Anda di halaman 1dari 18

PERLUASAN WILAYAH, PEMBANGUNAN ANGKATAN LAUT,

PENETAPAN MUSHHAF ‘UTSMANI, KEKACAUAN DAN KONFLIK


POLITIK

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam

DOSEN PEMBIMBING : Drs. Sudianto M.Ag

Disusun Oleh :

Dini Sekar Ayu ( 0206231039 )

Rossy Al Jabar ( 0206231046 )

Nia Dalilla ( 0206231045 )

HUKUM

FAKULTAS SYRI’AH DAN HUKUM

UIN SUMATERA UTARA

MEDAN 2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan karunia-Nya, kami
dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Ilmu Negara dengan tepat waktu. Tidak lupa
sholawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Penulisan makalah berjudul “Perluasan Wilayah, Pembangunan Angkatan Laut, Penetapan Mushhaf
‘Utsmani, Kekacauan dan Konflik Politik” telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa sepenuhnya masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini,
kami memohon maaf. Demikian yang dapat kami sampaikan, akhir kata semoga makalah ini dapat menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan bagi kita bersama.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Medan, Maret 2024

ii
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................................................... iv

1.1 Latar Belakang ......................................................................................................................... iv

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................... iv

1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................................................... iv

BAB II : PEMBAHASAN ............................................................................................................. 1

2.1 Perluasan Wilayah ................................................................................................................... 1

2.2 Pembangunan Angkatan Laut .................................................................................................. 3

2.3 Penetapan Mushhaf Utsmani .................................................................................................. 5

2.4 Kekacauan dan Konflik Politik ............................................................................................... 6

BAB III : PENUTUP ..................................................................................................................... 13

3.1 Kesimpulan .............................................................................................................................. 13

3.2 Saran ........................................................................................................................................ 13

3.3 Daptar Pustaka ......................................................................................................................... 14

iii
BAB I

PEMBAHASAN

1.1 Latar Belakang.

Studi sejarah Islam dapat dikatakan sebagai kajian yang menarik sekaligus penting. Sebab, umat Islam
dapat mengail ‘ibrah (pelajaran) dari serangkaian peristiwa sejarah sejak era kehidupan Nabi Muhammad
saw. sampai periode kontemporer. Kemudian, studi ini penting mengingat sumber utama ajaran Islam, yaitu
Alquran, juga berisikan banyak informasi bernuansa historis, dan penyebutan kisah para Nabi dan orang
saleh serta orang-orang yang durhaka diharapkan bisa memberikan pelajaran bagi kaum Muslim dengan
cara meniru kebaikan-kebaikan yang ditampilkan oleh orangorang suci dan saleh tersebut, dan sekaligus
menjauhi keburukan yang dilakukan oleh orang-orang durhaka.

Di antara peristiwa sejarah yang menarik dan penting dikenalkan adalah kepemimpinan Khulafah ar
Rasyidin, empat tokoh utama dalam Islam yang menjadi pemimpin kaum Muslim setelah Nabi wafat.
Secara umum, makalah ini hanya akan menelaah kepemimpinan dua khalifah terakhir umat Islam, yakni
‘Usman bin Affan’ dan ‘Ali bin Abi Thalib’.

1.2 Rumusan Masalah.

A. Perluasan wilayah pada masa kekhalifahan.

B. Pembangunan Angkatan laut islam

C. Penetapan Mushhaf Utsmani.

D. Kekacauan dan Konflik Politik dalam Islam.

1. 3 Tujuan Penulisan.

1. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

2. Memberitahukan suatu permasalahan yang menjadi fokus dari Penelitian.

3. Menunjukkan Sedikit Pemahaman Penulis Tentang Subjek tersebut Melalui Penelitian dan
Pemikiran Kritis.

4. Menambah Ilmu dan Wawasan Para Pembaca dan Penulis.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perluasan wilayah.

Khulafaur Rasyidin adalah khalifah (pemimpin umat Islam) yang melanjutkan kepemimpinan
Rasulullah SAW sebagai kepala negara (pemerintah) dan mengatur semua kenegaraan setelah Rasulullah
SAW wafat. Tugas para khalifah yaitu untuk melindungi dan mempertahankan wilayah Islam (Murad,
2007: 7-10). Masa Khulafaur Rasyidin pernah dipimpin oleh empat khalifah, dimulai sejak tahun 632-661.
Para Khalifah yang menggantikan Rasulullah yakni (1) Abu Bakar Ash Shiddiq, (2) Umar bin Khattab, (3)
Utsman bin Affan, dan (4) Ali bin Abi Thalib.

Utsman Bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim
formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin Khathab menjelang wafatnya. Saat menduduki
amanah sebagai khalifah beliau berusia sekitar 70 tahun. Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab
berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan
pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan
semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin mudah
didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju
pola hidup masyarakat perkotaan.

Kemudian juga perlu dicatat bahwa antara Utsman dan Ali dari keduanya tidak ada yang begitu
ambisius untuk menjadi khalifah, justru keduanya saling mempersilahkan untuk menentukan secara
musyawarah. Fakta penting inilah yang sering di kaburkan oleh sebagian sejarawan, yang lebih melihat
bahwa antara kedua menantu Rasulullah SAW tersebut bermusuhan.1

Adapun pemerintahan di masa Utsman ini terbagi menjadi dua periode, yaitu pada periode kemajuan
dan periode kemunduran sampai ia terbunuh. Periode I Utsman berhasil membawa kemajuan yang luar
biasa dimana wilayah Islam saat itu meliputi wilayah Al-jazair, Syprus di wilayah sebelah barat dan
sebagian wilayah dari Asia kecil dan Timur laut sampai Transoxiana, Persia, bahkan sampai perbatasan
Balucistan (wilayah Pakistan sekarang).

