Anda di halaman 1dari 194

PAPER

TOERI SOSIAL PADA LANSIA


DEPARTEMEN KEPERAWATAN GERONTIK

Dosen Pengampu :
Kurniawan Erman W., S.Kep., Ners., M.Kep.

Disusun Oleh :

Edenizio Jose De Araujo Martins (181014201605)


Enryo Dhiasaputra (181014201623)
Dian Astutik. (181014201619)
Dwi Pramia Rachma Sari (181014201621)
Inyongki Turu Taga Lele (181014201629)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN NERS


STIKES WIDYAGAMA HUSADA
MALANG
2021
A. TEORI SOSIAL

Sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan


perkembangan masyarakat. Ilmu tentang struktur sosial, proses sosial, dan
perubahannya. Demikian sebagaimana dikutip dari KBBI. Sosial adalah semua hal
yang berkaitan dengan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan bagaimana orang
berinteraksi satu sama lain, berperilaku, berkembang sebagai budaya, dan
memengaruhi dunia. Ilmu sosial pun merupakan ilmu tentang perliaku kehidupan
manusia sebagai makhluk hidup yang bermasyarakat. Memasuki masa lanjut usia
banyak permasalahan sosial bagi lansia yang ditandai dengan berkurangnya kontak
sosial, baik dengan anggota keluarga atau dengan masyarakat. kurangnya kontak
sosial dapat menimbulkan perasaan kesepian, terkadang muncul perilaku regresi
seperti mudah menangis, mengurung diri, serta merengek-rengek jika bertemu dengan
orang lain sehingga perilakunya kembali seperti anak kecil (Kuntjoro, 2007).

Untuk sikap sosial pada lansia yakni dapat bertukar pikiran dan bercerita
merupakan salah satu upaya yang dapat diakukan perawat dalam melakukan
pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama sejawat dapat
meningkatkan rasa sosial pada lansia. Pendekatan sosial ini merupakan pegangan
bagi perawat bahwa lansia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain.
Dalam pelaksanaannya, perawat dapat menciptakan hubungan sosial yang baik
dengan lansia. Perawat memberi kesempatan seluas-luasnya kepada lansia untuk
mengadakan komunikasi dengan keuarga, teman dekat dan bila perlu melakukan
rekreasi. Lansia perlu dimotivasi untuk membaca surat kabar dan majalah secukupnya
agar kemampuan lansia dapat terjaga dengan baik dan tidak memikirkan hal yang tidak
penting.

1. Teori interaksi sosial (Social Exchange Theory)


Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi
tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Mauss (1954),
Homans (1961) dan Blau (1964) mengemukakan bahwa interaksi sosia didasarkan
atas hukum pertukaran barang dan jasa. Sedangkan Simmons (1945)
mengemukakan bahwa kemampuan lansia untuk terus menjalin interaksi sosial
merupakan kunci untuk mempertahankan status sosialnya untuk melakukan tukar
menukar. Pokok-pokok Social Exchange Theory mengatakan beberapa konsep
tentang perubahan lansia secara sosial, yaitu : masyarakat terdiri atas factor-faktor
sosial yang berupaya mencapai tujuannya masing-masing dalam upaya tersebut
terjadi interaksi sosial yang memerlukan biaya dan waktu, untuk mencapai tujuan
yang hendak dicapai seorang actor akan mengeluarkan biaya, actor senantiasa
berusaha mencari keuntungan dan mencegah terjadinya kerugian dan hanya
interaksi yang ekonomis saja yang dipertahankan olehnya (Tantut Susanto, 2013).
2. Teori penarikan diri (Disengagament Theory)
Cumming dan Henry (1961) mengemukakan bahwa kemiskinan yang diderita
lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seseorang lansia secara
perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Selain hal tersebut, dari
pihak masyarakat juga mempersiapkan kondisi agar para lansia menarik diri.
Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial menurun baik secara kualitas maupun
secara kuantitas. Pokok-pokok Disengagament Theory adalah :
a. Pada pria kehilangan peran utama hidup terjadi pada masa pensiun. Pada
wanita terjadi pada masa peran dalam keluarga berkurang misalnya saat anak
menginjak dewasa dan meninggalkan rumah untuk belajar dan menikah.
b. Lansia dan masyarakat menarik manfaat dari hal ini, karena lansia dapat
merasakan bahwa tekanan sosial berkurang sedangkan kaum muda
memperoleh kerja yang lebih luas
c. Tiga aspek utama dalam teori ini adalah : proses menarik diri terjadi sepanjang
hidup, proses tidak dapat dihindari, dan hal ini diterima lansia dan masyarakat

3. Teori Aktifitas (Activity Theory)


Teori aktivitas (activity theory) menyatakan frekuensi yang tinggi dari lansia
berinteraksi dalam masyarakatnya akan membawa kepuasan hidup,
mengembangkan self image dan penyesuaian yang positif. Dengan tetap aktif
menghindarkan kecenderungan isolasi, bisa gembira dan sehat. Aktivitas tersebut
bisa berbagai bentuk dengan kerabat, tetangga, klub baik formal maupun informal.
Mereka tetap memainkan peran yang bermakna dalam masyarakat.Teori aktivitas
(activity theory) berasumsi bahwa moral dan kepuasaan hidup dikaitkan dengan
integrasi sosial dan keterlibatan yang tinggi dengan jaringan sosial. Semakin tinggi
tingkat integrasi dan keterlibatan dalam jaringan sosial tingkat kepuasan hidup
lansia akan lebih tinggi (Miko, 2012). Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan
terus memelihara keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun
dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada
lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan
sosial (Pambudi et al., 2017).

4. Teori Kesinambungan (Continuity Theory)


Teori kesinambungan (continuity theory) menyatakan menjadi lansia bagi seorang
individu akan berusaha memelihara stabilitas dalam gaya hidup yang dia bangun
selama bertahun-tahun. Individu akan memelihara gayanya sepanjang hidup dan
penyesuaian muncul dari berbagai arah (Miko, 2012). Dasar kepribadian atau
tingkah laku tidak berubah pada lansia. Identity pada lansia yang sudah mantap
memudahkan dalam memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri
dengan masalah di masyarakat, keluarga dan hubungan interpersonal (Dan et
al., 2017)

5. Teori Perkembangan (Development Theory)


Teori ini menekan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami oleh lansia
pada saat muda hingga dewasa. Dengan demikian perlu dipahami teori Freud,
Buhler, Jung dan Erikson. Sigmund Freud meneliti tetang psikoanalisa dan
perubahan psikososial anak dan balita. Erikson (1930) membagi kehidupan
mejasi 8 fase dan lansia perlu menemukan integritas diri melawan keputusasaan
(Ego Intergrity versus despair). Huvighurst dan Duvall menguraikan 7 jenis tugas
perkembangan (development task) selama hisup yang harus dilaksanakan oleh
lansia tersebut : penyesuaian terhadap penurunan fisik dan psikis, penyesuaian
terhadap pensiun dan penurunan pendapatan, menemukan makna kehidupan,
mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan, menemukan kepuasan
dalam hidup berkeluarga, penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal
dunia, dan menerima dirinya sebagai calon lansia. Joan Birchenall dan Mary E
Streight (1973) menekanankan perlunya mempelajari psikologi perkembangan
agar mengerti perubahan emosi dan sosial seseorang selama fase kehidupannya.
Pokok-pokok dalam Development theory adalah masa tua merupakan saat lansia
menemukan seluruh masa hidupnya, dan masa tua adalah masa penyesuaian diri
terhadap kenyataan sosial yang baru yaitu pensiun/menduda, menjanda, dan
lansia harus menyesuaikan diri akibat peran yang berakhir dalam keluarga,
kehilangan identitas dan hubungan sosialnnya akibat pensiun, ditinggal mati oleh
pasangan hidup dan teman temannya (Tantut Susanto, 2013).

6. Teori Stratifikasi Usia (Age Stratification Theory)

Teori stratifikasi usia mempunyai keunggulan teori stratifikasi usia yaitu


pendekatan yang dilakukan bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk
mempelajari sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok
dapat ditinjau dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok
usia lainnya. Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk
menilai lansia secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat kompleks
dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok etnik (Tantut
Susanto, 2013).

B. Peran Perawat dalam Teori Sosial

Perawat sebaiknya memfasilitasi sosialisasi antar lansia dengan mengadakan


diskusi dan tukar pikiran serta bercerita sebagai salah satu upaya pendekatan sosial.
Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama berarti menciptakan sosialisasi antar
manusia, menjadi pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah
mahluk sosial yang membutuhkan orang lain. Hubungan tercipta adalahh hubungan
sosial antara lansia dengan werda maupun lansia dengan perawat sendiri. Perawat
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan komunikasi,
melakukan rekreasi seperti jalan pagi, menonton film atau hiburan-hiburan lain karena
mereka perlu distimulus untuk mengetahui dunia luar. Dapat disadari bahwa
pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak kalah pentingnya dengan upaya
pengobatan medis dalam proses penyembuhan atau ketenangan para kline lansia.
Menurut Mannan dalam bukunya Komunikasi dalam Perawatan mengatakan : tidak
sedikit klien bisa tidur karena stres. Stres memikirkan penyakitnya, biaya hidup,
keluarga yang di rumah, sehingga menimbulkan kekecewaan, rasa ketakutan atau
kekhawatiran, rasa kecemasan dan sebagainya. Untuk menghilangkan rasa jemu dan
menimbulkan perhatian terhadap sekelilingnya perlu diberikan kesempatan kepada
mereka untuk antara lain ikut menikmati keadaan diluar, agar mereka merasa masih
ada hubungan dengan dunia luar. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian
diantara mereka (terutama bagi yang tinggal di panti werda) hal ini dapat diatasi
dengan berbagai usaha, antara lain selalu mengadakan kontak sesama mereka,
makan dan duduk bersama, menanamkan rasa kesatuan dan persatuan, senasib dan
sepenanggungan, mengenai hak dan kewajiban bersama dengan demikian perawat
tetap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka mauapun terhadap
petugas yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan klien lansia di panti werda
(Tantut Susanto, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
EduNers, T., & Hidayat, A. A. (2021). Buku Pengayaan Uji Kompetensi Keperawatan Gerontik. Health
Books Publishing.

Dan, K., Lansia, K., & Lestari, M. D. (2017). Persahabatan : Makna Dan Kontribusinya Bagi.
4(1), 59–82.

Miko, A. (2012). Isu-Isu , Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia. Sosiologi Andalas, XII(2), 43–
58.

Pambudi, W. E., Dewi, E. I., & Sulistyorini, L. (2017). Pengaruh terapi aktivitas kelompok
sosialisasi (taks) terhadap kemampuan interaksi sosial pada lansia dengan kesepian di
pelayanan sosial lanjut usia (pslu) jember (the effects of socialization group activity therapy
(sgat) toward ability of social intera. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 5(2), 253–259.
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JPK/article/view/5774

Tantut Susanto, 2013. (n.d.). 141-Keperawatan-Gerontik.Pdf.


Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

PERSAHABATAN: MAKNA DAN KONTRIBUSINYA BAGI


KEBAHAGIAAN DAN KESEHATAN LANSIA

Made Diah Lestari1

Program Studi Psikologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana
Gedung FK Unud, Jl. PB Sudirman
Denpasar, Bali 80232, Indonesia

1
e-mail: mdlestari@unud.ac.id

Abstract — Activity theory has given an enormous perspective on ageing with the concept of
successful ageing. The theory views older people as an active, productive, and sociable group.
Social contact or participation is one of the indicators of an ageing-friendly community which
has been declared by World Health Organization. Maintaining friendship is an example of
social contact in older people. The pattern of friendship changes according to the abilities

of friendship, the meaning of friendship, and friendship impact on physical and psychological
healthiness in older people. The participants were 14 older people from 64 to 70 years old. The
present study is a qualitative research using photovoice method. According to participatory
and coding analysis, the study has found several themes which contributed to the pattern

For the participants, friend is appreciated as someone who become part of their memory,
someone who always serve openness, and someone who gets them away from loneliness.
Friendship was seen as a type of relationship which is built by pure interest. Friendship

study can be used for planning the management model of healthcare for the older people.

Keywords: older people; friendship; photovoice.

Abstrak — Activity theory telah memberikan perspektif yang baru dalam bidang gerontologi
dengan konsep successful ageing. Teori ini menilai lanjut usia (lansia) sebagai kelompok
yang aktif, produktif, dan masih mampu berkiprah dalam situasi sosial. Partisipasi
sosial adalah salah satu indikator dari komunitas ramah lansia yang dideklarasikan oleh
World Health Organization. Mampu menjaga persahabatan adalah salah satu dari bentuk
kontak sosial dan partisipasi sosial bagi lansia. Pola-pola persahabatan berubah seiring
dengan perkembangan usia seseorang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat

59
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

psikologis lansia. Responden penelitian ini adalah 14 orang lansia yang berusia 64 hingga
70 tahun dan aktif mengikuti kegiatan bersama teman. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan photovoice. Melalui analisis partisipatori dan koding, studi mendapatkan
tema-tema yang berkontribusi pada pola persahabatan lansia, seperti siapa yang dianggap
sebagai teman, durasi persahabatan dan pertemanan. Bagi responden, teman adalah sosok
yang merupakan bagian dari memori masa lalu, seseorang yang menghadirkan keterbukaan,
dan mampu menjauhkan mereka dari rasa kesepian. Persahabatan dinilai sebagai bentuk
hubungan yang dibangun dari intensi yang murni tanpa tendensi apa pun. Aktivitas
bersama sahabat yang mampu memberikan dampak positif bagi responden adalah berbagai
pengalaman, mengunjungi teman, menghadiri acara-acara penting sahabat, menjalankan
hobby bersama, dan berolahraga. Hasil dari penelitian ini mampu menjadi dasar bagi
penatalaksanaan kesehatan bagi lansia.

Kata Kunci: lansia; persahabatan; photovoice.

PENDAHULUAN

Proporsi pendudukan lanjut usia (lansia) meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penduduk
lansia di Indonesia mengalami peningkatan hingga 9.7% pada tahun 2011 (Badan Pusat Statistik
(BPS), dalam Lestari, 2016). Proporsi ini diprediksi akan mengalami peningkatan 11.34% di tahun
2020 dan menjadi 25% di tahun 2050. Indonesia menduduki peringkat ke-empat dunia sebagai negara
dengan jumlah penduduk lansia tertinggi setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Data ini sekaligus
menunjukkan peningkatan usia harapan hidup di Indonesia. Kondisi ini mengarahkan Indonesia ke
era penduduk berstruktur tua atau yang dikenal dengan istilah ageing population (Suardiman, 2011).
Kondisi ini adalah cerminan dari suksesnya pembangunan di bidang kesehatan yang meliputi
sistem dan infrastruktur di dalamnya serta peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya
kesehatan. Di sisi lain, jumlah pendudukan lansia yang meningkat juga menyumbang bagi angka
tergantung hidup di suatu wilayah atau yang disebut dengan old dependency ratio. Kondisi ini
melahirkan pandangan baru di bidang gerontologi. Fokusnya tidak lagi bagaimana memperpanjang
usia dan harapan hidup, namun bagaimana membantu lansia tetap produktif dan mandiri di usia lanjut.
Kebahagiaan memberikan kontribusi yang besar bagi kemandirian lansia (Lestari, 2015).
Kebahagiaan lansia berkorelasi dengan kualitas hubungan dan jumlah dukungan sosial serta interaksi
dengan orang lain (Valliant, dalam Suardiman, 2011). Ada dua teori besar yang membahas mengenai
konsep hubungan dan interaksi pada lansia. Teori pertama disampaikan oleh Cumming dan Henry

60
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

(2016). Teori tersbeut dikenal dengan disengagement theory yang menyatakan bahwa ketika individu
memasuki masa dewasa akhir, aktivitas dan sosialisasi mereka akan berkurang. Menurut teori ini
successful ageing ditandai dengan pemisahan atau penarikan diri secara sosial dan meninggalkan peran
sosial sedikit demi sedikit. Teori yang kedua disampaikan oleh Neugarten dkk. (dalam Suardiman,
2011) yang dikenal dengan activity theory. Teori ini memberikan perspektif yang berbeda terkait
successful ageing. Sukses di masa tua berarti lansia tetap aktif, produkti, dan menjaga kehidupan

Salah satu sumber dukungan sosial pada lansia adalah sahabat. Pola persahabatan berubah seiring
dengan kemampuan dan kebutuhan di setiap tahapan perkembangan. Bagaimana anak-anak, remaja,
dan orang dewasa memandang dan memberikan makna pada pertemanan atau persahabatan dapat jadi
sangat berbeda dengan bagaimana pemaknaan lansia. Unsur penting dari persahabatan menjadi stabil,
solid, dan lebih penting di usia lanjut. Berdasarkan activity theory, persahabatan memegang peranan
penting dalam kehidupan lansia. Demir dan Ozdemir (2010) menemukan bahwa kualitas persahabatan
adalah prediktor penting bagi kebahagiaan. Studi ini akan mendiskusikan persahabatan pada lansia dan
bagaimana persahabatan berdampak pada kebahagiaan dan kesehatan. Bagaimana lansia memaknai
persahabatan di usia lanjut mereka menjadi pertanyaan utama penelitian. Lebih lanjut, penelitian juga
akan melihat bagaimana persahabatan mampu berkontribusi bagi kebahagiaan dan kesehatan di usia
lanjut. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan photovoice.

