Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Al-Kasyaf An-Haqa’iq al-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wujuh al-Ta’wil

(Tafsir al-Zamakhsyari)

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Kitab Tafsir

Dosen Pengampu: Heriyanto, M.S.I

Disusun oleh:

1. Sidqi Najih (30122020)


2. Ida Rufaida (30122047)
3. Tsania Arifada (30122057)

IAT B

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UIN KH. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN

2022/2023
A. Latar Belakang Penulisan Kitab

Imam al-Zamakhshari sangat gigih dalam melakukan perjalanan. Beliau sering


berpindah tempat, bepergian dari suatu tempat ke tempat lain. Beliau pernah pergi ke
Baghdad, Khurasan dan Quds, bahkan dikatakan beliau beliau mengarang kitab al- Kashshaf
disana. Beliau menghabiskan waktu dalam mengarang kitab tersebut lamanya seperti lama
masa Abu Bakr al-Siddiq atau dengan kata lain selama dua tahun beberapa bulan.

Kitab al-Kashshaf dikarang pada akhir hayatnya, setelah beliau melakukan percobaan
dalam tafsir, yang mana percobaan tersebut menghasilkan natijah yang sukses, yaitu dengan
mencoba mengimlakan tafsir beliau ini kepada orang lain. Dalam hal ini beliau berkata, “Aku
telah mengimlakan masalah-masalah dalam surat al-Fatihah dan beberapa pembicaraan dalam
surat al-Baqarah. Di sini aku menemukan bahwa pembicaraan ini sangat asyik karena
memuat beberapa pertanyaan yang langsung disertakan jawabannya. Aku sangat
memperhatikan masalah ini agar bisa dijadikan h}ujjah dan dalil bagi mereka yang
membacanya….” Setelah percobaan seperti itu berhasil, maka orang-orang berdatangan
menemui beliau dari berbagai penjuru, baik dari dalam maupun luar daerah untuk belajar dan
mencari faedah dengan beliau.1

Al-Zamakhshari menulis kitab tafsirnya yang berjudul al-kashshaf ‘an Haqa’iq


Ghawamid al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujub al-Ta’wil bermula dari permintaan suatu
kelompok yang menamakan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah. Kelompok yang dimaksud
adalah Mu’tazilah. Dalam muqaddimah tafsirnya disebutkan sebagai berikut: “… mereka
menginginkan adanya sebuah kitab tafsir dan mereka meminta saya supaya mengungkapkan
hakikat makna al-Qur’an dan semua kisah yang terdapat di dalamnya, termasuk segi-segi
penakwilannya.2

Didorong oleh permintaan di atas, Al-Zamakhshari menulis sebuah kitab tafsir, dan
kepada mereka yang meminta didiktekanlah mengenai fawatih al-suwar dan beberapa
pembahasan tentang hakikat surat al-Baqarah. Dalam perjalanan yang kedua ke Mekah,
banyak tokoh yang dijumpainya menyatakan keinginannya untuk memperoleh karyanya itu.
Bahkan setelah tiba di sana, ia diberi tahu bahwa pemimpin pemerintahan Mekah, Ibn
Wahhas bermaksud mengunjunginya ke Khawarizm untuk mendapatkan karya tersebut.

1
Abd Halim Mahmud. Manhaj al-Mufassirin Terj. Faisal Saleh dan Syahdianor , 225 dan al-Zamakhshari, al-
Kashshaf ‘an H{aqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil (Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyah), h. 225.
2
Mustafa al-Sawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhshari fi Tafsir al-Qur’an (Mesir: Dar al- Ma‘arif, t.th), h. 8-9. dan
Muhammad Yusuf dkk. Studi Kitab Tafsir Ed. A. Rofiq (Yogyakarta: TERAS dan TH-Press, 2004), h. 48.
Semua itu menggugah semangat Al-Zamakhshari untuk memulai tafsirnya, meskipun dalam
bentuk yang lebih ringkas dari didiktekan sebelumnya.

