Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


“’ULUMUL QUR’AN”
yang diampu oleh bapak Muhammad Iqbal Ansari, M.Pd.I

PENULIS:

MUHAMMAD RIZKY REYNALDI (2105030002)

HALIMATUS SA’DIYAH (2105030025)

.
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS STUDI ISLAM
KELAS NON REGULER / EKSTENSI BANJARBARU
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MAB 2021
A. PENGERTIAN TAFSIR
Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-
tafsîran, berarti keterangan dan penjelasan (al-idhâh wa at-
tabyîn), sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT:
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan
kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.” (Q.S. Al-Furqân 25:33) .
Kata fassara adalah bentuk muta’addi dari kata kerja fasara-
yafsiru-fasran, atau fasara-yafsuru-fasran yang berarti al-
bayân atau kasyf al-mughatha (menyingkap yang tertutup).
Dengan demikian tafsir berarti kasyfu al-murâd ‘an al-lafzh
al-musykil (menyingkap maksud dari kata yang sulit).
Dari segi terminologis, berbacam definisi dibuat oleh para
ulama. Berikut ini beberapa di antaranya:
1. Abu Hayyân:
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafazh-lafazh Al-Qur’an dan tentang arti dan makna dari
lafazh-lafazh tersebut, baik kata perkata maupun dalam
kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapinya
2. Az-Zarkasyi:
Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan
makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
3. Az-Zarqâni:
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-
Karim dari segi makna yang terkandung di dalamnya sesuai
dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT sebatas
kemampuan manusia.
Sekalipun diungkapkan dengan kalimat yang berbeda-beda,
tetapi ketiga definisi di atas sepakat menyatakan bahwa secara
terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang
arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Sekali pun tidak
diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu
Hayyân dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqâni
bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman
Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di samping dibatasi oleh
kemampuan masing-masing sebagai manusia, para mufasir
juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, sosial
budaya yang berbeda-beda, sehingga bentuk, metode dan
corak penafsiran mereka juga berbeda-beda.
Sejauh ini, dikenal ada dua bentuk penafsiran , yaitu at-tafsîr
bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dan empat metode,
yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari
segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa,
fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra
budaya kemasyarakatan.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR


Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman
para sahabat Nabi sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H),
‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w.
32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para
sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat
pertama-tama menelitinya dalam Al-Qur’an sendiri, karena
ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan;
Kedua, merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammad SAW,
sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-
ayat Al-Qur’an; Ketiga, apabila mereka tidak menemukan
keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak
sempat menanyakannya kepada Rasulullah SAW, para
sahabat berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab,
pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan orang-orang
Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar
belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan
kekuatan penalaran mereka sendiri. Baru yang terakhir,
sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah,
khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum
dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah
memeluk agama Islam, seperti ‘Abdullah ibn Salâm (w. 43
H), Ka’ab al-Ahbâr (w. 32 H)dan lain-lain.
Tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan ilmu sendiri,
masih merupakan bagian dari riwayat-riwayat hadits yang
berserakan, belum sistematis seperti tafsir yang kita kenal
sekarang. Di samping belum sistematis, pada masa sahabat ini
pun Al-Qur’an belum ditafsirkan secara keseluruhan, dan
pembahasannya pun belum luas dan mendalam.
Sesudah priode sahabat, datanglah generasi berikutnya
(tabi’in) meneruskan usaha yang telah dirintis oleh para
sahabat. Di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an dan Hadits Nabi, mereka juga merujuk kepada
penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip
dari Ahlul Kitab. Setelah itu baru mereka mengembangkan
penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa tabi’in ini,
tafsir masih merupakan bagian dari hadits, tetapi sudah
mengelompok menurut kota masing-masing.
Tabi’in Makkah seperti Mujâhid ibn Jâbir (w. 104 H) , ‘Athâ’
ibn Abi Ribâh (w. 114 H) dan ‘Ikrimah Maulâ Ibn ‘Abbâs (w.
104 H) meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs (w. 68 H) Tabi’in
Madinah seperti Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi (w. 118
H), Abû’ al-‘Aliyah ar-Riyâhi (w. 90 H) dan Zaid ibn Aslam
(w. 136 H) meriwayatkan dari Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H).
Tabi’in ‘Iraq seperti al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Masrûq
ibn al-Ajdâ’ (w. 93 H) dan Qatâdah ibn Di’âmah (w. 117 H)
meriwayatkan dari ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H). Adz-
Dzahabi menyebut madrasah tersebut dengan Madrasah
Makkah, Madrasah Madinah dan Madrasah ‘Irâq.
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi
(tadwîn) hadits di mana riwayat-riwayat berisi tafsir
dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap
belum sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam
perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan
kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama seperti Ibn
Mâjah (w. 273 H), Ibn Jarîr at-Thabari (w. 310 H), Abû Bakar
ibn Al-Munzir an-Naisabûri (w. 318 H) dan lain-lain
mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisi tafsir dari Nabi,
sahabat dan tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang
dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-
Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Bentuk
penafsiran yang dirintis Ibn Jarîr dan mufasir lain pada masa
awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan
bentuk at-tafsîr bi al- ma’tsûr.
Contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan bentuk at-tafsîr
bi al- ma’tsûr ini antara lain adalah:
(1) Muhammad Ibn Jarîr ath-Thabari (w. 310 H), Jâmi’ al-
Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân.
(2) Abu al-Laits Nâshir ibn Muhammad as-Samarqandi
(w.373 H), Bahr al-‘Ulûm.
(3) Abu Ishaq Ahmad ibn Ibrâhim ats-Tsa’labi (w. 427 H), al-
Kasysyâf wal al-Bayân ‘an Tafsîr Al-Qur’ân.
(4) Abu Muhammad al-Husain ibn Mas’ûd al-Baghawi (w.
510 H), Ma’âlim at-Tanzîl fi at-Tafsîr.
(5 Abu Muhammad ‘Abd al-Haq ibn Ghâlib ibn ‘Athiyah (w.
546 H), al-Muharrir al-Wajîz fi Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz.
(6) Abu al-Fadâ’ Ismâ’îl ibn ‘Amr ibn Katsîr (w. 774 H),
Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm.
(7) Abu Zaid ‘Abd ar-Rahman ibn Muhammad ats-Tsa’labi
(w. 876 H), al-Jawâhir al-Hassân fi Tafsîr Al-Qur’ân.
(8) Jalâl ad-Dîn as-Suyûthi (w. 911 H), Ad-Durr al-Mantsûr fî
at-Tafsîr al-Ma’tsûr.
Sementara itu, setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan
berkembang pesat pada masa Daulah’Abbasiyah, para mufasir
tidak puas hanya dengan bentuk bi al- ma’tsûr, karena
perubahan dan perkembangan zaman menghendaki
pengembangan bentuk tafsir dengan memperluas dan
memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan
penggunaannya pada bentuk bi al-ma’tsûr. Tafsir dengan
bentuk ini kemudian dikenal dengan at-tafsîr bi- ar-ra’yi.
Dengan at-tafsîr bi- ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad
atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan
sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini
mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-
macam ilmu pengetahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu
qirâah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu
sejarah, dan lain-lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsîr bi-
ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad
mufasir itu sendiri.
Contoh kitab-kitab at-tafsîr bi- ar-ra’yi antara lain adalah:
(1) Abû al-Qâsim Jârullah Mahmûd ibn ‘Umar az-
Zamakhsyari al-Khawârizmi (w. 538 H), Al-Kasysyâf ‘an
Haqâiq at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh at-Ta’wîl.
(2) Abû‘Abdillah Muhammad ibn ‘Umar ar-Râzi (w. 606 H),
Mafâtih al-Ghaib.
(3) Nâshir ad-Dîn Abû Khair ‘Abdullah ibn ‘Umar al-
Baidhâwi (w. 685 H), Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl.
(4) Abû al-Barakât ‘Abdullah ibn Ahmad an-Nasafi (w. 701
H), Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl; (5) Abû al-Fadhl
Syihâb ad-Dîn as-Sayyid Mahmûd al-Alûsi al-Baghdâdi (w.
1270 H), Rûh al-Ma’âni fî Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-
Sab’i al-Matsâni.
C. JENIS DAN MACAM TAFSIR
D. TAFSIR TEMATIK DAN KAIDAHNYA
E. URGENSI MEMPELAJARI ILMU TAFSIR

