Disusun oleh:
2019
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr wb
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat kepada kita semua sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Gangguan Psikologis : Mood dan Bunuh Diri.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai sumber
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dalam segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Gangguan Psikologis: Mood dan
Bunuh Diri. dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mood disorder merupakan hal yang umum dan lazim (gangguan ini terbanyak ditemukan
baik dipelayanan kesehatan mental maupun dalam praktek dokter medis umum).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa, diperkirakan
9-26% wanita dan 5-21% pria pernah mengalami depresi yang gawat di dalam kehidupan
mereka. Hampir 2/3 individu yang mengalami depresi memikirkan untuk bunuh diri dan
hanya 10-15% yang melakukan percobaan bunuh diri. Mereka yang di bawa ke rumah
sakit karena percobaan bunuh diri akan lebih berhasil bunuh diri daripada mereka yang
belum dirawat di rumah sakit. Hampir semua pasien (97%) mengeluh bahwa mereka
kekurangan energi, sukar menyelesaikan tugas mereka, prestasi belajar menurun, prestasi
pekerjaan menurun, kurang motivasi untuk menerima tugas atau proyek baru. Sekitar
80% pasien depresi mengeluh tentang kesulitan tidur, terutama suka terbangun dini hari
atau sering terbangun di malam hari, ketika mereka sedang merenungkan tentang masalah
mereka. Banyak pasien depresi kehilangan nafsu makan dan kehilangan berat badan,
tetapi ada juga yang mengalami penambahan nafsu makan dan kenaikan berat badan,
juga tidur lebih lama dari biasanya. Namun, banyak individu yang tidak menyadari
bahwa mereka menderita depresi dan apa yang dilakukan untuk mengobati gangguan
tersebut. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan menjelaskan mengenai gangguan
suasana hati yang terdiri dari gangguan depresi (unipolar) dan gangguan bipolar.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu gangguan mood;
2. Apa saja macam-macam gangguan mood dan ciri-cirinya;
3. Bagaimana perspektif/persepsi teoritis tentang gangguan mood;
4. Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan gangguan mood;
5. Bagaimana terapi untuk gangguan mood;
6. Apa itu kehilangan yang dapat menyebabkan bunuh diri;
7. Penjelasan tentang bunuh diri;
C. Tujuan
Tujuannya membuat makalah ini adalah agar dapat memberikan pengetahuan yang belum
didapatkan oleh pembaca atau teman-teman. Selain itu, kami mengharapkan agar
pembaca atau teman-teman dapat mengetahui tentang mood disorders, dan mengapa ia
termasuk kedalam kategori psikologi abnormal. Di sini, kami menjelaskan tentang
apakah itu gangguan mood, tipe-tipe gangguan mood, bunuh diri, dan lainnya.
Selain itu, kami mengharapkan agar pembaca atau teman-teman dapat menambah
wawasan, dan dapat mengerti tentang gangguan mood ini. Di makalah ini kami mengupas
semua tentang gangguan mood dan kami ringkas untuk mempermudah pembaca atau
teman-teman yang membaca.
1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Gangguan Mood
1. Definisi Gangguan Mood Menurut Ahli
Dalam hidup semua manusia memiliki perasaan yang berbeda-beda dalam setiap
harinya. Perasaan itu terkadang sedih, senang, marah, dan lain sebagainya yang
biasanya berlangsung sementara. Perasaan tersebut sering disebut dengan mood.
Mood merupakan perpanjangan dari emosi yang berlangsung selama beberapa waktu,
kadang-kadang beberapa jam, beberapa hari, atau bahkan, dalam beberapa kasus
depresi beberapa bulan. Mood yang dialami dalam kehidupan manusia ini sedikit
banyak akan berpengaruh kuat terhadap cara mereka dalam berinteraksi (Meier, 2000:
8-9).
Mood adalah kondisi perasaan yang terus ada dan mewarnai kehidupan psikologis
kita. Perasaan sedih atau depresi bukanlah yang abnormal dalam konteks peristiwa
atau situasi yang penuh tekanan. Namun, orang dengan gangguan mood atau yang
sering dikenali sebagai gangguan perasaan biasanya terlarut dalam suasana
perasaannya dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga mengganggu
kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi tanggung jawab secara normal.
