Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

AGAMA DALAM PANDANGAN PSIKOLOG


Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Psikologi Agama
Dosen Pengampu:
Prop. Dr. H. Nanat Fatah Natsir, MS.
Dr. H. Tarsono, M.Pd.

Disusun oleh:
Kelompok 1 PAI V E
Rizka Jhenia 1172020194
Rizki Rukmana 1172020195
Rizki Subagja 1172020196
Rodiyatul Munawwaroh 1172020199
Enung Siti Nurjannah 1172020257

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019 M/1441 H
KATA PENGANTAR

Segala Puji teruntuk hanya bagi-Nya. Dialah yang berhak menerima pujian itu,
baik lahir ataupun batin. Dialah Tuhan kita Allah Swt, yang kepada-Nya kita
memohon pertolongan dan perlindungan. Salawat dan salam teruntuk pula bagi
Nabi Muhammad SAW, yang membawa petunjuk agar hidup bahagia baik
duniawi maupun ukhrowi, agar hidup terbingkai oleh akhlakul Karimah.
Allahumma Sholli ala sayyidina. Demikian pula ucapan keselamatan atas keluarga
dan sahabatnya, pengikut dan pemegang agamanya sampai detik ini.
Semoga dengan selesainya tugas Makalah yang berjudul “Agama dalam
Pandangan Psikolog” ini menjadikan ladang ketaatan pada-Nya, rasa cinta kepada
Nabi kami dan bentuk Ta’zim kepada dosen kami.
Makalah ini disusun dengan sungguh-sungguh untuk menunjang keilmuan
kami pada mata kuliah Psikologi Agama, karena melihat betapa urgensinya
Psikologi Agama bagi terlaksananya keberagamaan yang rahmatan lil alamin.
Karena sebagai calon guru PAI perlu sikap beragama yang dewasa dan inklusif
sebagai bentuk usaha dalam menunjang terciptanya generasi yang lebih maju dan
religius.
Meski makalah ini telah selesai disusun tentu tidak menjadikan kami puas,
oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan, agar dapat memperbaiki
penyusunan makalah dikesempatan lain.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun dan
pembaca, kami ucapkan terima kasih atas segala bentuk perhatiannya.

Bandung, 19 September 2019

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1


A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 2


A. Psikologi Versus Agama ............................................................................ 2
B. Psikolog Pro Agama ................................................................................... 13
C. Agama Menurut Pandangan Para Psikolog ................................................ 25

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 30


A. Kesimpulan ................................................................................................. 30

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama adalah hal yang sangat sering di bicarakan dari dulu hingga
sekarang, bahkan bisa di bilang agama adalah hal yang menarik dibicarakan
sepanjang sejarah manusia. Hal ini terbukti dengan banyak sekali kajian tentang
seputar agama ataupun perilaku agama. Di sisi lain, perkembangan zaman,
dinamika sosial dengan segala macam problema masyarakat membutuhkan suatu
tuntunan, jawaban sebagai solusi. Agama diharapkan mampu sebagai solusi
ampuh bagi permasalahan yang timbul, baik dalam lingkup pribadi, keluarga,
masyarakat, negara maupun dunia. Tak jarang agama ditafsirkan beragam oleh
pemeluknya. Hingga timbul suatu kontroversi keagamaan.
Oleh karena itu tentunya psikologi menjadi salah satu ranah yang ikut dalam
memecahkan problema masyarakat tersbut. Dan melalui pengamatan potensi-diri
diperoleh fakta bahwa dalam diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan
bawaan, termasuk diantaranya adalah potensi untuk percaya pada supernatural
(agama). Untuk itu kelompok kami akan mengkaji lebih dalam mengenai materi
agama menurut pandangan psikolog, psikologi versus agama, dan psikologi pro
agama

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Psikologi versus Agama?
2. Bagaimana Psikologi pro Agama?
3. Bagaimana Agama menurut pandangan para Psikolog?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Psikologi versus Agama.
2. Untuk mengetahui Psikologi pro Agama.
3. Untuk mengetahui Agama menurut pandangan Psikolog.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PSIKOLOGI VERSUS AGAMA


Dalam buku Pengantar Filsafat Umum karya Prof. Ahmad Tafsir dikatakan
bahwa barat pernah mengalami persaingan saling menjatuhkan antara akal dan
hati (agama). Kadang akal menguasai hati sehingga para pemuda Athena banyak
yang ateis, namun kadang hati (gereja) yang berkuasa sehingga hal itu merugikan
manusia, manusia menjadi tidak kritis dan tidak produktif, semua dikungkung
oleh gereja. Sejarah singkat di atas perlu kami sampaikan karena hal ini berkaitan
pula dengan psikologi agama, selain itu tokoh yang akan kami ceritakan disini
juga merupakan para filosof. Persaingan ini berlangsung lama bahkan hingga
masa filsafat postmodern.
1. Psikologi Ateisme
Psikologi ateisme yang kami pahami merupakan seseorang yang atas latar
belakang psikologi atau pemikiran agama, menjadikan mereka tidak percaya
Tuhan. Karena tidak percaya tuhan berarti otomatis tidak percaya akan satu
agamapun. Latar belakang psikologi itu sendiri seperti yang dituliskan oleh Sproul
(1974) dalam bukunya yang berjudul “psychology of Atheism”, ateism itu
terbentuk berdasarkan pengalaman bawah sadar manusia, artinya ada pengalaman
yang menjadikan bawah sadarnya membentuk persepsi bahwa Tuhan itu tidak
ada. Penyebabnya adalah sebagai berikut :
a. Trauma
Tuhan menyatakan suatu ancaman terhadap standar moral manusia, ancaman
akan otonomi manusia, ancaman akan hasrat dan kebebasannya menjadi
manusia menjadi terkekang, sehingga pilihan ateism menjadi solusi akan
kebebasan yang mereka inginkan. Trauma disini kami pahami sebagai
eksistensi agama yang berlebihan yang menjadikan daya manusia untuk bebas
dan berkreasi tertahan oleh aturan agama. Perjalanan hidup yang terkekang
tersebut menjadi sebuah trauma.
b. Represi (tekanan)

2
Adanya kehadiran agama seharusnya membuat mereka senang, namun
sejarahnya di barat agama hanya mengekang, dan memberikan tekanan. Maka
untuk melawannya yaitu menyangkal keberadaan Tuhan, dengan begitu tidak
ada lagi kekuasaan yang membuat mereka tertekan.
c. Substitusi
Karena yang mereka inginkan adalah eksistensi akan gerak manusia, maka
langkah mereka adalah melakukan pertukaran kebenaran dengan hal lain yang
mereka pahami.
Untuk membuktikan tiga sebab di atas, cerita dari dua tokoh besar ini akan
memberikan gambaran jelas atas penyebab sikap ateism mereka, dua tokoh
tersebut adalah Friedrich Nietzsche dan Sigmund Freud.
Saya mulai dengan Nietzsche, Nietzsche adalah pemikir filsafat
revolusioner abad ke- 19. Bersama dengan Marx dan Kierkegaard, Nietzsche telah
menjadi ikon filosof abad ke – 19 dan menjadi sumber inspirasi permasalahan
filosofis. Meskipun tidak sistematik dan tergerogoti oleh penyakit jiwa yang akan
merenggutnya, pemikiran Nietzsche merupakan pemikiran yang menggetarkan
alam pikiran Eropa dan getarannya terasa hingga sekarang.
Nihilisme dan Kematian Tuhan
Dalam bukunya Nietzsche, nihilisme itu sebagai bentuk runtuhnya nilai dan
makna absolutisme, meliputi seluruh bidang baik keagamaan yang isinya tuhan
dan moral, maupun ilmu pengetahuan1.
Dalam menguraikan pemikirannya tentang ateisme, Neitzshce bertolak dari
realitas masyarakat pada waktu itu, ia melihat keadaan kebudayaan Jerman sudah
merosot, nilai manusia yang hakiki sudah tampak hilang. Neitzshce menyaksikan
suatu disintegrasi kehidupan, suatu keruntuhan kebudayaan. dalam bukunya The
bierh of tragedy from the spirit of Music, nampak kekecewaannya yang
mendalam. Melalui agama Kristen, bangsa dianggapnya telah memutarbalikan
nila nilai manusia. Manusia yang baik adalah manusia yang hidup melarat,
menderita dan tidak kuasa. Sedangkan bagi Neitzshce sendiri nilai manusia adalah
1
Muhammad Roy Purwanto, Filsafat Eksistensial, Nietzsche dan Wacana Agama; Studi Filsafat Nietzsche
dan Kontribusinya dalam Dekonstruksi wacana Agama. An-Nur : Jurnal Studi Islam. Vol. 1, No. 2 Februari
2005. Hlm 299