Berdasarkan desakan pengikut Mu’tazilah di Mekah dan atas dorongan al-Hasan ‘Ali
ibn Hamzah ibn Wahhas serta kesadaran diri sendiri, akhirnya Al- Zamakhshari berhasil
penyelesaian penulisan tafsirnya dalam waktu kurang lebih 30 bulan. Penulisan tafsir tersebut
dimulai ketika ia berada di Mekah pada tahun 526 H dan selesai pada hari senin 23 Rabi’ul
Akhir 528 H.

B. Deskripsi Kitab

Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartib mushafi, yaitu berdasarkan urutan surat dan
ayat dalam Mushaf Utsmani, yang terdiri dari 30 juz berisi 144 surat, dimulai dengan surat al-
Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Tafsir ini terdiri dari 4 jilid. Penafsiran yang
ditempuh al-Zamakhsyari dalam karyanya ini sangat menarik, karena uraiannya singkat dan
jelas. Sehingga para ulama Mu’tazilah mengusulkan agar tafsir ini dipresentasikan kepada
para ulama dan mengusulkan agar penafsirannya dilakukan dengan corak i’tizali.

Penulisan kitab tafsir ini dimulai dengan menyebutkan nama surat, makkiyah dan
madaniyah, disebutkan pula beberapa ayat yang tidak tergolong makkiyah jika surah tersebut
dikategorikan sebagai madaniyah ataupun sebaliknya, kemudian menjelaskan makna nama
surat, menyebut nama lain dari surat itu bila ada riwayat yang menyebutkan, menyebutkan
keutamaan surat, kemudian memasukkan qira’at, bahasa, nahwu, sharaf dan ilmu-ilmu bahasa
Arab lainnya. Kemudian al-Zamakhsyari menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat dengan
mengikuti pendapat orang lain, memberi argumentasinya dan membantah pendapat orang
yang berlawanan dengan dia dan terkadang ia menyodorkan ayat-ayat pendek yang sejenis
maknanya untuk mendukung argumentasinya.

C. Biografi al-Zamakhsyari

Nama lengkap al-Zamakhsyari adalah Abu al-Qasim Mahmud Ibn Muhammad Ibn
Umar al-Zamakhsyari.3 Di samping nama ini, ia juga dijuluki sebagai Jarullah atau tetangga
Allah karena ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengambil pojok disalah satu pintu
Masjidil Haram sebagai tempat untuk bertafakkur dan Menyusun beberapa kitabnya. Ia
dilahirkan di Zamakhsyari sebuah kota kecil di Khawarizmi pada hari rabu tanggal 27 Rajab
dalam tahun 467 H atau 18 Maret 1075 M.4 Al-Zamakhsyari lahir di dalam keluarga yang
3
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm. 92
4
Abd, Khalid, Kuliah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2007), hlm. 62
religius. Kedua orang tuanya merupakan sosok yang patuh akan ajaran agama. Berkat kedua
orang tuanya ini, al-Zamakhsyari tumbuh menjadi anak yang mencintai agama dan ilmu
pengetahuan.

Imam al-Zamakhsyari sangat mencintai ilmu pengetahuan sejak saat ia kecil. Awal
pendidikan al-Zamakhsyari belajar membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an langsung di
bawah bimbingan orang tuanya di kampung halamannya. Baru setelah beliau menyelesaikan
masa itu, Bukhara terkenal sebagai pusat pendidikan terkemuka di bawah dinasti Samanid.
Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan aktivitasnya dalam berkarya yang ditulisnya
mendorong beliau untuk selalu berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain,
sehingga menyebabkan beliau membujang seumur hidupnya. Kemudian beliau kembali ke
kota kelahirannya karena wafat ayah tercintanya pada masa Muayyid al-Daulah. Dikalangan
para ulama, beliau dikenal sebagai orang yang luas ilmunya dan ahli dalam berdiskusi, karena
memang beliau terkenal sebagai orang yang sangat terpelajar dalam bidang agama maupun
ilmu-ilmu bahasa.5

D. Metode Penafsiran

Menurut sumber penafsirannya, sebagian besar penafsiran yang digunakan oleh al-
Zamarkasyi lebih berorientasi pada rasio atau akal (ra’yi), maka tafsir al-Kasyaf dapat
dikelompokkan pada tafsir bi al-ra’yi, meskipun pada beberapa penafsirannya menggunakan
dalil naqli, yaitu Al-Qur’an dan hadis sebagai dalil penunjang dari pendapatnya. Hal yang
paling utama yang mendorong para ulama mengelompokkan tafsir ini ke dalam kelompok
tafsir bi al-ra’yi adalah karena penafsirannya sangat didominasi oleh pendapat dan
pandangan kelompok yang dianut oleh mufassirnya. Di dalam tafsir al-Kasyaf memang tidak
tampak adanya penafsiran suatu ayat yang didasarkan pada ayat yang lain, juga tidak
ditemukan adanya hadis Nabi yang mendukung penafsirannya, kecuali dibeberapa ayat saja,
dan juga tidak ditemukan adanya pendapat dari para sahabat dan tabi’in dalam penafsirannya.
Oleh karena itu, al-Kasyaf dapat dikelompokkan sebagai tafsir dengan corak tafsir bi al-
ra’yi.

Menururut susunan penafsirannya, al-Zamakhasyari dalam tafsirnya menggunakan


metode tahlili karena dimulai dari surat al-Fatihah sampai dengan an-Nas. Ia meneliti makna
kata-kata dan kalimat secara cermat dan juga mengungkap makna munasabah, yaitu
hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya atau antara satu surat dengan surat yang
5
Zahrotun Nisa, Pemaknaan lafadz Mustad’afin Dalam al-Qur’an Perspektif al-Zamakhsyari dan Wahbah az-
Zuhaili, ( IAIN Surakarta,2019 )
lainnya, sesuai dengan urutan susuan surat-surat dalam Al-Qur’an. Menurut cara
penjelasannya, al-Zamakhsyari menggunakan metode Muqarrin yaitu metode berupa
penafsiran sekumpulan ayat-ayat yang berbicara mengenai suatu masalah dengan
membandingkan antara ayat dengan ayat atau hadis, dan dengan menonjolkan segi-segi
perbedaan tertentu antara objek yang dibandingkan dengan cara memasukkan penafsiran dari
ulama tafsir yang lain. Menurut keluasan penjelasannya, al-Zamakhsyari menggunakan
metode Tafsili yaitu metode yang penafsirannya terhadap Al-Qur’an berdasarkan urutan-
urutan ayat secara ayat perayat, dengan sesuatu uraian yang terperinci tetapi jelas.

E. Contoh Penafsiran

Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, al-Zamakhsyari tidak memakai makna zahir


al-Qur’an ketika makna tersebut tidak sesuai bahkan bertentangan dengan mazhab yang
dianutnya. Konsekuensinya, ia memindahkan makna zahir ayat kepada makna lain (takwil)
yang sesuai dengan pahamnya. Hal tersebut terlihat jelas ketika dia menafsirkan ayat-ayat
yang berhubungan dengan prinsip dasar paham Mu‟tazilah. Beberapa contoh penafsiran
tersebut adalah sebagai berikut:

