Dosen Pengampu :
Kurniawan Erman W., S.Kep., Ners., M.Kep.
Disusun Oleh :
Untuk sikap sosial pada lansia yakni dapat bertukar pikiran dan bercerita
merupakan salah satu upaya yang dapat diakukan perawat dalam melakukan
pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama sejawat dapat
meningkatkan rasa sosial pada lansia. Pendekatan sosial ini merupakan pegangan
bagi perawat bahwa lansia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain.
Dalam pelaksanaannya, perawat dapat menciptakan hubungan sosial yang baik
dengan lansia. Perawat memberi kesempatan seluas-luasnya kepada lansia untuk
mengadakan komunikasi dengan keuarga, teman dekat dan bila perlu melakukan
rekreasi. Lansia perlu dimotivasi untuk membaca surat kabar dan majalah secukupnya
agar kemampuan lansia dapat terjaga dengan baik dan tidak memikirkan hal yang tidak
penting.
Dan, K., Lansia, K., & Lestari, M. D. (2017). Persahabatan : Makna Dan Kontribusinya Bagi.
4(1), 59–82.
Miko, A. (2012). Isu-Isu , Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia. Sosiologi Andalas, XII(2), 43–
58.
Pambudi, W. E., Dewi, E. I., & Sulistyorini, L. (2017). Pengaruh terapi aktivitas kelompok
sosialisasi (taks) terhadap kemampuan interaksi sosial pada lansia dengan kesepian di
pelayanan sosial lanjut usia (pslu) jember (the effects of socialization group activity therapy
(sgat) toward ability of social intera. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 5(2), 253–259.
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JPK/article/view/5774
1
e-mail: mdlestari@unud.ac.id
Abstract — Activity theory has given an enormous perspective on ageing with the concept of
successful ageing. The theory views older people as an active, productive, and sociable group.
Social contact or participation is one of the indicators of an ageing-friendly community which
has been declared by World Health Organization. Maintaining friendship is an example of
social contact in older people. The pattern of friendship changes according to the abilities
of friendship, the meaning of friendship, and friendship impact on physical and psychological
healthiness in older people. The participants were 14 older people from 64 to 70 years old. The
present study is a qualitative research using photovoice method. According to participatory
and coding analysis, the study has found several themes which contributed to the pattern
For the participants, friend is appreciated as someone who become part of their memory,
someone who always serve openness, and someone who gets them away from loneliness.
Friendship was seen as a type of relationship which is built by pure interest. Friendship
study can be used for planning the management model of healthcare for the older people.
Abstrak — Activity theory telah memberikan perspektif yang baru dalam bidang gerontologi
dengan konsep successful ageing. Teori ini menilai lanjut usia (lansia) sebagai kelompok
yang aktif, produktif, dan masih mampu berkiprah dalam situasi sosial. Partisipasi
sosial adalah salah satu indikator dari komunitas ramah lansia yang dideklarasikan oleh
World Health Organization. Mampu menjaga persahabatan adalah salah satu dari bentuk
kontak sosial dan partisipasi sosial bagi lansia. Pola-pola persahabatan berubah seiring
dengan perkembangan usia seseorang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat
59
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
psikologis lansia. Responden penelitian ini adalah 14 orang lansia yang berusia 64 hingga
70 tahun dan aktif mengikuti kegiatan bersama teman. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan photovoice. Melalui analisis partisipatori dan koding, studi mendapatkan
tema-tema yang berkontribusi pada pola persahabatan lansia, seperti siapa yang dianggap
sebagai teman, durasi persahabatan dan pertemanan. Bagi responden, teman adalah sosok
yang merupakan bagian dari memori masa lalu, seseorang yang menghadirkan keterbukaan,
dan mampu menjauhkan mereka dari rasa kesepian. Persahabatan dinilai sebagai bentuk
hubungan yang dibangun dari intensi yang murni tanpa tendensi apa pun. Aktivitas
bersama sahabat yang mampu memberikan dampak positif bagi responden adalah berbagai
pengalaman, mengunjungi teman, menghadiri acara-acara penting sahabat, menjalankan
hobby bersama, dan berolahraga. Hasil dari penelitian ini mampu menjadi dasar bagi
penatalaksanaan kesehatan bagi lansia.
PENDAHULUAN
Proporsi pendudukan lanjut usia (lansia) meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penduduk
lansia di Indonesia mengalami peningkatan hingga 9.7% pada tahun 2011 (Badan Pusat Statistik
(BPS), dalam Lestari, 2016). Proporsi ini diprediksi akan mengalami peningkatan 11.34% di tahun
2020 dan menjadi 25% di tahun 2050. Indonesia menduduki peringkat ke-empat dunia sebagai negara
dengan jumlah penduduk lansia tertinggi setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Data ini sekaligus
menunjukkan peningkatan usia harapan hidup di Indonesia. Kondisi ini mengarahkan Indonesia ke
era penduduk berstruktur tua atau yang dikenal dengan istilah ageing population (Suardiman, 2011).
Kondisi ini adalah cerminan dari suksesnya pembangunan di bidang kesehatan yang meliputi
sistem dan infrastruktur di dalamnya serta peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya
kesehatan. Di sisi lain, jumlah pendudukan lansia yang meningkat juga menyumbang bagi angka
tergantung hidup di suatu wilayah atau yang disebut dengan old dependency ratio. Kondisi ini
melahirkan pandangan baru di bidang gerontologi. Fokusnya tidak lagi bagaimana memperpanjang
usia dan harapan hidup, namun bagaimana membantu lansia tetap produktif dan mandiri di usia lanjut.
Kebahagiaan memberikan kontribusi yang besar bagi kemandirian lansia (Lestari, 2015).
Kebahagiaan lansia berkorelasi dengan kualitas hubungan dan jumlah dukungan sosial serta interaksi
dengan orang lain (Valliant, dalam Suardiman, 2011). Ada dua teori besar yang membahas mengenai
konsep hubungan dan interaksi pada lansia. Teori pertama disampaikan oleh Cumming dan Henry
60
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
(2016). Teori tersbeut dikenal dengan disengagement theory yang menyatakan bahwa ketika individu
memasuki masa dewasa akhir, aktivitas dan sosialisasi mereka akan berkurang. Menurut teori ini
successful ageing ditandai dengan pemisahan atau penarikan diri secara sosial dan meninggalkan peran
sosial sedikit demi sedikit. Teori yang kedua disampaikan oleh Neugarten dkk. (dalam Suardiman,
2011) yang dikenal dengan activity theory. Teori ini memberikan perspektif yang berbeda terkait
successful ageing. Sukses di masa tua berarti lansia tetap aktif, produkti, dan menjaga kehidupan
Salah satu sumber dukungan sosial pada lansia adalah sahabat. Pola persahabatan berubah seiring
dengan kemampuan dan kebutuhan di setiap tahapan perkembangan. Bagaimana anak-anak, remaja,
dan orang dewasa memandang dan memberikan makna pada pertemanan atau persahabatan dapat jadi
sangat berbeda dengan bagaimana pemaknaan lansia. Unsur penting dari persahabatan menjadi stabil,
solid, dan lebih penting di usia lanjut. Berdasarkan activity theory, persahabatan memegang peranan
penting dalam kehidupan lansia. Demir dan Ozdemir (2010) menemukan bahwa kualitas persahabatan
adalah prediktor penting bagi kebahagiaan. Studi ini akan mendiskusikan persahabatan pada lansia dan
bagaimana persahabatan berdampak pada kebahagiaan dan kesehatan. Bagaimana lansia memaknai
persahabatan di usia lanjut mereka menjadi pertanyaan utama penelitian. Lebih lanjut, penelitian juga
akan melihat bagaimana persahabatan mampu berkontribusi bagi kebahagiaan dan kesehatan di usia
lanjut. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan photovoice.
