Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hadits atau biasa disebut dengan sunnah secara etimologi adalah Al Hadid
(yang baru), Al Khabaru (berita/khabar). Sedangkan secara termologi, para ulama
berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tentang hadits. Menurut ulama
hadits pada umumnya menyatakan bahwa, hadits adalah segala ucapan Nabi, segala
perbuatan beliau, segala taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau.
Termasuk segala perbuatan beliau adalah sejarah hidup beliau yakni : waktu
kelahiran beliau, keadaan sebalumdan sesudah beliau diagkat sebagai Rasul, dan
sebagainya.1

Hadits dapat disebut sebagai sumber hukum kedua setelah Al- Quran, karena
hadits bersumber langsung dari Rasulullah SAW. Pada awalnya hadits masih belum
dikumpulan bahkan dibukukan seperti sekarang ini, pada saat itu hadis hanya
berdasar atau dihafal saja oleh para sahabat. Ada juga yang menulisnya tetapi hanya
untuk kepentingan pribadi. Namun mulai pada zaman kerajaan Muawiyah hadits
sudah mulai dikumpulkan dan dibukukan. Kita sebagai seorang muslim haruslah
mengetahui sekaligus memahami bagaimana proses pengumpulan hadis pada saat
itu.

Hadits juga mempunyai bagian-bagian yang ada didalamnya. Bagian-bagian


tersebut juga sebagai penguat keshahihan atau kebenaran dari hadits tersebut.
Selain itu pada hadits juga terdapat istilah-istilah yang mungkin pada sebagian dari
kita yang masih awam tentang pengertian agama masih kurang memahaminya.

1
Drs. M. syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Angkasa, Bandung, 1991, hal. 1-2.
Atas dasar itulah, kami menyusun makalah yang membahas tentang kodifikasi
hadits dan Musthalahat hadits. Untuk menambah pemahaman kami sebagai penulis,
juga memberi informasi pada para pembaca tanpa bermaksud untuk menggurui.

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimana proses dalam kodifikasi hadits ?
 Apa yang dimaksud dengan muthalahat hadits ?
 Apa saja bagian – bagian dalam hadits ?

1.3 Tujuan
 Memahami proses-proses dalam kodifikasi hadits.
 Memahami pengertian dari muthalat hadis.
 Memahami bagian-bagian dalam hadits.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kodifikasi Hadits


Kodifikasi atau tadwin hadits secara resmi disinonimkan dengan tadwin al
hadits rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan hadits atau kitabah al
hadits. Secara etimologi kata kodifikasi berasal dari kata codification yang berarti
penyusunan menurut aturan/sistem tertentu. Adapun kata rasmiyan (secara resmi)
mengandung arti bahwa suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga administratif yang
diakui oleh masyarakat, baik langkah yang ditempuh tersebut diakui oleh
masyarakat.

Adapun perbedaan antara kodifikasi hadits secara resmi dan penulisan hadits adalah :

1. Kodifikasi hadits secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga admisnistratif


yang diakui oleh masyarakat, sedangkan penulisan hadits dilakukan
perorangan.
2. Kegiatan kodifikasi hadits tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan,
menghimpun, dan mendokumentasikannya.
3. Tadwin hadits dilakukan secara umumyang melibatkan segala perangkat
yang dianggap kompeten terhadapnya, sedang penulisan hadits dilakukan
oleh orang-orang tertentu.2

2.1.1 Penulisan Hadits


Sebelum datangnya agama Islam, bangsa arab tidak mengenal kemampuan
membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang
ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun mereka memiliki hafalan
yang sangat kuat dalam otak mereka. Hal ini menjadikan hadits-hadits hanya

2
Mifdhol Abdurrahman, Lc, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2015, hlm. 57
dihafal saja dan bukan ditulis. Namun banyak para penghafal hadits yang telah
gugur dalam medan perang sehingga dikhawatrikan hadits-hadits tersebut
akan hilang seiring berjalannya waktu. Sehingga para sahabat dan ulama
bertujuan untuk menulis dan mengumpulkan hadits tersebut agar tidak hilang.
Tetapi ada juga ulama yang menentang rencana penulisan hadits tersebut.
Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih, antara mereka
yang melarang dan membolehkan penulisan hadits sebagai berikut:

1. Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam


yang dikhawatirkan terjadi pencampuran dan penggabungan antara
hadits nabi dan al-Quran. Ketika keadaan sudah aman dan
kondusif, banyak para penghafal al-Quran, Rosulullah
mengizinkan menulis hadits, dan larangan sebelumnya menjadi
terhapus
2. Larangan hanya khusus pada penulisan hadits bersamman dengan
al-Quran dalam satu lembar karena khawatir terjadinya persamaan
atau kemiripan.
3. Larangan hanya bagi orang yang meyakini mampu menghafalnya
karena dikhawatirkan akan berganyujg pada tulisan, sedangkan
diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak
mampu menghafalnya seperti abu syah.

