Anda di halaman 1dari 3

WAJAH KLASIK PARA PENJILAT

Pemerintah diktator kerap kali menangkap dan membatasi keberadaan pers. Negara
demokrasi hanya melahirkan para penjilat harta kekuasaan rakyat.
Merupakan suatu kejanggalan dalam berdemokrasi, ketika kondisi pers
independen mulai dibatasi keberadaanya. Sebagai media penyambung lidah
masyarakat sipil, peran pers juga sebagai alat untuk menyuguhkan informasi aktual
di hadapan publik.
Semenjak Jokowi Dodo menjabat sebagai Presiden, kekerasan pers kian
melonjak. Baik secara fisik maupun digital. Pembungkaman dan represifitas tersebut
menjelaskan bahwa negara tidak mampu melindungi kebebasan pers. Terbukti ketika
tiga jurnalis meliput aksi penolakan UU Ombnibus Law Cipta Kerja, pada 6-7
Oktober 2020. Ketiga jurnalis tersebut malah diintimidasi oleh aparat kepolisian.
Kasus serupa juga terjadi pada lima wartawan di Samarinda, usai meliput
demonstrasi. Peristiwa terjadi pada (8/10) 2020 malam. Lima wartawan terebut
mengalami tindakan represif oleh aparat kepolisian. Mereka ditarik rambut, serta
diinjak kakinya dan ditekan dadanya memakai jari.
Prilaku semacam ini merupakan indikator bahwa demokrasi yang selama ini
kita anut, hanya melahirkan pemerintah otoriter. Kekerasan yang dialami pers
mahasiswa dan pers umum di rezim Soeharto galib kita lihat hari-hari ini. Pers pun
sebenarnya turun mengambil peran dan berkontribusi dalam membuka kran
demokrasi di Indonesia. Kemuakan akan otoritarianisme Soeharto yang
memberangus hak-hak rakyat itu tumpah ketika Reformasi 1998.
Selama tiga puluh tahun rezim Soeharto posisi pers terpasung dan hak
kebebasannya dibatasi. Legitimasi pers berada di bawah kendali Soeharto. Pelbagai
isu yang membahayakan pemerintahan Soeharto itu dipasung dan tidak disuguhkan
ke depan publik. Pembatasan dan pengekangan inilah yang membuat pemerintahan
Soeharto bertahan lama.
Ketakutan Soeharto akan pena-pena jurnalis tampaknya wajar. Sebab salah
satu fungsi pers adalah watchdog. Keberadaan pers—baik umum ataupun mahasiswa
—merupakan senjata pamungkas untuk membunuh pemerintah otoriter. Oleh sebab
itu tidak heran jika selama ini peran pers di Indonesia kian memudar. Pasalnya
intimidasi, peretasan, dan kekerasan fisik akan menjadi buah dari keberanian setiap
jurnalis.
Dalam kacamata Daniel Ziblet, dalam buku How Democracies Die. Indikator
dari wajah para politikus otoriter yang berdampak terhadap tumbangnya demokrasi
salah satunya menangkap pers dan tidak memberikan ruang untuk meliput jalannya
demokrasi. Tindakan tersebut perlahan menggerus kedaulatan rakyat dan berpotensi
melahirkan para diktator.
Para politikus yang merebut legitimasi kekuasaan tidak jarang menghalalkan
segala cara. Bukan hanya soal manipulasi suara serta menolak aturan main
demokrasi. Tapi bagaimana caranya mereka mengendalikan posisi pers. Seruan
kemerdekaan dan pro demokrasi akan kabur jika peran pers dibatasi.
Padahal berdemokrasi berarti mendengarkan suara rakyat dan melindungi
kebebasan pers. Sebab pers juga bertugas mengawal kedaulatan rakyat dan
menyuguhkan wajah bopeng pejabat. Tugas-tugas mulia pers dalam menjaga iklim
demokrasi itu dilindungi negara dan dijamin oleh Undang-undang.
Jika posisi pers terus-terusan dibungkam maka demokrasi yang kita impikan
hanya dijadikan ajang penumpukan para pemerintah otoriter serta negara ini akan
abadi melahirkan para tikus yang hanya menjilat harta kekuasaan rakyat.
Oleh sebab itu posisi pers, harus benar-benar terlindungi. Undang-Undang nomer