METODE
Partisipan
Responden dalam penelitian ini berjumlah 14 orang lansia di Denpasar, Bali, yang menjaga
persahabatan mereka mulai dari masa sekolah hingga saat ini. Lansia ini rutin mengadakan pertemuan
dan reuni dengan sahabat mereka setiap bulannya. Usia responden adalah 64-70 tahun.
Desain
Studi ini adalah studi kualitatif dengan menggunakan photovoice yang dipopulerkan oleh Wang
dan mengkomunikasi makna, bentuk persahabatan di usia lanjut dan bagaimana persahabatan dapat
61
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
responden penelitian dengan mengambil foto yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Elisitasi foto
kemudian dilakukan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan SHOWED teknik yang
terdiri dari lima pertanyaan, yakni, what do you SEE here, HAPPENING here, how does
this relate to OUR lives, why does this situation EXIST, dan what can we DO about it.
Prosedur
Penelitian diawali dengan program induksi kepada 14 responden. Program induksi ini bertujuan
untuk memperkenalkan photovoice kepada responden dan memperkenalkan mekanisme pengambilan
data dengan menggunakan photovoice. Setelah mengikuti program induksi, responden diminta untuk
menyetujui terlebih dahulu informed consent dan mekanisme photovoice sebelum melakukan kegiatan
photovoice. Responden kemudian diberikan waktu selama 1 minggu untuk mengumpulkan foto yang
berkaitan dengan pertanyaan penelitian, yakni bagaimana makna persahabatan di usia lanjut, bagaimana
bentuk persahabatan di usia lanjut, dan bagaimana persahabatan mampu meningkatkan kesejahteraan
dari koleksi pribadi mereka. Setelah 1 minggu, responden kemudian menyerahkan foto kepada peneliti
dan dilanjutkan dengan focused group discussion, membuat narasi pada foto, dan wawancara mendalam
dengan menggunakan SHOWED teknik.
Teknik Analisis
Data yang berupa foto dan narasi kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis partisipatori
dan coding. Analisis partisipatori berarti, responden penelitian memiliki kesempatan untuk memberikan
makna pada foto yang mereka kumpulkan dan memberikan narasi yang tepat yang menggambarkan
foto. Tahap selanjutnya, peneliti melakukan proses open coding, axial coding, dan selective coding
berdasarkan pendekatan Strauss dan Corbin (1990) untuk menemukan tema-tema sentral yang berkaitan
dengan makna dan arti persahabatan di usia lanjut.
62
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
63
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
Gambar 1. Keterbukaan
“Saya melihat suatu keindahan yang mendasari keterbukaan ini. Yang sebenarnya terjadi
adalah dalam diri yang bersih atau hati yang bersih, semuanya akan tampak indah.
Suasana hati kita sangat menentukan. Semoga ini akan sangat berpengaruh kepada
kehidupan sehari-hari. Situasi yang indah ini ada karena tekad kita untuk mengalahkan
hati dan perasaan agat tetap bersih. Kita harus lebih banyak belajar melatih hati dalam
usia sekarang ini. ” (DP, 64 tahun)
Partisipan juga melihat bahwa persahabatan adalah suatu yang indah dan menyegarkan. Seperti
layaknya bunga yang baru mekar dan memberikan manfaat bagi kehidupan mereka.
“Persahabatan itu indah, segar, dan putih bersih. Persahabatan yang didasari oleh jiwa
yang bersih dan tidak ada maksud-maksud tertentu. Hingga saat ini seperti itulah makna
persabahatan bagi saya.” (AT, 65 tahun).
64
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
Persahabatan juga memiliki makna sebuah hubungan yang erat dan terikat satu sama lain. Bagi
partisipan, persahabatan adalah sebuah ikatan energi. Silaturahmi membangun hubungan yang terputus
di masa lalu adalah bagian dari persahabatan di masa tua. Sahabat adalah bagian dari sejarah masa lalu.
Sahabat mengandung makna seseorang yang mampu menghadirkan kehidupan yang jauh dari
rasa sepi di masa tua. Persahabatan di usia lanjut mampu menghadirkan afeksi, kedekatan, perhatian,
dan kebersamaan.
“Merasa bahwa semua akan tua dan kita ingin seperti ibu ini juga dijenguk dan diajak
berkomunikasi. Masa tua akan jauh dari rasa sepi.” (IN, 64 tahun)
65
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
Persahabatan di masa tua mampu menghadirkan makna kebersamaan, kasih sayang, dan juga
perhatian kepada orang-orang terdekat.
“Persahabatan dengan banyak teman, Photo ini sedang menjenguk ibunya sahabat,
Endang yang sedang sakit. Sangat bermanfaat demi kelangsungan persahabatan. Photo ini
memperlihatkan persahabatan yang kekal. Akan selalu dipertahankan demi persahabatan
yang berlanjut.” (GA, 65 tahun)
66
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
Usia juga tidak menghalangi seseorang untuk membangun persahabatan dengan generasi yang
lebih muda.
“Sahabat di sekitar saya yang rata-rata pekerjaannya adalah nelayan dan umurnya lebih
muda banyak memberikan inspirasi dan mereka sangat menghargai kehadiran kita yang juga
ingin didengar. Ini sangat erat dengan keinginan saya untuk membantu menyejahterakan
mereka dengan jalan yang belum pernah mereka bayangkan. Ini terjadi karena pengalaman
saya sebelumya yang membuat kepekaan menjadi tinggi, melihat situasi yang carut-marut dan
saya akan mengerjakan untuk membantu menyelesaikan masalah mereka.” (CH, 64 tahun)
Selain dengan teman. bersahabat dengan keluarga juga salah satu bentuk dari persahabatan di
masa tua. Persahabatan dibina dengan istri, anak, dan juga cucu.
67
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
“Persahabatan juga dibina dengan istri dan cucu. Mereka memberikan aspirasi dan
menghibur saya. Merupakan sumber semangat hidup.” (RS, 65 tahun).
“Bersahabat dengan banyak teman, semakin harmonis, sangat bermanfaat bagi kelanggengan
persahabatan. Photo ini memperlihatkan persahabatan yang kekal.” (SB, 64 tahun).
Persahabatan yang berlangsung lama mengubah bentuk persahabatan yang mengarah kepada
kekeluargaan. Sahabat dipandang sebagai bagian dari anggota keluarga. Anggota keluarga sahabat
pun dianggap sebagai sahabat.
“Di usia lanjut, kumpul bersama tersenyum bersama satu dengan yang lain. Saling
mengingat kejadian berkesan di masa lalu. Terasa hidup di masa lalu. Persahabatan ini
terasa murni kekeluargaan.” (RS, 64 tahun)
68
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
Lansia juga membina hubungan yang bersifat jarak jauh. Bagi mereka, jarak dapat diatasi dengan
komunikasi yang rutin dan komitmen untuk menjalankan reuni paling tidak setahun sekali.
