Anda di halaman 1dari 35

TUGAS

MATA KULIAH HAK ASASI MANUSIA

EKSPLOITASI ANAK

DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

DOSEN PENGAMPU:

HANAFI RAMSI, S.H., M.H.


NIDN:0026079002

DISUSUN OLEH:
RABIATUL ADAWIYAH NPM:2208010441

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)


MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
BANJARMASIN
FAKULTAS HUKUM
2022
RINGKASAN

Anak merupakan anugerah Tuhan yang harus dilindungi dan


dikasihi. Namun sayangnya, dewasa ini, banyak kasus eksploitasi
yang terjadi dan menimpa anak-anak, bahkan seringkali terjadi di
kalangan keluarga mereka sendiri. Hal ini biasanya terjadi
dikarenakan adanya faktor keluarga dan ekonomi yang terjadi di
internal keluarga dari anak tersebut. Lebih jauh terkait hal ini,
jumlah anak yang mengalami eksploitasi ini seringkali juga
menunjukkan hubungannya dengan angka kematian anak yang ada
di Indonesia. Tulisan ini akan membahas bagaimana hubungan
eksploitasi yang terjadi pada anak-anak dalam perspektif Hak Asasi
Manusia dengan tingkat kematian anak. Penelitian menggunakan
pendekatan interdisipliner dengan menggabungkan ilmu hukum dan
ilmu kesejahteraan sosial, yang berkaitan dengan eksploitasi anak
dan perlindungan anak. Metode yang digunakan adalah yuridis
empiris, yaitu untuk melihat bagaimana eksistensi peraturan yang
berlaku yang berkaitan dengan perlindungan hak asasi anak
dengan kondisi sosial atau kondisi nyata bagi anak-anak tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksploitasi yang terjadi
pada anak-anak memberikan sumbangsih bagi peningkatan angka
kematian anak di Indonesia. Terdapat berbagai pendekatan-
pendekatan dan mekanisme-mekanisme alternatif yang harus
diambil dan dilakukan oleh pemerintah dalam menghentikan
peningkatan angka eksploitasi anak, yang salah satunya bisa ditiru
dari negara Australia.
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya

sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah dengan tepat waktu tanpa adanya hambatan.

Sholawat serta Salam juga semoga tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad

SAW.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hak Asasi Manusia. Selain itu,

makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Eksploitasi Anak bagi para pembaca dan

juga bagi penulis. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih sebesar- kepada dosen Mata Kuliah

Hak Asasi Manusia yang telah memberikan tugas terhadap saya.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan

karena keterbatasan saya. Maka dari itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran untuk

menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak

yang membutuhkan.

Banjarmasin……..2022

RABIATUL ADAWIYAH
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

melekat hak dan martabat manusia seutuhnya. Anak merupakan generasi penerus cita-

cita dan masa depan Bangsa. Di dalam masyarakat banyak anak yang belum tercukupi

kebutuhan hidupnya. Hambatan-hambatan tersebut di antara lain belum terpenuhinya

kesejahteraan jasmani, sosial, dan ekonomi. Orang tua yang seharusnya melindungi,

mencukupi, dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak justru memanfaatkan anaknya.

Orang tua berdalih sibuk mencari nafkah, kemiskinan, dan faktor-faktor struktural

mereka memanfaatkan anaknya. Anak mempunyai hak atas kelangsungan hidup,

tumbuh kembang, dan perlindungan.

Resesi ekonomi yang berkepanjangan merupakan salah satu faktor penggerak

“arus anak turun ke jalan”. Secara garis besar keberadaan anak di jalan dapat

dikelompokkan menjadi dua, salah satu di antaranya adalah anak jalanan yang masih

memiliki Orang tua. Anak-anak miskin seringkali haknya terabaikan. Anak-anak yang

hidup dalam kemiskinan seringkali terperangkap dalam situasi penuh penderitaan,

kesengsaraan, dan masa depan yang suram. Kurangnya pemenuhan hal kelangsungan

pendidikan anak menjadi salah satu faktor penyebab mereka menjadi anak jalanan.

Anak-anak yang hidup dari keluarga menengah ke bawah hanya mengenyam

pendidikan dasar. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan krisis kepercayaan pada anak

dalam lingkungan sosialnya dan keadaan ini yang mengakibatkan keberadaan anak

jalanan tiap tahunnya mengalami peningkatan. Peningkatan anak jalan setiap


tahunnya mengalami lonjakan pada tahun 1999 tercatat ada 50.000 Anak jalanan,

tahun 2002 tercatat ada 170.000 anak jalanan, dan pada 2009 tercatat 230.000 anak

jalanan. Hal ini membuktikan pertumbuhan anak jalanan selalu mengalami

peningkatan signifikan dan sangat rentan mengalami eksploitasi.

Eksploitasi anak merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang untuk memanfaatkan atau memeras tenaga kerja orang lain demi

kepentingan bersama maupun pribadi. Bagi keluarga miskin, anak pada umumnya

memiliki fungsi ekonomis, menjadi salah satu sumber pendapatan atau penghasilan

keluarga, sehingga anak sudah terbiasa sejak usia dini dilatih, dipersiapkan untuk

menghasilkan uang di jalanan. Eksploitasi anak jalanan sangat beragam, mulai dari

anak-anak yang dijadikan sebagai pengemis, pengamen, bahkan berjualan. Hal ini

dikuatkan oleh pernyataan dari Hadi Supeno yang merupakan Ketua Komisi

Perlindungan Anak Indonesia yang menyatakan bahwa eksploitasi anak-anak sangat

tinggi dan bervariasi, seakan-akan eksploitasi sudah menjadi budaya. Akar

permasalahan sosial anak jalanan sebenarnya bukan hanya bentuk perlakuan

salah/penyimpangan dari orang tua, Pemerintah juga menjadi salah satu faktor

penyebab permasalahan sosial ini.

