Anda di halaman 1dari 27

Berjuang dari Pinggiran?

Intelektual dalam Politik Demokrasi


di Indonesia Pasca Orde Baru
Otto Adi Yulianto

“.. Bila aktivis pro-demokrasi tidak membangun konstituen,


mengorganisasi massa dari bawah, dan tetap menempatkan diri
sebagai kelompok lobi atau demonstrasi, mereka akan
termarginalisasi. Gerakan pro-demokrasi hanya akan menjadi
kelompok lobi permanen, sementara politik dimonopoli oleh
orang-orang buruk ..”
(Olle Tornquist, 2004)1

Demokrasi secara substansial tidak berlangsung di masa pemerintahan Soeharto. Di


masa itu, partisipasi rakyat amat ditekan, hanya muncul sebagai wacana yang serba
terbatas, atau sekedar menjadi jargon. Partai politik, yang seharusnya berfungsi
menyalurkan aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya, amat dikontrol dan
dikendalikan pemerintah. Para intelektual yang berusaha mengartikulasikan aspirasi
rakyat juga mengalami pembatasan, pengendalian, maupun represi. Berbagai
kebebasan dasar --seperti kebebasan bersuara, berekspresi, berkumpul, dan berserikat-
- tidak dapat dinikmati secara memadai. Padahal berbagai kebebasan tersebut secara
normatif merupakan hak yang asasi bagi setiap warga negara dan sangat vital untuk
memperjuangkan kepentingan mereka. Lumrah bila di masa itu muncul keyakinan
bahwa demokrasi akan terwujud bila berbagai kebebasan dasar tersebut dapat
berlangsung dan dinikmati secara memadai.

Pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998, terjadi perubahan yang
mengesankan berkenaan dengan kebebasan dasar. Media massa menjadi lebih bebas,
seiring ditiadakannya surat ijin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan dibubarkannya
Departemen Penerangan, institusi yang di masa Soeharto amat berkuasa dalam
menentukan hidup-matinya sebuah media. Akses informasi relatif lebih baik bila
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kebebasan bersuara serta berorganisasi juga
lebih baik. Partai bebas berdiri serta berkompetisi dalam pemilihan umum (Pemilu)
yang kini relatif bebas dan fair. Pulihnya kebebasan bersuara, berekspresi, serta
berorganisasi telah memungkinkan terjadinya ledakan jumlah media massa baru,
lembaga swadaya masyarakat (LSM) baru, serta akademisi yang kritis dan muncul ke
ruang publik. Ledakan jumlah juga terjadi dengan organisasi buruh, petani,
perempuan, dan jurnalis, sesuatu yang di masa Orde Baru sulit dibayangkan2.

1
Kompas, 31 Januari 2004
2
Di masa pemerintahan Soeharto, organisasi-organisasi massa amat dikontrol atau dikendalikan
pemerintah, di antaranya lewat proyek penyatuan, misalnya untuk organisasi: (a) buruh, lewat Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), (b) petani, lewat Himpunan Kerukunan Petani Indonesia (HKTI),
(c) wartawan, lewat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), (d) pemuda, lewat Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI), (e) perempuan, lewat Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Sementara para tahanan dan narapidana politik yang dipenjarakan oleh pemerintahan
Soeharto telah dibebaskan oleh pemerintahan Habibie, penggantinya3.

Sejumlah aspek ketatanegaraan juga mengalami perbaikan. Pada Juni 1999 dan April
2004 telah berlangsung proses Pemilu legislatif yang diikuti oleh 48 (empat puluh
delapan) dan 24 (dua puluh empat) partai politik, berlangsung relatif bebas dan damai,
serta derajat kecurangan yang terjadi relatif kecil bila dibandingkan dengan 6 (enam)
Pemilu di masa pemerintahan Soeharto. Undang-Undang Dasar 1945, yang di masa
pemerintahan Soeharto disakralkan, mengalami amandemen sebanyak 4 (empat) kali.
Pemilihan presiden dan wakil presiden yang sebelumnya di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, kini dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui
mekanisme Pemilu, yang untuk pertama kalinya diadakan pada awal Juli dan
September 2004.

Sentralisasi kekuasaan negara mencair, sebaliknya persoalan desentralisasi dan


otonomi daerah mendapat perhatian yang menonjol, di antaranya lewat terbitnya UU
No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan UU
No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah4. Mulai Juni 2005, pemilihan kepala
daerah (gubernur, bupati, maupun walikota) secara langsung akan mulai berlangsung
di sejumlah daerah. Sementara instrumen yang mendukung tindakan represif negara,
seperti Keppres No 29 tahun 1988 tentang pembentukan Bakorstanas dan Keppres
No. 16 tahun 1990 tentang Penelitian Khusus (Litsus), dicabut di masa presiden
Abdurrahman Wahid lewat Keppres No. 38 tahun 2000.

Dalam persoalan pemberantasan korupsi, sejumlah mantan pejabat yang cukup


berpengaruh di masa pemerintahan Soeharto kini diadili karena kasus korupsi.
Bahkan termasuk Akbar Tanjung, ketua Partai Golkar yang juga ketua Dewan
Perwakilan Rakyat periode tahun 1999-2004. Mantan presiden Soeharto yang
sebelumnya amat berkuasa dan terkesan sulit disentuh hukum, sempat juga terancam
diadili. Tommy Soeharto --putra kesayangannya-- dan Mohamad (Bob) Hasan --
konglomerat kroninya dan mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet
Pembangunan VII-- telah diadili dan dipenjarakan di Nusakambangan, lokasi yang
mendapat citra menyeramkan karena merupakan penjara bagi narapidana kelas berat.

Demikian pula dengan militer. Mereka harus menerima kenyataan bahwa sejumlah
prajurit dan perwiranya diadili serta dihukum karena kasus pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) yang telah mereka lakukan, misalnya dalam kasus penculikan aktivis
pro-demokrasi, Timor Timur, serta Tanjung Priok. Sebelumnya, setelah melalui
berbagai proses politik yang panjang, jajak pendapat menyangkut status Timor Timur

 Pergantian kekuasaan dari Soeharto ke Habibie ini sempat menimbulkan sejumlah kontroversi karena
sekedar lewat serah-terima, tidak melalui mekanisme MPR. Selain itu, Habibie juga mengalami
masalah dengan legitimasinya karena dinilai sebagai “orangnya Soeharto”.
4
Berbeda dengan UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam UU No 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah telah disahkan dan diatur pemilihan langsung kepala daerah, baik
gubernur, bupati, maupun wali kota yang pelaksanaannya akan dilakukan sejak Juni 2005. Namun
UU No 32 tahun 2004 ini bukannya tanpa kritik, bahkan sebagian kalangan menganggap lebih buruk
dibanding UU No. 22 tahun 1999, di antaranya yang menonjol karena dalam UU yang baru diatur
bahwa kepala desa --yang dipilih secara langsung oleh warganya-- tidak lagi bertanggung jawab
kepada Badan Perwakilan Desa (BPD) namun kini bertanggung jawab kepada Bupati. Kewenangan
Badan Perwakilan Desa dikurangi dan namanya kini berubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa,
yang anggotanya tidak lagi dipilih langsung oleh warga desa namun lewat musyawarah elit desa.

2
akhirnya berlangsung pada Agustus 1999, dan berlanjut dengan pisahnya wilayah itu
dari Indonesia karena mayoritas warganya memilih untuk menjadi negara sendiri.

Persoalan dwifungsi serta bisnis militer, yang di masa pemerintahan Soeharto tabu
untuk dibicarakan dan hanya sejumlah kecil warga negara yang berani
mempersoalkan, kini disorot dan digugat secara terang-terangan. Sorotan dan gugatan
tidak hanya muncul secara terbatas dari aktivis demonstran, namun juga datang dari
kalangan pejabat negara dan politisi yang duduk di parlemen. Demikian juga dengan
operasi militer. Daerah operasi militer yang telah diberlakukan di wilayah Aceh sejak
1989, sempat dicabut pada 1999, meski kemudian di masa pemerintahan Megawati
darurat militer diberlakukan pada Mei 2003. Meski begitu, pengambilan keputusan
dan implementasi menyangkut operasi militer tersebut kini tidak lagi semudah dan
seleluasa seperti di masa Soeharto.

Pemahaman Mengenai Demokrasi


Meski ada sejumlah perbaikan, tidak serta-merta dapat dikatakan bahwa kini
Indonesia telah menjelma menjadi negara yang demokratis. Berbagai perbaikan dalam
hal kebebasan dasar dan sejumlah institusi demokrasi --misalnya kebebasan
mendirikan partai, Pemilu yang bebas dan adil, kebebasan berpendapat dan
berorganisasi, berdirinya pengadilan HAM, serta penerbitan media massa yang bebas
serta independen-- memang telah berlangsung. Namun demokrasi secara substansial
tidak sekedar persoalan adanya sejumlah perbaikan dalam hal kebebasan maupun
institusi demokrasi tersebut.

Ada beragam pemahaman yang berkembang mengenai demokrasi. Mengikuti Uhlin


(1997: h. 8-12), setidaknya ada dua kelompok pemahaman atas konsep demokrasi
yang dominan, yakni mereka yang mendefinisikan demokrasi secara minimalis dan
maksimalis. Definisi demokrasi yang minimalis cenderung membatasi makna
demokrasi sebagai sistem politik, yang berbeda dari sistem ekonomi dan sosial.
Menurut kelompok ini, jika isu ekonomi dan sosial disertakan maka konsep
demokrasinya akan menjadi sangat luas sementara realitas empiris yang signifikan
dengan teori ini akan menjadi sempit sehingga menyulitkan dalam mengkaji
fenomena yang ada. Di sisi lain, kelompok yang mendukung definisi yang maksimalis
menyatakan bahwa definisi yang terbatas pada demokrasi politik akan menyingkirkan
diskusi tentang pembagian kekuasaan yang nyata dalam masyarakat dan membuat
masalah ketimpangan sosial dan ekonomi menjadi tidak relevan. Isu tentang gerakan
sosial dan gender juga ikut tersisihkan.

Dalam menjembatani kedua kelompok pemahaman tersebut, Uhlin mendukung


definisi yang ditawarkan oleh David Beetham. Dia mendefinisikan demokrasi sebagai
“sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang
mengikat secara kolektif, yang dikenai kontrol oleh rakyat.” Tatanan yang paling
demokratis adalah “yang memungkinkan seluruh anggota kolektivitas menikmati hak
setara yang efektif untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam pengambilan
keputusan itu.” Elemen kunci dari definisi ini adalah kontrol rakyat dan kesetaraan
politik (ibid.).

Tujuan demokrasi, mengikuti Beetham, adalah kontrol rakyat terhadap urusan-urusan


publik atas dasar kesetaraan politik. Tujuan ini mensyaratkan seperangkat prinsip
umum, yakni hak dan kemampuan bagi semua warga untuk berpartisipasi,

3
kewenangan bagi para wakil rakyat dan pejabat terpilih, representasi mereka untuk
mewakili berbagai kepentingan dan gagasan yang hidup dalam masyarakat, selain
harus terus menerus responsif terhadap opini dan kepentingan masyarakat serta
bertanggung jawab --baik secara langsung atau tidak langsung-- kepada warga negara
atas apa yang mereka lakukan, di mana pertanggungjawaban itu memerlukan adanya
transparansi. Sementara kesetaraan warga negara secara implisit berlaku dalam semua
prinsip tersebut. Solidaritas antar warga negara serta di kalangan mereka yang
berjuang untuk demokrasi juga merupakan hal yang mendasar. Hampir semua, atau
malah semua, prinsip-prinsip umum tersebut memerlukan prinsip tambahan yaitu hak
asasi manusia. (DEMOS, 2005: h. 9)

Prinsip-prinsip umum tersebut mensyaratkan adanya seperangkat instrumen dalam


berbagai tingkatan yang diharapkan mendorong: (1) kewarganegaraan yang setara,
kepastian hukum, keadilan, hak-hak sipil dan politik, dan hak-hak sosial ekonomi
menyangkut kebutuhan pokok; (2) pemilihan umum yang demokratis, keterwakilan,
dan pemerintah serta administrasi publik yang responsif dan bertanggung jawab; (3)
media, seni, akademi, masyarakat sipil yang bebas dan berorientasi demokratis, serta
berbagai bentuk partisipasi masyarakat yang lain. Beetham mengidentifikasi dan
merumuskan setidaknya ada 85 (delapan puluh lima) instrumen demokrasi, sementara
Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia - DEMOS dalam risetnya
tentang “Masalah-Masalah dan Pilihan-Pilihan Demokratisasi di Indonesia” telah
merevisi dan mengolahnya kembali menjadi 40 (empat puluh) instrumen (hak-hak dan
institusi-institusi) demokrasi – lihat tabel 1 (ibid).

