Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ULUMUL HADITS

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS II

Dosen Pengampu : Nur Arifuddin, M.Pd.

Disusun Oleh:
Nabilatul Laila (20220213004)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH IBNU SINA

KEPANJEN – MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt karena atas limpahan
karunia, rahmat, dan hidayah-Nya yang berupa kesehatan, sehingga makalah ini
dapat terselesaikan. makalah ini disusun sebagai tugas matakuliah Ulumul Hadits
yang membahas tentang Sejarah Perkembangan Hadits II, kami berusaha menyusun
makalah ini dengan segala kemampuan, namun kami menyadari bahwa makalah ini
masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penulisan maupun segi
penyusunan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangunkan, kami
terima dengan senang hati demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah
ini bisa memberikan manfaat bagi para pembacanya, atas perhatian dan kesempatan
yang diberikan untuk membuat makalah ini kami ucapkan terimakasih.

Malang, 20 Maret 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................2
DAFTAR ISI ......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................4
A. Latar Belakang .....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................4
C. Tujuan Masalah ...................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................5
A. MASA PENGUMPULAN DAN KODIFIKASI HADITS ..................................................5
B. MASA PENTASHIHAN DAN PENYUSUNAN KAIDAH-KAIDAH NYA......................... 11
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 16
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an


memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks, sejak dari
masa Nabi SAW, Sahabat, Tabi’in, hingga pembukuan hadits setelah abad
ke 2 hijriah. Perkembngan hadits dari masa awal lebih mengfokuskan pada
lisan, hal ini karena pada saat itu Rosululloh khawatir akan tercampurnya
anatara nash Al-Qur’an dengan Hadits. Sealin itu juga disebabkan karena
Rosululloh lebih mengfokuskan penulisan Al-Qur’an pada masa sahabat.
Periodisasi pembukuan hadits secara resmi baru dilaksanakan pada masa
kholifah Umar bin Abdul Azis.
Pembukuan yang dimaksud adalah penulisan penghimpunan hadits-
hadits Nabi yang dilakukan berdasarkan perintah resmi kholifah umar bin
abdul azis, yang kemudian kebijakannya itu ditindak lanjuti oleh para ulama
diberbagai daerah hingga pada masa-masa berikutnya hadist-hadits
terbukukan dalam kitab-kitab hadits.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hadits pada masa kodifikasi ?


2. Bagaimana sejarah hadits pada masa kodifikasi ?
3. Apa yang dimaksud dengan pentashihan dan penyusunan kaidah-kaidah
hadits ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan hadits pada masa kodifikasi?


2. Untuk mengetahui sejarah hadits pada masa kodifikasi ?
3. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan pentashihan dan penyusunan
kaidah-kaidah hadits ?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. MASA PENGUMPULAN DAN KODIFIKASI HADITS


1. Definisi Kodifikasi Hadits

Kodifikasi atau tadwin hadits adalah pencatatan, penulisan,


atau pembukuan hadits. Pencatatan telah dilakukan oleh para
sahabat sejak zaman Rosululloh SAW. Lalu, kapan dimulai
kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kholifah, dengan
melibatkan beberapa personal yang ahli dalam masalah ini? Artinya,
bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan
pribadi, seperti pada masa-masa sebelumnya. 1
Kodifikasi hadits yang dimaksudkan di sisni adalah
penulisan, penghimpunan, dan pembukuan hadits-hadits Nabi yang
dilakukan berdasar perintah resmi Kholifah Umar bin Abdul Azis
(99-101 H/717-720 M), Khalifah kedelapan Bani Umayyah, yang
kemudian kebijakannya itu ditindaklanjuti oleh para ulama
diberbagai daerah hinggga pada masa-masa berikutnya hadits-hadits
terbukukan dalam kitab-kitab hadits.2

2. Sejarah Kodifikasi Hadits

Ide penghimpunan hadits Nabi secara tertulis pertama kali


dikumukakan oleh Umar Ibn Al-Khattab. Umar merealisasikan
idenya itu, Umar bermusyawarah dengan para sahabat Nabi dan
beristikharah. Para sahabat menyetujui idenya itu, tetapi setelah
sekian lama beristikharah, Umar sampai pada kesimpilan bahwa ia

1
Mustofa Hasan, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka setia, 2012) hal. 151.
2
Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Prenada media group, 2010) hal. 93.