Tafsir termasuk disiplin ilmu islam yang paling


mulia dan luas cakupannya. Paling mulia, karena
kemulian sebuah ilmu itu berkaitan dengan materi yang
dipelajarinya, sedangkan tafsir membahas firman-firman
Allah. Dikatakan paling luas cakupannya, karena seorang ahli
tafsir membahas berbagai macam disiplin ilmu, dia
terkadang membahas akidah, fikih, dan akhlak. Di
samping itu, tidak mungkin seseorang dapat memetik
pelajaran dari ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali dengan

mengetahui makna-maknanya. Oleh karena itu, kita sebagai


seorang muslim harus berusaha mengetahui tafsir Al-Qur’an
agar
mampu mengambil manfaat darinya dan mampu mengikuti
jejak salafus shalih. Dengan urgensi tafsir seperti itu, membawa
ulama sepakat bahwa tafsir termasuk fardu kifayah dan
merupakan salah satu dari tiga ilmu syariat yang paling
utama setelah hadis dan fikih. Keutamaan ilmu tafsir
bukan hanya karena ilmu ini membahas pokok-pokok ajaran
agama yang sangat dibutuhkan, akan tetapi mempelajari
ilmu ini mengandung tujuan mulia, karena pokok
kajiannya adalah Kalamullah.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Kairo:
Dar al-Kutub al-Hadîtsah, 1976), jilid I, hlm. 13-15.

Al-Imâm al-‘Allamah Abi al-Fadhal Jamâl ad-Dîn Muhammad ibn


Mukarram ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab (Riyadh: Dâru ‘Alam al-
Kutub, 2003), Juz 6, hlm. 361.
Muhammad ‘Abd al-Azhîm az-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm
Al-Qur’an (Beirut: Dâr ‘Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), Jld I, hlm.
471.
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 9.
Al-Hâfizh Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân as-Suyûthi, Al-Itqân fi ‘Ulûm
Al-Qur’an (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, 2003), juz 1 hlm. 187.
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan
Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 15-17.
Ahmad, al-Hajj, Yusuf. 2003. al-Qur’an Kitab Sains dan Medis.
Jakarta. Grafindo Khazanah Ilmu.

Shihab, M Quraish. 2004. Membumikan al-Qur’an. Bandung. Mizan

Anda mungkin juga menyukai