Anda di halaman 1dari 3

MENEPIS KUASA KAPITALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Dewasa kini, perkembangan teknologi yang sangat pesat juga merambah dalam dunia
pendidikan. Salah satu pengaruhnya ialah, pendidikan justru lebih cenderung dijadikan sebagai
ladang keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini disebabkan system kapitalisme masuk ke dalam
dunia pendidikan.

RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) merupakan salah satu fenomena


kapitalisasi pendidikan. Seperti yang dilansir di beberapa media, di Tribun News semisal,
dikabarkan, di dalam system pembelajaran RSBI terdapat klasifikasi kasta ekonomi peserta
didik. Peserta didik golongan menengah kebawah, tidak mendapatkan pendidikan yang layak
sebagaimana mestinya, yakni pendidikan bermutu serta berkualitas. Namun, jika peserta didik
berasal dari golongan menengah keatas, maka ia akan mendapatkan pendidikan yang bermutu.

Bisa kita lihat, fenemona tersebut menjelaskan bahwa dunia pendidikan sekarang ini
seakan – akan dikuasai oleh orang yang ekonominya sangat berkecukupan. Orang kaya menjadi
kelompok elit dalam pendidikan, sedangkan kelompok miskin menjadi kaum terpinggir.

Sebagaimana yang dikatakan Ivan Illich dalam kritiknya terhadap pendidikan, Menurut
Illich dari pengalamannya mengenai persekolahan di Amerika Latin, Amerika Latin
menganjurkan apa yang kita kenal saat ini wajib sekolah 12 tahun. Dan bagi mereka yang tidak
mencapai pendidikan selama 12 tahun akan dicap sebagai masyarakat terbelakang.
Keterbelakangan di Amerika Latin, dikarenakan faktor kemiskinan.

Dari hal ini, Illich mengatakan bahwa persekolahan jutru melumpuhkan semangat kaum
miskin untuk mengurus pendidikannya sendiri. Dengan kata lain, sekolah itu mahal sekali,
sangat rumit dan hanya dinikmati oleh kaum eliter. Pandangan ini sangat relevan apabila kita
melihat perkembangan pendidikan saat ini.

Kini, lembaga pendidikan sudah tidak menjadi media transformasi nilai dan intrumen
memanusiakan manusia, melainkan hanya menjadi lahan basah bagi para kaum kapitalisme itu
sendiri. Seperti halnya ketika kita hendak masuk sekolah, kita dituntut untuk membeli seragam,
membayar uang gedung, membayar biaya lebih, saat ada pelajaran tambahan, dan masih banyak
lagi. Hal ini merupakan salah satu lahan basah dari kaum kapitalis demi mendapatkan
keuntungan semata dari peserta didik.

Disadari atau tidak, saat ini masyarakat masih percaya tehadap mitos-mitos seputar
sekolah dalm sehari-hari. Seperti halnya mitos nilai terlembaga, belajar yang bernilai adalah hasil
kehadiran kita di kelas, nilai-nilai dapat diukur dan dicatat melalui gelar dan ijazah. Dalam arti,
angka seringkali diciptakan untuk menentukan status intelektual dan kelulusan.

Dalam mitos nilai terlembaga ini, perspektif yang digunakan adalah apa yang dinamakan
Illich sebagai perspektif reduksionis terhadap pendidikan. Pendidikan dimaknai secara sederhana
menjadi sebuah institusi pendidikan yang bernama sekolah. Menurutnya, sekolah hanyalah salah
satu dari sekian banyak institusi pendidikan tempat anak manusia menjalankan proses belajar
dalam hidupnya.

Sehingga, timbullah keyakinan popular yang naïf yang pada akhirnya menyebabkan
adanya kekaburan antara sekolah dan pendidikan. Keyakinan popular yang naïf ini seperti apa
yang dikatakan Ivan Illich dalam kritiknya terhadap pendidikan, bahwa pendidikan harus mahal,
rumit dan dipercayakan pada pendidik spesialis. Akhirnya, pendidikan dengan biaya mahal
kerapkali dianggap benar atau dibenarkan.

Dengan biaya pendidikan yang mahal, mengakibatkan jauhnya layanan pendidikan yang
bermutu bagi masyarakat kalangan menengah kebawah. Seperti halnya yang tercantum dalam
POSI.id mengenai masalah pendidikan di Indonesia, salah satunya ialah mahalnya biaya
pendidikan menyebabkan banyak masyarakat yang putus sekolah.

Atas hal itu, salah satu amanah UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa
menjadi tidak terealisasikan. Sekolah yang memiliki kesan terbuka untuk umum, belakangan ini
hanya bersifat semu atau palsu. Karena, sesungguhnya sekolah hanya terbuka bagi mereka yang
terus-menerus memperbarui surat kepercayaannya melalui retribusi atau bayaran.