5
tidak akan melakukan penghimpunan dan kodifikasi hadits, karena
khawatir umat islam akan berpaling dari Al-Qur’an.
Sebagian Ulama’ berpendapat, sebagaimana dalam kitab
Thabaqah Ibn sa’ad, Tahzib al-Tahzib dan Tadzikirah al- Huffazh,
bahwa pengumpulan hadits sudah mulai pada masa ‘abd al-Azis Ibn
Marwan Ibn Hakam yang saat itu menjabat sebagai gubernur di
mesir. Ia memerintahkan katsir Ibn Murrah al-Hadhrami untuk
mengumpulkan hadits Rosulullah. Hanya saja menurut mayoritas
ulama hadits, kodifikasi secara resmi pertama kali dilakukan pada
masa Umar bin Abdul Azis Ketika menjadi kholifah Bani Umayyah
(99-101 H), anak dari Abdul Azis ibn Marwan ibn Hakam, melalui
intruksinya kepada pejabat daerah agar memeperhatikan dan
mengumpulkan hadits dari para penghafalnya. Instruksi kholifah
yang pertama kali disampaikan pada Abu Bkar bin Muhammad ibn
Amr’ ibn Hazm (gubernur Madinah) ia mengirim instruksi yang
isinya:

“Perhatikan atau periksalah hadits-hadits Rasul SAW kemudian


tulislah ! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya
para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali
hadits-hadits dari Rasul SAW”

Dengan demikian, kodifikasi hadits secara resmi terjadi pada


masa kholifah Umar bin Abdul Azis. Proses kodifikasi hadits yang
dilakukan pada masa ini di mulai dengan kholifah mengirim surat ke
seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100
H yang berisisi perintah agar seluruh hadits Nabi di masing-masing
daerah segera dihimpun.3

3
Ibid. 94.

6
a. Kodifikasi hadits Abad II hijriyah

Pada abad kedua, para ulama dalam aktivitas kodifikasi


hadits, tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka
tidak membukukan hadits-hadits saja, tetapi fatwa sahabat tabiin
juga dimasukkan ke dalam kitab-kitab mereka. Dengan kata lain,
seleksi hadits pada abad kedua ini disamping memasukkan
hadits-hadits Nabi juga perkataan para sahabat dan para tabiin
juga dibukukan.
Pada abad kedua ini ulama yang berhasil Menyusun kitab
tadwin dan sampai pada kita adalah Malik ibn Anas (93-179 H)
yang Menyusun kholifah Al-Mansyur, salah seorang kholifah
bani abbasiyah. Kitab ini tidak hanya memuat hadits Rasul saja,
tetapi juga ucapan sahabat dan tabi’in bahkan tidak sedikit yang
berupa pendapat Malik sendiri atau praktik ulama dan
masyarakat Madinah.
Abad kedua ini juga diwarnai dengan meluasnya pemalsuan
hadits yang telah ada semenjak masa kholifah Ali bin Abi Thalib
dan menyebabkan Sebagian ulama pada abad ini tergugah untuk
mempelajari keadaan para periwayat hadits,disamping pada
waktu itu memang banyak periwayat yang lemah, meskipun
tidak berarti pada abad pertama tidak ada perhatian sama sekali
terhadap keberadaan para periwayat hadits. 4

b. Kodifikasi hadits abad III Hijriah

Berbeda dengan abad sebelumnya, abad ketiga hijriah ini


merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda
Rosululloh dengan fatwa sahabat dan tabi’in. masa penyeleksian

4
Ibid. 95.

7
ini terjadi pada zaman Bani Abbasiyah, yakni masa al-Ma’mun
sampai al-Muktadhir (201-300 H). Materi kodifikasi yang
dibukukan pada abad ini dipisahkan antara hadits Nabi,
pendapat sahabat dan tabiin, meskipun hadits-hadits yang
dihimpun tidak diterangkan antara yang shahih, hasan, dan
dha’if. Para ulama mengkodifikasikan hadits-hadits dalam
kitab-kitab mereka dalam keadaan masih tercampur antara
ketiga macam hadits tersebut. Mereka hanya menulis dan
mengumpulkan hadits-hadits Nabi lengkap dengan sanadnya,
yang kemudian kitab-kitab hadits hasil karya mereka disebut
istilah musnad.
Meskipun dilakukan penyeleksian, hadits-hadits yang
disusun dalam kitab-kitab musnad diatas masi tercampur antara
hadits yang shahih, hasan, dan dha’if. Karena itu, kemudian
bangkitlah ulama-ulama hadits pada pertengahan abad III
Hijriah untuk memilih hadits-hadits yang shohih saja. 5

