Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SALAF (IBNU HAMBAL DAN IBNU TAIMIYAH)

Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah: Ilmu Kalam

Dosen Pengampu:

Ulya Himmatin, M. Pd. I

Disusun oleh:

1. Ahmad Amirul Mustofa (2021143200040)


2. Syilvi Zahrotul Mufidah (2021143200048)
3. Hafidotul Hanifah (2021143200031)

PROGAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ATTANWIR
TALUN SUMBERREJO BOJONEGORO
2022

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
hidayahNya, kami dapat menyusun makalah ini. Sholawat dan salam juga tak lupa
senantiasa kami curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ilmu Kalam, serta untuk lebih memahami tentang “Salaf (Ibnu
Hambal dan Ibnu Taimiyah” bagi para pembaca maupun penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ulya Himmatin, M. Pd. Selaku
dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk


kesempurnaan makalah ini, dan berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua, amin.

Bojonegoro, 25 Juni 2022

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan ................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................

A. Pengertian Salaf ....................................................................................... 3


B. Pemikiran Teologi Ibnu Hambal ............................................................. 5
C. Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah ........................................................... 8

BAB III PENUTUP...................................................................................... 12

A. Kesimpulan .............................................................................................. 12
B. Kritik dan Saran ....................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memahami makna salaf dalam konteks saat ini telah melahirkan banyak
perdebatan di kalangan para sarjana muslim menyangkut penggunaan kata itu
sendiri. Secara keseluruhan, umat Islam mengklaim bahwa as-salaf as-salih
sebagai dasar keagamaan mereka. Namun secara historis ada perbedaan yang
sangat tajam antara para pemikir reformis akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20, seperti antara Jamal al-Din al-Afgani (1838-1989) dan Muhammad Abduh
(1849-1905) yang dikenal luas sebagai gerakan salafiyyah, dan intelektual-
aktivis radikal yang lahir pada masa berikutnya seperti Sayyid Qutb yang
dilabelkan dengan istilah “neo-salafi” (“islamisme” dalam istilah Oliver Roy).
Tampaknya perbedaan bentuk dan pengungkapan salafi terjadi sebagai dampak
dari kondisi yang berubah-ubah sepanjang sejarah umat Islam itu sendiri.
Namun, sepanjang fase-fasenya yang berbeda tersebut, gerakan salafi tetap
merupakan gerakan reformasi dan pembaharuan.1
Pertanyaan yang muncul kemudian dan menjadi masalah yang
kontroversial adalah siapakah yang dianggap generasi salaf. Sebagian besar
ulama sepakat bahwa salaf terdiri atas tiga generasi pertama yang terbentang dari
tiga abad dan mencakup para sahabat Nabi yang berakhir pada Anas bin Malik
(w. 91 H./ 710 M), at-Tabi’in (180 H.796 M.), Tabi’ al-Tabi’in (241 H./855 M.)
dengan Ahmad bin Hanbal sebagai orang terakhir dari generasi salaf (Shahin,
1995: 104). Definisi kronologis salaf tidak cukup untuk menjelaskan istilah ini
sepenuhnya. Salaf tidak terbatas pada atau era tertentu. Kaum muslim mengakui
para ulama yang menonjol setelah masa itu dan tokoh-tokoh independen sebagai
generasi salaf, termasuk Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), Ibn Taimiyah (w.
1328), Ibn Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin ‘Abd al-Wahab (w. 1792) dan
lainnya (Shahin, 1995: 104). Komponen ideologis salafiyah berubah seiring
waktu dalam menanggapi tantangan yang dihadapi umat Islam karena

1
Aden Rosadi, Gerakan Salaf, Jurnal Toleransi: Media Komunikasi Umat Bergama, Vol.7,
No.2 Juli-Desember 2015, Hal. 194

1
dedikasinya bagi reformasi dan kebangkitan terus ada. Bahkan di era modern
sekalipun sering dianggap konservatif, kalangan salafi menganggap dirinya
sebagai pembaharu. Salafisme digunakan untuk menggambarkan sebuah
organisasi yang sangat luas, mulai dari kelompok-kelompok yang teguh
berdakwah dan berpartipasi secara damai dalam pemilihan umum hingga
kelompok yang meyakini bahwa jihad dengan menggunakan kekerasan (violent
jihad) adalah satu-satunya jalan umat muslim untuk melindungi diri dan
memperoleh tujuan. Salafi meliputi gerakan yang berbeda-beda seperti gerakan
Wahabi, neo-revivalisme Ikhwan al-Muslimin Mesir, Jama’ah Islamiyah, dan
Jihad ekstrim al-Qaeda (Fealy, 2004: 107).2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang melatarbelakangi terbentuknya salaf?
2. Bagaimana teologi pemikiran Ibnu Hambal?
3. Bagaimana teologi pemikiran Ibnu Taimiyah?
C. Tujuan Penulisan
1. Pembaca dapat mengetahui terbentuknya salaf.
2. Pembaca dapat memahami pemikiran teologi Ibnu Hambal.
3. Pembaca dapat memahami pemikiran teologi Ibnu Taimiyah.
D. Manfaat Penulisan

Mampu menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang Salaf


(Ibnu Hambal dan Ibnu Taimiyah).

