Anda di halaman 1dari 16

Pengertian, Ruang

Lingkup & Sejarah


Kaidah Fiqh
OLEH : ASMAUL FIFINDARI
Pendahuluan
Tidak semua pemecahan masalah hukum atas berbagai
kehidupan manusia di dunia ini dirinci secara jelas dan tegas
dalam Al-Quran dan Hadist Rasulullah. Al-Quran dan Hadist
Rasulullah berbahasa Arab, sehingga dalam memahami
kandungan hukum- hukumnya akan benar jika memperhatikan
kaidah-kaidah Bahasa Arab dan seluk beluknya. Karena itu, lewat
pendekatan linguistik para ahli ushul fiqh berusaha menetapkan
kaidah- kaidah penggalian hukum yang dikenal dengan term al-
qawa’id al-ushuliyyah.
Al-Qawa’id al-ushuliyyah adalah kerangka berpikir yang dijadikan
aturan-aturan pokok oleh para mujtahid dalam menggali hukum Islam,
sehingga hasil ijtihadnya dapat dievaluasi secara obyektif.

Misalnya, para mujtahid sepakat bahwa “kalimat perintah (amar)


menunjukkan kepada wajib sampai ada argumentasi bahwa kalimat perintah
itu tidak menunjukkan kepada wajib”. Mereka mencoba membuat
generalisasi pokok-pokok pikirannya dalam menggali hukum Islam,
kemudian direfleksikan ke dalam bentuk kaidah-kaidah dasar
penggalian hukum Islam. Melalui kaidah-kaidah dasar (al-qawa’id al-
ushuliyyah) inilah dapat diketahui titik relevansi antara satu ijtihad
dengan ijtihad yang lainnya.
01 Pengertian
Pengertian kaidah fiqh secara bahasa dan istilah

Secara bahasa Qawaid al-fiqhiyyah (Kaidah kaidah


Fiqih) adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan
dengan masalah-masalah fiqih. “Kumpulan hukum-
hukum yang serupa, yang kembali kepada qiyas atau
analogi yang mengumpulkannya.” “Ketetapan yang kulli
(menyeluruh/general) yang mencakup seluruh bagian-
bagiannya.”
KAIDAH-KAIDAH FIQH (THE MAXIMS OF ISLAMIC LAW)
MENURUT FUQAHA

Kaidah fiqh adalah salah satu disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan fiqh.
Kaidah fiqh secara terus-menerus dikaji secara konsisten dan sungguh-
sungguh oleh para ahli fiqh. Hal inilah yang menyebabkan ilmu kaidah
fiqh tetap eksis kedudukannya setelah melalui fase pengkodifikasian dan
penyempurnaan. Mereka menganggap bahwa ilmu kaidah fiqh sangat besar
perannya dalam membuka cakrawala dan melatih malakah (daya rasa) fiqh.
Demikian yang diisyaratkan oleh Quthbuddin al- Sunbathi (w.722 H) dalam
pernyataannya bahwa ‘sesungguhnya fiqh itu adalah mengetahui al-nadhāir
(masalah-masalah yang serupa)’. Mengetahui masalah-masalah yang serupa
inilah yang dimaksud dengan kaidah fiqh. Hal ini sebagaimana fungsi dari
kaidah fiqh yang di antaranya adalah untuk mempermudah dalam
mengidentifikasi permasalahan-permasalahan fiqh yang jumlahnya tak
terhingga.
02 Ruang Lingkup
Ruang lingkup al-qawa’id al-ushuliyyah terbatas pada ranah sumber
hukum dan hukum, sedangkan ranah realitas tidak tercakup kecuali
hanya disinggung saja. Jadi ada dua persoalan yang perlu
diperhatikan, yaitu persoalan menggali hukum (istinbath al-ahkam)
dan persoalan penerapan hukum (tathbiq al-ahkam). Al- Qawa’id al-
ushuliyyah berhubungan dengan istinbath al-ahkam, sedangkan tathbiq
al- ahkam berhubungan dengan term al-qawa’id al-fiqhiyyah (the
maxims of Islamic law). Al- Qawa’id al-ushuliyyah adalah kaidah-
kaidah penggalian hukum (ijtihad istinbathi), sedangkan al-qawa’id
al-fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah penerapan hukum
(ijtihadtathbiqi).
Kedua model ijtihad ini sama-sama penting, karena saling
berhubungan. Artinya sebuah hukum perlu proses penggalian dalam
mendapatkannya, sedangkan hukum yang sudah digali ini juga perlu
aturan main dalam menerapkannya agar betul-betul dirasakan keadilan
dan kebijaksanaannya.

Hukum Islam yang sudah digali, ‘di antaranya’ oleh al-qawa’id al-
ushuliyyah adalah sangat luas dan banyak sekali materinya, yang
tersebar ke dalam ribuan kitab fiqh. Oleh karena itu, para ahli fiqh
(fuqaha) memandang perlu adanya kristalisasi fiqh. Kristalisasi fiqh
inilah yang disebut al-qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Kaidah-
kaidah fiqh ini (the maxims of Islamic law) bersifat umum sebagai hasil
dari cara berpikir induktif-tematik setelah meneliti materi-materi fiqh.
Kaidah-kaidah fiqh ini berfungsi sebagai klasifikasi dan generalisasi
hukum-hukum cabang (al-fiqh) menjadi beberapa kelompok, yang mana
03 Sejarah
A. PERKEMBANGAN DAN PENGKODIFIKASIAN QAWAID FIQHIYYAH

Menurut Ali Ahmad al Nadawi , perkembangan qawaid fiqhiyyah dapat dibagi


kedalam tiga fase, yaitu:

3.1. Fase pertumbuhan dan pembentukan (Abad I-III H)


Pada dasarnya peletakan batu dasar ilmu qawaid fiqhiyyah telah di mulai sejak
tiga kurun pertama dari tahun Hijriyyah, yaitu sejak masa Rasulullah SAW,
Sahabat, dan Tabi’in.

3.2. Fase Perkembangan dan Pembukuan (Abad IV-XII H)


Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad
ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Ulama pertama yang melakukan pembukuan
ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah ulama dari mazhab Hanafi, yaitu Abu Hasan Al Karkhi (w.340
H). Dalam risalahnya yang berjudul Ushul Al Karkhi, Abu Hasan Al Karkhi mengembangkan
17 kaidah dari Imam Abu Tahir al Dabbas menjadi 39 kaidah. Setelah Karkhi ulama mazhab
Hanafi yang mengembangkan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah Abu Zaid Ubaidullah al Dabbusi
(w.430 H) dalam kitabnya Ta’sis an Nadhar.
Selanjutnya Ilmu qawaid fiqhiyyah semakin mengalami perkembangan.
Pada abad ke-7 H qawa’id fiqhiyyah mengalami perkembangan yang
sangat signifikan walaupun terlau dini untuk dikatakan matang.

Diantara ulama yang menulis kitab qawa’id pada abad ini adalah al-‘Allamah
Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H) ia menulis kitab
dengan judul “al-Qawa’id fi Furu’i al- Syafi’iyah” , kemudian al-Imam
Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawa’id al-Ahkam fi
Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal.

Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri


al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawa’id al-Madzhab” dan masih
banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawa’id fiqhiyyah menglami
perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawa’id fiqhiyyah pada abad
ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikt mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan
banyaknya
- bermunculan kitab-kitab Qawa’ifd fiqhiyyah. Dalm hal ini, ulama Syafi’iyyah
termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini
adalah:

- al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)


- kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
- al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H)

Karya-karya besar yang mengkaji qawa’id fiqhiyyah yang disusun pada abad IX H banyak
mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya.

Diantara karya-karya tersebut adalah:


- Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
- Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi
(w. 808 H)
- kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H). dll
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang. Dengan
demikian, fase kedua dari ilmu qawa’id fiqhiyyah adalah fase
perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan munculnya al-
Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini
(abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu Qawa’id fiqhiyyah.

3.3. Fase pemantapan dan penyempurnaan (Abad XIII H)


Pengkodefikasian ilmu qawaid fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika
disusunya Al Majalla Al Ahkam Al Adliyyah pada akhir abad ke 13 H oleh
komite ulama pada masa khalifah Al Ghazi Abdul Azis dari dinasti
Ustmaniyyah. penyusunan dilakukan dengan melalui proses pengumpulan
dan penyeleksian terhadap berbagai kitab-kitab fiqh.
B. KITAB – KITAB DAN TOKOH ILMU QAWAID FIQHIYYAH

1. Dari Kalangan Mazhab Hanafi


- Usuul al-Karkhi karya Ubaidullah ibn Hasan al-Karkhi (260-340 H)
- Ta’siis al-Nadzr karya al-Qadhi, Ubaidullah ibn Umar ad-Dabusi (430 H)
- Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Zainudddin ibn Ibrahim Ibn Nujaim (970 H)
- Majaami al-Haqaa’iq yang ditulis oleh Abu Said al-Khadimi. ( 1176 H),
- Al-Majallah al-Ahkaam al- Adliyyah oleh Komite ‘Ulama Daulah Usmaniyyah (1286 H), dan
- Al-Faraa’id al-Bahiyyah fi al-Qawaaid al-Fawaa’id al-Fiqhiyyah karya Ibn Hamzah al-
Husaini (1305 H).

2. Dari Kalangan Mazhab Maliki


- Anwaar al-Buruuq fi Anwaar al-Furuuq atau lebih dikenal juga sebagai: Al-
Furuuq; Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; atau Kitab al-Anwaar wal-Qawaaid as-
Sunniyyah oleh al-Imam Syihabudin Abdul-Abbas Ahmad as-Sonhaji al-
Qarafi (260-340 H);
- Al-Qawaaid oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Muqarri (758 H);
- Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaaid al-Imaam Maalik hasil karya Ahmad ibn Yahya ibn
ri Kalangan Mazhab Syafi’i

waaid al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam oleh Izzuddin Abdul Aziz ibn Abdus Salam ( 577 - 660 H);
ab Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir karya Sadraddin Abi Abdullah ibn Murahhil, Ibn Wakil al-Syafi ci (716 H
muu al-Mudzhab fil-Qawaacid al-Madzhab oleh Salahuddin Abi Sa id al-Ala’i as-Syafi i (761 H);
Asybaah wa al-Nazhaa’ir oleh Abdul-Wahhab ibn Ali Tajuddin as-Subki (771 H);
-Manthuur fi Tartiib al-Qawaaid al-Fiqhiyyah aw al-Qawaaid fi al-Furuu oleh Muhammad ibn Bahadur
druddin az-Zarkashi (794 H);
-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir karya Sirajudddin Umar ibn Ali al-Ansari, yang lebih terkenal dengan
ngggilan Ibnul-Mulaqqin (804 H);
Qawaaid oleh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad ibn Abdul-Mu’min, al-Hisni (829 H);
-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Jalaluddin Abdur Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad as-Suyuthi (al
yuthi) (804 H); dan
stighnaa’ fi al-Furuuq wa al-Istithnaa’ karya Badruddin Muhammad ibn Abi Bakr ibn Sulaiman al-Bakr
4. Dari kalangan Mazhab Hambali

- Al-Qawaaid al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah oleh Taqiyyuddin Abu al-


Abbas Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taymiyyah (661 - 728 H);
- Al-Qawaaid al-Fiqhiyyah oleh Sharifuddin Ahmad ibn al-Hasan, ibn
Qadhi al-Jabal al-Maqdisi (771 H);
- Taqriir al-Qawaaid wa Tahriir al-Fawaa’id (al-Qawaaid) karya Abdurrahman Shihab
ibn Ahmad ibn Abi Rajab (Ibn Rajab) al-Hanbali (795H);
- Al-Qawaaid al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah (771 H) karya Jamaluddin
Yusuf ibn Hasan ibn Ahmad ibn Abdul-Hadi (1309-1359 H); dan
- (Qawaaid) Majallah al-Ahkaam al-Shar iyyah alaa Madzhab al-Imaam Ahmad ibn
Hanbal oleh Ahmad ibn Abdullah al-Qari (1309-1359 H)
Penutup
Hukum Islam banyak sekali materinya, yang tersebar ke dalam ribuan kitab fiqh. Oleh
karena itu, para ahli fiqh memandang perlu adanya kristalisasi fiqh. Kristalisasi fiqh
inilah yang disebut kaidah-kaidah fiqh. Kaidah-kaidah fiqh ini (the maxims of Islamic law)
bersifat umum sebagai hasil dari cara berpikir induktif-tematik setelah meneliti materi-
materi fiqh. Kaidah-kaidah fiqh ini berfungsi sebagai klasifikasi dan generalisasi hukum-
hukum cabang (al-fiqh) menjadi beberapa kelompok, yang mana setiap kelompok
merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Dengan berpegang
kepada kaidah-kaidah fiqh ini, para ahli fiqh merasa lebih mudah dalam
menerapkan hukum terhadap suatu masalah yang berkaitan langsung dengan
perbuatan mukallaf (realitas). Mereka dapat mengelompokkan masalah yang serupa di
bawah lingkup satu kaidah fiqh.
BURUNG IRIAN BURUNG
CENDERWASIH
CUKUP SEKIAN … TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai