Anda di halaman 1dari 11

TUGAS JIWA

KONSEP ANAK JALANAN

DOSEN PENGAMPU : Ns. Reki Afrino, S.Kep.M.Kep

Rina angelina
1914201075

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS FORT DE KOCK
TAHUN 2019-2020

Pendahuluan
Anak jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa (secara fisik dan
phsykis) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan
kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya yang
terkadang mendapat tekanan fisik atau mental dari lingkunganya. Umumnya
mereka berasal dari keluarga yang ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan
berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan,
penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan
membuatnya berperilaku negatif.

Ketika mereka dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu
pelaku kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan serta
menjadikan anak-anak sebagai korban tak berkesudahan. Menghapus stigmatisasi di
atas menjadi sangat penting. Sebenarnya anak-anak jalanan hanyalah korban dari
konflik keluarga, komunitas jalanan, dan korban kebijakan ekonomi permerintah
yang memberatkan rakyat. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan
perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di
luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan.
Sesuai konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights
of the Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990,
menyatakan bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka
mereka memerlukan perhatian dan perlindungan. Fenomena merebaknya anak
jalanan di Indonesia merupakan persoalansosial yang komplek. Hidup menjadi anak
jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka
berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak
jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara.
Namun, perhatian terhadap nasibanak jalanan tampaknya belum begitu besar dan
solutif. Padahal mereka adalahsaudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang
harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia
dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

Begitu pula kiranya anak jalanan yang memerlukan perhatian dan perlindungan
terhadap hak-haknya sebagai anak bangsa untuk memperoleh pendidikan sesuai
dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara
berhak mendapat pengajaran.Melihat isi dari pasal 31 ayat 1 tersebut sangat bertolak
belakang dengan yang dialami anak jalanan. Mereka hampir tidak mendapatkan
haknya untuk mendapatkan pengajaran. Ironisnya di tengah pendidikan bagi anak
jalanan yang terabaikan, DPR justru berencana mendirikan gedung baru yang megah
dengan alasan “kinerja”. Sepertinya akan lebih bijak apabila dana tersebut
digunakan untuk mendirikan sekolah untuk anak jalanan, memberikan honor bagi
pengajar, dan penyediaan sarana belajar mengajar untuk mereka. Akan tetapi di
balik hal tersebut kita patut bangga karena kepedulian masyarakat Indonesia
terhadap pendidikan justru semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dari banyaknya
masyarakat yang mengabdikan diri sebagai pengajar di sanggar yang telah didirikan.

Karakteristik dan Perkembangan Sosial Emosional

Karakteristik anak jalanan terbagi dua yaitu:

a.       Ciri fisik


-          Warna kulit kusam
-          Rambut kemerahan
-          Kebanyakan berbadan kurus
-           Pakaian tidak terurus

b.      Ciri psikis


-          Mobilitas tinggi
-          Acuh tak uacuh
-          Penuh curiga
-          Sangat sensistif berwatak keras                     
-          Kreative
-          Semangat hidup tinggi
-          Berani tanggung resiko
-          Mandiri

Psikososial anak jalanan :


Keadaan saat ini sangat memprihatinkan karena anak yangrentan turun ke jalan lebih
dari 20 kali lipat jumlah nya dibandingkan dengan anak jalanan itu sendiri. Anak jalanan
perempuan jauh lebih buruk posisinya karena pasti akan menerima berbagai kekerasan
atau bahkan pelecehan seksual. Karena anak jalanan lebih banyak berinteraksi dengan
kerasnyahidup dijalan dan mencari uang, itu berdampak pada perkembangan
psikososial nya dan tumbuh menjadi anak yang keras, liar, dan terkenal tidak bisa diatur.
Usia anak jalanan biasanya masih dalamusia sekolah dimana usia sekolah termasuk ke
dalam tahapan psikososial yang mampu menghasilkan karya, dapat dan melatih
interaksi yang baik, dapat berprestasi dalam sekolah, serta dapat menggali ilmu dengan
kemauan sendiri. Tahap ini merupakan tahap anak membuat konsep diri mereka sendiri.
Jika tahap ini terlewatkan terjadi masalah Psikososial. Masalah Psikososial adalah
masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai
Pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak sosial
dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa.