3
suatu tindakan yang menonjolkan nilai nilai biologia seperti kekuatan, keberanian
dan keganasan. Situasi kebudayaan Jerman saat itulah yang memengaruhi jalan
pikiran Neitzshce, dan ia ingin membebaskan manusia dari segala hal yang
membuat manusia menjadi lemah dan tidak berdaya, dengan demikian Neitzshce
menemukan arti kehidupan manusia. Dalam pandangannya tentang manusia, ia
melihat manusa dalam kehidupan yang nyata, eksistensial, manusia dalam bentuk
konkrit adalah badan. Badan mempunyai arti penting bagi kehidupan mansuia,
dan berkat badannya manusia dapat menyempurnakan dirinya. Tetapi manusia
bukanlah semata-mata terdiri dari badan saja, tetapi juga mempunyai jiwa dan
jiwa hanya sebuah nama saja dalam badan manusia. Dalam badan manusia
terdapat unsur kekuatan, keberanian, dan kehendak untuk berkuasa, yang
merupakan daya pendorong hidup atau hawa nafsu yang universal yang juga
merupakan ukuran tingkah laku manusia. Kehendak untuk berkuasa merupakan
kenyataan yang besar tentang dunia ini, dengan dasar kehendak untuk berkuasa ini
Nietzsche secara terang-terangan menyangkal adanya Tuhan. Konsep Tuhan yang
disangkal adalah konsep Tuhan dalam agama Kristen, kemudian baru konsep
Tuhan dalam agama-agama yang lain. Konsep Tuhan bagi Nietzsche berasal dari
keterikatan suatu perasaan. Bila manusia tiba-tiba dihadapkan kepada suatu
perasaan yang lebih besar dari dirinya maka keamanannya akan terancam, ia was-
was akan dirinya dan mengarahkan pandangannya kepada orang yang lebih besar
yang ia sebut Tuhan. Agama muncul karena manusia mengalami perpecahan
dalam dirinya. Di satu pihak manusia itu lemah, di lain pihak merasa kuat, lalu
kuasa dipersonifikasikan menjadi Tuhan. Dalam melancarkan kritik-kritiknya
terhadap agama, ia melihat kenyataan ketika itu, terutama para pemimpin agama
mengajarkan tentang ajarannya. Nietzsche merasa muak kepada para pendeta
yang mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa. Dan Nietzsche
memperingatkan kepada manusia agar waspada terhadap bangunan yang
dinamakan dengan gereja. Bagi Nietzsche semua ini adalah palsu, karena agama
sering mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa, manusia yang
mau menjalami hidup dalam serba penuh dosa ini, adalah manusia yang tolol,
yang tidak berharga. Nietzsche menolak Tuhan dimana dikatakan dalam karyanya

4
The Gay Science, bahwa Tuhan telah mati, dan kitalah yang membunuhnya.
Bertalian dengan Kebencian kepada Tuhan, ia juga membenci moral Kristen
karena moral tersebut membuat manusia-manusia menjadi budak, dalam agama
Kristen memuji mereka yang rendah hati, menyelamatkan yang sakit dan
menderita, melindungi yang lemah. Moral budak ini nampak dalam gerakan
demokrasi. Pada hakikatnya manusia itu tidak ada yang sama, manusia itu
berbeda-beda. Penilaian yang baik dan buruk sudah tidak berlaku dan diganti
dengan unggul dan hina. Dalam menerima kematian Tuhan Nietzsche
mengharapkan akan datangnya manusia adi (Ubermenrsch), kerena manusia adi
inilah yang dapat dan berani mengubah semua nilai. Dalam manusia adi terdapat
unsur keberanian, kekuatan, kecerdasan dan kebanggaan. Dengan menerima
matinya Tuhan, maka manusia akan menjadi bebas dan manusia dapat
menentukan arah tujuan hidupnya bahwa manusia harus mencipta, itulah hakikat
manusia. Walaupun Nietzsche menolak Tuhan yang kekal, namun ia mengakui
juga adanya kekekalan dalam pengertian siklis. Sehubungan dengan pemikiran
ini. Ia mengatakan bahwa kebenaran itu tidak ada yang absolut. Secara pribadi
Nietzsche menderita atas pikiran-pikiran tentang kematian Tuhan yang terbukti
dalam surat-surat dan dalam tulisan-tulisan. misalnya dalam buku Thus Spake
Zarathustra dapat dilihat betapa kerinduan itu dapat terbaca, dalam sebuah
aphorismenya ia memanggil Tuhan kembali. Jadi apa yang dikemukakan dalam
pandangan ateisme Nietzsche bukanlah masalah yang spekulatif, melainkan
pengukuhan eksistensi. Dalam pembahasan tentang ateismenya Nietzsche tidak
berharap untuk menemukan penyelamatan manusia tetapi hanya dalam prahara,
bukan menyarankan surga yang abadi malahan menyarankan pengulangan
kembali kesengsaraan manusia2.
Paul Vitz, yang menceritakan kisah Nietzsche di atas, menyampaikan “teori
kearifan”, theory of unbelief. Penolakan-penolakan terhadap tuhan dan penelitian
yang sadar. Anda tidak percaya kepada agama bukan karena secara ilmiah anda
menemukan agama itu hanya sekumpulan takhayul. Anda menolak agama karena

2
Zahrida Wiryawan, Penyangkalan adanya Tuhan dalam Pandangan Friedrich Wilhelm Nietzsche.
Universitas Indonesia

5
bukan alasan raisonal, melaikan karena faktor psikologis yang tidak anda sadari.
Nietzsche menolak tuhan, seperti diakunya, bukan karena “pemikiran”, melaikan
karena “naluri”.
Teori kearifan ini, dengan sangat menakjubkan, diambil Vitz dari teori
psikoanalisisnya Sigmund Freud. Seperti Marx terhadap Hegel. Vitz
menjungkirbalikan Freud. Freud sendiri merumuskan teroi agama sebagai ilusi
tanpa dasar dalam psikoanalisis. Freud menulis dalam The Future of an Illusion:
“ Gagasan-gagasan agama muncul dari kebutuhan yang sama seperti yang
memunculkan pencapaian peradaban lainnya, yakni dari desakan untuk
mempertahankan diri melawan kekuatan alan yang lebih perkasa dan
menaklukkan ... (kepercayaan agama hanyalah) ilusi, pemuasan dari keinginakan
manusia yang paling tua, paling paling kuat, dan paling penting .... seperti kita
ketahui, kesan tak berdaya yang menakutkan pada masa kanak-kanak
membangkitkan kebutuhan akan perlindungan-perlindungan melalui cinta yang
diberikan oleh sang bapak.... Jadi, peraturan tuhan yang mahakuasa dan maha
pengasih menentramkan ketakutan kita akan bahaya kehidupan: (FREUD, 1961:
30).
Secara singkat, pada waktu kecil, anak mengidolakan ayahnya sebagai
pelinding dan pemelihara. Ketika anak berada dalam posisi lemah tak berdaya, ia
mendapatkan ketentraman dengan bergantung pada ayahnya. Bagi setiap anak,
ayah adalah tuhan setelah dewasa, ketika manusia berhadapan dengan kekuatan
alam yang perkasa, ia membayangkan kembali ayahnya pada masa kecil dahulu.
Lalu, ia menghayal, berilusi, tentang tuhan yang seperti ayahnya. Untuk
memenuhi kebutuhannya akan perlindungan seorang ayah, ia menciptakan tuhan
bapak. Manusia diciptakan tidak berdasarkan citra manusia.
Teori Freud bahwa agama itu ilusi tampaknya bulat-bulat mengambil dari
Feuerbach. Teori ini tidak punya dasar dalam Psikoanalisis. Freud sendiri
mengakuinya dalam surat yang dikirimnya kepada kawannya, Oskar Pifister
(kalau ada masih inagt, psikoanalisis “aneh dan asing”. Tetapi sangat religius:
“marilah kita berterus terang dalam hal ini bahwa pandanganku yang diungkapkan
dalam bukuku, The Future of an Illusion, bukanlah bagian dari teori analisis.

6
Semua gagasan di sana hanyalah pandangan pribadiku” (Meng & French, 1962:
117).
Teori agama freud dirumuskan dari pandangan “pandangan pribadi-nya”,
lalu Paul Vitz merumuskan teori ateisme dari pandangan psikoanalisis Freud dari
Oedipus Complex: Ia menggabungkannya dengan pandangan pribadi Freud
tentang proyeksi ”pemuasan keinginan”. Di samping teori proyeksi tentang
agama, sekarang ada teori proyeksi tentang ateisme.
Di samping teori ketidaksadaran, Oedipus Complex menjadi konsep
sentral psikoanalisis. Seklai lagi, singkat cerita, ketika anak berusia kira-kira tiga
tahun, anak lelaki punya hasrat seksual kepada ibunya. Tetapi, ia berhadapan
dengan “pesaing” yang sangat tangguh, yaitu ayahnya sendiri. Ia bercita-cita
untuk membunuh ayahnya. (sebagai keterangan yang yang diselipkan dengan
cepat, Sophocles dalam drama Oedipus Tyranmus menceritakan Oedipus yang
membunuh ayahnya dan mengawini ibunya.) cerita tentang anak yang membunuh
ayahnya terdapat dalam berbagai mitos, antara lain, Sangkuriang di dalam legenda
orang Sunda. Maka, pandangan Freud yang menganggap Tuhan diciptakan
dengan cira bapak, dan agama lahir sebagai cara untuk memnuaskan keinginan
untuk mendapat perlindungan bapak, keinginan untuk membunuh ayah dan
menggantikan posisi ayah dengan dirinya, menjadi dasar psikologis ateisme.
Membunuh ayah “disublimasikan” dengan membunuh tuhan. Lihatlah,
bagaimana Nietzsche menggambarkan Zarathusta yang berkata: “Gott ist
gestorben. Tuhan sudah mati!” karena itu, ketika para ilmuan menyingkirikan
tuhan dari laboraturium alam semesta, ketika Freud menganggap tuhan sebagai
ilusi, ketika psikologi mengabaikan agama sama sekali, mereka adalah para
Oedipus yang sedang membunuh ayahnya. Paul Vits menunjukkan bahwa para
ateis dengan sedikit kekecualian adalah orang-orang yang ditinggalkan ayah pada
usia dini atau karena sesuatu hal membenci ayahnya itu. Seperti Nietzche, Freud
memandang ayahnya sebagai bapak yang lemah, pengecut, dan berperilaku
seksual yang menyimpang. Ia membenci ayahnya, dan selanjutnya membenci
tuhan, yang tercipta berdasarkan citra ayahnya. Psikoanalisis akhirnya membuang
tuhan sebagai sekedar ilusi kekanak-kanakan.

