GERIATRIC SYNDROME
Disusun oleh:
MUGI PRAYITNO
NIM. 190070300011084
GERIATRIC SYNDROME
A. LANSIA
1) Pengertian Lansia
Usia lanjut adalah bagian akhir dari perkembangan hidup manusia.
Menurut teori Erikson bahwa usia lanjut merupakan tahap perkembangan
psikososial yang terakhir (ke delapan). Tercapainya integritas yang utuh
merupakan perkembangan psikososial lansia (Keliat, et al, 2006 dalam Syerniah,
2010). WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa
usia 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit,
tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan
kumulatif, merupakan proses menurunya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh.
Pada tahap ini lansia dikatakan berada pada tahap integritas ego versus
keputusasaan dan mempunyai tugas perkembangan menerima tanggung jawab
diri dan kehidupan (Videback, 2008; Lahey, 2002). Lansia dikatakan dapat
mencapai integritas ego apabila si lansia merasakan kepuasan atas keberhasilan
yang telah dicapai pada seluruh tahap kehidupan dari masa anak-anak sampai
usia dewasa. Kepuasan ini dimanifestasikan dalam bentuk konsep diri yang
positif dan sikap posistif terhadap kehidupan. Perilaku lansia yang mencapai
integritas diri adalah mempunyai harga diri tinggi, menilai kehidupan berarti,
memandang ssesuatu hal secara keseluruhan (tuntutan dan makna hidup),
menerima nilai dan keunikan orang lain serta menrima datangnya kematian
(Keliat, 2006). Pada lansia yang kecewa terhadap kehidupannya akan
merasakan keputusasaan sehingga muncul perilaku dan sikap yang tidak
menghargai terhadap diri sendiri atau orang lain. Perilaku yang putus asa
ditujukan dengan memandang rendah atau menghina atau mencela orang lain,
merasakan kehidupan selama ini tidak berarti, merasakan kehilangan dan masih
ingin berbuat banyak tetapi takut tidak punya waktu lagi (Keliat, 2006). Lansia
yang gagal mencapai integritas ego ini akan mempunyai resiko untuk mengalami
masalah psikososial keputusasaan yang merupakan salah satu tanda depresi.
Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60+ tahun (WHO,
2010 dalam Syerniah, 2010). Menurut UU RI no. 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia juga menyebutkan lanjut usia (lansia) adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Berdasarkan pengertian tersebut
maka yang dimaksud lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas atau lebih.
Di lain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain adalah:
minat yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas,
menikmati kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilkukan saat ini dan
memiliki kekhawatiran minimla trehadap diri dan orang lain.
C. TEORI PROSES MENUA
1) Teori Biologi
a) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies–
spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
yang diprogram oleh molekul – molekul / DNA dan setiap sel pada saatnya
akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel–
sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional sel)
e) Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan
internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah
terpakai.
c) Keracunan Oksigen
Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di dalam tubuh
untuk mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun
dengan kadar yang tinggi, tanpa mekanisme pertahan diri tertentu.
Ketidakmampuan mempertahankan diri dari toksink tersebut membuat
struktur membran sel mengalami perubahan dari rigid, serta terjadi
kesalahan genetik (Tortora dan Anaggnostakos, 1990). Membran sel
tersebut merupakan alat untuk memfasilitas sel dalam berkomunikasi
dengan lingkungannya yang juga mengontrol proses pengambilan nutrisi
dengan proses ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen
protein pada membran sel yang sangat penting bagi proses di atas,
dipengaruhi oleh rigiditas membran tersebut. Konsekuensi dari kesalahan
genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel oleh mitosis yang
mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan organ berkurang.
Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh (Azizah,
2011).
d) Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan.
Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari
sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang
berkontribusi dalam proses penuaan. Mutasi yang berulang atau
perubahan protein pasca tranlasi, dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi
isomatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,
maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel
yang mengalami perubahan tersebut sebagai selasing dan
menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya
peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya
pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya
serangnya terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker
leluasa membelah-belah (Azizah, 2011).
2) Teori Psikologis
a) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara keaktifannya
setelah menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa mudanya tetap
terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang
sukses adalah meraka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial
(Azizah, 2011).