Tabel 1. Empat Puluh Instrumen Demokrasi


I : Kewarganegaraan, hukum, dan hak-hak
1. Kesetaraan warga negara
2. Hak-hak minoritas, migran, dan pengungsi
3. Rekonsiliasi konflik dalam masyarakat
4. Penghargaan dan dukungan pemerintah terhadap hukum internasional dan traktat hak asasi
manusia PBB
5. Ketaatan aparatur dan penyelenggara kekuasaan negara terhadap hukum
6. Akses yang setara dan aman terhadap keadilan
7. Integritas dan independensi peradilan
8. Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut atasnya
9. Kebebasan berbicara, berkumpul, dan berorganisasi
10. Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja/ buruh
11. Kebebasan beragama dan berkeyakinan
12. Kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan
13. Kesetaraan dan emansipasi jender
14. Perlindungan terhadap hak-hak anak
15. Hak untuk mendapatkan pekerjaan, jaminan sosial, dan terpenuhinya kebutuhan dasar
lainnya
16. Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar, termasuk pendidikan tentang hak-hak dan
kewajiban warga negara
17. Tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan regulasi bisnis untuk
kepentingan publik
II: Pemerintahan yang representatif dan bertanggung jawab
18. Pemilihan umum yang bebas dan adil di tingkat pusat, regional, dan lokal
19. Pemilihan yang bebas dan adil terhadap gubernur, bupati, walikota, dan kepala desa
20. Kebebasan mendirikan partai, merekrut anggota, dan berkampanye untuk menduduki

4
jabatan-jabatan publik
21. Partai yang mengartikulasikan isu-isu vital dan kepentingan-kepentingan masyarakat
22. Pencegahan penyalahgunaan sentimen religius atau etnis, ataupun simbol-simbol dan
doktrinnya, oleh partai
23. Independensi partai dari politik uang dan kepentingan kuat yang terselubung
24. Kapasitas kontrol anggota dan simpatisan terhadap partainya, dan respons serta tanggung
jawab partai terhadap konstituen
25. Kemampuan partai membentuk dan menjalankan pemerintahan
26. Transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah terpilih, di segala tingkatan
27. Transparansi dan pertanggungjawaban eksekutif/ pejabat publik pada semua tingkatan
28. Desentralisasi pemerintahan secara demokratis (atas dasar prinsip subsidiaritas)
29. Transparansi dan pertanggungjawaban militer dan polisi terhadap pemerintahan yang
terpilih dan publik
30. Kapasitas pemerintah untuk memerangi kelompok paramiliter, preman, dan kejahatan
terorganisir
31. Kemerdekaan pemerintah dari intervensi asing (kecuali konvensi PBB dan hukum
internasional yang positif)
32. Kapasitas pemerintah untuk bebas dari kelompok-kelompok kepentingan yang kuat, untuk
menghilangkan korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan
III: Masyarakat sipil dan partisipasi langsung yang berorientasi demokratis
33. Kebebasan pers, seni, dan dunia akademis
34. Akses publik terhadap berbagai pandangan dalam media, seni, dan dunia akademis, juga
untuk merefleksikannya
35. Partisipasi warganegara dalam organisasi masyarakat yang independen
36. Transparansi, pertanggungjawaban, dan praktek demokratis dalam organisasi-organisasi
masyarakat
37. Akses dan partisipasi yang luas dari semua kelompok sosial –termasuk perempuan–
terhadap kehidupan publik
38. Kontak langsung masyarakat dan akses terhadap layanan publik dan para pelayan
masyarakat
39. Kontak langsung masyarakat dan akses terhadap para wakil politik mereka
40. Konsultasi pemerintah dengan masyarakat, dan bila mungkin, partisipasi rakyat secara
langsung dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan publik
Sumber: DEMOS, 2005: h. 10.

Ada Perubahan Namun Belum Demokratis


Patut diakui bahwa ada sejumlah perbaikan pada sejumlah instrumen demokrasi yang
terjadi pasca jatuhnya Soeharto. Sejumlah kebebasan dasar dan institusi demokrasi
kini relatif lebih baik bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Namun dalam hal
kualitas atau substansinya, masih banyak instrumen demokrasi yang tetap saja buruk.
Misalnya, meski kebebasan berpendapat dan bersuara kini dimungkinkan, namun
suara masyarakat, terutama kelas bawah, masih sering diabaikan dalam kebijakan
publik. Saat pemerintah mengambil kebijakan pencabutan berbagai subsidi yang
berdampak kepada kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, ternyata keberatan
masyarakat terhadap kebijakan tersebut tidak mempunyai pengaruh yang signifikan.
Demikian juga protes masyarakat menyangkut berbagai program privatisasi badan
usaha milik negara (BUMN) yang belakangan ini marak terjadi.

Sejumlah aktivis demonstran yang memprotes kebijakan pemerintah masih kerap


mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan, bahkan mengalami pemenjaraan
karena dituduh menghina pejabat pemerintah dan dikenai pasal-pasal dalam kitab

5
undang-undang hukum pidana (KUHP) yang dikenal sebagai pasal-pasal haatzaai
artikelen, yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda saat menghadapi
gelombang pasang aktivis pergerakan kemerdekaan di awal abad 20 lalu. Sejumlah
kantor lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aktivis hak asasi manusia (HAM)
masih juga mendapat teror dan penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok
preman. Demikian juga dengan kantor redaksi media massa. Kualitas kebebasan
berpendapat dan berekspresi serta bebas dari tindak kekerasan dan rasa takut
tampaknya masih mengalami masalah yang cukup serius.

Akses masyarakat, terutama kelas bawah, terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial
tampaknya juga tidak mengalami perubahan yang berarti. Meski Komisi
Pemberantasan Korupsi sudah didirikan dan pengadilan kasus korupsi marak
dilakukan, namun korupsi masih tumbuh subur di berbagai tingkatan birokrasi negara,
hanya sebagian kecil yang disentuh hukum, yang sering kali berakhir secara
mengecewakan. Sejumlah pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di masa lalu
tidak diusut secara memadai dan dituntaskan dengan memberi rasa keadilan kepada
para korban, seperti yang dituntut banyak kalangan. Demikian juga berbagai
pelanggaran HAM yang terjadi di masa kini. Meski pemerintah berusaha
menunjukkan citra populis, tetap saja penggusuran terhadap pedagang kaki lima serta
warga kampung miskin sering terjadi, bahkan tak jarang disertai dengan tindak
kekerasan. Demikian juga peminggiran terhadap masyarakat adat dan petani.
Tingginya angka pengangguran, rendahnya upah buruh, serta banyaknya kasus
pemutusan hubungan kerja secara sepihak masih juga berlangsung. Ilustrasi yang
mewakili pandangan publik terhadap kinerja pemerintah dalam beberapa bidang
pokok yang menyangkut kepentingan publik dapat dilihat dalam tabel 2, tabel 3, serta
tabel 4 berikut ini:

Tabel 2. Survei Kompas tentang Penilaian Responden terhadap Kinerja Presiden


Habibie (1998-1999)
No Keberhasilan Sikap Responden
Setuju Tidak setuju Tidak tahu/
jawab
1 Berhasil mewujudkan 69,0 27,2 3,8
kebebasan pers
2 Berhasil memperbaiki 24,6 72,9 2,5
kondisi ekonomi
3 Berhasil memberantas 10,7 87,1 2,2
korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN)
4 Berhasil menjaga keamanan 17,7 80,4 1,9
Sumber: Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 209

6
Tabel 3. Survei Kompas tentang Kepuasan Responden terhadap Kinerja Presiden
Abdurrahman Wahid (1999-2001)
No Bidang Sikap responden
2000 2001
Januari Juli Januari Juli
1 Perbaikan perekonomian 50,3 25,7 19,7 10,3
2 Perbaikan kondisi politik 41,8 30,7 21,7 13,4
dan keamanan
3 Perbaikan kesejahteraan 41,4 30,1 30,0 18,9
sosial
Sumber: Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 209

Tabel 4. Survei Kompas tentang Kepuasan Responden terhadap Kinerja Presiden


Megawati Soekarnoputri (1999-2001)
No Bidang Sikap responden
Oktober 2001 Januari 2002 April 2002
1 Perbaikan perekonomian 43,0 21,9 31,3
2 Perbaikan kondisi politik dan 52,4 43,1 40,1
keamanan
3 Perbaikan kesejahteraan sosial 41,5 31,6 36,4
Sumber: Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 209

Sementara studi Booz-Allen & Hamilton pada tahun 1999 menunjukkan bahwa
indeks good governance5 di Indonesia amat buruk, bahkan terburuk bila dibandingkan
dengan sejumlah negara di tingkat Asia Tenggara. Penilaian yang mirip juga datang
dari studi Huther dan Shah (1998) mengenai indeks kualitas governance yang diukur
dari indeks: (1) partisipasi masyarakat, (2) orientasi pemerintah, (3) pembangunan
sosial yang berlangsung, dan (4) manajemen ekonomi makro. Menurut hasil studi
mereka, Indonesia termasuk dalam kategori poor governance (lihat tabel 5).6

5
Good governance di sini dipahami sebagai suatu tata pemerintahan yang mengedepankan dan
melaksanakan prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Sebagai sebuah
konsep, awalnya berasal dari Bank Dunia. Konsep good governance ini diperkenalkan pada akhir
dekade 1980-an (1989), setelah kegagalan kebijakan penyesuaian struktural yang disuntikkan oleh
Bank Dunia di Sub-Sahara Afrika. Bank Dunia menganggap kegagalan tersebut dikarenakan adanya
krisis pemerintahan yang berlangsung dalam negara tersebut. Krisis yang terjadi misalnya tingginya
tingkat korupsi serta lemahnya kontrol dari masyarakat, sebagaimana yang lazim terjadi dalam
pemerintahan yang otoritarian. Namun karena konsep ini berasal dari Bank Dunia, dan kemudian
lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF dan Asian Development Bank (ADB) ikut
mempopulerkan, banyak pihak mencurigai bahwa penyebarluasan gagasan tersebut bukan demi
menegakkan demokrasi namun lebih sebagai usaha untuk memuluskan jalannya berbagai kebijakan
neo-liberal dari lembaga tersebut di negara yang bersangkutan, yang lebih menguntungkan negara
kapitalis maju yang menguasai lembaga tersebut, seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di
Eropa Barat. Meski kecurigaan tersebut beralasan, namun sejumlah pihak --yang juga kritis terhadap
kebijakan Bank Dunia, IMF, ADB, serta sejumlah lembaga donor lainnya-- melihat bahwa gagasan
good governance dapat digunakan bagi perjuangan demokratisasi. Di Indonesia, konsep good
governance awalnya justru dipopulerkan oleh kalangan LSM di awal dekade 1990-an, di antaranya
saat mempersoalkan pembangunan bendungan Kedung Ombo, proyek pemerintah yang dibiayai
dengan utang dari Bank Dunia dan bermasalah karena menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi
manusia dan korupsi dalam pelaksanaannya.
6
Cahyo Suryanto, 2002: h. 6.