c. kodifikasi hadits abad IV-VII Hijriah

kalau abad pertama, kedua, dan ketiga, hadits berturut-turut


mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan, serta
penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, yang sistem
pengumpulan haditsnya didasarkan pada usaha pencarian
sendiri untuk memenuhi sumber secara langsung kemudian
menelitinya, maka pada abad keempat dan seterusnya
digunakan metode yang berlainan.
Pembukuan hadits pada periode ini lebih mengarah pada
usaha mengembangkan variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-
kitab hadits yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari
kemunculan al-Kutub al-Sittah, al-Muwathta Imam Malik ibn

5
Ibid. 96.

8
Anas, dan al- Musnad Ahmad ibn Hambal, para ulama
mengalihkan perhatian untuk Menyusun kitab-kitab yang
berbentuk jawami, takhrij, athraf, syarah, dam mukhtsar, dan
Menyusun hadits untuk topik-topik tertentu.6

d. kodifikasi hadits abad ketujuh hijriah sampai sekarang

Kodifikasi hadits yang dilakukan pada abad ketujuh


dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab-kitab hadits,
menyaringnya, dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat
kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang
mengumpulkan hadis-hadis hukum, men-takhrij hadis-hadis
yang terdapat didalam beberapa kitab, men-takhrij hadis-hadis
yang terkenal dimasyarakat, menyusun kitab athraf,
mengumpulkan hadis-hadis disertai dengan menerangkan
derajatnya, , dan mengumpulkan hadis dalam jumlah tertentu.
Periode ini memang tidak jauh berbeda dengan abad
sebelumnya ketika muncul kitab-kitab hadis yang model
penyusunannya hampir sama seperti penyusunan kitab-kitab
jami’, kitab-kitab takhrij, athraf, kecuali penulisan dan
pembukuan hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab hadis
sebelumnya dalam sebuah kitab yang dikenal dengan istilah
kitab zawalid.

3. Faktor-faktor Pendorong Kodifikasi Hadis

Kodifikasi hadis pada masa ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz (99-101 H),
menurut Muhammad al-Zafzaf, dilatarbelakangi oleh dua faktor, yaitu:

6
Ibid. 101

9
1. Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan
hadis akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi
penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian terhadap hadis.
2. Banyak berita yang diada-adakan oleh orang-orang yang suka
berbuat bid’ah seperti Khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain-lain,
yangberupa hadis palsu (mawshu’).

Faktor-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadis tersebut


dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu fakto internal dan faktor
eksternal.

Faktor internal berupa :

1. Pentingnya menjaga autentisitas dan eksistensi hadis, karena


hadis disamping sebagai sumber agama Islam yang kedua setelah
Al-Qur’an.
2. Semangat menjaga hadis, sebagai salah satu warisan Nabi yang
sangat berharga karena Nabi memang pernah bersabda bahwa
beliau meninggalkan dua hal yang jika umat Islam berpegang
pada keduanya maka tidak akan pernah tersesat, yaitu al-Qur’an
dan hadis Nabi
3. Semangat keilmuan yang tertanam dikalangan uma Islam saat itu
termasuk di dalamnya aktivitas tulis menulisdan periwayatan
hadis.
4. Adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadis pada saat itu
5. Para penghafal dan periwayat hadis semakin berkurang karena
meninggal dunia
6. Rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan
menghafal dan kemudian meriwayatkannya.