Mereka yang mengalami gangguan mood ini akan mengalami perubahan mood yang
ekstrem, bagaikan roller coaster emosional dengan ketinggian yang membuat pusing
dan turunan yang bukan kepalang ketika dunia disekitarnya tetap stabil (Nevid, 2003:
229).
Pada diri manusia mood ini datang dan pergi, dan ketika itu terjadi biasanya kita
dapat mengatasinya dan kembali normal. Namun, kenyataannya tidak semudah itu
umumnya gangguan mood ini terjadi pada semua usia, ekspresi gangguan mood pada
anak-anak bervariasi tergantung pada usia mereka.
Mood pada seorang anak lebih rentan terhadap pengaruh stressor social yang parah
seperti percekcokan keluarga yang kronis, penyiksaan dan penelantaran serta
kegagalan akademik (Kaplan, dkk, 1997:809-810).
Ganggguan mood yang terjadi pada seseorang ini umumnya terjadi karena banyaknya
tekanan yang menimpa dirinya dan cenderung terlarut dalam tekanan dapat
meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood yang kemudian dapat berubah
menjadi depresi terutama depresi mayor. Hal ini terbukti pada suatu penelitian yang
menemukan bahwa dalam sekitar empat dari lima kasus, depresi mayor diawali oleh
peristiwa kehidupan yang penuh tekanan. Orang juga lebih cenderung untuk menjadi
depresi bila mereka menanggung sendiri tanggung jawab dari peristiwa yang tidak
diinginkan (Nevid, 2003: 240).
Depresi berat yang terjadi dalam jangka waktu yang lama ataupun orang yang berada
di bawah tekanan stress yang berat dan tidak memiliki pertimbangan yang baik, maka
orang tersebut lebih memilih untuk bunuh diri (Nevid, 2003: 262).
2
Dari beberapa pengertian diatas disimpulkan bahwa gangguan mood ini merupakan
suatu gejala yang menyebabkan perubahan suasana perasaan pada seseorang secara
ekstreem dan membuat penderitanya terlarut dalam suasana perasaannya dalam
jangka waktu yang cukup lama sehingga mengganggu kemampuan mereka untuk
berfungsi dalam memenuhi tanggung jawab secara normal.
3
sesuatu yang penting dalam kehidupan si penderita (Meier, 2000: 20-21).
Orang dengan depresi ringan ini setidaknya memiliki 2 dari gejala lainnya
dan 2-3 dari gejala utama. (Maslim, 2003, 64).
Depresi sedang
Depresi sedang ini di alami oleh penderita selama kurang 2 minggu, dan
orang dengan depresi sedang ini mengalami kesulitan nyata untuk
meneruskan kegiatan social, pekerjaan dan urusan rumah tangga. Orang
dengan depresi sedang ini setidaknya memiliki 2-3 dari gejala utama dan
3-4 dari gejala lainnya (Maslim, 2003: 64)
Depresi mayor
Depresi mayor merupakan salah satu gangguan yang prevalensinya paling
tinggi di antara berbagai gangguan (Davidson, 2006: 374). Depresi mayor
adalah kemurungan yang dalam dan menyebar luas. Perasaan murung ini
mampu menyedot semangat dan energy serta menyelubungi kehidupan si
penderita seperti asap yang tebal dan menyesakkan dada. Depresi mayor
ini dapat berlangsung cukup lama mulai dari empat belas hari sampai
beberapa tahun. Hal ini menyebabkan penderita akan sangat sulit untuk
berfungsi dengan baik di lingkungannya. Orang dengan depresi mayor ini
juga terkadang disertai dengan keinginan untuk bunuh diri atau bahkan
keinginan untuk mati. Orang yang sangat tertekan, mereka akan
mengalami dampak hal-hal yang mengganggu kejiwaan mereka seperti
gila, paranoid atau halusinasi pendengaran (Meier, 2000: 25-26).
Ciri-ciri Depresi Mayor:
1) Mood yang depresi hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari.
Dapat berupa mood yang mudah tersinggung pada anak-anak atau
remaja.
2) Penurunan kesenangan atau minat secara drastis dalam semua atau
hampir semua aktivitas, hampir setiap hari, hampir sepanjang hari.
3) Suatu kehilangan atau pertambahan berat badan yang siginifikan (5%
lebih dari berat tubuh dalam sebulan), tanpa ada upaya apapun untuk
berdiet, atau suatu peningkatan atau penurunan dalam selera makan.