7
Tabel 5. Indeks Good Governance Sejumlah Negara di Asia Tenggara Tahun 1999
Negara Indeks Good Governance Kategori Kualitas
Governance
Malaysia 7,72 Good Governance
Singapura 8,93 Good Governance
Thailand 4,89 Fair Governance
Filipina 3,47 Fair Governance
Indonesia 2,88 Poor Governance
Sumber: Booz-Allen & Hamilton, Alex Irwan (2000), dan Huther dan Shah (2000) dalam
Cahyo Suryanto (2002).

Padahal isu good governance sudah muncul di Indonesia sejak awal tahun 1990-an
dan sebagai wacana telah berkembang pesat dalam enam tahun terakhir ini. Pasca
turunnya Soeharto, konsep ini makin populer di Indonesia, bahkan usaha untuk
melaksanakannya menjadi salah satu butir kesepakatan dengan IMF pada tahun 1998,
salah satu syarat bila pemerintah Indonesia masih berharap mendapat utang dari
lembaga keuangan tersebut. Sementara sejumlah lembaga donor internasional,
utamanya dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, telah mengalokasikan dan
menyalurkan dana yang relatif besar bagi kegiatan LSM dan institusi negara di
Indonesia untuk mendukung isu tersebut.7

Dalam risetnya, dengan mengacu kepada 40 instrumen demokrasi seperti dalam tabel
1, DEMOS bahkan telah mengidentifikasi dan sampai kepada kesimpulan bahwa
masih dan lebih banyak instrumen demokrasi yang kondisinya buruk dibanding yang
mulai membaik. Keadaan ini disebutnya sebagai defisit demokrasi. Instrumen
demokrasi yang kondisinya paling buruk menyangkut rule of law, keterwakilan
kepentingan dan gagasan dalam politik (representasi politik), pemerintah yang
bertanggung jawab (termasuk dalam persoalan desentralisasi), serta taraf hidup warga
negara (kondisi hak ekonomi dan sosial). Di antara berbagai instrumen demokrasi
yang masih buruk tersebut, menurut DEMOS, yang paling utama membutuhkan
perhatian bagi perbaikan adalah soal representasi politik (lihat tabel 6), karena
keberhasilan dalam memperbaikinya dapat menjadi sarana yang efektif bagi
perbaikan instrumen demokrasi lainnya, termasuk untuk menciptakan good
governance.

7
Padahal kecenderungan yang terjadi selama ini, pemerintah Indonesia masih tergantung dan sulit
menghadapi desakan yang datang dari lembaga-lembaga dan negara-negara donor dibanding desakan
masyarakatnya. Salah satu lembaga penyalur dana untuk isu good governance di Indonesia adalah
Partnership, sebuah funding agency yang didirikan oleh Bank Dunia, Asian Development Bank
(ADB), dan United Nations Development Program (UNDP) pada Oktober 2000. Sekedar catatan,
meski pendirian dan pengelolaan lembaga ini melibatkan unsur masyarakat dan pemerintah
Indonesia, namun agenda dari ketiga institusi pendirinya cenderung tampak lebih dominan. Lihat
dalam Crawford, Gordon & Yulius P. Hermawan (2002).

8
Tabel 6. Masalah-masalah utama dalam keterwakilan dan partisipasi langsung8
No. Hak dan institusi demokrasi Kinerja Cakupan
Buruk Buruk
1. Independensi partai-partai dari politik uang dan kelompok 91% 69%
kepentingan yang kuat
2. Kapasitas kontrol anggota dan simpatisan terhadap 84% 71%
partainya
3. Aksesibilitas masyarakat kepada pejabat pelayanan publik 82% 70%
dan pejabat terpilih
4. Sikap partai tentang isu-isu vital dan kepentingan vital di 81% 70%
dalam masyarakat
5. Kemampuan partai untuk menjalankan pemerintahan 81% 70%
6. Partisipasi publik secara langsung dalam perumusan dan 75% 73%
implementasi kebijakan publik
7. Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol, doktrin 66% 58%
agama atau etnis oleh partai
Sumber: DEMOS, 2005: h. 33.

Memang beberapa instrumen demokrasi yang berkenaan dengan representasi politik


kini telah eksis, namun dalam realitasnya banyak yang tidak berfungsi secara efektif
karena dikuasai oleh para elit politik serta ekonomi. Partai kini bebas didirikan,
pemilihan umum (Pemilu) telah berlangsung secara bebas dan relatif baik bila
dibanding masa-masa sebelumnya, dan parlemen tidak lagi di bawah dominasi
eksekutif seperti di masa Orde Baru, namun yang kemudian berlangsung: partai-partai
dan para politisi yang ada tidak representatif dan responsif. Tampaknya, para elit kini
telah beradaptasi dengan prosedur demokrasi, kemudian mereka menguasai,
memonopoli, membengkokkan, dan menggunakan instrumen-instrumen demokrasi
untuk kepentingannya atau kelompoknya sendiri, tidak untuk memajukannya
sehingga menjadi bermakna bagi banyak orang (DEMOS, 2005: h. 17-38).

Tumbangnya pemerintahan Soeharto dan gegap gempitanya “reformasi”, yang


diyakini dapat membawa Indonesia kepada transisi ke arah demokrasi, sudah hampir
tujuh tahun berlalu. Namun demokrasi yang substansial --di mana instrumen-
instrumen demokrasi tidak sekedar eksis namun juga efektif dan dapat diakses oleh
setiap warga negara sehingga bermakna-- belum juga berlangsung secara signifikan di
Indonesia. Good governance juga masih jauh dari harapan. Yang terjadi kini malah
para elit sudah menyesuaikan diri dengan prosedur demokrasi dan menguasainya
untuk kepentingannya atau kelompoknya sendiri. Mengapa hal ini terjadi? Bukankah
dalam rentang waktu tujuh tahun terakhir ini telah bertumbuh ribuan media massa
serta para jurnalisnya yang makin kritis, organisasi massa dan LSM berikut para
aktivisnya, serta para akademisi kritis yang konon merupakan aktor penting dan
berpengaruh dalam perjuangan menegakkan demokrasi? Ada apa dengan intelektual
di Indonesia?

Menaruh Harapan kepada Intelektual


Mengapa intelektual? Karena mereka mempunyai citra, diyakini, dan meyakini
sebagai pihak yang memperjuangkan keadilan bagi kelompok masyarakat yang lemah

8
Angka pada tabel merujuk pada proporsi informan riset DEMOS –para aktor pro-demokrasi yang
terpercaya dari berbagai wilayah di Indonesia yang menjadi nara sumber riset, jumlahnya sekitar
800-an orang-- yang mengatakan hak-hak dan institusi-institusi yang memiliki kinerja dan cakupan
yang buruk.

9
dan dipinggirkan, aktor penting dalam perubahan sosial ke arah yang lebih baik,
termasuk perubahan ke arah demokrasi. Secara empirik, intelektual bukanlah entitas
yang homogen, termasuk dalam pemihakannya. Penulis tidak menafikkan bahwa
intelektual dapat atau berpotensi juga menjadi pihak yang ikut memberikan legitimasi
terhadap kekuasaan atau kebijakan negara meski kekuasaan atau kebijakan tersebut
tidak demokratis, seperti yang pernah berlangsung di masa pemerintahan Soeharto9,
atau secara praktik berbeda dengan citranya10. Konsep intelektual yang menjadi topik
bahasan dalam tulisan ini lebih kepada kategori intelektual yang cenderung
berorientasi demokratis, yang menggunakan dan berusaha memajukan instrumen-
instrumen demokrasi.

Dalam tulisan ini, intelektual tidak hanya ditujukan secara terbatas kepada para
akademisi serta peneliti di lembaga-lembaga penelitian, namun juga para jurnalis
maupun para aktivis organisasi massa dan LSM. Tidak sekedar akademisi karena
berbagai kategori tersebut secara empirik sulit untuk dipilah-pilah secara tegas. Yang
terjadi tidak hanya sekedar saling bahu-membahu, namun juga telah berlangsung
tumpang tindih, kait-mengkait, persilangan, dan percampuran antar mereka. Banyak
akademisi yang juga sebagai jurnalis, aktivis organisasi massa, atau aktivis LSM.
Sementara banyak juga jurnalis yang menjadi akademisi, peneliti, serta aktivis
organisasi massa maupun LSM. Demikian juga aktivis LSM, banyak juga yang
menjadi akademisi, peneliti, maupun bertindak sebagai jurnalis.

Alasan kedua, bahwa intelektual dipahami sebagai mereka yang memiliki


pengetahuan dan wawasan yang mendalam tentang berbagai persoalan sosial-
kemanusiaan yang dihadapi masyarakatnya. Seorang intelektual dapat melakukan
refleksi kritis, berani mengemukakan pendapatnya, serta mempunyai pemihakan dan
komitmen sosial-kemanusiaan yang tinggi dalam arena sosial-politik. Kapasitas dan
posisi seperti ini bukan monopoli atau tidak sekedar berpeluang dimiliki oleh mereka
yang mempunyai latar belakang akademisi, namun juga bisa datang dari mereka yang
berlatar belakang aktivis LSM maupun jurnalis. Dalam arena politik demokrasi,
ketiganya sama-sama menonjol dalam hal kepemilikan modal budaya, selain dan
lebih dari modal sosial, simbolik, maupun ekonomi.11
9
Tentang keterlibatan intelektual dalam rezim yang tidak demokratis, lihat artikel utama dalam Media
Kerja Budaya edisi 09 tahun 2002.
10
Misalnya seperti yang dikatakan Antariksa (2002) bahwa jika di tahun 1970-an dan 1980-an kita
sering mendengar negara “menggunakan” ilmuwan sosial buat merancang dan menjalankan
proyek-proyeknya yang membuat kelompok-kelompok marjinal menjadi semakin marjinal, kini
kita sering mendengar kelompok-kelompok marjinal yang mengatakan bahwa mereka telah
“dimanfaatkan” oleh para peneliti atau aktivis LSM buat menurunkan dana-dana bantuan dari
lembaga-lembaga donor internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari proyek
pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran masyarakat bahwa pada
akhirnya peneliti dan aktivis LSM-lah yang akhirnya justru mentas dari kemiskinan, sementara
masyarakat sendiri tetap tinggal miskin. (http://www.kunci.or.id/misc/a_subaltern.htm)
11
Konsep modal di sini merujuk kepada konsep dari Pierre Bourdieu, di mana modal merupakan
hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil dalam arena
perjuangan di mana ia memproduksi dan mereproduksi. Yang termasuk modal budaya ialah
pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara
pembawaan, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-
kedudukan sosial. Termasuk modal sosial ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-
hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam reproduksi kedudukan-kedudukan
sosial. Sementara modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang
memungkinkan untuk mendapatkan setara apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan
ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolik bisa berupa kantor yang luas di

10
Apa yang selama ini telah dikerjakan oleh intelektual bagi perbaikan ke arah
demokrasi di Indonesia? Tak dapat dipungkiri bahwa banyak yang sudah dikerjakan,
tidak hanya di tataran nasional namun juga di tingkat lokal. Pasca pemerintahan
Soeharto, intelektual cenderung lebih banyak dan menonjol bekerja dalam isu
reformasi institusi hukum dan politik kenegaraan bagi pencapaian good governance,
baik dengan melakukan kerja-kerja pemantauan maupun advokasi kebijakan, serta
penguatan masyarakat sipil. Secara garis besar, kerja-kerja mereka dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, melakukan mempromosikan
terjadinya perubahan dan perbaikan pada bermacam kebijakan dan institusi
(institusional and policy reform) demokrasi dengan harapan dapat mempercepat
terciptanya good governance. Kedua, melakukan pemberdayaan dan penguatan
berbagai kelompok dalam masyarakat sipil untuk mengontrol dan berpartisipasi dalam
proses penyelenggaraan negara. (Cahyo Suryanto, 2002: h. 4-5).