40 tahun 1999 tentang pers pasal 4, harus betul terealisasi, tanpa ada embel-embel
mengganggu keamanan. Agar segala hal yang terjadi, termasuk bobroknya
pemerintahan bisa dikonsumsi oleh publik. Dan bisa memfilter para diktator yang
berlagak demokratis.
Ditambah gejolak RUU KUHP yang kian marak diperbincangkan baik disosial
media, maupun di bangku perkuliahan. Pasalnya, didalam isi KUHP tersebut banyak
pasal karet yang di sodorkan oleh para penjilat oligarki demi menguntungkan dirinya
pribadi ataupun kelompok tersebut.
Sejak tahun 2019 RUU KUHP ini sudah di bahas dan sudah menjadi perbincangan
dikalangan masyarakat dan mahasiswa, tak lain penyebabnya adalah pasal yang di
buat tidak menguntungkan terhadap kemaslahatan umat.
Pasalnya dari hasil sosialisasi draf RUU KUHP sejak tahun 2019, pemerintahan
tidak melakukan tindakan perubahan apapun di dalam draf yang sejak dulu di bahas
sampai tahun 2023 mendatang ini.
Untuk itu ke khawatiran masyarakat terhadap pemerintahan yang dalam
perancangan peraturan ini sangat tidak transparan, tidak melibatkan masyarakat
dalam partisipasi rancangan undang-undang kitap hukum pidana tersebut.
Syahdan, anggapan dari berbagai pihak seperti, masyarakat sipil, masyarakat jelata
dan mahasiswa. Pemerintah telah membuat demokrasi kian cacat dalam kinerjanya.
Untuk itu perlunya menghidupkan kembali marwah demokrasi yang kian hari kian
cacat dalam penerapanya.
Kita bisa buktikan dengan kaca mata demokrasi, demokrasi dapat dikatakan bahwa
sistem pemerintahan yang mengijinkan dan memberi hak, kebebasan kepada warga
negaranya untuk berpendapat serta turut dalam pengambil keputusan didalam
pemerintahan.
Tapi kita lihat hari ini, kebebasan berpendapat untuk tahun-tahun ini sangat miris.
Banyak orang menyuarakan pendapatnya di muka umum untuk membela kebenaran
malah di singkirkan dan di anggap musuh negara.
Kita bisa buktikan dengan sempel mural yang ada di kota pasuruan, spesifiknya di
kecamatan bangil. Yang dihapus oleh pemerintah setempat, dengan alasan merusak
fasilitas umum. Secara tidak langsung pemerintahan melarang untuk benyuarakan
pendapat walaupun dengan hal-hal yang sifatnya kreativ.
Tak jauh berbeda dengan kasus seorang siswa sekolah dasar di wilayah jombang
tempatnya di jawa timur. Yang diperkosan oleh kakek-kakek berusia 55 tahun,
dengan usia yang belum cukup menanggung beban dan risiko menjadi ibu dan
besarnya dampak melahirkan dibawah umur tersebut.
Korban ingin melakukan aborsi yang sudah di bicarakan oleh pihak keluarganya.
Tapi pihak kepolisan menolak secara keras tindakan aborsi yang dilakukan sang
korban beserta keluarganya. Dengan landasan dilarang oleh UU Aborsi.
Tapi melihat dari aturan aborsi ada pengecualian bagi pihak anak yang dibawah
umur dengan alasan pemerkosaan. Yang sekiranya dapat merebut nyawa sang ibu.
Dari beberapa sempel tersebut, kita bisa melihat bahwa jajaran pemerintahan sangat
membatasi kita dan mengatur betul dalam semua aspek.
Priode jokowi dodo untuk tahun-tahun ini bisa dibilang sangat mencidrai
demokrasi. Sebab semua hal yang memang di larang oleh UUD 45, tidak boleh kita
ganggu guta. Seperti kebebasan pres, ham, dll.
Dari sini bisa diartikan bahwa dalam berdemokrasi setidaknya kita melihat dan
menjalankan peran dan tujuan demokrasi. Salah satu tujuan demokrasi adalah
memberikan ruang terhadap masyarakat untuk ikut campur dalam urusan
pemerintahan, baik dalam pembuatan UUD, peraturan dan pengelolahan infastuktur
yang sekiranya tidak merugikan masyarakat banyak.

Anda mungkin juga menyukai