METODE

Partisipan
Responden dalam penelitian ini berjumlah 14 orang lansia di Denpasar, Bali, yang menjaga
persahabatan mereka mulai dari masa sekolah hingga saat ini. Lansia ini rutin mengadakan pertemuan
dan reuni dengan sahabat mereka setiap bulannya. Usia responden adalah 64-70 tahun.

Desain
Studi ini adalah studi kualitatif dengan menggunakan photovoice yang dipopulerkan oleh Wang

dan mengkomunikasi makna, bentuk persahabatan di usia lanjut dan bagaimana persahabatan dapat

61
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

responden penelitian dengan mengambil foto yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Elisitasi foto
kemudian dilakukan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan SHOWED teknik yang
terdiri dari lima pertanyaan, yakni, what do you SEE here, HAPPENING here, how does
this relate to OUR lives, why does this situation EXIST, dan what can we DO about it.

Prosedur
Penelitian diawali dengan program induksi kepada 14 responden. Program induksi ini bertujuan
untuk memperkenalkan photovoice kepada responden dan memperkenalkan mekanisme pengambilan
data dengan menggunakan photovoice. Setelah mengikuti program induksi, responden diminta untuk
menyetujui terlebih dahulu informed consent dan mekanisme photovoice sebelum melakukan kegiatan
photovoice. Responden kemudian diberikan waktu selama 1 minggu untuk mengumpulkan foto yang
berkaitan dengan pertanyaan penelitian, yakni bagaimana makna persahabatan di usia lanjut, bagaimana
bentuk persahabatan di usia lanjut, dan bagaimana persahabatan mampu meningkatkan kesejahteraan

dari koleksi pribadi mereka. Setelah 1 minggu, responden kemudian menyerahkan foto kepada peneliti
dan dilanjutkan dengan focused group discussion, membuat narasi pada foto, dan wawancara mendalam
dengan menggunakan SHOWED teknik.

Teknik Analisis
Data yang berupa foto dan narasi kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis partisipatori
dan coding. Analisis partisipatori berarti, responden penelitian memiliki kesempatan untuk memberikan
makna pada foto yang mereka kumpulkan dan memberikan narasi yang tepat yang menggambarkan
foto. Tahap selanjutnya, peneliti melakukan proses open coding, axial coding, dan selective coding
berdasarkan pendekatan Strauss dan Corbin (1990) untuk menemukan tema-tema sentral yang berkaitan
dengan makna dan arti persahabatan di usia lanjut.

62
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

ANALISIS DAN HASIL

Responden penelitian seluruhnya berdomisili di Denpasar. Sebanyak 14 responden saling mengenal


satu sama lain dan secara rutin terlibat pertemuan minimal sebulan sekali. Komunikasi dengan sahabat
biasanya dilakukan melalui telepon dan media sosial. Tabel 1 memperlihatkan karakteristik responden.

Tabel 1. Karakteristik responden


No Initial Jenis Kelamin Usia Tinggal Bersama Profesi
1 KR Perempuan 70 Tahun Pasangan dan anak Pensiunan
2 IN Perempuan 64 Tahun Pasangan dan anak Pegawai Negeri
3 AT Laki-laki 65 Tahun Pasangan dan anak Pensiunan
4 HN Perempuan 63 Tahun Sendiri Pegawai Negeri
5 CH Laki-laki 64 Tahun Pasangan Wiraswasta
6 SM Laki-laki 70 Tahun Pasangan dan anak Wiraswasta
7 SD Laki-laki 64 Tahun Pasangan Pensiunan
8 SB Laki-laki 64 Tahun Pasangan dan anak Pegawai Negeri
9 RS Laki-laki 65 Tahun Pasangan Pensiunan
10 SJ Laki-laki 65 Tahun Pasangan Pensiunan
11 DP Laki-laki 64 Tahun Pasangan dan anak Wiraswasta
12 KT Perempuan 64 Tahun Pasangan dan anak Ibu Rumah Tangga
13 KS Perempuan 64 Tahun Anak Guru
14 GA Perempuan 65 Tahun Pasangan dan anak Pensiunan

63
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

Makna Persahabatan pada Lansia


Partisipan melihat bahwa persahabatan di masa tua memiliki makna keterbukaan dan rasa percaya
satu sama lain.

Gambar 1. Keterbukaan

“Saya melihat suatu keindahan yang mendasari keterbukaan ini. Yang sebenarnya terjadi
adalah dalam diri yang bersih atau hati yang bersih, semuanya akan tampak indah.
Suasana hati kita sangat menentukan. Semoga ini akan sangat berpengaruh kepada
kehidupan sehari-hari. Situasi yang indah ini ada karena tekad kita untuk mengalahkan
hati dan perasaan agat tetap bersih. Kita harus lebih banyak belajar melatih hati dalam
usia sekarang ini. ” (DP, 64 tahun)

Partisipan juga melihat bahwa persahabatan adalah suatu yang indah dan menyegarkan. Seperti
layaknya bunga yang baru mekar dan memberikan manfaat bagi kehidupan mereka.

Gambar 2. Indah dan Segar

“Persahabatan itu indah, segar, dan putih bersih. Persahabatan yang didasari oleh jiwa
yang bersih dan tidak ada maksud-maksud tertentu. Hingga saat ini seperti itulah makna
persabahatan bagi saya.” (AT, 65 tahun).

64
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

Persahabatan juga memiliki makna sebuah hubungan yang erat dan terikat satu sama lain. Bagi
partisipan, persahabatan adalah sebuah ikatan energi. Silaturahmi membangun hubungan yang terputus
di masa lalu adalah bagian dari persahabatan di masa tua. Sahabat adalah bagian dari sejarah masa lalu.

Gambar 3. Sahabat dan Kenangan Masa Lalu

“Persahabatan membuat saya mengenang masa lalu. Semakin semangat menjalani


kehidupan. Bertemu dengan teman-teman membuat gairah hidup kembali lagi. Pertemuan
selalu menyenangkan.” (SJ, 65 tahun)

Sahabat mengandung makna seseorang yang mampu menghadirkan kehidupan yang jauh dari
rasa sepi di masa tua. Persahabatan di usia lanjut mampu menghadirkan afeksi, kedekatan, perhatian,
dan kebersamaan.

Gambar 4. Jauh dari Rasa Sepi

“Merasa bahwa semua akan tua dan kita ingin seperti ibu ini juga dijenguk dan diajak
berkomunikasi. Masa tua akan jauh dari rasa sepi.” (IN, 64 tahun)

65
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

Persahabatan di masa tua mampu menghadirkan makna kebersamaan, kasih sayang, dan juga
perhatian kepada orang-orang terdekat.

Bentuk Persahabatan di Usia Lanjut


Ada beberapa bentuk persahabatan di usia lanjut. Hasil menunjukkan bahwa bentuk persahabatan
dapat dilihat dari siapa yang dimaksud dengan sahabat dan durasinya.

Siapa yang dimaksud dengan sahabat


Persahabatan dipandang sebagai suatu yang universal. Persahabatan dibina dengan beragam
orang, mulai dari teman di masa sekolah, keluarga teman, dengan generasi yang lebih muda, dan juga
keluarga.
Persahabatan yang dibina sejak dahulu pada akhirnya berkembang tidak hanya dengan teman
sekolah, namun juga keluarganya.

Gambar 5. Bersahabat dengan Keluarga Teman

“Persahabatan dengan banyak teman, Photo ini sedang menjenguk ibunya sahabat,
Endang yang sedang sakit. Sangat bermanfaat demi kelangsungan persahabatan. Photo ini
memperlihatkan persahabatan yang kekal. Akan selalu dipertahankan demi persahabatan
yang berlanjut.” (GA, 65 tahun)

66
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

Usia juga tidak menghalangi seseorang untuk membangun persahabatan dengan generasi yang
lebih muda.

Gambar 6. Bersahabat dengan Yang Lebih Muda

“Sahabat di sekitar saya yang rata-rata pekerjaannya adalah nelayan dan umurnya lebih
muda banyak memberikan inspirasi dan mereka sangat menghargai kehadiran kita yang juga
ingin didengar. Ini sangat erat dengan keinginan saya untuk membantu menyejahterakan
mereka dengan jalan yang belum pernah mereka bayangkan. Ini terjadi karena pengalaman
saya sebelumya yang membuat kepekaan menjadi tinggi, melihat situasi yang carut-marut dan
saya akan mengerjakan untuk membantu menyelesaikan masalah mereka.” (CH, 64 tahun)

Selain dengan teman. bersahabat dengan keluarga juga salah satu bentuk dari persahabatan di
masa tua. Persahabatan dibina dengan istri, anak, dan juga cucu.

Gambar 7. Bersahabat dengan Keluarga

67
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

“Persahabatan juga dibina dengan istri dan cucu. Mereka memberikan aspirasi dan
menghibur saya. Merupakan sumber semangat hidup.” (RS, 65 tahun).

Durasi persahabatan di masa tua


Persahabatan di usia lanjut dapat dibina dengan orang baru, maupun orang lama. Hubungan
persahabatan yang dibina dengan orang lama, biasanya berasal dari teman-teman pada saat di bangku sekolah.
Persahabatan berlangsung lama, semakin tua merasa bahwa persahabatan semakin kekal dan harmonis.

Gambar 8. Persahabatan yang Kekal

“Bersahabat dengan banyak teman, semakin harmonis, sangat bermanfaat bagi kelanggengan
persahabatan. Photo ini memperlihatkan persahabatan yang kekal.” (SB, 64 tahun).

Persahabatan yang berlangsung lama mengubah bentuk persahabatan yang mengarah kepada
kekeluargaan. Sahabat dipandang sebagai bagian dari anggota keluarga. Anggota keluarga sahabat
pun dianggap sebagai sahabat.

Gambar 9. Sahabat adalah Keluarga

“Di usia lanjut, kumpul bersama tersenyum bersama satu dengan yang lain. Saling
mengingat kejadian berkesan di masa lalu. Terasa hidup di masa lalu. Persahabatan ini
terasa murni kekeluargaan.” (RS, 64 tahun)

68
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

Lansia juga membina hubungan yang bersifat jarak jauh. Bagi mereka, jarak dapat diatasi dengan
komunikasi yang rutin dan komitmen untuk menjalankan reuni paling tidak setahun sekali.

Gambar 10. Jarak Jauh Tidak Melunturkan Persahabatan

“Pertemuan reuni dengan teman-teman seangkatan FKG Unair. Pertemuan yang jarang
bisa dilakukan karena tinggal berjauhan, hanya setahun sekali. Tampaknya pertemuan reuni
setiap tahun harus rutin dilakukan selama kesehatan masih memungkinkan.” (HN, 63 tahun).

Manfaat persahabatan
Partisipan memiliki beragam pendapat dan juga pengalaman terkait dengan manfaat persahabatan

Energizer
Partisipan memandang bahwa sahabat mampu membuat mereka menjadi lebih semangat dan bergairah
dalam menjalani kehidupan. Sahabat adalah sosok yang selalu menghibur. Aktivitas yang dijalankan dengan
semangat selalu menambah keceriaan di usia lanjut. Teman adalah motivator yang menumbuhkan semangat
hidup. Hal ini memberikan dampak pada peningkatan kesehatan jiwa dan juga raga.

Gambar 11. Vitamin Bagi Kesehatan Jiwa

“Tour yang menyenangkan bersama sahabat. Menikmati kebersamaan, lepas dari


rutinitas sehari-hari bersama dengan sahabat. Pastinya merupakan kegiatan yang sangat

69
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

bermanfaat dan menyenangkan. Vitamin buat kesehatan jiwa. Persahabatan terbentuk


lewat hobby.” (SD, 64 tahun)

Bergaul dengan banyak teman, membuat hidup mereka menjadi lebih bersemangat. Memperluas
pergaulan dengan generasi yang lebih muda dan juga cucu ternyata mampu menjadi sumber semangat
dan gairah hidup.

Gambar 12. Semangat Hidup

“Saya melihat bersahabat dengan orang-orang yang lebih muda dan energik sangat
memengaruhi semangat kita untuk bisa mengimbangi. Dan yang terjadi adalah sebuah
penghargaan apabila kita bisa berkolaborasi dengan jalan pikiran mereka tanpa
mengesampingkan pendapat kita sendiri.” (CH, 64 tahun).

Sering mengikuti kegiatan yang dilakukan bersama dengan sahabat, mampu menjaga kesehatan
dan juga semangat.

Gambar 13. Kebersamaan dalam Yoga

“Berkumpul untuk kegiatan yang bersifat positif. Senantiasa berbagi ilmu kepada orang
lain. Di dalam kehidupan kita memerlukan kebersamaan. Dengan kepedulian dan aktif
mengikuti acara di luar, kita tetap sehat dan semangat. Tetaplah berbagi.” (KS, 64 tahun)

70
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

Membantu dalam Menyelesaikan Masalah


Sahabat juga dilihat sebagai sosok yang mampu membantu dalam penyelesaian masalah. Sharing
yang dilakukan dengan sahabat merupakan sarana untuk membantu dalam penyelesaian permasalahan
yang sedang dihadapi. Kebersamaan dengan sahabat mampu mengubah suasana hati yang penuh dengan
beban berat menjadi lebih ringan.

Gambar 14. Sharing dalam Penyelesaian Masalah

“Kebersamaan sebagai wujud dari kedekatan hati dan perasaan kita. Dengan kebersamaan
ini suasana hati kita akan berubah dan beban berat akan terasa lebih ringan, malahan
dengan sharing sangat membantu sekali dalam penyelesaian masalah kita. Situasi ini ada
karena kebersamaan dan ada suatu ikatan energi yang sama di antara kita.” (DP, 65 tahun)

Lansia pun masih mampu melakukan diskusi ringan dengan sahabat dalam rangka saling belajar
dari pengalaman masing-masing terkait dengan kehidupan yang sudah dijalani.

Gambar 15. Diskusi Ringan

“Bersama teman-teman berdikusi dan makan. Membahas hal-hal yang disampaikan


dengan rileks dan santai tanpa ada beban pikiran, semua saling mengisi. Dengan rileks

.” (SM, 70 tahun).

71
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

Role Model
Bagi lansia, persahabatan di usia lanjut memberikan dampak positif, di mana sesama teman dapat
menjadi role model dan juga memberikan contoh tentang nilai-nilai kehidupan. Kegiatan yang dilakukan
bersama dengan sahabat mampu meningkatkan kepedulian terhadap teman yang sakit. Empati dan support
senantiasa diberikan agar teman lebih tabah serta kuat dalam menjalani kehidupan.

