Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM

TASAWUF

Dosen Pembimbing :

Dr. H. Muhammad Arif, Lc, MA

Disusun oleh :

Fondra Prasetyo Utomo (G94219148)

Giah Anifatul Nurhamida (G94219149)

Athia Nur Kamilah (G94219137)

Indah Permata sari (G74219101)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2020/2021

i
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Tanpa pertolongan-
Nya tentulah kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa fisik atau akal pikiran, sehingga kami mampu menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas besar mata kuliah Pengantar Studi Islam dengan
judul “Kajian Tasawuf”.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan
pada makalah ini, kami memohon maaf yang sebesar – besarnya.
Kami juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak terutama dosen Pengantar
Studi Islam kami yang telah memberikan banyak materi selama perkuliahan ini
sehingga kami dapat lebih mudah menyelesaikan makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat.


Terimakasih.

Surabaya, 28 Maret 2020

Penyusun

ii
Daftar Isi
Cover .................................................................................................................................................. i
Kata Pengantar................................................................................................................................. ii
Daftar Isi .......................................................................................................................................... iii
Bab I .................................................................................................................................................. 1
Pendahuluan ..................................................................................................................................... 1
I.1 Latar belakang ................................................................................................................. 1
I.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2
I.3 Tujuan ............................................................................................................................... 2
I.4 Manfaat ............................................................................................................................. 2
Bab II ................................................................................................................................................. 3
Pembahasan ...................................................................................................................................... 3
II.1 Definisi Tasawuf ............................................................................................................... 3
II.2 Asal-usul Tasawuf ............................................................................................................ 5
II.3 Esensi Tasawuf dan tujuannya ....................................................................................... 7
Tujuan mempelajari Tasawuf ............................................................................................... 10
Manfaat mempelajari Tasawuf ............................................................................................. 10
II.4 Kemunculan dan perkembangan Tasawuf .................................................................. 11
II.6 Perkembangan Studi Tasawuf di Barat ....................................................................... 17
Bab III ............................................................................................................................................. 21
Penutup ........................................................................................................................................... 21
III.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 21
Daftar Pustaka ............................................................................................................................ 22

iii
Bab I

Pendahuluan
I.1 Latar belakang
Dalam mempelajari ilmu tasawuf kita menemukan banyak teori yang berkaitan
dengan asal usul ajaran tasawuf. Para tokoh muslim (yang simpati dan menekuni ajaran
tasawuf) mengatakan bahwa asal usul tasawuf berasal murni dari ajaran Islam, sementara
tokoh-tokoh di luar Islam berpendapat bahwa ajaran tasawuf bukan murni dari ajaran Islam
melainkan pengaruh dari ajaran dan pemikiran di luar Islam. Sebagaimana yang telah
dinyatakan dalam salah satu Hadis yang menerangkan tentang Islam, Iman dan Ihsan.
Tasawuf merupakan perwujudan dari salah satu ketiga pilar syari‟at tersebut, yakni Ihsan.
Jadi, tasawuf adalah bagian dari syari‟at Islam, atau dengan kata lain bahwa Syari‟at Islam
juga memuat ajaran tentang tasawuf. Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di
kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan
selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang
awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui
jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan
oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-
bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang
semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-
orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala.

1
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah yang muncul
adalah sebagai berikut :
1. Apakah tasawuf itu?
2. Bagaimanakah asal-usul adanya tasawuf ?
3. Bagaimana esensi tasawuf dan apa tujuannya ?
4. Bagaimanakah kemunculan serta perkembangan tasawuf ?
5. Bagaimanakah perkembangan tasawuf dalam dunia Barat ?

I.3 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui apakah tasawuf itu.
2. Mengetahui bagaimanakah asal-usul adanya tasawuf
3. Mengetahui bagaimana esensi tasawuf dan apa tujuannya.
4. Mengetahui bagaimanakah kemunculan serta perkembangan tasawuf
5. Mengetahui bagaimanakah perkembangan tasawuf dalam dunia Barat

I.4 Manfaat
Manfaat pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Penulis
Dalam penulisan makalah ini berguna agar penulis mau mempelajari lebih dalam
tentang apa itu Tasawuf, sehingga menambah iman kepada tuhan yang maha esa agar
lebih paham dengan Tasawuf, agar tidak tersesat dijalan yang salah.
2. Bagi Pembaca
Pembaca dapat mempelajari tentang Tasawuf, mendapat pengetahuan serta dapat
mengetahui sejarah dan juga perkembangannya.

2
Bab II

Pembahasan

II.1 Definisi Tasawuf


Secara lughawi/etimologis (kebahasaan) sebagian ada yang berpendapat
bahwa kata tasawuf atau sufi diambil dari kata shaff, yang berarti saf atau baris.
Dikatakan demikian, karena sufi sefalu berada pada baris pertama dalam shalat.
Ada juga yang mengatakan berasal dari kata shafa yang berarti bersih.
Karena hatinya selalu dihadapkan ke hadirat Allah Swt. dan bentuk Jama' (plural)
nya adalah shaffi, bukan shufi.1
Kemudian ada yang berpendapat Shuf (bulu domba) yang disebabkan karena
kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang
akan kerendahan hati mereka, juga menghindari sikap sombong serta meninggalkan
usaha-usaha yang bersifat duniawi. Orang yang berpakaian bulu domba disebut
“mutashawwif ”, sedangakan perilakunya disebut “tasawuf ”.
Dan ada yang mengatakan dari kata Shuffah (serambi tempat duduk) yakni
serambi masjid nabawi di Madinah yang disediakan untuk orang-orang yang belum
mempunyai tempat tinggal dan kalangan Muhajirin di masa Rasulullah SAW.
Mereka biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena di serambi masjid
itulah mereka bernaung.
Sedangkan pengertian tasawuf menurut istilah atau terminologi menurut Para
Ahli, antara lain:
- Imam Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin,
Tasawuf adalah ilmu yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Tasawwuf adalah budi pekerti barang siapa yang
memberikan budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam
bertasawwuf, maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal
karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan suluk dengan nur
(petunjuk) islam dan ahli zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk

1
Ni’am Syamsun, Tasawuf Studies, Yogyakarta: Ar-Rruzz Media, 2014, hlm. 24.

3
melakukan beberapa akhlak (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk nur
dengan nur (petunjuk) imannya.
- Ibnu Kaldun dalam buku Munajat Sufi
Tasawuf adalah sebagian ilmu dari ajaran islam yang bertujuan agar
seseorang tekun beribadah dan memutuskan hubungan selain Allah hanya
menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan duniawi, serta membenci
sesuatu yang memperdaya manusia dan menyendiri menuju jalan Allah dalam
Kholwat untuk beribadah.2
- At-Taftazani juga mencoba memberikan definisi yang hampir mencakup seluruh
unsur substansi.
Tasawuf sebagai sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan
mengembangkan moralitas jiwa manusia yang dapat direalisasikan melalui
latihan-latihan praktis tertentu (riyadliyyat 'amaliyyah mu'ayyanah) yang
mengakibatkan larutnya perasaan dalam hakikat transendental (al-haqiqat al-
asma). Pendekatan yang digunakan adalah dzauq (cita-rasa) yang menghasilkan
kebahagiaan spiritual (as-sa'adat ar-ruhiyyah). Pengalaman yang tak kuasa
diekspresikan melalui bahasa biasa karena bersifat emosional clan individual
(wujdaniyyat ath-thabi' wa dzatiyah).
Dari beberapa definisi tasawuf di atas dapat diketahui bahwa tasawuf
merupakan suatu upaya pendekatan diri pada Allah Swt. melalui kesadaran murni
dengan memengaruhi jiwa secara benar untuk melakukan berbagai latihan-latihan
(riyadlah), baik secara fisik maupun mental dan dengan melakukan berbagai ibadah
sehingga aspek uluhiyah dan ruhaniyah dapat mengungguli aspek duniawiyah dan
jasadiyah. Tasawuf merupakan suatu ijtihad dan jihad (upaya yang sungguh) untuk
mengeliminasi dominasi materi dalam kehidupan. Artinya, materi masih tetap
dibutuhkan sebagai sarana mencapai tujuan hidup, mendekatkan diri kepada Allah
Swt. Inti dari tasawuf adalah mengajarkan dan mengajak semua umat tentang
bagaimana seharusnya menentukan sikap mental manusia dan mengangkatnya dari
derajat yang paling rendah, yang condong diperbudak oleh kehendak hawa nafsu
(biologis) nya, menuju ke arah yang lebih tinggi, yaitu ke arah kesucian ruhani untuk

2
Dacholfany M. Ihsan, “Pendidikan Tasawuf Di Pondok Modern Darussalam Gontor “, Jurnal
Nizham, Vol. 4, No. 2 Juli - Desember 2015, Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) Lampung, hlm.31.

4
mendapatkan ridha Allah Swt. sehingga mendapatkan derajat tertinggi di hadapan
Allah, yaitu Ahsanu Taqwim.3

II.2 Asal-usul Tasawuf


Teori-teori mereka tentang tahapan-tahapan menuju Allah (maqomat)
seperti taubat, syukur, shabar, tawakal, ridha, takwa, zuhud, wara’ dan ikhlas, atau
pengamalan batin yang mereka alami (ahwal) seperti cinta, rindu, intim, raja dan
khauf, kesemuanya itu bersumber dari ajaran Islam. Para tokoh sufi dan juga
termasuk dari kalangan cendikian muslim memberikan pendapat bahwa sumber
utama ajaran tasawaf adalah bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an
adalah kitab yang di dalam ditemukan sejumlah ayat yang berbicara tentang inti
ajaran tasawuf. Ajaran-ajaran tentang:
▪ mahabbah (cinta) terdapat dalam surat al-Maidah ayat 54
▪ taubat terdapat dalam surat al-Tahrim ayat 8
▪ tawakal terdapat dalam surat at-Tholaq ayat 3
▪ syukur terdapat dalam surat Ibrahim ayat 7
▪ sabar terdapat dalam surat al-Mukmin ayat 55
▪ dan lain sebagainya.
Sejalan dengan apa yang dikatakan dalam al-Qur’an, bahwa al-Hadits juga banyak
berbicara tentang kehidupan rohaniah sebagaimana yang ditekuni oleh kaum sufi
setelah Rasulullah. Dua hadits populer yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau
tidak melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu.”
Dan juga sebuah hadits yang mengatakan:
“Siapa yang kenal pada dirinya, niscaya kenal dengan Tuhan-Nya”
Hadist ini menjadi landasan yang kuat bahwa ajaran-ajaran tasawuf tentang masalah
rohaniah bersumber dari ajaran Islam. Ayat-ayat dan hadits di atas hanya sebagian
dari hal yang berkaiatan dengan ajaran tasawuf. Dalam hal ini Muhammad Abdullah
asy-Syarqowi mengatakan: “Awal mula tasawuf ditemukan semangatnya dalam al-
Qur’an dan juga ditemukan dalam sabda dan kehidupan Nabi SAW, baik sebelum

3
Ni’am Syamsun, Op. Cit., hlm.35.

5
maupun sesudah diutus menjadi Nabi. Begitu juga awal mula tasawuf juga dapat
ditemukan pada masa sahabat Nabi beserta para generasi sesudahnya”. Selanjutnya,
Abu Nashr As-Siraj al-Thusi mengatakan bahwa: “Ajaran tasawuf pada dasarnya
digali dari al-Qur’an dan as-Sunah karena amalan para sahabat, menurutnya tentu
saja tidak keluar dari ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah. Selanjutnya di dalam
kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat banyak petunjuk yang
menggambarkan dirinya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan
pengasingan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Dia menjauhi pola hidup
kebendaan di mana waktu itu orang Arab menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan harta”. Dikalangan para sahabat pun juga kemudian mengikuti pola
hidup seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu bakar Ash-Shiddiq
misalnya berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam
keagungan dan rendah hati”. Begitu pula pada sahabat-sahabat yang lainya.4
Kemudian ada beberapa orientalis yang mengkaji tasawuf mengatakan
bahwa tasawuf bersumber dari luar Islam.5 Awal mula kesimpangsiuran teori
tasawuf sesungguhnya berawal dari keikutsertaan kaum orientalis dalam memahami
sumber ajaran Islam. Mereka terlalu cepat menyimpulkan tanpa mengkaji dahulu
ajaran-ajaran tasawuf dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Obyek kajian mereka tertuju
pada ide dan praktek kehidupan kaum sufi, bukan pada konsep ajaran yang dipegang
oleh kaum sufi yang telah mempunyai landasan normatif di dalam al-Qur’an.
Memang ada pola kesamaan kehidupan dan pemikiran para tokoh sufi dengan ajaran-
ajaran di luar Islam, tetapi adanya kesamaan ini bukan berarti mereka mengambil
ajaran di luar Islam, sebab al-Qur’an dan al-Hadits adalah sumber utama yang sarat
dengan ajaran-ajaran tasawuf. Mereka terlalu gegabah menyimpulkan tanpa
mengkaji dahulu ajaran-ajaran tasawuf dalam al-Qur’an dan al-Hadist dan mereka
pula telah melupakan untuk mengkaji kehidupan Nabi Muhammad SAW dan
sahabat-sahabatnya yang menjadi anutan dari para tokoh sufi.
Kelemahan lain dari teori Goldziher dan Nicholson adalah bahwa mereka
mengindentikkan ajaran Islam sebagaimana ajaran non Islam yang dibangun dari
hasil produk pemikiran. Mereka lupa bahwa Islam adalah agama wahyu yang bukan

4
Hafiun Muhammad, “Teori Asal Usul Tasawuf”, Jurnal Dakwah, Vol. XIII, No. 2 Tahun 2012,
hlm.247.
Rif’an Ali, Sejarah Dan Perkembangan Tasawuf Dalam Tradisi Islam,
5

File:///C:/Users/HP/SEJARAH_PERKEMBANGAN_TASAWUF_DALAM_PEMIK.Pdf, diakses 29 Maret


2020, Pukul: 21.45 WIB.