7
2. Mengapa Psikologi Memusuhi Agama?
Ditengah perjalanan, karena pengaruh sains modern, psikologi mensahkan
diri dan kemudian memusuhi agama. Walaupun perkembangan terakhir
menunjukkan gerakan kea rah integrasi, di dunia akademis pandangan yang
dominan setidak-tidaknya menganggap agama tidak penting. Pada tingkat yang
ekstern, psikologi menuduh agama sebagai sumber penyakit mental, dogmatism,
prasangka rasial, dan tindakan kekerasan (misalnya, Ellis,1994). Pada gilirannya,
kaum agamawan dan kaum psikolog yang beragama mendakwa psikologi sebagai
arogan, elitis, amoral, dan memberhalalkan diri, the self (Lihat Vitz, 1994).
3. Persaingan Perhatian
Mengapa dua disiplin yang mengaruh persaingan yang sama bisa
bermusuhan? Pertama, dalam perjalanan sejarah, keduanya telah terjadi pesaing
satu sama lain. Dahulu, menurut Peter Berger (1967), agama memberikan makna
baku kepadamanusia ketika memandang alam dan kehidupan. Agama menjawab
masalah kematian, penderitaan, dan bencana. Dalam periode beberapa abad
belakangan ini, posisi agama disisihkan oleh sains. Apa yang dahulu dijawab
agama sekarang dijawab sains. Agama kehilangan otoritasnya, mula-mula dalam
menjelaskan alam, dan akhirnya juga dalam memberikan petunjuk kehidupan.
Agama digantikan ilmu pengetahuan alam untuk memahami dunia, dan digantikan
psikologi untuk menghayati pengalaman subjektif manusia.
“Dalam hal ini, psikologi menjadi pesaing agama dalam masyarakat Barat.
Ia menawarkan cara memandang dunia dengan pandangannya sendiri tentang
“kehidupan yang baik”, dan dengan mekanisme sendiri untuk memecahkan
persoalan. Sebagai pengganti pengakuan dosa, kita punya psikoterapi. Alih-alih
konversi, kita punya pertumbuhan personal. Kita tidak punya (kriteria) dosa dan
pahala, kita punya etika. Kita dapat mendorong pergantian ini lebih jauh dengan
menunjukkan bagaimana psikologi menyamai agama dalam upacara ritual, tradisi,
penggunaan lambang, dan pemimpin karismatis. Aku tidak ingin meyebut
psikologi sebagai agama, karena hal itu akan mengaburkan makna agama, tetapi
tidak terlalu keliru untuk menyatakan bahwa dalam teori dan praktik psikologi
berfungsi seperti agama.” (Pargament, 1997:7)

8
4. Pandangan Psikologi yang Negatif terhadap Agama
Sebab kedua yang mendorong keduanya bertentangan adalah paham
dominan dikalangan psikolog yang melecehkan agama. Freud menyebut agama
sekali waktu sebagai obsesi, kadang-kadang sebagai pemenuhan keinginan kanak-
kanak, dan pada waktu yang lain sebagai ilusi. Freud mengilhami kebanyakan
psikolog. Meninggalkan agama menjadi karakter intelektual; menganggap agama
sebagai patologi, gangguan kejiwaan, menjadi sikap ilmiah. Ellis, tokoh terapi
kognitif behavioral, menulis dalam Journal of Counseling and Clinical
Psychology, terbitan 1980:
Agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat (atau) yang mungkin kita sebut
sebagai kesalehan) berkorelasi sangat signifikan dengan gangguan emosional.
Orang umumnya menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai kemestian,
keharusan, dan kewajiban yang absolute. Kebanyakan orang yang secara dogmatis
mempercayai agama tertentu mempercayai hal hal absolute yang merusak
kesehatan ini. Orang yang sehat secara emosional bersifat lunak, terbuka, toleran,
dan bersedia berubah, sedangkan orang yang sangat religious cenderung kaku,
tertutup, tidak toleran, dan tidak mau berubah. Karena itu, kesalehan dalam
berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional dan gangguan emosional.
5. Pandangan Agama yang Negatif terhadap Psikologi
Arogansi psikolog seperti Ellis mengundang reaksi yang keras dari pihak
agama. William Kilpatrick menyesalkan para agamawan yang mencampurkan
psikologi dengan agama. Ia menulis buku dengan judul yang menegaskan posisi
psikologi di kalangan kaum beriman, Psychological Seduction, Godaan Psikologi.
Pada salah satu artikelnya yang berjudul “First Things: Faith and
Therapy”(Kilpatrick, 1999), profesor ilmu pendidikan di Boston College ini,
menulis :
Penting diingat oleh orang-orang yang beriman bahwa tidak ada kompromi
antara agama Kristen dan kelompok psikologi. Rieff pada makalahnya, tahun
1991, menyatakan dengan tegas bahwa kebudayaan terapeutis memerangi
kebudayaan tradisional dengan bertujuan menghancurkannya. Mula-mula,
pernyataan ini tampak dilebih-lebihkan. Jika budaya terapeutis musuh kita, ia

9
adalah musuh yang agak jinak. Ia berbicara dengan bahasa kasih sayang,
kepekaan, dan toleransi. Tetapi, setiap budaya yang tidak bermanfaat bagi
kebenaran pada akhirnya akan menjadi budaya yang berbahaya. Jika tidak ada
makna diluar diri, tidak ada makna sama sekali. Jika tidak ada makna, maka tidak
ada moralitas. Sebagaimana dengan sangat terkenal diperingatkan Dostoyevsky,
tanpa Tuhan segalanya jadi boleh dan budaya terapeutik tidak unya Tuhan.
Budaya ini sekarang sedang bergerak untuk memorak-porandakan struktur moral
masyarakat melalui ajakan yang setengah tulus untuk bersifat toleran, penuh
kasih, dan menghargai keragaman. Tidak ada alas an untuk menduga bahwa ia
akan menunjukkan batas tentang apa yang boleh secara moral. Ujung-ujungnya,
tidak ada lagi perbedaan antara nihilisme budaya terapeutis dan nihilisme
Nietzsche- kecuali bahwa budaya terapeutis tidak memiliki kepekaan Nietzsche
akan sifat kehidupan yang tragis.
Abad ke-20 telah menyaksikan banyak serangan terhadap Kristen. Tetapi
serangan frontal para atheis militant, kaum Marxis, dan NAZI, tidak
menyebabkan orang-orang Kristen mengalami kekalahan separah karena serangan
budaya terapeutis. Rasa bersalah, rasa berdosa, rasa hormat kepada yang sacral,
rasa bahwa tidak ada tatanan otoritas untuk menilai—semua ini belum
menghilang dari budaya Kristiani, tetapi semuanya telah mengalami erosi. Kalau
kita sulit menyaksikannya, itu karena kabut budaya terapi yang menyelimuti
kita—kabut empati yang memagut kita dan membingungkan kita, serta
menghalangi kita untuk melihat kehidupan dengan jelas. Kita berpusing-pusing
dalam kabut ini dengan berpikir bahwa musuh kita adalah sahabat kita, karena ia
begitu telaten memperhatikan kesehatan kita.
Satu-satunya cara yang paling perkasa untuk menyibakkan kabut ini adalah
cahaya wahyu. Wahyu mengingatkan kita bahwa kesehatan fisik dan emosional
bukanlah segala-galanya. Alkitab mengajari kita bahwa jika tangan kita berbuat
dosa, kita harus memotongnya. Lebih baik memasuki kehidupan dengan tangan
bunting ketimbang membawa dua tangan ke neraka. Begitu pula lebih baik
memasuki kerajaan surga dengan psyche yang mengalami represi ketimbang
memasuki tempat lain dengan dipenuhi penonjolan diri (self-assertiveness). Tidak

