Pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998, terjadi perubahan yang
mengesankan berkenaan dengan kebebasan dasar. Media massa menjadi lebih bebas,
seiring ditiadakannya surat ijin usaha penerbitan pers (SIUPP) dan dibubarkannya
Departemen Penerangan, institusi yang di masa Soeharto amat berkuasa dalam
menentukan hidup-matinya sebuah media. Akses informasi relatif lebih baik bila
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kebebasan bersuara serta berorganisasi juga
lebih baik. Partai bebas berdiri serta berkompetisi dalam pemilihan umum (Pemilu)
yang kini relatif bebas dan fair. Pulihnya kebebasan bersuara, berekspresi, serta
berorganisasi telah memungkinkan terjadinya ledakan jumlah media massa baru,
lembaga swadaya masyarakat (LSM) baru, serta akademisi yang kritis dan muncul ke
ruang publik. Ledakan jumlah juga terjadi dengan organisasi buruh, petani,
perempuan, dan jurnalis, sesuatu yang di masa Orde Baru sulit dibayangkan2.
1
Kompas, 31 Januari 2004
2
Di masa pemerintahan Soeharto, organisasi-organisasi massa amat dikontrol atau dikendalikan
pemerintah, di antaranya lewat proyek penyatuan, misalnya untuk organisasi: (a) buruh, lewat Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), (b) petani, lewat Himpunan Kerukunan Petani Indonesia (HKTI),
(c) wartawan, lewat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), (d) pemuda, lewat Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI), (e) perempuan, lewat Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Sementara para tahanan dan narapidana politik yang dipenjarakan oleh pemerintahan
Soeharto telah dibebaskan oleh pemerintahan Habibie, penggantinya3.
Sejumlah aspek ketatanegaraan juga mengalami perbaikan. Pada Juni 1999 dan April
2004 telah berlangsung proses Pemilu legislatif yang diikuti oleh 48 (empat puluh
delapan) dan 24 (dua puluh empat) partai politik, berlangsung relatif bebas dan damai,
serta derajat kecurangan yang terjadi relatif kecil bila dibandingkan dengan 6 (enam)
Pemilu di masa pemerintahan Soeharto. Undang-Undang Dasar 1945, yang di masa
pemerintahan Soeharto disakralkan, mengalami amandemen sebanyak 4 (empat) kali.
Pemilihan presiden dan wakil presiden yang sebelumnya di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, kini dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui
mekanisme Pemilu, yang untuk pertama kalinya diadakan pada awal Juli dan
September 2004.
Demikian pula dengan militer. Mereka harus menerima kenyataan bahwa sejumlah
prajurit dan perwiranya diadili serta dihukum karena kasus pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) yang telah mereka lakukan, misalnya dalam kasus penculikan aktivis
pro-demokrasi, Timor Timur, serta Tanjung Priok. Sebelumnya, setelah melalui
berbagai proses politik yang panjang, jajak pendapat menyangkut status Timor Timur
Pergantian kekuasaan dari Soeharto ke Habibie ini sempat menimbulkan sejumlah kontroversi karena
sekedar lewat serah-terima, tidak melalui mekanisme MPR. Selain itu, Habibie juga mengalami
masalah dengan legitimasinya karena dinilai sebagai “orangnya Soeharto”.
4
Berbeda dengan UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam UU No 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah telah disahkan dan diatur pemilihan langsung kepala daerah, baik
gubernur, bupati, maupun wali kota yang pelaksanaannya akan dilakukan sejak Juni 2005. Namun
UU No 32 tahun 2004 ini bukannya tanpa kritik, bahkan sebagian kalangan menganggap lebih buruk
dibanding UU No. 22 tahun 1999, di antaranya yang menonjol karena dalam UU yang baru diatur
bahwa kepala desa --yang dipilih secara langsung oleh warganya-- tidak lagi bertanggung jawab
kepada Badan Perwakilan Desa (BPD) namun kini bertanggung jawab kepada Bupati. Kewenangan
Badan Perwakilan Desa dikurangi dan namanya kini berubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa,
yang anggotanya tidak lagi dipilih langsung oleh warga desa namun lewat musyawarah elit desa.
2
akhirnya berlangsung pada Agustus 1999, dan berlanjut dengan pisahnya wilayah itu
dari Indonesia karena mayoritas warganya memilih untuk menjadi negara sendiri.
Persoalan dwifungsi serta bisnis militer, yang di masa pemerintahan Soeharto tabu
untuk dibicarakan dan hanya sejumlah kecil warga negara yang berani
mempersoalkan, kini disorot dan digugat secara terang-terangan. Sorotan dan gugatan
tidak hanya muncul secara terbatas dari aktivis demonstran, namun juga datang dari
kalangan pejabat negara dan politisi yang duduk di parlemen. Demikian juga dengan
operasi militer. Daerah operasi militer yang telah diberlakukan di wilayah Aceh sejak
1989, sempat dicabut pada 1999, meski kemudian di masa pemerintahan Megawati
darurat militer diberlakukan pada Mei 2003. Meski begitu, pengambilan keputusan
dan implementasi menyangkut operasi militer tersebut kini tidak lagi semudah dan
seleluasa seperti di masa Soeharto.
3
kewenangan bagi para wakil rakyat dan pejabat terpilih, representasi mereka untuk
mewakili berbagai kepentingan dan gagasan yang hidup dalam masyarakat, selain
harus terus menerus responsif terhadap opini dan kepentingan masyarakat serta
bertanggung jawab --baik secara langsung atau tidak langsung-- kepada warga negara
atas apa yang mereka lakukan, di mana pertanggungjawaban itu memerlukan adanya
transparansi. Sementara kesetaraan warga negara secara implisit berlaku dalam semua
prinsip tersebut. Solidaritas antar warga negara serta di kalangan mereka yang
berjuang untuk demokrasi juga merupakan hal yang mendasar. Hampir semua, atau
malah semua, prinsip-prinsip umum tersebut memerlukan prinsip tambahan yaitu hak
asasi manusia. (DEMOS, 2005: h. 9)
4
jabatan-jabatan publik
21. Partai yang mengartikulasikan isu-isu vital dan kepentingan-kepentingan masyarakat
22. Pencegahan penyalahgunaan sentimen religius atau etnis, ataupun simbol-simbol dan
doktrinnya, oleh partai
23. Independensi partai dari politik uang dan kepentingan kuat yang terselubung
24. Kapasitas kontrol anggota dan simpatisan terhadap partainya, dan respons serta tanggung
jawab partai terhadap konstituen
25. Kemampuan partai membentuk dan menjalankan pemerintahan
26. Transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah terpilih, di segala tingkatan
27. Transparansi dan pertanggungjawaban eksekutif/ pejabat publik pada semua tingkatan
28. Desentralisasi pemerintahan secara demokratis (atas dasar prinsip subsidiaritas)
29. Transparansi dan pertanggungjawaban militer dan polisi terhadap pemerintahan yang
terpilih dan publik
30. Kapasitas pemerintah untuk memerangi kelompok paramiliter, preman, dan kejahatan
terorganisir
31. Kemerdekaan pemerintah dari intervensi asing (kecuali konvensi PBB dan hukum
internasional yang positif)
32. Kapasitas pemerintah untuk bebas dari kelompok-kelompok kepentingan yang kuat, untuk
menghilangkan korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan
III: Masyarakat sipil dan partisipasi langsung yang berorientasi demokratis
33. Kebebasan pers, seni, dan dunia akademis
34. Akses publik terhadap berbagai pandangan dalam media, seni, dan dunia akademis, juga
untuk merefleksikannya
35. Partisipasi warganegara dalam organisasi masyarakat yang independen
36. Transparansi, pertanggungjawaban, dan praktek demokratis dalam organisasi-organisasi
masyarakat
37. Akses dan partisipasi yang luas dari semua kelompok sosial –termasuk perempuan–
terhadap kehidupan publik
38. Kontak langsung masyarakat dan akses terhadap layanan publik dan para pelayan
masyarakat
39. Kontak langsung masyarakat dan akses terhadap para wakil politik mereka
40. Konsultasi pemerintah dengan masyarakat, dan bila mungkin, partisipasi rakyat secara
langsung dalam pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan publik
Sumber: DEMOS, 2005: h. 10.
5
undang-undang hukum pidana (KUHP) yang dikenal sebagai pasal-pasal haatzaai
artikelen, yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda saat menghadapi
gelombang pasang aktivis pergerakan kemerdekaan di awal abad 20 lalu. Sejumlah
kantor lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aktivis hak asasi manusia (HAM)
masih juga mendapat teror dan penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok
preman. Demikian juga dengan kantor redaksi media massa. Kualitas kebebasan
berpendapat dan berekspresi serta bebas dari tindak kekerasan dan rasa takut
tampaknya masih mengalami masalah yang cukup serius.
Akses masyarakat, terutama kelas bawah, terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial
tampaknya juga tidak mengalami perubahan yang berarti. Meski Komisi
Pemberantasan Korupsi sudah didirikan dan pengadilan kasus korupsi marak
dilakukan, namun korupsi masih tumbuh subur di berbagai tingkatan birokrasi negara,
hanya sebagian kecil yang disentuh hukum, yang sering kali berakhir secara
mengecewakan. Sejumlah pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di masa lalu
tidak diusut secara memadai dan dituntaskan dengan memberi rasa keadilan kepada
para korban, seperti yang dituntut banyak kalangan. Demikian juga berbagai
pelanggaran HAM yang terjadi di masa kini. Meski pemerintah berusaha
menunjukkan citra populis, tetap saja penggusuran terhadap pedagang kaki lima serta
warga kampung miskin sering terjadi, bahkan tak jarang disertai dengan tindak
kekerasan. Demikian juga peminggiran terhadap masyarakat adat dan petani.
Tingginya angka pengangguran, rendahnya upah buruh, serta banyaknya kasus
pemutusan hubungan kerja secara sepihak masih juga berlangsung. Ilustrasi yang
mewakili pandangan publik terhadap kinerja pemerintah dalam beberapa bidang
pokok yang menyangkut kepentingan publik dapat dilihat dalam tabel 2, tabel 3, serta
tabel 4 berikut ini:
6
Tabel 3. Survei Kompas tentang Kepuasan Responden terhadap Kinerja Presiden
Abdurrahman Wahid (1999-2001)
No Bidang Sikap responden
2000 2001
Januari Juli Januari Juli
1 Perbaikan perekonomian 50,3 25,7 19,7 10,3
2 Perbaikan kondisi politik 41,8 30,7 21,7 13,4
dan keamanan
3 Perbaikan kesejahteraan 41,4 30,1 30,0 18,9
sosial
Sumber: Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 209
Sementara studi Booz-Allen & Hamilton pada tahun 1999 menunjukkan bahwa
indeks good governance5 di Indonesia amat buruk, bahkan terburuk bila dibandingkan
dengan sejumlah negara di tingkat Asia Tenggara. Penilaian yang mirip juga datang
dari studi Huther dan Shah (1998) mengenai indeks kualitas governance yang diukur
dari indeks: (1) partisipasi masyarakat, (2) orientasi pemerintah, (3) pembangunan
sosial yang berlangsung, dan (4) manajemen ekonomi makro. Menurut hasil studi
mereka, Indonesia termasuk dalam kategori poor governance (lihat tabel 5).6
5
Good governance di sini dipahami sebagai suatu tata pemerintahan yang mengedepankan dan
melaksanakan prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Sebagai sebuah
konsep, awalnya berasal dari Bank Dunia. Konsep good governance ini diperkenalkan pada akhir
dekade 1980-an (1989), setelah kegagalan kebijakan penyesuaian struktural yang disuntikkan oleh
Bank Dunia di Sub-Sahara Afrika. Bank Dunia menganggap kegagalan tersebut dikarenakan adanya
krisis pemerintahan yang berlangsung dalam negara tersebut. Krisis yang terjadi misalnya tingginya
tingkat korupsi serta lemahnya kontrol dari masyarakat, sebagaimana yang lazim terjadi dalam
pemerintahan yang otoritarian. Namun karena konsep ini berasal dari Bank Dunia, dan kemudian
lembaga-lembaga donor internasional seperti IMF dan Asian Development Bank (ADB) ikut
mempopulerkan, banyak pihak mencurigai bahwa penyebarluasan gagasan tersebut bukan demi
menegakkan demokrasi namun lebih sebagai usaha untuk memuluskan jalannya berbagai kebijakan
neo-liberal dari lembaga tersebut di negara yang bersangkutan, yang lebih menguntungkan negara
kapitalis maju yang menguasai lembaga tersebut, seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di
Eropa Barat. Meski kecurigaan tersebut beralasan, namun sejumlah pihak --yang juga kritis terhadap
kebijakan Bank Dunia, IMF, ADB, serta sejumlah lembaga donor lainnya-- melihat bahwa gagasan
good governance dapat digunakan bagi perjuangan demokratisasi. Di Indonesia, konsep good
governance awalnya justru dipopulerkan oleh kalangan LSM di awal dekade 1990-an, di antaranya
saat mempersoalkan pembangunan bendungan Kedung Ombo, proyek pemerintah yang dibiayai
dengan utang dari Bank Dunia dan bermasalah karena menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi
manusia dan korupsi dalam pelaksanaannya.
6
Cahyo Suryanto, 2002: h. 6.