2
Ibid, hal. 195

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Salaf
Secara etimologis (kebahasaan), perkataan Arab “salaf”, secara harfiah
berarti “yang terdahulu” atau “yang lampau”. Dan pada umumnya term salaf,
terutama dalam terminologi Ilmu Kalam (Teologi Islam), bisanya diperhadapkan
dengan perkataan “khalaf, yang bermakna harfiah “yang belakangan”. Dalam
konteks tradisi Ilmu Kalam atau Teologi Islam, term salaf dan khalaf itu
dipergunakan dalam kaitannya dengan kategorisasi atas Ahl as-Sunnah, atau
yang biasa pula dipendekkan menjadi Sunni, sehingga dalam tradisi intelektual
Ilmu Kalam (Teologi Islam) dikenal adanya dua kategori Ahl as-Sunnah, yaitu:
Ahl as-Sunnah Salafiah (atau sering disebut kaum Salafiah) dan Ahl as-Sunnah
Khalafiah.3

Banyak beragam definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai


definisi salaf dan khalaf. Berikut akan dikemukakan beberapa di antaranya.
Menurut Thablawi Mahmud Sa'ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf
terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabii, tabi tabiin, para
pemuka abad ke-3 H, dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang tediri atas para
muhadditsin dan sebagainya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup
pada tiga abad pertama Islam. Menurut Asy-Syahrastani (474-548 H), ulama
salaf tidak menggunakan takwil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat)
dan tidak mempunyai paham tasybih (antropomorfisme). Mahmud Al-Bisybisyi
dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabiin, dan
tabiin yang dapat diketahui dari sikapnya menolak penafsiran yang mendalam
mengenal sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk
menyucikan dan mengagungkan-Nya.4

3
Abul Yazid Abu Zaid Al-‘Ajami, Akidah Islam Menurut Empat Madzhab, Terjemah
Faisal Saleh Dan Umar Mujtahid (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), hal. 129-156
4
Abdul Rozak Dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung: Pustaka Setia,
2016), hal. 133-134

3
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah ber kembang-
terutama- di Baghdad pada abad ke-13. Pada masa itu, terjadi gairah menggebu-
gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanball, Sebelum akhir abad itu,
terdapat sekolah-sekolah Hanbali di Jerussalem dan Damaskus. Di Damaskus
kaum Hanbali semakin kuat dengan ke datangan para pengungsi dari Irak yang
disebabkan serangan Mongol atas Irak. Di antara para pengungsi itu terdapat satu
keluarga dari Harran, yaitu keluarga Ibn Taimiah. Ibn Taimiah (1263-1328 M)
adalah seorang ulama besar penganut Imam Hanbali yang ketat. Berdasarkan
uraian Ibrahim Madzkur, karakteristik-karakteristik ulama salaf atau salafiyah
dapat dikemukakan sebagai berikut:5

1. Lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql).


2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan
cabang agama (furu' ad-din), hanya bertolak dari penjelasanpenjelasan Al-
Kitab dan As-Sunnah.
3. Mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) tidak pula
mempunyai paham antropomorfisme.
4. Memahami ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya, tidak.
berupaya untuk menakwilkannya.
Melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur di atas,/ tokoh-
tokoh berikut dapat dikategorikan sebagai ulama salaf. Tokoh yang dimaksud
adalah 'Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H), Umar bin Abd
Al-'Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H), Ja'far Ash-Shadiq (148 H), dan para imam
mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Imam Ahmad bin
Hanbal). Harun Nasution menganggap bahwa secara kronologis, salafiyah
bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu, ajarannya dikembangkan Imam
Ibn Taimiah, disuburkan oleh ImamMuhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya
berkembang di dunia Islam secara sporadis. Di Indonesia, gerakan ini
berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh gerakan-gerakan Persatuan Islam
(Persis), bahkan Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga
meng anggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhi

5
Ibid.

4
oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama
yang menyatakan mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan
pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).6
B. Pemikiran Teologi Ibnu Hambal
1. Riwayat Singkat Hidup Imam Ahmad Bin Hambal
Imam Ahmad bin Hambal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M,
dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah
seorang anaknya bernama Abdillah. Ia lebih dikenal dengan nama Imam
Hambali karena menjadi pendiri madzhab Hambali. Ibunya bernama
Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindur Asy-
Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hambal
bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas
bin Auf bin Qosit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’b bin
Ali bin Jadlah bin As’ad bin Rabi’al Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar
ini tampaknya Imam Ahmad bertemu dengan keluarga nenek moyangnya
nabi Muhammad SAW. Diantara murid-murid Imam Ahmad adalah Ibnu
Taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhori, Muslim, Abu Daud, Abu Zuhrah al-
Damsyiqi, Abu Zuhrah al-Razi, Ibnu Abi al-Dunya, Abu Bakar al-Asram,
Hambal bin Ishaq al-Syaibani, Shalih, dan Abdullah. Kedua nama yang
disebutkan terakhir merupakan putranya. Ilmu yang pertama beliau kuasai
adalah al-Quran sehingga beliau hafal pada usia 15 tahun. Lalu beliau mulai
berkonsentrasi belajar Ilmu Hadits pada awal usia 15 tahun pula. Pada usia
16 tahun ia memperluas wawasan ilmu al-Quran dan ilmu agama lainnya
kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di
Khufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan Madinah.7 Diantara guru-gurunya
ialah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid
bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, yahya bin Zaidah,
Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abdur Razaq bin
Humam dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya Ibnu Hanbal mempelajari

6
Ibid, hal. 135
7
Abdul Rozak Dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), Hal. 111

5
ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, ushul dan bahasa Arab.8 Ibnu Hambal dikenal
sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta dermawan.
Karena keteguhannya, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan
madzhab Mu’tazilah, Ibnu Hambal menjadi korban mihnah (inquisition).
Dalam sejarah Islam, mihnah dijalankan oleh pemerintahan Al-Ma’mun
untuk menguji keyakinan para ulama Hadits mengenai hakikat Al-Qur’an,
apakah diciptakan (makhluk), atau bukan. Menurut Watt, mihnah adalah
kebijakan politis yang muncul dari ketegangan antara blok-blok otokratik dan
konstitusionalis. Yang dimaksud dua kelompok yang bertetangan itu adalah
tokoh-tokoh ortodoksi yang menyatakan keqadiman Al-Qur’an dan
kelompok Mu’tazilah-dengan dukungan khalifah yang berkuasa- yang
menyatakan terciptanya Al-Qur’an. Namun, Watt keliru karena hanya
melihat kasus mihnah dari sisi politik saja. satu penilaian yang
mendiskreditkan Mu’tazilah tanpa melihat sisi lain yang lebih penting, yaitu
dorongan misi suci untuk melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar
karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya pada
masa pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq, ia harus
mendekam dipenjara. Namun setelah Al-Mutawakkil naik tahta, Ibnu hambal
memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan.9
2. Pemikiran Teologi Imam Ahmad bin Hambal
a. Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Imam Ahmad bin Hambal
lebih menyukai pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan takwil,
terutama yang berkaitan dengan sifat-saifat Tuhan dan ayat-ayat
mutasyabihat. Hal itu terbukti ketika ia Ditanya tentang penafsiran surat
Thaha ayat 5 berikut ini:

‫عل َى ْال َع ْرش ِ ا ْست ََوى‬


َ ‫الر ْح َم ُن‬
َّ

8
Hafiz Dasuki, Ichtiar Baru Van Hoeve, (Jakarta: Ensiklopedi Islam, Jilid.V Cet. 1, 1993),
hal. 82
9
Watt W. Montgomerry, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Terj. Hartono Hadi Kusumo, 1990), hal. 61-62

6
Artinya: yaitu yang Maha Pengasih Yang Bersemayam di atas Arsy (QS.
Thaha: 5)

Dalam hal ini, Ibnu Hambal menjawab:

‫ف‬
ٌ ‫اص‬ َ ‫عل َى ْال َع ْرش ِ َكی‬
ِ َ‫ْف شَآ َء َو َك َما شَآ َء ب ِالَ َح ٍدٍّ َوال‬
ِ ‫صفَ ٍة یُ ْب ِلغُ َھا َو‬ َ ‫إ ِ ْست ََوى‬

Artinya: Istiwa di atas Arsy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia
Kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup
menyifatinya.