10
Faktor eksternal berupa :

1. Penyebaran islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan


Islam, sehingga banyak periwayat hadis yang tersebar
diberbagai daerah.
2. Kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadis yang disebabkan
antara lain oleh perbedaan politik dan aliran.7

B. MASA PENTASHIHAN DAN PENYUSUNAN KAIDAH-


KAIDAH NYA
1. Pengertian Pentashihan Hadis

Pentashihan hadis adalah pengoreksian, penyaringan atau


penyeleksian terhadap hadis yang telah dikumpulkan dan akan
dicetak atau dibukukan. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya
kesalahan dalam pencetakan hadis-hadis tersebut. Masa seleksi atau
penyaringan hadis ialah masa upaya para mudawwin hadis yang
melakukan seleksi secara ketat sebagai kelanjutan dari upaya para
ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan kitab tadwin.
Masa ini dimulai pada akhir abad II atau awal abad III, atau ketika
pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbas, khususnya sejak
masa Al-Makmum hingga akhir abad III atau abad IV, masa Al-
Muktadir.

Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya,


yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa hadis
mauquf dan maqhtu’ dari hadis marfu. Begitu pula belum dapat
memisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yang sahih. 8

7
Ibid. 105.
8
Mustofa Hasan, Ilmu Hadits,(Bandung: CV Pustaka setia, 2012) hal. 158-160.

11
Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan
penyaringan hadis yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah tertentu
mereka berhasil memisahkan hadis-hadis yang dha’if dari yang
sahih, yang ma’uquf dan yang maqtu’ dari yang marfu’ meskipun
berdasarkan penelitian para ulama berikutnya masih ditemukan
tersisipkannya hadis-hadis yang dha’if pada kitab-kitab yang sahih.

Berkat keuletan dan keseriusan para ulama ppada masa ini,maka


bermunculanlah kitab-kitab hadis yang hanya memuat hadis-hadis
yang sahih. Kitab-kitab tersebut pada perkembangannya kemudian
dikenal dengan Kutub Al-Sittah (kitab induk yang enam).9

2. Penyusunan Kaidah-kaidah Hadits

a. Kaidah Kesahihan Hadis

Hadis (sunah) bagi umat Islam menempati urutan kedua


setelah al-Qir’an karena, disamping sebagai sumber ajaran Islam
yang secara langsung terkait dengan keharusan menaati Rasulullah
saw, juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayn) bagi ungkapan-
ungkapan al-Qur’an yang mujmal, muthlaq, ‘amm, dan sebagainya.
Kebutuhan umat Islam terhadap hadis sebagai sumber ajaran agama
yang terpusat pada substansi dokrintal yang tersusun secara verbal
dalam komposisi teks (redaksi) matan hadis.
Secara etimologis, term sahih merupakan lawan term saqim
yang berarti sakit. Term ini juga telah diserap dalam Bahasa
Indonesia dengan makna “sah, benar, sempurna, sehat, dan pasti”.
Dengan pengertian kebahasaan ini, maka hadis sahih secara paling
sederhana dapat didefinisikan sebagai “hadis yang tidak sakit atau
tidak memiliki cacat”. Artinya, hadis itu sah, benar, dan sempurna.

9
Munzier Suparta, Ilmu Hadits,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2014) hal. 92.

12
Kaidah ke-sahih-an hadis rumusan Syafi’i seperti disebutkan, tidak
saja berkaitan dengan sanad, tetapi juga berkaitan dengan matan.

1. Kesahihan sanad

Pada perkembangan, hadis terbagi menjadi beberapa jenis,


salah satunya adalah hadis sahih. Jenis hadis ini menurut para
ulama memiliki criteria tersendiri, diantaranya :
a. Sanadnya tersambung. Yaitu, tiap-tiap periwayat dalam sanad
hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat
sebelumnya.
b. Periwayatnya bersifat ‘adil. Dalam hal ini ulama menyatakan
bahwa perawi tersebut bisa dikatakan ‘adil jika memenuhi
kriteria sebagai berikut : beragama islam, baligh, berakal,
taqwa, muru’ah, teguh dalam beragama, dan lain-lain.
c. Periwayatnya bersifat dhabit. Pengertian dhabit dapat
dipahami sebagai orang yang terjaga hapalannya tentang apa
yang didengarnya dan ia mampu menyampaikan hafalannya
itu kapan saja ia kehendaki.
d. Perawi hadis tersebut terhindar dari ke-syaz-an. Yakni, apabila
seorang perawi hadis yang siqah meriwayatkan hadis
sedangkan perawi lain yang juga siqah tersebut tidak
meriwayatkannya.
e. Hadis ini terhindar dari ‘illat. Istilah ini menurut Ibn Salah dan
al-Nawawi adalah sebab yang tersembunyi yang dapat
merusak kualitas hadis. 10

