Anda di halaman 1dari 9

MENCOBA BELAJAR MEMAHAMI TAFSIR SURAT ALFATIHAH

Pendahuluan

Salah satu cabang ilmu yang sangat penting dalam praktik kehidupan Islam adalah
tafsir Alquran. Bagi muslim menjadikan Alquran sebagai pedoman dan petunjuk hidup
adalah kewajiban yang mutlak. Sebab itulah mengerti makna dan konsekuensi hukum Islam
dalam setiap ayat dan keseluruhan isi di Alquran menjadi prasarat utama. Tafsir adalah
jawaban bagi muslim agar bisa mengerti maksud serta kandungan pelajaran di dalam
Alquran.

Tafsir secara etimologi berwazan taf’iil, berasal dari fassara-yufassiru-tafsiiran yang


berari al-idhah, al-syarh dan al-bayan (penjelasan atau keterangan). Ia juga berarti al-ibanah
(menerangkan), al-kasyf (menyingkap) dan izhhar al-ma’na al-ma’qul (menampakan makna
yang rasional). Secara terminologi adalah upaya untuk menjelaskan tentang arti atau maksud
dari firman-friman Allah SWT sesuai dengan kemampuan mufassir.

Dalam praktiknya terdapat dua aliran besar dalam penafsiran Alquran yaitu tafsir bil
ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bil ma’tsur (dengan riwayat) adalah aliran tafsir dengan
cara menafsirkan ayat dijelaskan dengan ayat, ayat dijelaskan dengan hadits, ayat dijelaskan
dengan pendapat sahabat dan tabi’in. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi (akal pikiran) adalah aliran
tafsir dengan cara menafsirkan ayat dijelaskan dengan logika, ilmu dan ijtihad. Menurut
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Muqaddimati fi Ushuli al-Tafsir ditegaskan bahwa
salah tafsir yang dilarang oleh Nabi SAW adalah tafsir bi al-ra’yi almahdh.

Dilihat dari sisi kecenderungan hasil dalam penafsiran Alquran dapat dikatakan
memiliki beragam corak, pendekatan atau karakteristik. Hal demikian diasumsikan karena
latar belakang kemampuan, perbedaan misi atau motivasi sang mufassir, ragam ilmu yang
mengilhami atau juga lingkungan, situasi serta kondisi penafsiran tersebut dibuat. Sebagai
contoh corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak sufi/tasawuf dan corak fiqhi
atau hukum, corak adabi ijtima’i.

Corak fiqhi atau hukum adalah bentuk dari penafsiran Alquran dengan
menggunakan pendekatan hukum sehingga hasilnya juga berkaitan dengan urusan-urusan
hukum. Contoh tafsir fiqhi dalam mazhab hanafi antara lain: Ahkam al-Qur’an karya Ali al-
Qumi (350 H), Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas (370 H), Takhlis Ahkam al-Qur’an karya
Ibn Siraj al-Qunawi (770 H) dan at-Tafsirat al-Ahmadiyyah fi Bayan al-Ayat ash-Shar’iyyah
karya Ahmad bin Abu Sa’id al-Hanafi (1130 H).

Contoh tafsir fiqhi dalam mazhab maliki antara lain: Ahkam al-Qur’an karya Ismail
bin Ishaq al-Maliki (282 H), Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar bin Muhammad al-Baghdadi
(305 H), Ahkam al-Qur’an karya Ibnu al-‘Arabi (543 H) dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
karya al-Qurtubi (671 H).

Contoh tafsir fiqhi dalam mazhab syafi’i antara lain: Ahkam al-Qur’an karya Imam
Syafi’i (204 H), Ahkam al-Qur’an karya Ibrahim bin Khalid al-Baghdadi (240 H), al-Qaul al-
Wajiz fi Ahkam al-Kitab al-‘Aziz karya Shihabuddin as-Samin (756 H), al-Iklil fi Istibat al-
Tanzil karya Jalaluddin as-Suyuti (911 H) dan Hidayah al-Hayran fi Ba’di Ahkam Tata’llaq
bi al-Qur’an karya Abdullah bin Muhammad at-Tablawi (1027 H).

Contoh tafsir fiqhi dalam mazhab hanbali antara lain: Ahkam al-Qur’an karya Abu
Ya’la Muhammad bin al-Farra’ (458 H) dan Ihkam al-Ra’i fi Ahkam al-Ay karya
Shamsuddin Muhammad bin Abdurrahman al-Hanbali (776 H).

