Anda di halaman 1dari 22

Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga _201

Building Economic Independence Family

Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga

Ali Romdhoni
Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah, Pati, Jawa Tengah
email: ali_romdhoni@yahoo.com

Abstract: Sovereign nation will only be born by building strong families. Strong family educate
and pay for education to educate sons and daughters. Families are able to meet the costs
of everyday life. The family that have orientation to birth good generation, to inherit
and carry forward the ideals of the nation. In a short word, building a nation begins
with a good quality in building families in the country. One of the most important
aspects of family development (as a foot step in developing the nation) is to establish
economic independence. Build economic independence of the nation must begin by
giving birth families with strong economy and using healthy ways in producing their
personal assets. This writing discusses about the importance of building economic in-
dependence within the family, and confirm that the strong and healthy economy of
family will be birth a healthy and strong seeds of the nation’s economic resilience.
One of solution offered here is to move the public awareness (families in Indonesia) to
entrepreneurship-be entrepreneur.

Abstraksi: Bangsa yang berdaulat hanya akan lahir dari bangunan keluarga-keluarga yang
kuat. Keluarga yang kuat mendidik dan membiayai pendidikan putera dan put-
erinya. Keluarga yang mampu memenuhi biaya kehidupan sehari-hari. Keluarga
yang memiliki orientasi melahirkan generasi hebat untuk mewarisi dan menerus-
202_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.II 2014

kan cita-cita bangsanya. Pendek kata, membangun satu bangsa sangat baik dimu-
lai dengan membangun kualitas keluarga-keluarga di negara itu. Salah satu aspek
terpenting dalam pembangunan keluarga (untuk melangkah pada pembangunan
bangsa) adalah membangun kemandirian ekonominya. Membangun kemandirian
ekonomi bangsa harus dimulai dengan melahirkan keluarga-keluarga yang kuat
ekonominya dan menggunakan cara-cara yang sehat dalam memproduksi asset
pribadinya. Tulisan ini membahas pentingnya membangun kemandirian ekonomi
dalam keluarga, serta menegaskan bahwa dari dalam keluarga yang ekonominya
sehat dan kuat akan lahir benih-benih ketangguhan ekonomi satu bangsa. Salah
satu solusi yang ditawarkan di sini adalah menggerakan kesadaran masyarakat
(keluarga-keluarga di Indonesia) untuk berwirausaha—menjadi intrepreneur.

Keywords : Islam, family, education, economy

A. Pendahuluan
Mencermati kondisi keseharian orang-orang di sekitar, kita segera
menangkap kesan sesungguhnya masyarakat sedang dilanda rasa gelisah
yang serius. Di sana-sini orang mengeluhkan tingginya kebutuhan
hidup. Di sisi lain, peluang untuk mencari penghidupan (pendapatan
keluarga) semakin sulit. Ketersediaan lapangan pekerjaan semakin
sempit, sementara angka jumlah manusia penduduk Indonesia terus naik.

Berdasarkan berita resmi yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS),


jumlah pengangguran pada Februari 2014 mencapai 7,2 juta orang, dengan
tingkat pengangguran terbuka (TPT) cenderung menurun. TPT Februari
2014 sebesar 5,70 persen turun dari TPT Agustus 2013 sebesar 6,17 persen,
dan TPT Februari 2013 sebesar 5,82 persen. Pada Februari 2014, TPT
untuk pendidikan Sekolah Menengah Atas menempati posisi tertinggi
yaitu sebesar 9,10 persen, disusul oleh TPT Sekolah Menengah Pertama
sebesar 7,44 persen. Sedangkan TPT terendah terdapat pada tingkat
pendidikan SD ke bawah, yaitu sebesar 3,69 persen. Jika dibandingkan
Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga _203

keadaan Februari 2013, TPT pada semua tingkat pendidikan mengalami


penurunan kecuali pada tingkat pendidikan SD ke bawah dan Diploma.1

Kebutuhan untuk putera-puteri kita juga semakin bertambah, seperti


biaya sekolah, perawatan kesehatan dan pemenuhan gizi seimbang. Di
luar kebutuhan pokok itu, anak-anak jaman sekarang umumnya terbiasa
dengan pemandangan budaya hidup yang tidak hemat. Dari media
cetak atau elektronik, masyarakat kita terutama anak-anak dan remaja
bisa menyaksikan gaya hidup yang terkesan mewah dengan kekayaan
melimpah.2

Pelan-pelan masyarakat kita menjadi ingin meniru gaya hidup


yang menghamburkan uang itu. Terkadang anak-anak kita melakukan
sesuatu dengan tujuan yang tidak jelas. Kepemilikan kendaraan dan
alat komunikasi pribadi yang mahal, saat ini sudah menjadi hal biasa di
tengah budaya anak-anak kita. Padahal semua itu juga membutuhkan
biaya perawatan.

Memang, naluri hidup manusia yang paling utama adalah


mempertahankan hidup. Untuk bisa bertahan dan layak dalam
kehidupannya, manusia membutuhkan makan, pakaian dan
tempat tinggal. Di samping itu juga memerlukan pemeliharaan dan
pengembangan jiwa serta pikiran, seperti hiburan, pengetahuan dan
lain sebagainya. Makan, pakaian dan tempat tinggal disebut sebagai
kebutuhan primer bagi hidup manusia. Sedangkan pemeliharaan dan
pengembangan jiwa serta pikiran disebut kebutuhan spiritual, dan
merupakan kebutuhan sekunder bagi kehidupan.3

Dalam kondisi yang demikian, setiap keluarga dituntut untuk memiliki


strategi super ketat dalam menyiasati tingginya kebutuhan hidup,
agar bisa survive dan sukses mengantarkan putera-puteri kita menjadi
manusia yang bermartabat dan berguna di masa yang akan datang.
Tanpa antisipasi yang seperti ini, keluarga-keluarga di masyarakat kita
akan menjadi kumpulan orang yang ‘kalah’ dalam menghadapi hidup.
Akibatnya, mereka akan melakukan cara-cara yang tidak benar dalam
mempertahankan kehidupan.
204_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.II 2014

Ada dua kemungkinan yang akan dialami orang yang kalah


dalam persaingan hidup. Pertama, mereka akan merasa terasing dari
lingkungannya. Gejalanya, mereka merasa menjadi orang lain, tidak
nyaman, dan mencaci orang-orang di sekelilingnya. Kedua, orang yang
kalah dalam persaingan social hampir bisa dipastikan akan melakukan
usaha apa saja—termasuk dengan cara-cara yang ‘tidak dibolehkan’—
demi bisa memenuhi kebutuhannya dan mengimbangi gaya hidup di
lingkungannya.