1
A. Latif Osman. 1992.“Ringkasan Sejarah Islam”. Jakarta : Widjaya. Hal. 67
1
Pada awal pemerintahan Ustman bin Affan kondisi wilayah kekuasaan Islam mengalami kesusuhan
pasca terbunuhnya Umar bin Khattab. Wilayah-wilayah kekuasaan Islam mulai melakukan pemberontakan
terhadap pemerintahan Islam salah satunya Azerbaijan pada tahun 24 H/645 M. Kondisi tersebut
memperlihatkan bagaimana khalifah Ustman bin Affan harus berusaha untuk meredam kekacauan yang
terjadi pada awal pemerintahannya.

Pada tahun ke-24 Hijriah, Utsman mengirimkan pasukan yang dipimpin Al-walid bin Aqobah. Mereka
bergerak menuju negeri di utara, khususnya Azerbaijan dan Armenia. Para pemimpin dari dua negeri itu
telah mengkhianati perjanjian dengan kaum Muslimin pada era Umar bin Khaththab.

Betapa takutnya penduduk Azerbaijan dan Armenia begitu mendengar kabar kedatangan balatentara
Muslimin. Hal itu semata-mata lantaran besarnya kekuatan umat Islam. Toh mereka sendiri tahu, dalam hal
perjanjian tersebut, para pemuka merekalah yang bersalah. Maka, pasukan yang dikirim Khalifah Utsman
itu tidak melakukan suatu pertempuran. Sebab, penduduk setempat sudah mengaku takluk.

Mirip dengan dua negeri di utara Arab, orang-orang Iskandariah di Mesir juga menolak perjanjian
dengan kaum Muslimin. Sebab, mereka merasa mendapat sokongan dari Romawi. Pada tahun 25 Hijriah,
pasukan Muslimin datang berjihad ke sana, sehingga Iskandariah takluk ke dalam wilayah umat Islam.2

Pada tahun ke-26 Hijriah, sebanyak 3.300 orang pasukan Muslimin dapat menaklukan Sabur. Mereka
dipimpin Utsman bin Abil Aash. Setahun kemudian, Khalifah Utsman mengamanatkan kepada Abdullah
bin Sa'ad bin Abbi Abi Sarah untuk menaklukan Afrika Utara. Ibnu Sa'ad merupakan gubernur Mesir yang
menggantikan Amr bin Ash. Saat itu, pasukan Muslimin terdiri dari 20 ribu orang. Adapun jumlah pasukan
lawan, yakni dari kaum Berber, terdiri atas 120 ribu orang alias enam kali lipat balatentara Muslimin.

Salah seorang sahabat, Abdullah ibnu Azzubair, kemudian tampil berhadap-hadapan dengan Raja
Berber, Jarjir. Dalam pertempuran itu, Jarjir berhasil ditumpas. Sesudah penaklukan Afrika Utara, kaum
Muslimin menargetkan pembebasan Andalusia (Spanyol). Pada tahun ke-28 Hijriah, pasukan Muslimin
yang dipimpin Muawiyah bin Abi Sufyan dapat menaklukan Pulau Siprus. Setahun berikutnya, Abdullah
bin Amir memimpin pasukan hingga menguasai wilayah kerajaan Persia.

Pada tahun ke-30 Hijriah, Tibristan dapat dikuasai. Pada tahun ke-31 Hijriah, pecah peperangan
Dzatish-Shawari. Lalu, setahun berikutnya, Muawiyah bin Abi Sufyan. mencoba menyerang daerah-daerah
jajahan Romawi. Pasukannya sampai pula ke Konstantinopel.

2
H. A. Hafidz Dasuki. 1997.”Ensiklopedi Islam”. Jakarta : Pt. Ikhtiar Baru Van Hoeve. Hal. 25
2
Pada tahun yang sama tentara yang dipimpin Ibnu Amir menguasai Marwarrauz, Thaliqon, Fariab,
Jauzjan dan Thakharstan. Banyak sejarawan menilai, era Khalifah Utsman sebagai zaman kemenangan
kaum Muslimin. Umat Islam begitu disegani para negeri adidaya kala itu, semisal Romawi, Parsi dan Turki.

Khalifah Ustman bin Affan juga mengutus para pejabat untuk menjalankan pekerjaannya secara bersih
dan tidak mencederai kepercayaan masyarakat. Keadaan masyarakat pada masa khalifah Utsman bin Affan
benar-benar menikmati kehidupan yang tentram dan sejahtera. Perekonomian pada masa pemerintahan
Utsman bin Affan sangat baik dan maju, dengan bertambahnya jumlah kas negara melalui pemasukan yang
datang dari berbagai penjuru yang membuatnya dapat menaikkan tunjangan bagi rakyat sampai 100 ribu
dirham lebih tinggi dari masa Umar bin Khattab.3

2.2 Pembangunan Angkatan Laut Islam.

Terbentuknya Angkatan Laut Islam merupakan kelanjutan dari ekspedisi perluasan wilayah
Kekhilafahan Islam ke daerah-daerah koloni Kerajaan Bizantium. Perluasan Islam ke daerah Syam dan
Mesir telah membuka lahan perjuangan baru yaitu medan pertempuran laut. Namun Kerajaan Bizantium
yang berhasil dipukul mundur dari Syam dan Mesir masih belum menyerah untuk mempertahankan dan
merebut kembali kekuasaan mereka.