Saat ini, nyaris tiap hari ada saja intelektual yang berkomentar, dikutip pendapatnya,
dan melakukan kritik terhadap kekuasaan negara, dalam kerangka mempromosikan
gagasan demokrasi dan good governance di berbagai media massa. Mereka juga
mempromosikan reformasi kebijakan dan institusi demokrasi serta melakukan
pemantauan dan advokasi terhadap berbagai macam isu, misalnya anti korupsi, hak
asasi manusia, keadilan jender, desentralisasi dan otonomi daerah, reformasi hukum,
institusi, serta aparat penegak hukum, Pemilu yang bebas dan jujur, dan sebagainya.
Selain membangun opini lewat media, mereka juga mengorganisasikan diri atau ikut
ke dalam suatu institusi, forum, koalisi, atau jaringan, kemudian melakukan kajian,
menyusun rekomendasi, melakukan lobi, dan advokasi. Misalnya, Koalisi LSM
(organisasi non-pemerintah, penyebutan lain untuk LSM) untuk Perubahan Konstitusi,
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Koalisi untuk Kebijakan Partisipatif, Koalisi
RUU (rancangan undang-undang) Pertahanan, dan sebagainya.

Dalam usaha memperbaiki kinerja institusi-institusi negara dan demokrasi, banyak


intelektual yang juga melakukan kerja pemantauan (monitoring) terhadap kinerja
institusi-institusi tersebut dengan mendirikan lembaga-lembaga pemantau seperti
media watch, parliament watch, judicial watch, corruption watch, police watch, atau
government watch. Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, banyak melakukan
investigasi kasus korupsi serta melakukan advokasi lewat kampanye di media.
Berbeda dengan ICW yang relatif luas lingkup korupsi yang menjadi perhatiannya,
Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita) lebih memfokuskan kegiatannya
pada pengawasan aset negara. Government Watch (Gowa) memusatkan perhatiannya
pada kejahatan yang dilakukan oleh partai-partai politik atau para elit politik terhadap
keuangan dan fasilitas negara, misalnya terhadap Bulog, yang mereka yakini bahwa di
lembaga tersebut banyak dana yang tidak tersentuh kegiatan audit, yang dikenal
sebagai dana non-budgeter. Sementara Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
yang dipimpin oleh Mar'ie Muhammad, mantan menteri keuangan di masa Soeharto
yang dikenal relatif jujur, melakukan aktivitas pemantauannya dengan mengkaji

daerah mahal, mobil dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk yang tidak mencolok
mata yang menunjukkan status tinggi pemiliknya: misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di
kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, cara mengafirmasi otoritas (dalam
Haryatmoko, 2003: h. 11-12). Untuk modal ekonomi, tidak hanya terbatas kepada assets dan
finansial namun juga termasuk misalnya kemampuan untuk melakukan blokade ekonomi dan
boikot produksi (Harriss et. al, 2004: h. 28)

11
berbagai hal yang memberi peluang terjadinya penyelewengan, serta menyodorkan
alternatif-alternatif yang bisa dilakukan untuk menutup peluang tersebut.12

Apakah kerja-kerja yang mereka lakukan dapat berhasil secara efektif? Tampaknya,
sering kali efektifitas dari kerja tersebut baru pada tahap pembentukan opini publik.
Temuan-temuan hasil investigasi serta opini yang mereka sampaikan tak jarang
menjadi wacana publik yang cukup hangat. Namun yang sering kali terjadi kemudian,
tidak mendapat respon yang memadai dari para pengambil kebijakan atau pemegang
kekuasaan. Bisa juga tenggelam dengan berlalunya waktu atau adanya persoalan-
persoalan baru yang lebih hangat. Sebagian contoh, Gempita selalu kalah setiap kali
membawa temuannya ke pengadilan. Mulai dari kasus mobil Timor, penyalahgunaan
dana reboisasi, kasus BRI, hingga kasus Pertamina Balongan. Sementara, dari
sejumlah masukan yang disampaikan MTI ke pemerintah maupun DPR, hanya
gagasan tentang dibentuknya badan independen anti-korupsi yang tampaknya
ditindaklanjuti oleh pemerintah. Saat akan dibentuk, perumusan kewenangan dan
proses seleksi bagi keanggotaannya masih membutuhkan pemantauan lagi. Begitu
pula yang dialami oleh ICW. Kasus-kasus yang ditemukannya hingga kini belum ada
yang dituntaskan secara berkeadilan oleh aparat penegak hukum, mulai dari kasus
korupsi di Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dugaan suap (mantan) Jaksa
Agung M Ghalib, bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan sebagainya.13

Menurut Indro Cahyono, yang sudah lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam dunia
aktivis, ketidakefektifan ini terjadi karena lembaga-lembaga tersebut tidak muncul
dari gerakan rakyat. Apalagi tugasnya cenderung memantau saja. “Mestinya mereka
tidak hanya memantau, tetapi juga mampu menggerakkan”, tegasnya.14 Opini publik
dan wacana yang berlangsung dalam media tentu saja penting, namun sering kali
kandas ketika berhadapan dengan kepentingan kekuasaan bila tidak mampu
menggerakkan dan memperoleh dukungan massa yang riil.

Intelektual dalam Politik Lokal


Apakah menggerakkan dan membangun dukungan massa telah diabaikan oleh para
intelektual? Tampaknya, perubahan konteks dan pentingnya menggerakkan massa
tidak juga diabaikan oleh sebagian intelektual, bahkan sangat diperhatikan. Selain
mendorong reformasi dan perbaikan kebijakan serta institusi demokrasi, sebagian
intelektual juga melakukan penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil15.
Kebanyakan kerja ini dilakukan di tingkat lokal, seiring dan dalam konteks
berlangsungnya desentralisasi dan otonomi daerah.

12
Kompas, 4 Juni 2000.
13
Ibid.
14
Media Indonesia, 4 Oktober 2001.
15
Masyarakat sipil di sini melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir
secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat kepada
tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Ia berbeda dengan pengertian “masyarakat”
secara umum, yakni keterlibatan warga negara yang bertindak secara kolektif dalam ruang publik
untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, pilihan, dan ide-ide mereka untuk
bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan pada negara, memperbaiki
struktur dan fungsi negara, dan untuk menuntut akuntabilitas pejabat negara. Masyarakat sipil
adalah fenomena penengah, berdiri di ruang privat dan negara, serta tidak bermaksud untuk
mencapai kekuasaan atas negara atau setidaknya posisi di dalamnya. (Diamond, 2003: h. 278-279)

12
Menurut Sutoro Eko, Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE)
Yogyakarta, desentralisasi secara bertahap dan pelan telah mendorong pemerintahan
lokal yang semakin terbuka. Fenomena pergeseran dari pemerintahan birokratis ke
pemerintahan partai merupakan contoh hadirnya pemerintahan yang terbuka.
Sebelumnya, di masa pemerintahan Soeharto, kekuasaan lokal dimonopoli oleh
birokrasi dan militer, yang notabene dikendalikan dari Jakarta. (Sutoro Eko, 2004: h.
312).

Meski begitu, desentralisasi dan otonomi daerah tidak secara otomatis memberikan
akses dan kontrol masyarakat lokal yang besar atas sumber daya di daerahnya, seperti
yang diharapkan dan dibayangkan banyak pihak. Yang terjadi saat ini, desentralisasi
dan otonomi telah memberikan distribusi kekuasaan yang lebih besar kepada elit
lokal, sehingga yang cenderung tampak paling berkepentingan terhadap otonomi
daerah adalah para elit tersebut. Desentralisasi dan otonomi daerah telah
menyuguhkan kebangkitan raja-raja kecil di tingkat lokal, memindahkan korupsi dari
Jakarta ke lokal, konflik kewenangan dan sumber daya, pelipatgandaan pajak dan
retribusi daerah yang menjadi beban berat masyarakat setempat, oligarki elit yang
jauh dari sentuhan masyarakat, dan sebagainya. (Ibid. h. 313)

Namun tidak dapat diabaikan bahwa desentralisasi juga telah mendorong


bertumbuhnya berbagai organisasi dan jaringan sosial (gerakan sosial) yang dimotori
oleh para intelektual di tingkat lokal. Mereka membuka ruang publik seluas-luasnya,
termasuk membentuk berbagai forum, memperkuat institusi lokal, prakarsa lokal,
partisipasi masyarakat (voice, akses, dan kontrol) dalam proses pemerintahan dan
pembangunan, serta mentransformasikan gerakan masyarakat sipil yang berbasis
kelas menengah kota menjadi jaringan dan gerakan sosial massif yang berbasis
berbagai komunitas dan organisasi rakyat, yang menjadi kekuatan oposisi yang
menekan partai politik dan elit politik agar mereka punya komitmen dan tanggung
jawab. Mereka juga mendorong peningkatan partisipasi rakyat serta menantang
akuntabilitas dan transparansi lembaga legislatif serta pemerintah daerah, selain juga
membuka dan mendorong kerja sama serta kemitraan antara masyarakat, legislatif,
dan pemerintah daerah (ibid. h. 324-325). Mengenai tipologi gerakan sosial yang
tumbuh dan dibangun oleh intelektual di tingkat lokal dapat dilihat dalam tabel 7.

Tabel 7. Tipologi Gerakan Sosial di Tingkat Lokal


No Basis Konstituen Contoh Sifat dan Orientasi
Pendekatan
1 Komunitas atau satuan Forum Masyarakat Kemitraan Membangun
geografis (forum yang Majalaya multi- komunikasi dan
mewadahi berbagai Sejahtera, Forum stakeholders, trust,
pemangku kepentingan warga Bandung, dialog mengembangkan
dalam wilayah tertentu, Forum Desa, partisipatif partisipasi warga,
misalnya desa, kecamatan, Rembug Desa, dll pengelolaan
kabupaten) kebijakan publik
secara bersama
2 Isu (forum lahir sebagai Forum Peduli Aliansi Sebagai pressure
respons atas isu-isu spesifik, Sumatera Barat, terbuka, groups untuk
misalnya korupsi) Aliansi Rakyat konfrontatif melakukan
anti Korupsi tekanan terhadap
Klaten, Koalisi ketidakberesan
Rakyat Anti pemerintah
Militerisme, dll

13
3 Kelompok atau profesi Forum Guru, Advokasi Memperjuangkan
(forum yang dilahirkan oleh Forum Petani nasib,
kelompok-kelompok khusus Tembakau Klaten, kepentingan, dan
karena kesamaan profesi) Paguyuban Kepala aspirasinya kepada
Desa, Forum pemerintah.
Komunikasi BPD,
Paguyuban
Tukang Becak,
Forum Petani,
Formasi (Forum
Masyarakat Sipil),
dll
4 Sektoral (forum yang lahir Forum Sharing, Sebagai arena
karena kepedulian terhadap Pengembangan learning, pembelajaran
sektor-sektor khusus dalam Partisipasi multi- antar-stakeholders
pembangunan atau Masyarakat, stakeholders, dan policy reform
pelayanan publik) Forum dan advokasi secara
Pengembangan berkelanjutan
Pembaruan Desa,
Forum Masyarakat
Kehutanan
Sumber: Sutoro Eko, 2004: h. 317.

Minimnya Usaha Membangun Representasi dan Masuk Politik Formal


Apakah yang dikerjakan para intelektual selama ini, baik di tingkat nasional maupun
lokal, termasuk lewat strategi membangun dukungan dan menggerakkan massa,
berhasil memajukan dan mengkonsolidasikan demokrasi secara efektif? Dengan
mempertimbangkan bahwa masih (lebih) banyaknya instrumen demokrasi yang
kondisinya buruk, atau meminjam istilah dari DEMOS, terjadi defisit demokrasi,
tampaknya kerja-kerja mereka sulit untuk dikatakan berhasil. Secara moderat dapat
dikatakan bahwa ada keberhasilan, namun masih jauh dari cukup. Seperti yang sudah
disampaikan di awal, dalam hal eksisnya kebijakan atau institusi demokrasi memang
sudah berlangsung sejumlah perbaikan. Namun dari segi substansi atau kualitasnya,
masih banyak yang buruk. Banyak yang sudah dikerjakan, namun kerja-kerja mereka
masih belum efektif dalam menghasilkan perubahan ke arah demokrasi yang lebih
bermakna. Mengapa? Mungkinkah karena strateginya?

Seperti yang pernah diingatkan oleh Ariel Heryanto (dalam Uhlin, 1997: h. 212-213),
strategi untuk membangun dan mengkonsolidasikan demokrasi pasca kejatuhan
pemerintahan otoriter tentunya berbeda dengan strategi untuk menjatuhkan
pemerintahan yang otoriter tersebut. Dengan mengambil contoh Filipina, menurutnya,
orang-orang awam di sana banyak yang ambil bagian dalam menggulingkan
pemerintahan otoriter Ferdinand Marcos, tetapi mereka enggan bergabung dengan
para aktivis dalam membangun dan memperkokoh demokrasi pasca Marcos. Aktivis
dapat dikatakan sebagai orang yang hidupnya berjuang demi suatu prinsip, nilai,
moralitas demokrasi, tetapi orang kebanyakan tidak. Mereka berjuang demi suatu
yang pragmatis, sesuatu yang sangat nyata. Mereka membenci pemerintahan Marcos,
tetapi ketika pemerintahan itu tumbang, berakhir pula perjuangan mereka.

Bisa jadi mengkonsolidasikan demokrasi di Indonesia juga merupakan hal yang


sangat berbeda dan lebih sulit dibanding menjatuhkan pemerintahan otoriter, sehingga
lumrah bila kemudian membutuhkan strategi yang berbeda dan mungkin lebih sulit.

14
Lantas, setelah pemerintahan Soeharto jatuh, adakah perubahan strategi yang diambil
oleh para intelektual yang berorientasi demokratis? Mengapa?

Berbeda dengan apa yang terjadi di masa Soeharto, saat ini partai-partai pemenang
Pemilu secara riil menjadi sangat berkuasa dalam menentukan berbagai kebijakan
kenegaraan. Seideal apa pun gagasan dari intelektual, namun bila tanpa dukungan
yang signifikan dari partai-partai yang berkuasa maka gagasan tersebut akan menjadi
tidak efektif. Mereka memang berwenang dan mempunyai legitimasi karena
memperoleh dukungan suara secara sah lewat Pemilu, yang kini sudah berlangsung
secara bebas dan fair. Kekuasaan mereka besar dan diperoleh berkat dipilih oleh
rakyat melalui mekanisme yang demokratis. Namun kecenderungan yang terjadi saat
ini, mereka banyak yang mengabaikan persoalan representasi. Kepentingan pribadi,
kelompok, atau elit partainya lebih diutamakan dibanding dengan kepentingan rakyat
pemilih. Yang terjadi, demokrasi tanpa representasi.

Tabel 8. Survei Kompas tentang Penilaian Publik atas Kinerja DPR Periode 1999-2004
Masa Pemerintahan
Abdurrahman Wahid Megawati Soekarnoputri
Penilaian publik Oleh sebagian besar 43,8% responden menuding
responden (70,8%), para anggota DPR mulai
wakil rakyat dinilai lebih mengedepankan urusan
memperjuangkan pribadi di atas kepentingan
kepentingan partainya rakyat. Responden lain
masing-masing daripada (42,5%) menuding anggota
menyuarakan kepentingan DPR mementingkan partai
rakyat (jajak pendapat 8-9 (jajak pendapat 30-31 Januari
Agustus 2000) 2002)
Sumber: Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 203.

Untuk memajukan demokrasi di Indonesia, menurut pandangan Olle Tornquist


(Kompas, 31 Januari 2004), profesor ilmu politik dari Oslo University, Norwegia,
yang sudah lebih dari sepuluh tahun mengamati dan meneliti politik demokrasi di
Indonesia, saat ini para aktor pro-demokrasi perlu meninggalkan cara-cara lama --
seperti lobi serta demonstrasi-- dan masuk ke sistem politik formal serta membangun
representasi politik. Dalam konteks yang sudah berubah, di mana tidak lagi untuk
melawan pemerintahan otoriter namun untuk mengkonsolidasikan demokrasi,
membangun dukungan massa tidak hanya untuk mobilisasi, atau sekedar
menumbuhkan partisipasi masyarakat, namun juga untuk membangun konstituen,
dukungan dalam Pemilu, dan representasi politik.

Tampaknya masalah tidak hanya sekedar dalam membangun dukungan massa, namun
juga keterlibatan dalam politik formal, yang kini sangat berkuasa dalam pengambilan
keputusan atau kebijakan publik. Sementara yang berlangsung saat ini, strategi yang
ditempuh para intelektual masih cenderung menggunakan strategi lama, meng-
unggulkan konsep penguatan masyarakat sipil --untuk mendorong partisipasi serta
menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja eksekutif dan legislatif-- dan tetap
mengabaikan keterlibatan dalam sistem politik formal.

15
Dalam sebuah riset yang dilakukan dalam kurun waktu 2003-2004, DEMOS
(DEMOS, 2005: h. 47) menemukan bahwa aktor pro-demokrasi di Indonesia banyak
yang berkiprah serta memilih strategi demokrasi-langsung lewat masyarakat sipil dan
cenderung mengabaikan instrumen-instrumen demokrasi yang berkenaan dengan
politik formal dan representasi. Kondisi politik formal serta representasi politik yang
buruk, di mana elit lama maupun baru telah memonopoli dan menguasainya, oleh para
aktor pro-demokrasi bukannya diperbaiki dengan membangun kapasitas politik
mereka dan masuk ke dalamnya, namun malah dijauhi (lihat tabel 9). Mereka kurang
berusaha men-demonopoli kekuasaan para elit atas instrumen-instrumen demokrasi
yang berkenaan dengan politik formal serta representasi tersebut. Padahal dengan
penguasaan atas instrumen-instrumen tersebut memungkinkan mereka untuk secara
efektif memperbaiki instrumen-instrumen demokrasi lainnya yang masih buruk,
termasuk instrumen yang berkaitan dengan persoalan rule of law serta taraf hidup
warga negara.

Tabel 9. Hak-hak dan institusi-institusi berkaitan dengan keterwakilan yang menurut


para informan paling kurang perlu digunakan dan dimajukan, dan proporsi
informan yang berusaha untuk menemukan alternatifnya
No. Hak dan Institusi Memanfaatkan Mencari
dan Memajukan Alternatif
1. Partai untuk menjalankan pemerintahan 30% 19%
2. Kapasitas kontrol anggota dan simpatisan terhadap 33% 21%
partainya
3. Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol, 33% 19%
doktrin agama atau etnis oleh partai
4. Independensi partai-partai dari politik uang dan 35% 24%
kelompok kepentingan yang kuat
5. Aksesibilitas masyarakat kepada pejabat pelayanan 37% 15%
publik dan pejabat terpilih
6. Sikap partai tentang isu-isu dan kepentingan vital di 38% 18%
dalam masyarakat
7. Kebebasan membentuk partai, merekrut anggota dan 42% 13%
mengkampanyekan calon-calon untuk menduduki
kekuasaan pemerintah
Sumber: DEMOS, 2005: h. 34

Kesimpulan ini tampaknya juga relevan bagi para intelektual yang dimaksud dalam
tulisan ini karena para aktor pro-demokrasi yang dirujuk serta menjadi informan
dalam riset ini dapat dikategorikan sebagai intelektual. Mereka adalah para aktivis,
baik di tingkat nasional maupun lokal, yang reflektif, berlatar belakang aktivis LSM,
organisasi rakyat, organisasi politik pro-demokrasi, jurnalis, akademisi termasuk guru,
yang bergerak dari berbagai macam isu, seperti agraria, perburuhan, kaum miskin
kota, HAM, anti korupsi, rekonsiliasi konflik, demokratisasi pendidikan, pers dan
jurnalisme, jender, pengembangan partai, organisasi massa dengan isu yang diperluas,
dan pembangunan representasi di tingkat lokal.

Kebanyakan intelektual di Indonesia memang cenderung tidak berusaha masuk dalam


sistem politik formal. Kondisi sistem politik formal yang buruk, bukannya diperbaiki
dengan terlibat di dalamnya, namun malah di tinggalkan. Mereka tidak berminat
terjun ke dalam wilayah yang telanjur mendapat citra “kotor dan berlumpur” tersebut.
Di tingkat lokal, di mana dukungan massa lebih dimungkinkan, intelektual cenderung

16
lebih menekankan penguatan masyarakat sipil, misalnya membangun organisasi-
organisasi rakyat dan membentuk forum-forum warga untuk menjadi alternatif atau
mencoba mengontrol kinerja DPRD, daripada memperbaiki politik kepartaian dan
DPRD, dengan memperbaiki representasi politik, yang mereka nilai tidak aspiratif.
Intelektual cenderung memposisikan diri sebagai partner dan menjalankan fungsi
kontrol terhadap DPR/ DPRD dan pemerintah/ pemerintah daerah. Ilustrasi mengenai
kerja-kerja para intelektual yang cenderung lebih kepada reformasi kebijakan dan
kelembagaan, monitoring kinerja institusi hukum dan kenegaraan, serta penguatan
masyarakat sipil telah disampaikan di depan.

Kalau pun ada pemikiran dan usaha untuk memperbaiki keadaan sistem politik formal
yang buruk, yang dilakukan cenderung sekedar membuat serangkaian pelatihan bagi
peningkatan kapasitas, seperti menambah pengetahuan serta pengembangan skills,
anggota parlemen dan birokrasi pemerintahan. Padahal persoalan pokoknya bukan
pada kapasitas, namun minimnya para politisi di parlemen dan pejabat publik yang
merepresentasikan kepentingan rakyat pemilihnya. Absennya para intelektual yang
berorientasi demokratis dalam arena politik formal, membuat parlemen dan
pemerintahan tetap dikuasai oleh orang-orang yang buruk. Implikasinya, representasi
politik memburuk dan intelektual juga terpinggirkan secara politik.

Mendorong perbaikan terhadap institusi-institusi demokrasi yang berkaitan dengan


sistem politik formal --misalnya perbaikan dalam sistem Pemilu, mendorong
keterlibatan perempuan untuk menjadi anggota legislatif, dan adanya pemilihan
pimpinan eksekutif secara langsung oleh rakyat -- memang telah dilakukan, namun
hal tersebut belum cukup. Keterlibatan dan menjadi pemain yang menentukan, untuk
memperbaiki kondisi representasi politik yang saat ini buruk, dalam politik formal
masih sangat minim.

Padahal persoalan representasi politik sangat perlu dan mendesak untuk diperbaiki,
karena memang perlu ada wakil-wakil terpercaya pada posisi-posisi yang menentukan
dalam pengambilan keputusan publik, yang tentu saja sekaligus dengan membangun
mekanisme agar tetap dapat dikontrol oleh para konstituennya. Di sini mereka tidak
hanya menjalankan peran sebagai substitusi partai politik --bila mereka menilai bahwa
partai politik yang saat ini ada tidak representatif--, namun yang utama adalah
berusaha masuk ke dalam sistem politik serta memperbaikinya, misalnya membangun
atau memfasilitasi munculnya partai yang representatif dengan membangun dukungan
massa yang luas. Dengan dukungan massa yang luas, dan mengubahnya menjadi
“suara”, masuk politik formal supaya tidak sekedar punya akses namun juga
menentukan dalam pembuatan keputusan publik. Jadi tidak sekedar menjalankan
fungsi kontrol atau berpartisipasi, namun juga terlibat dan menjadi pemain yang
menentukan dalam pembuatan keputusan dan kebijakan publik.

Memang ada fenomena di mana sejumlah intelektual masuk ke dalam institusi-


institusi negara –misalnya menjadi anggota atau pimpinan lembaga legislatif,
eksekutif, maupun yudikatif-- serta sibuk bergiat di partai politik. Namun keterlibatan
mereka tidak membuat partai secara signifikan menjadi lebih berkualitas. Seperti yang
diakui oleh Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Zain Badjeber serta Wakil
Ketua Departemen Pertahanan dan Keamanan Partai Golongan Karya (Golkar) Yasril
Ananta Baharuddin bahwa sampai kini para intelektual yang masuk ke dalam partai
belum mampu mewarnai perkembangan partai ke arah yang ideal namun malah

17
cenderung larut dalam dinamika partai.16 Yang dimaksud dengan strategi masuk ke
dalam politik formal dalam tulisan ini secara substansif berbeda dengan fenomena
tersebut. Masuk ke politik formal secara individual, apalagi tidak berakar, tanpa
membangun basis massa sebagai konstituennya, dan tidak mendasarkan kepada
gagasan pentingnya memajukan representasi politik, adalah langkah yang sia-sia bila
dimaksudkan untuk memajukan demokrasi.