“Pertemuan reuni dengan teman-teman seangkatan FKG Unair. Pertemuan yang jarang
bisa dilakukan karena tinggal berjauhan, hanya setahun sekali. Tampaknya pertemuan reuni
setiap tahun harus rutin dilakukan selama kesehatan masih memungkinkan.” (HN, 63 tahun).
Manfaat persahabatan
Partisipan memiliki beragam pendapat dan juga pengalaman terkait dengan manfaat persahabatan
Energizer
Partisipan memandang bahwa sahabat mampu membuat mereka menjadi lebih semangat dan bergairah
dalam menjalani kehidupan. Sahabat adalah sosok yang selalu menghibur. Aktivitas yang dijalankan dengan
semangat selalu menambah keceriaan di usia lanjut. Teman adalah motivator yang menumbuhkan semangat
hidup. Hal ini memberikan dampak pada peningkatan kesehatan jiwa dan juga raga.
69
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
Bergaul dengan banyak teman, membuat hidup mereka menjadi lebih bersemangat. Memperluas
pergaulan dengan generasi yang lebih muda dan juga cucu ternyata mampu menjadi sumber semangat
dan gairah hidup.
“Saya melihat bersahabat dengan orang-orang yang lebih muda dan energik sangat
memengaruhi semangat kita untuk bisa mengimbangi. Dan yang terjadi adalah sebuah
penghargaan apabila kita bisa berkolaborasi dengan jalan pikiran mereka tanpa
mengesampingkan pendapat kita sendiri.” (CH, 64 tahun).
Sering mengikuti kegiatan yang dilakukan bersama dengan sahabat, mampu menjaga kesehatan
dan juga semangat.
“Berkumpul untuk kegiatan yang bersifat positif. Senantiasa berbagi ilmu kepada orang
lain. Di dalam kehidupan kita memerlukan kebersamaan. Dengan kepedulian dan aktif
mengikuti acara di luar, kita tetap sehat dan semangat. Tetaplah berbagi.” (KS, 64 tahun)
70
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
“Kebersamaan sebagai wujud dari kedekatan hati dan perasaan kita. Dengan kebersamaan
ini suasana hati kita akan berubah dan beban berat akan terasa lebih ringan, malahan
dengan sharing sangat membantu sekali dalam penyelesaian masalah kita. Situasi ini ada
karena kebersamaan dan ada suatu ikatan energi yang sama di antara kita.” (DP, 65 tahun)
Lansia pun masih mampu melakukan diskusi ringan dengan sahabat dalam rangka saling belajar
dari pengalaman masing-masing terkait dengan kehidupan yang sudah dijalani.
.” (SM, 70 tahun).
71
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
Role Model
Bagi lansia, persahabatan di usia lanjut memberikan dampak positif, di mana sesama teman dapat
menjadi role model dan juga memberikan contoh tentang nilai-nilai kehidupan. Kegiatan yang dilakukan
bersama dengan sahabat mampu meningkatkan kepedulian terhadap teman yang sakit. Empati dan support
senantiasa diberikan agar teman lebih tabah serta kuat dalam menjalani kehidupan.
“Rasa empati kepada sahabat dan sekaligus memberikan support agar tabah dan kuat dalam
menghadapi sakit tersebut. Ke depannya bentuk persahabatan seperti ini harus dilanjutkan.”
(AT, 65 tahun).
Dengan diskusi-diskusi yang dilakukan bersama, sahabat mampu menjadi fasilitasi pengenalan
diri, kepedulian, dan sensitivitas diri sendiri dan juga teman. Teman merupakan sumber aspirasi dan
juga hiburan. Pengalaman-pengalaman yang dilalui oleh teman juga merupakan sumber inspirasi dan
memberikan hiburan pada diri lansia.
“Reuni para sahabat dan menghadiri ulang tahun sahabat mampu membangun silaturahmi
penuh canda. Kegiatan ini adalah kegiatan yang sangat positif, bagus untuk semangat
72
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
hidup sekalian kesempatan belajar menambah kepedulian dan sensitivitas mengenai diri
sendiri dan teman. Karena kita dalah mahluk sosial dan berkumpul bersama teman-teman
selalu menyenangkan. Komunikasi sebaiknya dijaga.” (SD, 64 tahun).
“Karena persaudaraan, sesama tua terasa muda lagi. Gairah makan pun berselera. Secara
tidak langsung menambah energi dan menahan sel-sel tubuh menua.” (RS, 65 tahun).
Sumber Penghargaan
Hubungan persahabatan yang dibina dengan generasi yang lebih muda, pada dasarnya mampu
membuat lansia menjadi lebih merasa dihargai oleh generasi selanjutnya. Lansia merasakan bahwa
lansia mendapatkan tempat untuk berdiskusi dan juga berbicara. Pola pikir mungkin boleh beda, namun
anak muda rata-rata dapat mendengarkan dan menghargai pendapat mereka. Lansia merasa bahwa
pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki dapat menjadi masukan dan juga bentuk perhatian
untuk kesejahteraan generasi selanjutnya.
73
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
Bentuk kegiatan yang biasa dijalankan lansia bersama dengan teman yang mampu meningkatkan
menjenguk teman yang sakit, menghadiri acara-acara penting sahabat, menjalankan hobby bersama, dan
tracking, dan menari.
Sifat yang harus dipupuk dan dimiliki oleh lansia agar kegiatan bersama dengan teman mampu
“Teman yang sudah lama tidak bertemu, foto bersama di Bandara Soekarno-Hatta. Sangat
menggembirakan. Karena kami bersahabat dan saling berkomunikasi.” (KR, 64 tahun)
74
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
Selain itu hubungan persahabatan yang dibina dengan keluarga membutuhkan kepedulian dan
kesediaan untuk menyempatkan diri berinteraksi menemani anggota keluarga lainnya sesibuk apa pun
kegiatan keseharian. Aktivitas yang dilakukan bersama haruslah senantiasa dilakukan dengan ketulusan.
Pada dasarnya lansia harus mampu menjadi role model bagi generasi selanjutnya.
“Sesibuk apapun pasti menyempatkan untuk mendampingi pasangan hidup. Hal ini terjadi
karena ketulusan hati tanpa paksaan. Ini karena kami fokus selama 50 tahun tetap bersama
dan persahabatan ini kami bina terus menerus untuk dijadikan contoh oleh anak cucu ke
depan.” (CH, 64 tahun)
DISKUSI
75
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
satu dengan yang lain. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki kebutuhan untuk dekat dan terikat satu
dengan yang lain. Konsep relatedness merupakan kebutuhan psikologi dasar manusia. Pemenuhan
akan keterikatan ini adalah hal yang mutlak dalam membangun kualitas persabahatan yang kemudian
mampu meningkatkan kebahagiaan individu (Demir & Ozdemir, 2010). Partisipan dalam penelitian ini
juga melihat bahwa persahabatan memiliki makna keterikatan satu teman dengan teman yang lainnya.
Keterikatan ini selalu dijaga dalam bentuk silaturahmi. Silaturahmi adalah konsep indigenous yang
berarti mengembalikan hubungan masa lalu yang terputus. Dalam konteks ini, persahabatan di usia
lanjut dipandang sebagai bagian dari sejarah kehidupan partisipan.