Orang tua yang tingkat ekonomi menengah ke bawah terkadang terpaksa

mengeksploitasi anak-anaknya karena himpitan ekonomi. Pemerintah yang

seharusnya memiliki tanggung jawab dalam pemeliharaan anak-anak jalanan justru

tidak dapat mencari solusi pemecahan atas permasalahan tersebut. Dalam dunia

pendidikan contohnya, program wajib belajar 9 tahun dan sekolah gratis melalui

program Bantuan Operasional Sekolah atau yang disingkat dengan istilah (BOS),

seakan tidak ada artinya karena anak-anak dari ekonomi menengah ke bawah masih

dibebani oleh sekolah untuk membeli buku paket yang harganya cukup mahal.
Keadaan makin parah ketika buku-buku paket yang dibeli tidak dapat diwariskan

kepada adiknya karena tiap tahun kurikulum selalu berganti dan buku tersebut tidak

dapat digunakan lagi. Dalam situasi yang memberatkan semacam ini membuat Orang

tua dari tingkat ekonomi menengah ke bawah lebih memilih menjadikan anak-anak

mereka sebagai penopang ekonomi keluarga daripada bersekolah. Anak yang telah

mengalami tindakan eksploitasi ekonomi membutuhkan suatu bentuk penanganan,

salah satunya adalah rehabilitasi. Dalam peraturan perundang-undangan Rehabilitasi

diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Penghapusan

Tindak Pidana Perdagangan Orang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007

Nomor 58 memiliki pengertian sebagai pemulihan dari gangguan terhadap kondisi

fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik

dalam keluarga maupun dalam masyarakat

Rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan kemampuan fisik, mental dan

emosional korban, sehingga dapat hidup dengan kemampuan penyesuaian diri yang

cukup baik dalam mengembalikan psikologis, kesehatan, dan pendampingan agar

dikemudian hari mereka dapat kembali hidup dengan pemenuhan hak-hak yang lebih

baik kedepannya. Banyaknya Undang-Undang yang mengatur tentang anak

seharusnya mampu memberikan perlindungan yang lebih baik kepada anak jalanan,

namun kenyataannya anak jalanan yang menjadi korban eksploitasi tidak pernah

mendapatkan solusi yang baik dan tiap tahunnya, bahkan selalu mengalami

peningkatan. Oleh sebab itu dibutuhkan usaha yang lebih serius lagi dari Pemerintah,

Lembaga Sosial, dan Lingkungan masyarakat yang harus secara bersama-sama

membantu menangani permasalahan sosial ini. Dengan adanya perhatian lebih dari

semua komponen baik Pemerintah, Lembaga Sosial, dan masyarakat, dapat


memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak anak. Peraturan perundang-undangan

yang terkait dengan masalah eksploitasi ekonomi anak jalanan antara lain:

1. Undang–Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 28 B ayat (2) yang

menyatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh berkembang

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dan Pasal 34

yang berbunyi Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh negara.

2. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1958 Nomor 127 yang menentukan berlakunya UndangUndang Nomor 1

Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terutama Pasal 504

dan Pasal 504 dan Pasal 505 tentang Pengemis dan Gelandangan .7

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, terutama Pasal 2 dan Pasal

11. Dalam Pasal 2 mengemukakan bahwa anak berhak atas jaminan

kesejahteraan, pemeliharaan, dan perlindungan. Dalam Pasal 11 dikemukakan

bahwa kesejahteraan anak meliputi pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan

rehabilitasi menjadi tugas bersama antara pemerintah dan masyarakat.

4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai

Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja. Lembaran Negara Tahun 1999

Nomor 56

5. . 5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. Pasal 52 ayat (1)

dan (2), Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 64 yang mengatur Perlindungan Hak Anak

dari Tindakan Eksploitasi Ekonomi.

6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi mengenai

Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan


Terburuk Untuk Anak. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3941.

7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109. Pasal 13 ayat (1) butir b dan

(2) dan Pasal 66 ayat (1) dan (2) butir c tentang Perlindungan Khusus bagi Anak

yang Dieksploitasi Secara Ekonomi.

8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39. Khususnya dalam Pasal 74

(1) dan (2) yang mengatur tentang Pelarangan Perbudakan dan Jenis Pekerjaan

Terburuk bagi Anak.

9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang

Pengesahan Convention on The Rights of The Child Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1990 Nomor

10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi

Perlindungan Anak Indonesia.

Pemerintah sudah seharusnya lebih memperhatikan anak jalanan agar anak

jalanan dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,

berahlak mulia, dan sejahtera di kemudian hari. Dengan adanya tindakan yang lebih

serius lagi dari pemerintah diharapkan jumlah anak yang “turun” ke jalan menjadi

anak jalanan jumlahnya bisa berkurang, Anak jalanan bisa menikmati hak-haknya

sebagai anak Indonesia yang merdeka, sejahtera, dan bahagia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana instrumen perlindungan terhadap hak asasi anak?


2. Bagaimana perlindungan Hukum terhadap korban Eksploitasi anak?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mendeskripsikan perlindungan Hukum terhadapat HakAsasi Anak?

2. Untuk mendeskripsikan perlindungan Hukum terhadap korban Eksploitasi Anak?

D. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan. Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

kemudian tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka. Berisi tentang uraian mengenai tinjauan teori Eksploitasi

anak.

BAB III Pembahasan. Berisi tentang permasalahan yang diangkat dari rumusan

masalah yaitu instrumen perlindungan terhadap hak asasi anak dan perlindungan

Hukum terhadap korban Eksploitasi Anak

BAB IV Penutup. Berisi tentang kesimpulan dari semua materi atau pembahasan yang

diangkat serta saran.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Eksploitasi Anak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), pengertian eksploitasi adalah

pemanfaatan untuk keuntungan sendiri, penghisapan, pemerasan atas diri orang lain

yang merupakan tindakan tidak terpuji. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1979 tentang Kesejahteraan anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang

berusia di bawah 21 Tahun dan belum menikah, sedangkan menurut Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut undang-

undang tersebut, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun, belum menikah,

dan termasuk anak yang masih di dalam kandungan (berarti segala kepentingan yang

mengupayakan perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak berada di dalam

kandungan hingga berusia 18).

Adapun usaha perlindungan anak harus diterapkan sebaik mungkin, karena

perlindungan anak merupakan cerminan dari adanya keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian hukum dalam suatu masyarakat. Memperhatikan dan menanggulangi

masalah perlindungan anak merupakan suatu kewajiban bersama-sama oleh setiap

anggota masyarakat dan pemerintah apabila ingin berhasil melakukan pembangunan

nasional dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Adapun yang dimaksud dengan eksploitasi anak oleh orangtua atau pihak

lainnya, yaitu menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau

turutserta melakukan eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak (Pasal 66 ayat 3

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlundungan Anak). Dengan demikian, jelaslah

bahwa eksploitasi anak merupakan tindakan tidak terpuji, karena tindakan eksploitasi
anak telah merampas hak-hak anak, seperti mendapatkan kasih sayang dari orangtua,

pendidikan yang layak, dan sarana bermain yang sesuai dengan usianya. Selain itu,

ekspoitasi pada anak dapat berdampak pada gangguan fisik maupun psikologis anak.

