Anda di halaman 1dari 4

Manahij Al-Mufassir/ Metode Tafsir Bil Mat'sur II

Ringkasan Pembahasan Kitab-kitab Tafsir berikut:

A. Al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz


Al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz merupakan kitab tafsir karangan Ibnu
'Athiyyah dari Andalusia (al-Andalusi). Nama lengkapnya Abu Muhammad ‘Abd al-
Haqq bin Galib bin ‘Abd al-Rahman bin Galib bin ‘Abd al-Rauf bin Tamam bin
‘Abdullah bin Tamam bin ‘Athiyyah bin Khalid bin ‘Athiyyah al-Muharubi (al-
Dakhil). Ibnu ‘Athiyyah adalah seorang ulama (ahli Tafsir, Hadits, Fiqih, Qiraat,Bahasa
dan Sastra Arab), ia juga seorang pejuang yang turut berperang bersama pasukan al-
Murabithun serta sebagai hakim (qadhi) di Almeria (al-Muryah/al-Mariyyah) sejak
bulan Muharram 529 H/1134 M.
Kitab al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz memiliki makna kitab tafsirnya
itu merupakan himpunan lengkap dalam arti menafsirkan Al-Qur’an secara lengkap
(jāmi’an), namun cukup ringkas, tidak bertele-tele (wajīzan). Hal ini antara lain dapat
ditunjukkan: setelah dia menafsirkan ungkapan al-shalah pada Surah al-Baqarah ayat
3, dia tidak mengulangi lagi penafsiran ungkapan yang sama ketika menafsirkan Surah
al-Baqarah ayat 43, dan seterusnya.
Sedangkan ungkapan Muharraran, mengindikasikan bahwa karyanya tersebut ingin
dipublikasikan kepada masyarakat. Bertolak dari analisis ini, maka penamaan yang
lengkap yang dikemukakan oleh Mulā Kātib Jalabī pada prinsipnya merupakan
upayanya dalam merekonstruksi maksud Ibnu ‘Athiyyah dengan nama yang mencakup
semua dimensi yang diinginkannya. Dan untuk memberikan ungkapan yang serasi
terhadap al-Wajiz, dipilihlah ungkapan fi tafsir al-Kitab al-'Aziz.
Kitab Tafsir Al Muharrar Al Wajiz terdiri dari 17 juz, dan Ibnu 'Athiyyah meringkasnya
dari semua kitab-kitab tafsir (yakni Tafsir al-Manqul) dan selalu mencari yang lebih
dekat kepada keshahihan dari kitab-kitab tersebut, menafsirkan ayat dengan gaya
bahasa yang manis dan mudah serta banyak sekali menukil dari Ibnu Jarir (ath-Thabari).
Dengan demikian, kitab tafsir ini dapat dikategorikan ke dalam tafsir bil-ma'tsur karena
diambil dari riwayat Nabi, para sahabat, para thabi'in, dan para tokoh ulama' setelahnya.
B. Kitab Tafsir Ibnu Katsir
Kitab tafsir Ibnu katsir ditulis oleh Syekh al-Imam al-Hafid Abu al-Fida` Imanuddin
Isma’il bin Umar Katsir Dhau’ bin Katsir al-Quraisy al-Dimasqy (w. 1373 M, dengan
judul tafsir Al-Qur’an al-`Azhim. Tafsir ini ditulis dalam gaya yang sama dengan tafsir
Ibnu Jarir ath-Thabari. Tafsir ini juga merupakan salah satu kitab tafsir yang paling
terkenal, tafsir ini lebih dekat dengan ath-Thabari, tafsir ini termasuk tafsir bi al-
ma’tsur. Tafsir menggunakan sumber-sumber primer dan menjelaskan ayat-ayat al-
Qur’an dengan bahasa yang sederhana dan mudah difahami.
Tafsir Ibnu katsir juga merupakan sebaik-baiknya tafsir ma’tsur yang mengumpulkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dan hadits dengan hadits yang ada kodifikasi beserta
sanadnya.
Sistematika yang ditempuh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, yaitu menafsirkan seluruh
ayat-ayat Al-Qur’an sesuai susunannya dalam mushaf Al- Qur’an, ayat demi ayat dan
surat demi surat, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas,
maka secara sistematika tafsir ini menempuh tartib mushaf.
Adapun metode yang digunakan oleh Ibnu Katsir yaitu metode tahlily, suatu metode
tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan seluruh
aspeknya. Mufassir mengikuti susunan ayat sesuai mushaf (tartib mushafi),
mengemukakan arti kosakata, penjelasan arti global ayat, mengemukakan munasabah
dan membahas sabab an-Nuzul, disertai Sunah Rasul, pendapat sahabat, tabi`in dan
pendapat penafsir itu sendiri dengan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan
sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang
dipandang dapat membantu memahami nash Al- Qur’an tersebut.
Dalam tafsir Ibnu Katsir aspek kosakata dan penjelasan arti global, tidak selalu
dijelaskan. Kedua aspek tersebut dijelaskan dianggap perlu. Kadang pada suatu ayat,
suatu lafaz dijelaskan arti kosakata, serta lafaz yang lain dijelaskan secara terperinci
dengan memperlihatkan penggunaan istilah itu pada ayat-ayat lainnya.
C. Kitab Tafsir Al Jawahir Al Hissan
Kitab Tafsir Al Jawahir Al Hiasan ditulis oleh Tsa'labi yang memiliki nama lengkap
Abû Ishâq Ahmad ibn Ibrahîm al-Tsa’labî al-Nausaburî (w. 427 H), biasa dipanggil
Abû Ishâq atau al-Tsa’labi. Dalam menafsirkan al-Qur’an, ia menekankan
perhatiannya tentang gramatika dan fiqh. Ia juga memberi perhatian terhadap kisah-
kisah isrâiliyyât. Tsa’labî dikenal sebagai juru nasihat bagi masyarakat. Ia sering
berpidato dan berdakwah dengan mementingkan cerita sebagai isi dakwahnya. Selain
itu beliau dikenal sebagai ulama besar, utamanya dalam bidang tafsir al Qur’an dan
qira’at. Ibn Khalikan dalam Wafayaat al ‘Ayaan menyebutkan beliau sebagai seorang
mufassir masyhur, dan termasuk nomor satu dalam ilmu tafsir pada zamannya.