Corak sufi/tasawuf adalah bentuk dari penafsiran Alquran dengan pendekatan


tasawuf sehingga hasilnya akan banyak memuat berkaitan dengan hal yang metafisik atau
supranatural. Contoh tafsir bercorak sufi antara lain: Kitab tafsir Haqa'iq At Tafsir karya Abu
Abdurrahman As Sulami, Al Kasyf wa Al Bayan karya Ahmad bin Ibrahim an-Naisaburi,
Tafsir Ibn Arabi karya Ibnu Arabi, dan Ruh Al Ma'ani fi Tafsir Alquran Al Azim wa As Sab'i
Al Masani karya Syihabuddin Mahmud Al Alusi, Tafsir Al-Quran al-Adzim – Sahl ibn
Yunus al-Tustari (203-283 H), Haqaiq al-Tafsir – Muhammad ibn Husain al-Sulami (330 –
412 H), Lata‘if al-Isharat (Tafsir al-Qushayri) – ‘Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qushayri (w.
465 H), Tafsir al-Qur’an al-‘Azim – Ibnu ‘Arabi (560-638 H), ‘Ara’is al-Bayan fi Haqa’iq al-
Qur’an – Abu Muhammad Ruzbihan Ibn Abi al-Nasr al-Shirazi (w. 666 H), Al-Ta’wilat al-
Najmiyah – Najm al-Din Dayah (w. 654 H) & ‘Ala’ al-Dawlah al-Samnani (659-736 H),
Ghara’ib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan – Nizam al-Din al-Hasan ibn Muhammad al-
Naysaburi, Ruh al-Ma’ani – Shihab al-Din al-Sayyid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi
(1217-1270 H), Tafsir al-Azhar – Abdul Malik Karim Amrullah (Buya HAMKA) (1908-1981
H)

Corak filsafat atau teologi adalah bentuk dari penafsiran Alquran yang menggunakan
pendekatan cara berfikir dalam berfilsafat. Contoh tafsir bercorak filsafat antara lain: Mafatih
Al-Ghaig karya Fakhr al-Razi (w. 606 H), Al-Isyarat karya Imam al-Ghazali (w. 505 H),
Fushush al-Hikam karya al-Farabi (w. 339 H), Rasail Ibn Sina karya Ibn Sina (w. 370 H).

Corak ilm’ (ilmiah) adalah bentuk dari penafsiran Alquran yang menggunakan
pendekatan ilmpu pengetahuan. Contohnya antara lain: Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karya
Thanthawi Jauhari, Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an karya Hanafi Ahmad,
Tafsir al-Ayat al-Kauniyah karya sunan Dr. Abdulllah Syahatah, Tafsir al-Manar karya
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Corak adabi ijtima’i adalah bentuk dari penafisran Alquran yang menggunakan
pendekatan budaya dan sosial kemasyarakatan. Sebagai contah dari karekteristik tafsir
bercorak ini adalah Tafsir al-Manar karya Syaikh Muhammad Abduh.

Pembahasan berikutnya dalah berkaitan dengan metode tafsir yang merupakan


kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Selain itu ada
juga istilah seni atau teknik penafsiran yakni cara menyajikan atau memformulasikan tafsir
tersebut serta cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam
metode. Kemudian ada juga metodologi tafsir yaitu pembahasan ilmiah tentang metode-
metode penafsiran Alquran. Secara umum ada empat jenis metode tafsir di kalangan
khazanah keilmuan Islam antara lain: meotde ijmali, metode tahlili, metode
muqarin/muqaran dan metode mawdhu’i. Pada perkembangannya dianggap ada penambahan
metode tafsir kelima yang disebut hermeneutika.

Metode Ijmali (global) adalah metode tafsir yang tidak memberikan rincian yang
memadai serta berkembang pada masa Nabi SAW dan para shahabat sehingga disebut
sebagai metode tafsir Alquran yang pertama kali muncul. Contoh: Tafsir al-Jalalain Imam al-
Suyuthi & al-Mahalliy, Taj al-Tafsir Imam al-Mirghami, Al-Tafsir al-Farid li Alquran al-
Majid Muhammad Abd al-Mun’im, Tafsir al-Munir li Mu’allim al-Tanzil karya Muhammad
Nawawi al-Bantani, Tafsir al-Wadhih karya Muhammad Mahmud Hijazi, Tafsir al-Wafiz fii
Tafsir Alquran al-Karim karya Syauq Dhaif, Fath al-Bayan fii Maqashid Alquran karya
Mujtahid Shiddq Hasan Khan, Tafsir Alquran al-Karim karya Mahmud Muhammad Hadan
‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barniq, Tafsir Alquan al-Karim karya Muhammad Farid
Wajdi.