2) Klasifikasi Inkontinensia
a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat
pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium
teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap
kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten,
seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi
urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan
inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis
dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga
sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang
menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti
glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat
menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel
Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik,
antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah mengingat penyebab
inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini:
D --> Delirium
R --> Restriksi mobilitas, retensi urin
I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi
P --> Poliuria, pharmasi
(5)Inkontinensia refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang
mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval
yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah
tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa
kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak
dihambat pada interval teratur (Hidayat, 2006).
(6)Inkontinensia total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006).
b) Dementia
Dementia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi
intelektual dan ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi
hidup sehari-hari. Perjalanannya bertahap dan tidak ada gangguan
kesadaran. Biasanya dementia tidak didiagnosis karena dianggap wajar
oleh masyarakat. Gangguan memori yang menurun tanpa perubahan
fungsi kognitif dan ADL dinamakan Mild Cognitive Impairment. Sebagian
keadaan ini akan berkembang menjadi dementia.
Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
Mini Mental State Examination dan penyebab pastinya dengan
pemeriksaan patologi. Dementia dibagi menjadi 4 golongan: dementia
degeneratif primer/Alzheimer (50-60%), dementia multi infark (10-20%),
dementia reversibel/sebagian reversibel (20-30%), dan gangguan lain (5-
10%).
Penyebab dementia yang reversibel dapat dibuat matriks jembatan keledai
berikut:
D : drugs
E : emotional (emosi, depresi)
M : metabolik/endokrin
E : eye and ear (mata dan telinga)
N : nutrisi
T : tumor trauma
I : infeksi
A : arteriosklerosis
Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi pasien, mengenali
dan mengatasi komplikasi, rawat berkelanjutan, informasi pada keluarga,
dan nasihat pada keluarga.
3. Gangguan Otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor kolin
yang berakibat penurunan fungsi otonom. Beberapa gangguannya adalah
hipotensi ortostatik, gangguan pengaturan suhu, kandung kemih, gerakan
esofagus dan usus besar. Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan
sistolik/diastolik sebanyak 20 mmHg pada saat berubah dari posisi tidur ke
posisi tegak setelah 1-2 menit.Hal ini terjadi akibat penurunan isi sekuncup
jantung dan perpindahan darah ke posisi bawah tubuh.Biasanya tidak
menimbulkan gejala karena mekanisme kompensasi. Namun pada lansia
dapat terjadi adanya penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan
barorefleks akibat tirah baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian
obat hipotensif, atau penyakit SSP maupun neuropati lain (parkinson, CVD,
diabetes mellitus). Gejala bisa berupa penurunan kesadaran atau
jatuh.Penatalaksanaannya adalah meninggikan kepala waktu tidur.Terapi
farmakologis dapat menggunakan hormon mineralokortikoid, simpatomimetik,
atau vasokonstriktor lainnya seperti fluorokortison, kafein, pindolol. Gangguan
regulasi suhu juga ditemukan pada lansia sehingga mereka rentan mengalami
hipertermia maupun hipotermia.Hipertermia adalah suhu inti tubuh > 40,6 oC,
disfungsi saraf pusat hebat (psikosis, delirium, koma).Sementara itu
hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh di bawah 35oC.
4. Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari,
dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan atau sosial. Ini bukan konsekuensi normal dari
pertambahan usia. Penyebab inkontinensia berasal dari kelainan urologik
(radang, batu, tumor), kelainan neurologik (stroke, trauma medula spinalis,
dementia), atau lainnya (imobilisasi, lingkungan). Inkontinensia dapat akut di
saat timbul penyakit atau yang kronik/lama.
Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi dengan
akronim DRIP yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas retensi, Infeksi
inflamasi impaksi feses, Pharmasi poliuri. Juga dengan akronim DIAPPERS :
Delirium, Infection, Atrophic vaginitis/uretheritis, Pharmaceuticals, Physiologic
factor, Excess urine output, Restricted mobility, Stool impaction. Inkontinensia
menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor berlebih (over active bladder),
aktivitas detrusor yang menurun (overflow), kegagalan uretra (stress type),
atau obstruksi uretra.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder
training, pelvic floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang
digunakan dapat meliputi antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk tipe
urgensi/stres, α-adrenergik agonis (pseudoefedrin, fenilpropanolamin) untuk
tipe stres atau urgensi, estrogen agonis(oral/topikal) untuk tipe stres atau
urgensi, kolinergik agonis (betanekol), α-arendergik antagonis (terasozine)
untuk tipe overflow atau urgensi karena pembesaran prostat. Pembedahan
meliputi juga kateterisasi sementara (2-4 kali sehari) atau menetap.
5. Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari
tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama tingginya.
Sebanyak 30% lansia ≥ 65 tahun mengalami jatuh. Kondisi jatuh dipengaruhi
stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem sensorik (penglihatan,
pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf pusat, kognisi, dan
fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor ekstrinsik seperti pengaruh
obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh ada beragam, antara lain
kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi ortostatik, obat-obatan
(diuretik, antihipertensi, antidepresan trisiklik, sedatif, antipsikotik,
hipoglikemk, alkohol), proses penyakit (aritmia, TIA, stroke, parkinson),
idiopatik, dan sinkop (drop attack, penurunan CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan fraktur
(terutama pelvis, kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko meninggal.
Jatuh perlu dicegah dengan identifikasi semua faktor risiko intrinsik maupun
ekstrinsik, penilaian pola berjalan dan keseimbangan (tes romberg), dan
pemeriksaan rutin. Setiap lansia selalu harus ditanyakan riwayat jatuh dan
evaluasi status kesehatan. Tatalaksana jatuh adalah pencegahan sesuai
dengan etiologi yang dirasa memberi risiko terjadinya jatuh.
7. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit,
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada
suatu area secara terus menerus sehingga timbul gangguan sirkulasi darah
setempat.Ulkus dekubitus terjadi terutama pada tonjolan tulang.Usia lanjut
memiliki potensi dekubitus karena jaringan lemak subkutan berkurang,
jaringan kolagen dan elastis berkurang, efisiensi kapiler pada kulit berkurang.
Pada penderita imobil, tekanan jaringan akan melebihi tekanan kapiler,
sehingga timbul iskemi dan nekrosis. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan,
daya regang, gesekan, dan kelembaban.
Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko
dekubitus.Skor di bawah 14 berkaitan dengan risiko tinggi timbulnya
ulkus.Pencegahan ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit,
mengurangi gesekan dan regangan dengan berpindah posisi, asupan gizi
yang cukup, menjaga kelembaban kulit.Perlu diingat komplikasi ulkus
dekubitus adalah sepsis.
G. MANIFESTASI KLINIS
1. Imobilisasi
- Kerusakan imobilisasi
a. Tidak mampu bergerak atau beraktifitas sesuai kebutuhan
b. Keterbatasan menggerakkan sendi
c. Adanya kerusakan aktivitas
d. Penurunan ADL dibantu orang lain
e. Malas untuk bergerak atau latihan mobilitas
- Kemungkinan dibuktikan oleh:
a. Ketidakmampuan bergerak dengan tujuan dalam lingkungan fisik
b. Kerusakan koordinasi
c. Keterbatasan rentang gerak
d. Penurunan kekuatan atau kontrol otot
2. Inkontinensia
a. Inkontinensia stress: keluarnya urin selama batuk, mengejan, dan
sebagainya.
b. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin
dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
c. Enuresis nokturnal: keluarnya urin saat tidur malam hari.
3. Demensia
a. Rusaknya seluruh jajaran fungsi kognitif
b. Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek
c. Gangguan kpribadian dan perilaku (mood swings)
d. Defisit neurologi dan fokal
e. Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi, dan kejang
f. Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waha, dan paranoid
g. Keterbatasan dalam ADL
h. Kesulitan mengatur dalam penggunaan keuangan
i. Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
j. Lupa meletakkan barang penting
k. Sulit mandi, makan, berpakaian, dan toileting
l. Mudah terjatuh dan keseimbangan buruk
m. Tidak dapat makan dan menelan
n. Inkontinensia urin
o. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi
p. Gangguan orientasi waktu dan tempat
q. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang
benar
r. Ekspresi yang berlebihan
s. Adanya perubahan perilaku, seperti acuh, menarik diri, dan gelisah
4. Pneumonia
a. Batuk nonproduktif j. Thorax photo menunjukkan
b. Nasal discharge (ingus) infiltrasi melebar
c. Suara napas lemah k. Batuk
d. Retraksi intercosta l. Sakit kepala
e. Penggunaan otot bantu m. Kekakuan dan nyeri otot
nafas n. Sesak nafas
f. Demam o. Menggigil
g. Ronchi p. Berkeringat
h. Cyanosis q. Lelah
i. Leukositosis r. Kulit lembab
s. Mual muntah
5. Konstipasi
a. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
b. Mengejan keras saat BAB
c. Massa feses yang keras dan sulit keluar
d. Perasaan tidak tuntas saat BAB
e. Sakit pada daerah rectum saat BAB
f. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
g. Menggunakan bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
h. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB
6. Depresi
a. Gangguan tidur
b. Keluhan somatik berupa nyeri kepala, dizzi (puyeng), rasa nyeri,
pandangan kabur, gangguan saluran cerna,gangguan nafsu makan
(meningkat atau menurun), konstipasi, perubahan berat badan
(menurun atau bertambah).