maka dengan demikian, hilanglah kesan pertentangan antar ulama


tersebut.3

3
Mifdhol Abdurrahman, Lc, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2015, hlm. 60
2.1.2 Pembukuan Hadits
Pembukuan berbeda dengan penulisan. Seseorang yang menulis
sebuah shahifah atau lebih maka disebut dengan penulisan, sedangkan
pembukuan adalah pengumpulan shahifah yang sudah tertulis dan yang
dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi dalam satu buku.
Dari urwah bin azzubairbahwasanya umar bin khattab ingin menulis
sunnah-sunnah nabi, lalu beliau meminta fatwa dari para sahabat tentang
hal itu.mereka menyarankan untuk menulisnya. Kemudian umar
beristikhoroh selama senulan, lalu pada suatu pagi beliau akhirnya
mendapat kemantapan hati.
Adapun atsar dari sebagian tabiin tentang larangan menulis fatwa
mereka itu karena sebab yang lain, yaitu kekhawatiran akan bercampurnya
hadits dengan pendapat mereka.
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits pertama kali
dilakukan oleh khalifah umar bin abdul aziz. Hal-hal yang mendorong
untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan adalah sebagai berikut:

1. Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan al-Quran telah


dihafal ribuan orang dan telah dikumpulkan dan dibukukan
sejak zaman utsman bin affan.
2. Kehawatiran akan hilangnya hadits,karena ingatan kuat orang
arab yang menjadi kelebihan semakin melemah dan banyak
ulama yang telah gugur di medan perang.
3. Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan
mahzab setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum
muslimin menjadi pengikut ali dan pengikut muawiyyah, dan
khawarij yang keluar dari keduanya.

Akan tetapi pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna, karena


umar bin abdul azizi wafat sebelum abu bakar bin hazm mengirim hasil
pembukuan hadits kepadanya. Adapun upaya pembukuan yang sebenarnya
dan menyeluruh dilakukan oleh imam muhammad bin syihab azzuhri, yang
menyambut seruan halimah umar bin abdul aziz dengan tulus dan didasari
karena kecintaan pada hadits Rosulullah dan keinginannya untuk
melakukan pembukuan.

2.2 Musthahalah Hadits


Musthahalah hadits adalah ilmu yang membahas tentang dasar-dasar dan
kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan hadits meninjau dari
seginitrima dan ditolaknya suatu hadits. Manfaatnya mengetahui ilmu
musthahalah hadits akan dapat membedakan mana hadits yang sahih dan hadits
yang tidak sahih. Objek yang dibahas meliputi sanad, isnad, matan, dan rawi.4

2.2.1 Sanad
Menurut bahasa al-sanad sama dengan al-mu’tamad yang berarti
tempat bersandar disebut demikian kaena ia menjadi sandaran sebuah suatu
hadits dan menjadi penentu untuk menilai kualitas hadits. Menurut istilah
al-sanad berarti rantai-rantai dari beberapa perawi hadits yang terus
bersambung hingga sampai kepada matan (text hadits).
2.2.2 Isnad
Al-isnad mempunyai dua pengertian, yang pertama menghubungkan
hadits kepada orang yang merieayatkan sebagai sandaran. Kedua, mata
rantai dari beberapa perawi hadits yang menghubungkan sampai matan
hadits, pengertian ini searti dengan al-musnad dan al-sanad.

4
Dr.Mahmud Thahan, Intisari Ilmu Hadits, UIN Malang Press, Malang, 2007, hlm. 27
2.2.3 Musnad
Menurut bahasa adalah isim maf’ul dari fiil madi “asnada” yang
berarti sesuatu yang menjadi sandaran. Menurut istilah al-musnad memiliki
tiga arti. Pertama, nama kitab yang menghimpun seluruh hadits yang
diriwayatkan oleh beberapa sahabat dan sistematika penyusunnya
berdasarkan pada tingkatan para sahabat (thabaqat). Kedua, hadits yang
marfu’ dan muttasil (sanadnya bersambung). Ketiga, sama pengertiannya
dengan al-sanad, hanya saja kata al-musnad dibentuk dengan mashdar
mim.
2.2.4 Matan
Menurut bahasa, al-matan berarti bumi yang kerasa dan tinggi.
Menurut istilah, al-matan adalah materi pembicaraan (text hadits) yang
berada setelah penyebutan sanad.5
2.2.5 Rawi
Yang dimaksud rawi adalah orang yang menyampaikan atau
menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atau diterimanya
dari seseorang. Bentuk jamaknya ruwaat, perbuatan menyampaikan hadits
tersebut dinamakan me-rawi kan hadits.6

5
Dr.Mahmud Thahan, Intisari Ilmu Hadits, UIN Malang Press, Malang, 2007, hlm. 28

6
Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Angkasa, Bandung 1991, hlm. 17

Anda mungkin juga menyukai