Dalam hal ini Ibn Hambal menjawab “Bersemayam diatas Arsy


terserah pada Allah dan bagaimana saja dia kehendaki dengan tiada batas
dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya”. Dan ketika ditanya
tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit dunia), rukyah (orang-
orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang telapak kaki
Tuhan, Ibn Hambal menjawab: “Kita mengimani dan membenarkannya,
tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”. Dari pernyataan diatas,
tampak bahwa Ibn Hambal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna
ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali
tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.10

b. Tentang Status Al-Qur’an


Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hambal, yang
kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status al-
Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya hadits (baru) ataukah
tidak diciptakan yang karenanya qodim? Faham yang diakui oleh
pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpinan khalifah Al-
Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni al-
Qur’an tidak bersifat qodim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya
qodim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan
menduakan tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni
Tuhan. Ibnu Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh
karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah.

10
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2007)

7
Pandangannya tentang status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya
dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak:

Ishaq bertanya: Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?

Ahmad bin Hambal: Ia adalah kalam Allah.

Ishaq: Apakah ia makhluk?

Ibn Hambal: Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.

Ishaq: Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?

Ibn Hambal: Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.

Ishaq: Apakah maksudnya?

Ibn Hambal: Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan kepada
diriNya.11

Berdasarkan dialog di atas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang


status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan.
Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang
berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya.12 Bagi
Ahmad bin Hambal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat
berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan
dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik
dan akan berkurang bila mengerjakan kemaksiatan.13

C. Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah


Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiah, setiap dikatakan Ibrahim Madzkur
adalah sebagai berikut:14
1. Berpegangan teguh pada nash (teks al-qur’an dan al-hadis).
2. Tidak memberikan ruang gerak yang bebas pada akal.

11
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teology Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal.
126-127
12
Abdul Rozak Dan Rosihon Anwar. Op.cit, 114
13
Ahmad Fauzi, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon, STAIN Press, hal.99
14
Ibrahim Madkur, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 31

8
3. Beroendapat bahwa Al-qur’an mengandung semya ilmu agama.
4. Didalam islam yang diteladani hanya tiga generasi (sahabat, tabiin, dan tabi
tabiin).
5. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan-nya.
6. Ibnu Timiah mengkritik Imam Hanbal dengan mengatakan bahwa apabila
kalamullah qadim, kalamnya pasti qadim pula.
Ibn Timiah adalah seseorang tekstualis. Oleh karena itu, pandangannya
dianggap oleh ulama mazhab Hanbali, Al-khatib Ibn Al-Jauzi sebagai
pandangan tajsim (antromofisme) Allah, yaitu menyerupakan allah dengan
makhluk-Nya, oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn
Taimiah sebagai salaf perlu diditinjau kembali.
Berikut pandangan-pandangan Ibn Taimiah tentang sifat-sifat Allah.15
a. Percayasebuah hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-Nya
menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1) Sifat salbiah, yaitu qidam, baqa’, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu bi
nafsihi, dan wahdaniyah,
2) Sifat ma’ani, yaitu qudrah, iradah, sama’, bashar, hayat, ilmu, dan kalam,
3) Sifat khabariyah (sifat-sifat diterangkan Al-qur’an dan Hadis meskipun
akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang
mengatakan bahwa Allah di langit; Allah dilihat oleh orang beriman di
surga kelak;wajah, tangan, dan mata Allah.
4) Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan bama-nama Allah
pada alam makhluk, setiap rabb al-‘alamin, kgaliq al-kaun, dan falik al-
hubb wa an-nawa.
b. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau Rasul-Nya
sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-‘alim, al-qdir,
al-hayy, al-qayyum, as-sami’, dan al-bashir.
c. Menerima sepenuhnya sifat-sifat dan nama-nama Allah dengan:

15
Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama Tentang Ayat-Ayat Mutasyabihat, (Bandung: Sinar
Baru, 1993) hal. 58-60

