Anda di halaman 1dari 4

71 tahun negara Indonesia merdeka, namun permasalahan anak terlantar di Kota kota besar

belum teratasi. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal
34 ayat (1) menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara”

Kasus penelantaran anak masih saja terjadi di kota-kota besar, hal tersebut disebabkan karena
orang tuanya tidak mampu melaksanakan kewajibannya secara optimal sehingga kebutuhan
anak baik jasmani, rohani maupun sosial tidak terpenuhi secara wajar.

Menurut salah seorang ilmuwan sosial dunia, Walter A Friedlander, mengatakan bahwa anak
terlantar adalah anak yang tidak mendapatkan asuhan secara minimal dari orang tuanya sebab
kondisi keluarganya baik ekonomi, sosial, kesehatan jasmani maupun psikisnya tidak layak
sehingga anak-anak tersebut membutuhkan adanya bantuan pelayanan dari sumber-sumber
yang ada di masyarakat sebagai pengganti orang tuanya.

Sehingga acap kali yang mereka lakukan berebutan menghampiri kendaraan dikala lampu
lalu lintas berwarna merah, kendati kendaraan belum berhenti sempurna. Aksi itu tak jarang
merisaukan pengendara, meskipun mereka beralasan mencari nafkah dengan menjajakan
dagangan, mengemis, dan mengamen.

Dalam mencari nafkah, ada beberapa anak rela mencari nafkah di jalanan atas kesadaran
sendiri, namun banyak pula anak-anak yang dipaksa bekerja di jalan (mengemis, mengamen,
menjadi penyemir sepatu, dan lain-lain) oleh orang-orang di sekitar mereka, entah itu orang
tua atau pihak keluarga lain, dengan alasan ekonomi keluarga yang rendah

Anjal (anak jalanan) yang biasa kita lihat di jalanan disinyalir oleh banyak orang bahwa
mereka umumnya berasal dari luar kota. Anjal adalah sebuah istilah yang mengacu pada
anak-anak tunawisma yang tinggal di wilayah jalanan. Lebih mendetail menurut UNICEF,
anak jalanan yaitu berusia sekira di bawah 18 tahun dan bertempat tinggal di wilayah kosong
yang tidak memadai, serta biasanya tidak ada pengawasan.

Menurut Surbakti dkk. (1997: 59), berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar
anak jalanan dibedakan dalam 3 kelompok yaitu: Pertama, Children on the street, yakni anak-
anak yang mempunyai kegiatan ekonomi–sebagai pekerja anak-di jalan, tetapi masih
mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka
dijalankan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi
keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat
diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.

Kedua, Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik
secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan
dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara
mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan
salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.

Ketiga, Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang
hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup
kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala
risikonya. Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak, menjadi salah satu faktor
utama dimana orang tua sudah tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan anak-anak,
telah menyebabkan anak-anak mencari kebebasan.

Selain itu, Odi Shalahudin (2004:71)menyebutkan pula faktor-faktor yang disebabkan oleh
keluarga yakni, pertama, keluarga miskin Hampir seluruh anak jalanan berasal dari keluarga
miskin. Sebagian besar dari mereka berasal dari perkampungan urban yang tidak jarang
menduduki lahan-lahan milik negara dengan membangun rumah-rumah petak yang sempit
yang sewaktu-waktu dapat digusur.

Anak jalanan yang berasal dari luar kota, sebagian besar berasal dari desa-desa miskin.
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang medorong anak-anak menjadi anak jalanan.
Anak dari keluarga miskin, karena kondisi kemiskinan kerap kali kurang terlindungi sehingga
menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan.

Kedua, perceraian dan kehilangan orang tua menjadi salah satu faktor risiko yang mendorong
anak-anak pergi ke jalanan. Perceraian atau perpisahan orang tua yang kemudian menikah
lagi atau memiliki teman hidup baru tanpa ikatan pernikahan sering kali membuat anak
menjadi frustasi. Rasa frustasi ini akan semakin bertambah ketika anak dititipkan ke salah
satu anggota keluarga orang tua mereka atau tatkala anak yang biasanya lebih memilih
tinggal bersama ibunya merasa tidak mendapatkan perhatian, justru menghadapi perlakuan
buruk ayah tiri atau pacar ibunya.

Ketiga, kekerasan keluarga merupakan faktor risiko yang paling banyak dihadapi oleh anak-
anak sehingga mereka memutuskan untuk keluar dari rumah dan hidup di jalanan. Berbagai
faktor risiko lainnya yang berkaitan dengan hubungan antara anak dengan keluarga, tidak
lepas dari persoalan kekerasan. Seperti kasus eksploitasi ekonomi terhadap anak yang dipaksa
menyerahkan sejumlah uang tertentu setiap harinya, akan menghadapi risiko menjadi korban
kekerasan apabila tidak memenuhi target tersebut. Kekerasan dalam keluarga tidak hanya
bersifat fisik saja, melainkan juga bersifat mental dan seksual.

Keempat, keterbatasan ruang dalam rumah bisa menimbulkan risiko anak-anak turun ke
jalan. Biasanya ini dialami oleh anak-anak yang berada di beberapa perkampungan urban
yang menduduki lahan milik negara. Kelima, eksploitasi ekonomi. Anak-anak yang turun ke
jalan karena didorong oleh orang tua atau keluarganya sendiri atau biasanya bersifat
eksploratif. Anak ditempatkan sebagai sosok yang terlibat dalam pemenuhan kebutuhan
keluarga.

Eksploitasi ekonomi oleh orang tua mulai marak terjadi ketika pada masa krisis, dimana
anak-anak yang masih aktif bersekolah didorong oleh orang tuanya mencari uang dan
ditargetkan memberikan sejumlah uang yang ditentukan oleh orang tua mereka.