Mereka melakukan berbagai serangan ke wilayah pesisir Islam yang lemah pertahanannya. Pasukan
Islam yang segera menyadari betapa berbahaya keadaan tersebut segera melapor kepada khalifah. Mereka
meminta agar diizinkan terjun ke lautan guna menghadapi Angkatan Laut musuh. Namun khalifah tidak
langsung mengabulkan permintaan mereka ketika itu karena memiliki pandangan lain. Atas hal ini, maka
penelitian kemudian mencoba menelitinya dengan menggunakan teori “Kebijakan Publik” untuk melihat
alasan di balik penolakan tersebut, solusi yang dikeluarkan dan alasan pada akhirnya mengizinkan
pembentukan Angkatan Laut.

Masa perkembangan awal, umat Islam tidak mengenal penggunaan armada laut sebagai kendaraan
perang. Sebagaimana diungkapkan oleh Hasan Ibrahim Hasan bahwa bangsa Arab tidak menaruh perhatian
penting terhadap perang laut mengingat pola kehidupan mereka yang bersifat badawi dan ketidakbiasaan
mereka menaiki kapal, serta mengingat ketidak terlatihan mereka di bidang peperangan. Namun seiring
dengan berjalannya waktu dan semakin luasnya wilayah yang dijangkau, maka kebutuhan akan kapal pun
semakin di perlukan.4

3
Soekama Karya. 1996.”Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam”. Jakarta : Logos. Hal. 254
4
Khalil Kabir Allal dan terj. Abdurrahim. 2015.”Kemelut di Masa Utsman”. Solo : Multazam. Hal. 40
3
Sejarah menunjukkan bahwa armada laut kaum muslimin pernah mendominasi dan menjadi penguasa di
laut tengah. Penggunaan armada militer berupa kapal laut pertama kali di perkenalkan oleh Gubernur
Bahrain Al-A’la bin Al-Hadrami. Gubernur memotivasi penduduk Bahrain untuk menaklukan Persia dan
direspon dengan memberangkatkan beberapa armada kapal perang pada masa Khalifah Umar bin Khathab.
Hal ini bertujuan menaklukan Persia melalui laut yang berakhir dengan kemenangan, meskipun
keberangkatan mereka ke Persia tanpa sepengetahuan khalifah Umar bin Khathab.

Sebelumnya Muawiyah telah meminta izin kepada Khalifah Umar bin Khathab untuk melakukan
peperangan di lautan. Ia menjelaskan kepada Khalifah tentang posisi rawan Romawi yang sangat dekat
dengan Himsh. Permintaan Muawiyah ditolak oleh Umar seraya berkata "Demi Zat yang mengutus Nabi
Muhammad SAW dengan kebenaran, tidak akan pernah kuizinkan seorang Muslim berperang di lautan.
Demi Allah, seorang Muslim lebih kuinginkan (keselamatannya) daripada semua yang dimiliki Bizantium.
Jadi, berhentilah dengan saranmu itu.

Selanjutnya pembangunan armada angkatan laut bermula dari adanya rencana Khalifah Ustman bin
Affan untuk mengirim pasukan ke Afrika, Mesir, Cyprus dan Konstatinopel Cyprus. Untuk sampai ke
daerah tersebut harus melalui lautan. Oleh karena itu atas dasar usul Gubernur di daerah, Ustman pun
menyetujui pembentukan armada laut yang dilengkapi dengan personil dan sarana pendukung yang
memadai.5

Rencana khalifah Utsman bin Affan tersebut selanjutnya diperkuat oleh fakta bahwa Muawiyah bin Abi
Sufyan gubernur di Syiria harus menghadapi serangan-serangan Angkatan Laut Romawi di daerahdaerah
pesisir provinsinya. Untuk itu, ia mengajukan permohonan kepada Khalifah Utsman untuk membangun
angkatan laut dan dikabulkan oleh Khalifah. Sejak itu Muawiyah berhasil mempertahankan wilayahnya
hingga menyerbu pasukan Romawi.

Upaya pembangunan armada militer laut itu, Muawiyah tidak membutuhkan tenaga asing sepenuhnya,
karena bangsa Koptik di Mesir, begitupun juga penduduk pantai Levant yang berdarah Punikia, dengan
sukarela mengerahkan tenaga untuk membuat dan memperkuat armada tersebut. Itulah pembangunan
armada yang pertama dalam sejarah Dunia Islam. Pada tahun 655 M, Muawiyah memerintahkan Busr bin
Abi Arthah yang bekerja sama dengan armada laut Mesir di bawah komando Abdullah bin Abi Sarh,
berhadapan dengan angkatan laut Yunani yang dipimpin oleh Raja Konstantin II, putra Heraklius di
Phoenix dekat pantai Lysa yang berakhir dengan kemenangan pertama armada laut Islam. Pertempuran laut
itu disebut dalam sejarah Arab sebagai Dzu’ (atau Dzatu) al-Syawari (yang bertiang).6

5
Taufik Abdullah. 2002.”Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah”. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve. Hal. 45
6
Karen Amstong. 2008.”Sejarah Islam Singkat”. Terj. Ahmad Mustafa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 56
4
2.3 Penetapan Mushhaf ‘Utsmani.

Terbentuknya Mushaf Utsmani dilatar belakangi perbedaan bacaan al- Qur'an antara penduduk Syam
dan Irak, juga dari sebagian orang Islam di kota Madinah. Ketika mereka mendengarkan bacaan antara satu
sama lain, mereka saling menyalahkan dan membenarkan bacaannya sendiri. Fenomena ini terjadi karena
pada mulanya ketika pada masa Nabi SAW, ia membolehkan orang-orang Islam untuk membaca sesuai
dengan dialek-dialek mereka sendiri. Dialek-dialek itu terkenal dengan tujuh huruf atau tujuh bacaan.