6
berasal dari pemikiran manusia. Semua ajaran yang terkadung di dalamnya bersifat
universal dan terjamin kebenarannya serta tidak akan mengalami perubahan, sebab
pemikiran yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits bersifat liberal
sehingga tidak dapat dijadikan sebagai rujukan untuk membuat sebuah teori yang
terpercaya dalam mengkaji asal usul ajaran tasawuf dalam Islam.6

II.3 Esensi Tasawuf dan tujuannya


Ajaran tasawuf mengandung esensi etika yang berlandaskan pada
pembangunan moral manusia. Berbicara pembangunan moralitas, sebagaimana
diketahui bersama bahwa dewasa ini peradaban dunia tengah mengalami krisis
moralitas, dimana banyak fenomena menunjukkan kekerasan dan kekejian yang
dilakukan oleh manusia. Sehingga terjadi distorsi moral yang menyebabkan
kehancuran dan kerugian manusia itu sendiri. Pada konteks ini, tasawuf mampu
berfungsi sebagai terapi krisis spiritual yang berimbas pada distorsi moral, sebab:

1) tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman


spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai
realitas- realitas ketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam
agama.
2) kehadiran Tuhan dalam bentuk mistis dapat menimbulkan keyakinan
yangsangat kuat.
3) dalam tasawuf hubungan dengan Allah di jalin atasdasar kecintaan.
Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti ajaran tasawuf
mendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkan
kebutuhan-kebutuhan spiritualitasnya.Sebab, menelantarkan
kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang
dikehendaki oleh Allah SWT.

Permasalahan moralitas dalam tasawuf dapat dijadikan sebagaisalah satu alternatif


materi dalam proses dakwah, karena memiliki tiga tujuan:

6
Hafiun Muhammad, Op. Cit., hlm.251.

7
1) turut serta berbagi peran dalam penyelamatan kemanusiaan dari kondisi
kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spiritual.
2) memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris Islam
terhadap manusia modern.
3) untuk memberikan penegasan bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam,
yaitu tasawuf adalah jantung ajaran Islam.

Dengan mengaplikasikan ajaran tasawuf, umat manusia dapat mencapai kebahagiaan


dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini dapat tercapai dengan maksimal tanpa harus
meninggalkan atau mematikan yang satu untuk mendapatkan yang lain. Tetapi dapat dicapai
secara selaras dan seimbang dengan mengaplikasikan dan membumikan ajaran tasawuf
dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.

Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang
berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-
Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun
tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu
keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah
tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.

Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh
abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam
sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran
zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.

Imam Ghazali dalam an-Nusrah an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia


tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi, tidak ada satupun manusia yang bisa lepas
dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah
yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena, tasawuf konsentrasi pada tiga hal dimana
ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur'an al-karim. Pertama, selalu melakukan kontrol
diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga,
menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur,sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.
Melihat konsenstrasi bahasan tasawuf di atas, jelas sekali bahwa tasawuf bagian dari Islam.

Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat mungkin dengan Allah.
Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga
sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu :

8
1) Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi
mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian
hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran
moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.
2) Tasawuf yang bertujuan ma‟rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode
-al- Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat
ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistimatis analitis.

Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan


pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara
Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat
dengan Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu;
dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti
berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan
dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah
menolong antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan. Dari uraian singkat
tentang tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman tujuan itu. Namun dapat dirumuskan
bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya
secara bersamaan, yaitu: penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, karena
Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini penanggalan secara total semua
keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan
kehidupan duniawi (teresterial) yang diistilahkan sebagai fana‟ al- ma‟asi dan baqa‟ al-
ta‟ah; dan peniadan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan
terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka
mathlūbīy.7

7
Maulina Ana, Tasawuf (Esensi, Asal-Usul Kata Atsawuf, Dan Berbagai Pendapat Tentang Muncul
DanBerkembangnyaTasawuf),
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://anamaulina.files.wordpress.com/2017/
05/aaa.pdf&ved=2ahUKEwjdzrbj1MPoAhWETX0KHQmcCpEQFjAAegQIAxAB&usg=AOvVaw3-
CDRHfOcEWcy6NEJRFo4v&cshid=1585621694870, diakses 30 Maret 2020, Pukul: 19.25 WIB.

9
Tujuan mempelajari Tasawuf
Pada dasarnya hakikat Tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Melalui penyucian diri dan perbuatan-perbuatan (amaliyah) Islam. Oleh karena itu, beberapa
tujuan Tasawuf adalah Ma’rifatullah (mengenal Allah secara mutlak dan lebih jelas). Inti
sari ajaran Tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dengan Allah SWT.
Sehingga seseorang akan merasa berada di hadirat-Nya.

Tasawuf memliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqorrub kepada Allah
SWT. Namun, Tasawuf tidak boleh melanggar apa-apa ynag telah jelas diatur dalam Al-
Qur’an dan As-sunnah , baik dalam aqidah, pemahaman ataupun tata cara yang dilakukan,
Mustafa Zuhri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan
kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih,
bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan. Ada beberapa peran Tasawuf
dalam kehidupan modern, antara lain:

a) Menjadikan manusia berkepribadian yang saleh dan berakhlak baik

b) Lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT

c) Sebagai obat mengatasi krisis kerohanian manusia (dekadensi moral)

Manfaat mempelajari Tasawuf


Faedah Tasawuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada Ma’rifat Allah SWT.
Sebagai Ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan diakhirat dan mendapatkan keridlaan
Allah SWT. Dan mendapat kebahagiaan abadi . Dengan adanya bantuan Tasawuf , maka
ilmu pengetahuan satu dengan yang lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada dalam
satu jalan dan satu tujuan . Juga Untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari
denganTuhan, sehingga seseorang merasa berada di hadirat-Nya.8

8
Rofi’ah Siti, Definisi, Objek Diskusi, Tujuan dan Manfaat Mempelajari Tasawuf,
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://blog.unnes.ac.id/sitirofiah/2015/11/19/
definisi-objek-pembahasan-tujuan-dan-manfaat-mempelajari-
tasawuf/&ved=2ahUKEwiQ5KPa0sPoAhUIcCsKHQJfAFQQFjAKegQIAhAB&usg=AOvVaw25tvU80cVfp0bbGOZ
eOEji, diakses 29 Maret 2020, Pukul: 10.09 WIB.

