah
suatu proses penemuan.
Coopersmith (1991), mengemukakan karakteristik dengan
konsep diri positif, yaitu bebas mengemukakan pendapat,
cenderung memiliki motivasi tinggi untuk mencapai prestasi,
mampu mengaktualisasikan potensinya dan mampu
menyelaraskan diri dengan lingkungannya. Individu yang
memiliki konsep diri positif akan bersikap optimis, percaya diri
sendiri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga
terhadap kegagalan yang dialami. Kegagalan tidak dipandang
sebagai akhir segalanya, namun dijadikan sebagai penemuan dan
pelajaran berharga untuk melangkah kedepan. Individu yang
memiliki konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya
sendiri dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi
keberhasilan di masa yang akan datang.
2. Konsep Diri Negatif
Sedangkan untuk konsep diri yang negatif (Coopersmith,
1991) mengemukakan beberapa karakteristik, yaitu mempunyai
perasaan tidak aman kurang menerima dirinya sendiri dan
biasanya memiliki harga diri yang rendah. Fitts (dalam Yanti,
2008), menyebutkan ciri-ciri individu yang mempunyai konsep
diri rendah adalah :
a. Tidak menyukai dan menghormati diri sendiri;
b. Memiliki gambaran yang tidak pasti terhadap dirinya;
c. Sulit mendefinisikan diri sendiri dan mudah terpengaruh oleh
bujukan dari luar;
d. Tidak memiliki pertahanan psikologis yang dapat membantu
menjaga tingkat harga dirinya;
e. Mempunyai banyak persepsi yang saling berkonflik;
f. Merasa aneh dan asing terhadap diri sendiri sehingga sulit
bergaul;
g. Mengalami kecemasan yang tinggi, serta sering mengalami
pengalaman negatif dan tidak dapat mengambil manfaat dari
pengalaman tersebut.
Konsep diri akan turun ke negatif apabila seseorang tidak
dapat melaksanakan perkembangannya dengan baik. Individu
yang memiliki konsep diri negatif meyakini dan memandang
bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa,
tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan
kehilangan daya tarik terhadap hidup. Individu ini akan cenderung
bersikap psimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang
dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan,
namun lebih sebagai halangan. Individu yang memiliki konsep diri
negatif akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika ia
mengalami kegagalan akan menyalahkan diri sendiri maupun
menyalahkan orang lain.
Konsep diri seseorang dapat bergerak di dalam kesatuan
dari positif ke negatif (Burns, 1993). Berkaitan langsung dengan
respon lingkungan sosial individu, terutama orang-orang penting
terdekatnya, terhadap diri individu. Respon di sini adalah persepsi
orang tua atau orang-orang terdekat dalam memandang diri
seseorang. Jika seorang anak memperoleh perlakuan yang positif,
maka ia akan mengembangkan konsep diri yang positif pula.
Individu juga tidak akan ragu untuk dapat membuka diri dan
menerima masukan dari luar sehingga konsep dirinya menjadi
lebih dekat pada kenyataan.
Dengan melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa karakteristik konsep diri dapat dibedakan menjadi dua yaitu
konsep diri positif dan konsep diri negatif, yang mana keduanya
memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda antara ciri karakteristik
konsep diri positif dan karakteristik konsep diri yang negatif.
Individu yang memiliki konsep diri positif dalam segala
sesuatunya akan menanggapinya secara positif, dapat memahami
dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam
tentang dirinya sendiri. Maka akan percaya diri, akan bersikap
yakin dalam bertindak dan berperilaku. Sedangkan individu yang
memiliki konsep diri negatif akan menanggapi segala sesuatu
dengan pandangan negatif pula, dia akan mengubah terus menerus
konsep dirinya atau melindungi konsep dirinya itu secara kokoh
dengan cara mengubah atau menolak informasi baru dari
lingkungannya.
2.1.2 Anak Jalanan
A. Definisi
Menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), Anak jalanan adalah
anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan
kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau
berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya.
Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan
18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran dijalanan,
penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus,
mobilitasnya tinggi. Selain itu, Direktorat Kesejahteran Anak,
Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30) memaparkan
bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya
dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau
tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6 tahun
sampain 18 tahun. Adapun waktu yang dihabiskan di jalan lebih dari 4
jam dalam satu hari. Pada dasarnya anak jalanan menghabiskan
waktunya di jalan demi mencari nafkah, baik dengan kerelaan hati
maupun dengan paksaan orang tuanya (Kasiram : 2001).
Menurut Surjana (dalam Siregar, dkk., 2006) menyebutkan bahwa
faktor yang mendorong anak turun ke jalan terbagi dalam tiga
tingkatan, yakni:
1. Tingkat mikro memberikan penjelasan bahwa anak memilih untuk
turun ke jalanan lebih dilatar belakangi oleh anak itu sendiri dan
dari keluarga. Sebab-sebab dari sisi si anak yaitu seperti lari dari
rumah (sebagai contoh anak yang selalu hidup dengan orang tua
yang terbiasa dengan menggunakan kekerasan, seperti sering
menampar, memukul, menganiaya karena kesalahan kecil, jika
sudah melampaui batas toleransi anak, maka anak cenderung
memilih keluar dari rumah dan hidup di jalanan), disuruh bekerja
dengan kondisi masih sekolah atau disuruh putus sekolah,
berpetualang, atau bermain-main. Sebab-sebab yang berasal dari
keluarga adalah penelantaran, ketidakmampuan orangtua
menyediakan kebutuhan dasar, salah perawatan dari orang tua
sehingga mengalami kekerasan di rumah (childabuse), serta
kesulitan berhubungan dengan keluarga karena terpisah dari
orangtua. Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul baik dari
anak maupun keluarga ini saling terkait satu sama lain.
2. Tingkat messo memberikan penjelasan bahwa anak turun ke
jalanan dilatar belakangi oleh faktor masyarakat (lingkungan
sosial) seperti kebiasaan yang mengajarkan untuk bekerja,
sehingga suatu saat menjadi keharusan kemudian meninggalkan
sekolah. Sebab-sebab yang dapat diidentifikasikan ialah pada
komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk
membantu meningkatkan ekonomi keluarga. Oleh karena itu anak-
anak diajarkan untuk bekerja pada masyarakat lain seperti pergi ke
kota untuk bekerja, hal ini sudah menjadi kebiasaan pada
masyarakat dewasa dan anak-anak.
3. Tingkat yang terakhir, yakni tingkat makro memberikan
penjelasan seperti peluang pekerjaan pada sektor informal yang
tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian yang besar, biaya
pendidikan yang tinggi dan perilaku guru yang diskriminatif, dan
belum adanya kesamaan persepsi instansi pemerintah terhadap
anak jalanan. Oleh karenanya, anak dengan keterbatasan
kemampuan yang dimilikinya cenderung memilih untuk turun
kejalanan yang tidak memerlukan keahlian besar.
Anak jalanan dalam kaitan ilmu sosiologi, tidak harus merupakan
produk dari kondisi kemiskinan tetapi merupakan akibat dari kondisi
keluarga yang tidak cocok bagi perkembangan si anak, misalnya
produk keluarga broken home, orangtua yang terlalu sibuk sehingga
kurang memperhatikan kebutuhan si anak, tidak ada kasih sayang
yang dirasakan anak. Ketidakkondusifan tersebut memicu anak untuk
mencari kehidupan di luar rumah, apa yang tidak ia temukan dalam
lingkungan keluarga. Mereka hidup di jalan-jalan dengan melakukan
aktivitas yang dipandang negatif oleh norma masyarakat.
Rata-rata mereka membentuk komunitas dan kelompok sosial
tersendiri di luar kelompok masyarakat. Komunitas dan kelompok
sosial tersendiri itu biasanya berbentuk Geng. Geng tersebut berfungsi
sebagai keluarga bayangan bagi anak-anak yang bermasalah. Mereka
merasa mendapatkan apa yang tidak didapat dalam keluarga.
Kelompok sosial tersebut juga melahirkan sebuah strata sendiri. Anak
jalanan dari golongan atas biasanya melakukan aktifitas kebut-kebutan
dengan mobil dan corat-coret di dinding. Kemudian dari golongan
lapisan menengah biasanya melakukan aktivitas kebut-kebutan dengan
sepeda motor dan juga corat-coret di dinding. Dan produk lapisan
bawah biasanya sering melakukan aktifitas nongkrong di jalan-jalan
dan tidak jarang mereka berprilaku mengganggu orang yang sedang
lewat (Nugroho : 2007:78).
Menurut beberapa pandangan di atas dapat di simpulkan, anak
jalanan adalah anak-anak yang sebagian waktunya bekerja dijalanan
atau btempat-tempat umum lainnya. ada beberapa anak yang rela
melakukan kegiatan mencari nafkah di jalananan dengan kesadaran
sendiri, namun banyak pula anak-anak yang di paksa untuk bekerja di
jalan (mengemis, mengamen, menjadi penyemir sepatu, dan lain lain)
oleh orang-orang di sekitar mereka, entah orang tua atau pihak
keluarga lain dengan alasan ekonomi keluarga yang rendah. Ciri-ciri
anak jalanan adalah anak yang berusia 6-18 tahun, berada dijalanan
lebih dari 4 jam dalam satu hari. Dan kebanyakan berpenampilan
kusam dan pakaian tidak terurus dan mobilitasnya tinggi.