Gambar 16. Empati dan Support

“Rasa empati kepada sahabat dan sekaligus memberikan support agar tabah dan kuat dalam
menghadapi sakit tersebut. Ke depannya bentuk persahabatan seperti ini harus dilanjutkan.”
(AT, 65 tahun).

Dengan diskusi-diskusi yang dilakukan bersama, sahabat mampu menjadi fasilitasi pengenalan
diri, kepedulian, dan sensitivitas diri sendiri dan juga teman. Teman merupakan sumber aspirasi dan
juga hiburan. Pengalaman-pengalaman yang dilalui oleh teman juga merupakan sumber inspirasi dan
memberikan hiburan pada diri lansia.

Gambar 17. Meningkatkan Kepedulian dan Sensitivitas

“Reuni para sahabat dan menghadiri ulang tahun sahabat mampu membangun silaturahmi
penuh canda. Kegiatan ini adalah kegiatan yang sangat positif, bagus untuk semangat
72
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

hidup sekalian kesempatan belajar menambah kepedulian dan sensitivitas mengenai diri
sendiri dan teman. Karena kita dalah mahluk sosial dan berkumpul bersama teman-teman
selalu menyenangkan. Komunikasi sebaiknya dijaga.” (SD, 64 tahun).

Merasa Lebih Muda


Sahabat adalah bagian dari sejarah masa lalu. Sahabat di masa-masa sekolah mampu mengembalikan
memori indah di masa lalu. Hal ini membuat lansia merasa selalu muda atau lebih muda dari umur yang
sesungguhnya. Persahabatan di usia tua mampu menahan penuaan.

Gambar 18. Nafsu Makan Meningkat dan Menahan Penuaan

“Karena persaudaraan, sesama tua terasa muda lagi. Gairah makan pun berselera. Secara
tidak langsung menambah energi dan menahan sel-sel tubuh menua.” (RS, 65 tahun).

Sumber Penghargaan
Hubungan persahabatan yang dibina dengan generasi yang lebih muda, pada dasarnya mampu
membuat lansia menjadi lebih merasa dihargai oleh generasi selanjutnya. Lansia merasakan bahwa
lansia mendapatkan tempat untuk berdiskusi dan juga berbicara. Pola pikir mungkin boleh beda, namun
anak muda rata-rata dapat mendengarkan dan menghargai pendapat mereka. Lansia merasa bahwa
pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki dapat menjadi masukan dan juga bentuk perhatian
untuk kesejahteraan generasi selanjutnya.

Kegiatan Yang Bermanfaat Bagi Lansia


Beberapa kegiatan yang dirasakan mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan psikologis

73
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

Bentuk kegiatan yang biasa dijalankan lansia bersama dengan teman yang mampu meningkatkan

menjenguk teman yang sakit, menghadiri acara-acara penting sahabat, menjalankan hobby bersama, dan
tracking, dan menari.

Gambar 19. Tracking Bersama

“Rekreasi bersama dengan sahabat. Istirahat sejenak di sungai. Persahabatan mampu


.” (KT, 64 tahun)

Sifat yang harus dipupuk dan dimiliki oleh lansia agar kegiatan bersama dengan teman mampu

senantiasa membuka komunikasi, empati, kepedulian, serta silaturahmi.

Gambar 20. Bersahabat dan Berkomunikasi

“Teman yang sudah lama tidak bertemu, foto bersama di Bandara Soekarno-Hatta. Sangat
menggembirakan. Karena kami bersahabat dan saling berkomunikasi.” (KR, 64 tahun)

74
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

Selain itu hubungan persahabatan yang dibina dengan keluarga membutuhkan kepedulian dan
kesediaan untuk menyempatkan diri berinteraksi menemani anggota keluarga lainnya sesibuk apa pun
kegiatan keseharian. Aktivitas yang dilakukan bersama haruslah senantiasa dilakukan dengan ketulusan.
Pada dasarnya lansia harus mampu menjadi role model bagi generasi selanjutnya.

Gambar 21. Ketulusan

“Sesibuk apapun pasti menyempatkan untuk mendampingi pasangan hidup. Hal ini terjadi
karena ketulusan hati tanpa paksaan. Ini karena kami fokus selama 50 tahun tetap bersama
dan persahabatan ini kami bina terus menerus untuk dijadikan contoh oleh anak cucu ke
depan.” (CH, 64 tahun)

DISKUSI

Makna Persahabatan di Usia Lanjut


interdependence yang bersifat sukarela antara
dua orang dalam jangka waktu yang lama, untuk memfasilitasi tujuan sosial dan emosional kedua
belah pihak, dan di dalamnya mengandung berbagai tipe serta derajat kebersamaan, initimasi, afeksi,
dan mutual assistance
kebersamaan, kasih saying, atau afeksi adalah komponen penting dari persahabatan. Hal ini sejalan
dengan makna persahabatan yang dirasakan oleh lansia pada penelitian ini. Selain kebersamaan dan
kasih sayang, persahabatan juga dipersepsikan memiliki makna keterbukaan dan trust.
Galupo dan Gonzales (2013) menyatakan bahwa ada tiga nilai-nilai umum yang berlaku di dalam
pertemanan, yakni rasa percaya dan kejujuran, penghargaan kepada teman, dan rasa membutuhkan

75
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

satu dengan yang lain. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki kebutuhan untuk dekat dan terikat satu
dengan yang lain. Konsep relatedness merupakan kebutuhan psikologi dasar manusia. Pemenuhan
akan keterikatan ini adalah hal yang mutlak dalam membangun kualitas persabahatan yang kemudian
mampu meningkatkan kebahagiaan individu (Demir & Ozdemir, 2010). Partisipan dalam penelitian ini
juga melihat bahwa persahabatan memiliki makna keterikatan satu teman dengan teman yang lainnya.
Keterikatan ini selalu dijaga dalam bentuk silaturahmi. Silaturahmi adalah konsep indigenous yang
berarti mengembalikan hubungan masa lalu yang terputus. Dalam konteks ini, persahabatan di usia
lanjut dipandang sebagai bagian dari sejarah kehidupan partisipan.
Persahabatan adalah bagian penting dari setiap bagian kehidupan. Persahabatan menghadirkan
kebersamaan, berbagi, dukungan emosional di masa sulit, identitas diri, dan bagian dari sejarah (Papalia,
Sterns, Feldman, & Camp, 2007). Konsep reciprocity juga tampak dalam hasil penelitian. Persahabatan
memiliki makna perhatian kepada orang-orang terdekat. Ketika lansia memberikan perhatian kepada
sesama lansia, perilaku tersebut dilakukan dengan tujuan mendapatkan timbal balik yang sama.
Menjenguk teman yang sakit dilakukan dengan harapan, saat sakit dan juga kesepian, teman-teman
akan datang dan memberikan bentuk penghiburan yang sama. Grundy dan Sloggett (dalam Gray, 2009)
menegaskan bahwa lansia seringkali mempertukarkan dukungan sosial. Mereka mampu memberikan
dukungan sosial sebaik mereka mampu menerima dukungan sosial.

Bentuk Persahabatan di Usia Lanjut

Siapa Sahabat Bagi Lansia


Dukungan sosial sangat diperlukan di usia lanjut. Seiring dengan bertambahnya usia, interaksi
sosial semakin berkurang. Lansia mendapatkan kepuasan dalam hubungan melalui jejaring sosial yang
lebih kecil. Walaupun secara frekuensi dan kuantitas berkurang, namun kontak sosial yang dibangun
mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka (Lansford, Sherman, & Antonucci, dalam
Papalia dkk., 2007). Social Convoy Theory menjelaskan bahwa lingkaran luar pertemanan pada usia
lanjut akan berkurang, yang tersisa adalah teman yang memiliki derajat kebersamaan dan intimasi.
Sahabat dekat dan keluarga adalah salah satu dari kelompok teman dengan derajat kebersamaan dan
intimasi yang tinggi.

lanjut (Papalia dkk., 2007). Dalam penelitian ini, terlihat bahwa keluarga, seperti pasangan, anak, dan

76
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

maupun material. Wenger, Burholt, dan Scott (dalam Gray, 2009) mengungkapkan bahwa keluarga
berperan dalam personal care dan memberikan umpan balik saat berhadapan dengan personal problem.
Tidak hanya keluarga, Wenger, Burholt, dan Scott (dalam Gray, 2009) juga menemukan bahwa
usia lanjut memerlukan teman di luar keluarga sebagi sumber dukungan dan sharing informasi,
mengatasi kebosanan, dan sumber semangat yang mampu menjauhkan usia lanjut dari depresi serta
kebosanan. Sebagian besar dari kelompok lansia akan mempertahankan persahabatan dan teman-teman
yang mereka kenal pada tahap perkembangan sebelumnya, seperti teman-teman di masa sekolah.
Temuan ini sejalan dengan socioemotional selective theory yang memandang bahwa usia lanjut
memiliki kecenderung untuk berinteraksi dalam konteks persahabatan dengan individu yang sudah
mereka kenal (Carstensen, dalam Papalia, dkk, 2007). Atas dasar pendekatan inilah, lansia cenderung
membina persahabatan dengan teman yang mereka kenal di masa sekolah atau ketika bekerja.
Blieszner (2014) menyatakan bahwa persahabatan juga dapat dibina dengan teman baru.
Menambahkan pendapat Blieszner, Papalia dkk. (2007) melihat bahwa hubungan teman baru dibina jika
berkontribusi kepada kebutuhan emosional mereka, salah satu adalah kebutuhan akan penghargaan dan
self-esteem. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bersahabat dengan generasi yang lebih muda dapat
menghadirkan persahabatan dan kebutuhan akan didengar. Pada akhirnya lansia akan mempertahankan
hubungan persahabatan yang bermakna dan cenderung melepaskan hubungan yang tidak memiliki

Durasi Persahabatan
Persahabatan pada lansia biasanya sudah dibina sejak lama (Blieszner, 2014). Persahabatan
dipandang sebagai sesuatu yang kekal dan langgeng oleh partisipan. Kebersamaan dan hubungan timbal
balik yang mutual menjadi lebih intens. Mereka berbagi nilai, minat, dan permasalahan yang sama
seperti layaknya keluarga (Blieszner, 2014). Bagi partisipan, persahabatan yang berlangsung lama,
membuat sahabat bertransformasi menjadi keluarga. Dalam proses menjalin persahabatan, hubungan
yang dibina dalam jangka waktu yang lama, biasanya masuk ke dalam tahapan sustainment, di mana
kedekatan emosional menjadi semakin kuat, stabil, dan menetap (Blieszner, 2014). Seperti layaknya
hubungan pertemanan lainnya, persahabatan di usia lanjut juga memungkinkan hubungan jarak jauh.
Komunikasi yang rutin adalah salah satu cara untuk mempertahankan persahabatan jarak jauh. Johnson
dan Troll (dalam Papalia dan kawan-kawan., 2007) melalui penelitiannya mengungkapkan bahwa
lansia yang memiliki hubungan pertemanan jarak jauh mampu menggunakan alat-alat komunikasi
penunjang dalam mempertahankan kualitas hubungan mereka.

77
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

Manfaat Persahabatan
Teman adalah sosok yang mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis dan juga kesehatan

dan Akin (2015) menemukan bahwa persahabatan mampu secara langsung meningkatkan kebahagiaan
subjektif. Kebahagiaan subjektif menyangkut meningkatnya afek positif dan menurunnya afek negatif
(Seligman, 2005). Afek positif menyangkut kebahagiaan, kegembiraan, dan juga keceriaan. Dalam
penelitian ini persahabatan juga mampu menghindarkan individu dari pikiran-pikiran negatif terkait
kehidupan.
Cable dan kawan-kawan. (dalam Blieszner, 2014) mengungkapkan bahwa persahabatan mampu
meningkatkan pandangan positif terkait kehidupan. Persahabatan juga mampu membangkitkan rasa
dihargai dan kompeten dalam melakukan suatu hal tertentu (Demir & Ozdemir, 2010). Seperti yang
diungkapkan oleh partisipan bahwa persahabatan dengan generasi selanjutnya mampu menghadirkan
penghargaan dan meningkatkan self-esteem. Persahabatan adalah sumber social support bagi lansia,
sahabat adalah sumber informasi dan dukungan dalam penyelesaian masalah yang dihadapi (Gray,
2009; Hemingway & Jack, 2013). Di samping itu, sesuai dengan uraian Blieszner (2014), kecenderung
lansia untuk mempertahankan persahabatan yang bermanfaat secara tidak langsung membuat lansia
memilih dalam menentukan siapa yang dinilai sebagai sahabat atau teman. Pendapat ini sejalan dengan
teori socioemotional selective theory.
Pada akhirnya, sahabat dipandang sebagai sosok yang mampu menjadi inspirasi dan panutan.
Salah satu yang menginspirasi adalah nilai-nilai empati, penghargaan, dan wisdom di usia lanjut.
Temuan ini sejalan dengan pendapat Erikson (Papalia dan kawan-kawan., 2007) terkait dengan tahap
perkembangan psikososial di usia lanjut yang sudah mencapai tahapan wisdom versus despair.
Selain manfaat secara psikologis, persahabatan juga mampu menghadirkan manfaat berupa
peningkatan kesehatan fisik, termasuk kesehatan subjektif. Partisipan menyampaikan bahwa
persahabatan membangun persepsi bahwa mereka tidak tua walaupun memasuki usia lanjut. Bagi
partisipan, persahabatan mampu menahan penuaan, meningkatkan selera makan, dan penambah energi.
Individu dengan kesehatan subjektif yang tinggi biasanya akan memiliki lebih banyak energi ketika
berhadapan dengan aktivitas keseharian dan tidak menjadi rentan terhadap stres (Akin & Akin, 2015).

78
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

Bentuk Aktivitas Yang Bermanfaat


Kegiatan yang bermanfaat bagi lansia antara lain adalah berkumpul bersama teman, sharing
pengalaman, mencari solusi dari masalah yang dihadapi, menjenguk teman, menghadiri acara penting
sahabat, menjalankan hobby reciprocity dalam persahabatan
mampu menjadi dasar bagi pembentukan kegiatan yang berguna bagi lansia (Gray, 2009). Selain itu,
kegiatan yang dilakukan juga mampu menghadirkan relatedness, kemandirian, dan juga menghadirkan
perasaan kompeten bagi lansia. Relatedness, kemandirian, dan rasa kompeten adalah kebutuhan
psikologis dasar yang dapat dipenuhi melalui persahabatan (Demir & Ozdemir, 2010).
Bentuk kegiatan seperti reuni, berbagi pengalaman dan masalah, menjenguk teman, dan
menghadiri acara penting sahabat adalah bentuk kegiatan yang mampu menghadirkan kebersamaan.
Menjalankan hobby tracking, yoga, dan menari mampu

bersama dengan sahabat menjadi faktor penting dalam menumbuhkan kepedulian untuk terlibat dalam

bertahan lebih lama pada satu klub kebugaran yang diikuti.


Kegiatan di atas mampu menghadirkan manfaat positif saat kualitas persahabatan dijaga. Beberapa
komponen dari kualitas persahabatan adalah kebersamaan, keinginan untuk menolong, kedekatan,
dan juga self-validation (Demir & Ozdemir, 2010) Kebersamaan dan kedekatan dapat dibina dengan
senantiasa menjalin komunikasi dan berbagi informasi bersama dengan sahabat. Pendapat ini sejalan
dengan yang diungkapkan oleh Blieszner (2014), yaitu kegiatan dan interaksi persahabatan akan
berdaya guna di saat komunikasi dan pertukaran informasi selalu dijaga oleh lansia, adanya ketulusan
serta mutual trust, dan kesiapan untuk saling berbagi. Sejalan dengan perkembangan psikoseksualnya,
maka lansia pun harus menjadi contoh bagi generasi selanjutnya.

