Anda di halaman 1dari 5

Analisis Teori Ivan Illich

21.55
rokhmatun
3 comments
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Konsep-konsep Ivan Illich


Ivan Illich (4 September 1926 - 2 Desember 2002) adalah seorang rohaniawan yang
banyak bergelut dengan penelitian mengenai institusi alternatif dengan fokus studi
mengenai Amerika Latin. Sebagai filosof dan kritikus sosial, Illich menulis sejumlah buku
bertema kritik-kritik terhadap kultur modern, yang membentang dalam berbagai isu,
mulai pendidikan, pengobatan, pekerjaan, penggunaan energi, pembangunan, dan
gender. Pemikiran yang akan disoroti dalam tulisan ini, adalah pemikiran pendidikan
Ivan Illich dalam buku kontroversialnya yang berjudul Deschooling Society. Buku yang
ditulis Illich dalam rangka mengkritisi praktek kemapanan pendidikan yang selama
beberapa tahun diselenggarakan oleh sekolah ini, dianggap sangat berbahaya oleh
beberapa pihak. Ia dianggap telah menyadarkan masyarakat akan urgensi peninjauan
ulang beberapa konsep yang selama ini dianggap mapan oleh sebagian besar
masyarakat. Ivan Illich memang berbeda dengan beberapa pemikir pendidikan lainnya
seperti Paulo Freire. Ivan dianggap bukan sebagai pemikir yang memiliki massa (baca:
pengikut) seperti layaknya Freire. Pemikiran-pemikiran Freire diikuti oleh banyak orang
dikarenakan mempunyai target yang jelas, yaitu kaum tertindas (proletar dalam bahasa
Marx) yang termarjinalkan oleh praktek pendidikan yang memang tidak adil lagi sangat
menindas. Namun pemikiran Illich tetap penting dan, tentu saja, tetap menarik untuk
dikaji.
Sekolah, dalam pandangan Illich, adalah lembaga pendidikan yang membagi
masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang sangat tidak egaliter lagi diskriminatif.
Sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan dalam era industri yang telah menjadi
sedemikian mekanistik namun memperkurus kemanusiaan (dehumanisasi).
Penyelenggaraan pendidikan disekolah merupakan praksis yang tidak sebangun
dengan pendidikan itu sendiri. Murid-murid sekolah kemudian mempunyai logika baru,
belajar dianggap sebagai hasil proses pembelajaran yang diadakan oleh sekolah,
semakin banyak pengajaran maka semakin banyak hasilnya, menambah materi maka
akan semakin mempermudah keberhasilan. Illich menggedor kesadaran masyarakat
untuk segera melakukan revolusi budaya, yakni dengan menguji mitos-mitos yang ada
dalam lembaga sosial secara radikal yang selama ini telah mapan dalam pandangan
masyarakat.
Pendidikan yang berguna adalah pendidikan yang menyadarkan sikap kritis terhadap
dunia dan kemudian mengarahkan perubahannya. Dalam menghadapi dunia,
pendidikan diarahkan tidak hanya pada kemampuan retorika yang bersifat verbal, akan
tetapi juga mengarah kepada pendidikan kelakuan yang bertumpu pada kemampuan
profesional. Untuk memiliki kemampuan itu tentunya harus dirangsang sikap kritis
terhadap kenyataan-kenyataan di sekelilingnya dan berbekal dengan sikap kritis itu