B. Karakteristik Anak Jalanan


1. Berdasarkan Usia
Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya
dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran dijalanan atau
tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6 tahun
sampai 18 tahun. Selain itu dijelaskan oleh (Departemen Sosial RI,
2001), indikator anak jalanan menurut usianya adalah anak yang
berusia berkisar antara 6 sampai 18 tahun. Dari penjelasan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan
sebagai anak jalanan adalah yang memiliki usia berkisar antara 6
sampai 18 tahun atau dibawah umur.
2. Berdasarkan Pengelompokkan
Secara garis besar anak jalanan dapat dikelompokkan ke dalam
tiga kelompok (Surbakti, 1997):
a. Children on the street (anak yang mempunyai kegiatan
ekonomi dijalan). Anak jalanan dengan kategori ini masih
mempunyai kontak hubungan dengan orang tua atau keluarga.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka juga masih tinggal
bersama dengan keluarga, jumlah dari jam kerja (waktu kerja)
tidak menentu. Jenis kelamin di sini dapat menentukan
lamanya waktu bekerja dan sebagian dari penghasilan mereka
di jalan diberikan kepada orang tuanya. Anak jalanan
kelompok ini terkadang bekerja maksimal 5 jam dalam sehari,
dan ada kemungkinan dari mereka berstatus sebagai anak
sekolah (masih bersekolah). Fungsi anak jalanan dalam hal ini
adalah untuk membantu memperkuat ekonomi keluarganya
karena beban atau tekanan kemiskinan yang harus ditanggung,
tidak dapat diselesaikan sendiri oleh orang tuanya.
b. Children of the street (anak yang hidup di jalan) yaitu anak-
anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial
maupun ekonomi. Fakta perbedaan antara anak yang bekerja di
jalan (children on the street) dengan anak yang hidup di jalan
(children off the street) bahwa anak yang hidup di jalan
mempunyai frekuensi kontak atau hubungan dengan keluarga
yang sangat sedikit atau bahkan nyaris tidak ada lagi.
Kalaupun ada biasannya dalam jumlah yang sangat terbatas
dan dalam jangka waktu tertentu misalnya sebulan sekali, tiga
bulan sekali atau satu tahun sekali dan selebihnya waktu
mereka dihabiskan di jalan.
c. Children from families of the street (anak keluarga jalanan)
anak dari keluarga jalanan dapat ditandai dengan ikut sertanya
orang tua si anak untuk bekerja sekaligus hidup di jalan. Bagi
anak keluarga jalanan selain berfungsi sebagai tempat mencari
nafkah, jalanan juga berfungsi sebagai tempat tinggal, jika
dibandingkan dari segi mobilitas dan tempat tinggal antar
anak jalanan yang hidup di jalan (children off the street) dari
anak keluarga jalanan, (children families off the street) tidak
jauh berbeda keduanya, sama sama mempunyai mobilitas yang
tinggi dijalanan. Perbedaan yang antara children off the street
dan children families off the street hanya terjadi pada
kedekatan hubungan dengan keluarga. Faktor hubungan
kekeluargaan yang ada pada anak dari keluarga jalanan
kemungkinan cukup kuat.
3. Berdasarkan kategori.
Terdapat 4 kategori anak-anak jalanan yaitu (Sudarso, 2004):
a. Anak jalanan tanpa ikatan keluarga.
b. Anak jalanan yang masih mempunyai ikatan dengan
keluarga.
c. Anak jalanan satu-satunya yang mencari nafkah dalam
keluarga (who are sole bread winners).
d. Anak jalanan yang berpendidikan atau tidak berpendidikan
atau tanpa ikatan dengan keluarga.