Intelektual dalam Politik Formal: Pengalaman dari Filipina


Secara teoretik, dalam negara yang besar dan luas seperti Indonesia, warga negara
hanya bisa memberikan pengaruh yang sangat kecil sebagai individu, tetapi pengaruh
itu bisa besar jika mereka bergabung dan membentuk perkumpulan. Partai-partai
politik menyatukan orang-orang yang memiliki pandangan-pandangan serta
kepentingan-kepentingan yang sama. Mereka bersama-sama memperjuangkan jabatan
dan pengaruh politis. Bagi pemerintah, partai politik menyediakan pendukung politis
yang cukup stabil yang akan memungkinkan mereka melaksanakan program-
programnya setelah mereka terpilih. Partai politik juga menjadi sarana pendidikan
politik, terlibat dalam masalah-masalah publik, dan saluran untuk mempengaruhi
kebijakan publik. (Beetham & Boyle, 2000: h. 31).

Di Indonesia, intelektual masih cenderung bekerja berdasar nilai-nilai ideal yang


mereka yakini, kasus-per-kasus, atau isu-per-isu, kemudian memperjuangkannya
secara individual atau lewat lembaga-lembaga seperti organisasi profesi, LSM, atau
jaringan LSM. Mereka kurang berusaha membangun organisasi-organisasi untuk
kepentingan representasi dan memperluas konstituennya, misalnya membangun
organisasi massa dengan mempertemukan dan merangkum berbagai organisasi rakyat,
kelompok, kepentingan, dan gagasan yang sama-sama berorientasi kepada
kesejahteraan bersama dan demokratis, kemudian masuk ke politik formal,
membentuk partai dan ikut bersaing untuk merebut kekuasaan, baik di tingkat
legislatif maupun eksekutif, secara demokratis lewat Pemilu. Bukankah menang
dalam Pemilu berarti ikut menjadi pihak yang menentukan kebijakan publik dan
mempunyai posisi strategis dalam usaha memperbaiki institusi-institusi demokrasi
yang masih dalam kondisi buruk?

Apakah membangun partai, ikut berkompetisi dalam Pemilu, serta berjuang di dalam
mekanisme politik parlementer itu sesuatu yang buruk atau mustahil? Di negara
tetangga, Filipina, sejumlah intelektual telah menempuh langkah tersebut dengan
mendirikan partai dan mengikuti Pemilu. Menurut Dr Joel Rocamora (Rocamora,
2003: h. 552), direktur LSM Institute for Popular Democracy (IPD), berjuang melalui
jalur politik formal itu perlu dikerjakan. Rocamora sendiri, selain direktur IPD juga
merupakan presiden dari Partai Akbayan, sebuah partai politik berbasis LSM dan
organisasi rakyat yang didirikan pada Januari 1998. Akbayan artinya aksi warga.
Partai ini mengunggulkan dan berusaha konsisten dengan prinsipnya yang humanis,
sosialistis, demokratis, pluralis, dan sensitif jender. Setidaknya tampak dari, paling
tidak, 30% pengurus partai di semua level adalah perempuan. Rocamora dkk
membangun partai ini dari nol dan mengembangkannya secara pelan-pelan. Tahun
2002 lalu, partai ini sudah mempunyai basis di 65 (enam puluh lima) provinsi dari 98
(sembilan puluh delapan) provinsi yang ada di Filipina.

16
Kompas, 18 Juli 2002.

18
Mengapa dan sejak kapan gagasan mengenai perlunya mendirikan partai politik
tersebut tumbuh? Menurut Anton Prajasto (2004: h. 90), peneliti DEMOS yang
melakukan studi terhadap Partai Akbayan ini, pada tahun 1991, di Filipina telah
disahkan Undang-Undang (UU) Pemerintah Lokal, yang mengatur mengenai
desentralisasi. UU ini memberikan kekuasaan yang besar kepada pemerintah daerah,
namun sekaligus juga memungkinkan partisipasi masyarakat sipil dalam tata
pemerintahan, seperti terlibat dalam badan-badan khusus di tingkat lokal misalnya
Dewan Pembangunan Daerah, Dewan Pendidikan, Badan Pengawas Polisi, dsb.
Meski UU ini mensyaratkan agar 25% anggota badan-badan khusus itu harus berasal
dari LSM atau organisasi massa, ternyata para pejabat pemerintah di tingkat lokal
tidak mentaati peraturan ini. Organisasi-organisasi masyarakat sipil perlu berjuang
sendiri untuk dapat terwakili. Mereka perlu berjuang dengan kalangan reformis dalam
pemerintahan. Dalam proses ini, organisasi masyarakat sipil menyadari bahwa cara
terbaik untuk terwakili adalah dengan menjadi kandidat untuk posisi-posisi di
pemerintahan lokal.

Desentralisasi kekuasaan, peningkatan akuntabilitas, dan kecekatan pemerintah lokal


tidak-serta merta dapat menjawab kebutuhan masyarakatnya. Korupsi ternyata
merajalela dan kepentingan vital rakyat tidak terakomodasi. Tata pemerintahan yang
baik hanya menjadi slogan kosong. Dalam refleksinya, kalangan LSM di sana
menyimpulkan bahwa tata pemerintahan yang baik perlu mensyaratkan adanya
partisipasi rakyat yang efektif. Pengalaman mengajarkan bahwa partisipasi
masyarakat tercapai jika warga terorganisasi dengan baik, warga mendapat cukup
informasi, ada transparansi dari pemerintah, dan ketika kebutuhan dasar warga
terpenuhi. Untuk itu, perlu dibangun organisasi berbasis massa. (Ibid.)

Buruknya representasi mendorong sejumlah LSM untuk memperbaiki instrumen


perwakilan. Mulanya dengan membentuk koalisi terbuka dari berbagai gerakan sosial.
Namun koalisi LSM dan organisasi rakyat ini tidak cukup berhasil dalam menjawab
kelemahan aksesibilitas rakyat dalam menentukan kebijakan umum. Lantas pemikiran
pun berkembang bahwa partisipasi dalam politik hanya dimungkinkan melalui partai
politik. Mereka kemudian bersama-sama membangun sebuah partai dan membiarkan
organisasi-organisasi yang bergabung di dalamnya tetap independen, dapat mengurus
dan mengelola lembaganya tanpa campur tangan partai. Keanggotaan partai tidak
berbasis organisasi namun pada individu yang menjadi anggota organisasi-organisasi
tersebut, sehingga basis massa dapat terukur. Inilah cikal bakal Partai Akbayan.
(Ibid.)

Menurut Rocamora dkk (Rocamora, op.cit. h. 553), politik merupakan instrumen yang
sangat penting. Tujuan politik yang utama adalah bagaimana membela rakyat agar
tidak dijadikan obyek Pemilu saja. LSM sudah lama diindoktrinasi agar tidak menjadi
partisan. Mereka digambarkan sebagai lembaga yang independen secara politik.
Menurut alumnus Cornell University-Amerika Serikat ini, pemahaman tersebut perlu
dikoreksi. LSM harus mempunyai keberpihakan secara politik. Hal tersebut
merupakan tantangan karena masih banyak aktivis LSM di Filipina yang berpikir non-
partisan. Selain itu, tantangan yang lain adalah berkaitan dengan dana. Sebagian dana
LSM biasanya berasal dari lembaga-lembaga sponsor asing seperti dari Amerika atau
Eropa Barat. Lembaga-lembaga itu seringkali curiga kalau LSM berpolitik. Mereka
tidak mau memberikan sponsor pada LSM yang berpolitik secara langsung dan
berkompetisi di parlemen.

19
Berdasar pengalaman Partai Akbayan (Rocamora, op.cit. h. 554), pembicaraan
mengenai perlunya LSM bekerja di dalam dan melalui sistem politik formal tetap
harus dikaitkan dengan seberapa jauh kalangan LSM berhasil membangun jaringan
pergerakan baik di kalangan mereka sendiri maupun antara mereka dengan
masyarakat. Sebelum LSM masuk ke arena politik, mereka harus punya basis di
kalangan masyarakat, setidaknya dengan membangun dan mengembangkan serikat-
serikat buruh, organisasi petani, gerakan lingkungan, gerakan perempuan, dan
sebagainya.

Partai Akbayan dibangun berbasiskan organisasi-organisasi rakyat. Basis paling


signifikan dari partai ini adalah kalangan petani dan buruh. Sekitar 80% dari petani
progresif Filipina dan 30% buruh progresif berafilisasi ke partai tersebut. Di samping
itu, ia juga memperluas konstituen ke kalangan perempuan, gay, lesbian, dan para
aktivis lingkungan. Pembangunan di internal partai juga dilakukan, di antaranya
dengan mengembangkan tradisi komunikasi politik. Misalnya cara untuk melakukan
kontrol, pengawasan, dan koreksi internal antar anggota partai, atau anggota dengan
pengurus partai, adalah dengan menyindir. Mereka menggunakan medium humor dan
tertawa sebagai alat komunikasi untuk pembicaraan-pembicaraan yang serius. Banyak
cara dilakukan untuk menghindari ketegangan. (Rocamora, op.cit. h. 552-553)

Menurut Rocamora (Rocamora, op.cit. h. 553), di banyak tempat, revolusi ditempuh


untuk mengubah keadaan. Sementara para aktivis Partai Akbayan percaya bahwa
perubahan juga bisa dilakukan sambil menikmati kehidupan. Syaratnya, harus punya
tujuan, program, dan melaksanakannya dengan serius. Kalau tidak mau menikmati
hidup, akan mati sebelum revolusi berhasil. Salah satu yang menjamin agar bisa
melakukan pekerjaan politik secara serius adalah dengan cara membangun
keanggotaan partai dari kalangan muda, di bawah 30 tahun. Mereka inilah yang
meyakini bahwa mereka bisa menikmati hasil dari perjuangan yang sedang dilakukan.

Mereka (Anton Prajasto, op. cit.) juga meyakini bahwa partisipasi luas dari warga
dalam politik tidak cukup diukur melalui pemilihan umum, tetapi juga melalui proses-
proses pemerintahan dan melalui partisipasi langsung di tingkat desa. Strategi yang
dipilih merupakan kombinasi gerakan sosial dengan masuk ke dalam sistem politik
formal. Sudah sekitar 36 bupati, 50 wali kota, 250 kepala kecamatan, dan 700 kepala
desa berasal atau mengikatkan diri dan menjadi representasi dari konstituen partai ini.
Jumlah ini memang belum seberapa bila dibandingkan keseluruhan wali kota di
Filipina, namun setidaknya mereka telah mulai memperbaiki representasi politik.
Salah satu yang memungkinkan prestasi tersebut adalah partai tidak sekedar menjadi
kendaraan untuk mengakumulasi kekuatan massa, namun juga meningkatkan
kapasitas para calonnya, baik untuk jabatan di eksekutif maupun legislatif, sehingga
dapat benar-benar akuntabel kepada publik dan konstituennya. Termasuk
mengembangkan pendidikan di antara mereka dan mekanisme penyusunan kebijakan
yang berbasis rakyat.

Warisan Orde Baru?