Persahabatan adalah bagian penting dari setiap bagian kehidupan. Persahabatan menghadirkan
kebersamaan, berbagi, dukungan emosional di masa sulit, identitas diri, dan bagian dari sejarah (Papalia,
Sterns, Feldman, & Camp, 2007). Konsep reciprocity juga tampak dalam hasil penelitian. Persahabatan
memiliki makna perhatian kepada orang-orang terdekat. Ketika lansia memberikan perhatian kepada
sesama lansia, perilaku tersebut dilakukan dengan tujuan mendapatkan timbal balik yang sama.
Menjenguk teman yang sakit dilakukan dengan harapan, saat sakit dan juga kesepian, teman-teman
akan datang dan memberikan bentuk penghiburan yang sama. Grundy dan Sloggett (dalam Gray, 2009)
menegaskan bahwa lansia seringkali mempertukarkan dukungan sosial. Mereka mampu memberikan
dukungan sosial sebaik mereka mampu menerima dukungan sosial.
lanjut (Papalia dkk., 2007). Dalam penelitian ini, terlihat bahwa keluarga, seperti pasangan, anak, dan
76
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
maupun material. Wenger, Burholt, dan Scott (dalam Gray, 2009) mengungkapkan bahwa keluarga
berperan dalam personal care dan memberikan umpan balik saat berhadapan dengan personal problem.
Tidak hanya keluarga, Wenger, Burholt, dan Scott (dalam Gray, 2009) juga menemukan bahwa
usia lanjut memerlukan teman di luar keluarga sebagi sumber dukungan dan sharing informasi,
mengatasi kebosanan, dan sumber semangat yang mampu menjauhkan usia lanjut dari depresi serta
kebosanan. Sebagian besar dari kelompok lansia akan mempertahankan persahabatan dan teman-teman
yang mereka kenal pada tahap perkembangan sebelumnya, seperti teman-teman di masa sekolah.
Temuan ini sejalan dengan socioemotional selective theory yang memandang bahwa usia lanjut
memiliki kecenderung untuk berinteraksi dalam konteks persahabatan dengan individu yang sudah
mereka kenal (Carstensen, dalam Papalia, dkk, 2007). Atas dasar pendekatan inilah, lansia cenderung
membina persahabatan dengan teman yang mereka kenal di masa sekolah atau ketika bekerja.
Blieszner (2014) menyatakan bahwa persahabatan juga dapat dibina dengan teman baru.
Menambahkan pendapat Blieszner, Papalia dkk. (2007) melihat bahwa hubungan teman baru dibina jika
berkontribusi kepada kebutuhan emosional mereka, salah satu adalah kebutuhan akan penghargaan dan
self-esteem. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bersahabat dengan generasi yang lebih muda dapat
menghadirkan persahabatan dan kebutuhan akan didengar. Pada akhirnya lansia akan mempertahankan
hubungan persahabatan yang bermakna dan cenderung melepaskan hubungan yang tidak memiliki
Durasi Persahabatan
Persahabatan pada lansia biasanya sudah dibina sejak lama (Blieszner, 2014). Persahabatan
dipandang sebagai sesuatu yang kekal dan langgeng oleh partisipan. Kebersamaan dan hubungan timbal
balik yang mutual menjadi lebih intens. Mereka berbagi nilai, minat, dan permasalahan yang sama
seperti layaknya keluarga (Blieszner, 2014). Bagi partisipan, persahabatan yang berlangsung lama,
membuat sahabat bertransformasi menjadi keluarga. Dalam proses menjalin persahabatan, hubungan
yang dibina dalam jangka waktu yang lama, biasanya masuk ke dalam tahapan sustainment, di mana
kedekatan emosional menjadi semakin kuat, stabil, dan menetap (Blieszner, 2014). Seperti layaknya
hubungan pertemanan lainnya, persahabatan di usia lanjut juga memungkinkan hubungan jarak jauh.
Komunikasi yang rutin adalah salah satu cara untuk mempertahankan persahabatan jarak jauh. Johnson
dan Troll (dalam Papalia dan kawan-kawan., 2007) melalui penelitiannya mengungkapkan bahwa
lansia yang memiliki hubungan pertemanan jarak jauh mampu menggunakan alat-alat komunikasi
penunjang dalam mempertahankan kualitas hubungan mereka.
77
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
Manfaat Persahabatan
Teman adalah sosok yang mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis dan juga kesehatan
dan Akin (2015) menemukan bahwa persahabatan mampu secara langsung meningkatkan kebahagiaan
subjektif. Kebahagiaan subjektif menyangkut meningkatnya afek positif dan menurunnya afek negatif
(Seligman, 2005). Afek positif menyangkut kebahagiaan, kegembiraan, dan juga keceriaan. Dalam
penelitian ini persahabatan juga mampu menghindarkan individu dari pikiran-pikiran negatif terkait
kehidupan.
Cable dan kawan-kawan. (dalam Blieszner, 2014) mengungkapkan bahwa persahabatan mampu
meningkatkan pandangan positif terkait kehidupan. Persahabatan juga mampu membangkitkan rasa
dihargai dan kompeten dalam melakukan suatu hal tertentu (Demir & Ozdemir, 2010). Seperti yang
diungkapkan oleh partisipan bahwa persahabatan dengan generasi selanjutnya mampu menghadirkan
penghargaan dan meningkatkan self-esteem. Persahabatan adalah sumber social support bagi lansia,
sahabat adalah sumber informasi dan dukungan dalam penyelesaian masalah yang dihadapi (Gray,
2009; Hemingway & Jack, 2013). Di samping itu, sesuai dengan uraian Blieszner (2014), kecenderung
lansia untuk mempertahankan persahabatan yang bermanfaat secara tidak langsung membuat lansia
memilih dalam menentukan siapa yang dinilai sebagai sahabat atau teman. Pendapat ini sejalan dengan
teori socioemotional selective theory.
Pada akhirnya, sahabat dipandang sebagai sosok yang mampu menjadi inspirasi dan panutan.
Salah satu yang menginspirasi adalah nilai-nilai empati, penghargaan, dan wisdom di usia lanjut.
Temuan ini sejalan dengan pendapat Erikson (Papalia dan kawan-kawan., 2007) terkait dengan tahap
perkembangan psikososial di usia lanjut yang sudah mencapai tahapan wisdom versus despair.
Selain manfaat secara psikologis, persahabatan juga mampu menghadirkan manfaat berupa
peningkatan kesehatan fisik, termasuk kesehatan subjektif. Partisipan menyampaikan bahwa
persahabatan membangun persepsi bahwa mereka tidak tua walaupun memasuki usia lanjut. Bagi
partisipan, persahabatan mampu menahan penuaan, meningkatkan selera makan, dan penambah energi.
Individu dengan kesehatan subjektif yang tinggi biasanya akan memiliki lebih banyak energi ketika
berhadapan dengan aktivitas keseharian dan tidak menjadi rentan terhadap stres (Akin & Akin, 2015).
78
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
bersama dengan sahabat menjadi faktor penting dalam menumbuhkan kepedulian untuk terlibat dalam
79
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
Simpulan
Persahabatan di usia lanjut mampu menghadirkan makna kebersamaan, kasih sayang, afeksi,
dan juga reciprocity. Bentuk persahabatan di usia lanjut pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang
berarti. Perbedaannya terletak pada hal-hal yang dianggap penting dalam persahabatan yang kemudian
menjadi dasar bagi pengambilan keputusan untuk mempertahankan persahabatan. Persahabatan
pada usia lanjut bersifat lebih selektif dan cenderung mempertahankan hubungan yang langsung
memberikan dampak bagi kesejahteraan di usia lanjut. Hubungan biasanya berlangsung lama, bertahun-
tahun, sehingga mampu mentransformasi sahabat menjadi sosok keluarga. Dalam konteks hubungan
kekeluargaan, maka terjadi pertukaran nilai-nilai dan juga pandangan hidup. Sahabat juga mampu
menjadi inspirasi dan panutan dalam mencapai tahapan wisdom di usia lanjut. Usia tidak membatasi
usia lanjut untuk beraktivitas. Kesediaan untuk menjalankan aktivitas sangat dipengaruhi juga oleh
komponen kebersamaan, mutual trust, reciprocity, dan self-validation, maka persahabatan di usia lanjut
Saran Teoretis
Penelitian ini memberikan kontribusi pada Ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan
dan Psikologi Gerontologi dalam hal menjelaskan mengenai perkembangan usia lanjut dan usaha-usaha
promotif yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kesehatan serta produktivitas di usia lanjut.
Penelitian yang melibatkan lansia sebagai populasinya dapat mempertimbangkan pendekatan kualitatif
dengan menggunakan photovoice untuk menggali pengalaman, sikap, dan tingkah laku lansia terkait
dengan bidang yang ingin diteliti.
Saran Praktis
Berdasarkan temuan di atas, maka beberapa critical finding yang dapat digunakan bagi
perencanaan model manajemen kesehatan bagi lansia antara lain: (1) Usia bukan menjadi ukuran
dalam membina persahabatan; (2) Konsep reciprocity menjadi hal yang penting untuk ditanamkan
di usia lanjut, di mana lansia memiliki kemampuan untuk memberikan bantuan sebaik kemampuan
80
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
mereka dalam menerima bantuan; (3) Perasaan kompeten dan mampu berkontribusi bagi generasi
selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi pembentukan kegiatan intergenerational
yang disiapkan bagi usia lanjut sebaiknya menghadirkan teman sebaya yang mampu mendorong usia
lanjut untuk aktif dan bersemangat.
REFERENSI
Akin, A., & Akin, U. (2015). Friendship quality and subjective happiness: The mediator role of
subjective vitality. Education and Science, 40(177), 233-242. DOI: 10.1539/EB.2015.3786
Blieszner, R. (2014). The worth of friendship: Can friends keep us happy and healthy? Journal of The
American Society on Aging, 38(1), 24-30.
Capalb, D. J., O’Halloran, P., & Liamputtong, P. (2014). Why older people engage in physical activity:
An exploratory study of participants in a community-based walking program. Australian Journal
of Primary Health, 20, 74-78.
Demir, M., & Ozdemir, M. (2010). Frienship, need satisfaction, and happiness. Journal of Happiness
Study, 11, 243-259. DOI: 10.1007/s10902-009-9138-5
Galupo, M. P., & Gonzales, K. A. (2013). Friendship values and cross-category friendships:
Understanding adult friendship patterns across gender, sexual orinetation, and race. Journal of
Sexual Roles, 68, 779-790.
Gray, A. (2009). The social capital of older people. Ageing and Society, 29, 5-31.
Hemingway, A., & Jack, E. (2013). Reducing social isolation and promoting well-being in older people.
Quality in Ageing and Older Adults, 14(1), 25-35.
Lestari, M. D. (2015). Self-perception of aging, sexual quality of life, happiness, and autonomy among
middle and late adulthood women in Denpasar. Journal of Indian Academy of Geriatric, 11, 25-26.
Lestari, M. D. (2016). Menuju Denpasar yang ramah lansia. . Ditemu kembali
dari https://scimag.unud.ac.id/posts/menuju-denpasar-ramah-lansia.
81
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82
O’Grady, L. (2008). The world of adolescence: Using photovoice to explore psychological sense of
community and well being in adolescents with and without an intelectual disability (Disertasi
tidak dipublikasikan). Victoria University, Australia.
Papalia, D. E., Sterns, H. L., Feldman, R. D., & Camp, C. J. (2007). Adult development and aging (3rd
ed.). New York, NY: The McGraw-Hill Companies.
Seligman, M. E. P. (2005). Authentic happiness. New York, NY: Free Press.
Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basic of qualitative research: Grounded theory procedure and
techniques. California: Sage Publications, Inc.
Suardiman, S. P. (2011). Psikologi usia lanjut. Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press.
82
Pambudi, et al, Pengaruh TAKS Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Lansia dengan Kesepian…
Abstract
Elderly are people who over the age of 60 years old. The aging process of elderly will reduce the
normal function of the body. This situation can make ability of social interaction being down and
elderly feel lonely. Socialization Group Activity Therapy (SGAT) aims to increase the social
relationship in the group gradually. The aim of this research was to analyze the effects of SGAT
toward ability of social interaction of elderly with loneliness at nursing home Jember. This research
used pre experimental method with one group pretest posttest design. There were 19 elderly who
participate as the samples of this research. The samples were taken by using purposive sampling
technique. The data were analyzed with dependent t-test, with the increasing of the average value
ability of social interaction was 14,11 (22.3 - 37.32). The ability of social interaction of elderly with
loneliness after getting SGAT was 94,7% had a good ability of social interaction. The result
showed that p value = 0,0005 (CI 95%). The conclusion is there were significant effects of SGAT
toward ability of social interaction of elderly with loneliness at nursing home Jember. This research
recommended the SGAT to increase the ability of social interaction of elderly with loneliness.
Abstrak
Lansia adalah seseorang yang telah berusia lebih dari 60 tahun. Proses penuaan yang dialami
oleh lansia akan menyebabkan penurunan fungsi normal tubuh. Keadaan ini dapat
mengakibatkan penurunan kemampuan interaksi sosial dan menimbulkan perasaan kesepian
pada lansia. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) bertujuan untuk meningkatkan
hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Tujuan penelitian untuk menganalisis
pengaruh TAKS terhadap kemampuan interaksi sosial pada lansia dengan kesepian di Pelayanan
Sosial Lanjut Usia (PSLU) Jember. Desain penelitian ini adalah pre experimental dengan
rancangan one group pretest posttest. Sampel penelitian sebanyak 19 lansia dan menggunakan
teknik purposive sampling. Data dianalisis menggunakan uji t dependen, dengan kenaikan nilai
rata-rata kemampuan interaksi sosial sebesar 14,11 (22,31 - 37,32). Kemampuan interaksi sosial
lansia dengan kesepian setelah TAKS adalah 94,7% memiliki kemampuan interaksi sosial baik.
Hasil ini menunjukkan nilai p = 0,0005 (CI 95%). Kesimpulan dari hasil penelitian adalah adanya
pengaruh yang sangat amat bermakna antara TAKS terhadap kemampuan interaksi sosial pada
lansia dengan kesepian di PSLU Jember. Rekomendasi penelitian ini adalah TAKS
direkomendasikan pada lansia dengan kesepian untuk meningkatkan kemampuan interaksi
sosialnya.
Status kesepian yang paling banyak disebabkan karena proses penuaan yang
dialami oleh responden penelitian adalah terjadi pada lansia yang mengakibatkan
kesepian ringan sebanyak 14 orang (73,7%). penurunan fungsi tubuh lansia secara umum.