a. Penafsiran terhadap Q.S. Al-Qiyamah ayat 22-23

)٢٣( ٌ‫) ِاىٰل َرِّبَه ا َناِظ َرٌة‬٢٢(‫ُوُجْوٌه َّيْوَم ِٕى ٍذ َّناِض َرة‬

Artinya: Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri karena memandang
Tuhannya.
Zamakhsyari dalam kitabnya menjelaskan ayat ini berbeda dengan mufassir pada
umumnya. Al-Thabary dalam bukunya Jami al-Bayan menjelaskan bahwa mufassir berbeda-
beda penafsirannya terhadap kata nazhirah. Ada yang berpendapat bahwa maknanya adalah
melihat Tuhan. Sedangkan ada pula yang berpendapat bahwa makna lafaz nazhirah adalah
mengharapkan pahala dari Allah. Pendapat ini menunjukkan bahwa al-Thabary ketika
menjelaskan kata nazhirah tidak terpaku pada satu pendapat saja. Ibnu Katsir dalam kitabnya
mengatakan bahwa arti kata nazhirah pada ayat tersebut adalah melihat Tuhan dengan mata
telanjang, hal ini diperkuat dengan hadits mutawatir riwayat Imam Bukhari. Sedangkan
Zamakhsyari mengartikan pengucapan nazhirah dengan menerjemahkan makna tersuratnya
menjadi makna al-tawaqq' wa al-raja (harapan). Padahal, ayat tersebut merujuk pada
kemungkinan manusia bisa melihat Tuhan di hari kiamat. Namun al-Zamakhsyari dalam
penafsirannya terhadap ayat tersebut dipengaruhi oleh salah satu prinsip aliran M'tazilah yang
dianutnya, yaitu prinsip at-tauhid. Menurut asas al-tauhid, Mu’tazilah menolak adanya tajsim
(penyerupaan sifat makhluk hidup). Hal ini berimplikasi pada penjelasan bahwa melihat
Tuhan itu mustahil. Maka jika lafaz nazhirah dipahami sebagai “melihat”, tentu penafsiran
seperti ini akan melanggar dan mengompromikan pemahaman yang dianut al-tauhid. Oleh
karena itu kata nazhirah yang berarti melihat berubah makna menjadi lain yaitu al-raja
(harapan). Dengan penafsiran seperti ini, ia telah menafsirkan ayat al-Qur’an tanpa menyalahi
prinsip dasar mazhab mu‟tazilah. Jelaslah penafsirkan ayat-ayat semacam ini dimaksudkan
untuk dasar paham Mu‟tazilah.6

Adapun hal tersebut telah dijelaskan dalam kitabnya, yaitu

“Ila Rabbiha nadzirah: memandang kepada Tuhannya secara khusus tidak memandang
kepada selainnya, dan maknanya adalah menunjukkan sesuatu yang dilakukan, ... , (karena)
bagaimana bisa menunjukkan makna secara khusus (melihat dengan mata kepala) sedangkan
diketahui bahwa mereka memandang atas sesuatu yang tidak terbatas dan tidak berbilang
pada padang mahsyar yang berkumpul didalamnya seluruh makhluk, sesungguhnya orang-
orang mukmin menyaksikan pada hari itu, karena sesungguhnya mereka beriman yang tidak
ada ketakutan dan kecemasan bagi mereka, mereka memandang dalam suatu tempat tertentu
kepada Tuhannya apabila diharapkan, hal tersebut mustahil atau tidak mungkin terjadi, oleh
sebab itu maka wajib memberikan makna yang benar, ..., dan makna yang tepat dengan itu
ialah menunggu dan berharap.”7

b. Penafsiran Az Zumar ayat 53

‫ِمَج ِا‬ ‫ِة ّٰلِه ِا ّٰل ِف ُّذ‬ ‫ِم‬ ‫ٰل ِس ِه‬ ‫ِع ِد َّلِذ‬
‫ُقْل ٰي َبا َي ا ْيَن َاْس َرُفْوا َع ٓى َاْنُف ْم اَل َتْق َنُطْوا ْن َّرَمْح ال ۗ َّن ال َه َيْغ ُر ال ُنْوَب ْيًعا ۗ َّنهٗ ُه َو‬
‫ِح‬
‫اْلَغُفْوُر الَّر ْيُم‬
Yang artinya, Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui
batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

6
Dara, Khairun Nisa, UNSUR I’TIZALI DALAM TAFSIR AL-KASYSYAF (Kajian Kritis Metodologi Al-Zamakhsyari).
7
Sulkifli, Penafsiran Al-Zamakhsyari Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat Dalam Tafsir Al-Kasysyaf. Al-Mutsla :
Jurnal Ilmu-ilimu Keislaman dan Kemasyarakatan Juni 2020 Volume 2 No 1. Hlm.17
Kaum Mu'tazilah terkesan dengan memaksakan diri membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang
pemahaman lahiriahnya bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan pasti akan
menepati janji dan ancaman-Nya. Salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut adalah QS:
al-Zumar: 53, memahami ayat ini, para Mu'tazilah mengatakan bahwa ayat ini mengandung
arti bahwa Allah pasti mengampuni segala dosa jika disertai dengan taubat. Ayat demikian
menyebutkan , “Dan kembalilah kepada Tuhanmu…”, yang kemudian diperkuat dengan
bagian ayat selanjutnya, “..sebelum azab menimpamu, kamu tidak akan dapat ditolong lagi
(az-Zumar: 54). yang kita dengar tidak sesuai dengan apa yang “kami” ucapkan, maka
firman Allah berkata: “..sebelum azab datang kepadamu…”. Jelas bahwa dalam menafsirkan
ayat tersebut, al-Zamakhsyari berusaha mempertahankan Prinsip al-wa’du wa al-waid dalam
mazhab Mu’tazilah, mereka yakin bahwa janji Allah bahwa orang yang taat akan mendapat
pahala dan ancaman Allah bahwa orang yang durhaka akan disiksa pasti akan dilaksanakan
oleh Allah. Sedangkan ayat di atas mengatakan bahwa Allah mengampuni segala dosa. Ayat
ini tentu tidak sesuai dengan prinsip al-wa'du wa al-wa'id yang mereka anjurkan. Dengan
demikian, al-Zamakhsyari dalam tafsirnya mengatakan bahwa dosa akan diampuni apabila
yang bersangkutan bertaubat. Tanpa pertobatan, ancaman hukuman akan tetap ada.

c. Penafsiran surat Al-Nisa’ ayat 93

‫َوَمْن َّيْق ُتْل ُمْؤ ِم ًنا ُّم َتَعِّم ًد ا َفَجَزۤاُؤهٗ َجَه َّنُم َخ اِلًد ا ِفْيَه ا َو َغِض َب الّٰل ُه َعَلْيِه َو َلَعَنهٗ َوَاَعَّد َلهٗ َعَذ اًبا َعِظ ْيًم ا‬

Yang artinya, Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya
adalah (neraka) Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan
menyediakan baginya azab yang sangat besar.
Al-Zamakhsyari memberikan penafsirannya secara gamblang atas ayat di atas. Ia
menyatakan ayat ini sebagai argumentasi yang meruntuhkan dalil Ahlussunnah. Secara tegas
ia mengecam sikap Ahlussunnah yang menyatakan bahwa seorang yang melakukan dosa
besar bisa saja memperoleh pengampunan dosa meskipun ia tidak melakukan taubat. Begitu
pula pandangan Ahlussunnah bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di dalam neraka. Al-
Zamakhsyari berkata dengan nada mencibir Ahlussunnah: ”…Di dalam ayat ini terdapat
kecaman dan ancaman. Ada pula tamparan laksana guntur dan petir. Sebuah kandungan ayat
yang luar biasa dan sebuah pernyataan yang keras. Karena itu, diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
tentang apa yang pernah diriwayatkan bahwa taubatnya orang yang membunuh saudara se-
imannya tidak akan diterima. Menurut Sufyan, jika orang berilmu ditanya mengenai hal ini,
mereka akan menjawab bahwa orang seperti itu tidak akan memperoleh pengampunan. Hal
itu disebabkan karena keputusan ini sesuai dengan sunnatullah yang memberikan kecaman
dan ancaman yang keras terhadap orang yang membunuh secara sengaja. Jika tidak seperti
itu, maka semua dosa akan dihapuskan cukup dengan melakukan taubat.
Ayat ini dianggapnya sebagai argumentasi yang paling kuat untuk menyatakan bahwa
posisi orang yang berbuat dosa besar itu kekal di dalam neraka jika tidak bertobat. Ia berkata.
Jika engkau bertanya: Apakah ada dalil tentang kekalnya orang yang berbuat dosa besar di
neraka jika dia tidak bertobat? Saya menjawab, Dalilnya jelas sekali. Karena ia termasuk
dalam kandungan. Barang siapa yang membunuh. Siapa saja di sini mencakup orang muslim
atau kafir, bertobat atau tidak bertobat. Akan tetapi, bagi yang bertobat sudah dikeluarkan
dari posisi kekal di neraka karena adanya dalil. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa
yang tidak bertobat juga dikeluarkan dari posisi kekal di neraka, hendaklah menunjukkan
dalil serupa.8
F. Kesimpulan

Al-Zamakhshari menulis kitab tafsirnya yang berjudul al-kashshaf ‘an Haqa’iq


Ghawamid al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujub al-Ta’wil berawal dari permintaan suatu
kelompok Mu’tazilah yang menamakan diri al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah. Al- Zamakhshari
berhasil penyelesaian penulisan tafsirnya dalam waktu kurang lebih 30 bulan. Penulisan tafsir
tersebut dimulai ketika ia berada di Mekah pada tahun 526 H dan selesai pada hari senin 23
Rabi’ul Akhir 528 H. Al-Zamakhshari dilahirkan di Zamakhsyari sebuah kota kecil di
Khawarizmi, pada hari rabu tanggal 27 Rajab dalam tahun 467 H atau 18 Maret 1075 M. Al-
Zamakhsyari lahir di dalam keluarga yang religius. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan
dan aktivitasnya dalam berkarya yang ditulisnya mendorong beliau untuk selalu berpindah-
pindah dari satu daerah ke daerah yang lain para ulama, sehingga beliau dikenal sebagai
orang yang luas ilmunya dan ahli dalam berdiskusi.

Adapun Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartib mushafi. Menurut susunan


penafsirannya, al-Zamakhasyari dalam tafsirnya menggunakan metode tahlili. Menurut cara
penjelasannya, al-Zamakhsyari menggunakan metode Muqarrin. Menurut keluasan
penjelasannya, al-Zamakhsyari menggunakan metode Tafsili. Dalam menafsirkan ayat al-
Qur’an, al-Zamakhsyari tidak memakai makna zahir al-Qur’an ketika makna tersebut tidak
sesuai bahkan bertentangan dengan mazhab yang dianutnya. Konsekuensinya, ia

8
Saifullah, dkk. Penafsiran-Penafsiran al-Zamakhsyari Tentang Teologi dalam tafsir al-Kasysyaf. Jurnal
Diskursus Islam. Volume 05 Nomor 2, Agustus 2017.
memindahkan makna zahir ayat kepada makna lain (takwil) yang sesuai dengan paham
Mu’tazilah.
DAFTAR PUSTAKA

Abd Halim Mahmud. Manhaj al-Mufassirin Terj. Faisal Saleh dan Syahdianor , 225 dan al-
Zamakhshari, al-Kashshaf ‘an H{aqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-
Ta’wil (Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyah)

Mustafa al-Sawi al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhshari fi Tafsir al-Qur’an (Mesir: Dar al-
Ma‘arif, t.th), h. 8-9. dan Muhammad Yusuf dkk. Studi Kitab Tafsir Ed. A. Rofiq
(Yogyakarta: TERAS dan TH-Press, 2004)

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2014)

Abd, Khalid, Kuliah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir (Surabaya: IAIN Sunan Ampel,
2007) Zahrotun Nisa, Pemaknaan lafadz Mustad’afin Dalam al-Qur’an Perspektif al-
Zamakhsyari dan Wahbah az-Zuhaili, ( IAIN Surakarta,2019 )
Zahrotun Nisa, Pemaknaan lafadz Mustad’afin Dalam al-Qur’an Perspektif al-Zamakhsyari
dan Wahbah az-Zuhaili, ( IAIN Surakarta,2019 )

Saifullah, dkk. Penafsiran-Penafsiran al-Zamakhsyari Tentang Teologi dalam tafsir al-


Kasysyaf. Jurnal Diskursus Islam. Volume 05 Nomor 2, Agustus 2017.

Dara, Khairun Nisa, UNSUR I’TIZALI DALAM TAFSIR AL-KASYSYAF (Kajian Kritis
Metodologi Al-Zamakhsyari).
Sulkifli, Penafsiran Al-Zamakhsyari Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat Dalam Tafsir Al-
Kasysyaf. Al-Mutsla : Jurnal Ilmu-ilimu Keislaman dan Kemasyarakatan Juni 2020
Volume 2 No 1.

Anda mungkin juga menyukai