Menurut pendapat yang masyhur ketujuh bacaan itu adalah: Quraisy, Hudzail, Tamim, Kinanah, Saad
bin Abi Bakr, Hawazin, Tsaqif. Melihat fenomena yang terjadi seperti itu, Utsman bin Affan sebagai
khalifah perlu membuat sebuah kebijakan sebagai resolusi konflik yang terjadi itu. Ia merasa berkewajiban
menghentikan pertikaian yang terjadi akibat perbedaan bacaan al-Qur’an, mempersatukan kembali umat
Islam. Oleh karena itu, ia membuat kebijakan dengan menyalin kembali al-Qur’an dengan memakai satu
dialek yaitu dialek Quraisy.

Pemilihan dialek Quraisy sebagai dialek untuk standarisasi bacaan al- Qur’an dengan alasan, al-Qur’an
pertama kali diturunkan kepada Nabi SAW dengan memakai dialek Quraisy. Selain itu Quraisy adalah suku
yang paling dihormati di kalangan orang-orang Arab. Keunggulan itu adalah mereka bertugas menjaga
baitullah dan menjamu para jamaah haji, Ka’bah jelas merupakan tempat suci yang memiliki posisi sentral
bagi suku-suku di daerah Arab Barat, memakmurkan Masjidil Haram dan menguasai perdagangan. Unsur
politik dalam pemilihan dialaek ini ada, karena Utsman ketika itu kapasitasnya sebagai pemimpin negara,
akan tetapi politiknya tetap untuk menyatukan umat Islam.7

Pemilihan Zaid bin Tsabit sebagai ketua penyalinan al-Qur’an dengan alasan, salah satunya yaitu, ia
adalah sahabat yang sejak pada zaman Nabi SAW dipercaya sebagai anggota penulis wahyu dan di masa
Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, ia juga dipilih sebagai ketua pembukuan al-Qur’an. Jadi
pemilihannya ini untuk mempermudah jalannya penyalinan al-Qur’an karena ia sudah banyak pengalaman
dalam penulisan-penulisan sebelumnya.

Kodifikasi ini membutuhkan waktu hampir satu tahun dimulai dari awal tahun 25 Hijriyah sampai
menjelang akhir dari tahun itu. Setelah penyalinan al- Qur’an selesai, Utsman mengumumkan bahwa
mushaf bentukannya adalah mushaf resmi negara dan memerintahkan kepada orang-orang Islam untuk
memakainya serta melarang memakai mushaf yang lain dengan cara membakar mushaf-mushaf itu.

7
Taufik Adnan Amal. 2005.”Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an”. Jakarta : Pustaka Alvabet. Hal. 64
5
Utsman bin Affan telah membentuk mushaf resmi sebagai standarisasi bacaan al-Qur’an. Standarisasi
mempunyai arti penyusunan bentuk (ukuran kualitas) dengan pedoman yang ditetapkan.. Dalam sejarah
terbentuknya Mushaf Utsmani, standarisasi diartikan menutup semua celah-celah perbedaan dalam bacaan
al-Qur’an, adanya kesatuan secara total yang ada pada teks al-Qur’an di seluruh dunia. Standarisasi yang
dilakukan olehnya adalah suatu kenyataan sejarah yang pastisudah terjadi.

Kebijakannya ini disambut positif oleh sebagian besar ummat. Adapun yang menolak adalah beberapa
sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah bin Mas’ud. Ia menolak karena ia tidak dilibatkan dalam kepanitian
padahal ia juga seorang yang ahli dalam al-Qur’an. Ia juga menganggap bahwa penyalinan al-Qur’an itu
dikerjakan Zaid bin Tsabit sendiri, tetapi setelah tahu kalau itu adalah kerja tim sahabat ia mulai menerima.
Aksi penolakan juga datang dari sebagian kecil masyarakat yang belum mampu membaca dialek Quraisy
dan masih mempertahankan dialek mereka sendiri.

Kebijakan Utsman bin Affan ini telah melahirkan mushaf standarisasi bacaan al-Qur’an, Mushaf itu
dinamakan Mushaf Utsmani atau mushaf al-Imam. Sejak itu mushaf itu adalah mushaf resmi negara untuk
umat Islam. Mushaf itu menjadi resmi karena penyeragaman atau standariasi bacaan al-Qur’an Mushaf itu
diputuskan berdasarkan kebijakan pemegang kekuasaan formal Khalifah Utsman bin Affan. Ummat dapat
bersatu dengan satu bacaan, ini juga dapat dirasakan manfaatnya sampai sekarang.8

2.4 Kekaacauan dan Konflik Politik.

Pada saat Usman terbunuh oleh para pemberontak, ‘Aisyah sedang berada di Makkah. Pada waktu
diberitahukan kepadanya bahwa Usman telah wafat dan Ali telah diangkat menjadi khalifah beliau
mengatakan bahwa ia akan “menuntut bela atas kematian Usman” dan meminta kepada Ali agar segera
melaksanakan qishash kepada pembunuh Usman. Sikap ‘Aisyah itulah yang diinterpertasikan orang lebih
jauh dari sikap itu yaitu dikatakan karena sakit hatinya kepada Ali karena Ali memberatkan ‘Aisyah dalam
peristiwa hadish ifqi (berita bohong).

Namanya saja peristiwa sejarah, tidak ada jawaban yang pasti apakah ‘Aisyah terlibat perang dengan
Ali karena benar-benar menuntut bela atas kematian Usman seperti yang diucapkannya pada waktu pulang
Umrah dari Makkah menuju Madinah, atau karena sakit hatinya kepada Ali karena Ali memberatkannya
pada waktu terjadi haditsul ifqi (berita bohong) atau karena tidak dapat menahan dorongan Abdullah ibn
Zubeir yang terus mendorongnya ikut dalam Perang Jamal.