10
II.4 Kemunculan dan perkembangan Tasawuf
Dunia Barat melabeli tasawuf dengan label sufisme, julukan ini khusus untuk mistik
Islam. Di dunia Islam tasawuf termasuk salah satu disiplin ilmu. Disiplin ini telah mendapat
perhatian peneliti, baik dari Barat, Timur, muslim maupun non muslim. Adapun keabsahan
kehadiran tasawuf sebagai satu bidang studi ilmu masih diragukan, apalagi di dalam al
Qu’ran dan al Hadits tidak pernah menyinggung kata ini. Al Qusyairi sendiri sebagai penulis
kitab tasawuf klasik tidak pernah menyebut bahwa Hasan Basri adalah seorang Sufi. Objek
tasawuf adalah Tuhan karena yang dibicarakan, dituntut dan dicari adalah Tuhan. Metode
tasawuf adalah mujahadah dengan bersarana hati, sedangkan tujuannya adalah ingin berada
sedekat mungkin dengan Tuhan. Menurut para sufi, Tuhan adalah zat yang bersih dan suci,
sedangkan manusia penuh dengan noda dan kotor. Kotor dalam perspektif tasawuf adalah
dosa, manusia penuh dengan dosa mustahil dapat dekat dengan Tuhan. Seperti yang
dituturkan dalam Q.S. Al Baqarah: (2. 222) Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang taubat dan orang orang yang mensucikan diri. Agar dekat dengan Tuhan, bersihkanlah
jiwamu dari segala dosa, cara pembersihannya haruslah ditempuh melalui mujahadah, yaitu
melawan hawa nafsu, egois, dan sebagainya. Tasawuf cukup sulit untuk didefinisikan dan
dirumuskan karena memiliki masalah yang cukup kompleks. Bila dilihat dari segi asal kata
saja, sudah timbul berbagai macam pendapat. Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut
berasal dari suffah,suffu,safa sophos dan suf. Suffah yaitu sebuah serambi dalam mesjid
Nabawi di Madinah, tempat berkumpul sekelompok sahabat nabi yang mengkhususkan
dirinya untuk beribadah dan berjihad di jalan Allah, (suffu), barisan depan dalam beribadah
kepada Allah. Safa yaitu bersih, suci dan bening, yaitu dari kekotoran jiwa, dan Suf, bulu
domba, kain kasar yang dipakai para sufi untuk menunjukkan kesederhanaan dalam hidup.

Nikholson salah seorang sarjana Barat telah menghabiskan waktu yang cukup lama
dalam menyelidiki tasawuf. Telah mengumpulkan puluhan definisi yang diungkapkan para
tokoh sufi yang pada akhirnya berpendapat bahwa tasawuf tidak dapat didefinisikan.
Tasawuf merupakan ekspresi pengalaman rohani, ungkapan-ungkapan mereka berbeda
sesuai dengan budaya dan intelektual yang dimiliki Ahmad Amin dalam bukunya Zhuhru al
Islam mengatakan, tasawuf adalah suatu kecendrungan, dia bukanlah sebuah sekte seperti
Syi’ah, Muktazilah, dan Ahlu Sunnah, bahkan seorang Nasrani, Yahudi, Hindu dan Budha,
juga bisa sebagai seorang pencinta tasawuf. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan
bahwa tasawuf bukanlah sebuah sekte atau aliran tetapi dia merupakan jalan mensucikan
diri dalam menuju Tuhan.

11
Dari filsafat Yunani dialihkan konsep Pythagoras menyebutkan ruh manusia bersifat
kekal, dan berada dalam badan sebagai penjara baginya, kesenangan ruh di alam Samawi
untuk kembali kepadanya harus melepaskan diri dari alam materi dengan hidup zuhud dan
berkontemplasi. Teori emanasi diambil dari filsafat Neo Platonisme yang dilakukan secara
bertahap. Diambil dari India (Hindu, Budha) seperti metode beribadah yang memakai tasbih.
Konsep Fana dan Baqa mirip dengan konsep nirwana dalam agama Budha. Pernyataan di
atas berasal dari orientalis dengan menggunakan pendekatan historis, mencari asal-usul
sesuatu. Ahmad Amin meragukan pendapat tersebut. Menurutnya tasawuf berangkat dari
Islam, meskipun ada kontak dengan agama dan budaya lain namun perkembangan tasawuf
berada dalam wataknya sendiri.9

Dari data historis di atas, dapat disimpulkan bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang
baru dalam Islam. Dasar ajaran tasawuf diserap dari sejarah dan peri kehidupan Rasulullah
dan para sahabatnya. Tasawuf tidak diserap dari dasar-dasar yang tidak ada hubungannya
dengan Islam, sebagaimana diklaim oleh orientalis dan murid-murid mereka. Mereka
menciptakan nama-nama baru yang menyamakan tasawuf dengan kebiksuan dalam ajaran
Budha, kependetaan dalam ajaran Kristen, atau kerahiban dalam ajaran hindu. mereka
mengatakan bahwa ada tasawuf Budha, tasawuf Hindu, tasawuf Kristen, tasawuf Persia, dan
lain sebagainya. Tujuan yang hendak mereka capai, selain untuk menyamarkan nama
tasawuf, juga menuduh bahwa asal mula perkembangan tasawuf adalah dari sumber-sumber
kuno dan aliran-aliran sesat ini.10

Teknologi dan globalisasi disamping membawa manfaat kepada manusia juga


mendatangkan bahaya. Teknologi dan globalisasi adalah produk Barat yang di dalamnya
terselubung konsep pemisahan diri dengan moral. Konsep mereka berangkat dari ketidak
percayaan kepada transendental dan alam ghaib, sehingga peradabannya bermuara kepada
pemujaan materi, sekuler. Kesuksesan dan keberhasilan diukur dari nilai materi, sehingga
manusia mulai menjauhkan diri dari yang dianggap tidak rasional, tetapi kemudian mereka
terjatuh pada pemujaan terhadap akal, terjauh dari agama dan Tuhannya. Padahal pemujaan
terhadap akal tidak akan membawa kepada ketenangan dalam hidup, ibarat gelas kosong
bagi seorang sedang haus dan dahaga, yang tidak memuaskan kehausannya.