Pelayanan Pendidikan

Sebenarnya anak jalanan tidak berbeda dengan anak yang lainnya, mereka
juga mempunyai potensi dan bakat. Pada masa anak-anak seperti itu otak yang
memuat 100-200 milyar sel otak siap dikembangkan serta diaktualisasikan untuk
mencapai tingkat perkembangan potensi tertinggi. Pada perkembangan otak
manusia mencapai kapasitas 50 % pada masa anak usia dini. Kita telah benar-
benar melupakan hak anak-anak untuk bermain, bersekolah, dan hidup
sebagaimana lazimnya anak-anak lainnya. Mereka dipaksa orang tua untuk
merasakan getirnya kehidupan. Mereka tumbuh dan berkembang dengan latar
kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya
kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif .

Mengkaitkan kandungan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam


KHA dengan realitas yang ada, maka akan terlihat suatu kesenjangan yang
cukup tinggi. Penghormatan negara atas hak-hak anak jalanan dinilai masih
sangat minim, bahkan pada kebijakan-kebijakan tertentu seperti razia-razia yang
sarat dengan nuansa kekerasan, negara kerapkali dinilai melakukan pelanggaran
terhadap hak-hak anak (jalanan). Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka
memenuhi hak-hak anak jalanan harus senantiasa ditingkatkan. Hal ini
mengingat anak sebagai aset dan generasi penerus bangsa. Salahsatunya adalah
dengan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak-anak jalanan.
Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan formal sebagaimana
yang dicanangkan pemerintah dalam Gerakan Wajib Belajar 9 tahun dan tentu
saja dengan biaya pendidikan gratis atau murah bagi anak-anak jalanan yang
memiliki keluarga miskin.
Pendidikan Pada anak jalanan mungkin ini tidak terlihat sebagai suatu yang
penting. Para anak jalanan lebih memilih untuk mencari uang dibandingkan
dengan bersekolah. Karena dorongan kebutuhan hidup mereka yang
mewajibkan mereka untuk mencari uang untuk dapa bertahan hidup. Maka dari
itulah pendidikan yang didapat oleh anak jalanan sangatlah rendah dan dapat
dikatakan anak jalanan ini tidak mendapatkan pendidikan secara baik sesuai
konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of
the Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990,
menyatakan bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka
mereka memerlukan perhatian dan perlindungan. Begitu pula kiranya anak
jalanan yang memerlukan perhatian dan perlindungan terhadap hak-haknya
sebagai anak bangsa untuk memperoleh pendidikan dengan baik sesuai dengan
pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara
berhak mendapat pengajaran.

Melihat isi dari pasal 31 ayat 1 tersebut sangat bertolak belakang dengan
yang dialami anak jalanan. Mereka hampir tidak mendapatkan haknya untuk
mendapatkan pengajaran. Dan akibatnya, perilaku negatif dan kriminal yang
timbul di kalangan anak jalanan tersebut. Anak jalanan hidup dan berada dalam
situasi sosial yang terdiri dari berbagai setting. Setting pertama adalah
lingkungan sosial yang terdiri dari keluarga , sekolah dan masyarakat.

Pendidikan di kalangan anak jalanan ironisnya sangat sedikit atau dapat


dikatakan tidak layak. Msesikpun telah diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU no 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan; “Setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.
Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik
dan mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil.
Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak
cukup memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di
sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah
fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan.
Pendidikan tanpa cinta seperti nasi tanpa lauk,menjadi kering hambar, tak
menarik.