10
akan ada penghibur puncak dalam teori-teori para psikolog. Psikologi sangat
sedikit berbicara tentang kebanyakan manusia yang menderita di dunia ini. Ia
sama sekali tidak berbicara tentang kenyataan bahwa kita semua akan mati.
“Banyak orang berkata bahwa psikologi dapat diintegrasikan dengan Alkitab
dan agama Kristen. Ini sama saja dengan mencampurkan apel dan jeruk, yang
menghasilkan salad buah, dan bukannya buah yang asli. Mungkinkah ada
persahabatan antara kegelapan dengan cahaya? Bisakah pohon yang tidak
bertuhan dan buruk menghasilkan buah yang baik? Adakah nasihat yang
bertentangan dengan petunjuk Tuhan? Tuhan kita adalah Tuhan yang
pencemburu. Ia tidak ingin berbagi keagungan-Nya dengan yang lain. Dan ia
tidak perlu itu. Setiap makhluk yang mau menggantikan firman Khalik adalah
berhala dan Tuhan palsu. Seperti kata Harun kepada Musa, orang-orang yang
menuntut sapi emas, dan mereka melemparkan kedalamnya semua kekayaan
mereka dan dari situ keluarlah berhala. Itulah juga yang terjadi pada berhala
psikologi, yang berupaya menggantikan firman Tuhan yang suci.”
Penulis artikel yang penuh semangat ini kemudian menunjukkan pandangan
psikologi yang tidak mungkin dipertemukan :
6. Keyakinan Agama para Psikolog
Sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi, sekularisasi perlahan lahan
menyeret agama ke pinggiran kehidupan. Di Barat, Eropa lebih cepat sekuler
ketimbang Amerika. “Pada kebanyakan Eropa, frekuensi pergi ke gereja dan
terlibat dalam kegiatan agama menurun sekali pada setengah abad terakhir ini dan
paling rendah sekarang ini. Gereja-gereja Kristen hampir kosong di Eropa Utara.”
Kata Hoge (1997:23). Di Amerika, menurut Gallup Poll, 1993, sekularisasi ini
tampaknya tidak banyak mengalami kemajuan. Dari tahun ke tahun, dikalangan
orang banyak, keterlibatan dalam kegiatan agama tidak berkurang; dalam
beberapa aspek keagamaan, bahkan bertambah. Sebanyak 63% responden
berpendapat bahwa “agama dapat menjawab semua atau kebanyakan problem
masa kini” (Smith,1978:367);57% berdoa sekurang-kurangnya sekali sehari
(Hastings & Hastings,1994:445). Mereka juga ternyata menaruh kepercayaan

11
pada lembaga agama; karena kepercayaan pada lembaga agama menempati urutan
kedua setelah institusi militer (Hastings & Hastings, 1994:313).
Lalu, dimana jejak sekularisasi kita temukan? Tampaknya sekularisasi
paling jelas enunjukkan dampaknya di aklangan akademis. Gallup Pol, 1993,
melaporkan bahwa lulusan perguruan tinggi menganggap agama kurang penting
dibandingkan dengan orang-orang yang tidak masuk perguruan tinggi. Dalam
tinjauan literature yang dilakukan oleh Beit Hallahmi (1997), disimpulkan bahwa
para ilmuwan dan akademisi kurang beragama dibandingkan dengan penduduk
lainnya. Pada survey yang lebih belakangan, ditemukan bahwa 30% diantara para
dosen menyatakan tidak menganut agama apapun, dibandingkan dengan 5% dari
seluruh penduduk (Gallup, Jr. 1994:72). Diantara para ilmuwan, para psikolog
menyatakan agama kurang penting dibandingkan dengan penduduk lainnya. Jika
kita membandingkan penelitian ini dengan studi yang dilakukan Leuba, salah
seorang perintis psikologi agama. Kita menemukan bahwa profil para ilmuwan itu
tidak mengalami perubahan. Dalam kesimpulan umumnya, Leuba menunjukkan
bahwa makin terkemuka seorang ilmuwan, makin rendah keberagamannya. Ia
juga menemukan bahwa psikolog paling kecil kemungkinannya dan ilmuwan
fisika paling bear kemungkinannya untuk “percaya kepada Tuhan yang menjawab
doa”.
“Patut dicatat bahwa sekalipun perhatian pada pengalaman religious telah
dimulai oleh William James dan sejumlah pemikir besar sepanjang sejarah
psikologi Amerika, sebagaimana disimpulkan Wulff (1991), ‘Sekali-kali muncul
bukti yang menunjukkan sikap memusuhi yang sebenarnya terhadap agama
dikalangan psikolog’. Ia selanjutnya mengaskan, dengan mengambil argument
yang dikemukakan oleh Bellah (1970), para akademisi tidak pernah mengizinkan
agama untuk didekati dengan sikap-sikap ilmiah. Mereka berpedapat bahwa
agama adalah sesuatu untuk dikhotbahkan, bukan untuk diteliti. Disamping itu,
psikologi dan agama terlihat sebagai paradigm-paradigma yang memberikan
makna, dan masing-masing bersaing sebagai institusi-institusi yang berpengaruh
dalam lingkup masyarakatnya.” (Shafranske, 1996; 156-157)

12
Alasan terakhir ini sebagian disebabkan oleh teladan yang diberikan oleh
para tokoh psikologi yang berpengaruh, seperti Freud, Jung, Watson, Erich
Fromm, Rogers, yang sikapnya terhadap agama berkisar dari membencinya
hingga mengganti maknanya. Jadi, walaupun psikologi telah makin mendekati
agama, secara teoritis para psikolog masih juga enggan untuk mempertimbangkan
agama secara praktis.
B. PSIKOLOGI PRO-AGAMA
1. Mengapa Psikologi Mendekati Agama
a. Penelitian Agama Dan Kesehatan Mental
Salah satu sebab mengapa psikologi menjauhi agama ialah kenyataan
bahwa selama lebih dari 70 tahun dan sampai sekarang di kalangan “mainstream”
psikologi dan psikiatri-agama di anggap sebagai hal yang tidak sehat secara fisik
maupun mental. Belakangan ini, Bergin (1983) melakukan metalisis pada hasil-
hasil penelitian tentang agama dan kesehatan mental.ia menyimpulkan bahwa
“jika religiusitas di korelasikan dengan ukuran keehatan mental, dari 30 efek yang
di temukan, hanya 7 orang atau 23% menunjukan hubungan negatif antara agama
dan kesehatan mental,seperti dinyatakan oleh Elis dan lain-lain. Sebanyak 47%
menunjukan hubungan positif, dan 30% hubungan zero. Jadi, 77% dari hasil
penelitian bertentangan dengan teori efek negatif agama”. Secara singkat, Koenig
(1999) melaporkan dalam bukunya, The Healing Power Of Faith, bahwa keluarga
yang religius umumnya:
1. Punya keluarga yang lebih bahagia
2. Punya gaya hidup yang lebih sehat
3. Dapat mengatasi stres
4. Hidup lebih lama dan lebih sehat
5. Terlindungi dari penyakit kardiovaskular
6. Punya sistem imun yang lebih kuat
7. Lebih sedikit menggunakan jasa rumah sakit.
Jika agama terbukti menyehatkan secara fisik dan mental, psikoterapis
yang mengabaikan agama akan kehilangan sumber daya utama. Selain itu, khusus
untuk kesehatan mental yang, menjadi perhatian para psikolog dan psikoterapis,

13
agama perlu dipertimbangkan dan di pelajari karena 5 alasan yang di kemukakan
Koenig (1998):
1. Dengan mengetahui latar belakang dan pengalaman keagamaan pasien,
terapis akan lebih memahami konflik yang terjadi pada diri pasien. Misalnya,
pasien yang sedang bergulat menghadapi perasaan bersalah tidak akan
berhasil di sembuhkan dengan psikoterapi tradisional. Dengan meneliti latar
belakang agama pasien, psikolog mengetahui bahwa pasien dibesarkan dalam
keluarga fundamentalis yang exstrime. Pasien menderita karena ketakutan
akan akibat dosanya.
2. Dengan mengetahui latar belakang keagamaan pasien dan peranan yang di
mainkanya pada kehidupan sekarang, terapis akan dapat melakukan intervensi
kognitif dan bihavioral dengan cara-cara yang dapat di terima oleh sistem
kepercayaan pasien.
3. Pengetahuan tentang komitmen, prilaku, dan kepercayaan agama pasien akan
membantu terapis untuk mengidentifikasi sumber daya agama yang sehat,
yang bisa di percaya untuk melengkapi terapi tradisional.
4. Pengalaman agama yang negatif sebelumnya, dapat merintangi pasien untuk
menggunakan sumber daya imanya dalam mengatasi persoalan hidupnya
yang sekarang. Mempelajari dan membntu pasien mengelola pengalaman
negatifnya itu dapat membebaskan dia untuk sekali lagi menggunakan
sumber daya agamanya.
5. Menyentuh masalah keagamaan akan menyampaikan kepada pasien kesan
bahwa terapis tidak hanya lengkap dan menyeluruh dalam penilain
diagnostiknya, tetapi juga ia peka pada wilayah kehidupan pasien yang sangat
bermakna bagi orang yang bersangkutan.
b. Perubahan Paradigma Sains
Pada akhir abad ke-19, pandangan dunia Newtonian di gantikan perlahan-
lahan oleh pandangan Dunia Einsteinian. Asumsi ontologis bahwa ada realitas
tunggal di luar kita, yang bisa kit amati secara objektif, di tumbangkan dengan
penemuan-penemuan baru dalam mekanika kuantum. Realitas dapat di lihat
sebagai fungsi gelombang yang tidak dapat di realisasikan sebelum seorang