c. Gangguan psikomotor berupa aktivitas tubuh meningkat (agitasi atau
hiperaktivitas) atau menurun, aktivitas mental meningkat atau
menurun, tidak mengacuhkan kejadian di sekitarnya, fungsi seksual
berubah (mencakup libido menurun), variasi diurnal dari suasana hati
dan gejala biasanya lebih buruk di pagi hari.
d. Gangguan psikologis berupa suasana hati (disforik, rasa tidak bahagia,
letupan menangis), kognisi yang negatif, gampang tersinggung, marah,
frustasi, toleransi rendah, emosi meledak, menarik diri dari kegiatan
sosial, kehilangan kenikmatan & perhatian terhadap kegiatan yang
biasa dilakukan, banyak memikirkan kematian & bunuh diri, perasaan
negatif terhadap diri sendiri, persahabatan serta hubungan sosial.
7. Malnutrisi
a. Kelelahan dan kekurangan f. Gigi yang membusuk
energi g. Sulit untuk berkonsentrasi
b. Pusing dan mempunyai reaksi
c. Sistem kekebalan tubuh yang lambat
yang rendah (yang h. Berat badan kurang
mengakibatkan tubuh i. Pertumbuhan yang lambat
kesulitan untuk melawan j. Kelemahan pada otot
infeksi) k. Perut kembung
d. Kulit yang kering dan l. Tulang yang mudah patah
bersisik m. Terdapat masalah pada
e. Gusi bengkak dan fungsi organ tubuh
berdarah
8. Insomnia
a. Perasaan sulit tidur, bangun terlalu awal
b. Wajah kelihatan kusam
c. Mata merah, hingga timbul bayangan gelap di bawah mata
d. Lemas, mudah mengantuk
e. Resah dan mudah cemas
f. Sulit berkonsentrasi, depresi, ganggua memori, dan mudah
tersinggung
9. Immune Deficeincy
a. Sering terjadi infeksi virus atau jamur dibandingkan bakteri
b. Diare kronik umum terjadi (sering disebut gastroenteritis)
c. Infeksi respiratorius dan oral thrushumum terjadi
d. Terjadi failure to thrive tanpa adanya infeksi
10. Impoten
a. Tidak mampu ereksi sama sekali atau tidak mampu mempertahankan
ereksi secara berulang (paling tidak selama 3 bulan).
b. Tidak mampu mencapai ereksi yang konsisten
c. Ereksi hanya sesaat dalam referensi tidak disebutkan lamanya)
H. PENATALAKSANAAN
Dalam merawat dan menatalaksana pasien geriatri tercakup dua
komponen penting yakni pendekatan tim dan P3G yang merupakan bagian
comprehensive geriatric management (CGM). Pendekatan paripurna pasien
geriatri merupakan prosedur pengkajian multidimensi. Diperlukan instrumen
diagnostik yang bersifat multidisiplin untuk mengumpulkan data medik,
psikososial, kemampuan fungsional, dan keterbatasan pasien usia lanjut.
Pendekatan multidimensi berusaha untuk menguraikan berbagai masalah pada
pasien geriatri, mengidentifikasi semua aset pasien, mengidentifikasi jenis
pelayanan yang dibutuhkan, dan mengembangkan rencana asuhan yang
berorientasi pada kepentingan pasien. Pendekatan paripurna pasien geriatri
berbeda dengan pengkajian medik standar dalam tiga hal, yaitu fokus pada
pasien usia lanjut yang memiliki masalah kompleks; mencakup status fungsional
dan kualitas hidup; memerlukan tim yang bersifat interdisiplin (Soedjono, 2007).
Berikut beberapa penatalaksanaan secara umum sindrom geriatrik, diantaranya :
1) Pemberian asupan diet protein, vitamin C,D,E, & mineral yang cukup.