10
Muhammad Noor Ichwan, Membahas ilmu-ilmu hadits,(Semarang: Rasail Media Group,2013)
hal. 205.

13
2. Kaedah Kesahihan Matan
Sebagian ulama hadis (muhadisin) percaya bahwa kritikus hadis,
dalam melakukan verifikasi penyadaran hadis kepada Nabi, tidak
hanya meneliti sanad tapi juga matan. Ini berdasarkan kenyataan
bahwa sejumlah matan yang tidak dapat disandarkan kepada Nabi,
meskipun sanadnya tampak siqah. Dengan kata lain, sanad yang
siqah tidak harus berarti matan-nya juga terpercaya.disamping
kepercayaan isnad, ke-siqah-an matan juga harus dibuktikan untuk
kesahihan sebuah hadis.
Dengan kritik matan, kesalahan yang diperbuat oleh
seseorang perawi dapat dikontrol dan penilaian seseorang kritikus
terhadap sebuah hadis dapat diverifikasi. Disamping itu, para perawi
dapat dinilai siqah atau sebaliknya, hanya setelah menguji riwayat
mereka dan meneliti matannya. Demikian pula, kenyataan bahwa
sejumlah hadis yang kontadiktif dengan sanadnya yang siqah, dapat
ditemukan dalam kitab-kitab hadis.

b. Kaidah Pemahaman Hadis

As-sunnah adalah sumber kedua dalam islam dibidang tasyri’ dan


dakwah (tuntutan)-nya, para ahli fiqih merujuk kepadanya untuk
menyimpulkan hukum-hukum, sebagaimana para ahli dakwah dan
tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali makna-makna yang
mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang
merasuk kedalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-
cara efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan
mencegah kejahatan.
Sangat perlu bagi kita untuk memahami hadis dengan metode yang
tepat sehingga akan sejalan dengan ajaran Islam dalam konteks hadis itu
akan diterima periwayatnya yang relavan dipahami dalam konteks
sekarang. Pemahaman demikian tentu memiliki variasi, karena setiap

14
generasi punya peluang dan hak membuat konsep pemahaman yang sesuai
dengan cara pandangnya, baik itu dalam corak mutakaddimin,
mutaakhirin, ataupun lainnya seperti kalangan barat.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kodifikasi atau tadwin hadits adalah pencatatan, penulisan, atau


pembukuan hadis. Pencatatan telah dilakukan oleh para sahabat sejak
zaman Rasulullah SAW.Sejarah kodifikasi hadis adalah pertama kali
dikemukakan oleh ‘Umar ibn al-Khathab. Umar merealisasikan
idenya itu, ‘Umar bermusyawarah dengan para sahabat Nabi dan
beristikharah. Para sabahat menyetujui idenya itu, tetapi setalah
sekian lama beristikharah, ‘Umar sampai pada kesimpulan bahwa ia
tidak akan melakukan penghimpunan dan kodifikasi hadis, karena
khawatir umat Islam akan berpaling dari al-Qu’ran.

Proses kodifikasi hadis :

a. Kodifikasi Hadis Abad II Hijriah


b. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriah
c. Kodifikasi Hadis Abad IV-VII Hijriah
d. Kodifikasi Hadis Abad Ketujuh Hijriah sampai sekarang

2. Pentashihan hadis adalah pengoreksian, penyaringan atau


penyeleksian terhadap hadis yang telah dikumpulkan dan akan dicetak
atau dibukukan. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya
kesalahan dalam pencetakan hadis-hadis tersebut.

Penyusunan Kaidah-kaidah Hadis

a. Kaidah Kesahihan Hadis

Kaidah ke-sahih-an hadis rumusan Syafi’I seperti disebutkan, tidak


saja berkaitan dengan sanad, tetapi juga berkaitan dengan matan.

16
b. Kaidah Pemahaman Hadis

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Musofa. 2012. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.


Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Prenada Media Grup
Ichwan, Mohammad Noor. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Semarang: Rasail Media
Group
Suparta, Munzier. 2014. Ilmu Hadis. Jakarta : Raja Grafindo Persada

17

Anda mungkin juga menyukai