Anda di halaman 1dari 17

1

HERMENEUTIKA HADIS ALI MUSTAFA YAQUB


(Studi atas Fenomena Standing Party di Indonesia)

Oleh:
Moh. Fadhil Nur
1620510043
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta/PPS_SQH B
Muhfadhilnur41@gmail.com

Abstrak

Standing Party adalah fenomena yang sedang berkembang di Indonesia terutama di


perhelatan acara-acara seremonial yang diadakan di kota-kota besar. Selain alasan
menghemat anggaran juga karena ikut tren. Dari sudut pandang Islam, standing
party biasanya dibenturkan dengan adab makan dan minum. Al-Quran tidak
menjelaskan tentang posisi yang baik ketika makan atau minum secara rinci, al-
Quran lebih menjelaskan tentang larangan mubazir. Sedangkan dalam kajian hadis,
terdapat beberapa hadis yang nampak kontradiktif satu sama lain mengenai posisi
ketika minum. Terdapat hadis yang membolehkan minum berdiri disatu sisi, dan
hadis yang melarang disisi yang lain. Kontradiksi hadis tersebut dalam menyikapi
standing party menarik untuk diteliti. Penelitian ini menggunakan hermeneutika Ali
Mustafa Yaqub untuk membedah pesan-pesan dari hadis-hadis tersebut. Hadis-hadis
yang nampak kontradiktif itu di analisa dengan analisis historis (sabab wurud) untuk
melihat apakah dapat dikompromikan atau tidak. Berdasarkan hasil analisis historis,
kedua hadis tersebut dapat dikompromikan dan diamalkan. Hadis kebolehan minum
berdiri didasari faktor situasi dan kondisi yang dialami Rasulullah kala itu. Adapun
hadis-hadis yang melarang minum berdiri dipahami sebagai tuntunan dan
pembelajaran etika dan adab dari Rasulullah kepada umatnya.

Kata kunci: Ali Mustafa Yaqub, Hermeneutika, Hadis, Standing Party.


2

A. Pendahuluan

Makan dan minum sambil berdiri merupakan tontonan yang sangat mudah
dilihat saat ini di segala situasi dan kondisi terutama di wilayah perkotaan, baik itu
di pusat perbelanjaan seperti di mall dan pasar tradisional, di area pendidikan, tidak
ketinggalan pada acara-acara hajatan yang diadakan masyarakat maupun acara
kenegaraan. Minum dan makan sambil berdiri menjadi trand baru dikalangan
masyarakat yang lebih dikenal dengan istilah standing party,1 istilah untuk sebuah
pesta ala Barat yang sekarang sering ditiru oleh banyak pesta pernikahan maupun
pesta lainnya di Indonesia.
Pada tahun 2015, Fenomena ini menjadi perbincangan hangat diruang publik
yakni saat Jokowi sebagai presiden RI- tertangkap kamera minum sambil berdiri
dan menggunakan tangan kiri dalam acara berbuka puasa bersama di istana Negara
yang dihadiri ratusan anak yatim. Kejadian ini segera menjadi bahan cercaan
terutama di media online karena dianggap tidak memberi contoh yang baik bagi
anak-anak. Namun hal ini ditanggapi berbeda oleh Ade Armando, ia terkesan
membela sikap Jokowi tersebut dengan berargumen bahwa hadis-hadis tentang
larangan minum berdiri telah banyak dibantah oleh ulama lain, dan tidak perlu
diikuti karena tidak rasional.2 Argument Ade Armando menuai beberapa kritikan
terutama dari ulama-ulama di Indonesia, salah satunya adalah Ali Mustafa Yaqub,
seorang pakar hadis indonesia.
Fenomena standing party menarik untuk dikaji dari sudut pandang Islam. Ia
berkaiatan tentang bagaimana hukum makan dan minum sambil berdiri, yang

1
Standing Party adalah suatu pesta atau acara dimana para hadirin datang, mengucapkan
selamat dan menikmakti berbagai hidangan makanan dan minuman yang disajikan, namun para tamu
menikmatinya dengan cara berdiri, karena kursi yang disediakan hanya sedikit.
2
Ade Armando, Ketika Keislaman Jokowi Dipersoalkan Karena Minum Sambil Berdiri,
diambil dari http://www.madinaonline.id/wacana/perspektif/ketika-keislaman-jokowi-dipersoalkan-
karena-minum-sambil-berdiri/, diakses pada 29 April 2017.
3

statusnya masih diperdebatkan karena terdapat hadis yang membolehkan, adapula


yang melarang.

B. Pembahasan

1) Biografi Ali Mustafa Yaqub

Ali Mustafa Yaqub lahir di desa Kemiri, kecamatan Subah, Kabupaten


Batang Jawa Tengah, pada tanggal 02 Maret 1952, ia lahir dari sebuah keluarga yang
taat menjalankan agama.3 Secara garis besar, pendidikan Ali Mustafa Yaqub adalah:
Pondok Pesantren Seblak Jombang (19661969), Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang (19691971), Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asyari, Jombang
(19721975), Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud,
Riyadh, Saudi Arabia S1 (19761980), Fakultas Pascasarjana Universitas King
Saud, Riyadh, Saudi Arabia, Spesialisasi Tafsir Hadits S2 (19801985), Universitas
Nizamia, Hyderabad, India, dengan Spesialisasi Hukum Islam S3 (20052008).4
Setelah pulang ke Indonesia beliau aktif mengajar. Di antara tempat
mengajarnya yaitu di Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur`an (PTIQ), Jakarta,
Istitute Ilmu al-Qur`an (IIQ), Pengajian Islam di Masjid Istiqlal, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan dia juga mengasuh Pesantren Mahasiswa Darus Sunnah
Jakarta.5
Peran terpenting Ali Mustafa Yaqub di dalam ranah kajian hadits di
Indonesia adalah berusaha mengembangkan wawasan pemikiran dalam ilmu hadits

3
Ali Mustafa Yaqub, Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), 143
4
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997),
240
5
Muhammad Husnul Mubarak, Pemikiran Ali Mustafa Yaqub Tentang Arah Kiblat,
Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, 2015, 62
4

dan berupaya melakukan pembelaan dari serangan orientalis dan rasionalis murni.6
Pemikiran orientalis yang gencar menyerang Islam, seperti Goldziher dan Josep
Schacht yang sering dijadikan rujukan ketika membahas sejarah hadits dan kritik
sanad, benar-benar dibendung oleh Ali Mustafa Yaqub. Pemikiran-pemikiran
orientalis tersebut cenderung menolak dan meragukan orisinalitas hadits berasal dari
Rasulullah saw. Banyak pengkaji hadits di Indonesia yang menganggap kesimpulan
orientalis sebagai sebuah kebenaran. Kehadiran Ali Mustafa Yaqub di panggung
kajian hadits di Indonesia memberi cakrawala baru bagi pemahaman hadits,
terkhusus di Indonesia.
Setelah sekian lama mengabdikan diri untuk agama dan umat, tidak pernah
berhenti berkontribusi positif untuk nusa dan bangsa, baik melalui lisan maupun
tulisan, akhirnya Ali Mustafa Yaqub menghembuskan nafasnya yang dterakhir di
Rumah Sakit Hermina, Ciputat, pada pukul 06.00 dalam usia 64 tahun.7
Adapun karya-karya Ali Mustafa Yaqub di bidang hadis antara lain yaitu:
Imam al-Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadits (1991), Hadits Nabawi
dan Sejarah Kodifikasinya (Alih Bahasa dari Muhammad Mustafa Azami, 1994),
Kritik Hadits (1995), Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997), Peran Ilmu Hadits
dalam Pembinaan Hukum Islam (1999), Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Quran
dan Hadits (2000), M.M Azami Pembela Eksistensi Hadits (2002), Hadits-hadits
Bermasalah (2003), Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan (2003), Nikah Beda
Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadits (2005), Kriteria Halal-Haram untuk

6
Ramli Abdul Wahid, Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia, (Medan: IAIN Press, 2010),
37- 40
7
Nafiysul Qodar, Detik-detik Wafatnya Mantan Imam Besar Istiqlal Ali Mustafa, Diambil
dari http://news.liputan6.com/read/2494653/detik-detik-wafatnya-mantan-imam-besar-istiqlal-ali-
mustafa. Diakses pada 29 April 2017.
5

Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadits (2009), Kiblat Menurut
al-Quran dan Hadits; Kritik Atas Fatwa MUI No.5/2010 (2011), dll.8

2) Hermeneutika Hadis Ali Mustafa Yaqub

Secara garis besar, kajian hadis memiliki komponen yang kompleks, namun
secara spesifik meliputi tiga komponen dasar yaitu: kritik sanad (naqd al-sanad),
kritik matan (naqd al-matn), dan pemahaman hadis (fahm al-h}adi>s\, fiqh al-h}adi>s\ atau
maa>ni> al-h}adi>s\). Dalam sub pembahasan ini, komponen pemahaman hadislah yang
menjadi fokus kajian.
Dalam konstruksi pemahaman hadis, Miski menjelaskan9 bahwa Ali Mustafa
Yaqub menyebutkan bahwa pada dasarnya hadis Nabi harus dipahami secara
tekstual atau apa adanya (lafz}iyyah). Jika tidak memungkinkan, maka sebuah hadis
diperbolehkan untuk dipahami secara kontekstual.10 Menurut Ali Mustafa, hadis-
hadis yang mestinya dipahami secara tekstual adalah hadis yang berkenaan dengan
perkara gaib (al-umu>r al-ga>ibiyyah) dan ibadah murni (al-iba>dah al-mahd}ah).11
Dengan lebih terperinci mengenai perkara gaib, Ali Mustafa menyebutkan bahwa
perkara gaib dapat dibedakan menjadi dua kategori: pertama, gaib yang relatif (ga>ib
nisbi>); seperti keberadaan Kota New York. Bagi orang yang belum berkunjung, kota
tersebut masih disebut gaib tetapi tidak demikian halnya bagi orang yang pernah
berkunjung ke sana. Kedua, gaib mutlak (ga>ib haqi>qi>), seperti perihal datangnya
hari Kiamat, hakikat Allah, surga, neraka dan sebagainya. Untuk hal-hal seperti ini

8
Syaroni As-Samfuriy, Biografi Pakar Hadits Indonesia, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa
Yaqub, Diambil dari http://www.muslimedianews.com/2013/10/biografi-pakar-hadits-indonesia-
prof-dr.html. Diakses pada 29 April 2017.
9
Miski, Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub: Studi atas Fatwa Pengharaman Serban
dalam Konteks Indonesia, Riwayah: Jurnal Studi Hadis, vol. 2, no. 1 2016, 19-21.
10
Ali MustafaYaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), 152
11
Ali MustafaYaqub, Haji Pengabdi Setan, 21
6

seyogianya cukup dengan mengikuti petunjuk al-Quran dan hadis Nabi. Tidak ada
ruang untuk ditafsirkan secara kontekstual.12
Kaitannya dengan ibadah murni (al-iba>dah al-mah}d}ah), seperti tata cara
salat, puasa, haji dan sebagainya yang merupakan persoalan antar Tuhan dengan
hamba-Nya, menurut Ali Mustafa juga tidak layak dipahami secara kontekstual.
Teks-teks yang berkaitan dengan hal ini harus dipahami apa adanya sesuai petunjuk
al-Quran dan hadis Nabi. Lebih jauh Ali Mustafa menyebutkan bahwa upaya
kontekstualisasi (memahami secara kontekstual) ibadah murni bisa mengakibatkan
substansi teks tersebut kehilangan nilai universalitasnya, misalnya masing-masing
lingkungan atau negara akan membuat aturan salat sesuai kondisinya.13
Selanjutnya mengenai pemahaman hadis secara kontekstual, Ali Mustafa
Yaqub menjelaskan bahwa hadis yang dimaksud harus dipahami dengan melihat
aspek-aspek di luar teks itu sendiri; meliputi: pertama: sebab-sebab yang
melatarbelakangi (asba>b al-wuru>d al-h}adi>s\).14 Bagi Ali Mustafa, mengetahui sebab-
sebab yang melatarbelakangi munculnya sebuah hadis tergolong sesuatu yang sangat
urgen untuk mendapatkan pemahaman yang proporsional dan tepat.15 Sebagai
contoh terkait hadis yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda, Apabila kalian akan
menunaikan salat Jumat, hendaklah mandi terlebih dahulu. Berkenaan dengan hadis
ini, Ali Mustafa menjelaskan bahwa sebenarnya hadis ini memiliki sebab khusus.
Kala itu, perekonomian para sahabat pada umumnya masih terbilang sulit sehingga
mereka hanya memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Di sisi lain, sebagian
besar profesi mereka adalah sebagai petani. Setelah berladang, banyak di antara

12
Ali MustafaYaqub, Fatwa-fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2008), 48
13
Ali MustafaYaqub, Haji Pengabdi Setan, 21
14
Ali MustafaYaqub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), 152
15
Ali MustafaYaqub, Haji Pengabdi Setan, 153
7

mereka yang langsung pergi ke masjid untuk menunaikan salat Jumat. Singkat
cerita, aroma tidak sedap pun menyeruak dan sangat mengganggu para jamaah lain
termasuk Nabi. Tidak heran apabila kemudian beliau bersabda seperti di atas.
Dengan memperhatikan kondisi sosial yang melatarbelakangi sabda di atas, Ali
Mustafa menyimpulkan bahwa Nabi hanya mewajibkan mandi Jumat bagi orang
yang badannya kotor saja.16
Kedua, lokal dan temporal (maka>ni> wa zama>ni>). Dalam hal ini Ali Mustafa
memberikan contoh hadis yang berbunyi, Antara timur dan barat adalah kiblat.
Untuk masyarakat Madinah yang secara goegrafis berada di sisi utara kabah
(Mekkah) pamahaman tekstual terhadap hadis di atas pastinya sangat tepat. Namun
untuk konteks Indonesia yang secara geografis memang berbeda dengan Madinah,
maka tidak ayal lagi, hadis ini harus dipahami secara kontekstual disesuaikan dengan
letak geografis Indonesia. Dengan kata lain, dalam hal ini pertimbangan aspek
lokalitas dan temporalitas sebuah hadis mutlak diperlukan.17
Ketiga, hubungan kausalitas (llah al-kala>m). Dalam poin ini Ali Mustafa
mencontohkan sebuah hadis yang berbunyi, Seandainya tidak ada Bani Israil maka
makanan tidak akan menjadi basi dan daging tidak akan membusuk. Seandainya
tidak ada H{awa> maka tidak akan ada istri yang berkhianat kepada suaminya. Hadis
ini menurut Ali Mustafa tidak bisa dipahami secara konkrit kecuali dengan
mempertimbangkan pendekatan kontekstual yaitu bahwa sebenarnya hadis ini
merupakan kritik Nabi atas kekikiran orang-orang Yahudi yang tidak mau
memberikan makanannya pada orang lain padahal mereka sendiri tidak siap
menghabiskannya hingga makanan itu pun membusuk.18

16
Ali MustafaYaqub, Haji Pengabdi Setan, 154
17
Ali MustafaYaqub, Haji Pengabdi Setan, 155
18
Ali MustafaYaqub, Haji Pengabdi Setan, 157
8