Penelitian yang dilakukan oleh Juniarti tentang Interaksi sosial berperan sangat penting
gambaran jenis dan tingkat kesepian pada lansia terhadap status kesehatan lansia. Salah satu
di panti didapatkan mayoritas lansia mengalami terapi yang dapat meningkatkan kemampuan
kesepian ringan sebanyak 66 orang (69,5%) [10]. interaksi lansia adalah terapi aktivitas
Kesepian adalah suatu rasa ketidaknyamanan kelompok sosialisasi (TAKS)
yang berkaitan dengan keinginan atau kebutuhan
untuk melakukan lebih banyak kontak dengan Kemampuan Interaksi Sosial Sesudah
orang lain [16]. Kesepian dapat dipicu karena TAKS
kurangnya kesempatan seseorang untuk bertemu Hasil penelitian terkait status
dan berinteraksi dengan orang lain yang kurang kemampuan interaksi sosial lansia setelah
[15]. Keadaan ini sering dialami oleh lansia yang diberikan TAKS menunjukkan 18 orang
tinggal di PSLU Jember. Kondisi ini dapat (94,7%) dikategorikan memiliki kemampuan
membuat lansia yang tinggal di panti lebih interaksi sosial baik dan sebanyak 1 orang
berisiko untuk mengalami perasaan kesepian. (5,3%) yang dikategorikan memiliki
kemampuan interaksi sosial cukup, serta tidak
Kemampuan Interaksi Sosial Sebelum TAKS didapatkan lansia yang dikategorikan memiliki
Hasil penelitian terkait kemampuan kemampuan interaksi sosial kurang. Hasil ini
interaksi sosial lansia sebelum TAKS menggambarkan sebagian besar lansia
menunjukkan nilai rata-rata kemampuan interaksi memiliki kemampuan interaksi sosial yang baik
sosial lansia sebelum diberikan TAKS adalah setelah diberikan TAKS.
22,31 (kemampuan interaksi sosial cukup). Terapi aktivitas kelompok (TAK)
Kemampuan interaksi sosial yang telah merupakan salah satu terapi yang bertujuan
dikategorikan menunjukkan seluruh lansia yang meningkatkan kebersamaan, bersosialisasi,
menjadi responden penelitian memiliki bertukar pengalaman, dan mengubah perilaku
kemampuan interaksi sosial cukup, dan lansia [8]. TAKS merupakan salah satu upaya dengan
yang menjadi responden tidak ada yang memiliki cara memfasilitasi kemampuan sosialisasi
kemampuan interaksi sosial kurang dan baik. sejumlah klien dengan masalah hubungan
Kemampuan interaksi sosial seseorang sosial, yang bertujuan meningkatkan hubungan
dapat dipengaruhi oleh berbagai hambatan yang sosial dalam kelompok secara bertahap [6].
terjadi. Hambatan dalam interaksi sosial Hasil penelitian tersebut didukung oleh
disebabkan karena kuantitas pertukaran sosial penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
yang tidak memadai atau berlebih serta Muzayyin tentang perbedaan kemampuan
ketidakefektifan kualitas pertukaran sosial. bersosialisasi sebelum dan sesudah dilakukan
Seseorang dapat dikatakan mengalami hambatan TAKS. Kemampuan bersosialisasi sesudah
dalam interaksi sosial ketika merasa tidak TAKS mengalami peningkatan dari
nyaman pada situasi sosial dan tidak mampu kemampuan bersosialisasi sebelum mendapat
untuk menerima rasa keterikatan sosial yang TAKS [19]. Hasil ini menunjukkan bahwa
memuaskan [17]. pemberian TAKS dapat meningkatkan
Lansia yang tingal di PSLU Jember kemampuan bersosialisasi pada individu yang
memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan mendapatkan TAKS.
lingkungan luar lebih sedikit. Lansia lebih banyak Pemberian TAKS pada lansia kesepian
beraktivitas dan bersosialisasi di dalam panti. dapat melatih lansia untuk melakukan
Keadaan ini membuat interaksi sosial lansia kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan
hanya terbatas pada lingkungan dalam panti. kemampuan lansia untuk membangun
Kondisi tersebut mempengaruhi kemampuan hubungan interpersonal. Setelah mengikuti
interaksi sosial lansia, karena semakin sedikit TAKS, lansia akan mendapatkan keterampilan
kesempatan lansia untuk melakukan kontak dan untuk berinteraksi sosial dan dapat digunakan
komunikasi dengan orang lain maka kesempatan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat
untuk melakukan interaksi sosial semakin sedikit meningkatkan kemampuan interaksi sosial
pula. Interaksi sosial dapat terjadi apabila lansia.
memenuhi dua syarat, yaitu adanya kontak sosial
(social-contact) dan komunikasi [18].
Keterbatasan lansia dalam berinteraksi dapat
Alfan Miko1
Jurusan Sosiologi, Fisip Universitas Andalas
Abstrak :The government of Indonesia defines the aging population as people who are at the age of 60 years
old and over. The number and percentage of aging population in West Sumatera increase year by year. As
the result of increasing number and percentage of elderly, the population problems change. The new issue,
that is becoming more important in the future, is the problems related to the aging population. One of them is
health care of the elder. This article uses the sociology approach to understand the affect of these changes to
elderly health care in contemporary Minangkabau society.
Latar Belakang
Di Indonesia, pengertian penduduk lanjut usia (lansia) merujukkepada
Pasal 1, UU No. 43 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usiayang menyatakan
lansia adalah penduduk yang telah berusia 60 tahun atau lebih2. Undang-undang
di atas merevisi UU No. 4 tahun 1965 tentang Pemberi Bantuan Penghidupan Orang
Jompo yang merupakan tonggak awal perhatian pemerintah terhadap kehidupan
penduduk lansia di Indonesia. Alasan perlu diterbitkannya undang-undang yang
baru sebagai pengganti, disebabkan UU No. 4 tahun 1965 dinilai kurang
sempurna dan mengandung permasalahan serta membuat ketentuan terbatas
hanya pada jompo terlantar dan tidak mampu saja, belum mencakup semua
lansia. Disamping itu, batas usia jompo itu 55 tahun, dianggap sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan usia harapan hidup, sehingga undang-undang itu
1
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Andalas dan Kandidat Doktor Sosiologi Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran.
2
Dirujuk dari laporan Departemen Sosial RI, Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat
Bina Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Jakarta 2004
44 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.
tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan kebijakan program dan kegiatan
pembinaan kesejahteraan lansia.
Selain batas kronologis usia, pengertian lansia dihubungkan pula dengan
perubahan pada aspek fisik, aspek psikologis serta aspek sosial budaya. Atchley
(1977) menyatakan lansia adalah sebuah konsep yang luas, tidak hanya meliputi
terjadinya perubahan fisik pada tubuh setelah melewati kehidupan dewasa, tetapi
juga meliputi perubahan psikologis dalam semangat atau ingatan dan dalam
kemampuan mental serta perubahan sosial dalam hidupnya. Secara biologi
penduduk lansia adalah penduduk yang menjalani proses penuaan terus
menerus, ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik dan semakin rentannya
terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini
disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan dan
sistem organ. Secara ekonomi, penduduk lansia dipandang sebagai beban
daripada sebagai sumber daya. Dari aspek sosial, penduduk lansia merupakan
suatu kelompok sosial sendiri dan juga telah beralihnya posisi sosial menjadi
kakek dan nenek. Pendefinisian konsep lansia tidak semata-mata memperhatikan
kronologis usia, tapi juga lingkaran hidup dari manusia (circle of life) yang sudah
mencapai tahap tua. Disamping itu, konsep lansia berbeda dengan konsep orang
jompo. Pengertian lansia lebih ditekankan kepada tua kronologis, yaitu
didasarkan batas usia sedangkan konsep jompo lebih ditekankan kepada
ketidakmampuan fisik meskipun masih ada yang berusia relatif muda.