14
pengamat “poops the qwiff” (Wolf, 1981). Qwiff adalah quantum wave function,
fungsi gelombang kuantum.
c. Penelitian Neurologi dan Kesadaran
Penelitian neurologis menunjukkan bahwa Tuhan bukanlah produk proses
deduktif kognitif, melainkan “ditemukan” dalam pertemuan mistikal atau spiritual
yang di ketahui oleh kesadaran manusia melalui mekanisme pikiran yang
transenden. Dengan kata lain, manusia tidak secara kognitif menciptakan Tuhan
yang maka Kuasa dan kemudian bergantung kepada penemuan ini untuk
memperoleh perasaan bahwa dia menegendalikan situasi. Tuhan, dengan definisi
istilah itu, adalah paling luas dan pokok dialami dalam spiritualitas mistikal
d. Agama dalam Pandangan James dan Jung
1. WILLIAM JAMES
Agama sebagai Jalan Menuju Keunggulan Manusia
William James boleh di sebut sebagai bapak Psikologi Agama. Bukunya, The
Varieties of Religious Experience, merupakan pembahasan agama pertama yang
paling mendalam dan komperehensif. James berpendapat bahwa agama
mempunyai peranan sentral dalam menentukan perilaku manusia. Dorongan
beragama pada manusia, kata James, paling tidak sama menariknya dengan
dorongan-dorongan lainnya. Bahkan, sekalipun peneliti tidak aktif menjalankan
agamanya, menurut James, ia patut memberikan perhatian kepada agama sebagai
suatu fenomena penting di dalam suatu kehidupan (James, 1958: 59)
C.G. JUNG
Agama Sebagai Jalan Menuju Keutuhan
Jung terkenal karena kesimpulannya dari pengalaman merawat ratusan
pasiennya yang kebanyakan Protestan, untuk periode ke tiga puluh tahun. Jung
menyimpulkan:
Diantara semua pasienku pada paruh hidupnya yang ke dua-yakni di atas 35
tahun-tidak ada seorangpun yang masalahnya akhirnya tidak berkaitan dengan
pencarian pandangan kehidupan yang religius. Tidak salah satu di katakan bahwa
semuanya jatuh sakit karena mererka telah kehilangan apa yang di berikan agama

15
kepada penganutnya pada setiap abad, dan tidak seorangpun dapat betul-betul di
sembuhkan kalau tidak memperoleh kempali pandangan keagamaan.
Dengan kekuatan imajinasinya, jung dilaporkan dapat melakukan
percakapan dengan tokoh batiniah, Philemon. Philemon adalah seorang “guru”
yang muncul dalam cerita Egipto Holenis dan pertama kali muncul dalam mimpi
jung. Jung jalan di taman Bolingen. Ia menunggu apa yang dilakukan Philemon
dan mendengarkan apa yang dikatakannya. Dari Philemon, ia mendapatkan
banyak petunjuk.
Jung mendirikan mazhab psikologi tersendiri di zhurich, yang ia sebut
psikologi analitik. Ia meneri,a teori freud, tetapi memperluasnya dengan
memasukkan teori perkembangan tentang oaruh kedua kehidupan manusia;
periode ketika manusia mulai mencoba menjawab masalah-masalah spiritual.
Perkembangan manusia mulai mencoba menjawab masalah-masalah spiritual.
Perkembangan manusia untuk menemukan pribadinya, the self, disebutnya
sebagai individuasi. Pada 1944, Jung hampir mengalami kematian karena infarksi
miokardial. Setelah ia kembali lagi ke dunia fisik, ia melihat pemandangan
spiritual di ranjang rumah sakitnya. Walaupun salah satu di antara perhatiannya
ialah menjelaskan kehidupan spiritual kepada masyarakat psikiatri akademis,
setelah serangan jantung, ia tampaknya lebih tertarik untuk menceritakan
kebenaran yang dialaminya. Ketika wartawan BBC bertanya tentang eksistensi
Tuhan, Jung berkata, “ I don’t think, I know He exist”
Berbeda dengan Freud yang menganggap agama sebagai neurosis obsesif,
Jung menunjukkan bahwa perspektif agama dapat berperan positif dalam
penyembuhkan psikologis, seperti Buddhisme, Jung tidak mempersoalkan
eksistensi Tuhan dan intuisi keagamaan. Ia mencurahkan perhatiannya pada
bagaimana kesadaran akan yang batin (the numinous) membantu orang dalam
proses individuasi.
Jung menyebut adanya collective unconscious, “ dasar psyche universal
yang terdalam atau “the powerful and controlling repository of universal
experiences”. Unconsius terdiri dari arketif atau symbol mitos universal, arketip
yang utama adalah persona, animus, anima, dan shadow.

16
Persona (diambil dari kata yang berarti topeng yang dipakai dalam drama
Yunani) menutupi ego dan menyampaikan wajahnya yang terbaik kepada dunia.
Persona berbeda dengan kompleks karena kurang otonom dan lebih merupakan
alat ego. Misalnya, orang tau kapan harus menahan diri dari menguap, tetapi ia
mungkin memilih untuk tidak menahannya jika tamunya tinggal terlalu lama.
Dalam situasi ini, persona adalah wajah seseorang yang sopan, tetapi cukup
terbuka untuk mengirimkam isyarat beristirahat ketika diperlukan.
Animus dan Anima merupakan aspek psyche yang paling penting secara
klinis. Animis adalah aspek kelaki-lakianyang terdapat pada diri perempuan,
termasuk cara laki-laki merasakan, menilai, membuat konsep, dan berhubungan.
Anima adalah aspek keperempuanan yang terdapat pada diri laki-laki. Animus
dan anima sering muncul dalam mimpi segbagai tokoh dari jenis kelamin yang
berlawanan. Mereka berfungsi sebagai pembimbing pada psyche lainnya.
Shadow pada bagian dari pribadi di luar kesadaran, terutama bagian yang
tidak sama dengan citra diri seseorang dank arena itu ditekan ke dalam jiwa tak
sadarnya, direpsi. Karena istilah itu biasanya digunakan untuk menggambarkan
aspek diri yang negative dan bahkan buruk, shadow sering muncul dalam mimpi
sebagai sosok yang menakutkan dan mengerikan. Pengalaman personal yang
sadar terhadap shadow dapat membantu perkembangang spiritual. Ia dapat
mengambil kembali proyeksi keburukan yang pernah ditunjukan kepada kepada
orang lain. Diikuti dengan sintetsis dan pertumbuhan. (Scotton, 1996; 46)
Tujuan hidup manusia adalah mencapai inviduasi dengan
mengintergrasikan aspek kepribadian menerima sisi shadownya. Menurut Jung,
tradisi agama dengan mitosnya, cerita, ritual dan citra keagamaan yang
menampakkan arketip sangatlah membantu mempercepat individuasi. Akhirnya,
menurut Jung, hubungan terbuka antara kekuatan sadar dan tidak sadar sangat
penting untuk integrasi kepribadian. Tanda spritualitas yang sejati.
Yang dimaksud dengan pandangan agama, Jung menambahkan denga
tegas, bukanlah menganut kepercayaan tertentu atau menjadi anggota dari
organisasi keagamaan tertentu. Dalam hal ini membedakan pengalaman agama

17
yang asli dari kepercayaan, dogma, dan ritual yang mengkodofikasikan
pengalaman itu, pendekatan Jung sama dengan

SARIPATI PANDANGAN JUNG TENTANG AGAMA (FULLER, 1994: 71-


111)
Jung mendefinisikan agama sebagai keterkaitan antara kesadaran dan
proses psikis tak sadar yang punya kehidupan tersendiri. Agama, menurut
Jung, adalah “kebergantungan dan kepasrahan kepada fakta pengalaman yang
irasional”. Agama adalah “pertimbangan dan pengamatan yang cermat” pada
“faktor dinamis”, yang adalah “kekuasaan”; pada tenaga-tenagatak sadar-arketip;
dan pada simbol-simbol yang mengungkapkan kehidupan tenaga-tenaga ini; pada
yang batiniah, yakni “gerakan dinamis”di luar kendali kesadaran. Agama
menghubungkan kita denganmitos abadi yang dalam proses menciptakan
keserasian antara ego dan non-ego. Agama lebih lanjut ditandai dengan cara
bagaimana kesadaran di ubah karena berhubungan dengan yang batiniah.
Cara untuk mencapai Tuhan, dan karena itu mencapai keutuhan, di
katakan harus pelalui penjelajahan setiap hari dan mengikuti kehendak
Tuhan.inilah apa yang membentuk sikap agama, menurut Jung, hakikat agama
sebenarnya. Jung berpendapat bahwa kita menemukan individualitas kita yang
sejati tidak melalui praktik-praktik keagamaan kolektif, tetap melalui individuasi
(aktualisasi diri). Dengan mengembangkan agama,”Yang memiliki karakter
individual”, menurut Jung, tidak ada pengalaman agama yang berbeda.
Pengalaman agama mendatangkan makna, vitalitas, dan kepuasan kehidupan,
yang menyebabkan segala sesuatu tampak dalam keindahan baru.
Kesadaran satu sisi-rasionalisme Barat misalnya-dapat menimbulkan
perkembangan perlawanan yang berbahaya pada yang tak sadar. Jung berkata
bahwa penyerbuan dri yang tak sadar sebagai balasan tindakan kekerasan yang
dilakukan kesadaran (akal) akan menimbulkan penderitaan spiritual yang sangat
parah, intense spiritual suffering. Ketika kesadaran di kuasai, ia berhadapan
dengan bahaya di hilangkan atau di kuasai oleh yang tak sadar. Menurut Jung,
agama dan magic dibuat untuk memenuhi kemungkinan ini dan memperbaiki

18
kerusakan yang di timbulkan. Agama adalah “sistem penyembuhan penyakit
psikis”.
Simbol Agama
Sejak Pencerahan, ujar Jung, agama telah di konstruksi secara rasional
sebagai sistem filsafat, yang “dicetak” dalam otak. Orang beranggapan bahwa
pernah ada seseorang menciptakan Tuhan dan berbagai dogma agama. Karena dia
memiliki kekuasaan mempengaruhi yang sangat besar, ia meyakinkan orang-
orang di sekitar dia tentang citra realitas yang “memuaskan keinginan”. Jung
menantang pandangan ini dengan berdalih bahwa bukanlah yang menciptakan
simbol-simbol agama, melainkan hati, daerah tak sadar psyche-karena itulah
mengapa simbol-simbol ini, yang menyeluruhnya misteri bagi kesadaran, datang
kepada kita sebagai “wahyu” atau revelation.
Simbol-simbol agama, kata Jung, adalah manifestasi psikis yang
“alamiah” dengan kehidupan organis dan perkembangannya sendiri selama
berabad-abad. Ia menunjukkan bahwa bahkan sekarangpun kita menemukan
simbol-simbol agama yang autentik tumbuh seperti bunga, dari alam tak sadar.
Simbol-simbol ini menampakkan dirinya baik dalam bentuk maupun isi, seakan-
akan muncul dari psyche tak sadar yang sama pada permulaan agama-agama besar
dunia. Keuniversalan dan keefektifan simbol-simbol agama di sebabkan
“mengekpresikan secara tepat” alam tak sadar yang menjadi asalanya. Kebenaran
agama termasuk bagian dari konstitusi psikologi yang esensial. Ide-ide agama
yang dikodifikasikan (dogma), tidak lagi merupakan ciptaan yang sadar dan di
wariskan secara membuta melalui tradisi, tetapi berasal dari pertimbangan cermat-
arketip definisi agama dari Jung yang di ungkapkannya. Arketip, yang selalu
menimbulkan efek, tidak perlu di percayai. Makna dan pentingnya harus di serap
dengan intuisi. Apabila kita berhubungan dengan akar tak sadar kita, simbol-
simbol agam menjelaskan fungsinya yang awal untuk mengusir bahaya
pembalasan dendam alam tak sadar. Melalui simbol-simbol ini, alam talk sadar
kolektif membebaskan kesadaran yang terluka karena perjuangan hidup.

19
Doktrin Agama
Khutbah teologis, kata Jung, adalah mitologem, serangkaian citra arketipal
yang memberikan “gambaran yang agak tepat tentang transendensi yang tak
terbayangkan”. Jung berkata bahwa setiap ajaran agama (system doktrin atau
ajaran) muncul pada satu sisi, atas dasar pengalaman yang batiniah, dan pada sisi
yang lain, atas dasar kepercayaan pada pengalaman itu dan perubahan yang di
timbulkannya dalam kesadaran. Kepercayaan adalah formalisai (kodifikasi) dari
pengalaman religious yang awal, yang timbul dari kontak dengan yang tak sadar.
Bahwa arketip sama dengan dogma agama, menurut Jung, dapat di tunjukkan
secara empiris.
Ritual Keagamaan
Jika doktrin adalah pernyataan simbolis, ritual adalah tindakan simbolis.
Seperti simbol pada umumnya, Jung melihat ritual sebagai sesuatu yang secara
spontan muncul dari, dan mengungkapkan, sumber tak sadar. Dalam ritual, kata
Jung, orang meletakkan dirinya di bawah perintah agen yang abadi dan otonom di
luar kesadaran dan kategorinya. Ritual bertindak seperti wadah yang menerima isi
tak sadar. Banyak ritual, menurut catatan Jung, mempunyai maksud untuk
menimbulkan efek batiniah. Ritual, sebagai perantara simbolis antara talk sadar
dan sadar, adalah cara yang aman untuk menghadapi tak sadar. Ritual membawa
jiwa tak sadar kepada jiwa sadar sehingga melindungi jiwa sadar dari bahaya jiwa
tak sadar. Tetapi, ritual melakukannya dengan tepat sehingga tak sadar tidak
menguasai kesadaran.
Individuasi
Jung mendefinisikan individu sebagai proses yang membawa individu
kepada posisi yang ke situ ia menuju. Dari kepompong menjadi kupu-kupu, dari
berudu menjadi katak, dari anak ke dewasa. Individuasi adalah proses
mengelarkan diri seperti manusia lainnya, tetapi dengan caranya sendiri yang
unik. Tugas kita dalam kehidupan, kata Jung, adalah pada satu sisi.
Mengaktualisasikan kemanusiaan kita secara ekstensif dan pada sisi yang lain,
membedakan diri kita dari orang lain dan berdiri di atas kaki sendiri. Individuasi
mencapai tujuan akhirnya dalam mengalami apa yang di sebut jung sebagai

20
“pribadi”, self. Pribadi adalah keseluruhan kesadaran dan ketaksadaran,
kepribadian dalam keseluruhannya. Mencapai diri berate menggerakkan titik pusat
kepribadian dari ego yang terpecah dan terbatas kepada “titik hipotetis” antara
kesadaran dan tak sadar. Untuk mencapai diri, pusat dari kepribadian seluruhnya,
ego harus berputar di sekitarnya sebagaimana bumi berputar mengeliloingi
matahari. Realitas diri lebih luas dari ego samp[ai tingkat yang tak terhingga
sehingga ego kecil dan sempit, “seperti lingkaran kecil di dalam lingkaran besar”.
Individuasi-dalam istilah Jung, merupakan padanan dari realisasi atau aktualisasi-
diri merupakan tujuan perkembangan biologis dan psikologis kita. Setiap
kehidupan di takdirkan sejak awal untuk mewujudkan keseluruhan, yakni pribadi.
Dengan aktualisasi pribadi, kecenderungan awal menuju keseluruhan menjadi
peristiwa psikis. Individuasi adalah menghasilkan dan menggelarkan keutuhan
yang semula bersifat potensional. Ego bukan saja berangkat dari pribadi sebagai
asal-usulnya, bukan hanya “aku” tetapi pada “pribadi”, melainkan ego juga
bergerak menuju pribadi sebagai tujuan tertingginya. Mewujudkan diri adalah
dorongan terkuat dan hukum alam yang sejati. Jung berpendapat bahwa arketip
pribadi tanpak di mana-mana dalam mitologi, dan juga dalam fantasi individu
pada abad ke-20.
Pengalaman pribadi sering membawa kita kepada pengalaman keabadian,
perasaan kekekalan atau imortalitas. Pribadi berate kesadaran lebih tinggi.
Menurut dygaan Jung, timbulnya kepribadian lebih tinggi ini membawa orang
kepada kesadaran untuk melepaskan diri dari dunia sebagai persiapan alamiah
menghadapi kematian. Proses ini terjadi pada pertengahan kehidupan kira-kira
pada usia 35 tahun. Kehidupan menjadi “hidup menuju mati”; mati di mulai
sebelum kematian itu sendiri dan mati adalah pemenuhan makna hidup. Jung
berkata bahwa agama pernah menjadi sekolah untuk orang yang berusia 40 tahun-
an tetapi, sekarang ini agama tidak lagi menjalankan tugasnya. Akibatnya, orang-
orang harus memilih caranya sendiri. Paruh kedua kehidupan sama bermaknanya
dengan paruh poertama, menurut pandangan Jung, harus maknanya berbeda.
Kedua paruh ini harus di jalanio sesuai dengan maknanya masing-masing. Akna
kehidupan bagi kita terletak dalam memahami dunia ekternal, membangun

21
keluarga dan sebagainya. Anak muda kehilangan paruh hidupnya yang pertama
jika ia tidak bersedia menghadapi di dunia ini dan berjuan untuk kehidupannya
dengan seluruh kemampuannya. Tetapi, berkutat pada program pagi hingga
kehidupan petang kita akan menimbulkan kerusakan batiniah di dalam diri kita.
Seorang tua kehilangan paruh hidupnya yang kedua jika ia tidak mampu
mendengarkan “rahasia gemercik sungai” yang mngalir dari bukit kelembah. Dari
pertengan hidup, selanjutnya seseorang di katakana betul-betul hidup, menurut
Jung, hanya jika ia bersedia “die with life”. Untuk memandang kehidupan sebagai
pemenuhan makna hidup, sebagi tujuan yang sebenarnya dan bukan hanya akhir
kehidupan, sejalan dengan “psike kolektif” umat manusia. Jika tak sadar tidak
mempersoalkan kematian, tetapi ia berkepentingan denga cara bagaimana kita
amati, dengan cara bagaimana kita amati, dengan cara bagaimana kita
menyelesaikan urusan kita dengan orang lain.
EFEK AGAMA PADA KESEHATAN FISIK DAN MENTAL (KOENIG,
1997)
Konklusi dan Realisis
Berdasarkan penelitian yang telah di lakukan sebelumnya, kita sampai pada
kesimpulan yang agak tentative tentang hubungan agama dan kesehatan. Salah
satu kesimpulan yang dapat kita nyatakan dalam tingkat keopercaytaan yang
tinggib adalah bahwa agama adalah, terutama yang di dasarkan kepada
kepercayaan Judeo-Kristiani, tidak berpengaruh negative terhadap kesehatan.
Tentu saja tidak termasuk kesini cult, seperti yang terlibat dalam pembantaian
Jonestown dan Waco, juga kelompok-kelompok agama yang menyimpang dan
berada di pinggiran masyarakat atau di luar tradisi agama yang sudah mapan.
Tidak ada satupun penelitian yang mendukung pengaruh negative pada kesehatan
mental dan fisik dari kehadiran gereja, sembahyang, membaca al kitab, atau
keterlibatan dalam ritus-ritus keagamaan, terutama sekali yang terjadi dalam
konteks tradisi agama Judeo-Kristiani. Lalu, apa efek positif kepercayaan dan
pengalaman agama pada kesehatan fisik dan mental?
Efek pada kesehatan Mental