8
MM. Azami. 2005.”Sejarah Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi”. Jakarta : Gema Insani. Hal. 126
6
A. Konflik Politik Ali Dengan ‘Aisyah (Perang Jamal)

Tidak lama atau hanya beberapa lama berselang dari pembai’atan Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah,
sudah mulai nampak barisan-barisan yang memihak dan menantang Ali. Yang memihak kepadanya adalah
mereka yang kecewa dan tidak puas terhadap pemerintahan Usman karena terkena dampak ekonomi, sosial
dan politik, yang terbanyak dari kalangan rakyat biasa. Yang menantangnya adalah mereka yang
memperoleh kesempatan baik pada masa pemerintahan Usman dan orang-orang yang ingin mengambil
keuntungan-keuntungan pribadi melalui jabatan-jabatan pemerintahan, karena pemerintahan Ali yang baru
dibentuk menghalangi mereka untuk memperoleh apa yang mereka inginkan.

Penentang Ali yang paling utama pada waktu itu adalah Thalhah, Zubeir dan Abdullah ibn Zubeir.
Mereka berdalih menuntut bela atas kematian Usman dan meminta kepada Ali agar segera melaksanakan
hukum qishash terhadap orang-orang yang telah membunuh Usman. Namun Ali tidak sanggup memenuhi
permintaan mereka sambil beliau menyatakan “Bagaimana mungkin saya dapat menghukum mereka karena
mereka itulah yang menguasai kita bukan kita yang menguasai mereka.

Untuk memuluskan tujuan mereka maka mereka bergabung dengan ‘Aisyah yang berada di Makkah
yang juga mempunyai tuntutan yang sama. Karena ‘Aisyah sedang umrah di Makkah sewaktu Ali diangkat
menjadi khalifah maka merekapun pergi ke Makkah menyongsong ‘Aisyah dan bergabung bersamanya.

Pada mulanya ‘Aisyah tidak terlalu serius menghadapi masalah ini, atau hanya semata-mata murni
secara tulus ikhlas menuntut bela atas kematian Usman dengan melaksanakan hukum qishash kepada orang-
orang yang telah membunuhnya. Akan tetapi setelah bertemu dan bergabung dengan Thalhah, Zubeir dan
Abdullah ibn Zubeir didorong mereka agar ‘Aisyah mau bersama-sama menentang khalifah Ali dan para
pendukungnya di Madinah.

Akhirnya ‘Aisyah berhasil mereka pengaruhi dan bersama pasukan tentara yang ada di Makkah serta
sejumlah keluarga Bani Umaiyah yang melarikan diri dari Madinah ke Makkah setelah kematian Usman.
Mereka berangkat bersma-sama menuju Basrah dengan maksud menambah pasukan bala tentara yang ada
disana. Usman ibn Hawaif, gubernur Basrah yang diangkat Ali ketika mendengar berita tersebut mencoba
untuk menghalangi mereka namun usahanya tidak berhasil sudah sangat nekad menghadapi segala
tantangan dari mana sajapun datangnya.

Dalam perjalanan ‘Aisyah selalu ragu-ragu untuk meneruskan peperangan ini, akan tetapi Abdullah ibn
Zubeir anak kakak kandung ‘Aisyah bernama Asma terus membujuk bibinya menghilangkan keraguannya
dan meneruskan perjalanan itu. Dari peristiwa ini tidak salah kalau dikatakan bahwa ‘Aisyah diperalat oleh
Abdullah ibn Zubeir untuk mencapai kepentingan pribadinya yang hendak menantang Ali.

7
Ada beberapa faktor atau penyebab yang menjadi beban mental bagi ‘Aisyah melanjutkan perjalanan
ini; pertama, tangisan dan ratapan orang sewaktu ‘Aisyah hendak meninggalkan Makkah yang meminta
agar ‘Aisyah tidak meneruskan maksudnya memerangi Ali. Kedua, Nasehat Ummi Salamah yang
memperingatkan agar ‘Aisyah tidak ambil bagian dalam peperangan itu karena akan merobek tabir yang
telah didirikan oleh Rasulullah. Ketiga, Ayatayat al-Qur’an yang memperingatkan agar isteri-isteri Nabi
selalu tetap berada di rumahnya.

Akan tetapi dorongan Abdullah ibn Zubeir nampaknya lebih kuat dari segala-galanya sehingga ‘Aisyah
kehilangan segala daya untuk menolaknya. Dalam perjalanan pikiran ‘Aisyah masih tetap selalu bolak
balik, bimbang dan rugu-ragu akan tetapi setiap kali kebimbangannya datang, Abdullah ibn Zubeir datang
dan dapat menenangkannya.

Sewaktu pasukan itu sampai di Hauab (nama perigi/sumur) berubah roman muka ‘Aisyah setelah
mendengar gonggongan anjing karena melintas dalam pikirannya akan hadits Nabi yang menyatakan pada
isteri-isterinya “Barangkali ada di antara kamu ini yang akan digonggong anjing Hauab”. Lantas beliau
minta agar kembali saja ke belakang akan tetapi Abdullah ibn Zubeir segera datang dan mengatakan bahwa
tempat itu bukan perigi Hauab.

Akhirnya ‘Aisyah yang didorong dan dipengaruhi oleh Thalhah, Zubeir dan Abdullah ibn Zubeir agar
mau sama-sama ikut menentang khalifah Ali dan pendukungnya sampai di Basrah untuk menambah
pasukan yang ada di Basrah..