9
Farida Meutia, “Perkembangan Pemikiran Tasawuf dan Implementasinya di Era Modern”, Jurnal
Substantia, Vol.13, No.1, April 2011, IAIN Ar-Raniry Aceh, Hlm.106.
10
Isa Abdul Qadir, Hakekat Tasawuf, Jakarta: Qisthi Press, 2005, Hlm.12.

12
Kehidupan di era ini lebih terarah kepada individualistis, nafsi-nafsi, karena yang
mereka kejar materi, mereka terlalu mendewa-dewakan materi dan kesenangan sesaat,
karena menurut anggapan mereka materi adalah simbol keberhasilan, bermartabat dan
kehidupan yang bergengsi, dengan itu semua kehidupan orang modern lebih leluasa, karena
kehidupan yang dituju hanya satu yaitu kehidupan dunia, sementara agama mereka lupakan.
Baik hubungan dengan Allah (vertikal) dan hubungan dengan sesama manusia (horizontal)
tidak berjalan dengan semestinya, karena manusia tidak lagi mempercayai alam ghaib, yaitu
apa dibalik materi. Padahal pada diri manusia terdapat dua komponen yang pertama fisik,
raga dan yang kedua jiwa, ruh, spiritual. Kalau yang pertama fisik telah kita beri makan dan
pakaian, tetapi pada komponen yang kedua tidak diperdulikan eksistensinya. Sehingga
meranalah jiwa, karena tidak diberi kebutuhannya. Hal inilah yang membawa kepada
kegersangan spiritual. Islam memiliki anjuran dan kepercayaan kepada adanya tanggung
jawab yang mutlak bersifat pribadi di hadapan Tuhan pada hari akhir, seperti dicontohkan
oleh Umar ibn Khattab merupakan tantangan bermoral bagi manusia di dunia ini,11 umat
Islam sebagai ummatan wasathan (umat moderat) (Q S 2: 143), yang mengemban tugas
sebagai syuhada yakni rujukan kebenaran dan standar kebaikan bagi umat manusia. Dalam
pencermatan beberapa kitab Tafsir, pengertian wasathan mempunyai lebih dari satu konotasi
yang pertama maknanya “tawasuth” yaitu umat moderat, yang kedua “tawazun” yaitu
seimbang (balance), ketiga bermakna “khaira” yang terbaik dan alternatif.

Abad ke XX sebagai “jurnalisme” yang menemukan momentum kebangkitan Islam


tetapi justru sebaliknya, dengan didukung oleh mesin cetak dan mesin elektronik,
ketrampilan jurnalistik telah berubah menjadi industri raksasa yang mampu mengubah
aktivitas manusia, baik pola pikir dan pola hidupnya. Perubahan yang diharapkan
kecenderungan global spiritual karena berbagai pengetahuan dan teknologi ternyata
menggiring manusia ke berbagai krisis kemanusiaan yang menyengsarakan.

Sayyed Husein Nasser memberi gambaran kenyataan bahwa masyarakat modern


dewasa ini berada pada nestapa kehancuran moral dan spiritualitas, disebabkan oleh
modernisasi serta temuan teknologi canggih (sains). Kenestapaan masyarakat modern tidak
mau dan tidak mampu menerima nilai-nilai moral yang ditawarkan oleh ajaran agama. Oleh
karena itulah, mengapa ada konspirasi universal pada akhir abad ini yang menekankan
perlunya memberi tempat pada mistik dan spiritualitas dalam kehidupan sosial manusia

11
Madjid Nurchoish, Khazanah Intelektual Muslim, Jakarta: Paramadina, 1994, Hlm.72-73.

13
untuk mengatasi krisiskrisis sosial dalam kehidupan, terutama dalam kehidupan masyarakat
Barat.

Berbagai krisis nilai dan spiritual telah begitu jauh melanda umat manusia, mulutnya
menawarkan perdamaian, tetapi otak dan tangannya terus mempersiapkan senjata
pemusnah, rasio mengalami kemajuan pesat, tapi hatinya berada pada posisi yang
mengkhawatirkan. Patut direnung pemetaan hati yang dilakukan oleh hujjatul Islam Imam
al Ghazali, beliau mengatakan, keakuan manusia sebagai potensi. Ia tidak liar dan tak perlu
dipasung, Bahkan sebaliknya ia butuh ruang bebas untuk berkreasi. Meskipun demikian ia
harus tetap dalam kendali. Ghazali menunjukkan hati menjadi sentral aktivitas keakuan
manusia. Artinya hati harus mampu secara baik berposisi sebagai panglima. Disaat ilmu
pengetahuan terhenyak atas kenyataan manusia, dunia tasawuf telah melangkah jauh. Ia
telah berkonsentrasi pada penataan hati. Para sufi pun tahu bahwa hati kunci kebaikan, hati
yang tertata hanya dapat diwujudkan dengan melakukan pelatihan (tajribah al ruhiyyah).

Al Qur’an telah menuturkan dalam surat al Waqi’ah: 13-15: Mereka itu orang yang
mendekatkan diri kepada Allah (Muqarrabun). Berada di dalam syurga kenikmatan.
Golongan ini banyak terdapat pada orang terdahulu. Sementara sedikit dari kalangan orang-
orang yang sekarang (modern). Sedangkan pada surat Ali Imran 122, yang artinya: Mereka
diliputi oleh kehinaan di mana saja berada, kecuali jika berpegang pada tali (agama) Allah
dan tali (hubungan) baik dengan manusia.12

Para dokter, psikiater di negara maju telah melakukan berbagai penelitian akan
manfaat pendekatan agama di bidang kesehatan, Larson (1990) dalam penelitiannya
“Religious Commitment and Health” memperoleh kesimpulan bahwa komitmen agama
pada diri seseorang mampu mencegah penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi
penyakit, mempercepat pemulihan penyakit. Selanjutnya pakar tersebut menyatakan bahwa
dalam memandu kompleksitas kehidupan kesehatan dan keterkaitannya, maka komitmen
agama sebagai sesuatu kekuatan, yang tidak boleh diabaikan. Organisasi Kesehatan Sedunia
(WHO) Pada tahun 1984 telah menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu
elemen lagi yaitu spiritual (agama), sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat

12
Op. Cit. Farida Meutia, Hlm.111.

14
adalah tidak hanya sehat dalam arti fisik, sosio, tetapi juga sehat dalam arti spiritual (agama),
(empat dimensi sehat: bio, psiko, sosio, spiritual).13

Kemajuan dalam teknologi mewujudkan kecendrungan memicu keinginan untuk


memenuhi materi yang merupakan ciri utama kehidupan manusia zaman modern. Ternyata
harus ditebus dengan ongkos yang mahal, yaitu hilangnya kesadaran akan makna hidup yang
lebih mendalam.20 Meskipun gaya hidup materialisme, bukan monopoli masyarakat
modern. Kitab suci al Qur’an banyak memperingatkan umat manusia antara lain melalui
penuturan kisah masa lampau seperti bahaya hidup yang terlalu mementingkan kebendaan.
Kisah tentang Qarun misalnya dimaksudkan untuk menyampaikan pesan-pesan moral
tentang kemungkinan merosotnya harkat dan martabat kemanusiaan gaya hidup serba
kebendaan itu, dengan sikap angkuh dan tidak perduli kepada orang yang kurang
beruntung.21 Berdasarkan pendapat di atas kesadaran spiritual sangat penting bagi manusia
bukan hanya yang hidup di era modern, tetapi seluruh manusia yang hidup di semua masa
dan zaman, di semua situasi dan kondisi, kapan saja dan di mana saja. Tasawuf merupakan
sarana untuk meningkatkan spiritual yang pemunculan dalam kontrol syariah. Karena
tasawuf mampu menangkal sekular dan material.