Apa bila sudah demikian maka kecurangan akan menjadi hal yang biasa
di tengah masyarakat. Apa jadinya kalau mayoritas keluarga di Indonesia
terbiasa berbuat curang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya? Yang
terjadi tentu saja seperti sekarang ini. Berita di media massa, termasuk
di televisi, dipenuhi dengan berita korupsi, penjambretan, dan segudang
penyelewengan asset negara. Menggunakan yang bukan haknya,
mengambil hasil karya orang lain, dan mengorbankan saudaranya demi
keuntungan pribadi menjadi perilaku sehari-hari.

Kita tentu pernah mendengar berita tentang orang-orang berparas


menawan (cantik dan/atau ganteng dan gagah) yang diringkus pihak
keamanan, beberapa waktu yang lalu, karena terbukti melakukan
penipuan uang senilai belasan miliar rupiah. Perilaku hidup mewah
dan bersenang-senang telah menyebabkan para penipu ini melakukan
apapun—termasuk bekerja tidak baik—untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.4

Kejadian di atas merupakan akibat dari pemahaman yang ‘keliru’


terhadap hakekat kehidupan. Memilih gaya hidup yang wah, serba enak
dan nyaman, namun tidak menyadari bahwa gaya hidup yang demikian
akan membawa dampak bagi mahalnya biaya yang dibutuhkan. Bila
hal ini disadari sejak awal, tentu seorang akan berfikir dua kali. Tetapi
kenyataannya memang tidak demikian. Di antara kita sering berfikir
instan. Melihat hanya dari sisi enaknya, tetapi tidak mau tahu proses
untuk mendapatkan kenyamanan itu.
Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga _205

Di sinilah letak pentingnya tugas dunia pendidikan di Negara


Indonesia. Melalui lembaga pendidikan baik di sekolah, perguruan tinggi,
lingkungan-masyarakat hingga keluarga pengetahuan disemai dan
disebarkan kepada segenap elemen bangsa. Wawasan dan pengetahuan
diharapkan akan menerangi perjalanan generasi manusia, memberi
gambaran dari pola dan perilaku manusia dan akibat yang bakal muncul.
Berawal dari proses ini kelak akan lahir bangsa yang berwawasan,
cerdas, mandiri dan berdaulat. Mengabaikan wilayah pendidikan di hari
ini, berarti menutup jalan terang bagi masa yang akan datang.

Ilmu dan pengetahuan menasehatkan kepada kita, untuk mencukupi


kebutuhan hidup manusia harus selalu berusaha. Hal ini karena jumlah
barang dan jasa yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah kebutuhan
manusia.5 Maka lahirlah teori tentang kegiatan ekonomi, yaitu usaha
manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka mempertahankan
hidup. Misalnya, kebutuhan pangan sandang dan papan (kebutuhan
material), yang merupakan kebutuhan primer dan  bersifat mutlak
bagi kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan material bisa terpenuhi
apabila manusia melakukan kerja produksi—mengubah suatu objek,
alam atau sosial menjadi yang lain dan berguna bagi kehidupan.6

Menyadari hal-hal di atas, setiap dari kita (keluarga-keluarga


di Indonesia) harus berusaha untuk memenuhi (mempersiapkan;
mengantisipasi) kebutuhan hidup. Setiap keluarga harus memiliki
rencana dan strategi untuk membangun serta meraih masa depan yang
‘ideal’. Program ini akan sangat membantu dalam mewujudkan sumber
daya manusia (SDM) bangsa Indonesia yang tangguh, memiliki tanggung
jawab serta siap meneruskan cita-cita para pendiri bangsa.

Ada empat langkah untuk bisa mencapai cita-cita di atas. Pertama,


membekali diri dan keluarga kita dengan ilmu-pengetahuan (pendidikan)
yang cukup. Proses ini juga bisa dimaknai sebagai penanaman
pengetahuan dan cara pandang (paradigma) terhadap realitas dunia.
206_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.II 2014

Kedua, menumbuhkan budaya bekerja untuk memenuhi kebutuhan


sehari-hari, sembari menumpuk deposito untuk mengantisipasi
kebutuhan yang akan datang. Ini harus kita lakukan, selagi kita dalam
posisi aman. Apalagi ketika kondisi telah mendesak, upaya kita harus
lebih keras lagi.

Ketiga, menumbuhkan mental pekerja keras dan keinginan untuk


menjadi manusia sukses kepada generasi muda.7 Sejak dini hal ini
harus dilakukan kepada generasi muda, supaya mereka tumbuh dalam
harapan dan impian. Tanpa cita-cita, seorang anak muda hanya akan
hura-hura dan menjadi pemalas.

Keempat, butuh peran pemerintah untuk mendukung dedikasi


masyarakat dengan mengintegrasikan program-program yang saling
membantu dalam mewujudkan impian keluarga di Indonesia. Misalnya
disain kurikulum pendidikan, dan lain sebagainya.