Inilah yang menjadi faktor berkembangnya anak jalanan di Indonesia dan


pada masa dewasa para anak jalanan ini tidak dapat bersaing dengan anak-anak
yang lain. Persaingan ini berpandangan bahwa setiap orang harus diberi
kesempatan yang sama untuk bersaing. Namun pada kenyataannya pada
persaingan in anak-anak jalanan hanya memiliki sedikit kesempatan karena
kurangnya kemampuan dan pendidikan yang diterima leh anak jalanan ini.

Rumah Sebenarnya anak jalanan tidak berbeda dengan anak yang


lainnya, mereka juga mempunyai potensi dan bakat. Pada masa anak-anak
seperti itu otak yang memuat 100-200 milyar sel otak siap dikembangkan serta
diaktualisasikan untuk mencapai tingkat perkembangan potensi tertinggi. Pada
perkembangan otak manusia mencapai kapasitas 50 % pada masa anak usia dini.
Kita telah benar-benar melupakan hak anak-anak untuk bermain, bersekolah,
dan hidup sebagaimana lazimnya anak-anak lainnya. Mereka dipaksa orang tua
untuk merasakan getirnya kehidupan. Mereka tumbuh dan berkembang dengan
latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan
hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya
berperilaku negatif .

Mengkaitkan kandungan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam


KHA dengan realitas yang ada, maka akan terlihat suatu kesenjangan yang
cukup tinggi. Penghormatan negara atas hak-hak anak jalanan dinilai masih
sangat minim, bahkan pada kebijakan-kebijakan tertentu seperti razia-razia yang
sarat dengan nuansa kekerasan, negara kerapkali dinilai melakukan pelanggaran
terhadap hak-hak anak (jalanan). Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka
memenuhi hak-hak anak jalanan harus senantiasa ditingkatkan. Hal ini
mengingat anak sebagai aset dan generasi penerus bangsa. Salahsatunya adalah
dengan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak-anak jalanan.
Pendidikan yang dimaksudkan disini adalah pendidikan formal sebagaimana
yang dicanangkan pemerintah dalam Gerakan Wajib Belajar 9 tahun dan tentu
saja dengan biaya pendidikan gratis atau murah bagi anak-anak jalanan yang
memiliki keluarga miskin.

Pendidikan Pada anak jalanan mungkin ini tidak terlihat sebagai suatu yang
penting. Para anak jalanan lebih memilih untuk mencari uang dibandingkan
dengan bersekolah. Karena dorongan kebutuhan hidup mereka yang
mewajibkan mereka untuk mencari uang untuk dapa bertahan hidup. Maka dari
itulah pendidikan yang didapat oleh anak jalanan sangatlah rendah dan dapat
dikatakan anak jalanan ini tidak mendapatkan pendidikan secara baik sesuai
konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of
the Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990,
menyatakan bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka
mereka memerlukan perhatian dan perlindungan. Begitu pula kiranya anak
jalanan yang memerlukan perhatian dan perlindungan terhadap hak-haknya
sebagai anak bangsa untuk memperoleh pendidikan dengan baik sesuai dengan
pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara
berhak mendapat pengajaran.

Melihat isi dari pasal 31 ayat 1 tersebut sangat bertolak belakang dengan
yang dialami anak jalanan. Mereka hampir tidak mendapatkan haknya untuk
mendapatkan pengajaran. Dan akibatnya, perilaku negatif dan kriminal yang
timbul di kalangan anak jalanan tersebut. Anak jalanan hidup dan berada dalam
situasi sosial yang terdiri dari berbagai setting. Setting pertama adalah
lingkungan sosial yang terdiri dari keluarga , sekolah dan masyarakat.

Pendidikan di kalangan anak jalanan ironisnya sangat sedikit atau dapat


dikatakan tidak layak. Msesikpun telah diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU no 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan; “Setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.
Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik
dan mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil.
Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak
cukup memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di
sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah
fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan.
Pendidikan tanpa cinta seperti nasi tanpa lauk,menjadi kering hambar, tak
menarik.