Gangguan pada anak juga dapat berdampak panjang pada masa depan anak yang

kurang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah karena rendahnya

tingkat pendidikan anak yang dieksploitasi

B. Bentuk-Bentuk Eksploitasi Anak

1. Eksploitasi Fisik

Eksploitasi fisik adalah penyalahgunaan tenaga anak untuk dipekerjakan demi

keuntungan orangtuanya atau orang lain seperti menyuruh anak bekerja dan

menjuruskan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya belum dijalaninya (iin-

green.web.id/2010/05/08/definisi-kekerasan-terhadap- anak/). Dalam hal ini, anak-

anak dipaksa bekerja menggunakan segenap tenaganya dan juga mengancam jiwanya.

Tekanan fisik yang berat dapat menghambat perawakan atau fisik anakanak hingga

30% karena mereka mengeluarkan cadangan stamina yang harus bertahan hingga

dewasa. Oleh sebab itu, anak-anak sering mengalami cedera fisik yang bisa

diakibatkan oleh pukulan, cambukan, luka bakar, lecet dan goresan, atau memar

dengan berbagai tingkat penyembuhan, fraktur, luka pada mulut , bibir, rahang, dan

mata.

2. Eksploitasi Sosial

Eksploitasi sosial adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan terhambatnya

perkembangan emosional anak. Hal ini dapat berupa kata-kata yang mengancam atau

menakut-nakuti anak, penghinaan anak, penolakan anak, menarik diri atau

menghindari anak, tidak memperdulikan perasaan anak, perilaku negatif pada anak,

mengeluarkan kata-kata yang tidak baik untuk perkembangan emosi anak,


memberikan hukuman yang ekstrim pada anak seperti memasukkan anak pada kamar

gelap, mengurung anak di kamar mandi, dan mengikat anak. Pada sektor jasa,

terutama hotel dan hiburan, anak-anak direkrut berdasarkan penampilan, dan

berkemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Mereka harus melayani

para pelanggan yang kebanyakan orang dewasa, sehingga berpeluang untuk

mengalami tekanan batin karena mengalami rayuan-rayuan seksual.

3. Eksploitasi Seksual

Eksploitasi seksual adalah keterliban anak dalam kegiatan seksual yang tidak

dipahaminya. Eksploitasi seksual dapat berupa perlakuan tidak senonoh dari orang

lain, kegiatan yang menjurus pada pornografi, perkataan-perkataan porno, membuat

anak malu, menelanjangi anak, prostitusi anak, menggunakan anak untuk produk

pornografi dan melibatkan anak dalam bisnis prostitusi. Eksploitasi seksual dapat

menularkan penyakit HIV/AIDS atau penyakit seksual lainnya kepada anak-anak

karena anak-anak biasanya “dijual” untuk pertama kalinya saat masih perawan. Bukan

hanya itu, Ayom (dalam narchrowi, 2004) juga menyebutkan anak-anak pelacur

rentan terhadap penggunaan obat-obatan terlarang, sedangkan Bellamy (dalam

Narchrowi, 2004) menyebutkan dampak secara umum, yaitu merusak fisik dan

psikososial.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Eksploitasi Anak Di jalanan

A. Faktor Kurangnya Pengawasan

Orang Tua Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang ditemui

individu sejak mereka lahir ke dunia. Lingkungan keluarga pertama adalah Ayah, Ibu

dan individu itu sendiri. Hubungan antara individu dengan kedua orangtuanya

merupakan hubungan timbal balik dimana terdapat interaksi di dalamnya.


Setiap orangtua tentunya ingin yang terbaik bagi anak-anak mereka.

Keinginan ini kemudian akan membentuk pola asuh yang akan ditanamkan orangtua

kepada anak-anak. Pola asuh pada prinsipnya merupakan parental control yaitu

bagaimana orangtua mengontrol, membimbing, dan mendampingi anak-anaknya

untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya menuju pada proses pendewasaan.

Pola asuh terbagi ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:

1. Pola asuh otoriter (authoritarian parenting) Orangtua dengan tipe pola asuh ini

biasanya cenderung membatasi dan menghukum. Mereka secara otoriter mendesak

anak untuk mengikuti perintah dan menghormati mereka. Orangtua dengan pola ini

sangat ketat dalam memberikan Batasan dan kendali yang tegas terhadap anak-anak,

serta komunikasi verbal yang terjadi juga lebih satu arah. Orangtua tipe otoriter

umumnya menilai anak sebagai obyek yang harus dibentuk oleh orangtua yang

merasa “lebih tahu” mana yang terbaik bagi anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan

pola otoriter sering kali terlihat kurang bahagia, ketakutan dalam melakukan sesuatu

karena takut salah, minder, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah.

Contoh orangtua dengan tipe pola asuh ini, mereka melarang anak laki-laki bermain

dengan anak perempuan, tanpa memberikan penjelasan ataupun alasannya.

2. Pola asuh demokratis/otoritatif (authotitative parenting)

Pola pengasuhan dengan gaya otoritatif bersifat positif dan mendorong anak-

anak untuk mandiri, namun orangtua tetap menempatkan batas-batas dan kendali atas

tindakan mereka. Orangtua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk

memilih dan melakukan suatu tindakan, serta pendekatan yang dilakukan orangtua ke

anak juga bersifat hangat. Pada pola ini, komunikasi yang terjadi dua arah dan

orangtua bersifat mengasuh dan mendukung. Anak yang diasuh dengan pola ini akn
terlihat lebih dewasa, mandiri, ceria, mampu mengendalikan diri, beriorientasi pada

prestasi, dan mampu mengatasi stresnya dengan baik.

3. Pola asuh permisif (permissive parenting)

Orangtua dengan gaya pengasuhan ini tidak pernah berperan dalam kehidupan

anak. Anak diberikan kebebasan melakukan apapun tanpa pengawasan dari orangtua.

Orangtua cenderung tidak menegur atau memperingatkan, sedikit bimbingan,

sehingga seringkali pola ini disukai oleh anak. Orangtua dengan pola asuh ini tidak

mempertimbangkan perkembangan anak secara menyeluruh. Anak yang diasuh

dengan pola ini cenderung melakukan pelanggaran-pelanggaran karena mereka tidak

ammpu mengendalikan perilakunya, tidak dewasa, memiliki harga diri rendah dan

terasingkan dari keluarga. Dewasa ini, orangtua yang pada dasarnya menginginkan

yang terbaik bagi anak-anak mereka, tanpa sadar juga melakukan kesalahan dalam

penerapan pola asuh terhadap anak-anak. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain:

1. Memberi banyak pilihan : Terlalu banyak memberikan pilihan dapat membuat anak

kewalahan.

2. Terlalu dimanjakan : Berusaha memenuhi setiap permintaan anak akan membuat

anak sulit merasa puas dan membuat mereka suka memaksa.

3. Membuat anak sibuk : Anak yang terlalu sibuk selain kelelahan juga bisa

membuatnya jadi korban bullying.

4. Kepintaran dianggap paling penting : Membangga-banggakan prestasi akademik

anak dapat membuat anak menjadi arogan dan merasa orang lain lebih bodoh. Kondisi

ini justru membuat anak dijauhi teman-temannya.

5. Menyembunyikan topik sensitif seperti seks : Kebanyakan orangtua takut

membicarakan soal seks dan percaya bahwa menghindari diskusi ini dengan anak-

anak mereka bisa membuat anak terhindar dari perilaku seksual tidak pantas. Padahal,
topik tentang pendidikan seks bisa dimulai sejak dini, disesuaikan dengan pemahaman

anak.

6. Terlalu sering mengkritik : Anak yang orangtuanya terlalu sering mengritik akan

tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri atau menuntut kesempurnaan dalam

segala hal. Saat ia melakukan kesalahan, mereka merasa tidak berguna dan marah.

7. Membebaskan anak nonton tv atau main gadget : Batasi waktu Anda menatap layar

elektronik, entah itu televisi, ponsel, atau gadget lain. Bahkan, seharusnya anak tidak

diperkenalkan dengan gadget sebelum mereka berusia di atas dua tahun.

8. Terlalu melindungi anak : Naluri orangtua adalah melindungi anak, tetapi bukan

berarti anak harus “dipagari” dari kesusahan. Pola asuh seperti ini dapat membuat

anak kurang bersyukur dan menghargai sesuatu. Terkadang anak juga perlu belajar

menghadapi kehilangan atau masalah. Beberapa hal yang perlu dilakukan orangtua

untuk dapat memberikan pola pengasuhan yang baik pada anak adalah:

1. Memberikan pujian atas usaha yang sudah dilakukan anak. Hal ini bisa membangun

rasa percaya diri anak.

2. Hindari anak dari trauma fisik dan psikis. Marah kepada anak atas kesalahan yang

mereka lakukan adalah hal yang wajar, sebatas tujuannya adalah untuk mengajarkan

anak.

3. Penuh kasih sayang. Dukung perkembangan anak dengan memberikan kasih

sayang dan kehangatan. Sikap hangat dari orangtua akan membantu mengembangkan

sel saraf dan kecerdasan anak.

4. Tidak membandingkan anak dengan anak lain. Setiap anak memiliki keunikannya

masing-masing, sehingga tiap anak akan memiliki kelebihan dan kekurangannya.

Yang perlu dilakukan orangtua adalah fokus mengembangkan kelebihannya.


5. Tidak otoriter. Jangan memaksakan kehendak orangtua kepada anak. Sebaliknya,

orangtua harus menjadi fasilitator yang dapat mengembangkan bakat anak.

6. Berikan tanggungjawab. Mengajarkan tanggung jawab kepada anak dapat

dilakukan sedini mungkin agar anak dapat perduli terhadap sekitarnya.

7. Penuhi kebutuhan gizi Makanan merupakan faktor penting yang menentukan

kecerdasan anak.

8. Menciptakan lingkungan yang positif. Lingkungan yang mendukung terhadap bakat

dan kreativitas anak, orangtua yang selalu memberikan pandangan positif pada anak,

akan dapat membentuk anak menjadi individu yang lebih mandiri dan tidak mudah

putus asa.

9. Aktif berkomunikasi dengan anak. Ada baiknya bila anak dan orangtua saling

terbuka, sehingga anak akan lebih nyaman untuk bercerita kepada orangtua.

Pola asuh orang tua itu dibentuk. Faktor yang mempengaruhi pola asuh

orangtua sangatlah banyak. Faktor-faktor ini bisa membentuk orang tua menjadi

pengasuh yang baik bagi si kecil ataupun sebaliknya. Dan dalam mengubah pola asuh,

orang tua pun perlu bekerja keras dimulai dari mengenal dirinya sendiri, kelebihan

dan kelemahannya dan lalu membentuk dirinya dengan kebiasaan baru sehingga dia

bisa mengasuh anak-anaknya lebih baik.

Sekilas gambaran mengenai Hurlock, beliau adalah seorang psikolog yang

pertama kali berargumen tentang pentingnya pujian dalam mendidik anak di sekolah.

Efek pujian membentuk lingkungan yang lebih sehat dalam pembelajaran dibanding

teori mendidik anak berdasarkan umur, jenis kelamin atau kemampuan. Buat orang

tua yang dibesarkan dengan keluarga yang kaku atau miskin pujian, tentulah ini bukan

sebuah budaya. Makanya orang tua perlu mengetahui titik permasalahannya dirinya di
mana dan mulai memperbaikinya. Faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua

menurut Hurlock adalah sebagai berikut:

1. Kepribadian orang tua

Setiap orang tua memiliki kepribadian yang berbeda. Hal ini tentunya sangat

mempengaruhi pola asuh anak. Misalkan orang tua yang lebih gampang marah

mungkin akan tidak sabar dengan perubahan anaknya. Orang tua yang sensitif lebih

berusaha untuk mendengar anaknya.

2. Persamaan dengan pola asuh yang diterima orang tua

Sadar atau tidak sadar, orang tua bisa mempraktekkan hal-hal yang pernah dia

dengar dan rasakan dari orang tuanya sendiri. Orang tua yang sering dikritik juga akan

membuat dia gampang mengkritik anaknya sendiri ketika dia mencoba melakukan

sesuatu yang baru.

3. Agama atau keyakinan

Nilai-nilai agama dan keyakinan juga mempengaruhi pola asuh anak. Mereka

akan mengajarkan si kecil berdasarkan apa yang dia tahu benar misalkan berbuat baik,

sopan, kasih tanpa syarat atau toleransi. Semakin kuat keyakinan orang tua, semakin

kuat pula pengaruhnya ketika mengasuh si kecil.

4. Pengaruh lingkungan

Orang tua muda atau baru memiliki anak-anak cenderung belajar dari

orangorang di sekitarnya baik keluarga ataupun teman-temannya yang sudah memiliki

pengalaman. Baik atau buruk pendapat yang dia dengar, akan dia pertimbangkan

untuk praktekkan ke anak-anaknya.

5. Pendidikan orang tua


Orang tua yang memiliki banyak informasi tentang parenting tentu lewat

buku, seminar dan lain-lain akan lebih terbuka untuk mencoba pola asuh yang baru di

luar didikan orang tuanya.

6. Usia orang tua

Usia orang tua sangat mempengaruhi pola asuh. Orang tua yang muda

cenderung lebih menuruti kehendak anaknya dibanding orang tua yang lebih tua. Usia

orang tua juga mempengaruhi komunikasi ke anak. Orang tua dengan jarak yang

terlalu jauh dengan anaknya, akan perlu kerja keras dalam menelusuri dunia yang

sedang dihadapi si kecil. Penting bagi orang tua untuk memasuki dunia si kecil.

7. Jenis kelamin

Ibu biasanya lebih bersifat merawat sementara bapak biasa lebih memimpin.

Bapak biasanya mengajarkan rasa aman kepada anak dan keberanian dalam memulai

sesuati yang baru. Sementara ibu cenderung memelihara dan menjaga si kecil dalam

kondisi baik-baik saja. 8. Status sosial ekonomi

Orang tua dengan status ekonomi sosial biasanya lebih memberikan

kebebasan kepada si kecil untuk explore atau mencoba hal-hal yang lebih bagus.

Sementara orang tua dengan status ekonomi lebih rendah lebih mengajarkan anak

kerja keras. Kehidupan ekonomi merupakan hal yang fudalmental bagi seluruh

struktural sosial dan kultural dan, dan karenanya menentukan semua urusan dalam

struktur tersebut. Kondisi-kondisi dan perubahan-perubahan ekonomi mempunyai

pengaruh besar dalam terjadinya kejahatan26, faktor ini di latar belakangi oleh

kondisi perekonomian seseorang maupun keluarga yang tak didukung dengan

ketersediaan lapangan pekerjaan di daerahnya. Pada dasarnya para anak kebanyakan

menjalankan hal tersebut berdasarkan kondisi perekonomian karna faktor ekonomi

merupakan pangkal utama dalam peningkatan jumlah pekerja anak, harga bahan
pokok yang semakin mahal tingkat kebutuhan yang tinggi serta pengeluaran yang

bertambah menuntut anak terjun untuk membantu mencukupi kebutuhan dasarnya,

sebagai kasus pekerja anak ini terjadi pada keluarga menengah kebawah.

9. Kemampuan anak

Orang tua sering membedakan perhatian terhadap anak yang berbakat, normal

dan sakit misalkan mengalami sindrom autisme dan lain-lain. 10. Situasi Anak yang

penakut mungkin tidak diberi hukuman lebih ringan dibanding anak yang agresif dan

keras kepala

C. Faktor Lingkungan Sosial

Kondisi tempat tinggal dan lingkungan pergaulan kadangkala membawa

warna tersendiri dalam kehidupan seseorang. Lingkungan merupakan kondisi yang

mempengaruhi karakter/tindakan seseorang. Lingkungan sosial lebih erat

hubungannya dengan analisis sosiologi, sebab timbulnya kejahatan ditentukan 31 oleh

pengaruh lingkungan sosial, lingkungan fisik dan keturunan sebagai ruang studi

sosiologi. Pengaruh lingkungan sosial ini kemudian dapat melahirkan perspektif

interaksionis dan sosiologi kriminalitas yang tidak hanya memandang kepada pelaku

tindakan kriminalitas sebagai titik sentralnya, tetapi juga hukum dan pelembagaannya.

Untuk itu dalam mencari sebab tidak cukup hanya menitikberatkan pada pelaku

kejahatannya

Pengaruh sosial dalam terjadinya kekerasan dalam rumah tangga cukup besar

namun tidak memengaruhi keputusan korban untuk melaporkan kekerasan yang

diterimanya pada pihak Kepolisian. Hal ini dapat dilatarbelakangi oleh beberapa

stigma yang ada di masyarakat. Korban khawatir akan adanya penolakan maupun

citra negatif yang diberikan masyarakat terhadap korban maupun pelaku. Selain itu,

masyarakat masih menganggap bahwa perceraian adalah hal yang memalukan karena
menggambarkan kegagalan dalam membangun rumah tangga. Adanya stereotipe

negatif dari masyarakat membuat korban kekerasan dalam rumah tangga merasa

kurang percaya diri, depresi, dan cenderung menyalahkan dirinya sendiri sebagai

pihak yang pantas menerima kekerasan dari pelaku. Kondisi lingkungan sosial juga

dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial

yang dapat menyebabkan kekerasan dan penelantaran pada anak diantaranya:

a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis;

b. Kondisi sosial ekonomi yang rendah;

c. Adanya nilai dalam masyarat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri;

d. Status wanita yang dipandang rendah; 32

e. Sistem keluarga patriarkal; dan Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.

B. Bentuk-Bentuk Eksploitasi Anak

1. Eksploitasi Fisik

Eksploitasi fisik adalah penyalahgunaan tenaga anak untuk dipekerjakan demi

keuntungan orangtuanya atau orang lain seperti menyuruh anak bekerja dan

menjuruskan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya belum dijalaninya (iin-

green.web.id/2010/05/08/definisi-kekerasan-terhadap- anak/). Dalam hal ini, anak-

anak dipaksa bekerja menggunakan segenap tenaganya dan juga mengancam jiwanya.

Tekanan fisik yang berat dapat menghambat perawakan atau fisik anakanak hingga

30% karena mereka mengeluarkan cadangan stamina yang harus bertahan hingga

dewasa. Oleh sebab itu, anak-anak sering mengalami cedera fisik yang bisa

diakibatkan oleh pukulan, cambukan, luka bakar, lecet dan goresan, atau memar

dengan berbagai tingkat penyembuhan, fraktur, luka pada mulut , bibir, rahang, dan

mata.

2. Eksploitasi Sosial
Eksploitasi sosial adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan

terhambatnya perkembangan emosional anak. Hal ini dapat berupa kata-kata yang

mengancam atau menakut-nakuti anak, penghinaan anak, penolakan anak, menarik

diri atau menghindari anak, tidak memperdulikan perasaan anak, perilaku negatif pada

anak, mengeluarkan kata-kata yang tidak baik untuk perkembangan emosi anak,

memberikan hukuman yang ekstrim pada anak seperti memasukkan anak pada kamar

gelap, mengurung anak di kamar mandi, dan mengikat anak. Pada sektor jasa,

terutama hotel dan hiburan, anak-anak direkrut berdasarkan penampilan, dan

berkemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Mereka harus melayani

para pelanggan yang kebanyakan orang dewasa, sehingga berpeluang untuk

mengalami tekanan batin karena mengalami rayuan-rayuan seksual.