4) Setiap hari (atau hampir setiap hari) mengalami insomnia atau
hipersomnia (tidur berlebihan).
5) Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respons gerakan hampir
setiap hari.
6) Perasaan lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7) Perasaan tidak berharga atau salah tempat ataupun rasa bersalah yang
berlebihan atau tidak tepat hampir tiap hari.
8) Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih
atau untuk membuat keputusan hampir setiap hari.
4
9) Pikiran yang muncul berulang tentang kematian atau bunuh diri tanpa
suatu rencana yang spesifik, atau munculnya suatu percobaan bunuh
diri atau rencana yang spesifik untuk melakukan bunuh diri.
Gangguan distimik atau distimia
Gangguan distimik ini merupakan gangguan mood yang berpola depresi
ringan (tetapi nungkin saja menjadi mood yang menyulitkan pada anak-
anak atau remaja) yang terjadi dalam suatu rentang waktu—pada orang
dewasa, biasanya dalam beberapa tahun (Nevid, 2003: 229). Gangguan
distimik pada anak-anak dan remaja terdiri dari mood yang terdepresi atau
mudah tersinggung untuk sebagaian besar hari, lebih banyak hari
dibandingkan tidak, selama periode sekurangnya satu tahun. Pada anak-
anak dan remaja, mood yang mudah tersinggung dapat menggantikan
kriteria mood terdepresi untuk orang dewasa dan bahwa criteria durasi
adalah bukan dua tahun tetapi satu tahun utnuk anak-anak dan remaja
(Kaplan, dkk, 1997: 813). Ada beberapa gejala atau cirri yang dapat
ditandai saat gejala ini muncul, yaitu :
1) Kehilangan nafsu makan atau justru makan berlebihan,
2) Sulit tidur atau kebanyakan tidur (sulit bangun),
3) Tingkat energy rendah atau mudah lelah,
4) Citra diri yang rendah,
5) Daya konsentrasi yang rendah atau sulit mengambil keputusan,
6) Perasaan putus asa.
Penderita gangguan ini setidaknya mengalami gejala-gejala diatas paling
lama 2 bulan sekali. Pada gangguan ini tidak terjadi depresi mayor selama
dua tahun terakhir, tidak pernah menderita akibat perubahan naik turun
antara periode kegairahan yang membumbung tinggi dan depresi yang
melankolis. Gangguan distimia ini tidak disebabkan oleh penyalahgunaaan
obat atau bahan kimiawi. Namun, gejala ini mengakibatkan kerusakan
klinis yang signifikan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau area-area
penting lain dalam kehidupan si penderita (Meier, 2000: 22).
2. Gangguan Bipolar
Gangguan bipolar adalah gangguan mental berat, tanpa memandang apakah ada
perubahan mental antara mania dan depresi secara full brown. Gangguan bipolar
merupakan suatu psikosis afektif, ada gangguan emosi, baik akibat kebiasaan maupun
menyembunyikan kecemasan dan perasaan malu. Pada fase depresi, pendiam,
mendendam perasaan, emosional sensitive. Pada fase mania perilakunya sangat
berlawanan, sangat ekstrover. Pada beberapa kasus keadaaan ini mengandung unsur
fanatic dan religious (Jacoby, 2009: 27).
Gangguan bipolar ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu gangguan bipolar I dan
gangguan bipolar II. Gangguan bipolar I terjadi pada seseorang yang mengalami
setidaknya satu episode manic secara penuh. Di mana seseorang mengalami
5
perubahan mood antara rasa girang dan depresi dengan diselingi periode antara
berupa mood yang normal. Sedangkan, gangguan bipolar II diasosiasikan dengan
suatu bentuk maniak yang lebih ringan. Pada gangguan bipolar II ini seseorang
mengalami satu atau lebih episode-episode depresi mayor dan paling tidak satu
episode hipomanik (Nevid, 2003: 237).
a. Episode manic
Periode ini biasanya muncul secara tiba-tiba, mengumpulkan kekuatan dalam
beberapa hari. Selama satu episode manic orang tersebut mengalami elevasi atau
ekspansi mood yang tiba-tiba dan merasakan kegembiraan, euphoria, atau
optimism yang tidak biasa. Orang yang mengalami episode manic ini akan
memperolok orang lain dengan memberikan lelucon yang keterlaluan atau bahkan
cenderung memperlihatkan penilaian yang buruk dan menjadi argumentative, dan
terkadang bertindak afektif. Tak hanya itu orang yang mengalami episode manic
ini umumnya mengalami self - esteem yang meningkat, mulai berkisar dari self -
confidance yang ekstreem hingga delusi total akan kebesaran diri sendiri (Nevid,
2003: 237-238).
Dalam episode manic terdapat kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat
disertai dengan peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan
mental dalam berbagai derajat keparahan. Dalam episode manic terdapat tipe
hipomania dimana pada gangguan ini derajat gangguan yang lebih ringan dari
mania. Tipe hipomania ini dapat ditandai dengan adanya afek yang meninggi atau
berubah disertai dengan aktivitas, menetap selama sekurang-kurangnya beberapa
hari berturut-turut, dan tidak disertai halusinasi atau waham.
b. Gangguan Siklotimik
Gangguan siklotimik ini berasal dari kata Yunani kyklos “lingkaran” dan thymos
“spirit”. Jadi dapat diartikan bahwa siklotimik ini merupakan spirit yang bergerak
secara berputar di mana dapat diartikan sebagai suatu deskripsi yang tepat dari
siklotimik karena gangguan ini melibatkan suatu pola melingkar yang kronis dari
gangguan mood yang ditandai oleh perubahan mood ringan paling tidak selama 2
tahun (1 tahun untuk anak-anak dan remaja) (Nevid, 2003: 239). Pada gangguan
siklotimik anak dan remaja diperlukan periode satu tahun adanya sejumlah
pergeseran mood. Dan pada beberapa remaja siklotimik dapat memungkinkan
untuk menjadi gangguan bipolar 1 (Kaplan, dkk, 1997: 814).
Pada penderita gangguan siklotimik, penderita mengalami pergantian suasana
perasaan senang dan depresi yang bersifat kronis yang tidak sampai pada tingkat
keparahan seperti episode manic atau depresi berat. Pada para gangguan
siklomatik cenderung berada di salah satu keadaan suasana perasaan selama
bertahun-tahun dengan relative sedikit periode suasana netral (eutimia). Penderita
gangguan siklomatik ini secara berganti-ganti akan mengalami gejala-gejala
keadaan depresi ringan dan umumnya disebut sebagai moody (Durand, 2006: 282)
6
C. Prespektif Teoritis Tentang Gangguan Mood
1. Stres dan Gangguan Mood
Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai,
putusnya hubungan romatis, lamanya hidup menganggur, sakit fisik, masalah dalam
pernikahan dan hubungan, kesulitan ekonomi, tekanan dipekerjaan, atau rasisme dan
diskriminasi meningkatkan risiko berkembangnya gangguan mood atau kambuhnya
sebuah gangguan mood, terutama depresi mayor (Greenberger dkk., 2000; Kendler,
thornton, & Gardner, 2000; Monroe dkk., 2001). Kejadian traumatis yang penuh
dengan tekanan dapat memainkan peran penting dalam siklus gangguan bipolar,
meski mungkin tidak dalam onset gangguan tersebut (Hammen & Gitlin, 1997;
miklowitz & Alloy, 1999).
Meski stres sering berimplikasi pada depresi, tidak semua orang yang mengalami
stres menjadi depresi. Faktor-faktor seperti keterampilan coping, bawaan genetis, dan
ketersedianan dukungan sosial memberikan kontribusi pada kecenderungan depresi
saat menghadapi kejadian yang penuh tekanan (USDHHS, 1999a). Pengembangan
depresi juga dapat dipengaruhi oleh penyiksaan atau trauma dimasa lalu.
Konsisten dengan model diatesis stres, penelitian menemukan bahwa wanita muda
lebih cenderung untuk mengembangkan depresi saat menghadapi kejadian hidup yang
penuh tekanan bila mereka memiliki diatesis dalam bentuk pemaparan terhadap
kemalangan di masa kecil seperti kekerasan dalam keluarga ataupun gangguan mental
atau alkoholisme orang tua (Hammen, Henry, & Daley, 2000).
2. Teori Psikodinamika
Teori psikodinamika klasik mengenai depresi dari Freud (1917/1957) dan para
pengikutnya (misalnya, Abraham, 1916/1948) meyakini bahwa depresi mewakili
kemarahan yang diarahkan ke dalam diri sendiri dan bukan terhadap orang-orang
yang dikasihi. Rasa marah dapat diarahkan kepada self setelah mengalami kehilangan
yang sebenarnya atau ancaman dari orang-orang yang dianggap penting ini.
Freud mempercayai bahwa berduka (mourning), atau rasa berkabung yang normal,
adalah proses yang sehat karena dengan berduka seseorang akhirnya dapat
melepaskan dirinya sendiri secara psikologis dari seseorang yang hilang karena
kematian, perceraian, atau alasan lainnya. Namun, rasa duka yang patologis tidak
mendukung perpisahan yang sehat. Malahan, hal ini akan memupuk depresi yang tak
berkesudahan.
Rasa duka yang patologis cenderung terjadi pada orang yang memiliki perasaan
ambivalen yang kuat, merupakan suatu kombinasi dari perasaan positif (cinta) dan
negatif (marah, permusuhan), terhadap orang yang telah pergi atau ditakutkan
kepergiannya. Untuk mempertahankan hubungan psikologis dengan objek yang
hilang, mereka mengintrojeksikan, atau membawa ke dalam, suatu representasi
mental dari objek itu. Mereka kemudian menyatukan ornag lain tersebut ke dalam
self.
7
Menurut teori psikodinamika, gangguan bipolar mewakili dominasi yang berubah-
ubah dari kepribadian individu antara ego dan superego. Dalam fase depresi,
superego adalah dominan, memproduksi kesadaran yang berlebih atas kesalahan-
kesalahan dan membanjiri individu dengan bersalah dan ketidakberhargaan. Setelah
beberapa waktu, ego muncul kembali dan mengambil alih supremasi, memproduksi
perasaan girang dan self - confidence yang menandai fase manik. Ekshibisi ego yang
berlebian nantinya akan memicu kembalinya rasa bersalah, sekali lagi
menenggelamkan individu ke dalam depresi.
Model psikodinamika berfokus pada isu-isu yang berhubungan dengan perasaan
individual akan self - worth atau self - esteem. Suatu model, yang disebut model self -
focusing, mempertimbangkan bagaimana orang mengalokasikan proses atensi mereka
setelah suatu kehilangan (Pyszczynski & Greenberg, 1987). Menurut model ini, orang
yang mudah terkena depresi mengalami suatu periode self - examination (self -
focusing) yang intens setelah terjadinya suatu kehilangan atau kekecewaan yang
besar.
3. Teori Humanistik
Menurut teori humanistik, orang yang menjadi depresi saat tidak dapat mengisi
keberadaan mereka dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan autentik
yang menghasilkan self - fulfillment. Teoritikus humanistik juga berfokus pada
kehilangan self-esteem yang dapat muncul pada orang kehilangan teman atau anggota
keluarga, ataupun mengalami kemunduran atau kehilangan dalam pekerjaan (Nevid,
2003: 240-243).
4. Teori Belajar
a. Reinforcement dan Depresi, Teoritikus belajar Peter Lewinsohn (1974)
menyatakan bahwa depresi dihasilkan dari ketidakseimbangan antara output
perilaku dan input reinforcement yang berasal dari lingkungan. Kurangnya
reinforcement untuk usaha seseorang dapat menurunkan motivasi dan
menyebabkan perasaan depresi.
b. Teori interaksi, interaksi antara orang yang depresi dengan orang lain dapat
menjelaskan pengurangan oleh psikolog James Coyne (1976), menyatakan bahwa
penyesuaian pada kehidupan bersama dengan orang yang depresi sangat menekan
hingga semakin lama reinforcement yang diberikan pasangan atau anggota
keluarga kepada orang yang depresi tersebut menjadi semakin berkurang.
5. Teori Kognitif
Teori kognitif dari Aaron Beck menghubungkan pengembangan depresi dengan
adopsi dari cara berpikir yang bias atau terdistorsi secara negatif diawal kehidupan
merupakan segi tiga dari depresi (cognitive triad of depression) sebagai berikut:
(Beck, 1976; Beck dkk., 1979).
a. Pandangan negatif tentang diri sendiri; memandang diri sendiri sebagai tidak
berharga, penuh kekurangan, tidak adekuat, tidak dapat dicintai, dan sebagai
kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan.
8
b. Pandangan negatif tentang lingkungan; memandang lingkungan sebagai
memaksakan tuntutan yang berlebihan dan/atau memberikan hambatan yang tidak
mungkin diatasi, yang terus-menerus menyebabkan kegagalan dan kehilangan.
c. Pandangan negatif tentang masa depan; memandang masa depan sebagai tidak
ada harapan dan meyakini bahwa dirinya tidak punya kekuatan untuk mengubah
hal-hal menjadi lebih baik. Harapan orang ini terhadap masa depan hanyalah
kegagalan dan kesedihan yang berlanjut serta kesulitan yang tidak pernah usai.
b. Learned Helplessness
Learned helplessness merupakan kedaan diri yang selalu membuat atribusi bahwa
mereka tidak memiliki kontrol atas stress dalam kehidupannya (baik sesuai
kenyataan maupun tidak).
c. Negative Cognitive Styles
Negative cognitive styles adalah kesalahan berfikir yang difokuskan secara
negative pada tiga hal, yaitu dirinya sendiri, lingkungan terdekatnya, dan masa
10
depannya. Di mana menurut Beck, penderita depresi memandang yang terburuk
dari segala hal. Bagi mereka, kemunduran terkecil sekalipun merupakan bencana
besar.
3. Faktor Sosial dan Kultural
Sejumlah faktor sosial kultural memberikan kontribusi pada onset atau bertahannya
deperesi. Faktor yang paling menonjol antara lain adalah hubungan perkawinan,
gender, dan dukungan sosial.
a. Hubungan Perkawinan
Maksudnya adalah hubungan perkawinan yang tidak memuaskan yang bisa
menyebabkan individu bisa mengalami gangguan perasaan seperti depresi.
b. Perbedaan Gender
Menurut Cyranowski, dkk (2000) Sumber perbedaan ini bersifat kultual, karena
peran jenis yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan di masyarakat. Di mana
laki-laki sangat di dorong mandiri, masterful, dan asertif, sedangkan perempuan
sebaliknya diharapkan lebih pasif, lebih sensitive terhadap orang lain, dan
mungkin lebih banyak bergantung pada orang lain.
c. Dukungan Sosial
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Johnson, Winett, dkk (1999)
tentang efek-efek dukungan sosial dalam kesembuhan yang pesat dari episode
manic maupun depresif pada pasien gangguan bipolar, mereka menemukan hasil
yang mengejutkan bahwa, jaringan pertemanan, dan keluarga yang suportif secara
sosial membantu terjadinya kesembuhan cepat dari episode depresif, tetapi tidak
pada episode manic. Dari hasil penelitian ini dan juga studi-studi prospektif yang
dilakukan menguatkan tentang pentingnya dukungan social dalam memprediksi
onset atau gejala-gejala depresi yang muncul kemudian (Durand, 2006: 303-308).
11
SSRIs ini secara spesifik memblokir reuptake serotonin pra-sinaptik. Dan secara
temporer menaikkan level serotonin dibagian reseptornya.
d. Lithium
Lithium ini merupakan garam yang dapat ditemukan dalam kandungan air minum
yang kadar jumlahnya sangat kecil hingga tidak memberikan efek apapun.
Lithium sendiri memiliki sebuah keunggulan yang membedakannya dari
antidepresan lainnya. Karena, substansinya lebih sering efektif untuk mencegah
dan menangani episode-episode manic.
2. Terapi Kognitif-Behavioral
Dalam proses terapi ini klien diajarkan untuk menelaah secara cermat cara berfikir
mereka saat mereka depresi dan untuk menengarai kesalahan-kesalahan “depresif”
dalam berpikir. Tak hanya itu, klien juga diajarkan bahwa kesalahan dalam berfikir
dapat menyebabkan depresi secara langsung. Dan penanganannya melibatkan
tindakan mengkoreksi kesalahan-kesalahan berpikir dan menggantinya dengan
pemikiran dan penilaian yang kurang menyebabkan depresi dan (mungkin) lebih
relistis.
3. Psikoterapi Interpersonal (IPT / Interpersonal Psychotheraphy )
IPT atau Psikoterapi Interpersonal ini memfokuskan pada penyelesaian berbagai
masalah dalam hubungan yang sudah ada dan belajar membangun hubungan-
hubungan interpersonal yang penting dan baru. Dalam proses IPT ini sangat
terstruktur. Pada proses awal terapis harus mengidentifikasi berbagai stressor yang
mungkin mencetuskan depresi. Setelah itu, terapis mengklasifikasikan dan
mendefinisikan sebuah perselisihan interpersonal. Setelah itu, mencari
penyelesaiannya dengan:
a. Tahap negosiasi
b. Tahap jalan buntu
c. Tahap resolusi
4. ECT (Elektrokonvulsif dan Simulasi Magnetik Transkranial/ TMS)
ECT adalah penangan yang cukup aman dan efektif untuk depresi berat yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan penanganan bentuk lain. ECT merupakan bentuk
penanganan yang dalam pengadministrasiannya pasien diberi anestsesi/obat bius
untuk mengurangi perasaan tidak nyaman dan diberikan obat perelaks otot untuk
mencegah kerusakan tulang akibat konvulsi selama sizure (kejang-kejang). Kemudian
listrik diadministrasikan secara langsung melalui otak selama kurang dari satu detik.
Bentuk penanganan ECT ini terbukti untuk menaikkan level serotonin, memblokir
hormon-hormon stress dan membantu terjadinya neurogenesis dalam hipokampus.
Sedangkan TMS (Transcrantial Magnetic Simulation) bekerja dengan cara
menempatkan sebuah gulungan magnetic diatas kepala untuk membangkitkan denyut
elektromagnetik yang dialokasikan dengan tepat. Dalam penanganan ini anastesi tidak
dibutuhkan karena, efek sampingnya biasanya terbatas dalam bentuk sakit kepala.
12
TMS dan ECT ini sama-sama efektif untuk pasien-pasien dengan depresi berat atau
depresi psikotik yang resisten dengan penanganan (belum menunjukkan respons
terhadap obat atau penanganan psikologis) (Durand, 2006: 311-318).
F. Kehilangan
Kehilangan adalah keadaan duka cita yang berhubungan dengan kematian seseorang yang
dicintai yang dapat ditemukan dengan gejala yang karakteristik dari episode depresif
berat. Orang dengan kehilangan ini umumnya dapat dikenali dari gejala-gejala berikut:
1. Perasaan sedih,
2. Insomnia,
3. Menghilangnya nafsu makan,
4. Dan di beberapa kasus terjadi penurunan berat badan.
Dan jika pada anak-anak umumnya mereka lebih menarik diri dan terlihat sedih; dan
mereka tidak mudah ditarik meskipun aktivitas itu merupakan aktivitas yang mereka
sukai (Kaplan, dkk, 1997: 815).
G. Bunuh Diri
1. Pengertian Bunuh Diri
Bunuh diri adalah salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Gagasan
bunuh diri mungkin juga muncul pada orang yang tidak mengalami gangguan mental
saat mereka berada dalam keadaan depresi atau mengalami penyakit fisik. Perilaku
bunuh diri bukanlah suatu gangguan psikologis, tetapi sering merupakan ciri atau
symptom dari gangguan psikologis yang mendasarinya, dan biasanya adalah
gangguan mood yang menjadi alasan dibalik perilaku percobaan bunuh diri. Orang
yang mempertimbangkan untuk bunuh diri pada saat stress kemungkinan kurang
memiliki keterampilan memecahkan masalah dan kurang dapat menemukan cara-cara
alternatif untuk coping dengan stressor yang mereka hadapi. Dalam kaitannya, bunuh
diri ini terkait dengan suatu jaringan yang kompleks dari beberapa faktor. Namun,
jelas bahwa kebanyakan kasus bunuh diri ini dapat dicegah bila orang dengan
perasaan ingin bunuh diri menerima penanganan untuk gangguan yang mendasari
perilaku bunuh diri, termasuk didalamnya adalah depresi, skizofrenia, serta
penyalahgunaan alkohol dan zat adiktif lainnya (Nevid, 2003: 262-266).
16
Meski perubahan dalam mood sebagai respons dari naik dan turunnya kehidupan sehari-
hari cukup normal, perubahan mood yang persisten atau parah, atau siklus kegirangan dan
depresi yang ekstrem, dapat menjadi petunjuk adanya suatu gangguan mood.
Kabar duka tentang kematian Jonghyun SHINee tidak hanya melanda SM Entertainment, agensi
yang menaunginya dan dunia hiburan Korea melainkan juga pecinta KPop di seluruh dunia.