Orang usia lanjut umumnya mengonsumsi protein kurang dari angka
kecukupan gizi (AKG). Penelitian multisenter di 15 propinsi di Indonesia
mendapatkan bahwa 47% usia lanjut mengonsumsi protein kurang dari 80%
AKG. Proporsi protein yang adekuat merupakan faktor penting; bukan dalam
jumlah besar pada sekali makan. Hal penting lainnya adalah kualitas protein
yang baik, yaitu protein sebaiknya mengandung asam amino esensial. Leusin
adalah asam amino esensial dengan kemampuan anabolisme protein tertinggi
sehingga dapat mencegah sarkopenia. Leusin dikonversi menjadi hydroxy-
methyl-butyrate (HMB). Suplementasi HMB meningkatkan sintesis protein dan
mencegah proteolisis (Setiati et al, 2013)
2) Pencegahan (Preventif)
a. Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia sehat,
terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit, dan promosi kesehatan. Jenis
pelayanan pencegahan primer adalah: program imunisasi, konseling,
berhenti merokok dan minum beralkohol, dukungan nutrisi, keamanan di
dalam dan sekitar rumah, manajemen stres, penggunaan medikasi yang
tepat.
b. Melakukan pencegahan sekunder, meliputi pemeriksaan terhadap
penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit
belum tampak secara klinis dan mengindap faktor risiko. Jenis pelayan
pencegahan sekunder antara lain adalah sebagai berikut: kontrol
hipertensi, deteksi dan pengobatan kangker, screening: pemeriksaan
rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-lain.
c. Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat gejala
penyakit dan cacat, mecegah cacat bertambah dan ketergantungan, serta
perawatan dengan perawatan di rumah sakit, rehabilisasi pasien rawat
jalan dan perawatan jangka panjang.
3) Diagnosis Dini dan Pengobatan
a. Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau petugas
profesional dan petugas institusi. Oleh lansia sendiri dengan melakukan
tes dini, skrining kesehatan, memanfaatkan Kartu Menuju Sehat (KMS)
Lansia, memanfaatkan Buku Kesehatan Pribadi (BKP), serta
penandatangan kontrak kesehatan.
b. Pengobatan: Pengobatan terhadap gangguan sistem dan gejala yang
terjadi meliputi sistem muskuloskeletal, kardiovaskular, pernapasan,
pencernaan, urogenital, hormonal, saraf dan integumen.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantsar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Indonesia. hlm. 1335-1340.
Patricia Gonce Morton et.al. (2011). Keperawatan Kritis: pendekatan asuhan holistic ed.8;
alih bahasa, Nike Esty wahyuningsih. Jakarta: EGC.
Potter dan Perry. (2005). Fundamental keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik.
Jakarta: EGC.
Setiati S, Rizka A. Sarkopenia dan frailty: sindrom geriatri baru. Dalam: Setiati S,
Dwimartutie N, Harimurti K, Dewiasty E (editor). Chronic degenerative disease in
elderly: update in diagnostic & management. Jakarta; Perhimpunan Gerontologi
Medik Indonesia; 2011:69-75.
Stanley, Mickey dan Patricia Gauntlett Beare. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik.
Jakarta: EGC.
Syarniah. 2010. Pengaruh Terapi Kelompok Reminiscene terhadap Depresi pada Lansia
di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Provinsi Kalimantan Selatan.
Tidak diterbitkan, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Jakarta
Waters DL, Baumgartner RN, Garry PJ, Vellas B. Advantages of dietary, exercise-related,
and therapeutic interventions to prevent and treat sarkopenia in adult patients: an
update. Clinical Interventions in Aging. 2010(5):259-70.
Wilkinson, Judith. (2011). Buku saku diagnosa keperawatan: diagnose NANDA, intervensi
NIC, Kriteria hasil NOC, ed.9. Alih bahasa, Esty Wahyuningsih; editor edisi
bahasa Indonesia, Dwi Widiarti. Jakarta: EGC.
Pathway Proses Menua
Proses Menua
Fase 2 transisi
Fase 1 subklinik Fase 3 klinik
Peningkatan radikal
bebas
Kerusakan sel-seDNA
(sel-sel tubuh)
Penyakit degeneratif
(DM, osteoporosis,
hipertensi, penyakit
jantung koroner)