Keempat langkah di atas perlu dimiliki dan dilakukan mayoritas


bangsa Indonesia. Khusus bagi generasi muda, dalam benak dan
sanubari mereka harus tertanam bahwa untuk memiliki hari depan yang
lebih baik tidak ada jalan lain kecuali dengan belajar dan bekerja keras.
Tidak ada kesuksesan yang diperoleh dalam proses instant. Ini menjadi
pekerjaan rumah bagi kita semua, keluarga-keluarga di Indonesia.

B. Peran Sosial Keluarga


“A happy family is but an earlier heaven (artinya, keluarga bahagian
adalah surge yang diberikan lebih awal)”. Demikian kata filsuf bijak
ketika mengingatkan pentingnya merawat dan menyukuri karunia
Tuhan berupa keluarga.8 Ungkapan ini mengandung pesan, keluarga
sejatinya pertahanan paling inti dalam kehidupan seseorang di dunia
ini. Keluarga adalah ruang terdalam yang menjanjikan kedamaian dan
keamanan bagi kita umat manusia.

Bila demikian, keluarga adalah awal dari adanya kehidupan. Ia


adalah lembaga paling kecil yang menyediakan kasih sayang, perhatian,
Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga _207

perlindungan, pendidikan dan lebih banyak lagi dari keutuhan manusia.


Di sini menjadi penting untuk disadari, keluarga harus difungsikan
sebagai pangkal dan fondasi bagi penyiapan kelahiran generasi bangsa
yang hebat. Penulis ingin mengatakan di sini, keluarga adalah pilar
kedaulatan bangsa.

Pemerintah bangsa Indonesia harus memikirkan keberlanjutan


kepengurusan negeri ini, diantaranya dengan membangun kualitas
SDM. Program pembangunan manusia yang dilancarkan pemerintah
haruslah menyentuh ribuan bahkan jutaan keluarga di negeri besar ini.
Dan ke depan, masyarakat kita harus terus diajak dan diingatkan untuk
menyiapkan keluarga masing-masing, sehingga beban pemerintah tidak
semakin berat dan akhirnya semakin keteteran.

Mencermati kondisi di lapangan: banyaknya anak nakal di jalanan,


anak-anak pengguna narkoba, geng motor, tawuran dan lain sebagainya
sebenarnya bersumber dari tidak berfungsingan institusi keluarga
sebagai penjaga, pendidik dan pengontrol anak-anak mereka. Kondisi ini
membuat asset paling berharga yang dimiliki negeri ini (anak; generasi
muda) turun ke jalan, liar dan menjadi bagian dari ‘sampah’ masyarakat.

Tidak harus menganggarkan biaya besar untuk menyekolahkan


putera-puteri kita, tetapi mulailah dengan mengetahui bahwa kita adalah
yang paling awal dan bertanggungjawab atas keberlangsungan dan
kehidupan anak-anak kita. Bahkan, kalaupun kita sudah menyekolahkan
anak-anak kita di lembaga yang professional dan mahal, peran kita
sebagai orang tua tetap harus ada, yaitu bersama-sama dengan guru
mengikuti perkembangan anak.9

Jadi, mengarahkan dan membekali putera-puteri kita dengan


pengetahuan adalah hal yang tidak boleh ditawar-tawar. Karena itu,
jadikan keluarga sebagai titik tolak dalam merancang masa depan dan
segala mimpi besar dalah kehidupan kita.
208_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.II 2014

1. Mendidik Anak: Investasi Keluarga

Tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi seseorang memiliki korelasi


yang dekat. Karena itu ada teori yang menjelaskan, untuk meningkatkan
taraf hidup dalam bidang ekonomi adalah dengan meningkatkan
pendidikan.10 Kualitas pribadi yang dimiliki seseorang akan melakat
sepanjang masa dan menempatkan di posisi yang berkelas. Pendek
kata, pengetahuan adalah sejata paling ampuh dan paling gampang
didapatkan bagi mereka yang ngin tampil sebagai pribadi unggul.

Bagaimana satu keluarga menyikapi kondisi ini. Anggota keluarga


harus memiliki kesepahaman, bahwa menyiapkan pendidikan untuk
anak-anak kita sejatinya sedang membangun sistem pertahanan bagi
kelangsungan hidup generasi kita di masa yang akan datang. Ceritanya
begini: pola pikir dan mental kita saat ini ada pengaruh kuat dari proses
pendidikan yang diberikan oleh orang tua kita. Dari kondisi itu, kita
kemudian menggunakannya untuk merawat dan mendidik anak-anak
kita. Demikian seterusnya.

Bila seperti itu yang terjadi, maka sejatinya apa pun yang telah kita
berikan kepada anak-anak kita, termasuk pendidikan, adalah investasi
dan tabungan kita untuk masa-masa mendatang yang tidak terukur
durasinya. Menyadari hal ini, menganggarkan waktu, tenaga, fikiran
dan materi untuk mendidik diri dan anak-anak kita tidak boleh ditunda,
apa lagi sampai diabaikan. Itu semua adalah proses menyiapkan tempat
untuk diri diri kita di masa yang akan datang.

Selain itu, anak merupakan amanat yang diserahkan kepada para


orang tua. Anak itu diserahkan ketika dalam kondisi bersih lahir dan
batin. Bila kepada dia diajarkan kebaikan, niscaya akan menjadi pribadi
yang baik. Sebaliknya, bila ia diajakrkan perilaku yang tidak baik, maka
pelan-pelan ia akan tumbuh menjadi pribadi yang bringas. Karena hal
ini, kita sebagai orangtua terpanggil untuk mendidik anak-anak kita.11

Dalam ajaran Islam, ada tiga prestasi (amal baik) yang tidak akan lekang
oleh zaman. Salah satunya adalah putera-puteri yang unggul (saleh).
Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga _209

Mereka adalah anak yang akan menjaga nama baik kita, mengharumkan
nama kita, mengenang kasih sayang kita, dan terus mendoakan kebaikan
kita. Dari mana anak-anak dengan kualitas yang demikian lahir. Tentu
setelah kita membekali dengan pengetahuan dan wawasan yang cukup.