Berbeda dengan pandangan Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar Dewantara, hakikat


pendidikan adalah seluruh upaya yang dikerahkan secara terpadu untuk tujuan memerdekakan
manusia baik dari aspek lahiriah maupun batiniah. Pengajaran dalam pendidikan dimaknai
sebagai upaya membebaskan anak dari ketidaktahuan serta sikap iri, dengki dan egois.

Para peserta didik juga harus ditekankan mengenai pendidikan budi pekerti. Seperti apa
yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, seseorang yang memiliki budi pekerti adalah yang
mampu selalu memikirkan, merasakan serta senantiasa memakai ukuran timbangan dan dasar
yang tepat dalam perkataan maupun tindakan.

Budi pekerti ini, menjadi landasan tiap peserta didik untuk mencapai kemerdekaan
sebagai manusia yang berarti, dapat memerintah dan menguasai diri sendiri, serta menjadi
manusia yang beradab. Namun, yang perlu digaris bawahi, kemerdekaan yang dimaksud tidak
berhenti pada penguasaan diri sendiri saja, melainkan juga sikap menghormati kemerdekaan
orang lain.

Akar pendidikan Ki Hajar Dewantara, menempatkan kemerdekaan sebagai syarat dan


tujuan membentu kepribadian serta kemerdekaan batin bangsa Indonesia agar peserta didik
selalu kokoh berdiri membela perjuangan bangsa. Hal itu karena kemerdekaan menjadi tujuan
pendidikan. Untuk itu, dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, bahan-bahan pengajaran harus
disesuaikan dengan kebutuhan hidup rakyat.
Dengan kata lain, pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat tumbuhnya seorang anak,
agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan serta
kebahagiaan setinggi-tingginya. Tak sampai disitu, pendidikan sebagai tutunan tidak hanya
menjadikan seorang anak mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi juga
menjauhkannya dari perbuatan jahat.

Hal ini tertera dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menyatakan, “Setiap warga negara mempunyai hal yang sama untuk memperoleh pendidikn
yang bermutu”. Bahkan menurut UNESCO, pendidikan memiliki peran mendasar dalam
kehidupan pribadi dan social, sebagai salah satu sarana utama yang tersedia untuk mendorong
bentuk pembangunan manusia yang lebih dalam dan lebih harmonis. Dengan demikian, untuk
mengurangi kemiskinan, kebodohan, penindasan dan peperangan.

Seperti yang dijelaskan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa para peserta didik juga harus
diajarkan mengenai budi pekerti atau apa yang disebut sebagai pendidikan karakter. Hal ini
sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh H.O.S Tjokroaminoto “Sekolah-sekolah yang
hanya memberikan kepandaian yang “dingin” tidak hidup dan akhirnya hanya akan menuntun
pada meterialisme saja. Sekolah-sekolah yang demikian itu lebih baik tidak ada saja”.

Dengan kata lain, peserta didik jangan hanya dilatih untuk mengendalikan hasratnya saja,
melainkan juga lebih dilatih untuk mengendalikan jiwanya. Sebab, H.O.S Tjokroaminoto
mengatakan, bahwa dengan dilatihnya untuk mengendalikan jiwanya bagi para peserta didik atau
yang disebut sebagai pendidikan karakter, akan membuat bangsa maju dan beradab.

Dewasa ini, fitnah-fitnah di dunia nyata maupun media sosial semakin tidak terkendali.
Hal itu berlandaskan kepentingan politik, demi kekuasaan dan lain sebagaiya. Orang-orang yang
tidak tahu dan tidak bisa membaca situasi, maka akan cepat terpengaruh dengan keadaan yang
penuh dengan fitnah ini.

Dari sini dapat kita lihat, bahwa betapa pentingnya didalam tubuh peserta didik
diajarkannya pendidikan karakter. Sebab, jika para peserta didik hanya diajarkan untuk
memuaskan hasratnya, maka ia akan termakan oleh hasratnya sendiri.

Oleh sebab itu, hadirnya/diajarkannya pendidikan karakter kepada peserta didik.


Merupakan salah satu upaya menepis tujuan penguasa dalam menguasai atau memanipulasi
pendidikan untuk kepentingan politik. Terlepas, hal itu didasari dengan pola klasifikasi kasta
pendidikan dengan melihat faktor ekonomi. Sekaligus, untuk mengajarkan kepada peserta didik
supaya bisa mengendalikan jiwanya dalam hasrat materialistik.

Anda mungkin juga menyukai