79
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Persahabatan di usia lanjut mampu menghadirkan makna kebersamaan, kasih sayang, afeksi,
dan juga reciprocity. Bentuk persahabatan di usia lanjut pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang
berarti. Perbedaannya terletak pada hal-hal yang dianggap penting dalam persahabatan yang kemudian
menjadi dasar bagi pengambilan keputusan untuk mempertahankan persahabatan. Persahabatan
pada usia lanjut bersifat lebih selektif dan cenderung mempertahankan hubungan yang langsung
memberikan dampak bagi kesejahteraan di usia lanjut. Hubungan biasanya berlangsung lama, bertahun-
tahun, sehingga mampu mentransformasi sahabat menjadi sosok keluarga. Dalam konteks hubungan
kekeluargaan, maka terjadi pertukaran nilai-nilai dan juga pandangan hidup. Sahabat juga mampu
menjadi inspirasi dan panutan dalam mencapai tahapan wisdom di usia lanjut. Usia tidak membatasi
usia lanjut untuk beraktivitas. Kesediaan untuk menjalankan aktivitas sangat dipengaruhi juga oleh

komponen kebersamaan, mutual trust, reciprocity, dan self-validation, maka persahabatan di usia lanjut

Saran Teoretis
Penelitian ini memberikan kontribusi pada Ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan
dan Psikologi Gerontologi dalam hal menjelaskan mengenai perkembangan usia lanjut dan usaha-usaha
promotif yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kesehatan serta produktivitas di usia lanjut.
Penelitian yang melibatkan lansia sebagai populasinya dapat mempertimbangkan pendekatan kualitatif
dengan menggunakan photovoice untuk menggali pengalaman, sikap, dan tingkah laku lansia terkait
dengan bidang yang ingin diteliti.

Saran Praktis
Berdasarkan temuan di atas, maka beberapa critical finding yang dapat digunakan bagi
perencanaan model manajemen kesehatan bagi lansia antara lain: (1) Usia bukan menjadi ukuran
dalam membina persahabatan; (2) Konsep reciprocity menjadi hal yang penting untuk ditanamkan
di usia lanjut, di mana lansia memiliki kemampuan untuk memberikan bantuan sebaik kemampuan

80
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

mereka dalam menerima bantuan; (3) Perasaan kompeten dan mampu berkontribusi bagi generasi
selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi pembentukan kegiatan intergenerational
yang disiapkan bagi usia lanjut sebaiknya menghadirkan teman sebaya yang mampu mendorong usia
lanjut untuk aktif dan bersemangat.

REFERENSI

Akin, A., & Akin, U. (2015). Friendship quality and subjective happiness: The mediator role of
subjective vitality. Education and Science, 40(177), 233-242. DOI: 10.1539/EB.2015.3786
Blieszner, R. (2014). The worth of friendship: Can friends keep us happy and healthy? Journal of The
American Society on Aging, 38(1), 24-30.
Capalb, D. J., O’Halloran, P., & Liamputtong, P. (2014). Why older people engage in physical activity:
An exploratory study of participants in a community-based walking program. Australian Journal
of Primary Health, 20, 74-78.
Demir, M., & Ozdemir, M. (2010). Frienship, need satisfaction, and happiness. Journal of Happiness
Study, 11, 243-259. DOI: 10.1007/s10902-009-9138-5
Galupo, M. P., & Gonzales, K. A. (2013). Friendship values and cross-category friendships:
Understanding adult friendship patterns across gender, sexual orinetation, and race. Journal of
Sexual Roles, 68, 779-790.
Gray, A. (2009). The social capital of older people. Ageing and Society, 29, 5-31.
Hemingway, A., & Jack, E. (2013). Reducing social isolation and promoting well-being in older people.
Quality in Ageing and Older Adults, 14(1), 25-35.
Lestari, M. D. (2015). Self-perception of aging, sexual quality of life, happiness, and autonomy among
middle and late adulthood women in Denpasar. Journal of Indian Academy of Geriatric, 11, 25-26.
Lestari, M. D. (2016). Menuju Denpasar yang ramah lansia. . Ditemu kembali
dari https://scimag.unud.ac.id/posts/menuju-denpasar-ramah-lansia.

81
Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 4, No. 1/Juni 2017, hlm. 59-82

O’Grady, L. (2008). The world of adolescence: Using photovoice to explore psychological sense of
community and well being in adolescents with and without an intelectual disability (Disertasi
tidak dipublikasikan). Victoria University, Australia.
Papalia, D. E., Sterns, H. L., Feldman, R. D., & Camp, C. J. (2007). Adult development and aging (3rd
ed.). New York, NY: The McGraw-Hill Companies.
Seligman, M. E. P. (2005). Authentic happiness. New York, NY: Free Press.
Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basic of qualitative research: Grounded theory procedure and
techniques. California: Sage Publications, Inc.
Suardiman, S. P. (2011). Psikologi usia lanjut. Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press.

82
Pambudi, et al, Pengaruh TAKS Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Lansia dengan Kesepian…

Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) terhadap


Kemampuan Interaksi Sosial pada Lansia dengan Kesepian di
Pelayanan Sosial Lanjut Usia (PSLU) Jember
(The Effects of Socialization Group Activity Therapy (SGAT)
toward Ability of Social Interaction of Elderly with
Loneliness at Nursing Home Jember)
Wahyu Elok Pambudi, Erti Ikhtiarini Dewi, Lantin Sulistyorini
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember
Jl. Kalimantan No. Kampus Tegal Boto Jember 37 Telp./Fax. (0331) 323450
email: erti_i.psik@unej.ac.id

Abstract
Elderly are people who over the age of 60 years old. The aging process of elderly will reduce the
normal function of the body. This situation can make ability of social interaction being down and
elderly feel lonely. Socialization Group Activity Therapy (SGAT) aims to increase the social
relationship in the group gradually. The aim of this research was to analyze the effects of SGAT
toward ability of social interaction of elderly with loneliness at nursing home Jember. This research
used pre experimental method with one group pretest posttest design. There were 19 elderly who
participate as the samples of this research. The samples were taken by using purposive sampling
technique. The data were analyzed with dependent t-test, with the increasing of the average value
ability of social interaction was 14,11 (22.3 - 37.32). The ability of social interaction of elderly with
loneliness after getting SGAT was 94,7% had a good ability of social interaction. The result
showed that p value = 0,0005 (CI 95%). The conclusion is there were significant effects of SGAT
toward ability of social interaction of elderly with loneliness at nursing home Jember. This research
recommended the SGAT to increase the ability of social interaction of elderly with loneliness.

Keywords: Elderly with Loneliness, SGAT, Ability of Social Interaction

Abstrak
Lansia adalah seseorang yang telah berusia lebih dari 60 tahun. Proses penuaan yang dialami
oleh lansia akan menyebabkan penurunan fungsi normal tubuh. Keadaan ini dapat
mengakibatkan penurunan kemampuan interaksi sosial dan menimbulkan perasaan kesepian
pada lansia. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) bertujuan untuk meningkatkan
hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Tujuan penelitian untuk menganalisis
pengaruh TAKS terhadap kemampuan interaksi sosial pada lansia dengan kesepian di Pelayanan
Sosial Lanjut Usia (PSLU) Jember. Desain penelitian ini adalah pre experimental dengan
rancangan one group pretest posttest. Sampel penelitian sebanyak 19 lansia dan menggunakan
teknik purposive sampling. Data dianalisis menggunakan uji t dependen, dengan kenaikan nilai
rata-rata kemampuan interaksi sosial sebesar 14,11 (22,31 - 37,32). Kemampuan interaksi sosial
lansia dengan kesepian setelah TAKS adalah 94,7% memiliki kemampuan interaksi sosial baik.
Hasil ini menunjukkan nilai p = 0,0005 (CI 95%). Kesimpulan dari hasil penelitian adalah adanya
pengaruh yang sangat amat bermakna antara TAKS terhadap kemampuan interaksi sosial pada
lansia dengan kesepian di PSLU Jember. Rekomendasi penelitian ini adalah TAKS
direkomendasikan pada lansia dengan kesepian untuk meningkatkan kemampuan interaksi
sosialnya.

Kata Kunci: Lansia dengan Kesepian, TAKS, Kemampuan Interaksi Sosial

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.5 (no.2), Mei, 2017 253


Pambudi, et al, Pengaruh TAKS Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Lansia dengan Kesepian…

Pendahuluan beragam mulai dari masalah fisik dan


psikologis. Masalah kesehatan fisik yang
Lansia adalah seseorang yang telah dialami lansia di PSLU Jember seperti
mencapai usia 60 tahun ke atas. Jumlah lansia di hipertensi, rematoid artritis, gatal-gatal, infeksi
Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. saluran nafas, diare, diabetes, gangguan
Jumlah lansia di Indonesia diperkirakan mencapai penglihatan, fraktur, stroke, dan lain
30-40 juta pada tahun 2020 sehingga Indonesia sebagainya. Masalah psikologis yang dialami
menduduki peringkat ke empat di dunia. lansia di PSLU Jember juga beragam, yaitu
Persentase jumlah populasi lansia pada tahun demensia, status emosional yang kurang baik
2000 sebesar 7,18% dari seluruh penduduk di seperti mudah marah, cemburu, mudah
Indonesia. Angka ini meningkat menjadi 7,56% tersinggung, sering bertengkar dengan sesama
pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 menjadi lansia, dan kesepian.
7,58% dari seluruh penduduk di Indonesia. Hasil wawancara dengan lansia dan
Peningkatan jumlah lansia akan berdampak pada pengurus PSLU diketahui masalah interaksi
perubahan transisi epidemiologi yaitu sosial yang dialami lansia disebabkan karena
peningkatan angka kesakitan karena penyakit lansia masih kurang menunjukkan rasa
degeneratif [1]. kebersamaan sesama lansia. Masalah
Proses penuaan yang dialami oleh lansia interaksi sosial yang terjadi dapat membuat
akan menyebabkan penurunan fungsi normal lansia merasa sendiri dan kesepian. Perasaan
tubuh. Hal ini membuat seorang lansia lebih kesepian yang dialami lansia di PSLU Jember
berisiko terhadap masalah kesehatan, baik ditunjukkan dengan seringnya lansia
secara biologis maupun psikologis [2]. Keadaan ditemukan melamun dan merenung sendirian.
ini dapat menyebabkan kemampuan interaksi Upaya-upaya yang dilakukan PSLU Jember
sosial pada lansia mengalami penurunan. dalam mengurangi perasaan kesepian pada
Penurunan kemampuan interaksi sosial pada lansia dengan memberikan kegiatan-kegiatan
lansia akan berdampak buruk karena partisipasi rutin untuk meningkatkan interaksi sosialnya.
sosial dan hubungan interpersonal merupakan TAKS belum pernah dilakukan di PSLU
bagian yang cukup penting untuk kesehatan fisik, Jember sebelumnya.
mental, dan emosional bagi lansia [3]. Berdasarkan pada uraian permasalahan
Penurunan kemampuan interaksi sosial tersebut peneliti tertarik untuk melakukan suatu
dapat memunculkan perasaan kesepian pada penelitian untuk mengetahui “apakah ada
lansia. Kesepian adalah suatu rasa pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi
ketidaknyamanan yang berkaitan dengan terhadap kemampuan interaksi sosial pada
keinginan atau kebutuhan untuk melakukan lebih lansia dengan kesepian di PSLU Jember”.
banyak kontak dengan orang lain [4]. Keadaan- Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
keadaan tersebut lebih mudah dialami oleh lansia pengaruh TAKS terhadap kemampuan
yang tinggal di panti jompo atau di PSLU interaksi sosial pada lansia dengan kesepian di
(Pelayanan Sosial Lanjut Usia), karena lansia PSLU Jember.
tersebut memiliki sistem dukungan yang lebih
terbatas dan kesempatan untuk berinteraksi
dengan lingkungan luar yang lebih sedikit Metode Penelitian
daripada lansia yang tinggal bersama keluarga di Penelitian ini menggunakan desain
komunitas [5]. penelitian pre eksperimental dengan
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi rancangan penelitian one group pretest
(TAKS) adalah suatu upaya memfasilitasi posttest. Populasi dalam penelitian ini adalah
kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan semua lansia yang tinggal di PSLU Jember
masalah hubungan sosial, yang bertujuan untuk yang berjumlah 140 lansia. Jumlah sampel
meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak
secara bertahap [6]. TAKS membantu lansia 19 lansia. Teknik sampling yang digunakan
untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang yaitu purposive sampling. Penelitian ini
ada disekitarnya. Pemberian TAKS pada lansia dilaksanakan di PSLU Jember. Waktu
yang mengalami kesepian di PSLU diharapkan Penelitian dilakukan pada bulan November
dapat meningkatkan kemampuan interaksi 2014 sampai dengan Mei 2015. Waktu
sosialnya. penelitian ini dihitung mulai dari pembuatan
Hasil studi pendahuluan diketahui masalah proposal sampai penyusunan laporan dan
kesehatan yang dialami lansia di PSLU Jember publikasi penelitian.

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.5 (no.2), Mei, 2017 254


Pambudi, et al, Pengaruh TAKS Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Lansia dengan Kesepian…

Teknik pengumpulan data dalam penelitian (68,4%), berpendidikan SD/tidak bersekolah


ini menggunakan kuesioner karakteristik sebanyak 13 orang (68,4%), lebih banyak
responden dan kuesioner kemampuan interaksi memiliki riwayat bekerja dibandingkan tidak
sosial, serta untuk screening responden bekerja dengan status pekerjaan terbanyak
menggunakan kuesioner kesepian yang diadopsi adalah wiraswasta sebanyak 7 orang (36,8%),
dari UCLA Lonliness Scale dan Mini Mental State status perkawinan janda/duda sebanyak 13
Examination (MMSE). Data dianalisis dengan (68,4%), sudah tinggal di panti dalam kurun
menggunakan uji t dependent dengan derajat waktu 0-5 tahun sebanyak 14 orang (73,7%),
kepercayaan 95% (α=0,05). dan sebagian besar mengalami kesepian
ringan sebanyak 14 orang (73,7%)
Hasil Penelitian
Karakteristik Responden Kemampuan Interaksi Sosial Sebelum
Tabel 1. Analisis karakteristik usia lansia dengan TAKS
kesepian di PSLU Jember Tabel 3. Kemampuan interaksi sosial lansia
Min- 95% dengan kesepian sebelum diberikan
Karakteristik n Mean SD
Mak CI TAKS
Usia 65,32- Min- 95%
19 67,84 5,23 60-74 Karakteristik n Mean SD
(Tahun) 70,36 Mak CI
Kemampuan
18- 21,51-
Tabel 1 menunjukkan usia rata-rata interaksi 19 22,31 3,53
31 24,92
responden penelitian adalah 67,84 tahun dengan sosial
standar deviasi 5,23. Usia termuda 60 tahun dan Hasil analisis tabel 3 menunjukkan nilai
usia tertua 74 tahun. Hasil nilai kepercayaan rata-rata kemampuan interaksi sosial lansia
menunjukkan 95% diyakini rata-rata usia lansia sebelum diberikan TAKS adalah 22,31
dengan kesepian berada pada rentang 65,32 (kemampuan interaksi sosial cukup) dengan
tahun sampai dengan 70,36 tahun. nilai standar deviasi 3,53. Nilai terendah 18
dan nilai tertinggi 31. Hasil nilai kepercayaan
Tabel 2. Distribusi frekuensi karakteristik jenis 95% diyakini rata-rata kemampuan interaksi
kelamin, pendidikan, pekerjaan, status sosial lansia dengan kesepian berada pada
perkawinan, lama tinggal, dan status rentang 21,51 sampai dengan 24,92.
kesepian lansia di PSLU Jember
Karakteristik Frekuensi Persentase Kemampuan Interaksi Sosial Sesudah
(n=19) (%) TAKS
1. Jenis kelamin Tabel 4. Kemampuan interaksi sosial lansia
a. Laki-laki 6 31,6 dengan kesepian sesudah diberikan
b. Perempuan 13 68,4 TAKS
2. Pendidikan Min- 95%
a. SD/tidak sekolah 13 68,4 Karakteristik n Mean SD
Mak CI
b. SMP 2 10,5 Kemampuan
c. SMA 4 21,1 3,1 31- 35,77-
interaksi 19 37,32
3. Pekerjaan 9 43 38,86
sosial
a. Tidak bekerja 5 26,3 Hasil analisis tabel 4 menunjukkan rata-
b. Petani 1 5,3 rata nilai kemampuan interaksi sosial lansia
c. Wiraswasta 7 36,8
sesudah diberikan TAKS adalah 37,32
d. Lainnya 6 31,6
4. Status kawin
(kemampuan interaksi sosial baik) dengan nilai
a. Kawin 6 31,6 standar deviasi 3,198. Nilai terendah 31 dan
b. Janda/duda 13 68,4 nilai tertinggi 43. Hasil nilai kepercayaan 95%
5. Lama tinggal diyakini rata-rata kemampuan interaksi sosial
a. 0-5 tahun 14 73,7 lansia dengan kesepian berada pada rentang
b. 6-10 tahun 2 10,5 35,77 sampai dengan 38,86.
c. >10 tahun 3 15,8
6. Status Kesepian
a. Kesepian ringan 14 73,7
b. Kesepian sedang 5 26,3