Keempat, sosio-kultural (taqa>li>d). Sosio-kultural yang dimaksudkan Ali


Mustafa dalam konteks hadis adalah dengan mengaitkan hadis yang dimaksud
dengan kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Misalnya berkenaan dengan sabda
Nabi memperbolehkan orang salat meludah di masjid. Ali menjelaskan bahwa
meludah di masjid kala itu tidak menjadi persoalan yang serius karena masjid pada
waktu itu masih beralas pasir atau debu sehingga ludah yang jatuh akan cepat
terserap. Selain itu, pasir Arab dengan udara kering dan panas bisa menyebabkan
bakteri tidak bisa bertahan lama. Kondisi ini tentunya berbeda sekali dengan realitas
hari ini, lantai masjid sudah beralas keramik atau marmer. Meludah di masjid justru
akan megnotori dan membahayakan kesehatan bahkan masjid bisa menjadi tempat
yang sangat menjijikkan sehingga pada gilirannya akan sulit diminati.19
Berdasarkan pemaparan diatas, maka metode Ali Mustafa Yaqub dalam
memahami hadis, walaupun tidak secara langsung ia menyebutkan metodologi
hermeneutik, namun menurut kesimpulan Rohmansyah bahwa metode pemahaman
Ali Mustafa Yaqub terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer, di mana aliran
hermeneutika ini sangat berpengaruh sejak separuh kedua abad 20 M.20
Adapun keterpengaruhan Ali Mustafa Yaqub terkait dengan pemahaman
hadisnya yaitu dia menditeksi atau menguji ke-dhabi-tan periwayat dengan
membandingan dengan ayat al-Quran. Apabila hadis diriwayatkan oleh orang yang
dabit tersebut bertentangan dengan ayat al-Quran, sekalipun hadis itu shahih, maka
tertolak dan tidak diamalkan. Selain itu, dalam memahami teks, jika teks tersebut
tidak bisa dipahami secara tekstual, maka hadis tersebut dipahami secara
kontekstual dengan melihat asbabul wurudnya pada saat hadis tersebut disabdakan
kemudian diinterkoneksikan dengan zaman sekarang. Kondisi ini dalam aliran

19
Ali MustafaYaqub, Haji Pengabdi Setan, 157
20
Rohmansyah, Hermeneutika Hadis Ali Mustafa Yaqub dikutip dari:
rohmansyah1506.blogspot.co.id diakses pada 29 April 2017.
9

hermeneutika Gadamer disebut teori kesadaran dipengaruhi oleh sejarah.21


Menurut teori ini pemahaman seorang mufassir atau pensyarah hadis ternyata
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya baik berupa tradisi kultur,
maupun pemahaman hidup. Sehingga Gadamer menyarankan bahwa setiap orang
harus mampu mengatasi subyektivitasnya ketika dia memahami sebuah teks.
Selanjutnya bahwa pemahaman harus melihat sebuah tradisi di masa lalu dan
masa kini yang bercampur aduk terus menerus. Namun interperator dapat
memainkan pra-pemahamannya dalam usaha untuk menilai klaim-klaim kebenaran,
sehingga mulai menggantikan titik pijak awalnya yang terisolir dan perhatian
terhadap individualitas pengarang. Gadamer juga mengatakan bahwa siapapun yang
ingin memahami teks sebaiknya bersiap untuk mempersilahkan teks itu mengatakan
suatu apa adanya, maka dari itu kesadaran yang terlatih secara hermeneutik pasti
sensitive terhadap kelainan (otherness) teks sejak awal. Menurutnya, teks hadis
dibiarkan berbicara apa adanya sesuai kondisi yang berlaku saat teks hadis muncul,
kemudian akan terlihat berbeda dengan zamanya sekarang, maka interpretator
menjelaskan secara kontekstual sesuai perkembangan zaman.22
Ketika seseorang memahami teks hadis harus ada proses dialogis antara
interpretator dan teks hadis dengan melihat kondisi historis (historical) dan
kesadaran historik.23 pada aspek inilah Ali Mustafa cenderung terpengaruh, sehingga
dalam memahami hadis harus melihat asbabul wurud hadis yang kemudian
dikontekskan pada masa sekarang sebagai pendialogisan, sehingga teks bisa diterima
dan dipahami secara sadar.24
21
Hans Georg Gadamer, Truth anda Method (New York: Seabury Press, 1975), 10.
22
Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme (Yogyakarta: Qalam, 2001),
143.
23
Josep Bleircher, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan
Kritik (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007), 162
24
Rohmansyah, Hermeneutika Hadis Ali Mustafa Yaqub.
10

3) Fenomena Standing Party di Indonesia: Penerapan Metode Hermeneutika


Hadis Ali Mustafa Yaqub
Standing party berasal dari bahasa Inggris, stand yang berarti berdiri dan
party yang berarti pesta. Dalam kamus besar bahasa Indonesia berdri berarti tegak
bertumpu pada kaki, sedangkan pesta berarti perjamuan makan dan minum
(bersukaria dan sebagainya). Standing party merupakan pesta dimana para tamu
yang datang langsung mengambil makanan dan makan sambil berdiri.25
Saat ini model Standing party dapat dijumpai dalam penyelenggaraan
resepsi pernikahan, yaitu para hadirin tamu undangan disuguhi berbagai jenis
makanan dan minuman kemudian makanan dan minuman tersebut disantap dengan
cara berdiri, berjalan-jalan sembari berbincang-bincang dengan orang yang ada
disekelilingnya dan penyelenggara tidak menyediakan kursi untuk duduk, kecuali
dalam jumlah yang sangat terbatas. Di dalamnya terkadang juga ditambah dengan
acara-acara selingan, seperti adanya lagu-lagu remiks, dansa, joget, disko, karaoke
dan lain sebagainya.26
Dalam Islam, fenomena standing party berkaitan dengan hukum makan dan
minum sambil berdiri, yang masih diperselisihkan di kalangan ulama. Sebagaian
hadis ada yang membolehkan, sebagian lain ada yang melarang. Setelah melakukan
penelusuran, ditemukan beberapa lafal hadis tentang posisi minum Rasulullah saw,
yaitu:

25
Surawan Martinus, Kamus Kata Serapan (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001),
859.
26
Fadillah Ramdani Akbar, Standing Party Dalam Resepsi Pernikahan, Skripsi, IAIN
Purwokerto, 2016, 5., dan Thobieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan
Kesucian Rohani (Jakarta: PT. Al Mawardi Prima, 2003), h. 56.
11

1. Hadis larangan minum sambil berdiri.



: :
27



28





:
29



2. Hadis yang membolehkan minum sambil berdiri.






30
:

:

:



31

27
\Muslim bin al-Hajja>j Abu al-Hasan al-Qusyairi, S{ah{i>h{ Muslim, jilid 3, (Beirut: Ihya Turas
al-Arabi>, t.th.), h. 1601
28
Muslim bin al-Hajja>j Abu al-Hasan al-Qusyairi, S{ah{i>h{ Muslim, jilid 3, h. 1600
29
Muslim bin al-Hajja>j Abu al-Hasan al-Qusyairi, S{ah{i>h{ Muslim, jilid 3, h. 1601
30
Muslim bin al-Hajja>j Abu al-Hasan al-Qusyairi, S{ah{i>h{ Muslim, jilid 3, h. 1601
31
Abu> Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>il bin Ibra>him bin Mugi>rah al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi al-
Musnad al-S}ah}i>h} al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>lulla>h, jilid 7 (Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, al-Yama>ma>h,
t.th.), h. 110
12






:

:
32

Seperti yang telah disebutkan diatas, hadis tentang minum berdiri


mengandung dua redaksi matan yang berbeda, yaitu ada yang membolehkan minum
sambil berdiri, dan ada yang melarang sekaligus mensunnahkan untuk duduk.
Singkatnya, isi matan hadis tersebut nampak kontradiksi antara yang satu dengan
lainnya.
Menyikapi dua hadis yang kontradiksi, Ali Mustafa Yaqub merujuk pendapat
Imam al-Nawawi> dan Imam al-Suyuti. Imam al-Nawawi berpendapat bahwa hadis
yang kontradiksi itu terbagi dua: pertama, dapat dikompromikan diantara keduanya,
sehingga statusnya jelas dan wajib diamalkan keduanya. Kedua, tidak dapat
dikompromikan karena alasan lain. Jika kita mengetahui salah satunya adalah hadis
yang nasikh (menghapus hukum sebelumnya), maka hadis ini yang kita kedepankan.
Dalam hal ini kita mengetahui histori hadis antara yang pertama (mutaqaddim) dan
kedua (mutaakhir), maka berlaku kaidah al-Mutaakhir menasakh (menghapus
pemberlakuan hukum) al-Mutaqaddim. Jika tidak mengetahuinya, maka
mengamalkan hadis yang rajah (unggul) setelah mentarjihnya dengan melihat sifat-
sifat rawinya dan keunggulan mereka dalam lima puluh bidang tarjih (kualifikasi).33
Adapun Imam al-Suyuti meringkasnya menjadi tujuh klasifikasi yaitu mentarjih

32
Abu> Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>il bin Ibra>him bin Mugi>rah al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi al-
Musnad al-S}ah}i>h} al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>lulla>h, jilid 2, h. 156
33
Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016),
h. 182-183
13

ihwal rawi, penerimaan riwayat (tahammul), mekanisme periwayatan, waktu


penyampaian riwayat, redaksi hadis, hukum hadis, dan faktor eksternal.34
Berdasarkan teori yang ditawarkan di atas, maka dua hadis yang kontradiksi
dapat dikaji dengan analisis historis (sabab al-wurud). Hadis-hadis yang
membolehkan minum sambil berdiri muncul saat Rasulullah saw sedang
melaksanakan ibadah haji. Saat musim haji tiba, kantong-kantong penampung air
zam-zam terbuat dari kulit hewan diletakkan dengan cara digantung di pintu gerbang
Kuffah, sehingga situasi yang paling memungkinkan saat itu untuk meminumnya
adalah dengan posisi berdiri.35
Dari analisis tersebut, dapat dipahami bahwa Rasulullah saw pernah minum
sambil berdiri karena saat itu situasi dan kondisi tidak memungkinkan, namun
Rasulullah tidak menjadikannya sebuah kebiasaan. Berdasarkan hal ini, dalam
kondisi darurat dibolehkan untuk minum sambil berdiri, namun minum sambil duduk
jauh lebih utama dan sopan jika ditinjau dari sudut pandang moral, tata karma, dan
etika, dan jauh lebih sehat jika ditinjau dari sisi kesehatan.
Berdasarkan analisis historis tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua hadis
yang nampak kontradiksi itu dapat dikompromikan, dan keduanya dapat diamalkan.
Kebolehan minum sambil berdiri harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Adapun hadis larangan minum berdiri bisa dipahami sebagai pengajaran dan
tuntunan Rasulullah kepada para sahabat saat itu mengenai adab makan dan minum
yang Islami.
Selaras dengan argument Ali Mustafa Yaqub ketika mengkritik Ade
Armando, penulis pun tidak sepakat dengan konsep standing party. Alasannya

34
Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis Nabi, h. 183
35
Aprilia mardiastuti, Syariat Makan dan Minum dalam Islam: Kajian Terhadap fenomena
Standing Party pada Pesta Pernikahan, Jurnal Living Hadis, vol. 1, no. 1, April 2016 (UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta), h. 168
14

adalah pertama, standing party dari awal telah dikonsep agar para tamu undangan
posisinya berdiri saat makan dan minum, jumlah kursinya pun sengaja dikurangi,
sehingga tidak lagi terdapat unsur darurat. Beda halnya ketika seseorang terlambat
datang ke acara resepsi perkawinan, karena dia kehabisan tempat duduk maka
dengan terpaksa harus berdiri menikmati hidangan; hal inilah yang dibolehkan.
Kedua, analisis hadis larangan minum berdiri tidak boleh berhenti pada
kajian historis (sabab wurud) saja, namun harus dilanjutkan pada analisis kondisi
sosial masyarakat pada waktu itu. Karena kondisi sosial saat ini sangat jauh berbeda
dengan kondisi sosial saat itu. Pada masa Rasulullah, air yang disediakan bagi
rombongan haji disimpan dalam kantong-kantong air yang terbuat dari kulit dan
digantung di pintu gerbang Kuffah agar memudahkan orang meminumnya, beda
halnya dengan kondisi Makkah saat ini, air zam-zam dapat diminum dengan mudah,
karena ketersediaan dispenser dan gelas-gelas yang telah disediakan dibeberapa titik
di area Masjidil Haram. Kecuali ketika jamaah haji penuh sesak dan tidak
memungkinkan untuk minum duduk, maka boleh minum berdiri.