Inilah yang menjadi faktor berkembangnya anak jalanan di Indonesia dan


pada masa dewasa para anak jalanan ini tidak dapat bersaing dengan anak-anak
yang lain. Persaingan ini berpandangan bahwa setiap orang harus diberi
kesempatan yang sama untuk bersaing. Namun pada kenyataannya pada
persaingan in anak-anak jalanan hanya memiliki sedikit kesempatan karena
kurangnya kemampuan dan pendidikan yang diterima leh anak jalanan ini.
 Rumah Singgah

Rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat non formal,
dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal
sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih lanjut .rumah singgah
didefinisikan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan
membantu mereka. Rumah singgah merupakan proses non formal yang
memberikan suasana pusat resosialisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan
norma di masyarakat. Tujuan dibentuknya rumah singgah adalah resosialisasi
yaitu membentuk kembali sikap dan prilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai
dan norma yang berlaku di masyarakat dan memberikan pendidikan dini untuk
pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi
masyarakat yang produktif.

Dalam resosialisasi kepada anak jalanan, para tutor menggunakan prinsip


perkawanan dan kesejajaran. Meskipun mereka anak-anak, pengalaman
dijalanan telah membuat mereka matang. Resosialisasi menghindari pola
instruksi dan memberikan masukan-masukan terus-menerus dimana anak
sebagai objek. Anak jalana ditempatkan sebagai subjek atas perubahan yang
akan terjadi pada dirinya.prinsip yang berlaku adalah para tutor dengan anak
jalanan berdiskusi untuk merumuskan kegiatan, memberikan pertimbangan, dan
menyemangati upaya yang dipilih. Pada akhir rsosialisasi, anak jalanan
diharapkan sudah mampu menolong dirinya sendiri.

Seperti contohnya Andi Suhandi yang beberapa waktu lalu dinobatkan sebagai
"The Young Heroes" oleh sebuah acara televisi ternama. Ia berhasil mendirikan
sanggar pendidikan bagi anak jalanan, yang telah menampung banyak anak
jalanan dan sebagian dari mereka telah bersekolah di sekolah formal dan
berprestasi. Meskipun pada awalnya Andi mengalami kesulitan akan tetapi
kesulitan tersebut dapat dilalui berkat kesabaran dan kerja kerasanya. Hasilnya
anak-anaknya berhasil membawa pulang Tropi Walikota Juara 1 untuk tulis
puisi yang bertema anak jalanan dan Juara 2 lomba baca puisi, serta berhasil
meraih Juara 1 lomba teater pada 2009.

Jadi, sebenarnya apabila anak jalanan tersebut dibina dengan baik, mereka
memiliki potensi yang tidak kalah dengan anak pada umumnya. Anak jalanan
perlu dirangkul untuk mendapatkan haknya memperoleh pendidikan dan tidak
selalu dipandang sebelah mata.

Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak


jalanan sangat penting. Secara ringkas fungsi rumah singgah antara lain :

a. Sebagai tempat perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan yang


kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan prilaku
penyimpangan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya.
b. Rehabilitasi, yaitu mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial
anak.
c. Sebagai akses terhadap pelayanan, yaitu sebagai persinggahan
sementara anak jalanan dan sekaligus akses kepada berbagai
pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dll. Lokasi rumah
singgah harus berada ditengah-tengah masyarakat agar
memudahkan proses pendidikan dini, penanaman norma dan
resosialisasi bagi anak jalanan.
d. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan
atau k panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan
e. Memberikan alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak
dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga
masyarakat yang produktif dan mandiri.