C. Faktor Penyebab Menjadi Anak Jalanan


Berdasarkan berbagai penelitian, penyebab anak turun ke jalan
dapat di kelompokkan dalam dua kategori, kelompok pertama
disebabkan karena kemisikinan struktural dan kelompok kedua karena
kemiskinan fungsional. Kemiskinan struktural adalah ketiadaan
keluarga atau keluarga yang telah hancur (broken home) sehingga
seorang anak lari dan merasa lebih nyaman hidup di jalan karena
merasa mendapat keluarga. Sementara kemiskinan fungsional adalah
anak-anak turun ke jalan karena merasa tereksploitasi oleh
keluarganya (Krismutuhu Yudi: 2006).
Menurut Sunusi (1997) dalam Amal (2002), latar belakang faktor
anak turun ke jalan secara rinci dapat di jelaskan sebagai berikut :
1. Kondisi ekonomi keluarga
Kegiatan anak-anak di jalanan berhubungan dengan kemiskinan
keluarga dimana orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan
dasar (sandang, pangan dan papan) dari anggota keluarganya
sehingga dengan terpaksa ataupun sukarela mencari penghidupan
di jalan untuk membantu orang tua.
2. Konflik dengan/antar orang tua
Selain faktor ekonomi, perselisihan dengan orangtua ataupun antar
orangtua (disharmonis keluarga) menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan anak turun ke jalan dan akhirnya menjadi anak
jalanan.
3. Mencari pengalaman
Disamping alasan ekonomi dan konflik dalam keluarga, anak
melakukan aktivitas dijalan karena dengan alasan ingin
memperoleh penghasilan sendiri.
Menurut Suyanto (2007), munculnya anak jalanan memiliki penyebab
yang tidak tunggal. Munculnya fenomena anak jalanan tersebut
disebabkan oleh dua hal yaitu Problema sosiologis: karena faktor
keluarga yang tidak kondusif bagi perkembangan si anak, misalnya
orang tua yang kurang perhatian kepada anakanaknya, tidak ada kasih
sayang dalam keluarga, diacuhkan dan banyak tekanan dalam
keluarga serta pengaruh teman. Problema ekonomi, karena faktor
kemiskinan anak terpaksa memikul beban ekonomi keluarga yang
seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua (Fatimah, 2012).