Usaha membangun representasi dan masuk ke dalam politik formal, seperti yang
dilakukan para intelektual Filipina yang mendirikan dan mengembangkan Partai
Akbayan, masih minim dilakukan intelektual di Indonesia. Setidaknya ada 3
kecenderungan dominan yang dapat diamati dalam mengidentifikasi mengapa mereka

20
kurang dalam usaha membangun dan memperbaiki representasi politik, yakni: (1)
mereka cenderung masih kurang dalam membangun organisasi berbasis massa, (2)
paradigma yang dominan di kalangan mereka adalah non-partisan dan menjaga jarak
dengan kekuasaan, (3) mereka cenderung lebih suka melancarkan kritik dan desakan
lewat forum publik dan media, produksi gagasan, melakukan lobi, serta melakukan
desakan lewat demonstrasi daripada masuk politik formal.

Kurangnya intelektual di Indonesia dalam membangun organisasi berbasis massa,


pertama-tama dan terutama karena warisan politik massa mengambang dari masa
Orde Baru. Kebijakan “massa mengambang” serta politik pengendalian dan
pengawasan yang ketat terhadap kehidupan organisasi massa yang diterapkan di masa
pemerintahan Soeharto merupakan hambatan terbesar bagi tumbuhnya organisasi
massa yang berorientasi kepada perubahan. Hal tersebut kemudian mengkondisikan
intelektual untuk bergerak secara individual atau melalui pembentukan organisasi-
organisasi skala kecil. Misalnya LSM yang tumbuh sebagai organisasi-organisasi staf
berskala kecil dan tidak berambisi menjadi organisasi besar dengan cakupan wilayah
yang meluas dan dukungan massa yang besar pula. Pengembangan yang terjadi lebih
kepada usaha membentuk jaringan dengan sejumlah LSM lainnya. Kecenderungan
untuk membentuk organisasi-organisasi skala kecil selama periode pemerintahan
Soeharto tersebut kemudian tetap berlanjut hingga kini, selain juga membuat mereka
miskin pengalaman dalam membangun organisasi massa yang besar dan efektif.

Minimnya usaha untuk membangun representasi politik juga tidak bisa lepas dari
paradigma yang dominan dianut intelektual di Indonesia, yakni non-partisan dan
menjaga jarak dengan kekuasaan. Berbeda dengan kecenderungan intelektual di masa
pergerakan dan awal kemerdekaan hingga pra-Orde Baru, yang populer misalnya
Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, kecenderungan atau paradigma intelektual
di masa Orde Baru adalah menjaga jarak dengan kekuasaan. Intelektual yang masuk
ke dalam kekuasaan mendapat sebutan peyoratif sebagai teknokrat, bukan lagi
intelektual. Sementara LSM lebih nyaman dan bangga dengan sebutan Organisasi
Non-Pemerintah (Ornop) dari pada LSM, selain juga nyaman dan bangga dengan
bersikap non-partisan. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat di masa itu negara
sangat otoriter dan terkesan kuat sehingga tampak mustahil untuk diperbaiki dengan
masuk ke dalamnya. Yang berlangsung kemudian, paradigma negara versus
masyarakat sipil (state versus civil society) menonjol dan makin dominan di kalangan
intelektual di tahun 1990-an. Paradigma tersebut masih berpengaruh hingga sekarang,
meski situasinya sudah mengalami perubahan.

Pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto, wacana berkenaan dengan transisi demokrasi


makin dan amat marak. Pendekatan-pendekatan transisi demokrasi yang dominan
dianut oleh intelektual di Indonesia lebih menekankan kepada pembangunan hukum
dan institusi-institusi good governance, selain juga penguatan masyarakat sipil.
Mereka yang lebih menekankan kepada pembangunan hukum dan institusi-institusi
good governance mendapat kritik keras bahwa meski sudah dibangun atau dibentuk,
bila masih dikuasai oleh kepentingan elit-elit politik yang lama maka hasilnya akan
terbatas. Penciptaan demokrasi dan pemerintahan yang baik bukan sekedar masalah
mengutak-atik secara teknis kerangka institusional yang ada, tetapi memerlukan
kemenangan politik kekuatan-kekuatan yang punya kepentingan terhadap reformasi
atas kekuatan lama (Vedi R. Hadiz, 2003: h. 64). Mereka yang sepaham dengan kritik
tersebut cenderung mengunggulkan usaha-usaha pengorganisasian dan penguatan

21
masyarakat sipil, namun dengan tetap menjaga jarak dengan kekuasaan dan kurang
dalam usaha perbaikan terhadap instrumen-instrumen representasi politik (lihat
misalnya dalam Sutoro Eko, 2004), yang merupakan manifestasi dari paradigma
negara versus masyarakat sipil.

Tabel 10. Pendekatan-Pendekatan yang Dominan dalam Politik Demokratisasi


Agen Struktur
Negara • Crafting elite • Kerangka kebijakan dan legal
• Konvergensi elite • Capacity building
• Kepemimpinan yang kuat • Reorganisasi dan reformasi birokrasi
Masyarakat • Pendidikan politik masyarakat • Penguatan modal sosial (organisasi
dan jaringan)
• Penguatan voice aktor-aktor • Penguatan partisipasi masyarakat
masyarakat sipil
• Aksi kolektif organisasi masyarakat
sipil
Sumber: Sutoro Eko, 2004: h. 322

Sementara kecenderungan intelektual di Indonesia yang menghindari atau tidak


berusaha masuk ke arena politik formal juga tidak bisa dilepaskan dan merupakan
warisan Orde Baru. Selain “massa mengambang”, pemerintahan Soeharto juga telah
mengkonstruksikan suasana anti politik. Di masanya, pertumbuhan ekonomi dijadikan
prioritas dengan menekan kehidupan politik, yang dicitrakannya dapat mengganggu
stabilitas, prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi. Ia juga membangun hegemoni
bahwa politik itu kotor. Partai-partai politik yang ada tidak berfungsi dan di bawah
kendalinya. Kemudian intelektual menempatkan diri sebagai substitusi partai politik
yang kondisinya buruk, selain juga paradigma negara versus masyarakat, dalam
mengartikulasikan suara rakyat kecil. Kondisi tersebut masih berlangsung hingga saat
ini. Intelektual lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai individu-individu yang
bebas dan tidak ingin terlibat dalam kegiatan “politik praktis” yang dinilainya penuh
tipu daya, kekerasan, dan politik uang. Mereka lebih nyaman sebagai substitusi dari
partai-partai politik yang kondisinya buruk, atau mengomentarinya, daripada secara
intens berusaha memperbaiki politik kepartaian yang justru amat strategis serta butuh
untuk diperbaiki.

Merintis Representasi Politik di Tingkat Lokal


Meski masih minim dan tenggelam di bawah dominasi ketiga kecenderungan di atas,
usaha-usaha untuk memajukan representasi politik sudah mulai tumbuh dan dirintis di
sejumlah daerah. Membangun basis massa, merintis pembangunan partai lokal yang
berbasis gerakan sosial, serta masuk ke lembaga-lembaga eksekutif maupun legislatif
lewat Pemilu maupun pemilihan langsung kepala daerah (Pilsungkada), telah menjadi
wacana dan agenda sejumlah intelektual muda di tingkat lokal.

Di Bengkulu, selain lewat gerakan sosial, sejumlah LSM dan organisasi rakyat di sana
juga menempuh dan mengkombinasikan dengan strategi masuk ke sistem politik
formal. Muspani, direktur Kantor Bantuan Hukum (KBH) Bengkulu, yang selama ini
bersama kawan-kawannya aktif memberikan bantuan hukum, mengorganisir rakyat,
mendidik rakyat dalam bidang pertanian dan politik, berhasil mengantongi suara
sekitar 65.000 dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada April
2004 lalu. Jumlah itu sesuai dengan jumlah anggota organisasi-organisasi rakyat yang

22
telah mencalonkan dan memberikan dukungan pada dirinya. (F Bambang Wisudo,
2004).

Meski berada pada peringkat ketiga, namun Muspani telah berhasil masuk ke
parlemen dan menjadi salah satu representasi warga Bengkulu, khususnya rakyat kecil
di sana. Keberhasilan Muspani disambut gembira oleh para aktivis, petani, nelayan,
dan pedagang yang telah menggalang dukungan tanpa dibayar. Rakyat kecil
membutuhkan corong untuk menyuarakan aspirasi mereka. Corong itu ditemukan
pada diri Muspani. Di atas kertas, bila organisasi-organisasi rakyat itu dihimpun
menjadi partai politik, partai mereka berada pada urutan kedua perolehan suara di
Provinsi Bengkulu. Mereka kini tengah mengkaji apakah kelak akan membentuk
partai politik sendiri atau bergabung dengan partai politik yang ada. Tidak
dimungkinkannya partai politik lokal di Indonesia menghalangi organisasi-organisasi
rakyat itu untuk bergabung dan mendirikan sebuah partai politik lokal. (Ibid.)

Keberhasilan Muspani telah menjadi inspirasi dan mendorong kepercayaan diri di


kalangan aktivis organisasi rakyat setempat. Zaiful Anwar, 52 tahun, anggota Serikat
Tani Bengkulu, salah satu pendukung utama Muspani, berharap bahwa pada satu saat
nanti jabatan-jabatan DPR, bupati, dan gubernur akan dipegang oleh wakil-wakil
petani, nelayan atau pedagang kaki lima. Dengan merebut posisi itu, mereka berharap
mempunyai wakil yang representatif dan dapat memecahkan persoalan-persoalan
yang selama ini mereka hadapi. "Sekarang ini kita menggantungkan penyelesaian
masalah pada orang lain. Mereka yang ada di DPR, yang menjabat sebagai kepala
desa, bupati, dan gubernur bukan orang-orang kita," kata Zaiful.

Di Sulawesi Tenggara, Konsorsium Perluasan Partisipasi Politik Rakyat (KP3R),


sebuah konsorsium 46 (empat puluh enam) LSM serta sejumlah organisasi rakyat di
Sulawesi Tenggara, melihat betapa strategisnya posisi kepemimpinan formal di
tingkat lokal. Sejak tahun 2003, mereka merancang program untuk merebut jabatan
1.000 kepala desa di Sulawesi Tenggara melalui jalan demokratis. Targetnya, hal
tersebut dapat dicapai dalam rentang waktu 5 tahun. Keberhasilan merebut posisi
kepala desa ini dapat menjadi basis untuk merebut posisi pemerintahan yang lebih
tinggi. Menurut mereka, posisi kepala desa di daerahnya sangat berpengaruh dan
didengar warganya. Selain untuk menjadi motor bagi pembaharuan desa, posisi
tersebut juga dinilai strategis untuk menggalang dukungan bila suatu ketika dilakukan
pemilihan langsung untuk jabatan kepala daerah, seperti bupati, walikota, maupun
gubernur. (Otto Adi Yulianto, 2004)

Bagi mereka, usaha merebut kepemimpinan di tingkat lokal amatlah perlu mengingat
jabatan tersebut amat strategis dan menentukan dalam pembuatan kebijakan daerah
yang berdampak langsung terhadap warganya. Menurut La Ode Ota, koordinator
KP3R yang juga direktur WALHI Sulawesi Tenggara ini, ada problem yang sangat
serius di Sulawesi Tenggara, yakni sumber daya alamnya melimpah namun
masyarakatnya miskin secara finansial dan pengetahuan untuk mengolahnya. Yang
terjadi kemudian, investor melakukan eksploitasi dan mereguk untung, yang tak
jarang berbuntut konflik dan jatuh korban di pihak masyarakat. Hal ini perlu adanya
pemecahan yang berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban.

Awalnya, KP3R mencalonkan La Ode Ota untuk menjadi anggota DPD Sulawesi
Tenggara. Dengan adanya wakil di DPD, mereka berharap usaha memperjuangkan

23
kepentingan masyarakat korban makin efektif. Ternyata dalam pemilihan anggota
DPD, Ota menduduki peringkat 12 dari 31 calon yang ada dengan jumlah perolehan
suara sekitar 25.300. Peringkat dan perolehan suara ini sebenarnya cukup spektakuler
mengingat dana yang mereka keluarkan hanya sekitar Rp 5 juta, paling kecil
dibanding calon-calon yang lain.