Inilah yang dimaksud perbedaan manusia dengan makhluk lainnya,


yang ditandai dengan kemampuan ilmiahnya.12 Manusia oleh Allah s.w.t.
dianugerahi kemampuan mengidentifikasi segala macam fenomena dan
benda yang berada di sekitar (Qs. Al-Baqarah/2: 31). Untuk selanjutnya,
manusia membuat simpulan dan temuan sebagai pelajaran dan antisipasi
untuk masa-masa yang akan datang. Di alam modern seperti sekarang,
proses ini berlangsung dalam suasana pembelajarang di bangku sekolah.

Dalam disiplin antropologi, ‘pengetahuan’ dimaknai sebagai


kajian terhadap kebudayaan orang-orang pada masa lampau. Artinya,
pengetahuan sejatinya lahir dari proses penandaan, penyimpulan,
pengidentifikasian dan belajar dari kejadian demi kejadian. Dalam
pengetahuan bangsa Indonesia, konteks ini dinamai dengan bahasa
‘sejarah’. Lupa sejarah berarti berpotensi mengulangi kesalahan untuk
kesekian kalinya. Yang demikian itu tidak lain adalah ‘pengetahuan’ itu
sendiri.13

Dengan berbekal wawasan dan pendidikan yang telah diberikan


keluarga, diharapkan seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi
yang baik. Fondasi pengetahuan yang sudah dibangun di keluarga,
seyogyanya akan mampu menahan beban pengetahuan lainnya yang
akan terus dating dan diterima seseorang, seiring dengan perjalanan
sang anak dalam mengarungi kehidupan.

Seorang anak yang tidak memiliki bekal pengetahuan yang dia peroleh
dari keluarga akan rentan kaget (bergejolak) ketika menghadapi hal-hal
baru di luar rumah. Contohnya, seorang anak tiba-tiba meninggalkan
kebiasaan keluarganya dan lebih mendengarkan nasehat orang lain
ketimbang menuruti nasehat sang ibunya. Dengan bekal pengetahuan
dari keluarga, diharapkan hal itu tida terjadi.
210_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.II 2014

2. Mengembangkan Entrepreneurship dalam Keluarga

Masyarakat tuna kerja (pengangguran) bisa diduga sebagai pemicu


banyaknya tindak kejahatan, seperti penipuan, pencurian perampokan
dan bahkan penyalahgunaan harta-benda yang bukan hak milik kita. Ini
masalah serius. Dampak dari pengangguran, seseorang tidak memiliki
daya beli, sehingga bisa memunculkan masalah social: maraknya
kekerasan dan kejahatan.

Di sisi lain, banyaknya pengangguran menunjukkan tenaga kerja yang


tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia di negeri kita.
Konon, masalah ini dialami setiap negara di dunia. Menghilangkan para
pencari kerja yang tidak terserap ini adalah hal yang mustahil untuk
dilakukan. Di sini, yang bisa dilakukan adalah merubah mindset para
pencari pekerjaan menjadi para penyedia lapangan pekerjaan. Upaya
ini bisa dilakukan dengan cara membina masyarakat menjadi para
wirausahawan atau seorang entrepreneur baru.

Catatan sejarah menginformasikan, wirausaha (entrepreneurship)


sudah dikenal sejak tahun 1755, diperkenalkan oleh Richard Cantillon,
seorang ekonom Irlandia yang berdiam di Perancis pada abad ke-18.
Di Indonesia, wirausaha mulai popular pada akhir abad ke-20. Ada
beberapa istilah wirausaha: di Belanda dikenal dengan ondernemer; di
Jerman dikenal dengan unternehmer. Di Negara-negara di Eropa dan
Amerikan, pendidikan kewirausahaan juga diajarkan di universitas.
Begitu juga di Indonesia, kewirausahaan dipelajari di kampus.

Secara etimologi, kewirausahaan berasal dari kata “wira” dan “usaha”.


Wira berarti pejuang, pahlawan, manusia unggul, teladan, berbudi
luhur, gagah berani dan berwatak agung. Usaha adalah perbuatan
amal, bekerja, dan berbuat sesuatu. Jadi, wirausaha adalah pejuang atau
pahlawan yang berbuat sesuatu. Sedangkan istilah “entrepreneur” berasal
dari perkataan bahasa Perancis, yang secara harfiah berarti “perantara”
(Bahasa Inggris: Between-taker atau go-Between).
Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga _211

Richard Cantillon (1775) mendefinisikan entrepreneurship sebagai,


“The agent who buys means of production at cerium prices in order to
combine them into a new product”. Menurut Cantillon, entrepreneur adalah
seorang pengambil resiko. Ada keterangan juga, tokoh ini memaknai
kewirausahaan sebagai seorang yang bekerja sendiri (self-employment).
Seorang wirausahawan membeli barang pada saat ini dengan harga
tertentu, dan menjualnya pada masa yang akan datang dengan harga
yang lain (lebih tinggi, misalnya). Sementara menurut Penrose (1963),
kegiatan kewirausahaan mencakup indentfikasi peluang-  peluang di
dalam sistem ekonomi.

Menurut Robert Hisrich, entrepreneur adalah proses penciptaan satu


produk yang khas, yang bernilai, melalui pengorbanan waktu, dan
upaya, yang dengan ini orang yang bersangkutan menerima resiko
finansial, psykologi, dan social. Orang ini akan menerima imbalan secara
mandiri (pribadi).

Wacana mengenai wirausaha semakin gencar disosialisasikan sejak


Indonesia dilanda krisis moneter pada 1980-an, beberapa tahun yang
lalu. Kala itu, banyak karyawan yang dikeluarkan dari tempat kerjanya.
Akibatnya, pengangguran membeludak, muncul di mana-mana. Sejak
saat itu, pemahaman kewirausahaan baik melalui pendidikan formal
maupun pelatihan-pelatihan disampaikan secara terus-menerus.