22
Secara umum,kesalehan mengikuti kegiatan agama, baik sendirian ataupun
bersama, berhubungan dengan kesehatan mental yang baik. Secara spesifik:
1) Sejumlah besar penduduk amerika (sekitar 20-40%) mengatakan bahwa agama
ialah salah satu dari factor penting yang membantu mereka mengatasi situasi
hidup yang penuh stress.
2) Penggunaan agama sebagi perilaku koping berkaitan dengan harga diri yang lebih
tinggi dan depresi yang lebih rendah, terutama di kalangan orang-orang yang
cacat fisik. Agama juga dapat meramalkan siapa yang akan tau tidak akan
mengalami depresi.
3) Komitmen agama yang taat (terutama keberagman intrinsic) berkaitan dengan
tingkat depresi yang lebioh rendah, penyembuhan dari depresi yang lebih cepat,
kesejahteraan dan moril yang lebih tinggi, harga diri yang lebih baik, locus control
yang internal, perkawinan yang bahagia, penyesuaian diri yang lebih cepat pada
pasien yang menbderita dimensia atau kanker stadium akhir.
4) Pengunjung gereja atau sinagog yang rajin, nberkaitan dengan 40-50%
pengurangan resiko depresi, tingkat bunuh diri lebih rendah, tingkat kecemasan
lebih rendah, tingkat alkoholisme dan penggunaan zat adiktif lebih rendah, di
bdukung sosial yang lebih tinggi; kebahagiaan, penyesuaian, dan kesejahteraan
yang lebih besar, harga diri yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih tinggi,
dan meramalkan perasaan positif 12 tahun kemudian pada orang dewasa muda.
5) Kegiatan agam sendirian, seperti sembahyang dan mmbaca alkitab, berkaitan
dengan kesehatan yang lebih besar, kepuasan hidup yang lebih tinggi, kecemasan
mati yang lebih rendah, dan tingkat alkoholisme dan penggunaan obat yang lebih
rendah pula.
6) Intervensi psikoterapis untuk mengatasi depresi dan anixiety disorder yang
mengintergrasikan agama dengan psikoterapi mempercepat penyembuhan lebih
tinggi dari teknik psikoterapi sekuler saja.

23
Efek pada Kesehatan Fisik
Efek keparcayaan dan pengalaman agama pada kesehatan fisik sama dengan
pada kesehatan mental. Pada umumnya, orang yang beragama lebih sehat
daripada yang tidak. Secara spesifik:
1) Pada tingkat tertentu penyakit kronis, lelaki yang lebih religious menganggap
kemampuannya untuk berfungsi secara lebih tinggi daripada orang yang tidak
religious.
2) Frekuensi kunjungan ke gereja dapat meramalkan tingkat ketidakmampuan fisik
yang lebih rendah pada orang-orang tua, pada satu, dua, atau tiga tahun
berikutnya.
3) Keberagaman meramal penyembuhan lebih cepat dari praktur tulang paha (diukur
dari beberapa meter berjalan dan status ambulans pada saat keluar dari rumah
sakit).
4) Intensitas kepercayaanh agama dan kehadiran di tempat ibadah berkaitan dengan
tingkat sakit yang lebih rendah seperti yang di rasakan oleh pasien kanket stadium
akhir.
5) Keberagaman berkaitan dengan tingkat merokok yang lebih rendah.
6) Kehadiran di gereja dan persepsi tentang pentingnya agama berkaitan dengan
tekanan darah yang lebih rendah, baik sistolik maupun diastolic.
7) Kehadiran di gereja (mingguan atau lebih sering) berkaitan dengan resiko
serangan jantung yang lebih rendah. Ortodoksi dan keagamaan kehadiran gereja
berkaitan dengan infraksi neokordial yang lebih sedikit dan tingkat kematian
karena penyakit jantung coroner tang lebih rendah.
8) Koping kegamaan berkaitan dengan tingkat kematian yangt lebih rendah setelah
pembedahan jantung dan tingkat kematian yang lebih rendah pada umumnya.
9) Doa penyembuhan terbukti menimbulkan komplekasi-kordiopaskular yang lebih
rendah setelah di masukkan ke unit perawatran jantung, walaupun mereka
mekanisme efek ini (jika benar) belum di ketahui.
10) Kelompok agama tertentu punya tingkat kangker yang lebih rendah di sebabkan
oleh cara makan, gaya hidup, dan barabngkali tingkat komitmen keagamaan; efek

24
protektif ini tampoaknya berlaku pada sedluruh komunitas, mempengaruhi bahkan
orang yang tidak seagama.
Orang yang tampak religious tampaknya memiliki secara keseluruhan tingkat
mortalitas lebih rendah pada lebih 80% penelitian yang meneliti hubungan agama
dan kesehatan fisik.
C. Agama menurut Para Psikolog
1. Psikologi Ateisme (Friedrich Nietzsche)
Nietzsche adalah seorang ateis dunia yang paling terkenal. Ia secara
dramatis menolak agama Kristen dan Tuhan Kristiani. Ucapan Nietzsche yang
paling terkenal adalah “Tuhan sudah mati”, ia sangat sibuk memikirkan agama
sepanjang hidupnya san secara terus menerus melecehkan gagasan kristen dan
orang-orang yang memercayainya. Nietzsche pernah mengatakan bahwa,
“perlahan-lahan menjadi jelas bagiku apa yang terjadi pada setiap filsafat besar, ia
adalah pengakuan pribadi dari filosofnya, tidak ada apapun yang bersifat
impersonal, dan lebih dari itu, semua moralitasnya menjadi saksi yang tidak
terbantahkan tentang siapa dia”
Nietzsche juga mengaku bahwa dia mengetahui ateisme bukan sebagai
akbibat pemikiran, atau sebagai peristiwa, baginya ateisme menjadi jelas karena
naluri. Oleh karena itu, Nietzsche (naluri tak sadarnya) berpengaruh pada
filsafatnya. Nietzsche menunjukkan bahwa akal manusia serba terbatas untuk
memahami sang pencipta. Itu sebabnya butuh bimbingan dan aturan yang bisa
menghantarkannya kepada penyembahan yang jelas. Waktu umur Nietzsche
kurang dari 5 tahun, ayahnya bernama Friedrich meninggal dunia karena penyakit
otak. Ia sering membicarakan secara positif ayahnya dan kematiannya sebagai
kehilangan besar yang tak pernah ia lupakan. Ia juga menunjukkan perasaan
agama yang kuat dan mengidentifikasikan Tuhan dengan ayahnya. Ia mengatakan
bahwa, “dalam segala hal, Tuhan telah membimbingku dengan selamat seperti
seorang ayah yang menuntun anak kecilnya yang lemah. Seperti seorang anak,
aku beruntung pada berkatnya”. Kelemahan dan sakit ayahnya bagi Nietzsche
berhubungan dengan agama kristen ayahnya. Tidak sulit untuk menyimpulkan

25
bahwa penolakan Nietzsche kepada Tuhan dan kristianitas adalah penolakan
terhadap kelemahan ayahnya.

2. James Leuba
Bagi Leuba agama itu sebagai irasionalitas dan Patologi. Leuba adalah
seorang Psikolog yang sangat memusuhi agama tradisionalitas, tapi ia paling
informatif dan persuasif. Ia menentang agama teistik tradisional dengan berbagai
cara. Ia menyimpulkan bahwa pengalaman msitikal dalam agama dapat dijelaskan
dengan prinsip-prinsip pokok psikologi dan fisiologi dan hal ini merupakan reaksi
yang sama terjadi seperti pengalaman sehari-hari ketika saat kita merasakan
kehadiran orang lain. Ia juga menjelaskan fenomena mistikal yang lebih dramatis
melalui penjelasan tentang proses patologis. Ia menunjukkan bahwa pandangan
keagamaan yang konservatif itu menghambat perkembangan pengetahuan ilmiah.
Leuba sebenarnya bermaksud untuk memperbaharui dan bukan menghancurkan
agama. Untuk mengembangkan daya spiritual yang alamiah ini, ia menyarankan
dibentuk kelompok keagamaan yang menggunakan bentuk-bentuk ritual
keagamaan dan dikembangkan dengan bantuan pengetahuan ilmiah dan
pengalaman bersama. Meskipun mereka tidak lagi menyembah Tuhan, anggota
masyarakat ini dapat mengambil faedah dari nilai-nilai hakiki termasuk wawasan
batiniah, kedamaian, dan energi moral dari tradisi teistiknya.
3. B.F. Skinner
Agama menurut B.F. Skinner adalah perilaku yang diperteguh. Menurut
pandangan Skinner yang juga termasuk kamu behavioris, untuk mereduksi agama
seluruhnya menjadi perilaku yang ditentukan secara mekanis. Menurut skinner
bahwa keragaman pengalaman agama terjadi karena diikuti oleh stimuli yang
memperteguh. Peneguhan ini secara aktif dilakukan oleh tokoh agama dan
pengendali lain yang berkuasa. Proses memperteguh respons yang baru dengan
mengasosiasikannta dengan stimuli tertentu berkali-kali disebut dengan
peneguhan (reinforcement). Dan respon yang menjadikan adanya suatu stimuli
tersebut disebut sebagai peneguh (reinforcer). Sehingga tindakan-tindakan yang
diulangi lagi karena diperteguh itu disebut dengan Tensionreducing behavior.