3. Eksploitasi Seksual

Eksploitasi seksual adalah keterliban anak dalam kegiatan seksual yang tidak

dipahaminya. Eksploitasi seksual dapat berupa perlakuan tidak senonoh dari orang

lain, kegiatan yang menjurus pada pornografi, perkataan-perkataan porno, membuat

anak malu, menelanjangi anak, prostitusi anak, menggunakan anak untuk produk

pornografi dan melibatkan anak dalam bisnis prostitusi. Eksploitasi seksual dapat

menularkan penyakit HIV/AIDS atau penyakit seksual lainnya kepada anak-anak

karena anak-anak biasanya “dijual” untuk pertama kalinya saat masih perawan. Bukan

hanya itu, Ayom (dalam narchrowi, 2004) juga menyebutkan anak-anak pelacur

rentan terhadap penggunaan obat-obatan terlarang, sedangkan Bellamy (dalam

Narchrowi, 2004) menyebutkan dampak secara umum, yaitu merusak fisik dan

psikososial.

C. Dampak Eksploitasi Anak

Terjadinya tindakan eksploitasi pada anak tentunya akan memberi dampak


negatif pada masa depan anak itu sendiri..
1. Dampak Eksploitasi Seksual pada Anak

Dampak yang bisa dirasakan dari anak yang mengalami bentuk eksploitasi ini,
meliputi:

 Cedera fisik.
 Kehamilan.
 Infeksi menular seksual.
 Penurunan berat badan.
 Anak dapat menyakiti dirinya sendiri.
 Gangguan kesuburan.
 Rambut rontok.
 Pola makan yang buruk.

2. Dampak Eksploitasi Sosial pada Anak

Eksploitasi sosial dapat menimbulkan beberapa efek negatif, seperti:

 Mengisolasi diri dari teman dan keluarga.


 Kehilangan hobi dan minat.
 Kesulitan mengembangkan dan mempertahankan hubungan.
 Menghindari tempat dan orang tertentu.

3. Dampak Eksploitasi Ekonomi pada Anak

Penyalahgunaan fisik dan tenaga anak-anak, dapat menimbulkan dampak


seperti:

 Berhutang alkohol atau narkoba.


 Kesulitan keuangan.
 Mencuri.
 Kesulitan mengakses pendidikan.
BAB III

PEMBAHASAN

A.Bagaimana Instrumen perlindungan terhadap Hak Asasi Anak

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita

luhurbangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan

sebagaisumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat

kesempatanseluasluasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar

baik secararohani, jasmani dan sosial. perlindungan anak merupakan usaha

dan kegiatanseluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita

luhurbangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan

sebagaisumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat

kesempatanseluasluasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar

baik secararohani, jasmani dan sosial. perlindungan anak merupakan usaha

dan kegiatanseluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan

peranan, yangmenyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di

kemudian hari. Jikamereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental

dan sosialnya, maka tiba saat ny menggantikan generasi terdahulu.

terdahulu.
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk

menciptakankondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan

kewajibannya demiperkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar

baik fisik, mental, dansosial. perlindungan anak merupakan perwujudan

adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan

anak diusahakan dalamberbagai bidang kehidupan bernegara dan

bermasyarakat. Kegiatanperlindungan anak membawa akibat hukum,

baik dalam kaitannya denganhukum tertulis maupun hukum tidak

tertulis.72.3.3 Bentuk-bentuk Perlindungan AnakSecara garis besar dapat

disebutkan bahwa perlindungan anak dapatdibedakan dalam dua

pengertian, yakni perlindungan anak yang bersifatyuridis dan

perlindungan anak yang bersifat non yuridis.Perlindungan anak yang

bersifat yuridis menyangkut semua aturan hukumyang mempunyai

dampak langsung bagi kehidupan seorang anak, dalam artisemua aturan

hukum yang mengatur kehidupan anak. Di Indonesia berlakuperaturan di

samping hukum tertulis, berlaku pula hukum yang tidak tertulis,

sehingga ruang lingkupperlindungan anak yang bersifat yuridis ini juga

meliputi ketentuan-ketentuanhukum adat. Perlindungan hukum yuridis

meliputi perlindungan dalam: a. Bidang hukum publik Perlindungan hukum

dalam bidang publik, dalamperlindungan hukum terhadap rakyat dalam

ranah publik dimana tindakanhukum publik yang dilakukan oleh penguasa

dalam menjalankan fungsinyasebagai pemerintahan. Tindakan tersebut

yang dilakukan oleh penguasadalam bentuk keputusan maupun

ketetapan dalam instrumen pemerintah.Keputusan dan ketetapan

sebagai intrumen hukum pemerintah dalammelakukan tindakan hukum


sepihak dapat menjadi penyebab terjadinyapelanggaran hukum

terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukummodern yang

memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah untukmencampuri

kehidupan warga negara. Oleh karena itu, diperlukanperlindungan

hukum bagi warga negara terhadap tindakan hukum pemerintah.

8Berdasarkan konvensi hak-hak anak, hak-hak anak secara umum dapat

dikelompokkan 4 (empat) kategori hak-hak anak, antara lain :a. Hak untuk

kelangsungan hidup (the right to survival) yaitu hak-hakuntuk

melestarikan dan mempertahankan hidup (the right of live) danhak untuk

memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-

baiknya. Hak ini antara lain termuat dalam pasal-pasalberupa :1) Hak

anak mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjakdilahirkan.2)

Hak anak untuk hidup bersama orang tuanya, kecualai kalau hal inidianggap

tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya. 3) Kewajiban Negara untuk

melindungi anak-anak dar segala bentuksalah perlakuan (abuse).4) Hak

anak penyandang cacat (disabled) untuk memperolehpengasuhan,

pendidikan, dan latihan khusus.5) Hak anak untuk menikmati standar

kehidupan yang memadai, dantanggung jawab utama orang tua,

kewajiban Negara untukmemenuhinya.6) Hak anak atas pendidikan dan

kewajiban Negara untuk menjaminagar pendidikan dasar disediakan

secara cuma-cuma dan berlaku wajib.

