Anda di halaman 1dari 12

Bias Ideologis Syiah dalam Tafsir As-Safi Karya Fayd Al-Kashiyy

Oleh:
Izatul Ulya
Nadzif Fikri Abady
Program Studi Al-Qur’an dan Tafsir (​ B)
Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran
Yogyakarta

Pendahuluan
Munculnya kitab-kitab tafsir telah di mulai sejak masa Nabi dan terus di lanjutkan oleh
generasi-generasi selanjutnya sahabat, tabi’in, tabi’tabiin, tidak sampai disitu
karangan-karangan kitab tafsir tetap eksis dan menjamur hingga masa pertengahan hingga
masa sekarang, hal ini menunjukan bahwa al-Quran memberi ruang yang cukup besar untuk
di interpretasikan sesuai dengan konteks sosio-historisnya dan relevansinya terhadap umat
dari abad pertama Hijriah hingga sekarang.
Al-Shafi adalah merupakan salah satu kitab tafsir yang muncul pada abad pertengahan,
dikarang oleh seorang ulama bermadzhab shyi’ah yaitu Mulla Muhsin atau juga dikenal
dengan Fayd al-Kashiyy, suatu kitab yang cukup komperhenshif dengan menafsirkan seluruh
ayat al-Quran dengan urutan atau ​tarkib Usmani ​dengan menekankan pada riwayah atau
tafsir bi al-ma’tsur. Al-Shafi sebagai kitab yang bernuansa syiah dan lahir di abad pertengahan
sangat serat dengan bias ideologis, Fayd sering memunculkan penafsiran-penafsiran ayat
yang digunakan untuk melegitimasi ideologinya sehingga dipandang kurang objektif dalam
menghasilkan makna yang dikehendaki. Penafsiran-penafsirannya dibeberapa ayat terlihat
digunakan sebagai afirmasi terhadap kebenaran ideologinya dan bahkan ia hanya mengambil
riwayat-riwayat yang se madzhab dengannya, maka makalaah ini akan mengidentifikasi
penafsiran-penafsiran Fayd al-Kashyy.
Dalam kajian kitab al-Shafi karya Fayd al-Kashyy ini penulis melihat empat masalah yang
akan diuraikan di dalam makalah yaitu ;Mengapa tafsir al-Shafi serat dengan Bias ideologi
Syi’ah, Dimana posisi tafsir al-Shafi dalam pergeseran epistemologi tafsir, Bagaimana

1
pengaruh kondisi sosial masyarakat dalam lahirnya tafsir Al-Shafi dan Apa implikasi bias
ideologis terhadap penafsiran.
Biografi pengarang kitab
Beliau bernama asli Muhammad bin Syah Murtadho bin Syah Mahmud, di kenal
dengan Mulla Muhsin kemudian ia diberi julukan Fayd al-Kashiyy oleh gurunya yaitu Mulla
Sadra. Lahir di Kashan 16 September 1598 / 14 Safar 1007 H Wafat: 21 Mei 1680 / 22 Rabiul
Thani 1091 H termasuk penganut dari dua belas imam syiah gholat. Pengarang kitab ​Raudlah
al-Jannah menuturkan tentang biografi Mulla Muhsin bahwa ia termasuk orang yang yang
mempunyai ketamaan, kemuliaan pemahaman dari hal yang bersifat ​usul ataupun ​furu’​dam
memiliki banyak karya. Ayahnya bernama murtadho merupakan seorang ulama begitupun
dengan kedua saudaranya yaitu Muhammad dikenal dengan Nur al-Din dan Maula Abdul
Ghafur, Mulla Muhsin termasuk tokoh yang luar biasa di zamannya sehingga tidak
1
seorangpun menyamai keutamaannya terutama dalam bidang ma’rifat dan ahlaq.
Penulis kitab A​mlu al-Amal menuturkan bahwa Mulla Muhsin ialah seorang yang
memiliki keutamaan dalam ilmu, seorang hakim, teolog, ahli hadist dan fiqih dan seorang
2
sastrawan. Dalam autobiografinya fayd menerangkan bahwa ia mempelajari sains, bahasa
arab, logika, pengetahuan agama lebih-lebih Hadits dibawah bimbingan ayah dan pamannya.
Pada umur yang 20 tahun Fayd ia pindah dari Kashan menuju isfahan untuk melanjutkan
studinya, ia belajar matematika dan pengetahuan yang lain dengan guru yang sudah
bergelar profesor disana ia juga belajar hadits dibawah bimbingan gurunya Sayyed Majed
Bohrani, memang pada waktu itu Isafan selain menjadi ibu kota dan juga menjadi puat
pendidikan. kemudian setelah menggali banyak pengetahuan di Isfahan ia kembali lagi ke
tempat asalnya yaitu Kashan untuk mendirikan sekolah dan mengajar filsafat dan teologi
disana. Ia juga mengarang beberapa buku dalam bahasa arab seperti ​Mafatih, al-Wafi, Usul
3
al- ma 'arif ​dan​ al-Mahajj al-bayza.