2.2 Tinjauan Pustaka


Guna melengkapi penelitian ini, penulis menggunakan pijakan dan
kajian dari penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang
sama dengan kajian penulis, yaitu tentang konsep diri pada anak jalanan.
Penelitian tersebut antara lain penelitian yang dilakukan oleh Sarila Hasti
Hadi Nasti (2016), yang meneliti “Konsep Diri Anak Jalanan”. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri yang dimiliki anak jalanan dan
faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri anak jalanan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, pengumpulan data
menggunakan teknik wawancara dan observasi. Informan dalam penelitian
ini dipilih seraca purposive sampling dengan teknik pengambilan sampel
secara snowball sampling. Informan penelitian berjumlah 10 orang. Data
dianalisis secara tematik. Hasil penelitian ini menemukan bahwa anak
jalanan memiliki konsep diri yang negatif. Faktor yang mempengaruhi
terbentuknya konsep diri anak jalanan adalah keluarga, dukungan sosial,
status sosial ekonomi dan kelompok rujukan. Konsep diri yang dimiliki
anak jalanan akan mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap hubungan
interpersonal.
Agus Riyadi (2016), tentang “Hubungan Konsep Diri dengan
Kenakalan Anak Jalanan pada Rumah Singgah Putra Mandiri Semarang”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konsep diri dengan
kenakalan anak jalanan pada Rumah Singgah Putra Mandiri Semarang.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif rancangan korelasional
dengan analisis statistik product moment. Hasil temuan pada penelitian ini
adalah sebagai berikut: ada korelasi yang signifikan antara konsep diri
dengan kenakalan anak jalanan. Semakin positif konsep diri maka akan
lahirlah pola perilaku yang positif pula, dan apabila semakin negatif konsep
diri maka akan lahirlah pola perilaku yang negatif. Dengan demikian konsep
diri bisa dikatakan sebagai pengendali individu dari berbagai
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam dunia jalanan yang lebih
cenderung ke arah kenakalan.
Widdy Tranggono Purwanto (2017), melakukan penelitian tentang
“Konsep Diri Anak Jalanan Usia Remaja”. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui gambaran konsep diri anak jalanan usia remaja. Metode
penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kuantitatif yaitu
menggunakan metode perhitungan statistik, jumlah responden sebanyak 100
orang remaja. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability
sampling. Instrumen penelitian menggunakan skala konsep diri. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsep diri anak jalanan adalah 25% anak
jalanan memiliki konsep diri rendah, 67% memiliki konsep diri sedang, dan
8% anak jalanan memiliki konsep diri yang tinggi, sehingga dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar anak jalanan memiliki konsep diri
sedang.
Penelitian yang akan dilakukan hampir sama dengan penelitian
sebelumnya, hanya saja objek dan fokus kajiannya berbeda. Subjek dalam
penelitian ini adalah 5 anak jalanan yang sering beroperasi di sekitar
wilayah kabupaten Purworejo. Karakteristik subjek pada penelitian ini
adalah anak jalanan usia 12 – 18 tahun yang tidak tinggal bersama dengan
keluarganya. Fokus pada penelitian ini adalah bagaimana gambaran konsep
diri pada anak jalanan tersebut. Penelitian ini bermaksud meneliti salah satu
fenomena sosial yang ada dan selanjutnya untuk mengetahui gambaran
konsep diri pada anak jalanan tersebut yang pada umumnya rentan
menghadapi situasi yang buruk. Tema dalam penelitian ini adalah konsep
diri pada anak jalanan.

2.3 Kerangka Berpikir


Konsep diri merupakan faktor yang penting bagi pembentukan tingkah
laku manusia. Manfaat individu mengetahui konsep diri adalah mereka
dapat menampilkan perilaku yang diterima dari respon-respon dan
pandangan-pandangan yang diberikan oleh orang lain. Terkait dengan anak
jalanan, konsep diri adalah gambaran yang dimiliki oleh seorang anak
jalanan tentang dirinya. Hal ini merupakan apa yang diyakini anak jalanan
pada dirinya, meliputi karakteristik fisik, psikologi, sosial, dan emosional
serta aspirasi-aspirasi dan prestasinya. Gambaran yang dimiliki anak jalanan
ini adalah penilaian dari segala hal yang mereka ketahui, rasakan dan
mereka yakini ada pada diri mereka, meliputi karakteristik diri dan
bagaimana mereka berhubungan dengan dunia luar, yang berkembang
berdasarkan hasil persepsi dari orang lain dan diri mereka sendiri.
Cara seseorang memandang dan menilai dirinya, menurut para ahli
psikologi memiliki kaitan dengan perilaku yang ditampilkannya. Orang
yang menilai dirinya sebagai tidak baik (konsep diri negatif), cenderung
menarik diri dalam berhubungan dengan orang lain, atau bertindak agresif
secara tidak wajar. Jika seorang anak jalanan berpikir bahwa dirinya bodoh,
ia akan merasa tak sanggup melaksanakan tugas-tugas yang dipandangnya
tugas “orang-orang pintar”. Bila seorang anak jalanan merasa dirinya
memiliki kemampuan mengatasi masalah, maka persoalan apapun yang
dihadapnya pada akhirnya cenderung dapat diatasi. Bila seorang anak
jalanan merasa dirinya tampan dan ketampanan tu merupakan bagian
penting dalam melaksanakan pekerjaannya, ia akan tampil percaya diri dan
bertindak positif.
Konsep diri dapat dijelaskan sebagai komponen seseorang untuk
menilai dirinya sendiri. Konsep diri akan berkembang melalui huungan dan
interaksi dengan lingkungan. Jika remaja berada di dalam lingkungan yang
kondusif, maka konsep diri bisa positif, sebaliknya jika lingkungan kurang
kondusif, maka akan membentuk konsepd iri negatif. Konsep diri positif
berpengaruh terhadap pola, sikap, cara berfikir, dan perilaku yang positif
pula. Sedangkan konsep diri mempengaruhi pola, sikap, cara berfikir, dan
perilaku yang negatif pula.
Anak jalanan yang berada di lingkungan jalan yang banyak ancaman
cenderung membentuk perilaku negatif seperti perilaku kriminal, konsep
diri juga cenderung negatif sehingga perkembangan identitas dirinya kurang
berkembang optimal. Karakteristik anak jalanan yang terdiri dari faktor
internal dan faktor eksternal diduga dapat mempengaruhi konsep diri anak
jalanan. Faktor internal terdiri dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan
dan alasan turun ke jalan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari tingkat
kekerasan yang diterima anak dan hubungan sosialnya dengan lingkungan.

Anak Jalanan

Permasalahan yang dihadapi:


1. Dianggap “sampah
masyarakat”
2. Korban eksploitasi
fisik/seksual.
3. Pelaku kriminalitas

Faktor Eksternal:
Faktor Internal:
1. Status sosial
ekonomi 1. Intelegensi
2. Hubungan 2. Pendidikan
Konsep Diri
keluarga
3. Orang lain
Konsep Diri Positif
Konsep Diri Negatif

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional

2.4 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan uraian permasalahan diatas, maka yang
menjadi permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana gambaran
konsep diri pada anak jalanan?

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus. Metode kualitatif merupakan tata cara penelitian
yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden
secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata (Soerjono Soekanto, 2014).
Penelitian ini dikatakan kualitatif karena pada dasarnya penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji atau meneliti suatu objek pada latar alamiah tanpa
ada manipulasi didalamnya serta hasil yang diharapkan berupa pemahaman
yang mendalam dari fenomena kasus yang diamati. Studi kasus memusatkan
perhatian pada satu objek tertentu yang diangkat sebagai sebuah kasus untuk
dikaji secara mendalam sehingga mampu membongkar realitas dibalik
fenomena (Mudjia Rahardjo, 2017). Pendekatan studi kasus sendiri dipilih
karena peneliti ingin menyelidiki secara cermat suatu peristiwa, aktivitas,
proses atau sekelompok individu (Creswell, 2012), dalam hal ini terkait
dengan konsep diri pada anak jalanan.
3.2 Fokus Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri
pada anak jalanan serta faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri pada
anak jalanan.