B.Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Korban Eksploitasi Anak


Perlindungan anak sebenarnya telah terintegrasi dalam hukum nasional yang

terserak-serak didalam KUHPerdata, KUHPidana, dan sejumlah peraturan

perundangan-undangan tentang perlindungan anak.

Secara internasional, sejak tahun 1989 masyarakat dunia telah mempunyai

instrumen hukum, yakni Konvensi Hak Anak (Un’s Convention on the Rights of the

Child). KHA mendeskripsikan hak-hak anak secara detail, menyeluruh dan maju.

Karena KHA memposisikan anak sebagai dirinya sendiri dan hak anak sebagai

segmen manusia yang harus dibantu perjuangan bersama-sama orang dewasa.

Praktek perlakuan salah terhadap anak, makin maraknya kasus perkosaan

anak, kekerasan terhadap anak (domestik dan disektor publik), kekerasan psiskis dan

mentalitas serta beban yang berat, ekploitasi dan penekanan anak dalam media iklan,

siaran televisi, dan kebijakan serta hukum yang tidak pro hak anak. Bahkan perlakuan

aparatus penegak hukum, apakah para hakim, jaksa, polisi yang dalam praktek

penegakan hukum anak cendeung memidana anak. Padahal menurut prinsip hukum

pidana, pidana bagi anak adalah pilihan yang terakhir.

Oleh karena itu, mengimplemntasikan hak anak diupayakan untuk

meneguhkan tatanan, sistem dan konstruksi struktural yang pro anak/hak anak. Upaya

ini sejalan dengan upaya reformasi hukum yang mengikis tesis hukum yang

eksploitatif-destruktif terhadap anak.

Sosialisasi, promosi, dan penegakan hak-hak anak perlu dilakukan terus

menerus dan sungguh-sungguh, mengingat masalah anak belum manjadi isu utama

dalam pembangunan. Menegakan hak-hak anak membutuhkan komitmen dengan

orang dewasa yang memiliki kekuatan, kapitakuatan mendesak, dan sumber daya

pendukung lainnya. Karena kodratnya yang lemah dalam masa pertumbuhan,

bagaimanapun, anak tidak bisa dibiarkan mandiri secara total. Anak bukan orang
dewasa dalam ukuran mini sehingga tidak absah dibiarkan berjuang sendiri

menegakan hak-hak anak yang tertulis indah dalam dokumen formal ataupun

ketentuan hukum. Disinilah urgensi advokasi dan perlindungan hukum anak untuk

menciptakan tatanan dunia yagn lebih baik bagi anak.

Hak-hak anak sebagai mana dimaksud dalam dokumen hukum mengenai

perlindungan hak-hak anak masih belum cukup ampuh bisa menyingkirkan keadaan

yang buruk bagi anak. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan prilaku kehidupan

masyarakat masih menyimpan masalah anak. Bahkan keadaan seperti itu bukan saja

melanda Indonesia, namun juga hampir pada seluruh muka jagat bumi ini.

Dengan mengembangkan realitas anak-anak dewasa ini, dimaksudkan untuk

memberikan gambaran betapa masalah anak belum mereda dalam perkembangan

pembangunan dunia yang pesat diantaranya termasuk di Indonesia. Gambaran dimuka

menunjukan bahwa perlindungan anak dan pelaksanaan hak-hak anak masih perlu

dimaksimalkan sebagai gerakan global yang melibatkan seluruh potensi negara

bangsa-bangsa didunia.

Anak juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai anak, dan hak anak

tersebut antara lain setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berispirasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, setiap anak berhak atas suatu

nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan dan anak juga berhak

beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat

kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua, anak juga berhak menyatakan

dan didengarkan pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai

dengan kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai

kesusilaan dan kepatutan, yang terpenting, setiap anak selama dalam pengasuhan
orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan

berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik

eksploitasi ekonomi maupun seksual, penelantaran , kekejaman, kekerasan,

penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.

penelitian Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK) adalah sebagai

berikut; pertama, kemiskinan. Rendahnya ekonomi keluarga merupakan faktor

dominan yang menyebabkan anak-anak terlibat mencari nafkah. Anak sering menjadi

sumber penghasilan yang sangat penting. Bahkan dalam banyak hal, pekerja anak

dipandang sebagai mekanisme survival untuk mengeliminasi tekanan kemiskinan

yang tidak terpenuhi dari hasil kerja orangtua.

Terlibatnya anak dalam kegiatan ekonomi juga karena adanya dorongan untuk

membantu meringankan beban orangtua, bekerja untuk mendapatkan penghormatan

dari masyarakat, juga keinginan menikmati hasil usaha kerja, merupakan faktor-faktor

motivasi pekerja anak.

Akan tetapi sebab terbesar yang mendorong anak-anak bekerja adalah tuntutan

orangtua dengan tujuan mendapat tambahan pemasukan bagi keluarga. Anak-anak

seringkali tidak dapat menghindar untuk tidak ikut terlibat dalam pekerjaan. Akan

tetapi mengapa sampai sekarang ini masih saja terjadi bentukbentuk

pengeksploitasian terhadap anak? Tugas yang seharusnya dikerjakan oleh orang tua

untuk bekerja mencari nafkah, kini dibebankan kepada anak-anak yang belum terlalu

mengerti dan pahami benar dunia kerja itu seperti apa? Anak-anak seharusnya

diajarkan untuk mendapatkan pendidikan yang layak guna menghadapi masa depan

sebagai seorang penerus bangsa akan tetapi anak-anak malah diajarkan untuk

bagaimana melakukan suatu pekerjaan yang dapat menghasilkan uang agar supaya

tetap bertahan hidup. Bahkan ada orang tua yang mengajarkan kepada anak-anaknya
untuk mencari uang dengan cara-cara yang salah seperti mencuri dll. Ada juga anak-

anak yang meniru vara-cara mendapatkan uang dengan mudah lewat adeganadegan

yang ditayangkanditelevisi. Ini tertjadi akibat kurangnya didikan dari kedua

orangtuanya.