Departemen Sosial (2008) membagi lansia dari aspek ekonomi dan aspek
aktivitas menjadi dua kategori, yaitu lansia potensial dan lansia non potensial.
Lansia potensial adalah lansia yang sudah berusia 60 tahun atau lebih namun
tetap beraktifitas secara ekonomi dan hidupnya tidak tergantung dengan
penduduk lainnya. Sedangkan lansia non-potensial tidak lagi mampu bekerja dan
cenderung secara ekonomi tergantung, bahkan tidak mampu melayani dirinya
sendiri. Lansia non potensial ini memenuhi persyaratan untuk disantuni di panti
werdha jika keluarganya tidak mampu dan secara sosial terlantar. Panti Werdha
atau Sasana Tresna Werdha yang dulu bernama Panti Jompo memiliki tugas
pokok memberikan bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat
hidup secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Athcley (1977), proses penuaan muncul sebagai wilayah kajian
penting karena dalam kasus tertentu telah menjadi masalah sosial disebabkan
semakin meningkatnya jumlah lansia. Secara empirik, urbanisasi dan
industrialisasi telah melahirkan perubahan-perubahan yang mengurangi posisi
tradisional lansia. Dunia industri telah menciptakan kendala untuk adaptasi sosial
menampung peningkatan jumlah lansia. Orang lanjut usia atau lansia dikalahkan
oleh penduduk muda di pasar tenaga kerja. Sejak Perang Dunia II, masyarakat
Alfan Miko, Isu-Isu, Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia 45
telah mengurangi tempat bagi lansia, tenaga kerja lansia sering tidak diharapkan.
Kajian-kajian tentang lansia ini pada akhirnya melahirkan disiplin ilmu baru yang
dinamai gerontologi yang menghimpun kajian lansia dari aspek biologi, psikologi
dan sosiologi (lihat Busse:1969, Athcley:1977). Kajian lansia dari aspek sosiologis
bersumber dan merupakan implementasi teori, perspektif atau paradigma yang
berkembang dalam disiplin ilmu sosiologi dalam memahami masalah lansia.
teori pengunduran diri sebagai hal yang bersifat fungsional dan saling
menguntungkan serta akan mempermudah transfer mulus kekuasaan dari yang
tua ke yang muda. Pensiunan adalah mekanisme pengalihan oleh perusahaan ke
yang muda sekaligus mekanisme mendorong keseimbangan dalam masyarakat
dan transisi kekuatan sosial antar generasi. Bagi individu lansia kondisi ini berarti
terbebas dari tekanan sosial yang menghasilkan stress dan kompetisi. Bagi
masyarakat berarti anggota masyarakat mengizinkan orang yang lebih muda
mengambil alih sebagai individu yang lebih energik.Teori ini berguna
menjelaskan mengapa lansia memilih lebih dini pensiun, bersenang-senang dan
mengisolasi diri, namun dikritik menghindarkan isu marjinalisasi lansia.
Teori keberlanjutan (continuity theory) menyatakan menjadi lansia bagi
seorang individu akan berusaha memelihara stabilitas dalam gaya hidup yang dia
bangun selama bertahun-tahun. Individu akan memelihara gayanya sepanjang
hidup dan penyesuaian muncul dari berbagai arah. Tidak sama dengan teori
aktivitas yang menyatakan kehilangan peran seperti telah menjanda atau telah
pensiun membutuhkan kompensasi untuk tetap memiliki aktivitas yang lain
sehingga tetap didapatkannya kepuasan hidup. Menurut teori keberlanjutan
kehilangan peran tidak butuh digantikan dengan yang lain karena lansia bisa
menyesuaikan diri dari segala arah tersebut. Teori pengunduran diri
(disengagement theory) dan teori aktivitas (activity theory) kurang melihat
bagaimana lansia menyesuaikan diri untuk berubah dari kehilangan peran sosial.
Teori stratifikasi usia (age stratification theory) mengaitkan dengan adaptasi
kelompok usia. Masyarakat sering dikonseptualisasikan sebagai stratifikasi atau
dibagi ke dalam dimensi etnik, status, kelas sosial dan faktor-faktor ini digunakan
untuk mengalokasikan peranan sosial. Teori stratifikasi usia menggunakan usia
kronologis menggunakan variabel alokasi peran. Isu dasar teori ini adalah tentang
makna dari usia dan posisi kelompok usia di dalam konteks pertukaran sosial.
Transisi pengalaman individu atas kesukaran hidup karena definisi sosial usia ini
serta mekanisme untuk alokasi peran di antara individu.
Teori modernisasi (modernization theory) mendeskripsikan posisi lansia
memiliki respek dan wewenang yang yang baik dalam masyarakat pra industri.
Tesis dasar teori modernisasi bahwa masyarakat berpindah darirural ke urban
(industrial), posisi orang tua serta keluarga luas digantikan keluarga nuklir
sebagai unit utama masyarakat dan mengisolasi lansia dari keluarga dan
masyarakat. Merujuk Cowgill dan Holmes (1972) parameter modernisasi dilihat
dari peningkatan teknologi kesehatan, penerapan iptek, urbanisasi dan
pendidikan massal. Pendekatan teori modernisasi, termasuk juga teori stratifikasi
usia, teori keberlanjutan, teori aktivitas dan teori pengunduran diri, semuanya
dikembangkan dari premis struktural fungsional.
Alfan Miko, Isu-Isu, Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia 47
Menurut Chen A Ju dan Gavin Jones (1990), orang lanjut usia akan menjadi
masalah kependudukan bila proporsi penduduk yang berusia di atas 60 tahun
50 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.
sudah melebihi 15% (lima belas persen) dari jumlah penduduk keseluruhan.
Komposisi struktur usia penduduk seperti ini dinilai akan membebani
pembangunan, dimana kebutuhan primer dan sekunder mereka sangat
tergantung pada hasil yang didapatkan penduduk yang produktif, atau
pendudukusia kerja. Artinya, sebagian penduduk lansia berharap mendapatkan
jaminan sosial dari keluarganya.
Menurut Mundiharno (Kompas, 4 Mei 1994) dibandingkan dengan
beberapa negara lainnya, persentase jumlah penduduk lansia di Indonesia pada
tahun 1990 masih rendah, hanya 5,5 % dari total penduduk dibanding Jepang
17,2%, Singapura 8,7 %, Hongkong 12,9 %) dan Korea Selatan 7,5 %. Namun
demikian jumlah absolut lansia di Indonesia ternyata jauh lebih besar yaitu 9,9
juta jiwa dibandingkan Korea Selatan sebanyak 3,2 juta jiwa, Singapura 240 ribu
jiwa dan Hongkong sebanyak 750 ribu jiwa. Proporsi lansia di atas sejalan dengan
data kependudukan yang ada saat ini. Widiatmoko (2012) dalam penelitiannya
merujuk perubahan proporsi lansia di wilayah Asia Tenggara seperti tertera pada
tabel di bawah ini;
Penutup
Masyarakat Minangkabau adalah sebutan untuk sebuah suku bangsa yang
mendiami atau berasal dari sebagian besar wilayah Propinsi Sumatera Barat.