-melalui debat dan diskusi- akan ditemukan berbagai yang dialaminya sendiri dan
masyarakatnya.
Dari
self
empowerment
ke
social
empowerment.
Kasus Indonesia yang mungkin bisa dianggap relevan dengan kritikan Illich adalah
permasalahan yang saat ini masih digodok oleh para pembuat keputusan yang
berkenaan dengan sertifikasi guru. Memang realita yang ada di Indonesia berbeda
dengan realita yang dihadapi Illich pada waktu itu. Tesis Illich telah sampai pada
kesimpulan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan telah menyebabkan langkanya
ketrampilan. Ada permasalahan lain yang pada waktu itu belum sempat muncul.
Penggalakan sertifikasi di Indonesia, disamping membuat diskriminasi, disinyalir juga
akan memunculkan praktek jual beli gelar yang ilegal, program kuliah jarak jauh yang
mempersingkat waktu untuk mendapatkan gelar, serta program kuliah yang berangkat
dari logika semakin banyak uang semakin singkat waktu kuliah yang bisa ditempuh.
Sungguh sangat ironis melihat kenyataan seperti itu. Pendidikan telah benar-benar
direduksi dari makna mulia yang sebenarnya. Maka jangan salahkan kalau kemudian
lulusan yang dihasilkanpun tidak mempunyai ruh pedagogis yang seharusnya dimiliki.
Pendidikan
kemudian
kehilangan
makna
dari
pendidikan
itu
sendiri.
Dunia pendidikan Indonesia bak lingkaran setan. Sementara pemerintah meminta
semua guru harus bersertifikasi dengan terlebih dahulu harus mengenyam pendidikan
tinggi, masyarakatpun mengeluh dengan semakin mahalnya biaya pendidikan, terutama
pendidikan tinggi. Di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan tinggi pemasok guru
bersertifikat (lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai jurusan keguruan), seringkali
juga dikritik karena ketidakmampuannya menyiapkan lulusan yang berkualifikasi dan
kompeten di bidangnya. Lembaga pendidikan tinggi ini dituding melahirkan lulusan yang
setengah-setengah, bahkan tidak pantas menjadi seorang guru. Lulusan bersertfikatpun
ternyata
juga
belum
tentu
memiliki
kompetensi.
Antara Deschooling Society
Sumber Daya Manusia merupakan sumber daya yang sangat penting bagi negara.
Sumber daya ini, ketika ditingkatkan dan mempunyai kualitas yang tinggi, akan sangat
menentukan kemajuan suatu bangsa. Salah satu upaya untuk meningkatkan sumber
daya manusia tersebut adalah dengan melaksanakan pendidikan di berbagai tingkatan.
Berbagai macam teori-teori berkaitan dengan pendidikan kemudian lahir dari pemikiranpemikiran para ahli. Pemikiran-pemikiran mengenai pendidikan ini hanya akan menjadi
utopia belaka tatkala tidak diejawantahkan dalam praksis pendidikan. Salah satu upaya
penerjemahan
teori-teori
tersebut
adalah
dengan
mendirikan
sekolah.
Sekolah ketika awal berdirinya merupakan perpanjangan tangan dari pendidikan yang
telah terlebih dahulu dilaksanakan oleh para orang tua. Tugas untuk melaksanakan
pendidikan inipun kemudian beralih dari para orang tua kepada sekolah. Sekolah
kemudian dipercaya orang tua untuk melaksanakan pendidikan bagi anak-anak mereka.
Sekolah, bagi sebagian orang tua, bahkan dipercaya sebagai proses yang harus dijalani

anak-anak mereka. Sekolah bagi sebagian orang tua, meminjam istilah Illich,
merupakan inisiasi ritual yang akan sangat menentukan masa depan anak-anak.
Ternyata, bagi Ivan Illich, sekolah merupakan pelaksana pendidikan yang sangat
diskriminatif dan tidak egaliter. Gagasan-gagasan Illich mengenai sekolah yang
menurutnya justru membelenggu tersebut telah dituangkannya dalam sebuah buku
fenomenal berjudul Deschooling Society. Dalam buku tersebut, Illich berusaha
mendobrak kesadaran masyarakat yang selama ini terperangkap dalam mitos-mitos
sosial yang ada dalam lembaga-lembaga era industri, seperti sekolah salah satunya,
yang telah menjadi semakin mekanistik, anonim, massal, dan yang lebih parah lagi,
memperkurus
kemanusiaan,
atau
dehumanisasi,
dalam
istilah
Freire.
Illich mengajukan suatu revolusi sosial yang dianggapnya perlu segera dilakukan.
Sekolah dianggapnya hanya sebagai lembaga yang mereproduksi ideologi-ideologi
kapitalis-konsumeristik. Tesis Illich ini bisa dibenarkan ketika dikaitkan dengan fenomena
adanya kekuatan politik yang menunggangi pendidikan. Di Indonesia sendiri para
ekonom yang termarjinalkan gara-gara memiliki perbedaan pandangan dengan ideologi
mainstream yang dikembangkan negara, menyatakan bahwa pendidikan ekonomi
Indonesia telah banyak disusupi unsur-unsur ekonomi liberal yang sangat kapitalis.
Ideologi ekonomi inilah yang kemudian menyebabkan kebijakan ekonomi Indonesia
sangat mudah diintervensi lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF dan world bank
demi
kepentingan
mereka.
Gagasan-gagasan Illich hanya berusaha menggugah kesadaran kita mengenai sekolah.
Inilah yang menjadi tanggung jawab kita bersama untuk selalu memperbaharui konsepkonsep pendidikan yang sudah usang dan tidak lagi sesuai. Pemerintah sebagai
penanggung jawab pendidikan juga harus bertanggung jawab terhadap sekolah. Pihak
sekolah juga sebagai penyelenggara pendidikan yang telah diberikan amanat harus bisa
menempatkan diri serta menerapkan teori-teori serta berbagai konsep yang telah diramu
sebagai formula terbaik bagi pendidikan.
1. Otokritik PendidikanDalam literatur mengenai pendidikan kita menemukan dua tokoh
yang sangat gencar mengkritik konsep pendidikan, yaitu Ivan Illich dan Paulo Freire.
Pertama kita tengok pemikiran Ivan Illich. Dalam Deschooling Society (1974), ia
mengkritik dua hal mengenai dunia pendidikan. Pertama, kecenderungan pendidikan
formal yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai dapat dipraktikkan dan melalui pemaketan
nilai itulah individu akan dicetak menjadi sesuatu. Sehingga, peserta didik hanya diminta
untuk mengejar formalitas nilai tanpa mengharapkan lebih pada kualitas proses
pembelajaran. Yang penting dapat nilai bagus, yang penting lulus, dan yang penting bisa
dapat ijazah, itulah yang menjadi ukuran dan kepentingan pendidikan, bukan proses
bagaimana mencetak siswa yang berwawasan luas dan berkepribadian baik. Kedua,
Illich mengkritik pendidikan hanya sebagai barang dagangan. Tidak ada sekolah yang
terbuka untuk menampung semua anak usia sekolah di masyarakat. Biasanya, kelas
tertindas tidak mendapat akses pendidikan karena problem administratif atau birokasi