Terlihat baik-baik saja, ternyata Jonghyun mengalami permasalahan yang membuatnya memilih
untuk mengakhiri hidupnya.
Jonghyun meninggal dalam sebuah kasus bunuh diri di Seoul selatan pada Senin (18/12/2017)
sore. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit namun nyawanya tidak dapat diselamatkan. Beberapa
jam sebelum ditemukan tidak sadarkan diri, penyanyi tersebut mengirim pesan teks yang
terkesan tidak menyenangkan kepada adiknya. Pesannya berbunyi: "Tolong biarkan saya pergi.
Katakan bahwa saya melakukannya dengan baik" dan "Perpisahan terakhir."
17
Dispatch, sebuah media ternama Korea berhasil memperoleh pesan terakhir Jonghyun yang
dikirimkannya pada teman dekatnya bernama Nine9 yang juga merupakan anggota grup Dear
Clouds.
Nine9 dan Jonghyun sudah berteman selama 5 tahun, keduanya sering bertukar pesan tentang
keprihatinan Jonghyun. Pada tanggal 18 Desember 2017 media Dispatch bertemu dengan Nine9.
Nine9 kemudian menceritakan percakapan terakhir kalinya dengan Jonghyun. Isi percakapan
Jonghyun dan Nine9 berisi tentang permasalahan yang dihadapi Jonghyun. Dilansir dari Allkpop,
dalam percakapan tersebut ada 3 hal yang menyebabkan Jonghyun untuk memilih untuk bunuh
diri.
1. Sudah lama Jonghyun menderita depresi.
Jonghyun dan Nine9 bertemu terakhir kali pada tanggal 1 Desember 2017. Dalam situasi
tersebut Jonghyun bertanya kepada Nine9, apakah akan lebih baik jika saya bertahan?
Tanya Jonghyun padanya. Nine9 kemudian menyarankan Jonghyun pergi ke rumah sakit
untuk menerima perawatan. Jonghyun hanya menggelengkan kepada dan mengatakan
pada Nine9 bahwa dirinya sudah lama mendapat perawatan tapi tidak membaik.
2. Jonghyun terlalu khawatir dengan musiknya.
Nine9 mengatakan bahwa Jonghyun tidak memiki masalah dengan orangtua ataupun
saudaranya karena Jonghyun dan keluarganya mempunyai hubungan yang baik. Masalah
yang dikhawatirkan Jonghyun hanyalah musik. Dalam pertemuan terakhir kali dengan
Jonghyun pada tanggal 1 Desember 2017, Jonghyun sudah menyinggung tentang
kematian pada Nine9.
3. Jonghyun selalu merasa tidak berbakat.
Nine9, teman Jonghyun mengatakan bahwa Jonghyun selalu merasa dirinya tidak
memenuhi harapan. Jonghyun ingin berbuat lebih baik tapi Jonghyun merasa tidak
memiliki talenta. Ia mengungkapkan, meskipun Jonghyun memiliki banyak teman, tapi
Jonghyun selalu membuka diri padanya. Jonghyun tidak bisa tidur tanpa minum obat
tidur. Jonghyun sering tertidur saat keduanya berbicara melalui telepon sepanjang malam.
Dari kejadian ini kita semestinya semakin sadar bahwa depresi bisa menyerang siapa saja dan
dampaknya sangat berbahaya. Jangan pernah anggap sepele siapa pun yang sedang merasa sedih
atau terpuruk.
DAFTAR PUSTAKA
Davidson, Gerald C., Neale, John M., danKring, Ann M. 2006, Psikologi Abnormal, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Durand, V. Mark., Barlow, David H, 2006, Psikologi Abnormal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kaplan, Harold L., Sadock Benjamin J., Grebb, Jack A, 1997, Sinopsis Psikiatri Jilid 2, Jakarta:
Binarupa Aksara
Maslim, Rusdi, 2003, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa FK-Unika Atmajaya
Meier, Paul., Arterburn, Stephen., Minirith, Franic, 2000, Mengendalikan Mood Anda,
18
Yogyakarta: Yayasan Andi
Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., dan Greene Beverly. 2003, Psikologi Abnormal, Jakarta:
Erlangga
Aswati, Arifina. 2017. Terungkap, Inilah 3 Hal Penyebab Jonghyun SHINee Bunuh Diri.
http://idntimes.com. (10 Mei 2019)
19