Anda di halaman 1dari 19

FILSAFAT ILMU ONTOLOGI INDONESIA

Untuk memenuhi tugas uas mata kuliah filsafat ilmu


Dosen pengampu : Abun Buniaga, S.Ag. M.Ag

Di susun oleh :
SAHRUL MUTAKIN

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AT-TARBIYAH (STIT) AZ-ZAHRA
2022

Jl. Karang Nunggal N0. 92 Cibalong Kabupaten Tasikmalaya

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa maka penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada :
Bapak Abun Buniaga,S.Ag.M.Ag .selaku dosen matakuliah pancasila yang banyak
memberikan materi, masukan dan bimbingan kepada penyusun.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
Dengan adanya makalah ini kami berharap dapat memberikan manfa’at dalam
bentuk pengetahuan untuk kita semua.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semuanya atas selesainya
makalah yang berjudul “FILSAFAT IMU ONTOLOGI INDONESIA ” dengan dukungan
moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini.

Tasikmalaya, Januari 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................... 6
A. Tujuan Penulisan Makalah....................................................................................................... 7
BAB II ............................................................................................................................................. 8
PEMBAHASAN.............................................................................................................................. 8
A. Ontologi ............................................................................................................................... 8
B. Metafisika ............................................................................................................................ 9
C. Supernaturalisme ................................................................................................................. 9
D. Naturalisme .......................................................................................................................... 9
BAB III .......................................................................................................................................... 16
PENUTUP ..................................................................................................................................... 16
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 16
B. Saran .................................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 18

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat adalah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari pencarian pengetahuan
tentang watak dan makna kemaujudan atau eksistensi. Filsafat dapat juga diartikan
sebagai sistem keyakinan umum yang terbentuk dari kajian dan pengetahuan tentang
asas-asas yang menimbulkan, mengendalikan atau menjelaskan fakta dan kejadian.
Secara ringkas, filsafat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu makna. Pengetahuan
adalah keseluruhan hal yang diketahui yang membentuk persepsi jelas mengenai
kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang diatur dan
diklasikfikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem pengetahuan, berdasar rujukan
kepada kebenaran atau hukum-hukum umum.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan
pengamatan ataupun penelitian, kemudia peneliti atau pengamat tersebut berusaha
membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan atau penelitiannya. Dari hasil
pengamatan atau penelitian ini akan dihasilkan teori dan dapat pula pengamatan atau
penelitian ini ditujukan untuk menguji teori yang ada. Dengan demikian, ilmu merupakan
suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu
ilmu pengetahuan berasal.
Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak menempatkan diri dengan
mengambil bagian dalam pengkajian halhal normatif. Ilmu pengetahuan hanya membahas
segala sisi yang sifatnya positif semata. Hal-hal yang berkaitan dengan kaedah, norma
atau aspek normatif lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berpikir manusia yang tersusun secara
akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian. Berpikir merupakan kegiatan penalaran
untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan atau pengalaman dengan maksud tertentu.
Makin luas dan dalam suatu pengalaman atau pengetahuan yang dapat dieksplorasi, maka
makin jauh

4
proses berpikir yang dapat dilakukan. Hasil eksplorasi pengetahuan digunakan
untuk mengabstraksi objek menjadi sejumlah informasi dan mengolah informasi untuk
maksud tertentu.
Berpikir merupakan sumber munculnya segala pengetahuan. Pengetahuan memberikan
umpan balik kepada berpikir. Hubungan timbal balik antara berpikir dan pengetahuan
berlangsung secara berkesinambungan dan berangsur meninggi, dan kemajuan
pengetahuan akan berlangsung secara kumulatif. Bagian terpenting dari berpikir adalah
kecerdasan mengupas (critical intelegence).
Untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dari proses berpikir yang benar, dalam arti sesuai
dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, maka seorang pengamat atau peneliti harus
menggunakan penalaran yang benar dalam berpikir. Hasil penalaran itu akan
menghasilkan kesimpulan yang dianggap sahih dari sisi keilmuan. Secara definisi, nalar
merupakan kemampuan atau daya untuk memahami informasi dan menarik kesimpulan.
Dengan nalar tersebut, seseorang akan menyajikan gagasan atau pendapat secara tertib,
runtut, teratur dan mengikuti struktur yang sifatnya logis (mantik). Dengan nalar, ilmu
dapat berfungsi menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan keadaan atau kejadian.
Pada dasarnya terdapat dua bentuk penalaran yakni deduksi dan induksi. Deduksi
berpangkal pada suatu pendapat umum, berupa teori, hukum atau kaedah dalam
menyusun suatu penjelasan tentang suatu kejadian khusus atau dalam menarik suatu
kesimpulan. Deduksi bertujuan untuk mencari kesahihan (validitas) suatu informasi,
bukan pada kebenarannya. Induksi berpangkal pada sejumlah fakta empirik untuk
menyusun suatu penjelasan umum, teori atau kaidah yang berlaku secara umum di
masyarakat. Karena tidak mungkin untuk mengamati keseluruhan fakta yang ada,
terutama pada fakta yang muncul dikemudian hari, kesimpulan induktif hanya dapat
mencapai kebenaran yang sifatnya probabilistik. Kesahihan pendapat induktif ditentukan
secara mutlak oleh kebenaran fakta yang dijadikan pangkal penalaran. Namun demikian,
induksi memiliki peluang untuk menciptakan teori baru. Jika induksi dan deduksi dapat
digabungkan menjadi satu kesatuan