Metode Tahlili (analisis) adalah metode menafsirkan Alquran yang berusaha


menjelaskan Alquran dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang
dimaksudkan oleh Alquran, sesuai dengan urutan Alquran. Berkembang selanjutnya pada
bentuk penafsiran berupa al-ma’tsur dan al-ra’yi. Contoh kitab tafsirnya seperti: Tanwir al-
Miqbas min Tafsir Ibn Abbas oleh Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi
(penyusun), Jami’ul Bayan fii Tafsir Alquran karya Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir Alquran
al-‘Azhim Ibn Katsir, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, Al-Bahr al-Muhit karya
Ibn Hayyan, Al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil fii Wujuh al-Ta’wil
karya Al-Zamakhsyari.

Metode Muqarin/Muqaran (perbandingan) adalah upaya yang dilakukan oleh


mufasir dalam memahami satu ayat atau lebih kemudian membandingkan dengan ayat lain
yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema tapi redaksinya berbeda, atau memiliki
kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkan dengan teks hadits Nabi
SAW, perkataan sahabat dan tabi’in. Contohnya seperti Durrat at-Tanzil wa Qurrat at-Ta’wil
karya besar al-Khatib al-Iskafi (w. 420 H/1029 M), Al-Burhan fi Taujih Mutasyabih al-Quran
(Bukti Kebenaran dalam Pengarahan Ayat-ayat Mutasyabih al-Quran) karya Taj al-Qarra’ al-
Kirmani (w. 505 H / 1111 M), Al-Jami’ li Ahkam al-Quran karya al-Qurtubi (w. 671 H),
Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim oleh Ibnu Katsir, Adhwa Al-Bayan Fi Idhah Al-Qur’an bi Al-
Qur’an oleh Asy-Syanqithi, Tafsir At-Tafasir oleh Abu Abdirrahman Ibnu Uqail Azh-
Zhahiri, Tafsir al-Maraghi dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur`an, Jami’ul Bayan fii Tafsir
Alquran oleh Ibn Jarir al-Thabari, dan kemudian salah satu karya tafsir Muqaran yang lahir
di zaman modern adalah Qur’an and Its Interpreters oleh Prof.Mahmud Ayyub,

Metode Mawdhu’i (tematik) adalah mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang berbeda-


beda dari surat-surat dalam Alquran yang berhubungan dengan satu tema tertentu kemudian
menafsirkannya sesuai dengan kaidah penafsiran dan tujuan Alquran. Contohnya seperti:
Tafsir Alquran al-Karim karya Mahmud Syaltut, Tafsir Surat Yasin dengan Keterangan karya
A. Hassan, Al-Insan fii Alquran karya Abbas Mahmud al-Aqqad, Al-Riba fii Alquran karya
Abul A’la al-Maududi, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Permasalahan
Umat karya M. Quraish Shihab, Nahwa Tafsiril Mawdhu’I fi Tafsiril Qur’anil Karim karya
Muhammad al-Ghazali, Al-Mar’ah fii Alquran karya Muhammad al-Ghazali bersama
Muhammad Sayyid Thantawi serta Ahmad Umar Hasyim.

Metode Hermeneutika adalah salah satu dari usaha untuk memahami teks yang
mengarah dan melihat dari segi aspek kontekstual, sejarah, penulis, serta kondisi sosial
psikologis sang penulis ketika menulis. Mereka berdalil dengan al-Islam shalih li kulli zaman
wa makan. Asumsi dasar dari metode ini adalah bahwa pemahaman dengan menggunakan
metodologi konvensional terhadap sumber dan ajaran Islam kurang relevan untuk konteks
sekarang. Asumsi bahwa ada perbedan masalah di berbagai tempat terpisah dan waktu yang
berbeda. Al-waqa’i ghair muta’addidah (permasalahan tidak terbatas) sementara ayat Alquran
terbatas.