Pada tahun 1776, Adam Smith, bapak ilmu ekonomi, dalam karyanya,
An Inquiry into The Nature and The Wealth of Nations, menggambarkan
seorang entrepreneur sebagai seorang individu yang menciptakan satu
organisasi untuk tujuan-tujuan komersil. Tetapi, ia juga memandang
seorang entrepreneur sebagai seorang yang memiliki pandangan ke depan,
hingga ia berkemampuan untuk mendeteksi peta potensi permintaan
pasar terhadap barang dan jasa tertentu.14

Dari paragraph-paragraf di atas bisa dipahami, entrepreneurship


adalah jiwa entrepreneur yang dibangun untuk menjembatani antara
ilmu (knowledge) dengan kemampuan (keinginan/tuntutan) pasar.
212_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.II 2014

Entrepreneurship meliputi pembentukan perusahaan baru, aktivitas serta


kemampuan managerial yang dibutuhkan seorang entrepreneur.15

Dalam pemahaman penulis, entrepreneur adalah orang yang memiliki


keyakinan bahwa tanpa bergantung kepada siapa pun (seorang atasan),
kita sejatinya bisa menghasilkan barang dan kebutuhan untuk hidup.
Setelah yakin dengan hal ini, seorang entrepreneur mampu memeras
dan meracik pengetahuannya (knowledge) menjadi skill (semacam
keterampilan) yang bisa ditawarkan kepada orang lain.

Di sini, kuncinya adalah pemahaman bahwa kita bisa memproduksi


barang atau jasa (apa pun bentuknya) dan layak dipasarkan. Untuk
mencapai hal ini, seseorang perlu menemukan kemampuan paling unik
dalam dirinya. Seseorang juga harus mempersiapkan segala keraguan
yang bisa menggangu kemantapan hati dan fikiran, termasuk rasa aman
bergantung kepada orang lain.

Penulis ingin menunjukkan contoh kumpulan orang yang sudah


mempraktikkan prinsi-prinsip dalam entrepreneurship. Penulis
memperoleh informasi ini dari penuturan seorang kolega, salah satu
tenaga pengajar di Madrasah Mathali’ul Falah di Desa Kajen, Kecamatan
Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Madrasah ini memiliki tenaga
pendidik (guru) dan kependidikan (pegawai) total sebanyak kurang
lebih 120 orang. Bila melihat sekilas jumlah honor yang didapatkan pada
setiap bulannya, maka para guru dan karyawan ini pasti hidup jauh dari
layak.16

Namun tidak begitu yang terjadi. Menurut penelusuran penulis, sejak


awal para calon guru di sekolah ini diberi pengertian untuk tidak hanya
menggantungkan pendapatan dari hasil mengajar. Mereka diarahkan
untuk berkreasi di luar jam mengajar. Hasilnya sungguh mengagetkan,
karena hamper semua guru hidup dengan layak, bahkan di atas rata-rata
ekonomi masyarakat setempat. Indikatornya, Sembilan puluh persen
dari mereka bisa menunaikan ibadah haji dengan biaya sendiri. Saat ini,
tinggal sekitar lima hingga tujuh guru yang bersiap menunaikan ibadah
ke tanah suci Mekah itu.
Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga _213

Di sini, ada dua hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran. Pertama,
para guru di Madrasah Mathali’ul Falah memiliki dedikasi untuk
mengajar di lembaga tempat mereka bernaung. Namun mereka dari
awal siap untuk tidak bergantung kepada siapa pun, termasuk terhadap
pendapatan dari proses mengajar (menjadi guru).

Kedua, mereka terus mencari terobosan (berkreasi) dalam menutupi


kebutuhan hidup. Mereka membuka lapangan kerja, tanpa harus
mengganggu aktifitas mengajar mereka. Kelompok orang-orang seperti
ini, dalam pemahaman penulis, adalah seorang entrepreneurs. Mereka
adalah seorang yang bekerja sendiri (self-employment), untuk dirinya
sendiri. Tidak ada yang bisa memerintah dan mendikte mereka—apa
lagi memperbudak mereka.

Mereka, para guru ini berusaha menciptakan lapangan pekerjaan


sendiri. Mereka berhasil memisahkan antara menjadi seorang guru
dengan profesi sebagai wira-usahawan. Para guru ini tampil sebagai
seorang pengajar yang elegan, yang mandiri, bahkan lebih dari itu mereka
adalah manusia tangguh dan karena itu mereka mampu mendarma-
baktikan sebagian waktunya untuk mencerdaskan anak bangsa.

C. Peran Pemerintah Dalam Melahirkan Keluarga Mandiri


Krisis multi-dimenasi yang terjadi pada tahun 1990-an merupakan
dampak dari kegagalan bangsa Indonesia dalam melahirkan masyarakat
yang mandiri, yang mampu menanggung beban keluarga masing-
masing. Kebangkrutan negara secara mendadak berimbas kepada
kemiskinan rakyat yang juga secara tiba-tiba. Di sini, pemerintah harus
segera memutus mata rantai untuk segera mendisain program bagi
kelahiran keluarga yang bermartabat dengan pendidikan dan kuat
dalam kemandirian ekonomi.17

Pemerintah perlu meluncurkan program-program pendidikan


untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (skill)
setiap perwakilan anggota keluarga. Ibu-ibu rumah tangga, terutama
214_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.II 2014

yang masih berusia muda perlu mendapatkan kesempatan mengikuti


semacam short course dalam hal cara mendidik anak dan menyiapan
masa depan putera-puterinya. Penting juga disampaikan di program
tersebut, sistem ketahanan ekonomi dalam keluarga.

Dalam penelusuran penulis di desa-desa di Kecamatan Sukolilo


Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di sana ada semacam perkumpulan pemuda
perantau yang jika mereka merasa memiliki dana berlebih kemudian
digunakan untuk kegiatan yang jauh dari pengembangan ekonomi
menuju kemandirian keluarga. Mereka setahun sekali membayar iuran
dan terkumpul angka mencapai lebih dari Rp. 100.000.000,- (seratus
juta rupiah). Namun dana sebanyak itu kemudian digunakan untuk
mendatangkan kelompok music dan hanya bisa dinikmati dalam
hitungan menit dan detik. Di sisi lain, kondisi keluarga mereka masih
jauh dari mandiri, apa lagi kaya.

Menurut hemat penulis, kondisi yang demikian karena pada diri


mereka tidak memiliki wawasan atau pengetahuan tentang perlunya
manajemen keuangan keluarga dan pentingnya menyiapakn hari
depan, termasuk masa depan anak-anaknya. Keberadaan materi tanpa
diimbangi dengan kehadiran pengetahuan akan rawan menjadi petaka,
penyalahgunaan harta-benda seperti bermain judi, dan lain sebagainya.

Selain pendidikan yang ditujukan kepada keluarga, perlu juga


mendisain kurikulum yang mampu melahirkan out-put generasi muda
yang berwawasan (smart), mau dan bersedia bekerja, serta menghargai
kejujuran. Menurut analisis, seseorang melakukan tindakan korup
karena tidak memiliki ketiga hal ini: wawasan rendah, malas, dan tidak
menghargai arti kejujuran. Kalau tidak kepada lembaga pendidikan,
kepada siapa tugas ini dibebankan.

D. Belajar dari Kisah Nabi Yusuf


Al-Qur’an memberi pelajaran pentingnya strategi untuk menciptakan
kemandirian ekonomi dalam keluarga, yang tujuan akhirnya agar
Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga _215

memperoleh kehidupan yang damai di muka bumi. Untuk selanjutnya


melahirkan tatanan satu negara yang berjaya, adil dan mandiri. Islam
juga mengajak manusia untuk maju, berprestasi, kompetitif dan mampu
memberi rahmat (kontributif) untuk makhluk hidup di alam raya ini
(QS. Al-Anbiya’[21]: 107).

Di antaranya, kita bisa mengambil pelajaran berharga dari kisah


Nabi Yusuf a.s. dalam al-Qur’an surah Yusuf [12]:43. Diceritakan, suatu
malam, Al-Aziz, Raja Mesir, bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina
yang gemuk-gemuk dimakan tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus.
Raja juga bermimpi melihat tujuh tangkai gandum yang hijau dan tujuh
tangkai gandum lainnya kering.

Raja gelisah memikirkan apa sebenarnya pesan (ta’bir) yang terkandung


dalam mimpinya. Dia bertanya kepada orang-orang terkemuka (al-Mala’)
di istananya. Namun tidak satu pun di antara mereka bisa mengartikan
mimpi raja. Kemudian salah satu pelayan istana teringat Nabi Yusuf a.s.
(di dalam penjara) yang bisa memaknai mimpi seorang pegawai istana
dengan tepat.

Akhirnya Nabi Yusuf dibawa menghadap raja. Kepada raja Yusuf


menasehatkan, bahwa hendaknya negara bersiap-siap menghadapi
paceklik (musim sulit pangan) yang akan melanda negara Mesir kala itu.
Karena itu, negara dan rakyat harus bersama-sama menyiapkan bahan
makanan pokok dan membudayakan kemandirian dalam pemenuhan
kebutuhan.

Gerakan mengantisipasi larang pangan dimulai dengan menanam apa


saja yang bisa dijadikan bahan makanan pokok rakyat. Selanjutnya hasil
panen hendaknya tidak dihabiskan seketika, tetapi hanya digunakan
sesuai dengan kebutuhan dan itu pun tidak boleh berlebihan.

Raja bersedia mengikuti nasihat Yusuf. Bahkan oleh sang Raja, Yusuf
akhirnya diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Keuangan dan
penanggungjawab program penyediaan pangan nasional. Di bawah
manajemen Yusuf, negara kemudian menyiapkan persediaan bahan
216_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.II 2014

makanan pokok dalam jumlah besar, sebagai antisipasi menutupi


kebutuhan warga selama paceklik.

Keputusan Raja sungguh tepat. Karena tujuh tahun kemudian, Mesir


dilanda paceklik selama tujuh tahun. Tetapi rakyat dapat terhindar dari
busung dan lapar. Itu semua berkat mereka memiliki persediaan bahan
makanan pokok yang cukup, dan mau membiasakan hidup hemat.
Mereka juga terbiasa dengan bekerja keras, dan tidak mengandalkan
satu sama lain. Mereka mampu bertahan hidup di atas kerja kerasnya
sendiri.

Ulasan cerita di atas mengingatkan penulis kepada teori politik pangan.


Di sana dijelaskan, salah satu rekayasa negara rakus adalah membeli
produk bahan mentah dari negara berkembang (miskin) dengan harga
murah, sambil memaksa negara miskin itu membeli produk mereka yang
terkadang diolah dari bahan yang diambil dari kekayaan negeri miskin
itu dengan harga tinggi. Strategi yang dipakai adalah dengan memoles
merek tertentu dan di sana ditulis ‘sebagai penambah gisi’.18

Dalam konteks ini setidaknya ada dua kejahatan yang telah dilakukan
negara rakus tadi. Pertama, membeli produk (bahan mentah) dengan
harga murah dan menolak bekerjasama. Kedua, menyebarkan kabar
bahwa produk alam yang dimiliki negeri setempat kurang gizi dank
arena itu harus memberi barang olahan mereka (negeri rakus). Padahal,
bahan yang mereka olah berasal dari negeri miskin tadi.