7
Tabel 5. Indeks Good Governance Sejumlah Negara di Asia Tenggara Tahun 1999
Negara Indeks Good Governance Kategori Kualitas
Governance
Malaysia 7,72 Good Governance
Singapura 8,93 Good Governance
Thailand 4,89 Fair Governance
Filipina 3,47 Fair Governance
Indonesia 2,88 Poor Governance
Sumber: Booz-Allen & Hamilton, Alex Irwan (2000), dan Huther dan Shah (2000) dalam
Cahyo Suryanto (2002).
Padahal isu good governance sudah muncul di Indonesia sejak awal tahun 1990-an
dan sebagai wacana telah berkembang pesat dalam enam tahun terakhir ini. Pasca
turunnya Soeharto, konsep ini makin populer di Indonesia, bahkan usaha untuk
melaksanakannya menjadi salah satu butir kesepakatan dengan IMF pada tahun 1998,
salah satu syarat bila pemerintah Indonesia masih berharap mendapat utang dari
lembaga keuangan tersebut. Sementara sejumlah lembaga donor internasional,
utamanya dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, telah mengalokasikan dan
menyalurkan dana yang relatif besar bagi kegiatan LSM dan institusi negara di
Indonesia untuk mendukung isu tersebut.7
Dalam risetnya, dengan mengacu kepada 40 instrumen demokrasi seperti dalam tabel
1, DEMOS bahkan telah mengidentifikasi dan sampai kepada kesimpulan bahwa
masih dan lebih banyak instrumen demokrasi yang kondisinya buruk dibanding yang
mulai membaik. Keadaan ini disebutnya sebagai defisit demokrasi. Instrumen
demokrasi yang kondisinya paling buruk menyangkut rule of law, keterwakilan
kepentingan dan gagasan dalam politik (representasi politik), pemerintah yang
bertanggung jawab (termasuk dalam persoalan desentralisasi), serta taraf hidup warga
negara (kondisi hak ekonomi dan sosial). Di antara berbagai instrumen demokrasi
yang masih buruk tersebut, menurut DEMOS, yang paling utama membutuhkan
perhatian bagi perbaikan adalah soal representasi politik (lihat tabel 6), karena
keberhasilan dalam memperbaikinya dapat menjadi sarana yang efektif bagi
perbaikan instrumen demokrasi lainnya, termasuk untuk menciptakan good
governance.
7
Padahal kecenderungan yang terjadi selama ini, pemerintah Indonesia masih tergantung dan sulit
menghadapi desakan yang datang dari lembaga-lembaga dan negara-negara donor dibanding desakan
masyarakatnya. Salah satu lembaga penyalur dana untuk isu good governance di Indonesia adalah
Partnership, sebuah funding agency yang didirikan oleh Bank Dunia, Asian Development Bank
(ADB), dan United Nations Development Program (UNDP) pada Oktober 2000. Sekedar catatan,
meski pendirian dan pengelolaan lembaga ini melibatkan unsur masyarakat dan pemerintah
Indonesia, namun agenda dari ketiga institusi pendirinya cenderung tampak lebih dominan. Lihat
dalam Crawford, Gordon & Yulius P. Hermawan (2002).
8
Tabel 6. Masalah-masalah utama dalam keterwakilan dan partisipasi langsung8
No. Hak dan institusi demokrasi Kinerja Cakupan
Buruk Buruk
1. Independensi partai-partai dari politik uang dan kelompok 91% 69%
kepentingan yang kuat
2. Kapasitas kontrol anggota dan simpatisan terhadap 84% 71%
partainya
3. Aksesibilitas masyarakat kepada pejabat pelayanan publik 82% 70%
dan pejabat terpilih
4. Sikap partai tentang isu-isu vital dan kepentingan vital di 81% 70%
dalam masyarakat
5. Kemampuan partai untuk menjalankan pemerintahan 81% 70%
6. Partisipasi publik secara langsung dalam perumusan dan 75% 73%
implementasi kebijakan publik
7. Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol, doktrin 66% 58%
agama atau etnis oleh partai
Sumber: DEMOS, 2005: h. 33.
8
Angka pada tabel merujuk pada proporsi informan riset DEMOS –para aktor pro-demokrasi yang
terpercaya dari berbagai wilayah di Indonesia yang menjadi nara sumber riset, jumlahnya sekitar
800-an orang-- yang mengatakan hak-hak dan institusi-institusi yang memiliki kinerja dan cakupan
yang buruk.
9
dan dipinggirkan, aktor penting dalam perubahan sosial ke arah yang lebih baik,
termasuk perubahan ke arah demokrasi. Secara empirik, intelektual bukanlah entitas
yang homogen, termasuk dalam pemihakannya. Penulis tidak menafikkan bahwa
intelektual dapat atau berpotensi juga menjadi pihak yang ikut memberikan legitimasi
terhadap kekuasaan atau kebijakan negara meski kekuasaan atau kebijakan tersebut
tidak demokratis, seperti yang pernah berlangsung di masa pemerintahan Soeharto9,
atau secara praktik berbeda dengan citranya10. Konsep intelektual yang menjadi topik
bahasan dalam tulisan ini lebih kepada kategori intelektual yang cenderung
berorientasi demokratis, yang menggunakan dan berusaha memajukan instrumen-
instrumen demokrasi.
Dalam tulisan ini, intelektual tidak hanya ditujukan secara terbatas kepada para
akademisi serta peneliti di lembaga-lembaga penelitian, namun juga para jurnalis
maupun para aktivis organisasi massa dan LSM. Tidak sekedar akademisi karena
berbagai kategori tersebut secara empirik sulit untuk dipilah-pilah secara tegas. Yang
terjadi tidak hanya sekedar saling bahu-membahu, namun juga telah berlangsung
tumpang tindih, kait-mengkait, persilangan, dan percampuran antar mereka. Banyak
akademisi yang juga sebagai jurnalis, aktivis organisasi massa, atau aktivis LSM.
Sementara banyak juga jurnalis yang menjadi akademisi, peneliti, serta aktivis
organisasi massa maupun LSM. Demikian juga aktivis LSM, banyak juga yang
menjadi akademisi, peneliti, maupun bertindak sebagai jurnalis.
10
Apa yang selama ini telah dikerjakan oleh intelektual bagi perbaikan ke arah
demokrasi di Indonesia? Tak dapat dipungkiri bahwa banyak yang sudah dikerjakan,
tidak hanya di tataran nasional namun juga di tingkat lokal. Pasca pemerintahan
Soeharto, intelektual cenderung lebih banyak dan menonjol bekerja dalam isu
reformasi institusi hukum dan politik kenegaraan bagi pencapaian good governance,
baik dengan melakukan kerja-kerja pemantauan maupun advokasi kebijakan, serta
penguatan masyarakat sipil. Secara garis besar, kerja-kerja mereka dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, melakukan mempromosikan
terjadinya perubahan dan perbaikan pada bermacam kebijakan dan institusi
(institusional and policy reform) demokrasi dengan harapan dapat mempercepat
terciptanya good governance. Kedua, melakukan pemberdayaan dan penguatan
berbagai kelompok dalam masyarakat sipil untuk mengontrol dan berpartisipasi dalam
proses penyelenggaraan negara. (Cahyo Suryanto, 2002: h. 4-5).
Saat ini, nyaris tiap hari ada saja intelektual yang berkomentar, dikutip pendapatnya,
dan melakukan kritik terhadap kekuasaan negara, dalam kerangka mempromosikan
gagasan demokrasi dan good governance di berbagai media massa. Mereka juga
mempromosikan reformasi kebijakan dan institusi demokrasi serta melakukan
pemantauan dan advokasi terhadap berbagai macam isu, misalnya anti korupsi, hak
asasi manusia, keadilan jender, desentralisasi dan otonomi daerah, reformasi hukum,
institusi, serta aparat penegak hukum, Pemilu yang bebas dan jujur, dan sebagainya.
Selain membangun opini lewat media, mereka juga mengorganisasikan diri atau ikut
ke dalam suatu institusi, forum, koalisi, atau jaringan, kemudian melakukan kajian,
menyusun rekomendasi, melakukan lobi, dan advokasi. Misalnya, Koalisi LSM
(organisasi non-pemerintah, penyebutan lain untuk LSM) untuk Perubahan Konstitusi,
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Koalisi untuk Kebijakan Partisipatif, Koalisi
RUU (rancangan undang-undang) Pertahanan, dan sebagainya.
daerah mahal, mobil dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk yang tidak mencolok
mata yang menunjukkan status tinggi pemiliknya: misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di
kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, cara mengafirmasi otoritas (dalam
Haryatmoko, 2003: h. 11-12). Untuk modal ekonomi, tidak hanya terbatas kepada assets dan
finansial namun juga termasuk misalnya kemampuan untuk melakukan blokade ekonomi dan
boikot produksi (Harriss et. al, 2004: h. 28)
11
berbagai hal yang memberi peluang terjadinya penyelewengan, serta menyodorkan
alternatif-alternatif yang bisa dilakukan untuk menutup peluang tersebut.12
Apakah kerja-kerja yang mereka lakukan dapat berhasil secara efektif? Tampaknya,
sering kali efektifitas dari kerja tersebut baru pada tahap pembentukan opini publik.
Temuan-temuan hasil investigasi serta opini yang mereka sampaikan tak jarang
menjadi wacana publik yang cukup hangat. Namun yang sering kali terjadi kemudian,
tidak mendapat respon yang memadai dari para pengambil kebijakan atau pemegang
kekuasaan. Bisa juga tenggelam dengan berlalunya waktu atau adanya persoalan-
persoalan baru yang lebih hangat. Sebagian contoh, Gempita selalu kalah setiap kali
membawa temuannya ke pengadilan. Mulai dari kasus mobil Timor, penyalahgunaan
dana reboisasi, kasus BRI, hingga kasus Pertamina Balongan. Sementara, dari
sejumlah masukan yang disampaikan MTI ke pemerintah maupun DPR, hanya
gagasan tentang dibentuknya badan independen anti-korupsi yang tampaknya
ditindaklanjuti oleh pemerintah. Saat akan dibentuk, perumusan kewenangan dan
proses seleksi bagi keanggotaannya masih membutuhkan pemantauan lagi. Begitu
pula yang dialami oleh ICW. Kasus-kasus yang ditemukannya hingga kini belum ada
yang dituntaskan secara berkeadilan oleh aparat penegak hukum, mulai dari kasus
korupsi di Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dugaan suap (mantan) Jaksa
Agung M Ghalib, bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan sebagainya.13
Menurut Indro Cahyono, yang sudah lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam dunia
aktivis, ketidakefektifan ini terjadi karena lembaga-lembaga tersebut tidak muncul
dari gerakan rakyat. Apalagi tugasnya cenderung memantau saja. “Mestinya mereka
tidak hanya memantau, tetapi juga mampu menggerakkan”, tegasnya.14 Opini publik
dan wacana yang berlangsung dalam media tentu saja penting, namun sering kali
kandas ketika berhadapan dengan kepentingan kekuasaan bila tidak mampu
menggerakkan dan memperoleh dukungan massa yang riil.
12
Kompas, 4 Juni 2000.
13
Ibid.
14
Media Indonesia, 4 Oktober 2001.
15
Masyarakat sipil di sini melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir
secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat kepada
tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Ia berbeda dengan pengertian “masyarakat”
secara umum, yakni keterlibatan warga negara yang bertindak secara kolektif dalam ruang publik
untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, pilihan, dan ide-ide mereka untuk
bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan pada negara, memperbaiki
struktur dan fungsi negara, dan untuk menuntut akuntabilitas pejabat negara. Masyarakat sipil
adalah fenomena penengah, berdiri di ruang privat dan negara, serta tidak bermaksud untuk
mencapai kekuasaan atas negara atau setidaknya posisi di dalamnya. (Diamond, 2003: h. 278-279)
12
Menurut Sutoro Eko, Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE)
Yogyakarta, desentralisasi secara bertahap dan pelan telah mendorong pemerintahan
lokal yang semakin terbuka. Fenomena pergeseran dari pemerintahan birokratis ke
pemerintahan partai merupakan contoh hadirnya pemerintahan yang terbuka.
Sebelumnya, di masa pemerintahan Soeharto, kekuasaan lokal dimonopoli oleh
birokrasi dan militer, yang notabene dikendalikan dari Jakarta. (Sutoro Eko, 2004: h.
312).
Meski begitu, desentralisasi dan otonomi daerah tidak secara otomatis memberikan
akses dan kontrol masyarakat lokal yang besar atas sumber daya di daerahnya, seperti
yang diharapkan dan dibayangkan banyak pihak. Yang terjadi saat ini, desentralisasi
dan otonomi telah memberikan distribusi kekuasaan yang lebih besar kepada elit
lokal, sehingga yang cenderung tampak paling berkepentingan terhadap otonomi
daerah adalah para elit tersebut. Desentralisasi dan otonomi daerah telah
menyuguhkan kebangkitan raja-raja kecil di tingkat lokal, memindahkan korupsi dari
Jakarta ke lokal, konflik kewenangan dan sumber daya, pelipatgandaan pajak dan
retribusi daerah yang menjadi beban berat masyarakat setempat, oligarki elit yang
jauh dari sentuhan masyarakat, dan sebagainya. (Ibid. h. 313)
13
3 Kelompok atau profesi Forum Guru, Advokasi Memperjuangkan
(forum yang dilahirkan oleh Forum Petani nasib,
kelompok-kelompok khusus Tembakau Klaten, kepentingan, dan
karena kesamaan profesi) Paguyuban Kepala aspirasinya kepada
Desa, Forum pemerintah.