sekolah. Dan yang jelas, ini dikarenakan tiada biaya untuk sekolah. Oleh karena itu,
dalam pemikiran Illich, misi lembaga pendidikan modern sebenarnya mengabdi pada
kepentingan modal, bukan sarana pembebasan bagi kaum tertindas. Maka dia sering
disebut sebagai pengusung ide emoh sekolah!. Konsep pembelajaran secara
berproses (sebutlah learning by process) tidak mengenal kata akhir dalam pendidikan.
Artinya, yang lebih kita perlukan adalah bagaimana proses untuk menciptakan manusia
yang berkualitas dengan menjadikan pendidikan sebagai basis sosial pemenuhan
kebutuhan bagi wawasan dan pengetahuan masyarakat. Kita sering berpikir bahwa
manusia dalam hidupnya sering dikendalikan oleh dua faktor, yaitu genetik dan
lingkungan. Tapi, kita sering lupa bahwa faktor manusia juga sangat menentukan. Untuk
itulah, pendidikan yang membebaskan adalah bagaimana melepaskan manusia dari
terali besi (iron cage) kebodohan yang ada dalam dirinya. Kualitas pendidikan lebih
melihat kondisi (internal) manusia, daripada hanya terbelenggu oleh ukuran-ukuran
kuantitatif
dan
formalistik.
2. Pendidikan Berbasis KerakyatanDengan melihat realitas pendidikan saat ini maka
sudah saatnya kita memikirkan kembali gagasan untuk menciptakan model pendidikan
gratis bagi rakyat kecil. Yaitu model pendidikan yang berbasis kerakyatan, terutama
rakyat kecil yang tidak mampu. Upaya ini perlu digelar agar bisa menampung beberapa
anak usia sekolah yang memang tidak mampu untuk bisa mengenyam dunia pendidikan
dengan baik. Hanya dengan kepedulian sosial yang tinggi langkah demikian akan
menjadi
kenyataan
yang
tentu
akan
terealisasi.
Di tengah sulitnya mendapatkan pendidikan bagi rakyat kecil gagasan mengenai
pendidikan gratis menjadi agenda penting yang perlu digulirkan. Hal ini kiranya bisa
dikerjakan oleh beberapa organisasi masyarakat (ormas), yayasan, atau LSM yang
bergerak di bidang sosial-kemasyarakatan untuk membuka kelas atau sekolah yang
memberikan
pendidikan
gratis
bagi
masyarakat
yang
tak
mampu.
Tidak perlu dibuat dalam bentuk struktur birokratik atau menjadi terkesan formal. Kalau
memang terbentur soal dana operasionalisasi pendidikan, seperti pengadaan buku
pelajaran, maka strategi yang tepat adalah berani untuk memfotokopi buku atau modul
sebagai acuan dalam proses pembelajaran. Mengenai nilai dan ijazah, dalam proses
pendidikan ala kaum tertindas ini, keduanya tidak menjadi acuan utama. Seperti
dikatakan Illich, nilai atau formalitas pendidikan hanya akan menghasilkan anak didik
yang tak bermutu karena dipenuhi otak proyek pengumpulan nilai bagus dan demi ijazah
saja, tanpa memperhatikan proses pengembangan diri secara dinamis. Dengan begitu,
maka setidaknya kaum tertindas tidak lagi terjebak pada permainan komersial yang
gencar dilakukan beberapa oknum kapitalis pendidikan (termasuk negara).
Piere Bourdieu, seorang sosiolog pendidikan, menyebut bahwa manusia saat ini tidak
hanya melakukan kegiatan saham dalam bentuk material, tapi juga dalam bentuk
symbolic capital, yaitu kapital yang bersifat simbolik tapi sarat makna dengan ragam
kepentingannya. Kehidupan yang sangat aristokratis dalam relasi sosial akan sangat

mudah membawa sistem pendidikan ke dalam model symbolic capital. Dengan gagasan
pendidikan gratis untuk rakyat kecil, maka umumnya kaum tertindas akan bisa keluar
dari
kubangan
dan
jebakan
aristokrasi
pendidikan
ini.
Usulan untuk membebasan biaya pendidikan dasar dan menengah terkesan masih
utopis bila melihat keadaan saat ini. Apalagi itu masih masuk dalam struktur negara atau
pemerintah karena aturan prosedural tidak menghendaki demikian. Langkah yang lebih
memungkinkan adalah bagaimana meningkatkan subsidi pemerintah yang lebih
menjanjikan bagi pendanaan pendidikan. Pendidikan gratis untuk rakyat kecil ini adalah
sebuah langkah nonformal yang penting untuk digelar oleh beberapa komunitas sosial
yang sangat konsern dengan dunia pendidikan saat ini

Anda mungkin juga menyukai