9
1) Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz
(min ghair tahrif).
2) Tidak menghilangkan pengertian lafadz(min ghair ta’thil).
3) Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad).
4) Tidak menggambarkan bentuk tuhan, baik dalam pikiran, hati maupun
dengan indra(min ghair takyif at-takyif).
5) Tidak menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dan sifat-sifat
makhluk-Nya (min ghair tamtsil rabb al-‘alamin). Hal ini disebabkan
bahwa tiada sesuatu pun yang dapat menyamai-Nya, bahkan yang
menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, Ibn taimiah tidak menyetujui setiap
penafsiran ayat-ayat mutasyabihat. Menurutnya ayat-ayat atau hadis-hadis yang
menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima diartikan sebagaimana adanya,
dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidakmenyerupakan-Nya dengan
makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentang itu.
Ibn taimiah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar
manusia, yaitu Allah pencipta segala sesuatu; Hamba pelaku perbuatan yang
sebenarnya dan mampunya kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga
manusia bertanggung jawab terhadap perbuatanya; Allah meridai perbuatan baik
dan tidak merindai perbuatan yang buruk.16
Dikatakan oleh watt bahwa pemikiran Ibn Taimiah mencapai klimaks-nya
dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya
terletak pada upayanya membedakan manusia dengan tuhan nya yang mutlak.
Oleh karena itu, masalah tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional,
baik dengan metode filsafat maupun teologi. Demikian juga, keinginan manusia
untuk menyatu dengan tuhan sebagai suatu yang mustahil. Oleh karena itu, Ibn
taimiah sangat tidak suka pasa aliran filsafat yang mengatakan Al-Qur’an berisi
dalil khitabi dan iqna’i (penenangan dan pemuas hati); Aliran Mutazilah yang
selalu mendahulukan dalil rasional dari pada dalil Al-Qur’an, sehingga banyak
menggunakan takwil; ulama yang memercayai dalil-dalil Al-Qur’an, tetapi

16
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah, (Jeddah: Haramain), hal 183

10
hanya dijadikan sebagai pangkal penyelidikan akal, meskipun untuk
memperkuat Al-Qur’an setiap Al-Maturidi; mereka yang memercayai dalil-dalil
Al-Qur’an, tetapi menggunakan pada dalil-dalil disamping Al-Qur’an (seperti
Al-Asy’ari).17

17
Watt, Op.cit, hal. 188

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologis (kebahasaan), perkataan Arab “salaf”, secara harfiah
berarti “yang terdahulu” atau “yang lampau”. Dan pada umumnya term salaf,
terutama dalam terminologi Ilmu Kalam (Teologi Islam), bisanya diperhadapkan
dengan perkataan “khalaf, yang bermakna harfiah “yang belakangan”.
Pemikiran Imam Ahmad Bin Hambal antara lain:
1. Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Imam Ahmad bin Hambal
lebih menyukai pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan takwil,
terutama yang berkaitan dengan sifat-saifat Tuhan dan ayat-ayat
mutasyabihat.
2. Tentang Status Al-Qur’an
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hambal, yang
kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status al-
Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya hadits (baru).
Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiah, setiap dikatakan Ibrahim Madzkur
adalah sebagai berikut:
1. Berpegangan teguh pada nash (teks al-qur’an dan al-hadis).
2. Tidak memberikan ruang gerak yang bebas pada akal.
3. Beroendapat bahwa Al-qur’an mengandung semya ilmu agama.
4. Didalam islam yang diteladani hanya tiga generasi (sahabat, tabiin, dan tabi
tabiin).
5. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan-nya.
6. Ibnu Timiah mengkritik Imam Hanbal dengan mengatakan bahwa apabila
kalamullah qadim, kalamnya pasti qadim pula.
B. Kritik dan Saran
Kami sebagai penulis dari makalah menyadari jika makalah ini masih
memiliki kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Dengan demikian, penulis
akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu kepada sumber yang bisa di

12
pertanggungjawabkan nantinya. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan
adanya kritik serta saran mengenai pembahasan makalah di atas.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Ajami, Abul Yazid Abu Zaid. 2012. Akidah Islam Menurut Empat Madzhab.
Terjemah Faisal Saleh Dan Umar Mujtahid Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Anwar, Abdul Rozak Dan Rosihon. 2016. Ilmu Kalam Edisi Revisi. Bandung:
Pustaka Setia.
Dasuki, Hafiz. 1993. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta: Ensiklopedi Islam, Jilid.V
Cet. 1.
Depag RI. 2007. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro.
Fauzi, Ahmad. Ilmu Kalam (sebuah pengantar). Cirebon: STAIN Press.
Madkur, Ibrahim. 1997. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Paramadina.
Montgomerry, Watt W. 1990. Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh
Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana Terj. Hartono Hadi Kusumo.
Nasir, Sahilun A. 2010. Pemikiran Kalam (Teology Islam). Jakarta: Rajawali Pers.
Rosadi, Aden. 2015. Gerakan Salaf. Jurnal Toleransi: Media Komunikasi Umat
Bergama, Vol.7, No.2
Yusuf, Abdullah. 1993. Pandangan Ulama Tentang Ayat-Ayat Mutasyabihat.
Bandung: Sinar Baru.
Zahrah, Muhammad Abu. Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah. Jeddah: Haramain.

14

Anda mungkin juga menyukai