Tabel 2 menunjukkan mayoritas responden


berjenis kelamin perempuan sebanyak 13 orang

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.5 (no.2), Mei, 2017 255


Pambudi, et al, Pengaruh TAKS Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Lansia dengan Kesepian…

Pengaruh TAKS terhadap Kemampuan 13 orang (68,4%). Pendidikan merupakan


Interaksi Sosial Lansia dengan Kesepian di salah satu faktor predisposisi sosial budaya
PSLU Jember untuk terjadinya masalah psikologis [12].
Tabel 5. Analisis pengaruh TAKS terhadap Faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan
kemampuan interaksi sosial lansia seseorang untuk menyelesaikan masalah yang
dengan kesepian di PSLU Jember dihadapi [13]. Semakin tinggi tingkat
Variabel
N
Mea SD 95% p pendidikan seorang lansia maka semakin
n CI value banyak pengalaman hidup yang dilaluinya
Sebelum 23,21 3,537 21,51- sehingga akan lebih siap dalam menghadapi
TAKS 24,92 masalah yang terjadi.
19 0,0005
Sesudah 37,32 3,198 35,77- Lansia yang menjadi responden
TAKS 38,86
penelitian lebih banyak memiliki riwayat
bekerja dibandingkan tidak bekerja dengan
Hasil analisis pada tabel 5 menunjukkan
status pekerjaan terbanyak adalah wiraswasta
terdapat perbedaan nilai kemampuan interaksi
sebanyak 7 orang (36,8%). Pada masa lansia,
sosial lansia setelah TAKS ditunjukkan dengan
seorang individu akan mengalami beberapa
kenaikan nilai rata-rata kemampuan interaksi
kehilangan salah satunya adalah pekerjaan
sosial dari 23,21 (kemampuan interaksi sosial
dan lansia memerlukan dukungan orang lain
cukup) menjadi 37,32 (kemampuan interaksi
dalam menghadapi kehilangan [14]. Hurlock
sosial baik). Hasil uji statistik dengan dependent
menyatakan tugas perkembangan lansia salah
t-test didapatkan nilai p = 0,0005 (CI 95%).
satunya adalah menyesuaikan diri dengan
masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
Pembahasan (income) [2]. Lansia yang memiliki pekerjaan
Karakteristik Responden dengan penghasilan yang baik, akan membuat
Rata-rata usia responden penelitian adalah lansia memiliki kemampuan untuk mencukupi
67,84 tahun. Seseorang dikatakan sudah menjadi kebutuhannya sendiri termasuk kebutuhan
lansia apabila mencapai usia 60 tahun ke atas untuk melakukan interaksi dengan orang lain.
[7]. Lansia dengan usia 70 tahun ke atas memiliki Status perkawinan responden yang
risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah paling banyak adalah janda/duda yaitu
kesehatan baik fisik maupun psikologisnya [8]. sebanyak 13 orang (68,4%). Burnside, Duvall,
Proses penuaaan yang dialami lansia dan Havighurat menyatakan lansia memiliki
menyebabkan penurunan fungsi tubuh secara tugas perkembangan khusus yang terdiri dari
menyeluruh sehingga membuat status kesehatan tujuh kategori utama salah satunya adalah
lansia semakin menurun [9]. Keadaan ini akan menyesuaikan dengan kematian pasangan
berdampak pada kemampuan lansia dalam [11]. Individu yang mengalami perceraian atau
berinteraksi. tidak memiliki pasangan termasuk kelompok
Mayoritas jenis kelamin responden adalah risiko tinggi mengalami masalah psikologis
perempuan sebanyak 13 orang (68,4%). [12]. Lansia yang memiliki pasangan hidup,
Penelitian yang dilakukan oleh Juniarti tentang memungkinkan untuk meringankan masalah
gambaran kesepian lansia yang tinggal di panti, psikologisnya dan lansia harus bisa
menunjukkan 76% lansia yang mengalami menyesuaikan diri mengenai kehilangan
kesepian adalah lansia perempuan [10]. Keadaan pasangan hidup.
sistem muskuloskeletal pada lansia akan Lansia yang menjadi responden
mengalami penurunan struktur dan fungsinya [8]. penelitian mayoritas sudah tinggal di PSLU
Laju demineralisasi tulang terjadi lebih besar selama 0-5 tahun sebanyak 14 orang (73,7%).
pada wanita yang menopause daripada pria Lansia yang tinggal di panti mendapatkan
lansia [11]. Kemampuan mobilisasi lansia yang kesempatan untuk berinteraksi dengan
terus menurun akibat sistem muskuloskeletal lingkungan luar lebih terbatas daripada lansia
yang terus mengalami penurunan akan yang tinggal di komunitas. Semakin sedikit
menyebabkan kemampuan lansia untuk kesempatan lansia untuk bertemu dan
melakukan kontak dan komunikasi dengan orang berinteraksi dengan orang lain akan
lain mengalami hambatan, sehingga kemampuan berdampak pada semakin besar lansia untuk
interaksi sosial lansia juga akan mengalami mengalami perasaan kesepian [15]. Semakin
penurunan. lama seorang lansia tinggal di panti maka
Status pendidikan SD/tidak sekolah keadaan-keadaan tersebut akan sering
memiliki persentase paling besar yaitu sebanyak dialami.

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.5 (no.2), Mei, 2017 256


Pambudi, et al, Pengaruh TAKS Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Lansia dengan Kesepian…

Status kesepian yang paling banyak disebabkan karena proses penuaan yang
dialami oleh responden penelitian adalah terjadi pada lansia yang mengakibatkan
kesepian ringan sebanyak 14 orang (73,7%). penurunan fungsi tubuh lansia secara umum.
Penelitian yang dilakukan oleh Juniarti tentang Interaksi sosial berperan sangat penting
gambaran jenis dan tingkat kesepian pada lansia terhadap status kesehatan lansia. Salah satu
di panti didapatkan mayoritas lansia mengalami terapi yang dapat meningkatkan kemampuan
kesepian ringan sebanyak 66 orang (69,5%) [10]. interaksi lansia adalah terapi aktivitas
Kesepian adalah suatu rasa ketidaknyamanan kelompok sosialisasi (TAKS)
yang berkaitan dengan keinginan atau kebutuhan
untuk melakukan lebih banyak kontak dengan Kemampuan Interaksi Sosial Sesudah
orang lain [16]. Kesepian dapat dipicu karena TAKS
kurangnya kesempatan seseorang untuk bertemu Hasil penelitian terkait status
dan berinteraksi dengan orang lain yang kurang kemampuan interaksi sosial lansia setelah
[15]. Keadaan ini sering dialami oleh lansia yang diberikan TAKS menunjukkan 18 orang
tinggal di PSLU Jember. Kondisi ini dapat (94,7%) dikategorikan memiliki kemampuan
membuat lansia yang tinggal di panti lebih interaksi sosial baik dan sebanyak 1 orang
berisiko untuk mengalami perasaan kesepian. (5,3%) yang dikategorikan memiliki
kemampuan interaksi sosial cukup, serta tidak
Kemampuan Interaksi Sosial Sebelum TAKS didapatkan lansia yang dikategorikan memiliki
Hasil penelitian terkait kemampuan kemampuan interaksi sosial kurang. Hasil ini
interaksi sosial lansia sebelum TAKS menggambarkan sebagian besar lansia
menunjukkan nilai rata-rata kemampuan interaksi memiliki kemampuan interaksi sosial yang baik
sosial lansia sebelum diberikan TAKS adalah setelah diberikan TAKS.
22,31 (kemampuan interaksi sosial cukup). Terapi aktivitas kelompok (TAK)
Kemampuan interaksi sosial yang telah merupakan salah satu terapi yang bertujuan
dikategorikan menunjukkan seluruh lansia yang meningkatkan kebersamaan, bersosialisasi,
menjadi responden penelitian memiliki bertukar pengalaman, dan mengubah perilaku
kemampuan interaksi sosial cukup, dan lansia [8]. TAKS merupakan salah satu upaya dengan
yang menjadi responden tidak ada yang memiliki cara memfasilitasi kemampuan sosialisasi
kemampuan interaksi sosial kurang dan baik. sejumlah klien dengan masalah hubungan
Kemampuan interaksi sosial seseorang sosial, yang bertujuan meningkatkan hubungan
dapat dipengaruhi oleh berbagai hambatan yang sosial dalam kelompok secara bertahap [6].
terjadi. Hambatan dalam interaksi sosial Hasil penelitian tersebut didukung oleh
disebabkan karena kuantitas pertukaran sosial penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
yang tidak memadai atau berlebih serta Muzayyin tentang perbedaan kemampuan
ketidakefektifan kualitas pertukaran sosial. bersosialisasi sebelum dan sesudah dilakukan
Seseorang dapat dikatakan mengalami hambatan TAKS. Kemampuan bersosialisasi sesudah
dalam interaksi sosial ketika merasa tidak TAKS mengalami peningkatan dari
nyaman pada situasi sosial dan tidak mampu kemampuan bersosialisasi sebelum mendapat
untuk menerima rasa keterikatan sosial yang TAKS [19]. Hasil ini menunjukkan bahwa
memuaskan [17]. pemberian TAKS dapat meningkatkan
Lansia yang tingal di PSLU Jember kemampuan bersosialisasi pada individu yang
memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan mendapatkan TAKS.
lingkungan luar lebih sedikit. Lansia lebih banyak Pemberian TAKS pada lansia kesepian
beraktivitas dan bersosialisasi di dalam panti. dapat melatih lansia untuk melakukan
Keadaan ini membuat interaksi sosial lansia kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan
hanya terbatas pada lingkungan dalam panti. kemampuan lansia untuk membangun
Kondisi tersebut mempengaruhi kemampuan hubungan interpersonal. Setelah mengikuti
interaksi sosial lansia, karena semakin sedikit TAKS, lansia akan mendapatkan keterampilan
kesempatan lansia untuk melakukan kontak dan untuk berinteraksi sosial dan dapat digunakan
komunikasi dengan orang lain maka kesempatan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat
untuk melakukan interaksi sosial semakin sedikit meningkatkan kemampuan interaksi sosial
pula. Interaksi sosial dapat terjadi apabila lansia.
memenuhi dua syarat, yaitu adanya kontak sosial
(social-contact) dan komunikasi [18].
Keterbatasan lansia dalam berinteraksi dapat

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.5 (no.2), Mei, 2017 257


Pambudi, et al, Pengaruh TAKS Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Lansia dengan Kesepian…

Pengaruh TAKS terhadap Kemampuan berkomunikasi, saling memperhatikan,


Interaksi Sosial Lansia dengan Kesepian di memberikan tanggapan terhadap orang lain,
PSLU Jember mengekspresikan ide, dan menerima stimulus
Hasil analisis data penelitian menunjukkan eksternal yang berasal dari lingkungan.
terdapat perbedaan nilai kemampuan interaksi TAKS adalah salah satu intervensi
sosial lansia sebelum dan sesudah diberikan keperawatan yang efektif untuk meningkatkan
TAKS. Perubahan nilai rata-rata kemampuan kemampuan klien berinteraksi sosial [22].
interaksi sebelum TAKS sebanyak 23,21 Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
(kemampuan interaksi sosial cukup) dan sesudah Muzayyin tentang perbedaan kemampuan
TAKS sebanyak 37,32 (kemampuan interaksi bersosialisasi sebelum dan sesudah dilakukan
sosial baik), yang berarti pemberian TAKS TAKS pada pasien isolasi menunjukkan ada
berpengaruh terhadap kemampuan interaksi perbedaan kemampuan bersosialisasi sebelum
sosial lansia dengan kesepian. Hasil uji statistik dan sesudah dilakukan TAKS dengan p =
dengan dependent t-test didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05). TAKS yang diberikan efektif
0,0005 (CI 95%) yang berarti terdapat pengaruh untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi
pemberian TAKS terhadap kemampuan interaksi pada pasien dengan masalah isolasi sosial
sosial lansia dengan kesepian. Nilai p = 0,0005 [19]. Pemberian TAKS memungkinkan klien
(CI 95%) menunjukkan tingkat kemaknaan hasil saling mendukung, belajar menjalin hubungan
amat sangat bermakna. Kesimpulan dari interpersonal, merasakan kebersamaan dan
pernyataan tersebut adalah Ha diterima dan dapat memberikan masukan terhadap
membuktikan terdapat pengaruh yang signifikan pengalaman masing-masing klien, sehingga
antara TAKS terhadap kemampuan interaksi akan meningkatkan kemampuan bersosialisasi
sosial lansia dengan kesepian di PSLU Jember. dengan orang lain yang ada disekitarnya [23].
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan Peningkatan kemampuan bersosialisasi pada
teori yang menyatakan terapi aktivitas kelompok lansia dengan kesepian di PSLU Jember
sosialisasi membantu klien untuk melakukan terjadi karena TAKS dilakukan agar lansia
sosialisasi dengan individu yang ada disekitar mampu mengekspresikan perasaan dan
klien. Terapi ini memfasilitasi psikoterapi untuk latihan perilaku dalam berhubungan dengan
memantau dan meningkatkan hubungan orang lain yang ada disetiap sesi-sesi TAKS.
interpersonal, memberi tanggapan terhadap
orang lain, mengekspresikan ide dan tukar Simpulan dan Saran
persepsi, dan menerima stimulus eksternal yang Kesimpulan dari hasil penelitian adalah
berasal dari lingkungan [6]. terdapat pengaruh yang signifikan antara
Hasil penelitian tersebut didukung oleh TAKS terhadap kemampuan interaksi sosial
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hasriana pada lansia dengan kesepian di PSLU Jember
bahwa TAKS dapat meningkatkan kemampuan (p value = 0,0005 (CI 95%)). Hasil ini
bersosialisasi klien dengan masalah isolasi sosial menunjukkan TAKS dapat di diberikan pada
dengan nila p = 0,000 yang berarti sangat amat lansia dengan kesepian yang tinggal di PSLU
bermakna [20]. Penelitian selanjutnya yang atau panti untuk meningkatkan kemampuan
dilakukan oleh Akbar dengan hasil terdapat interaksi sosialnya.
pengaruh yang sangat bermakna dari pemberian Saran yang direkomendasi oleh peneliti
TAKS terhadap peningkatan konsep diri pada adalah TAKS dapat diterapkan oleh petugas
lansia [21]. sosial atau perawat panti untuk diberikan pada
TAKS terdiri dari tujuh sesi yaitu lansia dengan kesepian untuk meningkatkan
memperkenalkan diri, berkenalan dengan orang kemampuan interaksi sosialnya. Bagi para
lain, bercakap-cakap, berbincang tentang topik peneliti selanjutnya diharapkan dapat
tertentu, berbincang tentang masalah pribadi mengembangkan penelitian mengenai TAKS
yang dialami, bekerjasama, dan berpendapat terhadap variabel kualitas hidup pada lansia
tentang manfaat dari TAKS [6]. Sesi-sesi dalam dengan kesepian.
TAKS terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dapat
meningkatkan kemampuan lansia dalam Ucapan Terima Kasih
bersosialisasi dan membina hubungan yang baik
dengan sesama lansia dan lingkungan sekitar. Penulis menyampaikan terima kasih
Pemberian terapi aktivitas kelompok sosialisasi kepada responden penelitian, semua staff
melatih individu untuk meningkatkan hubungan PSLU Jember, yang membantu peneliti dalam
interpersonal antar anggota kelompok, melaksanakan penelitian.

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.5 (no.2), Mei, 2017 258


Pambudi, et al, Pengaruh TAKS Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Lansia dengan Kesepian…

Daftar Pustaka Universitas Indonesia; 2011.


[1] Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. [14] Riyadi, Purwanto. Asuhan keperawatan
Gambaran kesehatan lanjut usia di jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2009.
Indonesia. Artikel. Pusat Data Kementerian [15] Carpenito LJ. Diagnosis keperawatan:
Kesehatan RI; 2013. aplikasi pada praktik klinis. Alih bahasa,
[2] Azizah LM. Keperawatan lanjut usia. Kustini Semarwati Kadar; editor edisi
Yogyakarta: Graha Ilmu; 2011. bahasa Indonesia, Eka Anisa Mardella,
[3] Anida. Memahami kesepian. [Internet]. Meining Issuryanti; Ed 9. Jakarta: EGC;
2010.Diambil tanggal 12 Desember 2014 2009.
dari http://www.scribd.com/doc [16] Herdman TH. Diagnosis keperawatan:
[4] Herdman TH. Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014.
definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: Jakarta: EGC; 2012.
EGC; 2012. [17] Wilkinson JM, Ahern NR. Buku saku
[5] Hayati S. Pengaruh dukungan sosial diagnosis keperawatan: diagnosis
terhadap kesepian pada lansia. Skripsi. NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera NOC. Jakarta: EGC; 2011.
Utara; 2010. [18] Noorkasiani, Heryati, Ismail R. Sosiologi
[6] Keliat BA, Akemat. Keperawatan jiwa: keperawatan. Jakarta: EGC; 2009.
terapi aktivitas kelompok. Jakarta: EGC; [19] Muzayyin, Wakhid A, Susilo T.
2004. Perbedaan kemampuan bersosialisasi
[7] Efendi F, Makhfudli. Keperawatan sebelum dan sesudah dilakukan terapi
kesehatan komunitas: teori dan praktik aktifitas kelompok sosialisasi pada
dalam keperawatan. Jakarta: Salemba pasien isolasi sosial di RSJ. Prof. Dr.
Medika; 2009. Soeroyo Magelang. Prosiding Konferensi
[8] Maryam RS, Ekasari MF, Rosidawati, Nasional II PPNI Jawa Tengah; 2014.
Jubaedi A, Batubara I. Mengenal usia [20] Hasriana, Nur M, Anggraini S. Pengaruh
lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba terapi aktivitas kelompok sosialisasi
Medika. 2008. terhadap kemampuan bersosialisasi
[9] Tamher S, Noorkasiani. Kesehatan usia pada klien isolasi sosial menarik diri di
lanjut. dengan pendekatan asuhan Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika; Sulawesi Selatan. Volume 2 Nomor 6
2009. Tahun 2013 ISSN: 2302-1721. Makasar;
[10] Juniarti N, Eka S, Damayanti A. Gambaran 2013.
jenis dan tingkat kesepian pada lansia di [21] Akbar, Herman, Ilyas. Pengaruh terapi
Balai Panti Sosial Tresna Werdha aktivitas kelompok (sosialisasi) terhadap
Pakutandang Ciparay Bandung. Jurnal peningkatan konsep diri pada klien
penelitian. Fakultas Ilmu Keperawatan lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
Universitas Padjadjaran; 2008. Gau Mabaji Kabupaten Gowa. Volume 4
[11] Potter PA, Perry AG. Fundamental Nomor 1 Tahun 2014 ISSN : 2302-1721.
keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Makasar; 2014.
Edisi 4. Jakarta: EGC; 2005. [22] Yosep I. Keperawatan jiwa. Bandung:
[12] Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku PT Refika Aditama; 2007.
keperawatan jiwa. Jakarta: EGC; 2007. [23] Videbeck S L. Buku ajar keperawatan
[13] Masithoh AR. Pengaruh latihan jiwa. Jakarta: EGC; 2008.
keterampilan sosial terhadap kemampuan
sosialisasi pada lansia dengan kesepian di
Panti Wredha Kabupaten Semarang. Tesis.

e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.5 (no.2), Mei, 2017 259


Alfan Miko, Isu-Isu, Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia 43

Isu-Isu, Teori Dan Penelitian


Penduduk Lansia

Alfan Miko1
Jurusan Sosiologi, Fisip Universitas Andalas

Abstrak :The government of Indonesia defines the aging population as people who are at the age of 60 years
old and over. The number and percentage of aging population in West Sumatera increase year by year. As
the result of increasing number and percentage of elderly, the population problems change. The new issue,
that is becoming more important in the future, is the problems related to the aging population. One of them is
health care of the elder. This article uses the sociology approach to understand the affect of these changes to
elderly health care in contemporary Minangkabau society.

Key words:Aging, Family, Social change.

Latar Belakang
Di Indonesia, pengertian penduduk lanjut usia (lansia) merujukkepada
Pasal 1, UU No. 43 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usiayang menyatakan
lansia adalah penduduk yang telah berusia 60 tahun atau lebih2. Undang-undang
di atas merevisi UU No. 4 tahun 1965 tentang Pemberi Bantuan Penghidupan Orang
Jompo yang merupakan tonggak awal perhatian pemerintah terhadap kehidupan
penduduk lansia di Indonesia. Alasan perlu diterbitkannya undang-undang yang
baru sebagai pengganti, disebabkan UU No. 4 tahun 1965 dinilai kurang
sempurna dan mengandung permasalahan serta membuat ketentuan terbatas
hanya pada jompo terlantar dan tidak mampu saja, belum mencakup semua
lansia. Disamping itu, batas usia jompo itu 55 tahun, dianggap sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan usia harapan hidup, sehingga undang-undang itu

1
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Andalas dan Kandidat Doktor Sosiologi Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran.
2
Dirujuk dari laporan Departemen Sosial RI, Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat
Bina Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Jakarta 2004
44 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.

tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan kebijakan program dan kegiatan
pembinaan kesejahteraan lansia.
Selain batas kronologis usia, pengertian lansia dihubungkan pula dengan
perubahan pada aspek fisik, aspek psikologis serta aspek sosial budaya. Atchley
(1977) menyatakan lansia adalah sebuah konsep yang luas, tidak hanya meliputi
terjadinya perubahan fisik pada tubuh setelah melewati kehidupan dewasa, tetapi
juga meliputi perubahan psikologis dalam semangat atau ingatan dan dalam
kemampuan mental serta perubahan sosial dalam hidupnya. Secara biologi
penduduk lansia adalah penduduk yang menjalani proses penuaan terus
menerus, ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik dan semakin rentannya
terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini
disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan dan
sistem organ. Secara ekonomi, penduduk lansia dipandang sebagai beban
daripada sebagai sumber daya. Dari aspek sosial, penduduk lansia merupakan
suatu kelompok sosial sendiri dan juga telah beralihnya posisi sosial menjadi
kakek dan nenek. Pendefinisian konsep lansia tidak semata-mata memperhatikan
kronologis usia, tapi juga lingkaran hidup dari manusia (circle of life) yang sudah
mencapai tahap tua. Disamping itu, konsep lansia berbeda dengan konsep orang
jompo. Pengertian lansia lebih ditekankan kepada tua kronologis, yaitu
didasarkan batas usia sedangkan konsep jompo lebih ditekankan kepada
ketidakmampuan fisik meskipun masih ada yang berusia relatif muda.
Departemen Sosial (2008) membagi lansia dari aspek ekonomi dan aspek
aktivitas menjadi dua kategori, yaitu lansia potensial dan lansia non potensial.
Lansia potensial adalah lansia yang sudah berusia 60 tahun atau lebih namun
tetap beraktifitas secara ekonomi dan hidupnya tidak tergantung dengan
penduduk lainnya. Sedangkan lansia non-potensial tidak lagi mampu bekerja dan
cenderung secara ekonomi tergantung, bahkan tidak mampu melayani dirinya
sendiri. Lansia non potensial ini memenuhi persyaratan untuk disantuni di panti
werdha jika keluarganya tidak mampu dan secara sosial terlantar. Panti Werdha
atau Sasana Tresna Werdha yang dulu bernama Panti Jompo memiliki tugas
pokok memberikan bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat
hidup secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Athcley (1977), proses penuaan muncul sebagai wilayah kajian
penting karena dalam kasus tertentu telah menjadi masalah sosial disebabkan
semakin meningkatnya jumlah lansia. Secara empirik, urbanisasi dan
industrialisasi telah melahirkan perubahan-perubahan yang mengurangi posisi
tradisional lansia. Dunia industri telah menciptakan kendala untuk adaptasi sosial
menampung peningkatan jumlah lansia. Orang lanjut usia atau lansia dikalahkan
oleh penduduk muda di pasar tenaga kerja. Sejak Perang Dunia II, masyarakat
Alfan Miko, Isu-Isu, Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia 45

telah mengurangi tempat bagi lansia, tenaga kerja lansia sering tidak diharapkan.
Kajian-kajian tentang lansia ini pada akhirnya melahirkan disiplin ilmu baru yang
dinamai gerontologi yang menghimpun kajian lansia dari aspek biologi, psikologi
dan sosiologi (lihat Busse:1969, Athcley:1977). Kajian lansia dari aspek sosiologis
bersumber dan merupakan implementasi teori, perspektif atau paradigma yang
berkembang dalam disiplin ilmu sosiologi dalam memahami masalah lansia.

Teori Sosiologi dan Fenomena Lansia


Berbagai teori sosiologi telah digunakan memahami dan menjelaskan
fenomena lansia. Victor (2005) telah menghimpun teori-teori tentang lansia dalam
buku The Social Context of Ageing dan Parillo (2008) dalam buku Encyclopedia of
Social Problemssebagai berikut;
Teori aktivitas (activity theory) menyatakan frekuensi yang tinggi dari
lansia berinteraksi dalam masyarakatnya akan membawa kepuasan hidup,
mengembangkan self image dan penyesuaian yang positif. Dengan tetap aktif
menghindarkan kecenderungan isolasi, bisa gembira dan sehat.Aktivitas tersebut
bisa berbagai bentuk dengan kerabat, tetangga, klub baik formal maupun
informal.Mereka tetap memainkan peran yang bermakna dalam masyarakat.Teori
aktivitas (activity theory) berasumsi bahwa moral dan kepuasaan hidup dikaitkan
dengan integrasi sosial dan keterlibatan yang tinggi dengan jaringan sosial.
Semakin tinggi tingkat integrasi dan keterlibatan dalam jaringan sosial tingkat
kepuasan hidup lansia akan lebih tinggi. Kehilangan peran seperti telah menjanda
atau telah pensiun membutuhkan kompensasi untuk tetap memiliki aktivitas yang
lain sehingga tetap didapatkannya kepuasan hidup dan terintegrasinya lansia
dengan keluarga dan masyarakatnya. Kritik yang bisa disampaikan terhadap teori
ini, aktivitas tersebut tergantung status sosial ekonomi, bagi lansia miskin bisa jadi
mereka terkendala melakukan aktivitas.
Bertolak belakang dengan teori aktivitas, teori pengunduran diri
(disengagement theory) mendefisinikan proses penuaan sebagai pemisahan
kebersamaan (mutual separation) antara tua dan muda. Teori ini menyatakan
bahwa keteraturan sosial menuntut kemajuan dan pertumbuhan dimana lansia
akan merasa terlepas kalau secara sosial dan psikologis dirinya di devaluasi.
Orang lanjut usia cenderung mencari isolasi apabila masyarakat tidak mendorong
kelanjutan peran serta mereka. Lansia akan terlepas dari perannya, terbatasnya
kontak sosial dan relasi sosial dan berkurangnya komitmen terhadap aturan dan
nilai-nilai sosial.
Teori ini menekankan bahwa kemerdekaan diri dan faktor lain seperti
kesehatan yang buruk atau kemiskinan akan mendorong lansia “terlepas” dari
konteks sosialnya sehingga keterlibatannya sangat terbatas. Hal ini dilihat oleh
46 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.

teori pengunduran diri sebagai hal yang bersifat fungsional dan saling
menguntungkan serta akan mempermudah transfer mulus kekuasaan dari yang
tua ke yang muda. Pensiunan adalah mekanisme pengalihan oleh perusahaan ke
yang muda sekaligus mekanisme mendorong keseimbangan dalam masyarakat
dan transisi kekuatan sosial antar generasi. Bagi individu lansia kondisi ini berarti
terbebas dari tekanan sosial yang menghasilkan stress dan kompetisi. Bagi
masyarakat berarti anggota masyarakat mengizinkan orang yang lebih muda
mengambil alih sebagai individu yang lebih energik.Teori ini berguna
menjelaskan mengapa lansia memilih lebih dini pensiun, bersenang-senang dan
mengisolasi diri, namun dikritik menghindarkan isu marjinalisasi lansia.
Teori keberlanjutan (continuity theory) menyatakan menjadi lansia bagi
seorang individu akan berusaha memelihara stabilitas dalam gaya hidup yang dia
bangun selama bertahun-tahun. Individu akan memelihara gayanya sepanjang
hidup dan penyesuaian muncul dari berbagai arah. Tidak sama dengan teori
aktivitas yang menyatakan kehilangan peran seperti telah menjanda atau telah
pensiun membutuhkan kompensasi untuk tetap memiliki aktivitas yang lain
sehingga tetap didapatkannya kepuasan hidup. Menurut teori keberlanjutan
kehilangan peran tidak butuh digantikan dengan yang lain karena lansia bisa
menyesuaikan diri dari segala arah tersebut. Teori pengunduran diri
(disengagement theory) dan teori aktivitas (activity theory) kurang melihat
bagaimana lansia menyesuaikan diri untuk berubah dari kehilangan peran sosial.
Teori stratifikasi usia (age stratification theory) mengaitkan dengan adaptasi
kelompok usia. Masyarakat sering dikonseptualisasikan sebagai stratifikasi atau
dibagi ke dalam dimensi etnik, status, kelas sosial dan faktor-faktor ini digunakan
untuk mengalokasikan peranan sosial. Teori stratifikasi usia menggunakan usia
kronologis menggunakan variabel alokasi peran. Isu dasar teori ini adalah tentang
makna dari usia dan posisi kelompok usia di dalam konteks pertukaran sosial.
Transisi pengalaman individu atas kesukaran hidup karena definisi sosial usia ini
serta mekanisme untuk alokasi peran di antara individu.
Teori modernisasi (modernization theory) mendeskripsikan posisi lansia
memiliki respek dan wewenang yang yang baik dalam masyarakat pra industri.
Tesis dasar teori modernisasi bahwa masyarakat berpindah darirural ke urban
(industrial), posisi orang tua serta keluarga luas digantikan keluarga nuklir
sebagai unit utama masyarakat dan mengisolasi lansia dari keluarga dan
masyarakat. Merujuk Cowgill dan Holmes (1972) parameter modernisasi dilihat
dari peningkatan teknologi kesehatan, penerapan iptek, urbanisasi dan
pendidikan massal. Pendekatan teori modernisasi, termasuk juga teori stratifikasi
usia, teori keberlanjutan, teori aktivitas dan teori pengunduran diri, semuanya
dikembangkan dari premis struktural fungsional.
Alfan Miko, Isu-Isu, Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia 47

Teori struktural fungsional merupakan teori tingkat makro yang dikaitkan


dengan analisis elemen masyarakat (institusi atau struktur sosial) dengan maksud
melihat bagaimana masyarakat memelihara dan mengembangkannya.Ibarat
tubuh manusia, bagaimana organ bekerja, bagaimana organ saling berhubungan
dan bagaimana hubungan tubuh secara keseluruhan. Fungsionalis mengadopsi
pendekatan yang sama untuk memahami tentang masyarakat dan berhubungan
dengan identifikasi fungsi-fungsi elemen sosial khusus yang mengisi masyarakat.
Keteraturan sosial dipelihara oleh keberadaan norma yang powerfull yang di
internalisasi melalui sosialisasi dan kontrol sosial.
Teori peranan sosial (social role theory) berasumsi bahwa keberadaan
seperangkat aturan, regulasi dan peran di zaman industrial akan berubah dalam
sejumlah peranan sosial dan bagaimana individu melakukan itu. Peranan sosial
dibedakan kedalam peranan yang menekankan perbedaan kualitas.Ada peranan
sebagai pekerja dan ada juga berhubungan dengan emosi seperti peranan suami
dan isteri.Peranan sosial berbeda dari ganjaran yang ditawarkan; seperti uang,
prestise, status, dukungan emosional dan kepuasan.Peranan juga dievaluasi
menurut nilai yang berada ditengah masyarakat, seperti pensiunan sebagai
sesuatu askriptif di tengah masyarakat.
Selain teori-teori yang lebih dekat kepada fungsional struktural, ada juga
teori yang lebih melihat peran individu atau yang lebih bersifat mikro termasuk
ke dalam teori interpretif (intrepretive theory of aging).Teori yang masuk dalam
premis ini adalah teori pertukaran sosial (social exchange theory) dan teori
interaksionisme simbolik (symbolic interactionism theory).Teori inteksionisme
simbolik (symbolic interactionism theory) konsentrasi atas sifat relasi individu dalam
masyarakat. Hubungan resiprosikal individu dengan lingkungan sosialnya dalam
interaksi sosial yang berbentuk simbol yang perlu dimaknai di dalam proses
interaksi. Lansia seperti aktor lainnya membangun realitas sosialnya sendiri
melalui proses interaksi tersebut. Perspektif ini melihat proses penuaan sebagai
proses dinamis yang bertanggungjawab terhadap konteks normatif dan
struktural serta kapasitas individu dan persepsinya.
Teori pertukaran (exchange theory) menanyakan mengapa individu
berperilaku dalam situasi yang khusus ?Teori ini menyatakan individu memilih
interaksi yang memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya. Individu
akan menggunakan pengalaman masa lalu memprediksi pertukaran ke depan.
Interaksi hanya akan berlanjut apabila mereka beruntung. Kekuasaan
berpengaruh terhadap ketidakseimbangan pertukaran.Dalam melihat interaksi
antara lansia dan masyarakat harus dipertahankan bentuk interaksi yang saling
menguntungkan.Untuk melestarikan hubungan itu, keuntungan yang diperoleh
harus lebih besar daripada kerugiannya sehingga kesinambungan upaya tersebut
48 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.

tetap terjamin.Berdasarkan teori ini, hubungan antara lansia dan masyarakat


selalu dipengaruhi kekuatan-kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Permasalahan
lansia akan terjadi kalau kekuatan ini melemah dan kurang tanggap terhadap
kondisi lansia.
Selain perspektif fungsional dan interpretif, juga terdapat perspektif konflik
yang melihat persoalan lansia ini. Premis utamanya masyarakat selalu dalam
keadaan berkonflik yang oleh Marx dinyatakannya bersumber dari ekonomi yang
dikembangkan oleh Neo Marxis melihat terjadinya ketidakseimbangan ekonomi
dalam masyarakat.Sedangkan bagi Weber dan Neo Weberian, konflik tersebut
bersumber dari ekonomi, status sosial dan ideologi.Lansia masuk ke dalam arus
konflik yang selalu berlangsung ditengah masyarakat.
Teori-teori lainnya melihat masalah lanjut usia dikaitkan dengan struktur
masyarakatnya. Satu diantaranya menyatakan bahwa status lanjut usia adalah
tinggi dalam masyarakat yang bergerak lamban dan cenderung berkurang pada
masyarakat yang tinggi dinamika perkembangannya. Ada teori yang menyatakan
bahwa status lanjut usia dihubungkan dengan proporsi mereka dalam
kependudukan. Semakin sedikit jumlahnya, mereka akan lebih dihargai dan akan
berkurang nilai dan statusnya jika proporsinya tinggi. Ada pula teori yang
menghubungkan status dan prestise lanjut usia dengan penampilan fisik (physical
performance). Jika lanjut usia masih mampu berperan secara fisik maka status dan
prestisenya tinggi dalam masyarakatnya (Busse: 1980).
Teori-teori sosial di atas, dan berbagai teori-teori lainnya yang masuk ke
dalam rumpun ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi, digunakan dan lahir dari
memahami fenomena masyarakat barat yang relatif telah maju dibanding negara-
negara di Asean, khususnya Indonesia. Namun demikian, teori-teori di atas bisa
saja digunakan untuk memahami realitas penduduk lansia yang ada di Indonesia.
Justru hal itu bisa memperkaya pemahaman terhadap masalah lansia dan
mempertajam kemampuan teori menganalisis realitas sosial dari masyarakat yang
berbeda. Di Indonesia, dengan jumlah penduduk yang besar dan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang masih rendah, permasalahan lansianya tentu akan
berbeda dengan negara-negara maju atau negara yang kuat secara ekonomi,
seperti Amerika Serikat, Jepang dan Singapura. Masalah lansia di Indonesia secara
ringkas dijabarkan di bawah ini.

Masalah Lansia di Indonesia


Menurut data yang diterbitkan BPS tahun 2011, Indonesia menghadapi
konsekuensi sosial ekonomi yang besar akibat ledakan jumlah penduduk yang
saat ini mencapai 238 juta orang. Berdasarkan hasil sensus 2010, penduduk
Indonesia bertambah 32,5 juta dan rata-rata pertumbuhan 1,49 %. Apabila laju
Alfan Miko, Isu-Isu, Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia 49

pertambahan penduduk masih tetap 1,49 % maka diprediksi jumlah penduduk


Indonesia pada tahun 2045 menjadi sekitar 450 juta jiwa. Kondisi kependudukan
yang seperti itu, dikuatirkan akanmemberi pengaruh terhadap dinamika
pembangunan yang sedang berjalan dan yang akan direncanakan di masa depan.
Jumlah penduduk yang besar dan berkualitas dapat menjadi potensi penggerak
ekonomi, namun jika tidak, jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban
pembangunan.
Dari berbagai masalah kependudukan di masa depan itu, salah satu yang
perlu mendapatkan perhatian lebih seriusadalah pertumbuhan penduduk lanjut
usia (lansia). Pertumbuhan penduduk lansia yang cepat dibandingkan golongan
usia penduduk lainnya di Indonesia dihubungkan dengan semakin meningkatnya
umur harapan hidup (UHH) penduduk Indonesia, akibat semakin membaiknya
pelayanan di bidang kesehatan. Semakin meningkatnya umur harapan hidup,
akan meningkatkan pula jumlah penduduk lansia. Jumlah penduduk lansia yang
semakin meningkat diasumsikan akan mempertinggi rasio ketergantungan
penduduk lansia. Sementara itu, negara belum mampu memberikan tingkat
kesejahteraan yang layak untuk penduduk yang terlantar.
Berpijak pada data yang dikeluarkan oleh BPS dan merujuk ukuran yang
diterbitkan world health organization (WHO), sejak tahun 2000 penduduk Indonesia
sudah tergolong berstruktur tua (ageing strutured population), dimana jumlah
penduduk lansia telah melebihi jumlah 7 % dari total penduduk keseluruhan. Hal
ini dapat dilihat pada tabel berikut;

Tabel 1. Perkembangan Data Lanjut Usia di Indonesia

Tahun UHH Jumlah Persentse


(tahun) (jiwa)
2020 71,1 28.822.879 11,34 %
2010 67,4 23.992.552 9,77 %
2004 68,0 16.553.311 7,16 %
2000 64,5 14.439.967 7,18 %
1995 63,66 13.298.588 6,83 %
1990 59,8 12.778.121 6,29 %
1980 52,2 7.998.543 5,45 %
Sumber: BPS 2010

Menurut Chen A Ju dan Gavin Jones (1990), orang lanjut usia akan menjadi
masalah kependudukan bila proporsi penduduk yang berusia di atas 60 tahun
50 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.

sudah melebihi 15% (lima belas persen) dari jumlah penduduk keseluruhan.
Komposisi struktur usia penduduk seperti ini dinilai akan membebani
pembangunan, dimana kebutuhan primer dan sekunder mereka sangat
tergantung pada hasil yang didapatkan penduduk yang produktif, atau
pendudukusia kerja. Artinya, sebagian penduduk lansia berharap mendapatkan
jaminan sosial dari keluarganya.
Menurut Mundiharno (Kompas, 4 Mei 1994) dibandingkan dengan
beberapa negara lainnya, persentase jumlah penduduk lansia di Indonesia pada
tahun 1990 masih rendah, hanya 5,5 % dari total penduduk dibanding Jepang
17,2%, Singapura 8,7 %, Hongkong 12,9 %) dan Korea Selatan 7,5 %. Namun
demikian jumlah absolut lansia di Indonesia ternyata jauh lebih besar yaitu 9,9
juta jiwa dibandingkan Korea Selatan sebanyak 3,2 juta jiwa, Singapura 240 ribu
jiwa dan Hongkong sebanyak 750 ribu jiwa. Proporsi lansia di atas sejalan dengan
data kependudukan yang ada saat ini. Widiatmoko (2012) dalam penelitiannya
merujuk perubahan proporsi lansia di wilayah Asia Tenggara seperti tertera pada
tabel di bawah ini;

Tabel 2. Perubahan Proporsi Orang Lanjut Usia (Usia 60 tahun keatas)


Di Wilayah Asia Tenggara 1950 – 2050

No Negara Tahun (%)


1950 1975 2000 2025 2050
1. Indonesia 6,2 5,4 7,2 12,8 22,3
2. Malaysia 7,3 5,6 6,6 13,4 20,6
3. Philipines 5,5 4,9 5,5 10,4 19,5
4. Singapore 3,7 6,7 10,6 30,0 35,0
5. Thailand 5,0 5,0 8,1 17,1 27,1
6. Vietnam 7,0 7,5 12,6 12,6 23,5
Sumber: World Population Ageing 1950 – 2050(UNPublication, scles no E.02.XIII.3 2000)
Dari tabel di atas terlihat bahwa persentase jumlah penduduk lansia
cenderung meningkat tajam. Pada tahun 2050, di prediksi seperempat penduduk
Indonesia adalah golongan penduduk lansia. Mengingat penduduk Indonesia
merupakan 4 (empat) besar di dunia, maka jumlah penduduk lansia di Indonesia
secara absolut paling banyak di kawasan Asia Tenggara. Prihastuti (2011)
menyatakan, apabila tren penduduk masa depan mengikuti tren penduduk masa
kini dan diwaktu yang lalu, maka diperkirakan secara kuantitas akan terjadi
Alfan Miko, Isu-Isu, Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia 51

peningkatan jumlah penduduk lanjut usia di masa depan yang signifikan.


Pertumbuhan penduduk lansia tertinggi dialami pada periode 2015-2020.
Pertumbuhan jumlah penduduk lansia yang relatif cepat tentunya
menuntut perhatian makin serius dengan perencanaan dan program yang
berorientasi terhadap kesejahteraan lansia. Selama ini, perhatian terhadap jaminan
sosial di negara-negara berkembang dalam keluarga dan masyarakat sering
terabaikan, termasuk di Indonesia. Pengabaian tersebut antara lain disebabkan
tingkat kemiskinan yang masih tinggi di berbagai kelompok masyarakat, sehingga
kurang memungkinkan untuk memberi perhatian yang serius terhadap jaminan
dan pelayanan sosial (Shinta, 1991). Di Indonesia sejak tahun 2000-an, perhatian
ini telah dituangkan ke dalam komitmen nasional terhadap kesejahteraan lansia
berbentuk penerbitan undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri
serta rencana aksi nasional yang berisikan aturan-aturan, strategi dan program
pemberdayaan lansia (Depsos:2008).
Di ranah akademik studi-studi atau penelitian tentang lansia yang
berkaitan dengan aspek sosial budaya masih terbatas dan belum berkembang
pesat. Hal ini bisa jadi disebabkan anggapan masalah lansia lebih berkutat di
ranah fisik dan psikis, ketimbang di ranah sosial. Sebagai individu, penduduk
lansia adalah anggota masyarakatnya yang selalu berinteraksi dan berkomunikasi
dan menghadapi berbagai masalah. Masyarakat dimana ia hidup merupakan
struktur sosial yang senantiasa mengalami perubahan-perubahan yang menuntut
para lansia mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian. Para lansia yang
kurang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan cenderung akan
mengalami masalah sosial. Oleh karena itu, kajian-kajian aspek sosiologis lansia
menjadi lahan yang masih terbuka luas untuk diteliti.

Penelitian tentang Lansia di Indonesia


Dari penelusuran yang dilakukan di berbagai perpustakaan terhadap
aktivitas penelitian tentang lansia yang dilakukan oleh ilmuwan sosial, jumlah
yang ditemukan masih terbatas, terutama yang menyoroti aspek sosial dari
kehidupan lansia. Sebagian besar studi-studi lansia, lebih banyak menyoroti aspek
kesehatan dan aspek psikologis. Penelitian sosial yang terindentifikasi antara lain,
Penelitian yang dilakukan Miko (1996) tentang Wanita Lanjut Usia dalam
Masyarakat Minangkabau yang Berubah: Studi di daerah Kota, Semi Kota dan
Pedesaanberangkat dari permasalahan memahami kondisi sosioekonomi orang
lanjut usia di tiga titik penelitian; daerah kota, semi kota dan pedesaan. Apakah
ada perbedaan yang signifikan kehidupan lansia di tiga wilayah yang berbeda itu.
Penelitian yang dilakukan oleh Afrida (1998) tentang Reinterpretasi Tanggung Jawab
Sosial Terhadap Orang Tua dan Mamak Dalam Masyarakat Minangkabau berangkat
52 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.