Keenam, keluarga homeless yakni seorang anak menjadi anak jalanan bisa pula disebabkan
karena terlahirkan dari sebuah keluarga yang hidup di jalanan tanpa memiliki tempat tinggal
tetap.

Seperti kita ketahui bersama, pengamen jalanan yang sering kita ketahui di Bungurasih tak
terkecuali Bungurasih Surabaya yang acap kali sering terlihat ketika kita hendak berpergian
keluar kota dan daerah.
Yang berperan menjadi pengamen itu tak selamanya orang tua, ada kalanya masih muda yang
seharusnya dia bersekolah tetapi malah memilih untuk menjadi seorang pengamen dengan
berbagai alasan. Seperti ekonomi, kekerasan rumah tangga dan dll.

Tapi hari ini negara telah mengeluarkan peraturan baru untuk menimalisir terjadinya
kekerasan terhadap diusia dini. Tetapi peraturan hanya di terapkan di berbagai daerah, tidak
semua daerah menerapkan aturan tentang perda (peraturan daerah) yang merugikan
masyarakat umum. Seperti peraturan yang telah di terapkan di daerah surabaya. Termaktup
dalam peraturan daerah kota Surabaya Nomor 2\2014 yang di perbarui dengan Perda 2\2021
tentang penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

Larangan untuk pengamen ada di pasal 35 dan larangan untuk pengemis ada di pasal 36
Perda 2\2014 yang tidak mengalami perubahan dengan Perda 2\2021, sehingga tetap berlaku
sampai sekarang.

Di Indonesia salah satu masalah besar yang marak diperbincangkan adalah tindak kriminal
terhadap anak. Mulai dari kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan bentuk tindakan
kriminal lainnya yang berpengaruh negatif bagi kejiwaan anak. Seharusnya seorang anak
diberi pendidikan yang tinggi, serta didukung dengan kasih sayang keluarga agar jiwanya
tidak terganggu. hal ini terjadi karena Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak
adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan
anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam
mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan
mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak
belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Kekerasan
terhadap anak dapat diartikan sebagai perilaku yang sengaja maupun tidak sengaja yang
ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik maupun mental.

1. Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefenisikan seperti
perlakuan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua
diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan
anak. Namun demikian child abuse sebetulnya tidak hanya berupa pemukulan atau
penyerangan fisik saja, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk eksploitasi
melalui, misalnya pornografi dan penyerangan seksual (sexual assault), pemberian
makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrition),
pengabaian pendidikan dan kesehatan (educational and medical neglect) dan
kekerasankekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse).
2. Berbicara mengenai anak adalah hal yang sangat penting karena anak merupakan
potensi nasib suatu generasi atau bangsa di masa mendatang. Anak merupakan
cerminan sikap hidup bangsa dan penentu perkembangan bangsa tersebut.
3. Untuk menanggulangi kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional dari
masyarakat, yaitu dengan cara politik kriminal. Kebijakan atau upaya penanggulangan
kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan
masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama
dari politik criminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat”.
4. Berdasarkan hukum positif, maka pihak korban dapat menuntut kerugian atau ganti
rugi terhadap pihak terpidana. Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana
Positif Indonesia diatur dalam:
5. Secara implisit, ketentuan Pasal 14 c ayat (1) KUHP telah memberi perlindungan
terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi: “Pada perintah yang tersebut
dalam Pasal 14a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama
dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana,
hakim boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan
mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagiannya
saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang dari masa percobaan
itu.”

Kekerasan terhadap anak merupakan masalah pelanggaran hak asasi manusia (ham) yang
menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat termasuk
masyarakat internasional. Hal ini disebabkan, persoalan kekerasan terhadap anak masih terus
terjadi dan belum dapat diatasi. Meskipun beragam payung hukum telah diterbitkan di negeri
ini dengan tujuan untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan, kenyataannya
kekerasan terhadap anak masih saja terjadi bahkan cenderung meningkat. Fenomena ini
menunjukkan bahwa payung hukum yang ada belum tersosialisasikan secara merata, atau ada
kemungkinan masyarakat belum memahami pengertian dari kekerasan itu sendiri, sehingga
kesadaran untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan belum menjadi
perhatian serius dan maksimal. Ada kelompok masyarakat tertentu yang memandang
kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangganya (khusunya terhadap anak) tidak termasuk
dalam tindak kekerasan yang perlu diberi sanksi hukum karena pelaku dan korban terikat
dalam lingkup keluarga. Disebabkan hal tersebut, persoalan ini sering dianggap sebagai
persoalan keluarga/privacy yang tidak dapat dicampuri pihak luar.Namun, disisi lain
persoalan kekerasan termasuk dalam masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dapat
menyengsarakan korban, maka persoalan ini patut dianggap pelanggaran yang harus
mendapat sanksi hukum dan dapat diancam hukuman pidana. Pada intinya kekerasan
terhadap anak bermuara pada tindakan seseorang/kelompok orang yang mengakibatkan
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psiklogis, penelantaran anak dan rumah
tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan seseorang secara melawan hukum. Dengan demikian,dapat dipahami bahwa
tindak kekerasan akan menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan terhadap orang/anak
yang menjadi korban. Menurut UU No. 13 tahun 2006 yang dimaksud dengan korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental atau kerugian ekonomi akibat suatu
tindak pidana atau kejahatan. Dengan demikian, anak korban kekerasan adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan yang menjadi
korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oran /kelompok
orang/lembaga/negara

Anda mungkin juga menyukai