Namun sebaran pemangku kebudayaannya jauh melampaui batas administratif
bahkan sampai melintasi batas negara sampai ke Semenanjung Malaya.
Masyarakat Minangkabau yang dikenal menganut sistem matrilineal dan sistem
kekerabatan luas (extended family) telah mengalami perubahan pola penyantunan
lansia yang semula dilakukan oleh keluarga luas, kini ada yang telah beralih
disantuni di panti werdha. Jumlah lansia yang disantuni di panti jumlahnya
Alfan Miko, Isu-Isu, Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia 55
sangat kecil disebabkan daya tampung panti sangat terbatas, namun bukan tidak
mungkin ada lansia yang juga terlantar meski berada ditengah-tengah
keluarganya. Data yang tersedia di Dinas Sosial Propinsi Sumatera Barat tahun
2010 menyatakan jumlah lansia dengan kategori terlantar di Propinsi Sumatera
Barat berjumlah 47.058 tersebar pada 19 kabupaten dan kota. Pengertian terlantar
disini adalah kurang mendapatkan perhatian dan pelayanan yang layak ditengah
keluarganya.Bukan tidak mungkin pula lansia laki-laki memiliki nasib yang
berbeda dibandingkan lansia perempuan dalam sistem sosial budaya Masyarakat
Minangkabau mengingat adat Minangkabau lebih memproteksi kaum perempuan
ketimbang laki melalui pemilikan dan penguasaan harta pusaka kaum.
Selain adanya gap antara konsepsi ideal budaya dengan kenyataan faktual
yang mengantarkan lansia disantuni di panti werdha, peran panti sebagai
lembaga alternatif untuk menyantuni lansia terlantar tidak bisa diabaikan. Bisa
jadi panti berperan sebagai agency yang berfungsi sebagai faktor penarik (pull
factor), di samping perubahan dalam hubungan dalam kekerabatan sebagai faktor
pendorong (push factor) sebagai konsekuensi perubahan sosial yang terjadi. Oleh
karena itu, perubahan pola penyantunan terhadap lansia ini bisa dilihat dari tiga
sisi: individu lansia, peran panti dan kondisi obyektif keluarga. Individu lansia
untuk memahami apakah disantuni di panti merupakan pilihan yang sadar atau
tidak dan motivasi-motivasi yang dimiliki, peran panti yang dinamis sebagai pull
factor dan juga kemungkinan terjadinya perubahan sosial di tengah keluarga
sebagai push factor.
Berkaitan dengan hal di atas, pertanyaan yang bisa diajukan adalah apa
alasan/penyebab lansia disantuni di panti werdhadan apakah ada perbedaan
penyebab antara lansia laki-laki dengan lansia perempuan danmotivasi apa yang
mendukung tindakan lansia memilih disantuni di panti ? Bagaimana bentuk
perubahan sosial yang berlangsung dalam keluarga lansia yang disantuni
tersebut yang diduga telah mengantarkan mereka disantuni di panti?
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli tentang masyarakat
Minangkabau salah satunya mengaitkan isu perubahan sosial dengan perubahan
dalam hubungan kekerabatan akibat terpecahnya tanah-tanah milik komunal
menjadi milik individu. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan antara lain
mengaitkan tradisi merantau sebagai faktor penyebab terjadinya perubahan sosial
pada masyarakat Minangkabau (Kato: 1977, Naim:1999, Sairin: 2002). Tradisi
merantau juga menyebabkan tumbuhnya ekonomi alternatif di luar sektor agraris
sekaligus menjadikan semakin kuatnya peran ayah dalam rumah tangga inti
matrilineal (Maretin: 1961). Perubahan sosial juga dihubungkan dengan
terjadinya monetisasi di bidang pertanian yang semula berorientasi lokal bergeser
ke komoditas ekspor (Khan : 1975, Beckmann: 1979). Tanah ulayat sebagai salah
56 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.
satu perekat utama sistem kekerabatan luas juga telah mulai mengalami
fragmentasi di daerah perkotaan sebagai dampak perkembangan kota (Evers:
1985, Azwar: 2005) dan mengalami privatisasi akibat munculnya politik
administrasi pertanahan serta untuk melayani kepentingan bisnis berskala besar
(Hermayulis: 1999, Monika: Erwin: 2006, Afrizal: 2007).
Penelitian-penelitian tersebut menyatakan perubahan sosial yang terjadi
mendorong munculnya nuklirisasi keluarga luas matrilineal Minangkabau
meskipun sebagian besar sepakat perubahan itu tidak menyentuh atau mengubah
inti dasar sistem matrilineal itu sendiri. Penelitian itu memunculkan kritik dari
peneliti lainnya, antara lain yang menyatakan tidak setuju sistem ekonomi
kapitalis dianggap mendorong hancurnya sistem kekerabatan matrilineal. Sistem
matrilineal memiliki kelenturan untuk melakukan modifikasi-modifikasi. Terjadi
kerancuan menggunakan konsep kekerabatan (kinship) dan konsep rumah tangga
(household), akibatnya proses nuklirisasi keluarga dianggap sebagai bukti
terjadinya proses disintegrasi kekerabatan (Afrizal:1997).
Daftar Pustaka
Busse, Edwald W. 1969 “Theories of Aging”. Dalam Busse (ed) Behavior and
Adaption in Late Life. Boston: L. Brown Com.
Cowgill, Donal O, 1980.“The Aging of Population”. In Jill & Quadgano (ed) Aging,
the Individual and Society. New York: St Martin Press
Depsos (2003), Pedoman Umum Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Jakarta:
Depsos RI
Evers, H.D. 1985. Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Malaysia dan
Indonesia. Jakarta: LP3ES
Indrizal, Edi. 2002. “Problems of Elderly without Children : A Case Study of The
Matrilineal Minangkabau, West Sumatra, dalam Philip Kreager (Ed).
Ageing Without Children. 2004. New York: Berghhan Books
Keasberry, Iris N 2002 “Elder Care, Old Age Security and Social Change in Rural
Yogyakarta”. PhD Thesis Wageningen University
Marianti, Ruly. 1999. “In the Absence of Family Support: Cases of Childless
Widows in Urban Neighbourdhoods of East Java”, dalam Philip
Kreager (Ed). Ageing Without Children. 2004. New York: Berghhan
Books
Marwanti.T.M.1997. ”Kondisi Kehidupan Lanjut Usia di Dalam Panti (Studi Kasus
Lanjut Usia di Panti Werdha “Karitas” dan “Nazareth” Bandung. UI:
Thesis
58 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.
Mason, Karen Oppenheim 1991 “ Family Change and Support of the Elderly in
Asia”. Asian Population Studies Series 18: 96-122
Navis, A.A. (ed.) 1984.Alam Takambang Jadi Guru. Jakarta: Grafitti Press.
Rianto, Adi. 1982 “ The Aged in the Homes for Aged in Jakarta: Status and
Perception”, Jakarta: Puslit Unika Atmajaya