Ide dasar hermeneutika Alquran yaitu adanya tipologi pemikiran tafsir Alquran.
Pertama, pandangan quasi-obyektivis tradisionalis yaitu pandangan bahwa ajaran-ajaran
Alquran harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia
dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana Alquran diturunkan kepada
Nabi SAW dan disampaikan kepada generasi Muslim awal. Ciri utama dari model penafsiran
kelompok ini dalah penafsiran yang tekstual (literal).

Kedua pandangan subyektivis yakni semua penafsiran sepenuhnya merupakan


subyektivitas penafsir, dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Setiap generasi
umat manusia, khususnya umat Islam mempunya hak untuk menafsirkan kembali Alquran
sesuai dengan perkembangan zaman. Alquran dapat ditafsirkan dengan ilmu-ilmu bantu yang
berkembang pada era sekarang tanpa harus melibatkan metode konvensional.

Ketiga pandangan quasi-obyektivis modernis yakni suatu pemahaman terhadap


Alquran dengan menggunakan metode konvensional yang telah ada, seperti: asbab al-nuzul,
nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabah dan lain-lain yang terdapat dalam ‘ulum
Alquran dengan tanpa mengabaikan perangkat metode baru modern/kontemporer seperti
ilmu-ilmu eksakta maupun non eksakta (hermeneutika).

Tipologi ini memiliki kesamaan dengan tipologi quasi-obyektivis tradisionalis dalam


hal bahwa mufassir di masa kini tetap berkewajiban untuk menggali makna asal dengan
menggunakan di samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkat-perangkat metodis
lain, seperti informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penuruan wahyu, teori-
teori ilmu bahasa dan sastra modern dan hermeneutika. Perbedaannya adalah bahwa aliran
quasi-obyektivis modernis memandang makna asal (sesuatu yang bersifat historis) hanya
sebagai pijakan awal bagi pembacaan Alquran di masa kini; makna asal literal tidak lagi
dipandang sebagai pesan utama Alquran. Pandangan ini sama sekali tidak mengabaikan teks
dan kontekstualitas Alquran. Contoh: Faziur Rahman dengan konsepnya double movement.
Muhammad al-Thalibi dengan konsep al-Tafsir al-Maqashid. Nashr Hamid Abu Zayd dengan
konsepnya al-Tafsir al-Siyaqi (taksir kontekstual).

Berkaitan dengan metode tafsir hermeneutika ini, menurut pandangan penulis tidak
bisa digunakan sebagai metode dalam penafsiran Alquran. Sebenarnya butuh ada ruang
tersendiri yang panjang lebar untuk membahasnya secara detail. Akan tetapi secara singkat,
salah satu alasan kuatnya adalah karena dengan metode penafsiran ini akan berpotensi kuat
terjadi dekonstruksi syariah (perubahan hukum-hukum Islam) yang telah menjadi
kesepakatan dari para ulama dan kaum muslimin secara umum.

Tafsir Surat Alfatihah Ayat (1)

Lafadz bismi kurang lebih ada 3 kali disebutkan dalam Alquran yaitu pada QS. Alfatihah
Ayat 1, QS. Huud Ayat 41 dan QS. An-Naml Ayat 30.

Tafsir Al-Muyassar

‫ ولها‬،‫ وتسمى المثاني; ألنها تقرأ في كل ركعة‬،‫سورة‌ الفاتحة سميت هذه السورة بالفاتحة; ألنه يفتتح بها القرآن العظيم‬
‫أسماء أخر‬.
Surat al-Fatihah. Dinamakan surat ini dengan al-Fatihah (pembuka) karena alQuran yang
agung dibuka dengannya. Disebut juga al-Matsaaniy, karena ia dibaca pada setiap rokaat
(dalam sholat). Surat ini juga memiliki nama-nama yang lain.

‫ وهو أخص أسماء‬،‫ المعبود بحق دون سواه‬-‫تبارك وتعالى‬- ‫ (هللاِ) علم على الرب‬،‫أبتدئ قراءة القرآن باسم هللا مستعينا به‬
‫ وال يسمى به غيره سبحانه‬،‫هللا تعالى‬.

Aku memulai membaca Al-Qur’an dengan menyebut nama Allah sambil memohon
pertolongan kepada-Nya. Allah adalah merupakan nama Untuk Rabb Yang Maha Banyak
Berkahnya lagi Maha Tinggi, Dzat yang berhak diibadahi yang tidak ada yang lain selain-
Nya. Dan ini adalah merupakan nama paling khusus di antara nama-nama Allah Ta'ala yang
tidak dinamai dengan nama ini selain Allah yang Maha Banyak Berkahnya lagi Maha Tinggi.

(‫ذي الرحمة العامة الذي وسعت رحمته جميع الخلق )الرَّحْ َم ِن‬

(yang Maha Pengasih) yang memiliki Rahmat umum yang meliputi seluruh makhluk,

(‫َّح ِيم‬
ِ ‫ يتضمنان إثبات صفة الرحمة هلل تعالى كما يليق بجالله )الر‬،‫ وهما اسمان من أسمائه تعالى‬،‫بالمؤمنين‬

(yang Maha Penyayang) yakni kepada orang-orang Mukmin. Dan keduanya merupakan dua
nama di antara nama Allah Ta’ala yang keduanya mencakup penetapan sifat Rahmah
(menyayangi) bagi Allah sebagaimana yang layak bagi keagungan-Nya.

Tafsir Ibnu Katsir

Para sahabat memulai bacaan Kitabullah dengan basmalah, dan para ulama sepakat bahwa
basmalah merupakan salah satu ayat dari surat An-Naml. Kemudian mereka berselisih
pendapat apakah basmalah merupakan ayat tersendiri pada permulaan tiap-tiap surat, ataukah
hanya ditulis pada tiap-tiap permulaan surat saja. Atau apakah basmalah merupakan sebagian
dari satu ayat pada tiap-tiap surat, atau memang demikian dalam surat Al-Fatihah, tidak pada
yang lainnya, ataukah basmalah sengaja ditulis untuk memisahkan antara satu surat dengan
yang lainnya, sedangkan ia sendiri bukan merupakan suatu ayat. Mengenai masalah ini
banyak pendapat yang dikatakan oleh ulama, baik Salaf maupun Khalaf. Pembahasannya
secara panjang lebar bukan diterangkan dalam kitab ini.

Di dalam kitab Sunan Abu Daud dengan sanad yang sahih:

ِ ‫ْرفُ فَصْ َل السُّو َر ِة َحتَّى يَ ْن ِز َل َعلَ ْي ِه {بِس ِْم هَّللا‬ َ ِ ‫ َأ َّن َرسُو َل هَّللا‬،‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ اَل يَع‬ ٍ ‫َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬
ِ ‫ َر‬،‫س‬
}‫الرَّحْ َم ِن ال َّر ِح ِيم‬

dari Ibnu Abbas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dahulu belum mengetahui pemisah di
antara surat-surat sebelum diturunkan kepadanya: Bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Hakim, yaitu Abu Abdullah An-Naisaburi, di dalam
kitab Mustadrak-nya. Dia meriwayatkannya secara mursal dari Sa'id ibnu Jubair.

Di dalam kitab Sahih Ibnu Khuzaimah disebutkan dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah
Saw. membaca basmalah pada permulaan surat Al-Fatihah dalam salatnya, dan beliau
menganggapnya sebagai salah satu ayatnya.

Tetapi hadis yang melalui riwayat Umar ibnu Harun Balkhi, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu
Mulaikah, dari Ummu Salamah ini di dalam sanadnya terkandung kelemahan.

Imam Daruqutni ikut meriwayatkannya melalui Abu Hurairah secara marfu’ . Hal semisal
diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas serta selain keduanya.

Di antara orang-orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari tiap
surat kecuali surat Bara’ah (surat At-Taubah) adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnuz Zubair,
dan Abu Hurairah sedangkan dari kalangan tabi'in ialah Ata, Tawus, Sa'id ibnu Jubair. dan
Makhul Az-Zuhri. Pendapat inilah yang dipegang oleh Abdullah ibnu Mubarak, Imam Syafii,
dan Imam Ahmad ibnu Hambal dalam salah satu riwayat yang bersumber darinya, dan Ishaq
ibnu Rahawaih serta Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam.

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya mengatakan bahwa basmalah
bukan merupakan salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, bukan pula bagian dari surat-surat
lainnya.

Imam Syafii dalam salah satu pendapat yang dikemukakan oleh sebagian jalur mazhabnya
menyatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari Al-Fatihah, tetapi bukan
merupakan bagian dari surat lainnya. Diriwayatkan pula dari Imam Syafii bahwa basmalah
adalah bagian dari satu ayat yang ada dalam permulaan tiap surat. Akan tetapi, kedua
pendapat tersebut garib (aneh).

Daud mengatakan bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri dalam permulaan tiap surat,
dan bukan merupakan bagian darinya. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam
Ahmad ibnu Hambal. diriwayatkan pula oleh Abu Bakar Ar-Razi, dari Abul Hasan Al-
Karkhi, yang keduanya merupakan pentolan murid-murid Imam Abu Hanifah.

Demikianlah pendapat-pendapat yang berkaitan dengan kedudukan basmalah sebagai salah


satu ayat dari Al-Fatihah atau tidaknya.

Masalah pengerasan bacaan basmalah sesungguhnya merupakan cabang dari masalah di atas.
Dengan kata lain, barang siapa berpendapat bahwa basmalah bukan merupakan suatu ayat
dari Al-Fatihah, dia tidak mengeraskan bacaannya. Demikian pula halnya bagi orang yang
sejak awalnya berpendapat bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri.

Orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan suatu ayat dari permulaan setiap surat,
berselisih pendapat mengenai pengerasan bacaannya. Mazhab Syafii mengatakan bahwa
bacaan basmalah dikeraskan bersama surat Al-Fatihah, dan dikeraskan pula bersama surat
lainnya. Pendapat ini bersumber dari berbagai kalangan ulama dari kalangan para sahabat
para tabi'in. dan para imam kaum muslim. baik yang Salaf maupun Khalaf.

Dari kalangan sahabat yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Abu Hurairah, Ibnu Umar,
Ibnu Abbas, dan Mu'awiyah. Bacaan keras basmalah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Bar
dan Imam Baihaqi. dari Umar dan Ali. Apa yang dinukil oleh Al-Khatib dari empat orang
khalifah —yaitu Abu Bakar. Umar, Usman. dan Ali— merupakan pendapat yang garib.

Dari kalangan tabi'in yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah,
Abu Qilabah, Az-Zuhri, Ali ibnul Husain dan anaknya (yaitu Muhammad serta Sa'id ibnul
Musayyab), Ata, Tawus, Mujahid, Salim, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Ubaid dan Abu
Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, Abu Wail dan Ibnu Sirin, Muhammad ibnul
Munkadir, Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas dan anaknya (Muhammad), Nafi' maula Ibnu Umar,
Zaid ibnu Aslam, Umar ibnu Abdul Aziz, Al-Azraq ibnu Qais. Habib ibnu Abu Sabit. Abusy
Syasa, Makhul, dan Abdullah ibnu Ma'qal ibnu Muqarrin. Sedangkan Imam Baihaqi
menambahkan Abdullah ibnu Safwan, dan Muhammad ibnul Hanafiyyah menambahkan Ibnu
Abdul Bar dan Amr ibni Dinar.

Hujah yang mereka pegang dalam mengeraskan bacaan basmalah adalah "Karena basmalah
merupakan bagian dari surat Al-Fatihah, maka bacaan basmalah dikeraskan pula
sebagaimana ayat-ayat surat Al-Fatihah lainnya".

Telah diriwayatkan pula oleh Imam Nasai di dalam kitab Sunan-nya oleh Ibnu Khuzaimah
serta Ibnu Hibban dalam kitab Sahih-nya masing-masing, juga oleh Imam Hakim di dalam
kitab Mustadrak-nya melalui Abu Hurairah: bahwa ia melakukan salat dan mengeraskan
bacaan basmalahnya, setelah selesai dari salatnya itu Abu Hurairah berkata, "Sesungguhnya
aku adalah orang yang salatnya paling mirip dengan salat Rasulullah Saw. di antara
kalian."

Hadis ini dinilai sahih oleh Imam Daruqutni, Imam Khatib, Imam Baihaqi, dan lain-lainnya.
Abu Daud dan Turmuzi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah
membuka salatnya dengan bacaan bismilahir rahmanir rahim. Kemudian Turmuzi
mengatakan bahwa sanadnya tidak mengandung kelemahan.

Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui
Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengeraskan bacaan bismillahir
rahmanir rahim. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis tersebut sahih.

Di dalam Sahih Bukhari disebutkan melalui Anas ibnu Malik bahwa ia pernah ditanya
mengenai bacaan yang dilakukan oleh Nabi Saw., maka ia menjawab bahwa bacaan Nabi
Saw. panjang, beliau membaca bismillahir rahmanir rahim dengan bacaan panjang pada
bismillah dan Ar-Rahman serta Ar-Rahim. (Dengan kata lain, beliau Saw. mengeraskan
bacaan basmalahnya).

Di dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan Abu Daud, Sahih Ibnu Khuzaimah dan
Mustadrak Imam Hakim, disebutkan melalui Ummu Salamah r.a. yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. membacanya dengan cara berhati-hati pada setiap ayat, yaitu:

ِ ْ‫ الرَّح‬. َ‫ ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ َربِّ ْالعالَ ِمين‬.‫بِس ِْم هَّللا ِ الرَّحْ م ِن ال َّر ِح ِيم‬
ِ ِ‫ مال‬.‫من ال َّر ِح ِيم‬
‫ك يَوْ ِم الدِّي ِن‬

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah,
Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, yang menguasai hari pembalasan
....
Ad-Daruqutni mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.

Imam Abu Abdullah Asy-Syafii meriwayatkan, begitu pula Imam Hakim dalam kitab
Mustadrak-nya melalui Anas, bahwa Mu'awiyah pernah salat di Madinah, ia meninggalkan
bacaan basmalah, maka orang-orang yang hadir (bermakmum kepadanya) dari kalangan
Muhajirin memprotesnya. Ketika ia melakukan salat untuk yang kedua kalinya. barulah ia
membaca basmalah.

Semua hadis dan atsar yang kami ketengahkan di atas sudah cukup. dijadikan sebagai dalil
yang dapat diterima guna menguatkan pendapat ini tanpa lainnya. Bantahan dan riwayat yang
gharib serta penelusuran jalur, ulasan, kelemahan-kelemahan serta penilaiannya akan dibahas
pada bagian lain.

Segolongan ulama lainnya mengatakan bahwa bacaan basmalah dalam salat tidak boleh
dikeraskan. Hal inilah yang terbukti dilakukan oleh empat orang khalifah, Abdullah ibnu
Mugaffal. dan beberapa golongan dari ulama Salaf kalangan tabi'in dan ulama Khalaf,
kemudian dipegang oleh mazhab Abu Hanifah, Imam Sauri, dan Ahmad ibnu Hambal.

Menurut Imam Malik, basmalah tidak boleh dibaca sama sekali, baik dengan suara keras
ataupun perlahan. Mereka mengatakan demikian berdasarkan sebuah hadis di dalam Sahih
Muslim melalui Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa:

َ‫ والقراءة بالحمد هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِمين‬،‫ير‬ َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْفتَتِ ُح ال‬
ِ ِ‫صاَل ةَ بِالتَّ ْكب‬ َ ِ ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬
Rasulullah Saw. membuka salatnya dengan takbiratul ihram dan membuka bacaannya dengan
al-hamdu lillahi rabbil 'alamina (yakni tanpa basmalah).

Di dalam kitab Sahihain yang menjadi dalil mereka disebutkan melalui Anas ibnu Malik yang
mengatakan:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوَأبِي بَ ْك ٍر َو ُع َم َر وعثمان فكانوا يفتتحون بالحمد هلل رب العالمين‬
َ ‫ْت خَ ْلفَ النَّبِ ِّي‬
ُ ‫صلَّي‬.
َ

Aku salat di belakang Nabi Saw., Abu Bakar, Umar, dan Us'man. Mereka membuka
(bacaannya) dengan alhamdu lillahi rabbil 'alamina.

Menurut riwayat Imam Muslim, mereka tidak mengucapkan bismil-lahir rahmanir rahim,
baik pada permulaan ataupun pada akhir bacaannya. Hal yang sama disebutkan pula dalam
kitab-kitab Sunan melalui Abdullah ibnu Mugaffal r.a. Demikianlah dalil-dalil yang dijadikan
pegangan oleh para imam dalam masalah ini, semuanya berdekatan, karena pada
kesimpulannya mereka sangat sepakat bahwa salat orang yang mengeraskan bacaan
basmalah dan yang memelankannya adalah sah.

Anda mungkin juga menyukai