Beliau adalah seorang hafiz yang alim, unggul dalam penguasaan bahasa Arab secara
luas. Beliau juga dikenal orang yang benar penuqilan-nya dan terpercaya dalam ilmu
penuqilan, singkatnya beliau ialah seorang ahli riwayat yang diantaranya mengambil
ilmu riwayat Ibn Khuzaimah, sehingga beliau juga digelari al Hafiiz sebagai disebutkan
dalam Tarikh Al Naisabur.

Kitab ini setidaknya disandarkan pada beberapa manuskrip (makhtuthat). Diantaranya


manuskrip di Al Mar’isy, Najaf, Qom; Isfabahan (Isfahan); Damsyiq (Damaskus,
Syria), dan Irlandia. Hal ini sebagaimana informasi yang tertera pada tahqiq dari kitab
yang kami miliki, yaitu cetakan penerbit Daar Ihyaa Al Turats Al ‘Araby (Beirut-
Lebanon), tahun 2002 M/ 1422 H yang terdiri dalam 10 Jilid. Terbitan ini ditahqiq oleh
Al Imam Abi Muhammad ibn ‘Asyur.

Tafsir Al Tsa’laby punya kedudukan penting di kalangan ulama, utamanya sebagai


tafsir yang mengutip berbagai riwayat dalam penafsirannya. Namun, mengenai perihal
kekayaan riwayatnya ini menyebabkan karya ini mendapat kritik dari berbagai ulama.
Sebab utamanya adalah banyak kutipan riwayat Israiliyyat dan tidak cermat dalam
pemilihan hadis dalam tafsirnya. Diantara yang mengkritik adalah Syaikh Al Islam Ibn
Taimiyah dalam Muqaddimah fi Ushul Al Tafsiir. Ibn Taimiyyah
menyebutkan, “Bahwa Al Tsa’labi dalam dirinya ditemui kebaikan juga
keberhutangan, yaitu di dalam karyanya terdapat riwayat yang shahih, dhai’f, dan
maudhu’.” Hal ini juga disampaikan oleh Al Kattani dalam Risalah Al
Mustathrafah bahwa di dalam tafsirnya terdapat hadis maudhu’ (palsu), dan kisah-
kisah yang bathil.

Namun, menurut Imam Husain Al Zahabi dalam Tafsir al Mufassiruun, menjelaskan


bahwa Al Tsa’laby sebenarnya tidak banyak menggunakan/mengutip hadis maudhu’,
hanya saja memang ia tidak mampu memilah/memisahkan (laa yastati’ an Yamiiza)
antara hadits maudhu’ dan selain maudhu’, diantaranya hadis maudhu’ dari syi’ah
mengenai ahlul bait yang terkenal pemalsuannya. Inilah yang kemudian diperingkatkan
oleh ulama. Walaupun begitu senyatanya, kebanyakan tafsir bil ma’tsur tidak lepas dari
kekurangan terhadap kualitas riwayat, termasuk Tafsir Al Thabari sekalipun yang
penulisnya adalah pakar sejarah dan menguasai hadis.