Manusia modern telah kehilangan makna dan tujuan hidupnya. Sementara alam juga
diperkosa, hutan juga digunduli, sungai-sungai, pelabuhan dan pantaipantai dikotori,
pemandanganpun menjadi buruk. Masyarakat dirusak oleh persaingan yang kejam. Banyak
perpecahan dalam keluarga, tradisi, bahkan iman. Manusia diasingkan dari lingkungannya,
dari masyarakatnya dan dari dirinya sendiri. Terjadi kehilangan harmoni, baik dalam
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan alam, bahkan dengan Tuhan.

Dari uraian-uraian di atas implementasi tasawuf di era modern sangat dibutuhkan


dengan mengakui transformasi pemahaman tasawuf, bukan hanya maqamat dan ahwal,
tetapi memodifikasi tasawuf, sedemikian rupa sehingga menjadi dinamis dan terbuka
sehingga dapat dan mudah dicerna oleh manusia modern dengan kecerdasan spiritual, karena
kecerdasan spiritual adalah jalan tol menuju tasawuf yang merupakan penjelajahan dari
spiritual untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.14

13
Hawari Dadang, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Jakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 1997, Hlm.13-14.
14
Op. Cit. Farida Meutia, Hlm.112.

15
Emile Dergmenghem sebagai seorang yang mendalami ajaran-ajaran tasawuf,
melihat di dalam Islam unsur-unsur keterbukaan, yang tinggal terserah pada penganutnya
untuk mengembangkannya. Dengan penuh harapan menghimbau kepada pemeluk Islam,
untuk menyediakan suatu tasawuf yang yang dinamis dan terbuka. Umat Islam sebagai umat
pertengahan (moderat) dan umat pilihan, sebagaimana dikatakan al Qur’an Islam
mempunyai peran di Timur dan di Barat. Jika ajaran agama masih menjadi segi-segi statis
dan tertutup, diperlukan menjadi agama yang terbuka. Untuk memberi kontribusi kepada
manusia masa mendatang, perlu menemukan dimensi Islam yang dulu pernah agung dan
jaya.15Garaudi memaknai Islam sebagai agama terbuka antara lain adalah memahami dan
mengembangkan dimensi kerohanian dan kecintaan Ilahi sebagaimana yang dikembangkan
kaum sufi seperti zhu al Nun dan Ibnu Arabi, untuk melawan paham agama formalistik-
ritualistik serta literalistik kosong, agar dihayati makna shalat sebagai penyatuan diri dengan
Allah, zakat sebagai penyatuan diri dengan kemanusiaan, haji sebagai penyatuam diri
dengan seluruh umat, dan puasa sebagai sarana ingat kepada Allah dan orang kelaparan
sekaligus.16

Besar harapan dengan jurus-jurus tasawuf yang jitu dan terbuka di era modern akan
mampu mengimbangi dan mengatasi berbagai problema modern. Allah telah mengutus di
zaman modern rasulnya yang terakhir, Muhammad Saw dengan perlengkapan sistem yang
terpadu dan paling sempurna, karena umatnya mendapat kehormatan sebagai wasit atau
moderator bagi pertandingan atau persaingan hidup di zaman modern.17

Semua orang harus berusaha menjadi insan kamil, dengan menumbuhkembangkan


ihsan di hatinya. Karena manusia selalu dalam tilikan (intaian) Allah, Rasul mendapat pesan
dari Jibril agar selalu berlaku ihsan “ ...Anta’budullah ka annaka tarahu, fa in lam tarahu fa
innahu yaraka”. Al ihsan memperjelas wama khalaqtu jinni wal insi illa liya„buduni ( Q.S
al Dhuriat:56). Dengan demikian, suatu peribadatan yang dibangun oleh al iman dan al Islam
belumlah bisa dikatakan sempuna sebelum pelakunya bisa menghadirkan Allah dalam setiap
denyut kehidupan.

15
Madjid Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995, Hlm.156.
16
Ibid, Hlm. 157.
17
Imaduddin Abdul Rahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta: Gema Insani, 2002, Hlm.137.

16
II.6 Perkembangan Studi Tasawuf di Barat
Agama Islam hadir di Barat dan dalam sebagai akibat dari adanya imigrasi, politik,
dan juga beberapa konflik. Arus utama di dunia Islam kontemporer agaknya lebih condong
kepada hal yang bersifat politis, bahkan banyak juga gerakan Islam di Barat yang bahkan
lebih politis dan radikal daripada berkutat di ajaran dunia Islam sebenarnya, beberapa juga
lebih aktif di Komunis atau bahkan dalam lingkaran yang lebih radikal. Maka tidak heran
jika arus islam kontemporer tidak begitu menarik bagi kebanyakan orang Barat. Mereka
justru lebih tertarik dengan tradisi spiritual dan mistis Islam kuno , yang biasa disebut
dengan Sufisme. Sufisme awalnya mencapai Barat dengan dua cara: melalui teks yang
diterjemahkan dan melalui Sufi yang sebenarnya. Dari dua cara penularan ini, teks
terjemahan adalah yang paling awal, namun cara ini tidak dengan sendirinya bisa
menghasilkan tasawuf aktual, hanya menghasilkan kesadaran akan keberadaannya. Lalu
kemudian, pada awal abad kedua puluh muncul lah para Sufi yang sebenarnya di Barat.

Namun dinilai berdasarkan perspektif dunia Islam, para Sufi Barat pertama ini
memiliki keadaan, kebiasaan atau ciri-ciri yang sangat tidak biasa dari orang-orang lain 18 ,
dan hal inilah yang menimbulkan kesalahpahaman di Barat tentang sifat asli tasawuf. Sufi
Barat pertama adalah Isabelle Eberhardt, seorang penjelajah wanita pemberani Aljazair
pada pergantian abad kedua puluh yang menuliskan kisah romantis dan sangat populer
tentang gurun untuk surat kabar Prancis. Eberhardt telah tumbuh dalam kalangan yang
sebagian besar merupakan anarkis di Swiss. Ia pun telah banyak melakuakn pertentangan
serta banyak konvensi pada masanya. Dia suka mengenakan pakaian pria, merokok dengan
menggunakan ganja, dan juga memiliki banyak kekasih. Namun dengan keadaan seperti ini
dia menggambarkan dirinya sebagai seorang Sufi. Sehingga memberikan gagasan yang
agak aneh tentang apa itu sufi dan sufisme.