Bersamaan dengan gerakan tersebut di Madinah Ali dengan pasukan perangnya telah siap untuk
berangkat ke Syam untuk memerangi Muawiyah namun tidak jadi karena ali mendengar berita yang
mengejutkan bahwa Tholhah, Zubeir dan Abdullah ibn Zubeir bersama ‘Aisyah telah mengerahkan
sejumlah pasukan besar untuk memeranginya dan mereka sudah sampai di Basrah. Maka Ali dan
pasukannya terpaksa menunda perjalanannya ke Syam dan bebelok menuju Basrah karena menurut Ali
pasukan ‘Aisyah harus terlebih dahulu dihadapi supaya nanti mereka tidak rebut ketika Ali dan pasukannya
menghadapi pasukan Muawiyah.

Ketika bertemu dengan pasukan ‘Aisyah di Basrah pertama kali yang dilakukan Ali adalah berusaha
agar ‘Aisyah dan laskarnya menangguhkan hasrat mereka berperang demi menjaga kesatuan dan keutuhan
umat Islam. Namun hampir saja usaha Ali tersebut berhasil, pimpinan munafiq Abdullah ibn Saba’ yang
ikut serta dalam pasukan Ali tidak menginginkan hal itu terjadi. Tidak dapat dikendalikan Ali, pihak ketiga
ini memancing lawan untuk memulai peperangan dan akibatnya hujan panah yang mengerikan tidak
terelakkan lagi yang mengakibatkan banyaknya pasukan kedua belah pihak mati tersungkur berjatuhan
bersimbah darah.

8
Di tengah berkecamuknya peperangan Zubeir melarikan diri kemudian dikejar dan dibunuh oleh orang
yang benci kepada sikapnya, sementara Thalhah terbunuh di tengah berkecamuknya peperangan dan
pertempuran. Akhirnya unta yang ditunggangi ‘Aisyahpun terbunuh. Maka terhentilah peperangan dengan
kemenangan berada di tangan khalifah Ali ibn abi Thalib, sementara ‘Aisyah tidak sorangpun yang berani
dan yang mau mengusiknya termasuk khalifah Ali. Peperangan ini memakan korban puluhan ribu kaum
muslimin.

Awal konflik antara ‘Aisyah binti Abu bakar dengan Ali ibn Abi Thalib dimulai dari pernyataan
‘Aisyah yang akan menuntut bela atas kematian Usman, sewaktu beliau mendengar bahwa Usman telah
terbunuh oleh pemberontak dan Ali telah diangkat menjadi khalifah. Hal tersebut diinterpretasikan oleh para
sejarawan dengan interpretasi yang berbeda dari cara pandang yang berbeda pula.

Sebagian mereka berpendapat bahwa kata-kata beliau yang akan menuntut bela atas kematian Usman,
dipahami secara teks apa adanya. Memang betul-betul menuntut bela atas kematian usman karena beliau
sebagai Ummu al-mukminin yang jenius dan sangat memahami hukum Islam berkeinginan agar hukum
Islam tersebut dilaksanakan atau benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya. Sekarang Usman terbunuh,
maka dicari siapa pembunuhnya dan dilaksanakan hukum qishash baginya.

Hal seperti itu sesuai dengan awal pengakatan Usman dahulu sebagai khalifah. yang pertama kali
dilakukan Usman setelah terpilih sebagai khalifah adalah mencari Ubaidillah ibn Umar ibn Khaththab dan
melaksanakan hukum qishash terhadapnya karena dialah yang telah membunuh Hurmuzun kawan Abu
Lu’lu’ yang telah membunuh ayahnya Umar ibn Khattab. Waktu itupun kaum muslimin berbeda pendapat;
ada yang menuntut agar Ubaidillah harus dihukum bunuh, ada pula yang berpendapat sangat berat rasanya
melaksanakan hal itu karena baru kemarin ayahnya terbunuh, hari ini pula anaknya yang dibunuh. Dalam
kondisi begitu, Usman dapat mengatasinya dengan menghukum Ubaidillah ibn Umar ibn Khattab dengan
membayar diyat, tetapi khalifah Usman sendiri yang membayar diyatnya dari hartanya.

Dalam persoalan ini Ali sebenarnya yang tidak cepat dapat mengatasi situasi dengan mengqishash
pembunuh Usman. Andaikata dia cepat dapat mencari siapa orang-orang yang menjadi pembunuh Usman
dan mengqishash mereka diperkirakan dapat dipastikan perang Jamalpun tidak akan terjadi. Berpedoman
pada kisah di atas dapat dikatakan bahwa ‘Aisyahpun dengan ijtihad yang benar-benar murni dengan niat
yang baik ingin menuntut bela atas kematian Usman dan menuntut pertanggungjawaban Ali untuk
mengqishash mereka.

Lagi pula, jika dilihat dari sejarah biografi kepribadian ‘Aisyah, dia adalah seorang saleh, cerdas, jenius,
penyantun, pintar, termasuk sewaktu Rasulullah meminta pendapat kepada pembantu dekat ‘Aisyah yang
bernama Barirah sewaktu terjadinya berita bohong tentang ‘Aisyah,

9
bagaimana yang dia ketahui tentang kepribadian ‘Aisyah. Jawabnya; “Dia baik-baik saja Ya
Rasulullah, demi Allah tidak pernah aku mengetahui tentang perbuatan ‘Aisyah yang tercela selama ini”.
Bagaimana dia dapat dikatakan terlibat dalam Perang Jamal kerena dendamnya kepada Ali, jika seperti itu
jelasnya tuntutannya menuntut bela atas kematian Usman agar Khalifah Ali bertanggungjawab mengqishash
para pembunuh Usman.

Walaupun begitu, sebaliknya, ada sejarawan yang berpendapat bahwa ‘Aisyah menuntut bela atas
kematian Usman karena ketidaksenangan ‘Aisyah kepada Ali karena dua sebab utama. Pertama; pada
peristiwa terjadinya fitnah terhadap ‘Aisyah (haditsul Ifqi/berita bohong) Ali memberatkan ‘Aisyah sewaktu
Rasulullah meminta pendapatnya tentang kemungkinan menceraikan isterinya ‘Aisyah. Dengan tegas Ali
mengatakan “Ya Rasulullah, Allah tidak memberikan jalan yang sempit kepada Tuan, wanita-wanita selain
dia masih banyak”.

Kedua, Pada saat Abu Bakar (ayah Aisyah) diangkat menjadi khalifah, kaum Quraisy dan kaum
Muhajirin beserta rakyat banyak dengan segera mereka memberikan bai’at kepada Abu Bakar, tetapi Ali ibn
Abi Thalib baru memberikan bai’atnya setelah enam bulan kemudian sesudah isterinya Fatimah (puteri
Rasulullah) wafat.

Maka sebagian sejarawan berpendapat bahwa pernyataan ‘Aisyah menuntut menuntut bela atas
kematian Usman tersebut di atas karena ketidaksenangan ‘Aisyah kepada Ali dikarenakan dua sebab itu.9

B. Perang Shiffin.

Mulanya muawiyah meminta kepada sang khalifah untuk menuntut balas atas pembunuhan utsman bin
affan (sang khalifah sebelumnya). Sebelum Ali mengabulkan permintaannya, muawiyah seberta seluruh
penduduk syam tidak akan membait Ali sebagai khalifah.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan keengganan muawiyah untuk membait Ali, hal itu tidak
mengurangi legalitasnya sebagai khalifah yang sah,mengingat persetujuan mayoritas sahabai baik dari
kalangan anshar dan muhajirin sudah cukup untuk mengangkat Ali sebagai khalifah umat islam.

Jadi, di satu sisi Muawiyah tidak mau berbaiat sebelum Ali menuntut balas pembunuh Utsman,
sementara di sisi lain Ali menilai ketidakpatuhan Muawiyah untuk berbaiat dinilai sebagai pembangkangan
kepada pemerintah yang sah. Kedua belah pihak tidak mau berkompromi dan ngotot dengan pendapatnya
masing-masing hingga akhirnya meletus perang Shiffin. ……………………………………………

9
Ahmad Syalabi. 1973.”Sejarah dan Kebudayaan Islam”. Jilid I, Terj. Mukhtar Yahya. Jakarta : PT. Jaya Murni. Hal. 206.
10
Pada peperangan ini pasukan Ali berjumlah kurang lebih 120.000 tentara, sementara pasukan Muawiyah
sebesar 90.000 tentara. Peristiwa ini terjadi pada 657 M dan berlangsung selama tiga hari berturut-turut, dari
mulai Rabu, Kamis, dan Jumat. Korban yang tewas mencapai 70.000 orang: 45.000 dari pasukan Syam
(Muawiyah) dan 25.000 dari pasukan Iralk (Ali). …………………………………………………………..

Guru besar sejarah Islam di Universitas Al-Azhar Mesir Abdussyafi Muhammad Abdul Latif dalam
kitabnya Al-‘Alâmul Islâmi fil ‘Ashril Umawi Diraâsah Siyâsiyyah mengatakan, pertempuran ini
merupakan malapetaka besar bagi Umat Islam. Pasalnya, kurang dari satu tahun saja (dalam Perang Jamal
dan Perang Shiffin), umat Islam sudah kehilangan seratus ribu jiwa. ……………………………………..

C. Tahkim. ……………………………………………………………………………………………………

Menyadari banyaknya korban dalam perang semasa Muslim ini, muncullah gagasan untuk mengangkat
mushaf dan memutuskan hukum sesuai Kitabullah (Al-Qur’an). Harapannya, perang bisa segera disudahi
sehingga tidak ada korban berjatuhan lagi. Gagasan cemerlang ini diusulkan oleh Amr bin Ash yang
kemudian dikenal dengan Tahkim atau arbitrase. …………………………………………………………….

Sebenarnya gagasan ini bukan yang pertama kali.. Saat Perang Jamal antara kelompok Ali dengan
Sayyidah Aisyah juga pernah dilakukan. Masing-masing kedua belah pihak Ali dan Muawiyah mengutus
perwakilan untuk berunding dan melakukan putusan berdasarkan Kitabullah. Ali mengutus Abu Musa al-
Asy’ari dan Muawiyah mengutus Amr bin ‘Ash. Kedua perwakilan ini disumpah agar benar-benar amanah
atas tugas tersebut. …………………………………………………………………………………………

Sungguh disayangkan, praktik Tahkim ternyata tidak maksimal. Ketentuannya yang masih bias
membuat hasilnya tidak menyelesaikan masalah. Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin ‘Ash akhirnya kurang
tepat mengambil keputusan, mereka hanya membahas soal kekhalifahan dengan keputusan untuk mencopot
Ali dari kursi kekhalifahan dan menurunkan Muawiyah dari jabatan gubernur Syam. ………………………

Tampaknya Ali tidak setuju dengan keputusan itu, bahkan ia menganggap dirinya hanya sebagai korban
dari keputusan mengecewakan ini. Walhasil, konflik tidak mereda dan Ali kembali menginstruksikan
pasukannya untuk memerangi Muawiyah. Namun sayang, sepertinya pasukannya sudah bosan dengan
peperangan ini sehingga mengabaikan begitu saja instruksi sang khalifah. ............................................