3.3 Responden Penelitian


Responden dalam penelitian ini adalah 5 anak jalanan yang sering
beroperasi di sekitar wilayah kabupaten Purworejo. Teknik sampling
menggunakan metode purposive sampling yang termasuk ke dalam metode
non probability sampling, dimana peneliti menentukan kriteria tertentu pada
partisipan yaitu anak jalanan yang berusia sekitar 12 – 18 tahun serta tidak
tinggal bersama dengan keluarganya. Alasan peneliti mengambil partisipan
tersebut karena pada usia tersebut anak sedang dalam masa pencarian jati diri.
Selain itu anak yang tidak tinggal bersama keluarganya lebih rentan
mengalami masalah-masalah yang akan mempengaruhi pembentukan konsep
diri.

3.4 Metode Pengmpulan Data


Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural
setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer dan teknik pengumpulan
data lebih banyak pada observasi berperan serta (participant observation),
wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi (Sugiono, 2008).
Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara dan
observasi. Kedua metode ini dianggap cocok digunakan dalam penelitian ini
mengingat subjek dalam penelitian ini adalah anak jalanan dan objek yang
diteliti adalah perilaku yang ditunjukkan oleh individu.
1. Metode Wawancara
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu. Wawancara ini bertujuan untuk memperoleh
pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu
berkenaan dengan topik yang diteliti (Banister dkk dalam Poerwandari,
1998). Sehubungan dengan subjek dalam penelitian ini adalah anak
jalanan, maka wawancara yang dilakukan yaitu dengan mewawancarai
anak-anak jalanan yang menjadi responden tersebut dengan jenis
wawancara terstruktur. Panduan wawancara yang dibuat berisi tentang
tujuan penelitian ini, yaitu gambaran konsep diri pada anak jalanan.
2. Metode Observasi
Observasi kualitatif adalah melihat, memperhatikan dan mengamati
perilaku dan aktivitas individu-individu di lokasi penelitian yang di
dalamnya peneliti langsung turun ke lapangan (Creswell, 2012). Dalam
penelitian ini, observasi yang dilakukan peneliti yaitu observasi
partisipan, dimana observasi dilakukan dengan melakukan partisipasi atau
melakukan aktivitas bersama objek yang sedang diamati. Peneliti
melakukan observasi terhadap perilaku yang ditampakkan oleh anak
jalanan.