Kemudian ada seorang musisi India, Inayat Khan yang tiba di Eropa melalui
Amerika beberapa tahun setelah kematian Eberhardt pada awal Perang Dunia Pertama. Khan
juga merupakan sufi pertama yang mendirikan pengikut signifikan di Barat yang juga tidak
biasa. Khan mempropagandakan pandangan tasawuf sebagai "esensi murni dari semua
agama dan filsafat," esensi di mana Islam hampir bersifat insidental. Sejumlah organisasi
di Eropa dan Amerika melanjutkan ajarannya hingga hari ini, dan digambarkan sebagai
cabang-cabang Gerakan Agama Baru.

18
Mark sedgwick. Western sufism and traditionalism : Abbasids to the new age. 2003

17
Pandangan serupa tentang Sufisme juga menyebar luas di Barat sebagai hasil dari
tulisan-tulisan Idries Shah, seorang Inggris yang berasal dari India. Pada tahun 1964 Shah
menerbitkan sebuah buku yang sangat sukses dan populer yang berjudul The Sufis. Shah
menarik banyak pengikut di Inggris, meskipun visi Shah tentang Sufisme agak lebih Islami
daripada Eberhardt dan Khan, tapi tetap saja itu masih hampir sama sekali tidak dapat
dikenali oleh setiap Sufi Muslim di dunia Islam.

Kemudian seorang yang datang sangat dekat dengan yang dianggap sebagai Sufisme
"nyata" muncul di Eropa sesaat sebelum Perang Dunia Kedua, dari tatanan sufi Aljazair
yang terkenal yaitu Alawiyya. Nama Alawiyyah menyebar ke negara Prancis, Inggris dan
juga Amerika. Ia juga menarik banyak sekali penulis berpengaruh, akademisi, dan
intelektual lainnya. Tetapi ia hampir tidak dikenal karena tetap merahasiakan
keberadaannya yang dimana hal ini sendiri merupakan salah satu bentuk penyimpangan dari
norma-norma dunia Islam.

Setelah keempat tokoh ini, muncul lah banyak sekali tokoh sufisme beserta
pemikirannya. Beberapa akan kami ulas di makalah ini. Yaitu ada Tradisionalisme
Guenonian yang dimana menjadi salah satu pengaruh utama dalam tasawuf barat, yang
pemikirannya berasal dari Rene Guenon seorang filsuf asal Prancis. Pada saat itu ia bekerja
di salah satu Institut Katolik di Paris, namun memilih pindah ke Kairo. Pusat
Tradisionalisme Guénon adalah perbedaan antara esoteris dan eksoteris. Eksoteris tidak
hanya terdiri dari hal-hal profan atau yang menyangkut tentang segala hal yang ada di dunia
ini, tetapi juga ritus-ritus reguler ibadah-gereja, doa bersama di masjid-masjid, dan
persyaratan serta larangan hukum suci. Sedangkan Esoterik adalah apa yang ada dalam
semua ini - hubungan manusiawi individu dengan Tuhan dan semua yang menyertainya,
baik dalam hal kemungkinan maupun teknik. Eksoteris berada dalam jangkauan semua
orang, namun tidak dengan esoteris. Menurutnya Islam adalah kerangka eksoteris, dan
Sufisme adalah jalan esoteris. Guénon menetapkan filosofi Tradisionalisme dan mengawasi
ekspresi praktis awalnya, tetapi dia sendiri tidak memimpin gerakan keagamaan apa pun,
baik eksoteris atau esoteris.

Berbeda lagi dengan frithjof schuon, yang dimana pendekatan Tradisionalis Schuon
menyebabkan pengikutnya menjadi semakin tidak Islami ketika setelah bertahun-tahun
berlalu, terutama setelah kematian Guénon. Dalam istilah Guénon, banyak pengikut Schuon
berkonsentrasi pada esoterik dengan cara yang membuat mereka terlalu jauh dari kerangka

18
eksoteris yang diperlukan. Tradisionalisme Schuon yang semakin kebelakang bukanlah
menjadi sebuah sufisme atau Islam19. kemudian, lebih dari setengah abad pertama
keberadaannya, memuncul lah perintah sufi lainnya yang lebih Islami. Yang dimana
beberapa perintah ini dipimpin oleh orang-orang yang secara resmi memisahkan diri dari
Schuon karena apa yang mereka lihat sebagai penyimpangan dari Islam yang benar.
beberapa secara formal tetap menjadi pengikut Schuon, tetapi menjauhkan diri dari
pandangan dan praktik yang kurang Islami. Kedua jenis tatanan sufi yang berasal dari
Schuon ini hadir dalam beberapa negara-negara Eropa, di Amerika Utara dan Selatan, dan
juga di bagian dunia Islam.

Buku-buku Guénon dan Schuon dibaca dan juga diapresiasi di Prancis, Italia, dan
Spanyol, dan juga di Hongaria, tetapi sedikit diketahui di Jerman atau Skandinavia. Tidak
ada kelompok Denmark ,Tradisionalis Norwegia yang diketahui. Kemudian di Swedia
terdapat salah satu rekan sufi Guénon , yaitu seorang pelukis Swedia Ivan Aguéli. Ia dikenal
dengan nama ‘Abd al-Hadi Aqhili setelah masuk Islam pada tahun 1895 di Mesir, dengan
nama kecil John Gustaf Agilii. Ia menjadi terkenal dan masyhur setelah penerbitan semi-
fiksi Torbjorn Säfve tentang kehidupan Aguéli (Ivan Aguéli: En roman om frihet) pada
tahun 1981.

Kemudian yang terakhir yaitu syekh dari cabang Islam paling penting dari ordo
Maryamiyya Sufi, adalah Seyyed Hossein Nasr yang diamana ia merupakan seorang
profesor studi Islam terkemuka di Amerika, dan juga sebagai filsuf yang lahir di Iran. Ia
diperkenalkan pada karya Guénon oleh seorang filsuf di Massachusetts Institute of
Technology. Nasr juga mendirikan Akademi Filsafat Kekaisaran Iran, yang merupakan
sebuah sekolah studi lanjutan tradisionalis yang terkenal di ranah internasional. Yang
dimana akhirnya ia dapat berhubungan baik dengan pengadilan, yang juga memiliki
konsekuensi dipandang sebagai musuh revolusi, sampai akhirnya ia diasingkan. Di
pengasingan yang berlokasi di Amerika (setelah revolusi ), Nasr terus menulis dan terus
memperkenalkan Tradisionalisme ke dalam wacana intelektual progresif Turki dan
Malaysia sehingga bukunya kembali menjadi populer di Iran. Sejak 1990-an,
Tradisionalisme datang lagi untuk memainkan bagian dalam debat publik Iran. Nasr

19
Vol. 12, No. 2, September 2014. Abdullah Muslich Rizal Maulana

19
kemudian menjadi sarana yang dengannya pemahaman Barat tentang Sufisme dan Islam
20
mencapai dunia Islam yang sesungguhnya.

Namun perliu diketahui, bahwasannya ulama sufi barat juga banyak yang berasal
dari kalangan islam sendiri, contoh Ibn Sab’in (abad ke-13), yang menghabiskan sebagian
besar hidupnya di Ceuta, Spanyol di bagian utara Maroko. Sebagai seorang filosof dan
logikawan, ia dikenal karena pernah menjawab Sicilian Questions-nya Frederic II dari
Hohenstaufen, kaisar Jerman dan raja Sicilia, yang merupakan mangsa bagi persoalan
metafisis dan pencarian solusi dalam pemikiran Islam. Akan tetapi, Ibn Sab’in juga
seorang Sufi dan guru ruhani penting, bahkan lebih berani daripada Ibn ‘Arabi mengenai
doktrin Sufi wahdat al-wujud, yang ia sebut “Kesatuan Mutlak” (al-wahdah al-
mutlaqah). Kemudian ada juga sufi lainnya seperti Hallaj, Ghazali, atau Suhrawardi yang
telah tujukan pada mistisisme Yahudi Abad Pertengahan. Para pemuka ruhani Yahudi,
Spanyol juga Mesir-Suriah menerbitkan dan dan menerjemahkan risalah-risalah Sufi
yang autentik yang ditulis dalam bahasa Yahudi-Arab, mengubah praktik Islam atas zikir
(penyebutan Nama-nama Tuhan), atau mengadopsi doktrin-doktrin Sufi seperti Manusia
Sempurna (al-insan al-kamil)

20
Aqlania, Vol. 08. No. 02 (Juli-Desember) 2017

20
Bab III

Penutup

III.1 Kesimpulan
Tasawuf kata tasawuf atau sufi diambil dari kata shaff, yang berarti saf atau baris.
Ada juga yang mengatakan berasal dari kata shafa yang berarti bersih. Karena hatinya selalu
dihadapkan ke hadirat Allah Swt. Tasawuf adalah ilmu yang membahas cara-cara seseorang
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam.
Dasar ajaran tasawuf diserap dari sejarah dan peri kehidupan Rasulullah dan para
sahabatnya. Tasawuf tidak diserap dari dasar-dasar yang tidak ada hubungannya dengan
Islam, sebagaimana diklaim oleh kaum orientalis.

Implementasi tasawuf di era modern sangat dibutuhkan dengan mengakui


transformasi pemahaman tasawuf, bukan hanya maqamat dan ahwal, tetapi memodifikasi
tasawuf, sedemikian rupa sehingga menjadi dinamis dan terbuka sehingga dapat dan mudah
dicerna oleh manusia modern dengan kecerdasan spiritual, karena kecerdasan spiritual
adalah jalan tol menuju tasawuf yang merupakan penjelajahan dari spiritual untuk
mendekatkan diri dengan Tuhan.

Dengan mengaplikasikan ajaran tasawuf, umat manusia dapat mencapai kebahagiaan


dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini dapat tercapai dengan maksimal tanpa harus
meninggalkan atau mematikan yang satu untuk mendapatkan yang lain. Tetapi dapat dicapai
secara selaras dan seimbang dengan mengaplikasikan dan membumikan ajaran tasawuf
dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.

21
Daftar Pustaka
Ni’am Syamsun, Tasawuf Studies, Yogyakarta: Ar-Rruzz Media, 2014, hlm. 24.
Dacholfany M. Ihsan, “Pendidikan Tasawuf Di Pondok Modern Darussalam Gontor “,
Jurnal Nizham, Vol. 4, No. 2 Juli - Desember 2015, Universitas Muhammadiyah
Metro (UMM) Lampung.
Hafiun Muhammad, “Teori Asal Usul Tasawuf”, Jurnal Dakwah, Vol. XIII, No. 2 Tahun
2012..
Rif’an Ali, Sejarah Dan Perkembangan Tasawuf Dalam Tradisi Islam,
File:///C:/Users/HP/SEJARAH_PERKEMBANGAN_TASAWUF_DALAM_PEM
IK.Pdf, diakses 29 Maret 2020.

Maulina Ana, Tasawuf (Esensi, Asal-Usul Kata Atsawuf, Dan Berbagai Pendapat Tentang
Muncul DanBerkembangnyaTasawuf),
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://anamaulina.files
.wordpress.com/2017/05/aaa.pdf&ved=2ahUKEwjdzrbj1MPoAhWETX0KHQmcC
pEQFjAAegQIAxAB&usg=AOvVaw3-
CDRHfOcEWcy6NEJRFo4v&cshid=1585621694870, diakses 30 Maret 2020.

Rofi’ah Siti, Definisi, Objek Diskusi, Tujuan dan Manfaat Mempelajari Tasawuf,
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://blog.unnes.ac.id/si
tirofiah/2015/11/19/definisi-objek-pembahasan-tujuan-dan-manfaat-mempelajari-
tasawuf/&ved=2ahUKEwiQ5KPa0sPoAhUIcCsKHQJfAFQQFjAKegQIAhAB&usg
=AOvVaw25tvU80cVfp0bbGOZeOEji, diakses 29 Maret 2020.

Farida Meutia, “Perkembangan Pemikiran Tasawuf dan Implementasinya di Era Modern”,


Jurnal Substantia, Vol.13, No.1, April 2011, IAIN Ar-Raniry Aceh.
Isa Abdul Qadir, Hakekat Tasawuf, Jakarta: Qisthi Press, 2005.

Madjid Nurchoish, Khazanah Intelektual Muslim, Jakarta: Paramadina, 1994.

Hawari Dadang, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Jakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1997, Hlm.13-14.

Madjid Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995.

Imaduddin Abdul Rahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta: Gema Insani, 2002.

22
Mark sedgwick. Western sufism and traditionalism : Abbasids to the new age. 2003. Vol.
12, No. 2, September 2014. Abdullah Muslich Rizal Maulana Aqlania, Vol. 08. No.
02 (Juli-Desember) 2017.

23

Anda mungkin juga menyukai