Banyak faktor – faktor pendorong sehingga eksploitasi anak kerap terjadi di

Indonesia, diantaranya : Faktor lingkungan keluarga. Tugas orang tua sebagai

pendidik adalah mendidik mengajarkan kepada anak – anak hal – hal yang bersifat

positif sehingga anak – anak menjadi penerus bangsa yang mampu membawa bangsa

menjadi suatu bangsa yang mampu menjadi contoh bagi bangsa – bangsa lain. Bahkan

orang tua ikut seharusnya menjadi contoh yang baik kepada anak – anak mereka harus

menjadi anak – anak yang berguna bagi bangsa dan negara.Faktor lingkungan

keamanan.Permasalahan yang timbul juga disebabkan faktor lingkungan keamanan

sekitar. Dari fakta yang ada, dalam kurun waktu lima tahun terakhir ratusan ribu anak

terjebak dalam berbagai konflik di tanah air, seperti yang terjadi di poso, aceh, irian,

maluku, dan tempat – tempat lain baik di jawa maupun di luar jawa. Mereka

mendapatkan suatu tekanan batin karena mereka harus menyaksikan bahkan

mengalami kejadian kekerasan luar biasa, kehilangan orangtua dan sanak saudara

serta tempat tinggal akibat konflik yang berkepanjangan. Hal ini mendorong mereka

untuk bekerja sendiri untuk mencari uang. Keadaan mereka seperti ini yang sudah

kehilangan orang tua membuat mereka mudah terjerumus dalam eksploitasi anak.

Faktor ekonomi (kemiskinan) Sebagai salah satu konsekuensi dari krisis multi

dimensional yang menimpa masyarakat dunia pada umumnya, di Indonesia pada

khususnya, kemiskinan merupakan salah satu faktor terbesar yang menyebabkan

pengekspolitasian anak terjadi. Bentuk itu umumnya dilakukan dengan cara

membiarkan anak dalam situasi kurang gizi, tidak mendapatkan perawatan kesehatan
yang memadai, tidak mendapatkan hak – haknya dalam bidang pendidikan, memaksa

anak untuk menjadi seorang pengemis, buruh pabrik, dan jenis – jenis pekerjaan yang

dapat membahayakan keselamatan dan tumbuh kembang anak.

Dalam kasus eksploitasi anak ini, semua subjek mengatakan mereka tidak

mengetahui bahwa ada konvensi anak yang didalamnya berisi tentang hak-hak anak,

seperti: hak kelangsungan hidup (survival right), hak berkembang (development

right), hak memperoleh perlindungan (protection right), serta hak-hak untuk

berpartisipasi dalam berbagai kepentingan hidupnya.

Dalam hal ini subjek hanya menjalankan peran sebagai orang tua pada umumnya

yaitu memberi makan dan memberikan anak-anak mereka rumah untuk berteduh.

Selebihnya mereka tidak mengerti tentang isi dari konvensi hak-hak anak tersebut.

Hal ini tentunya dengan mengorbankan hakhak anak. Akan hal adanya undangundang

tentang perlindungan hak dan kewajiban anak serta pasal 88 yang berbunyi :”Setiap

orang yang mengeksploitasi anak dalam bentuk ekonomi maupun seksual anak

dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri maupun orang lain akan dipidana

penjara paling lama 10 tahun atau denda sebesar Rp. 200.000.000,00. Para orang tua

mengakui bahwa memang mereka tidak mengetahui ada undang-undang seperti itu.

Namun, kedua orang tua subjek memiliki peran yang besar dalam hal munculnya

pekerja anak (buruh anak) di bawah umur.

Ketidaktahuan orang tua tentang konvensi hak-hak anak inilah yang menjadi

penyebab munculnya pekerja anak dibawah umur, seperti halnya keterangan

UNICEF sebagai badan perlindungan anak sedunia dalam PBB (dalam Ikawati,

2002), bahwa salah satu faktor penyebab anak dibawah umur terpaksa bekerja salah

satunya adalah
ketidaktahuan orang tua tentang konvensi hak-hak anak dan undang-undang tentang

anak.

Bagi para orang tua, anak memiliki nilai ekonomis tertentu. Meski orang tua H

tidak menyuruh anaknya untuk bekerja, namun dirinya mengakui bahwa dirinya dan

istrinya merasa senang jika anaknya tersebut bersedia membantu dirinya

meringankan beban perekonomian keluarga.

Dapat disimpulkan bahwa pendapat semua subjek dimana mereka

menganggap bahwa anak memiliki nilai ekonomis tertentu inilah yang menjadi

penyebab munculnya tenaga kerja anak dibawah umur sesuai dengan keterangan

UNICEF sebagai badan perlindungan anak sedunia dalam PBB (dalam Irwanto dkk,

1999).

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Eksploitasi terhadap anak kerap terjadi di indonesia mulai terlihat dan dilakukan oleh

organisasi yaitu terkecil. Perlindungan anak terhadap tindakan ekploitasi bagi pekerja

anak haruslah mendapat perlindungan dari negara, pemerintah, masyarakat dan orang

tua. Jadi orang tua, keluarga, masyarakat dan negara bertanggung jawab untuk

menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan

oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara

dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak,

terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan


terarah. 2. Begitu banyak undang-undang serta peraturan-peraturan daerah lainnya

yang dibuat oleh pemerintah guna untuk mencegah terjadinya eksploitasi anak di dunia

kerja di Indonesia. Ada begitu banyak dasardasar hukum tentang perlindungan anak

salah satunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, UndangUndang Nomor 4 tahun

1979. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan

perlindungan kepada Pekerja Anak : Kontekstualisasi berarti hukum itu perlu

diperbaiki dan dilengkapi secara terus menerus sesuai dengan perkembangan realitas

sosial yang ada. Sosialisasi hukum juga perlu ditingkatkan oleh masyarakat, khususnya

mereka yang barangkali akan menjadi calon korban eksploitasi (dalam hal ini

khususnya pekerja anak) sehingga tercipta kesadaran hukum, dalam arti tahu

2. Perlindungan anak segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap

anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan

anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. perlindungan anak merupakan

perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan

anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan

hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

B. Saran

1. Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh undang-undang yang telah

ada saat ini yang telah berusaha memberikan perlindungan terhadap pekerja anak,

maka pemerintah perlu membuat undang-undang baru yang khusus mengatur

mengenai eksploitasi pekerja anak, dan diatur secara tegas perihal hak-hak pekerja

anak dan sanksi terhadap pelanggaran hak-hak pekerja anak. Dan dalam Pelaksanaan

hak asasi di indonesia perlu semakin ditingkatkan disemua tingkat kegiatan, usaha
peningkatan pelaksanaan hak asasi perlu dibarengi peningkatan pemasyarakatan HAM

itu sendiri. Apabila masyarakat sudah mengerti makna hak asasi (sudah mengetahui

hak dan kewajiban), maka anggota masyarakat itu sendiri tidak mudah lagi

diperdayakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

2. Perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak-anak menjadi suatu keharusan

dilakukan, mengingat perempuan dan anak-anak wajib dilindungi dan mendapatkan

perlindungan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku di

Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai