Anda di halaman 1dari 30

Laporan Pendahuluan

GERIATRIC SYNDROME

Untuk Memenuhi Tugas Departemen Keperawatan Gerontik

Disusun oleh:
MUGI PRAYITNO
NIM. 190070300011084

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN

GERIATRIC SYNDROME

A. LANSIA
1) Pengertian Lansia
Usia lanjut adalah bagian akhir dari perkembangan hidup manusia.
Menurut teori Erikson bahwa usia lanjut merupakan tahap perkembangan
psikososial yang terakhir (ke delapan). Tercapainya integritas yang utuh
merupakan perkembangan psikososial lansia (Keliat, et al, 2006 dalam Syerniah,
2010). WHO  dan  Undang-Undang  Nomor  13  Tahun  1998  tentang
kesejahteraan  lanjut  usia  pada  Bab  1  Pasal  1  Ayat  2  menyebutkan bahwa 
usia  60  tahun  adalah  usia  permulaan  tua.  Menua  bukanlah suatu  penyakit, 
tetapi  merupakan  proses  yang  berangsur-angsur mengakibatkan  perubahan 
kumulatif,  merupakan  proses  menurunya daya  tahan  tubuh  dalam 
menghadapi  rangsangan  dari  dalam  dan  luar tubuh.
Pada tahap ini lansia dikatakan berada pada tahap integritas ego versus
keputusasaan dan mempunyai tugas perkembangan menerima tanggung jawab
diri dan kehidupan (Videback, 2008; Lahey, 2002). Lansia dikatakan dapat
mencapai integritas ego apabila si lansia merasakan kepuasan atas keberhasilan
yang telah dicapai pada seluruh tahap kehidupan dari masa anak-anak sampai
usia dewasa. Kepuasan ini dimanifestasikan dalam bentuk konsep diri yang
positif dan sikap posistif terhadap kehidupan. Perilaku lansia yang mencapai
integritas diri adalah mempunyai harga diri tinggi, menilai kehidupan berarti,
memandang ssesuatu hal secara keseluruhan (tuntutan dan makna hidup),
menerima nilai dan keunikan orang lain serta menrima datangnya kematian
(Keliat, 2006). Pada lansia yang kecewa terhadap kehidupannya akan
merasakan keputusasaan sehingga muncul perilaku dan sikap yang tidak
menghargai terhadap diri sendiri atau orang lain. Perilaku yang putus asa
ditujukan dengan memandang rendah atau menghina atau mencela orang lain,
merasakan kehidupan selama ini tidak berarti, merasakan kehilangan dan masih
ingin berbuat banyak tetapi takut tidak punya waktu lagi (Keliat, 2006). Lansia
yang gagal mencapai integritas ego ini akan mempunyai resiko untuk mengalami
masalah psikososial keputusasaan yang merupakan salah satu tanda depresi.
Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60+ tahun (WHO,
2010 dalam Syerniah, 2010). Menurut UU RI no. 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia juga menyebutkan lanjut usia (lansia) adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Berdasarkan pengertian tersebut
maka yang dimaksud lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas atau lebih.

2) Batasan Usia Lanjut


 Usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45-59 tahun.
 Lanjut usia (elderly) yaitu kelompok usia 60-74 tahun.
 Lanjut usia tua (old), yaitu kelompok usia 75-90 tahun.
 Usia sangat tua (very old), yaitu kelompok usia di atas 90 tahun.
(WHO, dalam Nugroho, 2000, dalam Syerniah, 2010).

3) Tugas Perkembangan Lansia


Menurut Patricia Gonce Morton dkk (2011) tugas perkembangan keluarg yaitu:
 Memutuskan dimana dan bagaimana akan menjalani hidup selama sisa
umurnya.
 Memelihara hubungan yang suportif, intim dan memuaskan dengan
pasangan hidupnya, keluarga, dan teman.
 Memelihara lingkungan rumah yang adekuat dan memuaskan terkait
dengan status kesehatan dan ekonomi
 Menyiapkan pendapatan yang memadai
 Memelihara tingkat kesehatan yang maksimal
 Mendapatkan perawatan kesehatan dan gigi yang komprehensif
 Memelihara kebersihan diri
 Menjaga komunikasi dan kontak yang adekuat dengan keluarga dan
teman
 Memelihara keterlibatan social, sipil dan politisi
 Memulai hobi baru (selain kegiatan sebelumnya) yang meningkatkan
status
 Mengakui dan merasakan bahwa ia dibutuhkan
 Menemukan arti hidup setelah pension dan saat menghadapi penyakit diri
dan pasangan hidup dan kematian pasangan hidup dan orang yang
disayangi; menyesuaikan diri dengan orang yang disayangi
 Membangun filosofi hidup yang bermakna dan menemukan kenyamanan
dalam filosofi atau agama.
B. PROSES MENUA
Proses menua merupakan suatu proses yang wajar, bersifat alami dan
pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang (Nugroho,
2000). Proses penuaan adalah normal, berlangsung secara terus menerus
secara alamiah. Dimulai sejak manusia lahir bahkan sebelumnya dan umunya
dialami seluruh makhluk hidup. Menua merupakan proses penurunan fungsi
struktural tubuh yang diikuti penurunan daya tahan tubuh. Setiap orang akan
mengalami masa tua, akan tetapi penuaan pada tiap seseorang berbeda-beda
tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
dapat berupa faktor herediter, nutrisi, stress, status kesehatan dan lain-lain
(Stanley, 2006).
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa
dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis
maupun psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemuduran secara
fisik maupun psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor,
rambut memutih, penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan
lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat
dan kurang gairah.
Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai organ, tetapi
tidak harus menimbulkan penyakit oleh karenanya usia lanjut harus sehat. Sehat
dalam hal ini diartikan:
a. Bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial,
b. Mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari,
c. Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat
(Rahardjo, 1996).

Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-perubahan


yang menuntut dirinya untuk menyesuakan diri secara terus-menerus. Apabila
proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbullah
berbagai masalah. Hurlock (1979) seperti dikutip oleh Munandar Ashar Sunyoto
(1994) menyebutkan masalah – masalah yang menyertai lansia yaitu:
a. Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang
lain
b. Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam
pola hidupnya
c. Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah
meninggal atau pindah
d. Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang
bertambah banyak
e. Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa. Berkaitan
dengan perubahan fisk, Hurlock mengemukakan bahwa perubahan fisik
yang mendasar adalah perubahan gerak.

Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (1990) mengatakan


bahwa perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya
terhadap perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola hidupnya.
Bagaimana sikap yang ditunjukkan apakah memuaskan atau tidak memuaskan,
hal ini tergantung dari pengaruh perubahan terhadap peran dan pengalaman
pribadinya. Perubahan ynag diminati oleh para lanjut usia adalah perubahan
yang berkaitan dengan masalah peningkatan kesehatan, ekonomi/pendapatan
dan peran sosial (Goldstein, 1992).

Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri-ciri


penyesuaian yang tidak baik dari lansia (Hurlock, 1979 dalam Munandar, 1994)
adalah:
a. Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya.
b. Penarikan diri ke dalam dunia fantasi
c. Selalu mengingat kembali masa lalu
d. Selalu khawatir karena pengangguran,
e. Kurang ada motivasi,
f. Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik, dan 
g. Tempat tinggal yang tidak diinginkan.

Di lain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain adalah:
minat yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas,
menikmati kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilkukan saat ini dan
memiliki kekhawatiran minimla trehadap diri dan orang lain.
C. TEORI PROSES MENUA
1) Teori Biologi
a) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies–
spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
yang diprogram oleh molekul – molekul / DNA dan setiap sel pada saatnya
akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel–
sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel)

b) Pemakaian dan rusak


Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah (rusak)

c) Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)


Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut
sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.

d) Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)


Sistem imune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya
virus kedalam tubuh dapat menyebabkab kerusakan organ tubuh.

e) Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan
internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah
terpakai.

f) Teori radikal bebas


Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-bahan organik
seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini dapat menyebabkan sel-
sel tidak dapat regenerasi.

g) Teori rantai silang


Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang
kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya
elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
h) Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah
setelah sel-sel tersebut mati.

2) Teori Kejiwaan Sosial


a) Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
 Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan
secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses
adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
 Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut
usia.
 Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar
tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
b) Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia.
Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini
menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang
lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
c) Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang
secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering
terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni :
 Kehilangan peran
 hambatan kontak sosial
 Berkurangnya kontak komitmen

Sedangkan Teori penuaan secara umum menurut Lilik Ma’rifatul (2011)


dapat dibedakan menjadi dua yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial
1) Teori Biologi
a) Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan
kebanyakan sel–sel tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika sel
pada lansia dari tubuh dan dibiakkan di laboratrium, lalu diobrservasi,
jumlah sel–sel yang akan membelah, jumlah sel yang akan membelah
akan terlihat sedikit. Pada beberapa sistem, seperti sistem saraf, sistem
musculoskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan organ dalam sistem itu
tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang karena rusak atau mati. Oleh
karena itu, sistem tersebut beresiko akan mengalami proses penuaan dan
mempunyai kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh
dan memperbaiki diri (Azizah, 2011)

b) Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)


Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada lansia.
Proses kehilangan elastiaitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan
kimia pada komponen protein dalam jaringan tertentu. Pada lansia
beberapa protein (kolagen dan kartilago, dan elastin pada kulit) dibuat oleh
tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari protein yang lebih
muda. Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit
yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal, seiring dengan
bertambahnya usia (Tortora dan Anagnostakos, 1990). Hal ini dapat lebih
mudah dihubungkan dengan perubahan permukaan kulit yang kehilangan
elastisitanya dan cenderung berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas
dan kecepatan pada system musculoskeletal (Azizah, 2011).

c) Keracunan Oksigen
Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di dalam tubuh
untuk mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun
dengan kadar yang tinggi, tanpa mekanisme pertahan diri tertentu.
Ketidakmampuan mempertahankan diri dari toksink tersebut membuat
struktur membran sel mengalami perubahan dari rigid, serta terjadi
kesalahan genetik (Tortora dan Anaggnostakos, 1990). Membran sel
tersebut merupakan alat untuk memfasilitas sel dalam berkomunikasi
dengan lingkungannya yang juga mengontrol proses pengambilan nutrisi
dengan proses ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen
protein pada membran sel yang sangat penting bagi proses di atas,
dipengaruhi oleh rigiditas membran tersebut. Konsekuensi dari kesalahan
genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel oleh mitosis yang
mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan organ berkurang.
Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh (Azizah,
2011).
d) Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan.
Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari
sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang
berkontribusi dalam proses penuaan. Mutasi yang berulang atau
perubahan protein pasca tranlasi, dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi
isomatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,
maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel
yang mengalami perubahan tersebut sebagai selasing dan
menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya
peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya
pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya
serangnya terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker
leluasa membelah-belah (Azizah, 2011).

e) Teori Menua Akibat Metabolisme


Menurut MC Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono (2004),
pengurangan “intake” kalori pada rodentia muda akan menghambat
pertumbuhan dan memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena
jumlah kalori tersebut antara lain disebabkan karena menurunnya salah
satu atau beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran
hormon yang merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon
pertumbuhan.

2) Teori Psikologis
a) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya
setelah menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap
terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang
sukses adalah meraka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial
(Azizah, 2011).

b) Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)


Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Identity
pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam memelihara
hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri dengan masalah di
masyarakat, kelurga dan hubungan interpersonal (Azizah, 2011).

c) Teori Pembebasan (Disengagement Theory)


Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau
menarik diri dari pergaulan sekitarnya (Azizah, 2011).

D. DEFINISI GERIATRIC SYNDROME


Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua yang
dapat  mempengaruhi  kualitas  hidup  pasien  dan  dikaitkan  dengan 
kecacatan.  Tampilan klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri
tidak terdiagnosis.
Menurut Kane RL (2008), sindrom geriatri memiliki beberapa karakteristik,
yaitu: usia >60 tahun, multipatologi, tampilan klinis tidak khas, polifarmasi, fungsi
organ menurun, gangguan status fungsional, dan gangguan nutrisi. Hal ini sesuai
dengan karakteristik pasien dengan usia 80 tahun, memiliki gangguan hepar dan
ginjal, status fungsional di keluarga yang sudah menurun dan ditemukan adanya
gangguan nutrisi pada pasien karena menurunnya fungsi menelan.
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia,
ketergantungan fungsional, dan jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka
morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah.
Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindrom geriatrik
mungkin memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda,dan
memerlukan intervensi dan strategi yang fokus terhadap faktor etiologi
(Panitaetal., 2011).
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering
dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon
dkk:The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas dan
jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan
delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi),
Impotence (impotensi), Immuno-deficiency (penurunan imunitas), Infection
(infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur),
Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic) dan Impairement of hearing, vision and
smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman) (Setiati dkk., 2006).
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau
lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologis. Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien
geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah tulang. Inkontinensia urin
didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak
dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga
mengakibatkan masalah sosial dan higienis. Inkontinensia urin seringkali tidak
dilaporkan oleh pasien atau keluarganya karena malu atau tabu untuk
diceritakan, ketidaktahuan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar
pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Prevalensi inkontinensia urin di
Indonesia pada pasien geriatri yang dirawat mencapai 28,3%. Biaya yang
dikeluarkan terkait masalah inkontinensia urin di poli rawat jalan Rp 2.850.000,-
per tahun per pasien. Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai
pada pasien geriatri. Umumnya mereka mengeluh bahwa tidurnya tidak
memuaskan dan sulit memertahankan kondisi tidur. Sekitar 57% orang usia
lanjut di komunitas mengalami insomnia kronis, 30% pasien usia lanjut mengeluh
tetap terjaga sepanjang malam, 19% mengeluh bangun terlalu pagi, dan 19%
mengalami kesulitan untuk tertidur. Gangguan depresi pada usia lanjut kurang
dipahami sehingga banyak kasus tidak dikenali. Gejala depresi pada usia lanjut
seringkali dianggap sebagai bagian dari proses menua. Prevalensi depresi pada
pasien geriatri yang dirawat mencapai 17,5%. Deteksi dini depresi dan
penanganan segera sangat penting untuk mencegah disabilitas yang dapat
menyebabkan komplikasi lain yang lebih berat. Infeksi sangat erat kaitannya
dengan penurunan fungsi sistem imun pada usia lanjut. Infeksi yang sering
dijumpai adalah infeksi saluran kemih, pneumonia, sepsis, dan meningitis.
Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi, dan faktor lingkungan
memudahkan usia lanjut terkena infeksi. Gangguan penglihatan dan
pendengaran juga sering dianggap sebagai hal yang biasa akibat proses menua.
Prevalensi gangguan penglihatan pada pasien geriatri yang dirawat di Indonesia
mencapai 24,8%.Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan
kegiatan waktu senggang, status fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas.
Gangguan penglihatan dan pendengaran berhubungan dengan kualitas hidup,
meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul, dan
mortalitas. Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah
yang muncul sering tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama diderita
sehingga tampilan gejala menjadi tidak jelas. Penyakit degeneratif yang banyak
dijumpai pada pasien geriatri adalah hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia,
osteoartritis, dan penyakit kardiovaskular. Penelitian multisenter di Indonesia
terhadap 544 pasien geriatri yang dirawat inap mendapatkan prevalensi
hipertensi dan diabetes melitus sebesar 50,2% dan 27,2%.

E. KLASIFIKASI GERIATRIC SYNDROME


1) Klasifikasi Demensia
Klasifikasi demensia vaskuler secara klinis menurut Kelompok Studi Fungsi
Luhur PERDOSSI adalah:
a. Demensia pasca stroke
- Demensia infark serebri
- Demensia perdarahan intraserebral
b. Demensia vaskuler subkortikal
- Lesi iskemik substansia alba
- Infark lakuner subkortikal
- Infark non lakuner subkortikal
- Demensia vaskuler tipe campuran (Demensia Alzheimer dan
Demensia Vaskuler)

Klasifikasi demensia (Sjahrir,1999) terbagi atas 2 dimensi:


a. Menurut umur; terbagi atas:
- Demensia senilis onset > 65 tahun
- Demensia presenilis < 65 tahun
b. Menurut level kortikal:
- Demensia kortikal
- Demensia subkorti

2) Klasifikasi Inkontinensia
a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat
pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium
teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap
kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten,
seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi
urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan
inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis
dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga
sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang
menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti
glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat
menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel
Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik,
antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah mengingat penyebab
inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini:
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi

b. Inkontinensia Urin Persisten


Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai
cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek
klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi
dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi:

(1)Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)


Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan
intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga.
Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul,
merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di
bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin
terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah
pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh
mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin
yang keluar dapat sedikit atau banyak.
(2)Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan
berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan
kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-
masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi
ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula
spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet
setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa
inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas
yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak
dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki
gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh
karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat
menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak
tepat.

(3)Inkontinensia urin luapan/overflow (overflow incontinence)


Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung
kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis,
seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus
atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien
umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa
kandung kemih sudah penuh.

(4)Inkontinensia urin fungsional


Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang
mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh,
kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin (Hidayat,
2006). Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi
saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti
gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk
mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau
gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin
menjangkau toilet untuk melakukan urinasi

(5)Inkontinensia refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang
mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval
yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah
tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa
kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak
dihambat pada interval teratur (Hidayat, 2006).

(6)Inkontinensia total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006).

F. ETIOLOGI GERIATRIK SYNDROME


Menurut Brocklehurst, Allen et al dikenal istilah geriatric giants sebagai berikut:
1. Sindroma Serebral
Pada lanjut usia terjadi penurunan aliran darah otak sekitar 30
mL/100gram jaringan otak/menit. Metabolisme otak juga menurun karena
terjadi atrofi neuron. Normal pada dewasa nilainya 50 mL/100 gram/menit.
Penurunan aliran darah otak hingga 23 mL/100 gram/menit dapat
menimbulkan sindroma serebral, yaitu perubahan patologik pembuluh darah
otak. Gejala yang timbul dapat berupa gejala umum (rigiditas, peningkatan
refleks, tendensi condong ke belakang, sulit berjalan) gejala klinis daerah
yang diperdarahi karotis (TIA, stroke, arteritis) dan vertebrobasiler (drop
attack, TIA).
Penurunan aliran darah otak pada lansia dapat disebabkan oleh sebab
mekanik maupun akibat perubahan autoregulasi aliran darah otak. Secara
mekanik didapatkan bahwa pada lansia terbentuk osteofit pada vertebra
sehingga menimbulkan jepitan pada arteri vertebralis yang menyuplai darah
ke otak lewat susunan vertebrobasiler. Selain itu degenerasi diskus
intervertebralis membuat arteri vertebralis menjadi berkelok-kelok dengan
akibat turunnya aliran darah menuju ke otak. Dengan demikian gerakan leher
dapat membuat lansia kekurangan sirkulasi darah otak dan tiba-tiba terjatuh.
Karena autoregulasi sebagai mekanisme proteksi otak mengalami
penurunan, sedikit perubahan tekanan darah atau diameter arteri otak akan
mengurangi aliran darah otak yang sulit dikompensasi oleh lansia. Kelainan
vaskuler arteriosklerosis mengurangi perfusi otak yang menimbulkan infark
lakuner. Hipoksemia akibat gangguan respirasi atau kardiovaskuler (gagal
jantung, bronkopneumonia, interaksi obat) juga menurunkan aliran darah otak.
Diabetes dan hipertensi menurunkan aliran darah otak dengan timbulnya
angiopati.

2. Konfusio Akut dan Dementia


a) Konfusio akut
Kontusioa akut adalah gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang ditandai
oleh memburuknya secara mendadak derajat kesadarah dan kewaspadaan
dan proses berpikir yang berakibat terjadinya disorientasi. Hampir semua
penyakit dan obat-obatan menyebabkan konfusi akut, yaitu:
 Hipoperfusi serebral (mis: hipotensi, infark miokardial, kondisi curah
jantung rendah, aritmia)
 Hipoxia serebral (mis: pneumonia, PPOK, gagal jantung kongestif,
emboli paru) atau hiperkarbia
 Dehidrasi (dehidrasi ringan , kekurangan volume intravascular)
 Gangguan elektrolit ( mis: hipo dan hipernatremia, hipo dan
hipercalcemia, hipo dan hipermagnesemia)
 Hipo dan hipercalcemia dan kondisi hiperosmolar
 Infeksi ( mis: sistitis, urosepsis, pneumonia, peritonitis, dan infeksi
SSP s2perti meningitis dan encephalitis)
 Demam atau hipotermia
 Nyeri atau ketidaknyamanan ( termasuk retensi urin atau konstipasi
atau impaksi fecal berat)
 Proses intrakranial (mis: stroke, hematoma subdural, neoplasma,
infeksi)
 Intoksikasi atau “withdrawal states” (mis: alkohol, dan obat lainnya)
 Efek obat yang tidak diinginkan (mis: efek kolinergik sentral,
antihistamin)
Daftar kemungkinan penyebab termasuk kondisi yang biasa terjadi pada
lanjut usia ini kemungkinan tidak menyeluruh. Pada kebanyakan kasus
konfusi akut atau delirium, tidak mungkin untuk mengidentifikasi atau
memastikan penyebab tunggalnya. Lebih sering, mengidentifikasi denga
faktor-faltor multipel yang mengakibatkan, membatu ataupun memperburuk
konfusi.
Pada hakekatnya semua obat yang mempengaruhi fungsi SSP
mempunyai kemungkinan mengakibatkan konfusi:
 Obat-obatan Sedatif atau hinoptik (mis: benzodiazepine,
barbiturat)
 Analgesik (mis: opiat, OAINS?)
 Penghambat histamin ( untuk gangguan GI, insomnia, pruritus,
alergi)
 Agen antisekretorik ( obat-obatan yang menyerupai atropinik)
 Antidiare
 Agen inkontinensia
 Antidepresan trisiklik
 Antipsikotik ( mis: chlorpromazine, thioridazine, mesoridazine)
 Obat-obatan antiaritmia (mis: lidokain, prokainamid)
 obat-obatan antineoplasma

b) Dementia
Dementia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi
intelektual dan ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi
hidup sehari-hari. Perjalanannya bertahap dan tidak ada gangguan
kesadaran. Biasanya dementia tidak didiagnosis karena dianggap wajar
oleh masyarakat. Gangguan memori yang menurun tanpa perubahan
fungsi kognitif dan ADL dinamakan Mild Cognitive Impairment. Sebagian
keadaan ini akan berkembang menjadi dementia.
Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
Mini Mental State Examination dan penyebab pastinya dengan
pemeriksaan patologi. Dementia dibagi menjadi 4 golongan: dementia
degeneratif primer/Alzheimer (50-60%), dementia multi infark (10-20%),
dementia reversibel/sebagian reversibel (20-30%), dan gangguan lain (5-
10%).
Penyebab dementia yang reversibel dapat dibuat matriks jembatan keledai
berikut:
D : drugs
E : emotional (emosi, depresi)
M : metabolik/endokrin
E : eye and ear (mata dan telinga)
N : nutrisi
T : tumor trauma
I : infeksi
A : arteriosklerosis
Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi pasien, mengenali
dan mengatasi komplikasi, rawat berkelanjutan, informasi pada keluarga,
dan nasihat pada keluarga.

3. Gangguan Otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor kolin
yang berakibat penurunan fungsi otonom. Beberapa gangguannya adalah
hipotensi ortostatik, gangguan pengaturan suhu, kandung kemih, gerakan
esofagus dan usus besar. Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan
sistolik/diastolik sebanyak 20 mmHg pada saat berubah dari posisi tidur ke
posisi tegak setelah 1-2 menit.Hal ini terjadi akibat penurunan isi sekuncup
jantung dan perpindahan darah ke posisi bawah tubuh.Biasanya tidak
menimbulkan gejala karena mekanisme kompensasi. Namun pada lansia
dapat terjadi adanya penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan
barorefleks akibat tirah baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian
obat hipotensif, atau penyakit SSP maupun neuropati lain (parkinson, CVD,
diabetes mellitus). Gejala bisa berupa penurunan kesadaran atau
jatuh.Penatalaksanaannya adalah meninggikan kepala waktu tidur.Terapi
farmakologis dapat menggunakan hormon mineralokortikoid, simpatomimetik,
atau vasokonstriktor lainnya seperti fluorokortison, kafein, pindolol. Gangguan
regulasi suhu juga ditemukan pada lansia sehingga mereka rentan mengalami
hipertermia maupun hipotermia.Hipertermia adalah suhu inti tubuh > 40,6 oC,
disfungsi saraf pusat hebat (psikosis, delirium, koma).Sementara itu
hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh di bawah 35oC.

4. Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari,
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan atau sosial. Ini bukan konsekuensi normal dari
pertambahan usia. Penyebab inkontinensia berasal dari kelainan urologik
(radang, batu, tumor), kelainan neurologik (stroke, trauma medula spinalis,
dementia), atau lainnya (imobilisasi, lingkungan). Inkontinensia dapat akut di
saat timbul penyakit atau yang kronik/lama.
Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi dengan
akronim DRIP yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas retensi, Infeksi
inflamasi impaksi feses, Pharmasi poliuri. Juga dengan akronim DIAPPERS :
Delirium, Infection, Atrophic vaginitis/uretheritis, Pharmaceuticals, Physiologic
factor, Excess urine output, Restricted mobility, Stool impaction. Inkontinensia
menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor berlebih (over active bladder),
aktivitas detrusor yang menurun (overflow), kegagalan uretra (stress type),
atau obstruksi uretra.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder
training, pelvic floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang
digunakan dapat meliputi antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk tipe
urgensi/stres, α-adrenergik agonis (pseudoefedrin, fenilpropanolamin) untuk
tipe stres atau urgensi, estrogen agonis(oral/topikal) untuk tipe stres atau
urgensi, kolinergik agonis (betanekol), α-arendergik antagonis (terasozine)
untuk tipe overflow atau urgensi karena pembesaran prostat. Pembedahan
meliputi juga kateterisasi sementara (2-4 kali sehari) atau menetap.

5. Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari
tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama tingginya.
Sebanyak 30% lansia ≥ 65 tahun mengalami jatuh. Kondisi jatuh dipengaruhi
stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem sensorik (penglihatan,
pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf pusat, kognisi, dan
fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor ekstrinsik seperti pengaruh
obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh ada beragam, antara lain
kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi ortostatik, obat-obatan
(diuretik, antihipertensi, antidepresan trisiklik, sedatif, antipsikotik,
hipoglikemk, alkohol), proses penyakit (aritmia, TIA, stroke, parkinson),
idiopatik, dan sinkop (drop attack, penurunan CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan fraktur
(terutama pelvis, kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko meninggal.
Jatuh perlu dicegah dengan identifikasi semua faktor risiko intrinsik maupun
ekstrinsik, penilaian pola berjalan dan keseimbangan (tes romberg), dan
pemeriksaan rutin. Setiap lansia selalu harus ditanyakan riwayat jatuh dan
evaluasi status kesehatan. Tatalaksana jatuh adalah pencegahan sesuai
dengan etiologi yang dirasa memberi risiko terjadinya jatuh.

6. Kelainan Tulang dan Patah Tulang


Setiap tahun 0,5-1% dari berat tulang wanita pasca menopause dan pria
> 80 tahun menurun. Penurunan ini timbul di bagian trabekula. Kelainan
tulang yang timbul dapat berupa osteoporosis, osteomalasia, osteomielitis,
dan keganasan tulang.
Patah tulang/fraktur pada usia lanjut terutama akibat osteoporosis, ada 3
jenis yang terutama, yaitu fraktur sendi koksa (collum femoris), fraktur
pergelangan tangan (colles), dan kolumna vertebralis (crush, multipel, atau
baji).

7. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit,
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada
suatu area secara terus menerus sehingga timbul gangguan sirkulasi darah
setempat.Ulkus dekubitus terjadi terutama pada tonjolan tulang.Usia lanjut
memiliki potensi dekubitus karena jaringan lemak subkutan berkurang,
jaringan kolagen dan elastis berkurang, efisiensi kapiler pada kulit berkurang.
Pada penderita imobil, tekanan jaringan akan melebihi tekanan kapiler,
sehingga timbul iskemi dan nekrosis. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan,
daya regang, gesekan, dan kelembaban.
Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko
dekubitus.Skor di bawah 14 berkaitan dengan risiko tinggi timbulnya
ulkus.Pencegahan ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit,
mengurangi gesekan dan regangan dengan berpindah posisi, asupan gizi
yang cukup, menjaga kelembaban kulit.Perlu diingat komplikasi ulkus
dekubitus adalah sepsis.

G. MANIFESTASI KLINIS
1. Imobilisasi
- Kerusakan imobilisasi
a. Tidak mampu bergerak atau beraktifitas sesuai kebutuhan
b. Keterbatasan menggerakkan sendi
c. Adanya kerusakan aktivitas
d. Penurunan ADL dibantu orang lain
e. Malas untuk bergerak atau latihan mobilitas
- Kemungkinan dibuktikan oleh:
a. Ketidakmampuan bergerak dengan tujuan dalam lingkungan fisik
b. Kerusakan koordinasi
c. Keterbatasan rentang gerak
d. Penurunan kekuatan atau kontrol otot
2. Inkontinensia
a. Inkontinensia stress: keluarnya urin selama batuk, mengejan, dan
sebagainya.
b. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin
dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
c. Enuresis nokturnal: keluarnya urin saat tidur malam hari.
3. Demensia
a. Rusaknya seluruh jajaran fungsi kognitif
b. Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek
c. Gangguan kpribadian dan perilaku (mood swings)
d. Defisit neurologi dan fokal
e. Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi, dan kejang
f. Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waha, dan paranoid
g. Keterbatasan dalam ADL
h. Kesulitan mengatur dalam penggunaan keuangan
i. Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
j. Lupa meletakkan barang penting
k. Sulit mandi, makan, berpakaian, dan toileting
l. Mudah terjatuh dan keseimbangan buruk
m. Tidak dapat makan dan menelan
n. Inkontinensia urin
o. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi
p. Gangguan orientasi waktu dan tempat
q. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang
benar
r. Ekspresi yang berlebihan
s. Adanya perubahan perilaku, seperti acuh, menarik diri, dan gelisah
4. Pneumonia
a. Batuk nonproduktif j. Thorax photo menunjukkan
b. Nasal discharge (ingus) infiltrasi melebar
c. Suara napas lemah k. Batuk
d. Retraksi intercosta l. Sakit kepala
e. Penggunaan otot bantu m. Kekakuan dan nyeri otot
nafas n. Sesak nafas
f. Demam o. Menggigil
g. Ronchi p. Berkeringat
h. Cyanosis q. Lelah
i. Leukositosis r. Kulit lembab
s. Mual muntah
5. Konstipasi
a. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
b. Mengejan keras saat BAB
c. Massa feses yang keras dan sulit keluar
d. Perasaan tidak tuntas saat BAB
e. Sakit pada daerah rectum saat BAB
f. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
g. Menggunakan bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
h. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB
6. Depresi
a. Gangguan tidur
b. Keluhan somatik berupa nyeri kepala, dizzi (puyeng), rasa nyeri,
pandangan kabur, gangguan saluran cerna,gangguan nafsu makan
(meningkat atau menurun), konstipasi, perubahan berat badan
(menurun atau bertambah).
c. Gangguan psikomotor berupa aktivitas tubuh meningkat (agitasi atau
hiperaktivitas) atau menurun, aktivitas mental meningkat atau
menurun, tidak mengacuhkan kejadian di sekitarnya, fungsi seksual
berubah (mencakup libido menurun), variasi diurnal dari suasana hati
dan gejala biasanya lebih buruk di pagi hari.
d. Gangguan psikologis berupa suasana hati (disforik, rasa tidak bahagia,
letupan menangis), kognisi yang negatif, gampang tersinggung, marah,
frustasi, toleransi rendah, emosi meledak, menarik diri dari kegiatan
sosial, kehilangan kenikmatan & perhatian terhadap kegiatan yang
biasa dilakukan, banyak memikirkan kematian & bunuh diri, perasaan
negatif terhadap diri sendiri, persahabatan serta hubungan sosial.

7. Malnutrisi
a. Kelelahan dan kekurangan f. Gigi yang membusuk
energi g. Sulit untuk berkonsentrasi
b. Pusing dan mempunyai reaksi
c. Sistem kekebalan tubuh yang lambat
yang rendah (yang h. Berat badan kurang
mengakibatkan tubuh i. Pertumbuhan yang lambat
kesulitan untuk melawan j. Kelemahan pada otot
infeksi) k. Perut kembung
d. Kulit yang kering dan l. Tulang yang mudah patah
bersisik m. Terdapat masalah pada
e. Gusi bengkak dan fungsi organ tubuh
berdarah

8. Insomnia
a. Perasaan sulit tidur, bangun terlalu awal
b. Wajah kelihatan kusam
c. Mata merah, hingga timbul bayangan gelap di bawah mata
d. Lemas, mudah mengantuk
e. Resah dan mudah cemas
f. Sulit berkonsentrasi, depresi, ganggua memori, dan mudah
tersinggung
9. Immune Deficeincy
a. Sering terjadi infeksi virus atau jamur dibandingkan bakteri
b. Diare kronik umum terjadi (sering disebut gastroenteritis)
c. Infeksi respiratorius dan oral thrushumum terjadi
d. Terjadi failure to thrive tanpa adanya infeksi
10. Impoten
a. Tidak mampu ereksi sama sekali atau tidak mampu mempertahankan
ereksi secara berulang (paling tidak selama 3 bulan).
b. Tidak mampu mencapai ereksi yang konsisten
c. Ereksi hanya sesaat dalam referensi tidak disebutkan lamanya)

H. PENATALAKSANAAN
Dalam merawat dan menatalaksana pasien geriatri tercakup dua
komponen penting yakni pendekatan tim dan P3G yang merupakan bagian
comprehensive geriatric management (CGM). Pendekatan paripurna pasien
geriatri merupakan prosedur pengkajian multidimensi. Diperlukan instrumen
diagnostik yang bersifat multidisiplin untuk mengumpulkan data medik,
psikososial, kemampuan fungsional, dan keterbatasan pasien usia lanjut.
Pendekatan multidimensi berusaha untuk menguraikan berbagai masalah pada
pasien geriatri, mengidentifikasi semua aset pasien, mengidentifikasi jenis
pelayanan yang dibutuhkan, dan mengembangkan rencana asuhan yang
berorientasi pada kepentingan pasien. Pendekatan paripurna pasien geriatri
berbeda dengan pengkajian medik standar dalam tiga hal, yaitu fokus pada
pasien usia lanjut yang memiliki masalah kompleks; mencakup status fungsional
dan kualitas hidup; memerlukan tim yang bersifat interdisiplin (Soedjono, 2007).
Berikut beberapa penatalaksanaan secara umum sindrom geriatrik, diantaranya :

1) Pemberian asupan diet protein, vitamin C,D,E, & mineral yang cukup.
Orang usia lanjut umumnya mengonsumsi protein kurang dari angka
kecukupan gizi (AKG). Penelitian multisenter di 15 propinsi di Indonesia
mendapatkan bahwa 47% usia lanjut mengonsumsi protein kurang dari 80%
AKG. Proporsi protein yang adekuat merupakan faktor penting; bukan dalam
jumlah besar pada sekali makan. Hal penting lainnya adalah kualitas protein
yang baik, yaitu protein sebaiknya mengandung asam amino esensial. Leusin
adalah asam amino esensial dengan kemampuan anabolisme protein tertinggi
sehingga dapat mencegah sarkopenia. Leusin dikonversi menjadi hydroxy-
methyl-butyrate (HMB). Suplementasi HMB meningkatkan sintesis protein dan
mencegah proteolisis (Setiati et al, 2013)

2) Pengaturan olah raga secara teratur.


Perlu pemantauan rutin kemampuan dasar seperti berjalan, keseimbangan,
fungsi kognitif. Aktivitas fisik dapat menghambat penurunan massa dan fungsi
otot dengan memicu peningkatan massa dan kapasitas metabolik otot
sehingga memengaruhi energy expenditure, metabolise glukosa, dan
cadangan protein tubuh. Resistance training merupakan bentuk latihan yang
paling efektif untuk mencegah sarkopenia dan dapat ditoleransi dengan baik
pada orang tua. Program resistance training dilakukan selama 30 menit setiap
sesi, 2 kali seminggu (Waters et al, 2010). Aktivitas fisik tanpa asupan nutrisi
yang adekuat menyebabkan keseimbangan protein negatif dan menyebabkan
degradasi otot (Sullivan et al, 2009). Kombinasi resistance training dengan
intervensi nutrisi berupa asupan protein yang cukup dengan kandungan
leusin, khususnya HMB yang adekuat, merupakan intervensi terbaik untuk
memelihara kesehatan otot orang usia lanjut (Setiati et al, 2013)

3) Pencegahan infeksi dengan vaksin

4) Antisipasi kejadian yang dapat menimbulkan stres.


Misalnya pembedahan elektif dan reconditioning cepat setelah mengalami
stres dengan renutrisi dan fisioterapi individual (Setiati et al, 2011)

5) Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda


dari pasien pada usia muda.
Hal ini karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia,
dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan
sebelumnya. Masalah polifarmasi pada pasien geriatri sulit dihindari
dikarenakan oleh berbagai hal yaitu penyakit yang diderita banyak dan
biasanya kronis, obat diresepkan oleh beberapa dokter, kurang koordinasi
dalam pengelolaan, gejala yang dirasakan pasien tidak jelas, pasien meminta
resep, dan untuk menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat
baru. Karena itu diusulkan prinsip pemberian obat yang benar pada pasien
geriatri dengan cara mengetahui riwayat pengobatan lengkap, jangan
memberikan obat sebelum waktunya, jangan menggunakan obat terlalu lama,
kenali obat yang digunakan, mulai dengan dosis rendah, naikkan perlahan-
lahan, obati sesuai patokan, beri dorongan supaya patuh berobat dan hati-hati
mengguakan obat baru (Setiati dkk., 2006).

Penatalaksanaan Resiko Jatuh


a. Perhatikan penggunaan alat bantu melihat (kacamata) dan alat bantu
dengar (earphone)
b. Evaluasi dan ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
c. Evaluasi kemampuan kognitif
d. Beri lansia alat bantu berjalan seperti hand rails, walkers, dsb

Penatalaksanaan Gangguan Tidur


a. Tingkatkan aktifitas rutin setiap hari
b. Ciptakan lingkungan yang nyaman
c. Kurangi konsumsi kopi
d. Berikan benzodiazepine seperti Temazepam (7,5-15 mg)
e. Anti depresan seperti Trazadone untuk insomnia kronik

I. PENCEGAHAN GERIATRIC SYNDROME


Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya kesehatan
yaitu: peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), diagnosis dini dan
pengobatan, pembatasan kecacatan dan pemulihan.
1) Promosi (Promotif)
Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak
langsung untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit.
Upaya promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk
meningkatkan dukungan klien, tenaga provesional dan masyarakat terhadap
praktik kesehatan yang positif menjadi norma-norma sosial. Upaya promotif di
lakukan untuk membantu organ-organ mengubah gaya hidup mereka dan
bergerak ke arah keadaan kesehatan yang optimal serta mendukung
pemberdayaan seseorang untuk membuat pilihan yang sehat tentang perilaku
hidup mereka. Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia adalah sebagai
berikut:
a. Mengurangi cedera, di lakukan dengan tujuan mengurangi kejadian jatuh,
mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah, meningkatkan penggunaan
alat pengaman dan mengurangi kejadian keracunan makanan atau zat
kimia.
b. Meningkatkan keamanan di tempat kerja yang bertujuan untuk
mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia dan meningkatkan
pengunaan sistem keamanan kerja.
c. Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk, bertujuan
untuk mengurangi pengunaan semprotan bahan-bahan kimia,
mengurangi radiasi di rumah, meningkatkan pengolahan rumah tangga
terhadap bahan berbahaya, serta mengurangi kontaminasi makanan dan
obat-obatan.
d. Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mutu yang
bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta memelihara kebersihan gigi
dan mulut.

2) Pencegahan (Preventif)
a. Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia sehat,
terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan promosi kesehatan. Jenis
pelayanan pencegahan primer adalah: program imunisasi, konseling,
berhenti merokok dan minum beralkohol, dukungan nutrisi, keamanan di
dalam dan sekitar rumah, manajemen stres, penggunaan medikasi yang
tepat.
b. Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan terhadap
penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit
belum tampak secara klinis dan mengindap faktor risiko. Jenis pelayan
pencegahan sekunder antara lain adalah sebagai berikut: kontrol
hipertensi, deteksi dan pengobatan kangker, screening: pemeriksaan
rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-lain.
c. Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat gejala
penyakit dan cacat, mecegah cacat bertambah dan ketergantungan, serta
perawatan dengan perawatan di rumah sakit, rehabilisasi pasien rawat
jalan dan perawatan jangka panjang.
3) Diagnosis Dini dan Pengobatan
a. Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau petugas
profesional dan petugas institusi. Oleh lansia sendiri dengan melakukan
tes dini, skrining kesehatan, memanfaatkan Kartu Menuju Sehat (KMS)
Lansia, memanfaatkan Buku Kesehatan Pribadi (BKP), serta
penandatangan kontrak kesehatan.
b. Pengobatan: Pengobatan terhadap gangguan sistem dan gejala yang
terjadi meliputi sistem muskuloskeletal, kardiovaskular, pernapasan,
pencernaan, urogenital, hormonal, saraf dan integumen.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantsar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Indonesia. hlm. 1335-1340.

Kelompok Studi Fungsi Luhur PERDOSSI. Konsensus pengenalan dini dan


penatalaksanaan demensia vaskuler. Edisi 2. Jakarta: Eisai; 2004; 1-7; 30; 40-41

Panita L , Kittisak S, Suvanee S, Wilawan H. 2011. Prevalence and recognition of geriatri


syndromes in an outpatient clinic at a tertiary care hospital of Thailand. Medicine
Department; Medicine Outpatient Department, Faculty of Medicine, Srinagarind
Hospital, Khon Kaen University, Khon Kaen 40002, Thailand. Asian
Biomedicine.5(4): 493-497.

Patricia Gonce Morton et.al. (2011). Keperawatan Kritis: pendekatan asuhan holistic ed.8;
alih bahasa, Nike Esty wahyuningsih. Jakarta: EGC.

Potter dan Perry. (2005). Fundamental keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik.
Jakarta: EGC.

Pranarka, Kris. 2011. Simposium geriatric syndromes:revisited. Semarang:Badan


Penerbit Universitas Diponegoro.

Psychologymania. (2012). Pengertian-lansia-lanjut-usia. Diakses pada hari Senin, 19


Agustus 2019. http://www.psychologymania.com/2012/07/pengertian-lansia-
lanjut-usia.html

Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R, Sari W, Verdinawati T. Prevalensi geriatric


giant dan kualitas hidup pada pasien usia lanjut yang dirawat di Indonesia:
penelitian multisenter. In Rizka A (editor). Comprehensive prevention &
management for the elderly: interprofessional geriatric care. Jakarta:
Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia; 2013:183.

Setiati S, Rizka A. Sarkopenia dan frailty: sindrom geriatri baru. Dalam: Setiati S,
Dwimartutie N, Harimurti K, Dewiasty E (editor). Chronic degenerative disease in
elderly: update in diagnostic & management. Jakarta; Perhimpunan Gerontologi
Medik Indonesia; 2011:69-75.

Stanley, Mickey dan Patricia Gauntlett Beare. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik.
Jakarta: EGC.

Syarniah. 2010. Pengaruh Terapi Kelompok Reminiscene terhadap Depresi pada Lansia
di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Provinsi Kalimantan Selatan.
Tidak diterbitkan, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Jakarta

Waters DL, Baumgartner RN, Garry PJ, Vellas B. Advantages of dietary, exercise-related,
and therapeutic interventions to prevent and treat sarkopenia in adult patients: an
update. Clinical Interventions in Aging. 2010(5):259-70.

Wilkinson, Judith. (2011). Buku saku diagnosa keperawatan: diagnose NANDA, intervensi
NIC, Kriteria hasil NOC, ed.9. Alih bahasa, Esty Wahyuningsih; editor edisi
bahasa Indonesia, Dwi Widiarti. Jakarta: EGC.
Pathway Proses Menua
Proses Menua

Fase 2 transisi
Fase 1 subklinik Fase 3 klinik

Usia 25-35 Penurunan hormon


(testosteron, growt hormon, Usia 35-45 Usia 45 produksi hormon
estrogen) Penurunan hormon 25 sudah berkurang
hingga akhirnya berhenti

Polusi udara, diet yang tak sehat dan


stres

Peningkatan radikal
bebas

Kerusakan sel-seDNA
(sel-sel tubuh)

Sistem dalam tubuh mulai


terganggu spti : penglihatan
menurun, rambut beruban,
stamina & enegi berkurang,
wanita (menopause),pria
(andopause).

Penyakit degeneratif
(DM, osteoporosis,
hipertensi, penyakit
jantung koroner)

Anda mungkin juga menyukai