C. Kesimpulan

Secara garis besar, konstruksi pemahaman hadis Ali Mustafa Yaqub terdiri
dari dua hal: (1) pemahaman tekstual yang bisa diterapkan pada hadis-hadis tentang
perkara gaib dan ibadah murni, serta (2) pemahaman kontekstual yakni memahami
hadis dengan mempertimbangkan aspek lain yang turut mengitari: sebab-sebab yang
melatarbelakangi lahirnya hadis tersebut (asba>b wuru>d), lokalitas-temporalitas
(maka>ni> wa zama>ni>), aspek kausalitasnya (illah al-kala>m) dan sosio-kulturalnya
(taqa>li>d).
Pandangan Ali Mustafa Yaqub terhadap hadis tentang minum sambil berdiri
lebih ditekankan pada nilai moral dan nilai universalitas hadis tersebut. Nilai moral
yang dimaksud adalah etika dan adab ketika minum maupun mengkomsumsi
15

makanan. Meskipun tidak menyebutkan dengan jelas status hukum minum sambil
berdiri, namun ia hanya memperingatkan bahwa perbuatan setan tidak pantas ditiru.
16

Daftar Pustaka

Abdul Wahid, Ramli. Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia, Medan: IAIN Press,
2010
Ade Armando, Ketika Keislaman Jokowi Dipersoalkan Karena Minum Sambil
Berdiri, diambil dari http://www.madinaonline.id/wacana/perspektif/ketika-
keislaman-jokowi-dipersoalkan-karena-minum-sambil-berdiri/,
Akbar, Fadillah Ramdani. Standing Party Dalam Resepsi Pernikahan, Skripsi,
IAIN Purwokerto, 2016,
al-Asyhar, Thobieb. Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian
Rohani. Jakarta: PT. Al Mawardi Prima, 2003
al-Hajja>j, Muslim bin Abu al-Hasan al-Qusyairi, S{ah{i>h{ Muslim, Beirut: Ihya Turas\
al-Arabi>, t.th.
Bleircher, Josep. Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode,
Filsafat, dan Kritik. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007
Gadamer, Hans Georg. Truth anda Method . New York: Seabury Press, 1975
King, Richard. Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme. Yogyakarta: Qalam,
2001
Martinus, Surawan. Kamus Kata Serapan. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama,
2001
Miski, Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub: Studi atas Fatwa Pengharaman
Serban dalam Konteks Indonesia, Riwayah: Jurnal Studi Hadis, vol. 2, no. 1
2016, 19-21.
Mubarak, Muhammad Husnul. Pemikiran Ali Mustafa Yaqub Tentang Arah
Kiblat, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, 2015,
Nafiysul Qodar, Detik-detik Wafatnya Mantan Imam Besar Istiqlal Ali Mustafa,
Diambil dari http://news.liputan6.com/read/2494653/detik-detik-wafatnya-
mantan-imam-besar-istiqlal-ali-mustafa.
Rohmansyah, Hermeneutika Hadis Ali Mustafa Yaqub dikutip dari:
rohmansyah1506.blogspot.co.id
Sumber berita: http://www.kompasiana.com/abahpitung/presiden-jokowi-minum-
pakai-tangan-kiri_55867b98739773bf0f06ed5d,
Sumber berita: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/06/23/nqe3hi-
ade-armando-kritik-hadis-nabi-ini-tanggapan-imam-besar-masjid-istiqlal,
Syaroni As-Samfuriy, Biografi Pakar Hadits Indonesia, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa
Yaqub, Diambil dari http://www.muslimedianews.com/2013/10/biografi-
pakar-hadits-indonesia-prof-dr.html.
Yaqub, Ali Mustafa. Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan, Jakarta: PustakaFirdaus,
2003
17

______, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
______, Fatwa-fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal . Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008
______, Haji Pengabdi Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006
______, Islam Masa Kini. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006

Anda mungkin juga menyukai