Kekalahan Ota dalam pemilihan anggota DPD bukannya menyurutkan langkah


mereka untuk masuk ke wilayah politik formal, namun justru sebaliknya. Belajar dari
pengalamannya saat pemilihan DPD, KP3R mulai mengantisipasi pemilihan kepala
daerah secara langsung. Mengingat strategisnya posisi kepala daerah dalam
pembuatan kebijakan publik, KP3R berharap suatu ketika wakil-wakilnya dapat
menduduki posisi-posisi tersebut. Untuk itu, mengembangkan dukungan dan
konstituen yang selama ini telah ada perlu dilakukan.

Di Sulawesi Tenggara ada kira-kira 1.581 desa. Bila dari 1 desa direkrut 10 orang
kader, maka dari 1581 desa akan ada 15.810 orang kader. Kader-kader tersebut bisa
berasal dari community leaders, aktivis mahasiswa, masyarakat adat, aktivis-aktivis
setempat, dan sebagainya. Mereka ini kemudian menjadi calon serta orang-orang
kunci untuk memenangkan pemilihan kepala desa di desa mereka masing-masing.
Sementara KP3R akan menjadi konsultan dan fasilitator bagi mereka.

Usaha masuk ke dalam sistem politik formal dan merebut kepemimpinan lokal di
wilayah pedesaan juga dilakukan oleh beberapa Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM) yang didampingi USC-Satunama, sebuah LSM di Yogyakarta. Menurut
Agustinus Satwoko, koordinator pendamping usaha kecil dan sektor informal USC-
Satunama, beberapa KSM dampingan mereka telah menempatkan wakil-wakilnya ke
dalam Badan Perwakilan Desa (BPD) dan kepala desa di daerah mereka masing-
masing. Misalnya Tumini dan Sumadyo dari KSM Andini Mulyo, yang menjadi
kepala desa serta ketua BPD desa Logandeng, Kecamatan Playen, Gunung Kidul
sejak 2002. Juga Sularti, dari KSM Anggrek, yang menjadi kepala desa Beji,
Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul. (Ibid.)

Sejak masa kepemimpinan Bu Sularti, rembuk desa di Beji dihidupkan setelah


sebelumnya desa dipimpin oleh kepala desa yang mantan militer dan otoriter.
Kepemimpinan Tumini dan Sumadyo dinilai telah membantu meningkatkan akses
pasar bagi usaha daging sapi yang dikelola para anggota KSM Andini Mulyo. Bagi
mereka yang berharap perubahan radikal secara revolusioner, mungkin hal-hal tadi
kelihatannya remeh temeh. Namun yang pasti, apa yang berhasil dicapai oleh KSM-
KSM tersebut telah memberikan kontribusi yang kongkrit bagi usaha membangun
representasi dan memajukan demokrasi.

Penutup
Hingga saat ini tampaknya belum ada sistem lain di luar demokrasi yang terbukti
lebih baik. Seperti yang disampaikan oleh Asmara Nababan17, bila instrumen-
instrumennya kemudian dalam kondisi jelek, bukan berarti demokrasinya yang jelek.
Instrumen-instrumen tersebut yang harus diperbaiki. Saat ini masih banyak instrumen
demokrasi yang kondisinya buruk dibanding yang mulai membaik. Usaha untuk

17
Kompas, 22 Januari 2005

24
memperbaiki berbagai instrumen demokrasi sudah banyak dilakukan oleh para
intelektual, namun hasilnya belum optimal.

Menurut Nasikun (2000: h. 245), perbaikan atau transisi ke demokrasi perlu dilakukan
dan dimulai dari reformasi politik yang total, termasuk di dalamnya reformasi
birokrasi, melalui penyelenggaraan Pemilu yang benar-benar jujur, adil, bebas, dan
transparan. Artinya, ia harus dimulai dari perombakan dan pembongkaran total
struktur-struktur, institusi-institusi, dan prosedur-prosedur politik Orde Baru yang
terpusat dan otoritarian, serta menggantikan semua itu dengan pembangunan dan
pelembagaan struktur-struktur, institusi-institusi, serta prosedur-prosedur politik yang
lebih demokratis. Ia perlu dimulai dari penyelenggaraan Pemilu yang jujur, adil,
bebas, dan transparan, oleh karena hanya melalui penyelenggaraan Pemilu yang
demikian suatu pemerintahan yang “legitimate” dapat diharapkan dan kepentingan
semua kekuatan politik yang saling bersaing dapat dipertaruhkan.

Pemilu sudah dua kali berlangsung (1999 dan 2004) secara relatif bebas dan bersih.
Meski berbagai kebebasan dasar kini kondisinya sudah membaik bila dibandingkan
masa pemerintahan Soeharto, namun tampak bahwa sebagian besar instrumen
demokrasi yang lain masih dalam kondisi yang buruk. Good governance belum
berlangsung seperti yang diharapkan. Yang tidak kalah penting dan sangat strategis,
representasi politik masih amat buruk. Para elit, baik yang lama maupun baru, telah
berkuasa (kembali) lewat mekanisme demokratis, seperti lewat partai, Pemilu, dan
parlemen. Namun kekuasaan yang diperolehnya bukan untuk memperbaiki demokrasi
seperti yang diteorisasikan banyak intelektual, justru malah sebaliknya, digunakan
untuk kepentingannya sendiri, kelompok, maupun elit partainya.

Pembangunan dan pengembangan struktur-struktur, institusi-institusi, serta prosedur-


prosedur demokrasi memang perlu. Namun hal tersebut tidak cukup atau bahkan
beresiko bila semata diserahkan kepada elit --kekuatan-kekuatan konservatif yang
menguasai pusat-pusat kekuasaan terutama di dalam tubuh pemerintahan dan
parlemen-- sementara intelektual yang berorientasi demokratis cenderung memilih di
luar atau pinggir kekuasaan, sekedar menjalankan fungsi kontrol lewat lobi,
kampanye, dan demonstrasi.

Belajar dari pengalaman selama periode 1999-2004 lalu, reformasi tidak bisa
diserahkan kepada elit. Para intelektual perlu melibatkan diri. Tidak hanya di luar atau
pinggir kekuasaan, namun masuk ke dalam sistem politik formal dan bersaing untuk
memperebutkan kekuasaan demi memperbaiki representasi dan demokrasi. Tidak
sekedar menjalankan fungsi kontrol atau berpartisipasi, namun yang utama
mengkombinasikannya dengan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan publik
secara menentukan. Tentunya tanpa mengabaikan persoalan representasi politik,
membangun dukungan massa, serta mekanisme kontrol internal di kalangan mereka.

Strategi melalui sistem politik formal --demokrasi representatif, dengan memperbaiki


dan memajukan representasi politik dalam pemerintahan serta parlemen-- serta
masyarakat sipil --demokrasi langsung, memajukan fungsi kontrol dan partisipasi
lewat gerakan sosial-- merupakan strategi yang komplementer, bukan sebagai pilihan
kerja yang saling menggantikan. Melakukan, membangun, dan mengembangkan
strategi kombinasi ini memang pekerjaan yang sulit dan rumit mengingat persoalan
yang dihadapi juga amat pelik, tidak sekedar instrumen demokrasi yang dikuasai dan

25
disalahgunakan elit oligarkhi tetapi juga karena paradigma yang dominan dan sumber
daya yang dimiliki para intelektual masih kurang mendukung. Namun, sejumlah
intelektual muda kini telah merintisnya di tingkatan lokal mereka. Bila usaha-usaha
tersebut tidak sekedar berhasil dalam menjalankan fungsi kontrol namun juga mampu
memajukan representasi politik, menjadi inspirasi dan menyebar ke daerah-daerah
lain, serta mereka dapat menjaga reputasinya: fajar baru bagi gerakan pro-demokrasi
di Indonesia? *****

Daftar Pustaka

1. A.E. Priyono, et.al (2003), Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto,


Jakarta: DEMOS
2. Anton Prajasto (2004), “Filipina dan Institusi Perwakilan yang Representatif”,
dalam Tempo, edisi 13-19 Desember
3. Arief Budiman, “Kata Pengantar”, dalam INFID (ed.) (1993), Pembangunan di
Indonesia, Memandang dari Sisi Lain, Jakarta: Yayasan Obor dan INFID.
4. B Herry-Priyono (2005), “Hantu Orde Baru: Kuasa Amnesia dalam Ilmu-ilmu
Sosial di Indonesia”, dalam Kompas, 22 Januari
5. Beetham, David dan Kevin Boyle (2000), Demokrasi: 80 Tanya-Jawab,
Yogyakarta: Kanisius (Judul asli: Beetham, David dan Kevin Boyle (1995),
Introducing Democracy: 80 Questions and Answers, UNESCO Paris, Perancis
tahun 1995)
6. Cahyo Suryanto (2002), ‘Gerakan Good Governance “untuk” Indonesia’, dalam
Jurnal Wacana Vol 7, No. 2, Juni 2002, Bandung: Akatiga.
7. Crawford, Gordon & Yulius P. Hermawan (2002), “Whose Agenda?
‘Partnership’and International assistance to Democratization and Governance
Reform in Indonesia”, Contemporary Southeast Asia a Jurnal of International and
Strategic Affairs Institute of Southeast Asian Studies Vol. 24 No. 2, Agustus.
8. DEMOS (2005), Menuju Agenda Demokrasi Berbasis-HAM yang Lebih
Bermakna, Kesimpulan Awal Survei Nasional Tahap 1 dan 2 Masalah-Masalah
dan Pilihan-Pilihan Demokratisasi Indonesia, DEMOS: Jakarta.
9. Diamond, Larry 2003, Developing Democracy Toward Consolidation,
Yogyakarta: IRE Press
10. F. Bambang Wisudo (2004), “Kami Menolak Orba Berkuasa Lagi ..”, Kompas, 3
Juli
11. Harriss, John et. al. (2004), Politicing Democracy, The New Local Politics of
Democratisation, New York: Palgrave Macmillan
12. Haryatmoko (2003), “Landasan Teoretis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu,
Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa”, dalam Basis No. 11-12 tahun ke-52,
November-Desember
13. Kwik Kian Gie (2003), “Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian,
Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan”, dalam mailing list CARI, Januari
2003.
14. Lembaga Studi dan Advokasi Manusia & Lawyers Committee for Human Rights
(1995), Atas Nama Pembangunan, Bank Dunia dan Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Jakarta: ELSAM.
15. Nasikun (2000) “Reformasi Politik, Demokrasi, dan Integrasi Nasional”, dalam
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP UGM) vol. 3, No. 3, Maret 2000, h.
231-252.

26
16. Otto Adi Yulianto (2004), “Mari Merebut Kepemimpinan Lokal”, dalam Tempo,
edisi 13-19 Desember
17. Priyambudi Sulistiyanto (2004), “Oligarki, Kekuasaan dan Pasar di Era Pasca-
Soeharto”, Kompas, 19 Juni.
18. Rocamora, Joel (2003), “Belajar dari Pengalaman Filipina”, dalam A.E. Priyono,
et.al (2003), Jakarta: DEMOS
19. Salomo Simanungkalit (ed.) 2002, Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Jakarta:
Kompas Media Nusantara.
20. Stanley (1994), Seputar Kedung Ombo, Jakarta: ELSAM dan INFID.
21. Sutoro Eko (2004), “Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal” dalam
Analisis CSIS vol 33 No. 3 September
22. Uhlin, Anders (1998), Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi Gelombang
Ketiga di Indonesia, Bandung: Mizan
23. Vedi R. Hadiz (2003), “Menimbang Gagasan ‘Transisi Demokrasi’ di Indonesia”,
dalam A.E. Priyono, et.al (2003), Jakarta: DEMOS
24. Kompas, 4 Juni 2000.
25. Kompas, 20 September 2001.
26. Kompas, 18 Juli 2002.
27. Kompas, 13 Januari 2003.
28. Kompas, 22 Januari 2003.
29. Kompas, 31 Januari 2004.
30. Kompas, 22 Januari 2005.
31. Media Indonesia, 4 Oktober 2001.
32. Media Kerja Budaya edisi 09 tahun 2002
33. http://www.kunci.or.id/misc/a_subaltern.htm

27

Anda mungkin juga menyukai