3.5 Metode Analisis Data


Untuk menyajikan data agar mudah dipahami, maka langkah analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model Spiral yang dipopulerkan
oleh Creswell. Penggunaan Model Spiral dalam melakukan teknik analisis
data seperti pada gambar berikut:
Gambar 2. Teknik Analisis Data Model Spiral
Pada tahapan awal dilakukan pengumpulan data (data collection), baik
data primer dan sekunder maupun data yang dalam bentuk teks dan gambar.
Pada tahapan kedua, dilakukan proses membaca (reading) dan membuat
catatan-catatan (memoing) sebagai refleksi dari sejumlah jawaban atas
pertanyaan penelitian. Pada tahapan ketiga dilakukan deskripsi atas data yang
telah dicatat, mengklasifikasi, dan menginterpretasi semua data berdasarkan
konteks dan kategori. Tahapan terakhir, melakukan representasi dan
visualisasi dengan membuat kesimpulan-kesimpulan yang dapat dibuat dalam
bentuk matriks, diagram pohon, dan selanjutnya menyusun proposisi-
proposisi dari hasil penelitian.
Berdasarkan teori Creswell, pemetaan pengolahan data spiral di awali
dengan proses sebagai berikut: (1) analisis proses, (2) pengorganisasian
kedalam file, (3) menetapkan indeks urutan, (4) memasukkan dalam
computer, (5) menggandeng unit teks yang beda, (6) membanding dan
memahami tentang kata, kalimat, kisah, sejarah, (7) mengalokasikan teks
data.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan Data Analysis Spiral
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Data Collection, yaitu mengumpulkan data dari hasil wawancara berupa
teks, observasi partisipan, serta data lain berupa gambar, dokumen, dan
sebagainya yang terkait perencanaan penelitian.
2. Data Managing, yaitu melakukan pengolahan data yang telah diperoleh
dari subjek penelitian berupa observasi partisipan maupun wawancara
mendalam dan merubah data tersebut menjadi menjadi unit teks yang
sesuai untuk dianalisis.
3. Reading, Memoring, yaitu memahami dan mengingat sebagai refleksi dari
sejumlah jawaban atas pertanyaan penelitian.
4. Describing, Classifying, and Interpreting, yaitu mendeskripsikan,
mengelempokkan sesuai dengan konteks kategori.
5. Representing, Visualizing, yaitu menyajikan dan membuat kesimpulan-
kesimpulan yang dapat dibuat dalam bentuk bagan, selanjutnya menyusun
proposisi-proposisi dari hasil penelitian.

3.6 Metode Verifikasi Data


Dalam penelitian kualitatif pengecekan keabsahan data meliputi uji
kredibilitas data, uji transferabilitas, uji dependabilitas, uji konfirmabilitas.
Uji kredebilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif
dalam penelitian ini menggunakan teknik yang dikembangkan oleh Creswell
yaitu External Auditor. Adapun yang dimaksud external auditor yaitu
mengajak seorang auditor untuk mereviu keseluruhan proyek penelitian.
Berbeda dengan rekan peneliti, auditor disini tidak akrab dengan peneliti yang
diajukan. Akan tetapi kehadiran auditor tersebut dapat memberikan penilaian
objektif, mulai dari proses hingga kesimpulan penelitian. Hal yang akan
diperiksa oleh auditor menyangkut banyak aspek penelitian, seperti
keakuratan transkrip, hubungan antara rumusan masalah dan data, tingkat
analisis data mulai dari data mentah hingga interpretasi.

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R. A. & Byrne, D., 2003. Psikologi Sosial. 10 ed. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Creswell, John W. 2012. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Fadila & Hartini, 2017. Konsep Diri Anak Jalanan. Jurnal Fokus Konseling, III.
67-77.
Mudjia , R. 2017. Studi Kasus dalam Penelitian Kualitatif: Konsep dan
Prosedurnya. Malang.
Murniatun. 2004. Problematika Anak Jalanan Studi Mengenai Pengamen di Kota
Yogyakarta. Laporan Praktikum II. UGM (Universitas Gajah Mada)
Nasti, S. H. H., 2016. Konsep Diri Anak Jalanan. Surakarta.
Pambudi, P. S. & Wijayanti, D. Y., 2012. Hubungan Konsep Diri dengan Prestasi
Akademik pada Mahasiswa Keperawatan. Jurnal Nursing Studies. 149-
156.
Pardede, Y. O. K., 2008. Konsep Diri Anak Jalanan Usia Remaja. Jurnal
Psikologi, I. 146-151.
Purwanto, W. T., 2017. Konsep Diri Anak Jalanan Usia Remaja. Malang.
Riyadi, A., 2016. Hubungan Konsep Diri dengan Kenakalan Anak Jalanan. Jurnal
Ilmiah Psikologi, I. 23-34.
Soetjiningsih. 2004. Buku Ajar: Tumbuh Kembang Remaja dan
Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta

Anda mungkin juga menyukai