Walaupun begitu karya Al Tsa’laby ini tetap sangat berharga sehingga menjadi rujukan
para ulama setelahnya, sebab memiliki kelebihan, termasuk varian riwayat tadi dan
penjelasan qira’atnya. Maka, para ulama selanjutnya berusaha untuk meneliti riwayat-
riwayat tersebut sehingga terpisah antara yang benar dan bathil. Puncaknya adalah
peringkasan tafsir ini dengan perbaikan yang sangat baik oleh Imam Al Baghawy, yang
akhirnya dikenal sebagai tafsir Ma’aalim Al Tanziil yang dibahas sebelumnya, dimana
kitab ini mendapatkan pengakuan dan penerimaan yang luarbiasa dari para ulama

D. Durru Al Manstur
Kitab ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur merupakan kitab tafsir karangan Imam
Jalaluddin as-Suyuthi. Beliau bernama Abdurrahman bin Kamal bin Abu Bakr bin
Muhammad bin Sabiquddin bin Fajr bin Utsman bin Nadiruddin Hamam al-Hudhairi
as-Suyuthi. Jalaluddin adalah laqab beliau dan Abu Fadl kunyah (kuniyah)-nya.
Sedangkan al-Hudhairi, sebagaimana dijelaskan al-Suyuthidalam kitabnya Husnul
Muhadharah merupakan pe-nisbat-an kepada Hudhairiyyah, satu daerah di Baghdad
yang merupakan kota kelahiran buyutnya. Adapun nama al-Suyuthi dinisbatkan kepada
propinsi Asyut di negara Mesir dan merupakan tempat kelahiran beliau.

Sebelum menulis kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur ini, as-Suyuthi telah menulis kitab
tafsir yang berjudul Majma’ al-Bahrain wa Mathla’ al-Badrain. Setelah itu, beliau
menulis kitab tafsir yang berisi penafsiran Rasulullah dan sahabat, yang
keseluruhannya tidak kurang dari tujuh belas ribuan hadits, baik yang marfu’ (sampai
ke Rasulullah) maupun mauquf (sampai ke sahabat). Kitab tafsirnya ini, diberi judul
Turjumah Al-Qur’an.Setelah itu, beliau menulis lagi sebuah kitab tafsir yang diberi
judul ad-Durr al-Mansur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, yang merupakan ringkasan kitabnya
Turjuman Al-Qur’an.

Metode yang dipakai oleh Imam Suyuthi dalam tafsir ad-Durr al-Mantsur ini adalah
metode tahlili (analitis). Imam Suyuthi menafsirkan ayat ini berdasarkan urutan
mushaf, mulai dari al-fatihah hingga an-Nas. Kendati dikatakan sebagai tahlili
(analitis), Imam Suyuthi tidak memberikan komentar apapun atas atsar (hadis
Rasulullah saw atau ungkapan sahabat) yang dia nukil dalam tafsirnya. Oleh karena itu,
tafsir ini secara keseluruhan menggunakan atsar sebagai bahan penafsiran ayat-ayatnya.

As-Suyuthi mengawali penafsirannya dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang


terkait dengan tempat turunnya surah dan keutamaannya, serta keutamaan
membacanya. Kemudian menyebutkan riwayat-riwayat lainnya yang terkait dengan
tempat turunnya surah dan keutamaannya, serta keutamaan membacanya. Kemudian
menyebutkan riwayat-riwayat lainnya berkaitan dengan qira’at dan tafsirnya.

Kitab ad-Durr al-Mantsur adalah model kitab tafsir bil ma’tsur yang beraliran Ahl al-
sunnah yang paling banyak dibuang sanadnya. Dalam hal ini, al-Suyuthi tidak memberi
alasan yang jelas. As-Suyuthi memang sangat konsisten dalam menjaga periwayatan
dalam kitab tafsirnya ini, baik yang berasal dari Rasulullah, sahabat maupun tabi’in,
namun sayangnya beliau tidak menjelaskan status riwayat-riwayat tersebut apakah
shahih, hasan, dha’if, atau bahkan maudhu.

Di dalam kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur ini banyakk ditemukan kisah-kisah dan
riwayat-riwayat israiliyat yang tidak disertai dalil-dalil dan bahkan bertentangan
dengan akal sehat, seperti kisah Harut dan Marut, kisah putera Ibrahim yang
disembelih, yang menurut kitab ini adalah Ishaq, kisah Yusuf, Daud dan Sulaiman,
Ilyas. Bahkan, al-Suyuthi terlalu berlebihan dalam menuturkan riwayat-riwayat yang
terkait dengan yang menimpa Nabi Ayyub, padahal sebagian besar dari riwayat-riwayat
tersebut tidak sahih dan kebanyakan dari kisah-kisah israiliyat.

Anda mungkin juga menyukai