Belajar dari kisah di atas, bangsa yang ingin maju harus terus berupaya
memutus tali ketergantungan kepada negara lain. Belajar dalam
mengolah kekayaan alam sendiri harus dilakukan, demi mendapatkan
produk unggulan yang ke depan bisa menarik mata dunia untuk menatap
kita. Hentikan kebiasaan lebih mempercayai iklan negara tetangga, dan
biasakanlah mengolah hasil alam sendiri.
Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga _217

E. Ekonomi Keluarga: Kunci Ketangguhan Ekonomi Negara


Kisah perjalanan Nabi Yusuf ini bisa menjadi inspirasi bagi kita
untuk menciptakan kemandirian dalam membangun perekonomian
keluarga. Karena dari keluarga inilah akan lahir manusia-manusia
yang bermartabat, yang selanjutnya akan mewarisi tongkat estafet
kepengurusan negeri. Membangun bangsa sudah seharusnya dimulai
dengan membangun keluarga-keluarga yang ada di dalamnya.

Pertama, meningkatkan (intensifikasi) produktifitas pendapatan


dalam keluarga. Ini harus dilakukan, karena perkembangan gaya
hidup masyarakat membuat jenis kebutuhan dan biaya hidup juga
naik. Sekarang ini untuk mendapatkan kenyamanan dalam bekerja,
kesehatan, kecukupan gizi, dan pendidikan yang berkualitas untuk
putera-putri kita membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apabila kita
ingin terus bertahan dalam kondisi yang demikian, mau atau tidak harus
bisa menjawab semua kebutuhan itu.

Kedua, perlunya kesadaran untuk mengantisipasi kebutuhan tidak


terduga di masa yang akan datang dengan menabung. Dalam persaingan
hidup yang super ketat seperti sekarang ini, setiap keluarga harus
memiliki biaya cadangan untuk menjawab kebutuhan yang tidak terduga.
Keluarga yang sehat tentu akan menyisihkan hasil pendapatannya
sebagai jaminan hidup di masa depan.

Ketiga, perlunya skala prioritas dalam menentukan kebutuhan. Banyak


orang yang gagal, karena tidak berhasil memilih mana yang terpenting
dan harus lebih dahulu diselesaikan. Kalau kita gagal menentukan
kebutuhan yang paling urgen agar diatasi lebih dulu, maka hal-hal yang
tidak terlalu pengtinglah yang akan kita penuhi. Akibatnya, kita akan
kerepotan dibuatnya.

Keempat, tetap berprasangka baik dan yakin bahwa masa-masa sukses


akan menghampiri kita. Dalam kondisi sulit kita tidak boleh menyerah.
Justru kita harus memanfaatkan kondisi sulit untuk menyuport semangat
kita agar mau keluar dari kondisi sulit. Kita juga harus tenang dan yakin
218_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.II 2014

bahwa usaha kita akan berbuah manis. Dengan sikap itu langkah kita
akan tetap tenang, dan dalam kondisi tenang maka perhitungan kita
akan tetap akurat. Dengan ini pula, kesuksesan akan semakin dekat
menghampiri kita.

Apabila empat langkah di atas menjadi prinsip kita dalam membangun


kemandirian ekonomi keluarga, berarti satu keluarga di negara Indonesia
telah hidup dengan sehat dan berdiri di atas sokongan ekonominya
sendiri. Dia tidak menjadi beban orang lain. Bayangkan kalau mayoritas
keluarga di Indonesia mampu menanggung biaya kebutuhan keluarga
sehari-hari, tanpa melahirkan kecurangan dalam menjalani hidup di
masyarakat. Tentu ketimpangan-ketimpangan yang kita saksikan di
sekitar kita akan segera hilang.

Gagasan dan pemikiran sebagaimana di atas perlu disiarkan kepada


lebih banyak lagi masyarakat Indonesia. Tidak terbatas kepada kaum
terdidik di sekolah dan perguruan tinggi, tetapi juga di perkumpulan
warga, majelis taklim, dan lain sebagainya. Ajakan dan seruan untuk
bangkit dan menjadi keluarga mandiri harus didengar lebih banyak lagi
oleh manusia Indonesia. Penulis melihat, salah satu factor yang membuat
masyarakat kita gagap dan latah adalah tidak sampainya informasi yang
benar kepada mereka. Dengan menggencarkan ajakan untuk menjadi
keluarga mandiri dan kerja keras, ke depan diharapkan lahir masyarakat
yang jujur, mandiri dan cerdas.

F. Kesimpulan
Salah satu pekerjaan rumah dunia pendidikan di Indonesia
adalah menanamkan kepada generasi muda, bahwa kesuksesan dan
penghidupan yang layak hanya bisa didapat dengan kesungguhan niat,
kerja keras dan pengetahuan yang cukup. Tanpa hal ini, keterpurukan
dan kegelapan akan menyelimuti manusia. Sayang, masyarakat di
sekitar kita umumnya hanya melihat kemewahan namun tidak memiliki
kesadaran perlunya bekerja keras untuk mencapai hal itu. Maka, yang
Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga _219

terjadi adalah kecurangan di sana dan sini demi mendapatkan materi.


Korupsi, penyelewengan, penipuan, perampokan dan lain sebagainya.

Apa jadinya bila mayoritas penduduk negara ini terdiri dari orang-
orang yang memiliki pemahaman yang demikian—mau hidup enak
tetapi tidak bekerja keras. Tentu yang terjadi adalah kerancuan, kekerasan
di mana-mana, hilangnya hak rakyat, miskinnya fasilitas umum, dan
kemiskinan yang semakin parah. Asset warga negara dirampok para elit
politik dan pemerintah. Biaya kesehatan dan pendidikan semakin mahal.
Yang kaya semakin kaya, si miskin semakin dekil. Sekali lagi, hal ini
kegagalan yang dimulai dari pendidikan di keluarga, kemudian berlanjut
dengan kegagalan di wilayah lembaga endidikan di luar keluarga.