Komunikasi BPD,
Paguyuban
Tukang Becak,
Forum Petani,
Formasi (Forum
Masyarakat Sipil),
dll
4 Sektoral (forum yang lahir Forum Sharing, Sebagai arena
karena kepedulian terhadap Pengembangan learning, pembelajaran
sektor-sektor khusus dalam Partisipasi multi- antar-stakeholders
pembangunan atau Masyarakat, stakeholders, dan policy reform
pelayanan publik) Forum dan advokasi secara
Pengembangan berkelanjutan
Pembaruan Desa,
Forum Masyarakat
Kehutanan
Sumber: Sutoro Eko, 2004: h. 317.
Seperti yang pernah diingatkan oleh Ariel Heryanto (dalam Uhlin, 1997: h. 212-213),
strategi untuk membangun dan mengkonsolidasikan demokrasi pasca kejatuhan
pemerintahan otoriter tentunya berbeda dengan strategi untuk menjatuhkan
pemerintahan yang otoriter tersebut. Dengan mengambil contoh Filipina, menurutnya,
orang-orang awam di sana banyak yang ambil bagian dalam menggulingkan
pemerintahan otoriter Ferdinand Marcos, tetapi mereka enggan bergabung dengan
para aktivis dalam membangun dan memperkokoh demokrasi pasca Marcos. Aktivis
dapat dikatakan sebagai orang yang hidupnya berjuang demi suatu prinsip, nilai,
moralitas demokrasi, tetapi orang kebanyakan tidak. Mereka berjuang demi suatu
yang pragmatis, sesuatu yang sangat nyata. Mereka membenci pemerintahan Marcos,
tetapi ketika pemerintahan itu tumbang, berakhir pula perjuangan mereka.
14
Lantas, setelah pemerintahan Soeharto jatuh, adakah perubahan strategi yang diambil
oleh para intelektual yang berorientasi demokratis? Mengapa?
Berbeda dengan apa yang terjadi di masa Soeharto, saat ini partai-partai pemenang
Pemilu secara riil menjadi sangat berkuasa dalam menentukan berbagai kebijakan
kenegaraan. Seideal apa pun gagasan dari intelektual, namun bila tanpa dukungan
yang signifikan dari partai-partai yang berkuasa maka gagasan tersebut akan menjadi
tidak efektif. Mereka memang berwenang dan mempunyai legitimasi karena
memperoleh dukungan suara secara sah lewat Pemilu, yang kini sudah berlangsung
secara bebas dan fair. Kekuasaan mereka besar dan diperoleh berkat dipilih oleh
rakyat melalui mekanisme yang demokratis. Namun kecenderungan yang terjadi saat
ini, mereka banyak yang mengabaikan persoalan representasi. Kepentingan pribadi,
kelompok, atau elit partainya lebih diutamakan dibanding dengan kepentingan rakyat
pemilih. Yang terjadi, demokrasi tanpa representasi.
Tabel 8. Survei Kompas tentang Penilaian Publik atas Kinerja DPR Periode 1999-2004
Masa Pemerintahan
Abdurrahman Wahid Megawati Soekarnoputri
Penilaian publik Oleh sebagian besar 43,8% responden menuding
responden (70,8%), para anggota DPR mulai
wakil rakyat dinilai lebih mengedepankan urusan
memperjuangkan pribadi di atas kepentingan
kepentingan partainya rakyat. Responden lain
masing-masing daripada (42,5%) menuding anggota
menyuarakan kepentingan DPR mementingkan partai
rakyat (jajak pendapat 8-9 (jajak pendapat 30-31 Januari
Agustus 2000) 2002)
Sumber: Salomo Simanungkalit (ed.), 2002: h. 203.
Tampaknya masalah tidak hanya sekedar dalam membangun dukungan massa, namun
juga keterlibatan dalam politik formal, yang kini sangat berkuasa dalam pengambilan
keputusan atau kebijakan publik. Sementara yang berlangsung saat ini, strategi yang
ditempuh para intelektual masih cenderung menggunakan strategi lama, meng-
unggulkan konsep penguatan masyarakat sipil --untuk mendorong partisipasi serta
menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja eksekutif dan legislatif-- dan tetap
mengabaikan keterlibatan dalam sistem politik formal.
15
Dalam sebuah riset yang dilakukan dalam kurun waktu 2003-2004, DEMOS
(DEMOS, 2005: h. 47) menemukan bahwa aktor pro-demokrasi di Indonesia banyak
yang berkiprah serta memilih strategi demokrasi-langsung lewat masyarakat sipil dan
cenderung mengabaikan instrumen-instrumen demokrasi yang berkenaan dengan
politik formal dan representasi. Kondisi politik formal serta representasi politik yang
buruk, di mana elit lama maupun baru telah memonopoli dan menguasainya, oleh para
aktor pro-demokrasi bukannya diperbaiki dengan membangun kapasitas politik
mereka dan masuk ke dalamnya, namun malah dijauhi (lihat tabel 9). Mereka kurang
berusaha men-demonopoli kekuasaan para elit atas instrumen-instrumen demokrasi
yang berkenaan dengan politik formal serta representasi tersebut. Padahal dengan
penguasaan atas instrumen-instrumen tersebut memungkinkan mereka untuk secara
efektif memperbaiki instrumen-instrumen demokrasi lainnya yang masih buruk,
termasuk instrumen yang berkaitan dengan persoalan rule of law serta taraf hidup
warga negara.
Kesimpulan ini tampaknya juga relevan bagi para intelektual yang dimaksud dalam
tulisan ini karena para aktor pro-demokrasi yang dirujuk serta menjadi informan
dalam riset ini dapat dikategorikan sebagai intelektual. Mereka adalah para aktivis,
baik di tingkat nasional maupun lokal, yang reflektif, berlatar belakang aktivis LSM,
organisasi rakyat, organisasi politik pro-demokrasi, jurnalis, akademisi termasuk guru,
yang bergerak dari berbagai macam isu, seperti agraria, perburuhan, kaum miskin
kota, HAM, anti korupsi, rekonsiliasi konflik, demokratisasi pendidikan, pers dan
jurnalisme, jender, pengembangan partai, organisasi massa dengan isu yang diperluas,
dan pembangunan representasi di tingkat lokal.
16
lebih menekankan penguatan masyarakat sipil, misalnya membangun organisasi-
organisasi rakyat dan membentuk forum-forum warga untuk menjadi alternatif atau
mencoba mengontrol kinerja DPRD, daripada memperbaiki politik kepartaian dan
DPRD, dengan memperbaiki representasi politik, yang mereka nilai tidak aspiratif.
Intelektual cenderung memposisikan diri sebagai partner dan menjalankan fungsi
kontrol terhadap DPR/ DPRD dan pemerintah/ pemerintah daerah. Ilustrasi mengenai
kerja-kerja para intelektual yang cenderung lebih kepada reformasi kebijakan dan
kelembagaan, monitoring kinerja institusi hukum dan kenegaraan, serta penguatan
masyarakat sipil telah disampaikan di depan.
Kalau pun ada pemikiran dan usaha untuk memperbaiki keadaan sistem politik formal
yang buruk, yang dilakukan cenderung sekedar membuat serangkaian pelatihan bagi
peningkatan kapasitas, seperti menambah pengetahuan serta pengembangan skills,
anggota parlemen dan birokrasi pemerintahan. Padahal persoalan pokoknya bukan
pada kapasitas, namun minimnya para politisi di parlemen dan pejabat publik yang
merepresentasikan kepentingan rakyat pemilihnya. Absennya para intelektual yang
berorientasi demokratis dalam arena politik formal, membuat parlemen dan
pemerintahan tetap dikuasai oleh orang-orang yang buruk. Implikasinya, representasi
politik memburuk dan intelektual juga terpinggirkan secara politik.
Padahal persoalan representasi politik sangat perlu dan mendesak untuk diperbaiki,
karena memang perlu ada wakil-wakil terpercaya pada posisi-posisi yang menentukan
dalam pengambilan keputusan publik, yang tentu saja sekaligus dengan membangun
mekanisme agar tetap dapat dikontrol oleh para konstituennya. Di sini mereka tidak
hanya menjalankan peran sebagai substitusi partai politik --bila mereka menilai bahwa
partai politik yang saat ini ada tidak representatif--, namun yang utama adalah
berusaha masuk ke dalam sistem politik serta memperbaikinya, misalnya membangun
atau memfasilitasi munculnya partai yang representatif dengan membangun dukungan
massa yang luas. Dengan dukungan massa yang luas, dan mengubahnya menjadi
“suara”, masuk politik formal supaya tidak sekedar punya akses namun juga
menentukan dalam pembuatan keputusan publik. Jadi tidak sekedar menjalankan
fungsi kontrol atau berpartisipasi, namun juga terlibat dan menjadi pemain yang
menentukan dalam pembuatan keputusan dan kebijakan publik.
17
cenderung larut dalam dinamika partai.16 Yang dimaksud dengan strategi masuk ke
dalam politik formal dalam tulisan ini secara substansif berbeda dengan fenomena
tersebut. Masuk ke politik formal secara individual, apalagi tidak berakar, tanpa
membangun basis massa sebagai konstituennya, dan tidak mendasarkan kepada
gagasan pentingnya memajukan representasi politik, adalah langkah yang sia-sia bila
dimaksudkan untuk memajukan demokrasi.
Apakah membangun partai, ikut berkompetisi dalam Pemilu, serta berjuang di dalam
mekanisme politik parlementer itu sesuatu yang buruk atau mustahil? Di negara
tetangga, Filipina, sejumlah intelektual telah menempuh langkah tersebut dengan
mendirikan partai dan mengikuti Pemilu. Menurut Dr Joel Rocamora (Rocamora,
2003: h. 552), direktur LSM Institute for Popular Democracy (IPD), berjuang melalui
jalur politik formal itu perlu dikerjakan. Rocamora sendiri, selain direktur IPD juga
merupakan presiden dari Partai Akbayan, sebuah partai politik berbasis LSM dan
organisasi rakyat yang didirikan pada Januari 1998. Akbayan artinya aksi warga.
Partai ini mengunggulkan dan berusaha konsisten dengan prinsipnya yang humanis,
sosialistis, demokratis, pluralis, dan sensitif jender. Setidaknya tampak dari, paling
tidak, 30% pengurus partai di semua level adalah perempuan. Rocamora dkk
membangun partai ini dari nol dan mengembangkannya secara pelan-pelan. Tahun
2002 lalu, partai ini sudah mempunyai basis di 65 (enam puluh lima) provinsi dari 98
(sembilan puluh delapan) provinsi yang ada di Filipina.
16
Kompas, 18 Juli 2002.
18
Mengapa dan sejak kapan gagasan mengenai perlunya mendirikan partai politik
tersebut tumbuh? Menurut Anton Prajasto (2004: h. 90), peneliti DEMOS yang
melakukan studi terhadap Partai Akbayan ini, pada tahun 1991, di Filipina telah
disahkan Undang-Undang (UU) Pemerintah Lokal, yang mengatur mengenai
desentralisasi. UU ini memberikan kekuasaan yang besar kepada pemerintah daerah,
namun sekaligus juga memungkinkan partisipasi masyarakat sipil dalam tata
pemerintahan, seperti terlibat dalam badan-badan khusus di tingkat lokal misalnya
Dewan Pembangunan Daerah, Dewan Pendidikan, Badan Pengawas Polisi, dsb.
Meski UU ini mensyaratkan agar 25% anggota badan-badan khusus itu harus berasal
dari LSM atau organisasi massa, ternyata para pejabat pemerintah di tingkat lokal
tidak mentaati peraturan ini. Organisasi-organisasi masyarakat sipil perlu berjuang
sendiri untuk dapat terwakili. Mereka perlu berjuang dengan kalangan reformis dalam
pemerintahan. Dalam proses ini, organisasi masyarakat sipil menyadari bahwa cara
terbaik untuk terwakili adalah dengan menjadi kandidat untuk posisi-posisi di
pemerintahan lokal.
Menurut Rocamora dkk (Rocamora, op.cit. h. 553), politik merupakan instrumen yang
sangat penting. Tujuan politik yang utama adalah bagaimana membela rakyat agar
tidak dijadikan obyek Pemilu saja. LSM sudah lama diindoktrinasi agar tidak menjadi
partisan. Mereka digambarkan sebagai lembaga yang independen secara politik.
Menurut alumnus Cornell University-Amerika Serikat ini, pemahaman tersebut perlu
dikoreksi. LSM harus mempunyai keberpihakan secara politik. Hal tersebut
merupakan tantangan karena masih banyak aktivis LSM di Filipina yang berpikir non-
partisan. Selain itu, tantangan yang lain adalah berkaitan dengan dana. Sebagian dana
LSM biasanya berasal dari lembaga-lembaga sponsor asing seperti dari Amerika atau
Eropa Barat. Lembaga-lembaga itu seringkali curiga kalau LSM berpolitik. Mereka
tidak mau memberikan sponsor pada LSM yang berpolitik secara langsung dan
berkompetisi di parlemen.
19
Berdasar pengalaman Partai Akbayan (Rocamora, op.cit. h. 554), pembicaraan
mengenai perlunya LSM bekerja di dalam dan melalui sistem politik formal tetap
harus dikaitkan dengan seberapa jauh kalangan LSM berhasil membangun jaringan
pergerakan baik di kalangan mereka sendiri maupun antara mereka dengan
masyarakat. Sebelum LSM masuk ke arena politik, mereka harus punya basis di
kalangan masyarakat, setidaknya dengan membangun dan mengembangkan serikat-
serikat buruh, organisasi petani, gerakan lingkungan, gerakan perempuan, dan
sebagainya.
Mereka (Anton Prajasto, op. cit.) juga meyakini bahwa partisipasi luas dari warga
dalam politik tidak cukup diukur melalui pemilihan umum, tetapi juga melalui proses-
proses pemerintahan dan melalui partisipasi langsung di tingkat desa. Strategi yang
dipilih merupakan kombinasi gerakan sosial dengan masuk ke dalam sistem politik
formal. Sudah sekitar 36 bupati, 50 wali kota, 250 kepala kecamatan, dan 700 kepala
desa berasal atau mengikatkan diri dan menjadi representasi dari konstituen partai ini.
Jumlah ini memang belum seberapa bila dibandingkan keseluruhan wali kota di
Filipina, namun setidaknya mereka telah mulai memperbaiki representasi politik.
Salah satu yang memungkinkan prestasi tersebut adalah partai tidak sekedar menjadi
kendaraan untuk mengakumulasi kekuatan massa, namun juga meningkatkan
kapasitas para calonnya, baik untuk jabatan di eksekutif maupun legislatif, sehingga
dapat benar-benar akuntabel kepada publik dan konstituennya. Termasuk
mengembangkan pendidikan di antara mereka dan mekanisme penyusunan kebijakan
yang berbasis rakyat.
20
kurang dalam usaha membangun dan memperbaiki representasi politik, yakni: (1)
mereka cenderung masih kurang dalam membangun organisasi berbasis massa, (2)
paradigma yang dominan di kalangan mereka adalah non-partisan dan menjaga jarak
dengan kekuasaan, (3) mereka cenderung lebih suka melancarkan kritik dan desakan
lewat forum publik dan media, produksi gagasan, melakukan lobi, serta melakukan
desakan lewat demonstrasi daripada masuk politik formal.
Minimnya usaha untuk membangun representasi politik juga tidak bisa lepas dari
paradigma yang dominan dianut intelektual di Indonesia, yakni non-partisan dan
menjaga jarak dengan kekuasaan. Berbeda dengan kecenderungan intelektual di masa
pergerakan dan awal kemerdekaan hingga pra-Orde Baru, yang populer misalnya
Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, kecenderungan atau paradigma intelektual
di masa Orde Baru adalah menjaga jarak dengan kekuasaan. Intelektual yang masuk
ke dalam kekuasaan mendapat sebutan peyoratif sebagai teknokrat, bukan lagi
intelektual. Sementara LSM lebih nyaman dan bangga dengan sebutan Organisasi
Non-Pemerintah (Ornop) dari pada LSM, selain juga nyaman dan bangga dengan
bersikap non-partisan. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat di masa itu negara
sangat otoriter dan terkesan kuat sehingga tampak mustahil untuk diperbaiki dengan
masuk ke dalamnya. Yang berlangsung kemudian, paradigma negara versus
masyarakat sipil (state versus civil society) menonjol dan makin dominan di kalangan
intelektual di tahun 1990-an. Paradigma tersebut masih berpengaruh hingga sekarang,
meski situasinya sudah mengalami perubahan.
21
masyarakat sipil, namun dengan tetap menjaga jarak dengan kekuasaan dan kurang
dalam usaha perbaikan terhadap instrumen-instrumen representasi politik (lihat
misalnya dalam Sutoro Eko, 2004), yang merupakan manifestasi dari paradigma
negara versus masyarakat sipil.
Di Bengkulu, selain lewat gerakan sosial, sejumlah LSM dan organisasi rakyat di sana
juga menempuh dan mengkombinasikan dengan strategi masuk ke sistem politik
formal. Muspani, direktur Kantor Bantuan Hukum (KBH) Bengkulu, yang selama ini
bersama kawan-kawannya aktif memberikan bantuan hukum, mengorganisir rakyat,
mendidik rakyat dalam bidang pertanian dan politik, berhasil mengantongi suara
sekitar 65.000 dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada April
2004 lalu. Jumlah itu sesuai dengan jumlah anggota organisasi-organisasi rakyat yang
22
telah mencalonkan dan memberikan dukungan pada dirinya. (F Bambang Wisudo,
2004).
Meski berada pada peringkat ketiga, namun Muspani telah berhasil masuk ke
parlemen dan menjadi salah satu representasi warga Bengkulu, khususnya rakyat kecil
di sana. Keberhasilan Muspani disambut gembira oleh para aktivis, petani, nelayan,
dan pedagang yang telah menggalang dukungan tanpa dibayar. Rakyat kecil
membutuhkan corong untuk menyuarakan aspirasi mereka. Corong itu ditemukan
pada diri Muspani. Di atas kertas, bila organisasi-organisasi rakyat itu dihimpun
menjadi partai politik, partai mereka berada pada urutan kedua perolehan suara di
Provinsi Bengkulu. Mereka kini tengah mengkaji apakah kelak akan membentuk
partai politik sendiri atau bergabung dengan partai politik yang ada. Tidak
dimungkinkannya partai politik lokal di Indonesia menghalangi organisasi-organisasi
rakyat itu untuk bergabung dan mendirikan sebuah partai politik lokal. (Ibid.)
Bagi mereka, usaha merebut kepemimpinan di tingkat lokal amatlah perlu mengingat
jabatan tersebut amat strategis dan menentukan dalam pembuatan kebijakan daerah
yang berdampak langsung terhadap warganya. Menurut La Ode Ota, koordinator
KP3R yang juga direktur WALHI Sulawesi Tenggara ini, ada problem yang sangat
serius di Sulawesi Tenggara, yakni sumber daya alamnya melimpah namun
masyarakatnya miskin secara finansial dan pengetahuan untuk mengolahnya. Yang
terjadi kemudian, investor melakukan eksploitasi dan mereguk untung, yang tak
jarang berbuntut konflik dan jatuh korban di pihak masyarakat. Hal ini perlu adanya
pemecahan yang berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban.
Awalnya, KP3R mencalonkan La Ode Ota untuk menjadi anggota DPD Sulawesi
Tenggara. Dengan adanya wakil di DPD, mereka berharap usaha memperjuangkan
23
kepentingan masyarakat korban makin efektif. Ternyata dalam pemilihan anggota
DPD, Ota menduduki peringkat 12 dari 31 calon yang ada dengan jumlah perolehan
suara sekitar 25.300. Peringkat dan perolehan suara ini sebenarnya cukup spektakuler
mengingat dana yang mereka keluarkan hanya sekitar Rp 5 juta, paling kecil
dibanding calon-calon yang lain.
Di Sulawesi Tenggara ada kira-kira 1.581 desa. Bila dari 1 desa direkrut 10 orang
kader, maka dari 1581 desa akan ada 15.810 orang kader. Kader-kader tersebut bisa
berasal dari community leaders, aktivis mahasiswa, masyarakat adat, aktivis-aktivis
setempat, dan sebagainya. Mereka ini kemudian menjadi calon serta orang-orang
kunci untuk memenangkan pemilihan kepala desa di desa mereka masing-masing.
Sementara KP3R akan menjadi konsultan dan fasilitator bagi mereka.
Usaha masuk ke dalam sistem politik formal dan merebut kepemimpinan lokal di
wilayah pedesaan juga dilakukan oleh beberapa Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM) yang didampingi USC-Satunama, sebuah LSM di Yogyakarta. Menurut
Agustinus Satwoko, koordinator pendamping usaha kecil dan sektor informal USC-
Satunama, beberapa KSM dampingan mereka telah menempatkan wakil-wakilnya ke
dalam Badan Perwakilan Desa (BPD) dan kepala desa di daerah mereka masing-
masing. Misalnya Tumini dan Sumadyo dari KSM Andini Mulyo, yang menjadi
kepala desa serta ketua BPD desa Logandeng, Kecamatan Playen, Gunung Kidul
sejak 2002. Juga Sularti, dari KSM Anggrek, yang menjadi kepala desa Beji,
Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul. (Ibid.)
Penutup
Hingga saat ini tampaknya belum ada sistem lain di luar demokrasi yang terbukti
lebih baik. Seperti yang disampaikan oleh Asmara Nababan17, bila instrumen-
instrumennya kemudian dalam kondisi jelek, bukan berarti demokrasinya yang jelek.
Instrumen-instrumen tersebut yang harus diperbaiki. Saat ini masih banyak instrumen
demokrasi yang kondisinya buruk dibanding yang mulai membaik. Usaha untuk
17
Kompas, 22 Januari 2005
24
memperbaiki berbagai instrumen demokrasi sudah banyak dilakukan oleh para
intelektual, namun hasilnya belum optimal.
Menurut Nasikun (2000: h. 245), perbaikan atau transisi ke demokrasi perlu dilakukan
dan dimulai dari reformasi politik yang total, termasuk di dalamnya reformasi
birokrasi, melalui penyelenggaraan Pemilu yang benar-benar jujur, adil, bebas, dan
transparan. Artinya, ia harus dimulai dari perombakan dan pembongkaran total
struktur-struktur, institusi-institusi, dan prosedur-prosedur politik Orde Baru yang
terpusat dan otoritarian, serta menggantikan semua itu dengan pembangunan dan
pelembagaan struktur-struktur, institusi-institusi, serta prosedur-prosedur politik yang
lebih demokratis. Ia perlu dimulai dari penyelenggaraan Pemilu yang jujur, adil,
bebas, dan transparan, oleh karena hanya melalui penyelenggaraan Pemilu yang
demikian suatu pemerintahan yang “legitimate” dapat diharapkan dan kepentingan
semua kekuatan politik yang saling bersaing dapat dipertaruhkan.
Pemilu sudah dua kali berlangsung (1999 dan 2004) secara relatif bebas dan bersih.
Meski berbagai kebebasan dasar kini kondisinya sudah membaik bila dibandingkan
masa pemerintahan Soeharto, namun tampak bahwa sebagian besar instrumen
demokrasi yang lain masih dalam kondisi yang buruk. Good governance belum
berlangsung seperti yang diharapkan. Yang tidak kalah penting dan sangat strategis,
representasi politik masih amat buruk. Para elit, baik yang lama maupun baru, telah
berkuasa (kembali) lewat mekanisme demokratis, seperti lewat partai, Pemilu, dan
parlemen. Namun kekuasaan yang diperolehnya bukan untuk memperbaiki demokrasi
seperti yang diteorisasikan banyak intelektual, justru malah sebaliknya, digunakan
untuk kepentingannya sendiri, kelompok, maupun elit partainya.
Belajar dari pengalaman selama periode 1999-2004 lalu, reformasi tidak bisa
diserahkan kepada elit. Para intelektual perlu melibatkan diri. Tidak hanya di luar atau
pinggir kekuasaan, namun masuk ke dalam sistem politik formal dan bersaing untuk
memperebutkan kekuasaan demi memperbaiki representasi dan demokrasi. Tidak
sekedar menjalankan fungsi kontrol atau berpartisipasi, namun yang utama
mengkombinasikannya dengan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan publik
secara menentukan. Tentunya tanpa mengabaikan persoalan representasi politik,
membangun dukungan massa, serta mekanisme kontrol internal di kalangan mereka.
25
disalahgunakan elit oligarkhi tetapi juga karena paradigma yang dominan dan sumber
daya yang dimiliki para intelektual masih kurang mendukung. Namun, sejumlah
intelektual muda kini telah merintisnya di tingkatan lokal mereka. Bila usaha-usaha
tersebut tidak sekedar berhasil dalam menjalankan fungsi kontrol namun juga mampu
memajukan representasi politik, menjadi inspirasi dan menyebar ke daerah-daerah
lain, serta mereka dapat menjaga reputasinya: fajar baru bagi gerakan pro-demokrasi
di Indonesia? *****
Daftar Pustaka
26
16. Otto Adi Yulianto (2004), “Mari Merebut Kepemimpinan Lokal”, dalam Tempo,
edisi 13-19 Desember
17. Priyambudi Sulistiyanto (2004), “Oligarki, Kekuasaan dan Pasar di Era Pasca-
Soeharto”, Kompas, 19 Juni.
18. Rocamora, Joel (2003), “Belajar dari Pengalaman Filipina”, dalam A.E. Priyono,
et.al (2003), Jakarta: DEMOS
19. Salomo Simanungkalit (ed.) 2002, Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Jakarta:
Kompas Media Nusantara.
20. Stanley (1994), Seputar Kedung Ombo, Jakarta: ELSAM dan INFID.
21. Sutoro Eko (2004), “Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal” dalam
Analisis CSIS vol 33 No. 3 September
22. Uhlin, Anders (1998), Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi Gelombang
Ketiga di Indonesia, Bandung: Mizan
23. Vedi R. Hadiz (2003), “Menimbang Gagasan ‘Transisi Demokrasi’ di Indonesia”,
dalam A.E. Priyono, et.al (2003), Jakarta: DEMOS
24. Kompas, 4 Juni 2000.
25. Kompas, 20 September 2001.
26. Kompas, 18 Juli 2002.
27. Kompas, 13 Januari 2003.
28. Kompas, 22 Januari 2003.
29. Kompas, 31 Januari 2004.
30. Kompas, 22 Januari 2005.
31. Media Indonesia, 4 Oktober 2001.
32. Media Kerja Budaya edisi 09 tahun 2002
33. http://www.kunci.or.id/misc/a_subaltern.htm
27