dari permasalahan adanya dugaan telah terjadi berbagai pergeseran dalam


masyarakat dan budaya Minangkabau.
Penelitian yang dilakukan Indrizal (2002) tentang Problem of Elderly Without
Children : A Case Study of The Matrilineal Minangkabau, West Sumatra permasalahan
utamanya mencari jawaban bagaimana kondisi orang lanjut usia yang tidak
memiliki anak sama sekali. Penelitian Marianti (1997) tentang In the Absence of
Family Support: Cases of Childless Widows in Urban Neighbourhoods of East Javajuga
mengangkat isu lansia yang tidak memiliki anak di masa tua, difokuskan untuk
meneliti para janda di Kota Malang, Jawa Timur. Butterfill (2000) meneliti tentang
Adoption, Patronage and Charity: Arrangement for the Elderly Without Children in East
Javajuga dilakukan di Kota Malang mengumpulkan data tentang rumah tangga
yang tidak memiliki anak sama sekali, baik tidak pernah dilahirkan maupun yang
pernah lahir tetapi meninggal dunia. Ia juga memetakan adanya keluarga
mengadopsi atau mengangkat anak untuk mengatasi ketiadaan anak yang
dimiliki dalam kaitannya dengan persiapan atau rencana di masa tua. Penelitian
Edi Indrizal, Marianti dan Schroder-Butterfill merupakan bagian dari payung
penelitian yang diorganisasikan oleh Philip Kreager dari Oxford University yang
bertemakan Ageing Without Children yang dilakukan di beberapa negara Eropa
dan Asia. Rangkuman penelitian tersebut telah dibukukan dengan judul yang
sama dengan tema penelitian.
Keasberry (2002) meneliti tentang Elder Care, Old Age Security and Social
Change in Rural Yogyakartamemaparkan signifikansi kondisi kehidupan lansia
yang dihubungkan dengan perawatan yang diperolehnya dan rasa aman di masa
tua berkaitan dengan perubahan sosial yang terjadi. Isu utama penelitian ini
adalah sejauhmana perubahan sosial mempengaruhi kehidupan orang lanjut usia
dan apa keterkaitannya dengan perawatan dan dukungan serta jaminan bagi
lansia. Widiatmoko (2012) meneliti tentang Koordinasi antar Instansi Pemerintah
dalam Pelayanan Kesejahteraan Lanjut Usia di Propinsi Jawa Baratmemfokuskan
penelitiannya kepada isu pelayanan lansia dihubungkan dengan fungsi dan
koordinasi lembaga-lembaga yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk itu.
Untuk memudahkan membaca penelitian-penelitian tersebut ditampilkan dalam
bentuk tabel berikut.
Tabel Penelitian Tentang Lansia
Nama Peneliti dan Judul Isu Penelitian Metode/Tipe Lokasi
penelitian Penelitian Penelitian
AlfanMiko (1996) tentang Memetakan Deskriptif Padang,
Wanita Lanjut Usia dalam kondisi obyektif eksplanatif Tilatang
Masyarakat Minangkabau wanita lansia di Kamang
yang Berubah: Studi di tiga karakter Padang Luar
Alfan Miko, Isu-Isu, Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia 53

daerah Kota, Semi Kota wilayah berbeda Sumatera Barat


danPedesaan
Afrida (1998)dengan judul dugaan deskriptif Nagari Sicincin
Reinterpretasi Tanggung terjadinya eksploratif Kabupaten
Jawab Sosial Terhadap pergeseran Padang
Orang Tua dan Mamak dalam Pariaman
dalam Masyarakat masyarakt Sumatera Barat
Minangkabau budaya
Minangkabau

Indrizal (2002) yang Bagaimana Kualitatif Nagari RaoRao


berjudul Problem of Elderly kehidupan lansia Kab. Tanah
Without Children : A Case yang tidak Datar Sumatera
Study of The Matrilineal memiliki anak di Barat
Minangkabau, West usia tuanya
Sumatra
Marianti (1999) mengenai isu lansia tidak Deskriptif Kota Malang
In the Absence of Family memiliki anak di Jawa Timur
Support: Cases of Childless masa tua,
Widows in Urban difokus kan utk
Neighbourhoods of East meneliti para
Java janda
Schroder-Butterfill (2000) mengumpulkan Deskrptif Kota Malang
tentang Adoption, data rumah Jawa Timur
Patronage and Charity: tangga yang
Arrangement for the Elderly tidak memi liki
Without Children in East anak sama sekali
Java dan adopsi
Keasberrry (2002) tentang signifikansi Deskriptif Jogjakarta
Elder Care, Old Age kondisi Eksploratif
Security and Social Change kehidupan lansia
in Rural Yogyakarta dihubungan
dengan
perawatan
diperoleh dan
rasa aman di
masa tua berkai
tan perubahan
sosial yang
terjadi
Widiatmoko (2012) yang pelayanan lansia Kualitatif Kota Bandung
berjudul Koordinasi antar dihubungkan Jawa Barat
54 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.

Instansi Pemerintah dalam dengan fungsi


Pelayanan Kesejahteraan dan koordinasi
LanjutUsia di lembaga-
PropJawaBarat lembaga
Marwanti ( 1997) yang Memetakan pola Kualitatif Kota Bandung
melihat Kondisi Kehidupan kehidupan orang Deskriptif Jawa Barat
Lanjut Usia di Dalam Panti lansia di panti
(Studi Kasus Lanjut Usia di berkaitan relasi
Panti Werdha “Karitas” nya dengan
dan “Nazareth” Bandung) pihak lain.
Sutia Putri (1998) tentang apa kebutuhan Deskriptif Jakarta
Kebutuhan Lanjut Usia di primer&
DKI Jakarta sekunder lansia,
bagaimana
pelayanan yang
diselenggarakan
bagi lansia
Suriadi (1999) mengenai peningkatan Kuantitatif Kota Medan
Preferensi Tempat Tinggal penduduk lansia Sumatera Utara
pada Masa Lanjut Usia suatu saat poten
(Studi Pola Pelayanan dan sial melahirkan
Perawatan pada Masa masalah baru
Lanjut Usia di Kota Medan.

Beberapa penelitian yang dideskripsikan di atas memiliki isu-isu yang


bervariasi, metode penelitian yang berbeda dan lokasi penelitian yang berbeda.
Diharapkan dengan menampilkan contoh-contoh penelitian tersebut bisa
menginspirasi ilmuwan sosial lainnya untuk mengembangkan dan memperluas
lebih jauh penelitian tentang lansia ini dari berbagai perspektif keilmuan seperti
politik, hukum, ekonomi, antropologi dan sosiologi sendiri.

Penutup
Masyarakat Minangkabau adalah sebutan untuk sebuah suku bangsa yang
mendiami atau berasal dari sebagian besar wilayah Propinsi Sumatera Barat.
Namun sebaran pemangku kebudayaannya jauh melampaui batas administratif
bahkan sampai melintasi batas negara sampai ke Semenanjung Malaya.
Masyarakat Minangkabau yang dikenal menganut sistem matrilineal dan sistem
kekerabatan luas (extended family) telah mengalami perubahan pola penyantunan
lansia yang semula dilakukan oleh keluarga luas, kini ada yang telah beralih
disantuni di panti werdha. Jumlah lansia yang disantuni di panti jumlahnya
Alfan Miko, Isu-Isu, Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia 55

sangat kecil disebabkan daya tampung panti sangat terbatas, namun bukan tidak
mungkin ada lansia yang juga terlantar meski berada ditengah-tengah
keluarganya. Data yang tersedia di Dinas Sosial Propinsi Sumatera Barat tahun
2010 menyatakan jumlah lansia dengan kategori terlantar di Propinsi Sumatera
Barat berjumlah 47.058 tersebar pada 19 kabupaten dan kota. Pengertian terlantar
disini adalah kurang mendapatkan perhatian dan pelayanan yang layak ditengah
keluarganya.Bukan tidak mungkin pula lansia laki-laki memiliki nasib yang
berbeda dibandingkan lansia perempuan dalam sistem sosial budaya Masyarakat
Minangkabau mengingat adat Minangkabau lebih memproteksi kaum perempuan
ketimbang laki melalui pemilikan dan penguasaan harta pusaka kaum.
Selain adanya gap antara konsepsi ideal budaya dengan kenyataan faktual
yang mengantarkan lansia disantuni di panti werdha, peran panti sebagai
lembaga alternatif untuk menyantuni lansia terlantar tidak bisa diabaikan. Bisa
jadi panti berperan sebagai agency yang berfungsi sebagai faktor penarik (pull
factor), di samping perubahan dalam hubungan dalam kekerabatan sebagai faktor
pendorong (push factor) sebagai konsekuensi perubahan sosial yang terjadi. Oleh
karena itu, perubahan pola penyantunan terhadap lansia ini bisa dilihat dari tiga
sisi: individu lansia, peran panti dan kondisi obyektif keluarga. Individu lansia
untuk memahami apakah disantuni di panti merupakan pilihan yang sadar atau
tidak dan motivasi-motivasi yang dimiliki, peran panti yang dinamis sebagai pull
factor dan juga kemungkinan terjadinya perubahan sosial di tengah keluarga
sebagai push factor.
Berkaitan dengan hal di atas, pertanyaan yang bisa diajukan adalah apa
alasan/penyebab lansia disantuni di panti werdhadan apakah ada perbedaan
penyebab antara lansia laki-laki dengan lansia perempuan danmotivasi apa yang
mendukung tindakan lansia memilih disantuni di panti ? Bagaimana bentuk
perubahan sosial yang berlangsung dalam keluarga lansia yang disantuni
tersebut yang diduga telah mengantarkan mereka disantuni di panti?
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli tentang masyarakat
Minangkabau salah satunya mengaitkan isu perubahan sosial dengan perubahan
dalam hubungan kekerabatan akibat terpecahnya tanah-tanah milik komunal
menjadi milik individu. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan antara lain
mengaitkan tradisi merantau sebagai faktor penyebab terjadinya perubahan sosial
pada masyarakat Minangkabau (Kato: 1977, Naim:1999, Sairin: 2002). Tradisi
merantau juga menyebabkan tumbuhnya ekonomi alternatif di luar sektor agraris
sekaligus menjadikan semakin kuatnya peran ayah dalam rumah tangga inti
matrilineal (Maretin: 1961). Perubahan sosial juga dihubungkan dengan
terjadinya monetisasi di bidang pertanian yang semula berorientasi lokal bergeser
ke komoditas ekspor (Khan : 1975, Beckmann: 1979). Tanah ulayat sebagai salah
56 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.

satu perekat utama sistem kekerabatan luas juga telah mulai mengalami
fragmentasi di daerah perkotaan sebagai dampak perkembangan kota (Evers:
1985, Azwar: 2005) dan mengalami privatisasi akibat munculnya politik
administrasi pertanahan serta untuk melayani kepentingan bisnis berskala besar
(Hermayulis: 1999, Monika: Erwin: 2006, Afrizal: 2007).
Penelitian-penelitian tersebut menyatakan perubahan sosial yang terjadi
mendorong munculnya nuklirisasi keluarga luas matrilineal Minangkabau
meskipun sebagian besar sepakat perubahan itu tidak menyentuh atau mengubah
inti dasar sistem matrilineal itu sendiri. Penelitian itu memunculkan kritik dari
peneliti lainnya, antara lain yang menyatakan tidak setuju sistem ekonomi
kapitalis dianggap mendorong hancurnya sistem kekerabatan matrilineal. Sistem
matrilineal memiliki kelenturan untuk melakukan modifikasi-modifikasi. Terjadi
kerancuan menggunakan konsep kekerabatan (kinship) dan konsep rumah tangga
(household), akibatnya proses nuklirisasi keluarga dianggap sebagai bukti
terjadinya proses disintegrasi kekerabatan (Afrizal:1997).

Daftar Pustaka

Afrida.1998.”Reinterpretasi Tanggung Jawab Sosial Terhadap Orang Tua dan


Mamak dalam Masyarakat Minangkabau”. Jogjakarta: Thesis S2
Universitas Gadjah Mada

Afrizal 1996 “A Study of Matrilineal Kin Relations in Contemporary


Minangkabau Society of West Sumatera”. Tesis MA Tasmania
University

__________”Ikatan Kekerabatan Sebagai Sebuah Jaringan Sosial Ekonomi”. Jurnal


Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya No 3-4, 1997. Padang:
PSPPSB Universitas Andalas hal 1-15

Atchley.1977. The Social Forces in Later Life. California: Wadsworth Publishing

Busse, Edwald W. 1969 “Theories of Aging”. Dalam Busse (ed) Behavior and
Adaption in Late Life. Boston: L. Brown Com.

Chen Ai Ju & Gavin Jones (ed),1990,Ageing in Asean: Its Socioeconomic


Consequencies. Singapura: ISEAS
Alfan Miko, Isu-Isu, Teori Dan Penelitian Penduduk Lansia 57

Cowgill, Donal O, 1980.“The Aging of Population”. In Jill & Quadgano (ed) Aging,
the Individual and Society. New York: St Martin Press

Depsos (2003), Pedoman Umum Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Jakarta:
Depsos RI

Depsos (2008), Kebijakan dan Program Pelayanan dan Perlindungan Kesejahteraan


Sosial Lanjut Usia, Jakarta: Depsos RI

Evers, H.D. 1985. Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Malaysia dan
Indonesia. Jakarta: LP3ES

Erwin. 2006. Tanah Komunal: Memudarnya Solidaritas Sosial pada Masyarakat


Minangkabau. Padang : Andalas University Press

Goode, William J. 1993.Sosiologi Keluarga. Jakarta; Bharata

Hermayulis. 1999.“ Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya terhadap


Hubungan Kekerabatan pada Siatem Kekerabatan Matrilineal
Minangkabau di Sumatera Barat”. Disertasi Universitas Indonesia

Indrizal, Edi. 2002. “Problems of Elderly without Children : A Case Study of The
Matrilineal Minangkabau, West Sumatra, dalam Philip Kreager (Ed).
Ageing Without Children. 2004. New York: Berghhan Books

Kato, Tsuyoshi. 1977 “Social Change in a Centrifugal Society: Minangkabau of


WestSumatera”. Cornell University.

Keasberry, Iris N 2002 “Elder Care, Old Age Security and Social Change in Rural
Yogyakarta”. PhD Thesis Wageningen University

Maretin,JV “Dissapereance of Matriclan Survivals in Minangkabau Family and


Marriage Relations’ Bijragen tot de taal, Land en Volkenkunde, Vol
117, 1961, hal 168-195

Marianti, Ruly. 1999. “In the Absence of Family Support: Cases of Childless
Widows in Urban Neighbourdhoods of East Java”, dalam Philip
Kreager (Ed). Ageing Without Children. 2004. New York: Berghhan
Books
Marwanti.T.M.1997. ”Kondisi Kehidupan Lanjut Usia di Dalam Panti (Studi Kasus
Lanjut Usia di Panti Werdha “Karitas” dan “Nazareth” Bandung. UI:
Thesis
58 Jurnal Sosiologi Andalas, Volume XII, No. 2, 2012.

Mason, Karen Oppenheim 1991 “ Family Change and Support of the Elderly in
Asia”. Asian Population Studies Series 18: 96-122

Miko, Alfan.1987.”Panti Jompo Sebagai Fenomena Sosial Baru di Minangkabau:


Studi Kasus Sasana Tresna Werdha Sabai Nan Aluih”. Skripsi S1
Universitas Andalas

__________1996 “ Wanita Lanjut Usia dalam Masyarakat Minangkabau yang


Berubah. Jakarta; Tesis S2 Universitas Indonesia

Monika, Silvana, 2005“ Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Ulayat “Ganggam


Bauntuak” di Sumatera Barat: Studi Kasus Kota Payakumbuh. Tesis
Universitas Indonesia

Naim,Mochtar.1979. Merantau Pola Migrasi Minangkabau, Jogjakarta: Gadjahmada


Univ Press.

Navis, A.A. (ed.) 1984.Alam Takambang Jadi Guru. Jakarta: Grafitti Press.

Parillo, Vincent N (ed) 2008. Encyclopedia of Social Problems: California: Sage

Prihastuti, Dewi 2001. “Sebaran Penduduk Lansia di Indonesia”, Warta Demografi:


Tahun ke 31, No 1, 2011.

Rianto, Adi. 1982 “ The Aged in the Homes for Aged in Jakarta: Status and
Perception”, Jakarta: Puslit Unika Atmajaya

Schroder-Butterfill, Elisabeth. 2000. “Adoption, Patronage and Charity:


Arrangements for the Elderly Without Children in East Java”, dalam
Philip Kreager (Ed). Ageing Without Children. 2004. New York:
Berghhan Books

Shinta, Arundati.1990.”Population Ageing in Jogjakarta”. Thesis Flinders


University

Victor, Christina.2005. The Social Context of Ageing. London: Routledge

Widiatmoko, Hening 2012 “Koordinasi antar Instansi Pemerintah dalam


Pelayanan Kesejahteraan Lanjut Usia di Propinsi Jawa Barat”.
Disertasi Universitas Padjadjaran

Anda mungkin juga menyukai