D. Perang Nahrawan. …………………………………………………………………………………………

Usia Peristiwa Tahkim, solidaritas penduduk Irak mulai retak. Sebagian orang menyetujui praktik
Tahkim sebagai langkah yang bijak, namun sebagian yang lain justru menilainya sebagai aib yang fatal
karena dianggap telah mengambil keputusan dari selain Allah. Kelompok yang tidak setuju ini kemudian
dinamakan sebagai Khawarij. ………………………………………………………………………………

11
Khawarij bukan saja tidak setuju dengan Tahkim, tetapi juga mengkafirkan seluruh umat Muslim yang
tidak sependapat dengan mereka, termasuk Ali dan Muawiyah. Lebih jauh, mereka kemudian
mendeklarasikan pembangkangan terhadap pemerintah yang sah dan mendirikan pemerintahan sendiri
dengan Syabts bin Rib’i at-Taimi sebagai panglima perangnya dan Abdullah bin al-Kawa al-Yasykuri
sebagai imam shalatnya. ………………………………………………………………………………………

Kelompok Khawarij yang totalnya sebanyak lebih dari 12.000 orang ini melakukan pemberontakan,
menyatakan permusuhan terhadap umat Islam, dan menyebar ketakutan ke seluruh penduduk. Bahkan
mereka tak segan membunuh Abdullah bin Khabbab bin al-Aratt dengan menyembelihnya dan istrinya yang
sedang mengandung. …………………………………………………………………………………………

Sementara itu Ali dengan pasukan Muslim yang setia dengannya berada di Kufah untuk melanjutkan
peperangan melawan Muawiyah. Menyadari kekacauan sedang terjadi, Ali memutuskan untuk menghabisi
kelompok Khawarij terlebih dulu. Selanjutnya, terjadilah pertempuran antara kelompok Ali dan Khawarij
yang dinamakan Perang Nahrawan pada bulan Sya’ban 38 H. Pendapat lain mengatakan terjadi pada bulan
Shafar di tahun yang sama. ……………………………………………………………………………………

Dalam pertempuran ini banyak kelompok Khawarij yang tewas terbunuh, yang tersisa hanya segelintir
orang. Konon hanya tinggal 10 orang yang masih hidup. Meski begitu, jumlah yang sedikit itu masih
menjadi ancaman bagi umat Muslim. Mereka terus melakukan gerakan bawah tanah hingga di era Bani
Umayyah pun banyak melakukan keonaran dan pemberontakan.10 ……………………………………..
…………………………………………….

10
Fawaz bin Farhan asy-Syamari. 2019.”Shahihu Akhbari Shiffin wan Nahrawan wa ‘Ami Jama’ah”. Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiah.
Juz II Hal. 664.
12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Utsman bin Affan, khalifah ketiga dalam sejarah Islam, dikenal dengan kepemimpinan yang
mencerminkan perpaduan antara kedermawanan, kemurahan, namun dirinya tidak lepas dari kritik terkait
perilaku nepotisme. Ia dikenal sebagai pemimpin yang pemurah. Ia sering memberikan harta kekayaannya
untuk kepentingan umat, seperti membangun masjid-masjid dan membantu orang-orang yang
membutuhkan. Kedermawanannya ini membuatnya dihormati dan dicintai oleh masyarakat pada masanya,
serta menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi umat Islam.

Akhir hidup sang khalifah pemurah ditutup dengan kematian yang memilukan. Ia dibunuh oleh faksi
politik yang kecewa dengan kepemimpinannya. Kemurahannya tidak selamanya berujung pada kebahagiaan
semua kalangan, yang di mana seribu kebaikan masih kalah dengan satu kesalahan.

Khalifah ali bin abi thalib di kenal sebagai sosok yang cerdas. Sehingga tak jarang beliau di datangi abu
bakar, umar, dan utsman untuk meminta bantuan menyelesaikan masalah yang sulit. Masa kekhalifahan ali
hanya berlangsung selama lima tahun. Beliau juga seorang yang jujur dan amanah, sehinnga tak jarang
beliau menyita harta para pejabat Negara yang di peroleh secara tidak benar. Selanjutnya harta itu di simpan
di baitul mall untuk kepentingan masyarakat.

Hingga akhir hidup sang khalifah Ali RA wafat pada tahun 661 m.pada tanggal 28 ramadhan 40 hijriyah
pada usia 63 tahun. karna ditikam dengan pisau beracun oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman ibn
Muljam pada waktu sholat subuh dikufah,irak.setelah wafatnya sayyidina Ali RA,berakhir sudah masa
kekhalifaan khulafaur rasyidin yang di anggap sebagaI masa keemasan dalam ajaran islam.sehingga
mengakibatkan lahirnya kekuasaan berpola dinasti.

3.2 Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami buat, semoga dapat mendatangkan manfaat bagi kami (pemakalah)
khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Kami mengetahui sebagai penulis, Kalau makalah kami ini
masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami selalu mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif demi kesempurnaan makalah kami yang berikutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Osman, A. Latif. 1992.“Ringkasan Sejarah Islam”. Jakarta : Widjaya.

Dasuki, H. A. Hafidz. 1997.”Ensiklopedi Islam”. Jakarta : Pt. Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Karya, Soekama. 1996.”Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam”. Jakarta : Logos.

Allal, Khalil Kabir dan terj. Abdurrahim. 2015.”Kemelut di Masa Utsman”. Solo : Multazam.

Abdullah, Taufik. 2002.”Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah”. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve.

Amstong, Karen. 2008.”Sejarah Islam Singkat”. Terj. Ahmad Mustafa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Amal, Taufik Adnan. 2005.”Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an”. Jakarta : Pustaka Alvabet.

Azami, MM. 2005.”Sejarah Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi”. Jakarta : Gema Insani.

Syalabi, Ahmad. 1973.”Sejarah dan Kebudayaan Islam”. Jilid I, Terj. Mukhtar Yahya. Jakarta : PT. Jaya Murni.

asy-Syamari, Fawaz bin Farhan. 2019.”Shahihu Akhbari Shiffin wan Nahrawan wa ‘Ami Jama’ah”.
Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiah.

14

Anda mungkin juga menyukai