26
Skinner sangat kritis kepada bentuk agama tradisional, bukan karena
dongengan, tapi karena bentuk ajaran agama tradisional itu secara historis
didasarkan pada peneguhan negatif atau ancaman hukuman. Menurut pengamatan
Skinner, bahwa agen-agen agama saat ini berpindah dari tekni yang menyebalkan
kepada teknik yang positif. Jadi, bahwa agama masih dibutuhkan oleh orang-
orang yang awam, terutama untuk memacu mereka meneguhkan pemuasan
kebutuhan masa kini untuk mencapai masa depan yang lebih baik.
4. George Vetter
George Vetter berpendapat bahwa agama sebagai respons pada situasi tak
terduga. Menurut Vetter, agama tidak punya nilai untuk memberikan keselamatan.
Ia menjelaskan berbagai alasan untuk penilainnya yang negatif terhadap agama.
Jika agama hanya memperbaiki kehidupan para penguasa agama, lalu bagaimana
para peneliti menjelaskan kebangkitan dan bertahannya kepercayaan serta praktik
keagamaan ditengah-tengah masyarakat?. Dari situ, Vetter berpendapat bahwa
perilaku agama adalah respon manusia untuk menghadapi situasi yang tidak
terduga dan tidak terkendali. Hal tersebut disebabkan oleh perilaku yang
bermanfaat pada situasi terdahulu akan diulangi lagi dalam bentuk-bentuk ritual
pada situasi yang sama dikemudian hari. Dengan begitu, dalam situasi yang
terdesak, Tuhan sering disapa sebagai orangtua. Jadi perilaku cenderung
dijalankan jika perilaku itu mengubah kompleks asosiasi stimulus yang
mendorongnya atau jika perilaku itu setidak-tidaknya sedang berlangsung ketika
sesuatu yang lain mengubah situasi.
5. Sigmund Freud
Bagi Freud agama itu berfungsi pemuasan keinginan kekanak-kanakan.
Banyak psikolog yang tertarik tidak hanya pada penyampaian agama, tapi pada
asal usul dan dinamikanya juga. Teori-teorinya sangat produktif dibanding dengan
teori yang lainnya. Menurut Freud, penafsiran Psikoanalisis terhadap agama telah
berkembang hingga mencapai tingkat yang luar biasa. Jika Freud dan para
pengikutnya berpandangan negatif terhadap agama dengan memandang agama
tidak lebih dari sekedar kumpulan kecenderungan kakanak-kanakan atau neurotis,
maka para pendukung psikoanalisis yang direvisi melihat agama lebih positif.

27
Menurut Freud, agama ada 2 ciri : kepercayaan yang kuat pada Tuhan dalam
sosok bapak dan ritus-ritus wajib dijalankan secara membingungkan. Ia
memerhatikan adanya sifat-sifat ritual yang tampak kompulsif, yang merasa
berdosa dan takut akan hukuman Tuhan. Ia membandingkan unsur agama dengan
gejala obsesif neurosis yang ia pandang sebagai mekanisme pertahanan dalam
menghadapi impuls yang tidak bisa diterima. Kepercayaan dan praktik keagamaan
ini, disimpulkan oleh Freud, berakar pada pengalaman universal kanak-kanak.
Pada usia dini anak-anak menganggap orangtua, terutama bapak sebagai orang
yang maha tahu dan maha kuasa. Kata Freud agama adalah Ilusi, maksudnya
bahwa agama adalah hasil pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan dan
pemikiran. Agama adalah ilusi yang berbahaya baik bagi individu maupun
masyarakat. Seseorang yang diajari dogma agama pada usia dini, kemudian
dihambat untuk berpikir kritis terhadapnya, biasanya didominasi oleh represi yang
ditimbulkan oleh ketakutan. Hanya dengan meninggalkan agama dan ajaran yang
dogmatis, dan bertumpu pada sains dan akal, individu dan masyarakat akan
berkembang melewati tahap kekanak-kanakannya. Begitu kedewasaan ini dicapai
secara meluas, kata Freud, peradaban takkan lagi menindas dan kehidupan pada
akhirnya diterima dengan ikhlas.
6. Carl Gustav Jung
Bagi Jung agama itu sebagai Arketipe. Arketipe adalah wahana untuk
membuka lubuk jiwa manusia. Seperti Freud, jung melihat ketegangan awal
antara hidup sadar dan tak sadar. Namun ada perbedaan antara keduanya, bagi
Freud unsur tidak sadar bersifat individual secara dinamis terdiri dari bahan yang
naluriah dan ditekan berkaitan dengan ketegangan pada tahap Oedipus sehingga
mendorong manusia untuk beragama serta menciptakan citra ayah pada Tuhan.
Sedangkan menurut Jung bentuk khusus dari agama merupakan ungkapan
dalam waktu dan tempat dari ketidaksadaran kolektif yang terpendam, dogma,
ibadat, kisah keagamaan muncul bukan dari kebutuhan pribadi seperti dorongan
masa anak-anak tetapi dari kenyataan yang ada diatas dan mengatasi lingkup
perorangan. Agama merupakan bagian dari kodrati kehidupan. Nilai agama
tergantung dari arketipe yang ada pada warisan psikologi manusia dan

28
penemuannya merupakan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini Jung menyebutnya
dengan individuasi yang merupakan peziarahan keagamaan. Dia melukiskan diri
sendiri sebagai “serpihan dari keallahan yang tak terbatas”.
7. Erich Fromm
Pandangan Fromm tentang agama berakar pada pandangannnya yang
humanistik, semua manusia secara instrinsik adalah religius dalam arti bahwa
kebutuhan terhadap “sistem pengarahan dan pemujaan” bersifat universal. Dalam
kata-kata Fromm “tidak ada seorang pun yang tanpa kebutuhan untuk pengarahan
dan sasaran pemujaan”.
Persoalannya bukanlah agama, kalaupun agama, agama macam apa, apakah
agama itu mendukung perkembangan manusia, memekarkan kekuatan-kekuatan
khas manusia atau melumpuhkannya. Maka masalah manusia yang mendasar
adalah pemekaran kekuatannya, penemuan kebebasan yang ada dalam
keberadaannya.

29
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan beberapa point penting sebagai
berikut :
Dalam sejarahnya Psikologi dengan agama sering berkontradiktif, hal itu
dapat dilihat dari para tokoh psikolog yang muncul, seperti Nietzsche dan
Sigmund Freud. Nietzsche merupakan seorang ateism, dia mengatakan tuhan telah
mati, pada dasarnya pemikiran ateism Nietzsche ini karena peran agama saat itu
menghilangkan eksistensi manusia, yang seharunya manusia itu memiliki
kekuatan, malah agama menyuruh kelemahan dan kepayahan. Sementara
Sigmund Freud mengatakan agama itu berfungsi pemuasan keinginan kekanak-
kanakan. Bagi Leuba agama itu sebagai irasionalitas dan Patologi, Agama
menurut B.F. Skinner adalah perilaku yang diperteguh. Menurut pandangan
Skinner yang juga termasuk kamu behavioris, untuk mereduksi agama seluruhnya
menjadi perilaku yang ditentukan secara mekanis. Menurut skinner bahwa
keragaman pengalaman agama terjadi karena diikuti oleh stimuli yang
memperteguh. George Vetter berpendapat bahwa agama sebagai respons pada
situasi tak terduga. Bagi Jung agama itu sebagai Arketipe. Arketipe adalah
wahana untuk membuka lubuk jiwa manusia. Pandangan Fromm tentang agama
berakar pada pandangannnya yang humanistik, semua manusia secara instrinsik
adalah religius dalam arti bahwa kebutuhan terhadap “sistem pengarahan dan
pemujaan” bersifat universal

30
DAFTAR PUSTAKA

Endi dan Tarsono, 2012. Psikolgi Agama. Yogyakarta: Spirit For Education and
development.
Saifurohman, Muzaki. Atheis (dalam Psikologi). Universitas Airlangga: Jurusan
Psikologi.
Purwanto, Muhammad Roy, Filsafat Eksistensial, Nietzsche dan Wacana Agama;
Studi Filsafat Nietzsche dan Kontribusinya dalam Dekonstruksi wacana
Agama. An-Nur : Jurnal Studi Islam. Vol. 1, No. 2 Februari 2005.
Rahmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Agama (Sebuah Pengantar).Bandung: PT.
Mizan Pustaka
Tafsir, Ahmad. 2005. Filsafat Umum (Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra).
Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Wiryawan, Zahrida. Penyangkalan adanya Tuhan dalam Pandangan Friedrich
Wilhelm Nietzsche. Universitas Indonesia.

31

Anda mungkin juga menyukai