Mari kita ciptakan negeri yang makmur, sehat dan mandiri, dengan
memulai membangun kemandirian ekonomi di keluarga kecil kita.
Ibda’ binafsik; buatlah perubahan-perubahan kecil dengan memulai dari
diri sendiri. Dengan menata keluarga-keluarga kecil kita, kelak akan
lahir bibit unggul yang memiliki kesadaran dan nurani yang mampu
mengelola warisan negeri ini. Jutaan keluarga di negeri ini kelak akan
mewujud menjadi warga negara yang beradap dan unggul (civil society).
Semoga kita diberi kekuatan Allah untuk membangun keluarga yang
mandiri, berkah, mawaddah dan penuh rahmat.
220_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.II 2014

Daftar Kepustakaan

Al-Qur’an Kariem.
Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
“Definisi Entrepreneurship, Intrapreneurship, Entrepreneurial
&  Entrepreneur” dalam http://mlgcoffee.com/2011/05/17/definisi-
entrepreneurship-intrapreneurship-entrepreneurial-entrepreneur/
(diakses 28 Mei 2014).
Fatchurochman, Nanang, Teaching with Love, Jakarta: Lendean
Pustaka, 2008.
George, Susan, Pangan, Yogyakarta: Insist Press, 2007.
Hendrojogi, Koperasi: Asas-asas, Teori, dan Praktik, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007.
J. Winardi, Entrepreneur dan Entrepreneurship, Jakarta: Kencana, 2003.
Koentjaraningrat, Antropologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009.
Mahfudh, M. A. Sahal, Pesantren Mencari Makna, Jakarta: Pustaka
Ciganjur, 1999.
Prawironegoro, Darsono, Filsafat Ilmu Pendidikan: Kajian tentang
Pengetahuan tentang Pendidikan yang Disusun Secara Sistematis dan
Sistemik dalam Membangun Ilmu Pendidikan, Jakarta: Nusantara
Consulting, 2010.
Rahman, Jamal Abdur, Tahapan Mendidik Anak, Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 2005.
Rahmawati, Shinta, Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif, Jakarta:
Kompas, 2001.Robert D. Hisrich dkk., Entrepreneurship, sixth
edition, New York: McGraw-Hill, 2005.
Romdhoni, Ali, Jejak Intelektual-Birokrat, Jakarta: Linus, 2012.
Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 2000.
“Penjahat Wanita Cantik, Beli Berlian Rp20 Miliar Pake Cek Kosong”
dalam http://www.infobreakingnews.com/2014/05/penjahat-
wanita-cantik-beli-berlian.html (diakses 28 Mei 2014).
Wawancara dengan Wahrodi (39 tahun), guru madrasah.
Membangun Kemandirian Ekonomi Keluarga _221

Endnotes

1. Baca “Keadaan Ketenagakerjaan Februari 2014” dalam http://www.bps.


go.id/brs_file/naker_05mei14.pdf (diakses 03 September 2014).

2. Terutama bagi anak remaja, kondisi psikologi mereka rentan dan mudah
terpengaruh hal-hal di sekelilingnya. Mereka sedang mengalami masa-masa
peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Bila tidak didampingi secara intensif,
keberadaan mereka rawan mengikuti pengaruh negative di masyarakat.
Baca Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 2000, h. 31.

3. Darsono Prawironegoro, Filsafat Ilmu Pendidikan: Kajian tentang Pengetahuan


tentang Pendidikan yang Disusun Secara Sistematis dan Sistemik dalam
Membangun Ilmu Pendidikan, Jakarta: Nusantara Consulting, 2010, h. 295

4. Baca, misalnya, “Penjahat Wanita Cantik, Beli Berlian Rp20 Miliar Pake Cek
Kosong” dalam http://www.infobreakingnews.com/2014/05/penjahat-wanita-
cantik-beli-berlian.html (diakses 28 Mei 2014).

5. Hendrojogi, Koperasi: Asas-asas, Teori, dan Praktik, Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2007, h. 1.

6. Darsono Prawironegoro, Filsafat Ilmu Pendidikan: Kajian tentang Pengetahuan


tentang Pendidikan yang Disusun Secara Sistematis dan Sistemik dalam
Membangun Ilmu Pendidikan, Jakarta: Nusantara Consulting, 2010), h. 296.

7. Menyemai mental generasi muda agar mereka kelak tumbuh menjadi


manusia yang berdedikasi tidak terbatas pada ruang pendidikan di kelas,
tetapi lebih luas lagi bisa dilakukan di keluarga, ruang social-masyarakat, di
ruang-ruang diskusi publik dan lainnya. Baca A. Qodri Azizy, Membangun
Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 88.

8. Nanang Fatchurochman, Teaching with Love, Jakarta: Lendean Pustaka,


2008), h. 41.

9. Shinta Rahmawati, Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif, Jakarta: Kompas, 2001,
222_Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.II 2014

h. 115.

10. A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, ibid, h. 9.


11. Jamal Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak , Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 2005, h. 5.

12. M. A. Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna, Jakarta: Pustaka Ciganjur,


1999, h. 149.

13. Lihat, misalnya, Koentjaraningrat, Antropologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta,


2009, h. 85.

14. J. Winardi, Entrepreneur dan Entrepreneurship, Jakarta: Kencana, 2003, h. 7.


15. Baca “Definisi Entrepreneurship, Intrapreneurship, Entrepreneurial
&  Entrepreneur” dalam http://mlgcoffee.com/2011/05/17/definisi-
entrepreneurship-intrapreneurship-entrepreneurial-entrepreneur/ (diakses
28 Mei 2014).

16. Wawancara penulis dengan Wahrodi (10 Mei 2014).


17. A. Qodri Azizy, ibid, h. 115.
18. Baca Susan George, Pangan, Yogyakarta: Insist Press, 2007, h. 166.

Anda mungkin juga menyukai