Penelitian Terkait

Pada tingkat mikro, kehadiran anak jalanan di Kota Bandung sangat erat
kaitannya dengan “situasi anak dan keluarganya”. Situasi anak dan keluarga yang
berpengaruh terhadap munculnya fenomena anak jalanan meliputi; pertama, perlakuan
salah dan ketidak-mampuan orangtua/keluarga dalam menyediakan kebutuhan dasar
bagi anak akibat dari kondisi kemiskinan. Kedua,anak yang lari dari orang tua atau
keluarganya karena perceraian orang tua, konflik dalam keluarga, penolakan anak oleh
orangtua, dan kondisi terpisah dari orang tua atau kehilangan orangtua. Keluhan orang
tua anak jalanan terhadap anaknya yang mengatakan bahwa kehidupan sangat susah,
tidak punya biaya untuk sekolah atau doktrin-doktrin bahwa anak harus bertanggung
jawab untuk membantu ekonomi keluarga mempunyai pengaruh signifikan terhadap
pemikiran anak untuk membantu orang tua dalam mendapatkan penghasilan.

Berbagai perilaku anak dalam mendapatkan penghasilan di jalanan, diarahkan


atau diajarkan oleh orang tua atau kakak mereka. Dalam hal ini, orang tua/ibu bapak
dan kakaknya menjadi “mentor” bagi anak atau adiknya dalam melakukan difersifikasi
perubahan perilaku dalam aktivitasnya mendapatkan penghasilan di jalanan.Orang tua
mempunyai kontribusi dalam menentukan keberadaan anak di jalanan. Sebagian besar
dari orang tua yang anaknya berada di jalanan tidak peka terhadap kebutuhan atau hak-
hak anak mereka, tidak peka dan tidak peduli terhadap resiko kehidupan jalanan bagi
anak, dan tidak berusaha keras melindungi anak dari kehidupan jalanan.

Anak yang lari/keluar dari keluarga/orang tuanya melakukan proses


pembelajaran sosial di jalanan tentang cara mempertahankan hidup dan mendapatkan
penghasilan. Mereka melakukan komunikasi dan proses pembelajaran sosial cara
mendapatkan penghasilan di jalanan dari teman atau dari orang-orang yang telah lama
berada di jalanan.Orang tua tidak menyadari dan tidak tahu bahwa sesungguhnya
pilihan melibatkan anak dalam pemenuhan ekonomi keluarga merupakan pelanggaran
hak anak dan sangat membayakan bagi perkembangan anak-anak mereka.

Pada tingkat mezo, kehadiran anak jalanan berhubungan dengan kekurangan


sumber informal dilingkungan keluarga besar dan masyarakat yang dapat memberikan
dukungan atau kekuatan pada keluarga anak yang bermasalah. Pada tingkat makro,
keberadaan anak jalanan berkaitan dengan kesenjangan struktu rekonomi. Terdapat 6
perubahan perilaku yang dilakukan anak jalanan dalam aktivitasnya mendapatkan
penghasilan, yaitu; (1) ketika anak jalanan belum bisa berjalan dan berusia kurang dari 3
tahun; (2) ketika anak jalanan sudah dapat berjalan (usia 3 –5 tahun); (3) ketika anak
jalanan berusia 6 –8 tahun; (4) ketika anak jalanan berusia 9 –12 tahun; (5) ketika anak
jalanan berusia 13 –15 tahun; dan (6) ketika anak jalanan berusia 16 –18 tahun.

Daftar Pustaka
http://www.slideshare.net/fitriapastuti9/savedfiles?s_title=pendidikan-dan-anak-
jalanan&user_login=rampard08

http://www.smeru.or.id/report/other/cpsp/Ppt%20Day%202/Theme3%20Kalasan1/
Suharma_ppt_bahasa.pdf

http://maulodonk221027.blogspot.com/2012/06/faktor-faktor-yang-menyebabkan.html

http://saveanakjalnan.blogspot.com/2012/12/masalah-anak-jalanan-di-ibu-kota.html

http://tiana-simanjuntak.blogspot.com/2011/08/makalah-isbd-perilaku-sosial-
anak.html

Anda mungkin juga menyukai