1
Muhammad Husain al Zahabi, ​Tafsir Wal Mufassirun,​ juz 2, (Kairo, Maktabah Wahbah) hal. 108.
2
​Ibid., ​hal. 108.
3
Liyakat Takim, ​The Concepts of the Absolute and Perfect Man in Mulla Fayd al-Kashani​, article,
McMaster University, hal. 2-3.

2
Tujuan penulisan, Corak, Metode dan Struktur Tafsir
Didalam pendahuluannya Fayd melihat bahwa menurutnya pada waktu itu ia tidak
melihat sebuah kitab tafsir dengan beberapa keluasan pembahasannya yang menarik dan
dapat memenuhi dahaga pencari ilmu, ia menulis tafsirnya dengan harapan agar dapat
memenuhi hal gersebut, sebagai kitab yang berbasis pada riwayah Faid menuturkan bahwa
kitab al-Shafi yang dikarangnya dapat membedakan antara riwayat-riwayat yang shohih
dengan yang lemah, itu bisa diindikasikan dalam penamaan kitabnya dengan nama al-Shafi
yang memiliki arti murni atau bersih, maksudnya ialah bahwa tafsir ini ingin memurnikan dari
4
pendapat ulama yang penuh dengan kerancuan dan kontrofersi. Ia juga meliaht tafsir-tafsir
pada waktu itu yang ditafsirkan dengan pendapat-pendapat sendiri atau yang dikenal dengan
tafsir bi al-ra’yi, ​menurutnya seorang mufasir yang menafsirkan dengan cara tersebut
seakaan-akan menjadi rujukan kitab, bukan kitab yang menjadi rujukan mereka lalu baginya
bagaimana mungkin hal tersebut dapat menghasilkan penakwilan yang sohih, ia juga
mengkritik mufasir-mufasir sebelumnya yang terlalu banyak menguraikan tentang gramatikal
5
kitab hingga tidak fokus pada maksud ayat.
Dalam garis besarnya tafsir terbagi atas dua macam. Pertama, tafsir
riwayah/​ ​Naqli/tafsir ​bil ma’sur ​yaitu suatu penafsiran yang berlandaskan riwayat-riwayat
atau yang menuqil dari para ulama terdahulu. Kedua, tafsir ​diroyah/aqli/tafsir bil ra’yi yaitu
6
suatu penafsiran yang gunakan nalar akal dalam memahami teks al-Quran. Tafsir As-Safi
mengunakan corak yang pertama yaitu tafsir ​riwayah atau ​Naqli, ​hal ini terlihat dari setiap
penafsirannya yang selalu menggunakan periwayatan-periwayatan terutama dari
ulama-ulama syiah terdahulu seperti Abu Ja’far, al-Qummi dan lain sebagainya, ​Fayd Kasyani
dalam menukilkan riwayat-riwayat yang ia gunakan dalam menuliskan tafsirnya
menyebutkan sumber-sumber rujukan tanpa menjelaskan sanadnya namun kadang-kadang
tidak menyebutkan sumber riwayatnya. Pada sebagian yang lainnya ia hanya mencukupkan
riwayat-riwayat yang menjadi pembahasannya dan menghindari riwayat-riwayat yang lain,
kadang-kadang ia juga menganalisa atau membenarkan riwayat-riwayat yang ada. Ia juga

4
Fayd al-Kasyaniyy, ​Al-Shafi​ (Teheran, Maktabah al-Shadr :1953) hal. 13.
I​ bid​., hal. 10.
5
6
Manna’ al-Qattan, ​Mabahis fi ulum al-Quran ​(Surabaya, Hidayah : 1973) hal. 347.

3
sangat menolak terhadap tafsr bi al-ra’yi, ia bersandar pada pendapat para imam bahwa
7
tidak boleh menafsirkan al-Quran kecuali dengan riwayat yang sohih dan ​nass​ yang jelas.
Metode yang digunakan oleh fayd dalam penafsirannya adalah ​Ijmali y​ aitu penafsiran
secara global, ini ditegaskan oleh al-Zahabi bahwa tafsir ini menjelaskan ayat-ayat al-Quran
secara ringkas kecuali ia akan menjelaskan secara panjang apabila bertemu dengan ayat yang
menjadi dalil legitimasi atas aqidahnya, atas ayat yang dianggap menjadi landasan penolakan
atas kelompok yang berbeda dengannya, dan ayat-ayat kisah dalam al-Quran dan ayat-ayat
8
yang menceritakan mengenai perang yang pernah dilakukan Nabi saw. tafsir ini menafsirkan
seluruh ayat al-Quran dengan tartib Usmani dimulai dari ​al-Fatihah​ hingga ​an​-​Nass.
Bagi Fayd memahami dan menafsirkan ayat al-Quran harus dengan pendekatan ta’wil
terhadap ayat-ayat yang ​Mutasyabih​, mengetahui sebab turunnya ayat, mengetahui Naskh
dan Mansukhnya, akan tetapi sikap fanatik terhadap ideologinya tetap terlihat dalam
penafsirannya, ia hanya menerima riwayat-riwayat yang hanya datang dari para imam yang
9
maksum dalam pandangan syiah.
Struktur penafsiran fayd adalah pertama dengan menampilkan potongan ayat lalu ia
tafsirkan secara ringkas saja terlebih secara bahasa ia juga menampilkan beberapa ​qiraah
ayat, kemudian sebagai ​tafsir bi al-ma’tsur ia banyak menggunakan riwayat baik itu hadis
ataupun perkataan ulama akan tetapi lagi-lagi dalam pandangan ulama mereka. Ia juga
mencantumkan sebab-sebab turunnya ayat.

Posisi Tafsir As-Safi dalam Dinamika Epistemologi Tafsir


Dalam segi rentang waktu masa pertumbuhan dan perkembangan tafsir dapat di
alokasikan kedalam beberapa masa yaitu Pengelompokan tentang pertumbuhan dan
perkembangan tafsir yang berpijak kepada periodesasi waktu (zaman, abad), yaitu dimulai
dari periode Nabi saw dan sahabat (abad 1 H/VII M), periode Tabi’in dan Tabi’in atTabi’in
(abad II H/VIII M), periode Ulama Mutaqaddimin (abad IIIVIII H/IX-XIII M), periode Ulama

7
Fayd al-Kasyaniyy, ​Al-Shafi​, hal. 35.
8
Muhammad Husain al Zahabi, ​Tafsir Wal Mufassirun​, juz 2, hal. 110.
9
Ibid hal.118

4
10
Mutaakhirin (abad IX-XII H/ XIIIXIX M), dan periode Ulama Modern (abad XIV H/XIX M).
sejarah perkembangan tafsir menurut Abdul Mustaqim telah mengalami pergeseran
epistimologi dalam setiap masa yang paling tidak terbagi atas tiga masa yaitu pertama, masa
Formatif, kedua, masa Afirmatif dan ketiga, masa Reformatif.
Petama, masa atau era Formatif dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw. sampai
kurang lebih hingga abad ke II H. Pada era ini tafsir menggunakan nalar mitis yaitu suatu
model berfikir yang kurang memaksimalkan rasio (​ra’yi)​ dalam menafsirkan al-Quran dimana
budaya kritisisme belum muncul. Ciri dari nalar ini adalah menggunakan simbol dalam
mengatasi permasalaha. Artinya ketika ditarik dalam konteks penafsiran, simbol tokoh
seperti Nabi, sahabat dan para tabi’in menjadi rujukan dalam penyelesaian masalah dan
standar kebenaran tafsirpun juga ditentukan oleh ketokohan orang-orang tersebut. Maka
karena itu di era Formatif ini dominan menggunakan riwayah dalam menafsirkan teks
al-Quran. Adapun sumber-sumber penafsirannya ialah al-Quran, hadis Nabi, qiraat, pendapat
11
para sahabat dan kisah-kisah israiliyat.
Kedua, ​era Afirmatif ​berbasis pada nalar ideologis yang terjadi pada Abad
Pertengahan. Era ini ​awalnya memang berangkat dari ketidakpuasan terhadap model tafsir ​bil
ma’tsur  y​ ang dipandang kurang ’memadai’ dan tidak menafsirkan semua ​ayat al-Qur’an. Hal
itu kemudian memunculkan tradisi tafsir ​bir  ra’yi ​(dengan rasio atau akal). Namun, tradisi
penafsiran tersebut kemudian ​banyak didominasi oleh kepentingan-kepentingan ideologi
(madzhab, ​politik penguasa atau keilmuan tertentu). Akibatnya menurut Abdul ​Mustaqim,
muncul sikap otoritarianisme, fanatisme, dan sektarianisme ​madzhab yang berlebihan yang
cenderung bersikap ​truth claim di satu ​sisi, dan saling mengkafirkan di sisi lain. Pada masa ini
muncul beberapa karya tafsir yang sangat berbau teologis seperti ​jami’ al-bayan fii tafsir
al-quran ​karya Ibnu Jarir al-Tabari (w. 923 M), al-​kasysyaf an’haqiq al-Quran karya
al-Zamakhsyari (w.1144) dengan corak ideologi muktazilah, ​mafatihul gaib k​ arya Fahrudin

Ali al-Jufri, Metodologi Corak Tafsir Modern dan Kontemporer, ​Rausyan Fikr​, ​Vol. 10, No. 2, Juli
10

–Desember 2014, hal. 133.


11
Abdullah Mustaqim, ​Pergeseran Epistemologi Tafsir (​ Yogyakarta, Pustaka Pelajar : 2008) hal. 34.

5
al-Razi (w.1209) dengan corak teologi sunni, ​tafsir al-Quran karya Ali Ibrahim al-Qummi (w.
12
939) dengan corak tafsir Syi’i dan lain sebagainya.
Sedangkan ketiga ialah Tafsir era Reformatif adalah tafsir yang menggunakan ​nalar
kritis. Era reformatif dimulai dengan munculnya era modern di ​mana tokoh-tokoh Islam
seperti Sayyid Ahmad Khan dengan karyanya ​Tafhimul  Qur’an,​ Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridla dengan ​al-Manar-​ nya terpanggil melakukan kritik terhadap produk-produk
penafsiran para ulama dulu yang dianggap tidak relevan lagi. Hal itu ​kemudian dilanjutkan
oleh para penafsir kontemporer, seperti Fazlur ​Rahman, Muhammad Syahrur, Muhammed
Arkoun, Hasan Hanafi dansebagainya.
Bila dilihat dari kapan fayd al-kashiyy hidup dan mengarang kitab Assafi, kita dapat
menggolongkannya kedalam kategori yang kedua yaitu jajaran mufassir pada masa
pertengahan atau priode afirmatif yang serat akan bias idealogis dan sekterianisme, Fayd
banyak menafsirkan ayat yang ia gunakan untuk melegitimasi ideologinya bahkan dalam
pendahuluan kitabnya ia menuturkan dengan panjang lebar mengenai kedudukan ahlu bait
dalam otoritas mereka menafsirkan al-Quran.

Kondisi Sosio-Politik dan Historis penulisan Kitab al-Shafi


Bila kita melihat dalam perspektif sejarah kitab al-Shafi ini dikarang pada masa Dinasti
Syafawi yang merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang berada di Persia, suatu
kerajaan yang brawal dari gerakan tarekat di Ardabil sebuah kota di Azarbaijan. Kerajaan ini
didirikan oleh Syah Ismail (1252-1334 M) yang ideologinya menggunakan ideologi Syi’ah dan
tidak mengakui selain itu. Istilah syafawiyah dinisbatkan kepada seorang pemimpin tariqat
yaitu Syekh Shafi al-Din yang juga merupakan moyang keenam Ismail, jejak silsilah
keturunannya dapat dilacak hingga sampai kepada imam Syiah ketujuh yaitu Musa al-Khazim.
13
Dinasti ini mengalami perkembangan yang begitu signifikan pada masa pemerintahan
Abbas 1, sebelum itu kerajaan Syafawi mengalami bermacam pertempuran dan
pemberontakan kelompok oposisi, pertempuran yang pernah terjadi adalah dengan Dinasti

12
​Ibid., ​hal. 36.
13
Philip K. Hitti, ​History of the Arabs ​(Jakarta, Serambi : 2006) hal. 899.

6
Turki Utsmani yang berideologi Sunni yaitu pada saat Utsmani dalam kepemimpinan Salim 1
(1512-20), pertempuran terjadi pada Agustus 1514 yang memenagkan pihak Utsmani dan
kemudian menduduki beberapa wilayah ibu kota Ismail, Tibriz, Mesopotamia, dan sebagian
14
wilayah Armenia. Baru jauh setelah peristiwa itu Dinasti Syafawi pada masa Abbas 1 yang
merupakan raja kelima mulai teratasi dan mendapat kemajuan dari berbagai aspek baik
dalam kondisi sosial, ekonomi, polotik, budaya dan terlebih pendidikan yang berpengaruh
15
terhadap pertumbuhan dan perkembangan Islam.
Abbas 1 yang mulai memerintah sejak tahun 1587 hingga 1629 M. Banyak mengambil
simpati masyarakat dengan perubahan dan perkembangan nyata dengan menstabikan
kondisi pemerintahan yang sebelumnya carut marut dan kacau balau. Beberapa kontribusi
Abbas dalam memulihkan kerajaan Syafawi diantaranya adalah mengadakan perjanjian
damai dengan Turki Utsmani, tidak mencaci tiga khalifah pertama dalam Islam dalam
khotbah-khotbah Jumat dan lain sebagainya. Abbas 1 juga menciptakan kota Isfahan menjadi
kota yang indah dan menciptakan Isfahan sebagai ibu kota kerajaan dan berdirinya beberapa
bangunan yang indah seperti masjid-masjid, rumah sakit, sekolah-sekolah dan jembatan
raksasa di atas Zende Rud dan Istana Chihil. Kota tersebut diperindah dengan taman-taman
16
wisata yang ditata secara baik. selain itu dalam perkembangan juga terlihat dalam bidang
ilmu pengetahuan, terbukti dengan berdirinya 162 masjid dan 48 pusat pendidikan. Dalam
pembentukan kurikulum pendidikan kerajaan mempunyai kebijakan untuk membumikan
doktrin paham Syiah agar masyarakat menumbuhkan rasa patriotisme dalam madzhab
keagamaan, penguasa pada waktu itu juga mendatangkan para pengajar dan buku-buku
serta kurikulum yang mempropagandakan paham Syi’ah dari Libanon dan daerah Syi’ah
17
lainnya. Dengan melihat kondisi sosial politik dan masyarakat waktu itu dengan kondisi
kerajaan yang stabil dan berkembang pesatnya pendidikan tak heran bila muncul banyak
karya termasuk kitab al-Shafi ini, itu kita juga dapat melihat bahwa keberadaan kitab al-Shafi

14
​Ibid., ​hal. 889.
15
Inrevolzon, ​Kondisi Sosial, Politik, Ekonomi dan Budaya pada Masa Kekhalifahan Dinasti Syafawi dan
Penagruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam, A ​ rtikel, ha
16
​Ibid​., hal. 44.
17
​Ibid​., hal. 47.

7
pada waktu bisa jadi merupakan salah satu kitab yang menguatkan teologi madzhab Syiah
yang gencarkan oleh kerajaan dalam membumikan Ideologinya.

Nuansa Bias Ideologis Tafsir Al-Shafi


Sebagai seorang yang berideoligi Syiah banyak ditemukan ayat-ayat dalam tafsirnya
yang dijadikan legitimasi pahamnya. Dalam pendahuluan tafsirnya ia juga menyebutkan
bahwa ​kitab yang ditafsirkannya sesuai dengan usul-usul madzhab ​Syiah Imamiyyah​.
Kedudukannya seperti kedudukan seluruh kitab-kitab tafsir dalam mazhab Imamiyyah Itsna
'Asyariyah yang percaya bahwa Ahlulbait as adalah sekelompok dari kalangan masyarakat
yang mengetahui rahasia-rahasia al-Quran dan paling pandai terhadap makna-makna
al-Quran. Bahkan dalam validasi al-Quran yang terhimpun dalam mushaf Usmani mereka
masih meragukannya, mereka meyakini bahwa mushaf Usmani yang dinisbatkan kepada
al-Quran yang benar yang dibawa oleh Nabi SAW. mengandung banyak tambahan dan
perubahan signifikan, bahkan menurut mereka telah terjadi penghapusan beberapa ayat
18
yang dianggap mengandung pemujian terhadap diri Ali r.a.
Mereka mengeklaim bahwa mushaf Utsmani kurang lengkap, menurutnya al-Qur’an
yang sempurna yang diturunkan oleh Allah memiliki ayat-ayat yang lebih banyak dan lebih
panjang dari al-Qur’an yang beredar dikalangan kaum muslimin. Bagi mereka mushaf yang
shahih ialah mushaf yang ditulis oleh imam Ali. Dalam penafsirannya mereka memiliki tujuan
untuk menjunjung tinggi ta’wil yang shahih di hadapan penafsiran golongan Ahlu Sunnah
yang dianggapnya keliru. Menurut pandangan mereka mushaf Utsmani yang dipegang Ahlu
Sunnah mengalaimi banyak perubahan terutama dari segi qira’atnya, dan itu tidak ada yang
membenarkan kekiliruannya. Oleh sebab itu para ahli tafsir Syi’ah berusaha untuk
mengembalikan mushaf tersebut kepada bentuk qira’at teks yang shahih dan benar, bukan
dengan jalan hipotetik, namun menggunakan jalan istinad (penyandaran) bentuk qira’at
tersebut kepada para imam yang dapat dijadikan hujjah dengan penuh keyakinan dan
19
kepastian.

18
Ignaz Goldziher, ​Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern (​ Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hal. 324.
19
​Ibid.,​ hal. 334-338.

8
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa perawi sekte Syi’ah banyak memasukan
banyak tambahan ke dalam al-Quran, baik dalam bentuk haruf maupun dalam bentuk huruf
maupun kalimat, yang bertujuaan untuk pentashihan. Dalam penambahan atas ayat-ayat
al-Qur’an sekte syiah terlau berlebihan dan tanpa adanya batasan, yang kemudian dipakai
dalam ritual peribadatan mereka. Dari penambahan-penambahan tersebut memunculkan
20
teks yang semakin jauh dari kandungan makna yang sebenarnya. Mereka menyatakan
bahwa al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, seperempat dari al-Qur’an terkait secara
tematis dengan pengikut Syi’ah Alawy, seperempat kedua terkait dengan musuh-musuh
mereka, seperempat ketiga terkait system atauran-aturan hukum, seperempat terakhir
terkait tentang kisah-kisah dan amtsal-amtsal al-Qur’an. Dan ayat-ayat yang menyinggung
sahabat Ali hanya sejumlah 70 ayat. Di lingkup sekte Syiah menolak tetang isyarat-isyarat
al-Qur’an disandingkan dengan pemahaman tentang peristiwa-peristiwa dan individu yang
ada pada masa awal dalam bentuk konfontasi kepada khalifah yang sedang berkuasa, yang
mereka inginkan adalah al-Qur’an mengakomodasi seluruh system perundangan dan madzab
21
mereka sampai batas yang tak terhingga.
Fayd dalam kitab Tafsir as-Shafi menuliskan hingga dua belas muqaddimah dan
didalam muqaddimah yang ke dua ia mempertegas bahwa Penjelasan mengenai Ulumul
Quran yang berada dalam genggaman Ahlulbait as. dan pengetahuan mereka akan zhahir
dan batin al-Quran. ia juga menukil riwayat dari abu Ja’far bahwa tak seorangpun yang
berhak mengatakan bahwa disisinya terdapat seluruh isi al-Quran lahir maupun batin kecuali
22
ahlul bait. Ia banyak menukil ayat-ayat al-quran seperti ​al-Rasihuna fi al-ilmi yang di
interpretasikan sebagai golongannya yang paling tahu mengenai takwil al-Quran.

Contoh penafsiran yang berbias ideologi syiah


Dalam surat an-Nisa ayat 58 yang artinya ​“ sesungguhnya Allah memerintahkan kalian
untuk menyampaikan amanah kepada pemliknya” ayat ini dijadikan legitimasi untuk
mengokohkan status ​imamiah dalam syiah. Fayd al-Kashiyy meriwayatkan dari al-Kaff bahwa

20
​Ibid.,​ hal. 343.
21
​Ibid.,​ hal. 347-372.
22
Fayd al-Kasyaniyy, ​Al-Shafi,​ hal. 25.

9
khitab ​dari ayat tersebut adalah para imam yang diperitah untuk menyampaikan kepada
imam-imam yang selanjutnya mengenai wasiat-wasiat dan terus hingga imam yang terakhir.
Cntoh yang lain bias kita lihat mengenai makna ​uluil amri ​dalam kitab al-shafi dalam
surat an-Nisa ayat 9 ​“ hendaklah kalian taat kepada Allah, taat kepada rasul dan pemimpin
diantara kalian” Fayd melihat ​ulil amri yang harus di taati dalam ayat tersebut adalah para
Imam, sedangkan orang-orang yang di luar atau musuh mereka tidak termasuk ​ulil amri.​
Bahkan wajib bagi seluruh orang muknin untuk mentaati mereka hingga hari kiamat. Ia
23
meriwayatkan bahwa ayat ini turun ditujukan kepada Ali, Hasan dan Husein.

Kesimpulan
Kehadian tafsir al-Shafi yang di karang oleh Fayd Kashanyy ini bila dilahat dari
ideologinya adalah bahwa ia merupakaan tafsir yang termasuk menguatkan ideology Syiah
yang pada waktu itu juga menjadi ideologi resmi kerajaan. Menganalisis tafsir ini perlu
melihat dalam sosio-politik dan historisnya, lahir pada masa pertengahan atau yang disebut
dengan era Afirmatif tafsir ini disebagian penafsirannya terlihat sekali akan bias ideologinya,
memang perseteruan antara kelompok Sunni-Syiah telah terjadi sejak awal berdirinya
kerajaan Syafawi, sebagai seorang yang hidup dibawah kekhalifaan dinasti Syafawiyah yaitu
pada masa Ababs 1 dimana pada waktu itu sedang dibentuknya kurikulum pendidikan untuk
menguatkan dan membumikan ideologi Syiah, dapat dimunggkinkan tafsir ini juga
berkontribusi dalam merealisasikan hal tersebut.

23
Al-Zhahabi, ​Tafsir wa al-mufassirun.​ hal. 127.

10
Daftar Pustaka

Husain al Zahabi, Muhammad, ​Tafsir Wal Mufassirun,​ juz 2, Kairo : Maktabah Wahbah.
.
Takim, Liyakat ​The Concepts of the Absolute and Perfect Man in Mulla Fayd al-Kashani,​ article,
McMaster University.

Al-Kasyaniyy, Fayd ​Al-Shafi​, Teheran : Maktabah al-Shadr,1953.

Al-Qattan, Manna’, ​Mabahis fi ulum al-Quran, S​ urabaya : Hidayah, 1973.

Al-Jufri, Ali, Metodologi Corak Tafsir Modern dan Kontemporer, ​Rausyan Fikr,​ ​Vol. 10, No. 2, Juli
–Desember 2014.

11
Mustaqim, Abdullah​ Pergeseran Epistemologi Tafsir,Y​ ogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.

K. Hitti, Philip​ History of the Arabs, ​Jakarta :Serambi, 2006.

Inrevolzon, ​Kondisi Sosial, Politik, Ekonomi dan Budaya pada Masa Kekhalifahan Dinasti Syafawi dan
Penagruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam, ​Artikel.

Goldziher, Ignaz​, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern, Y​ ogyakarta: Kalimedia, 2015.

12

Anda mungkin juga menyukai