5
struktur penalaran, maka penalaran akan menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Filsafat itu meliputi berbagai macam permasalahan. Adapun masalah utama yang
harus kita bahas adalah masalah kenyataan, tentang realitas, tentang yang nyata dari
sesuatu. Yang menjadi titik persoalan ialah kita harus memecahkan permasalahan realitas
secara tepat, karena konsepsi kita tentang realitas mengontrol pertanyaan kita tentang
dunia ini. Dan tanpa adanya pertanyaan, kita jelas tidak akan memperoleh jawaban dari
mana kita nantinya akan membina kumpulan ilmu pengetahuan yang kita miliki dan
menetapkan disiplin tentang masalah – masalah pokoknya.
Ontologi adalah ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah
yang sering kali secara populer banyak orang menyebutnya dengan ilmu pengetahuan,
apa hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak
terlepas dari persepsi ilmu tentang apa dan bagaimana. Ontologi ilmu membatasi diri
pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional dan bisa
diamati melalui panca indera manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada
dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti
surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu.
Berdasar pada latar belakang inilah, penulis membuat makalah dengan judul
“Ontologi : Hakikat Apa yang Dikaji” yang meliputi sub pokok bahasan Metafisika,
Asumsi, Peluang, Beberapa asumsi dalam ilmu dan Batas
– batas penjelajahan ilmu”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka penulis menyusun beberapa topik
pembahasan sebagai berikut;
1. Apakah pengertian ontologi?
2. Apakah pengertian metafisika?
3. Apakah pengertian asumsi?
4. Apakah pengertian peluang?
5. Bagaimana asumsi dalam ilmu?
6. Di mana batas – batas penjelajahan dalam ilmu?

6
A. Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini bertujuan ;
1. Untuk mengetahui pengertian ontologi.
2. Untuk mengetahui pengertian metafisika.
3. Untuk mengetahui pengertian asumsi.
4. Untuk mengetahui pengertian peluang.
5. Untuk mengetahui deskripsi asumsi dalam ilmu.
6. Untuk mengetahui batas – batas penjelajahan dalam ilmu.

7
BAB II
PEMBAHSAN

A. Ontologi
Istilah ontologi berasal dari kata Yunani onta yang berarti sesuatu yang sunguh-
sungguh ada, kenyataan yang sesungguhnya, dan logos yang berarti teori atau ilmu. Maka
ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan. Ontologi mempelajari
keberadaan dalam bentuknya yang paling abstrak. Ontologi merupakan cabang filsafat
yang membicarakan tatanan dan struktur kenyataan dalam arti luas.
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang
mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara
tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini
menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari
konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowladge base. Sebuah ontologi
juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain
yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base. Dengan demikian,
ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, properti dari suatu objek,
serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan.
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam
kaitan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang ditelaah ilmu,
bagaimana wujud yang hakiki dari dari objek tersebut, bagimana hubungan antara objek
tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang
membuahkan pengetahuan.
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelahaan keilmuannya hanya pada
daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelahaan
yang berada dalam batas pra-pengalaman (seperti)
penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi
dari pengetahuan lainnya di luar ilmu. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari
sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis
tertentu. Penetapan lingkup batas penelahaan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah
konsisten dengan asas epistemologi keilmuaan yang mensyaratkan adanya verifikasi
secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar
secara ilmiah.

8
B. Metafisika
Pembahasan otologi terikat dengan pembahasan mengenai metafisika. Ontologi
membahas hakekat yang “ada” sedangkan metafisika menjawab pertanyaan apakah
hakekat kenyataan ini sebenar-benarnya. Pada suatu pembahasan metafisika merupakan
bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain ontologi merupakan salah satu dimensi
saja dari metafisika. Karena itu, ontologi dan metafisika merupakan dua hal yang saling
terkait.
Metafisika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu ta meta physica dengan
arti makna yang ada setelah fisika. Jujun Suriasumantri mengumpamakan metafisika
sebagai sebagai sebuah landasan roket, roket itu sendiri adalah pikiran-pikiran manusia.
Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi
dan awan gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurannya. Dengan kata lain,
metafisika adalah dasar atau landasan pandangan mengenai alam dan manusia sebagai
makhluk hidup (termasuk zat dan pikiran yang dimilikinya).
Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati,
termasuk pemikian ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam
ini. Terdapat beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini.

C. Supernaturalisme
Tafsiran supernatural adalah tafsiran yang diberikan manusia kepada alam bahwa alam
terdiri dari wujud-wujud gaib (supernatural) dan lebih berkuasa dibandingkan dengan
kuasa alm nyata. Animisme

merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernatural ini, dimana manusia


percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.

D. Naturalisme
Paham ini menolak wujud-wujud supernatural. Materialisme merupakan paham
yang berdasarkan pada aliran naturalisme ini. Kaum materialisme menyatakan bahwa
gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri yang
dapay dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Democritos (460-370 SM) adala salah satu tokoh awal paham materialisme. Ia
mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan bahwa unsur dari alam adalah
atom. Hanya berdasar kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dan
sebagainya. Objek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal tidak demikian,
9
hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi, panas, dingin, warna
merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari setiap gejala yang ditangkap oleh
pancaindera.
pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya
merupakan gejala kimia fisika semata. Hal ini ditentang oleh kaum vitalistik, yang
merupakan kelompok naturalisme juga. Paham vitalistik sepakat bahwa proses kimia
fisika sebagai gejala alam dapat diterapkan, tetapi hanya meliputi unsur dan zat yang mati
saja, tidak untuk makhluk hidup.
Kaum vitalistik mempertanyakan apakah manusia merupakan bagian dari proses
kimia fisika tersebut. Pertanyaan beranjut pada bagaimana pandangan mengenai pikiran
(kesadaran). Bagi kaum vitalistik, hidup merupakan sesuatu yang unnik yang berbeda
dengan proses kimia fisika tersebut. Proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan
tentang zat (obyek) yang ditelaahnya. Namun, apakah kebenarannya dari hakikat
pemikiran tersebut. Apakah dia berbeda dengan benda yang ditelaahnya, ataukkah bentuk
lain dari zat tersebut.

Kelompok naturalis yang lain, yaitu aliran monoistik dengan tokohnya Christian Wolf
(1679-1754), menyatakan bahwa tidak berbeda antara pikiran dengan zat. Keduanya
hanya berbeda dalam gejala yang disebabkan proses berlainan, namun memiliki substansi
yang sama. Sebagaimana energi dan zat, teori Einstein menyatakan energi hanya bentuk
lain dari zat. Jadi proses berpikir dianggap sebagai aktivitas elektro kimia dari otak.
Kelompok lainnya yaitu aliran dualistik memberikan pendapat yang berbeda
tentang makna kesadaran. Zat dan kesadaran (fikiran) adalah berbeda secara substantif.
Tokoh penganut paham ini antara lain Rene Descartes, John Locke dan George Berkeley.
Mereka menyatakan bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran manusia, termasuk
penginderaan dari hasil pengalaman manusia adalah bersifat mental. Yang bersifat nyata
hanyalah fikiran, karena dengan berpikir maka sesuatu itu akan menjadi ada. Cogito ergo
sum, saya berpikir maka saya ada.
John Locke mengibaratkan fikiran manusia pada awalnya merupakan sebuah
lempeng yang licin dan rata dimana pengalaman inderawi akan melekat dalam lempeng
tersebut. Organ manusialah yang menangkap dan menyimpan pengalaman inderawi.
Berkeley terkenal dengan ungkapannya “to be is to be perceived”. Ada adalah
disebabkan oleh persepsi. Sesuatu akan muncul karena manusia berpikir dan
memunculkan suatu anggapan. Proses kreasi muncul karena persepsi ini dan

10
menghasilkan sesuatu yang berwujud.
Dalam kajian metafisika, ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba
menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari
setiap permasalahan yang dihadapinya. Makin dalam penjelajahan ilmiah dilakukan, akan
semakin banyak pertanyaan yang muncul, termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-
hal tersebut di atas. Karena beragam tinjauan filsafat diberikan oleh setiap ilmuwan,
maka pada dasarnya setiap ilmuwan bisa memiliki filsafat individual yang berbeda-beda.
Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua itu adalah sifat pragmatis dari ilmu.
B. Asumsi
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk
mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah
suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat
dikatakan merupakan latar belakang intelektual suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat
diartikan pula sebagai gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan
untuk menumpu gagasan yang lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan
untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang
mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan
asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan
penelitian.
Hipotesis merupakan suatu asumsi, jika diperiksa ke belakang (backward) maka
hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis
merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan:
“Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang
digunakan adalah hujan akan turun di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya,
memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang
ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam
pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian
sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna
sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan
hampa fakta atau data.
Asumsi adalah praduga anggapan sementara (yang kebenarannya masih dibuktikan).
Timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang belum jelas, seperti belum jelasnya
hakekat alam ini, yakni apakah gejala

11
alam ini tunduk kepada determinisme , yakni hukum alam yang bersifat universal ataukah
hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas
ataukah keumuman memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probalistik
(kemungkinan sesuatu hal untuk terjadi).
Asumsi bersifat tidak mutlak atau pasti sebagaimana ilmu yang tidak pernah ingin dan
tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bersifat mutlak. Jadi
asumsi bukanlah suatu keputusan mutlak. Kedudukan ilmu dalam asumsi adalah ilmu
memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, karena keputusan
harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain aksioma, postulat dan premise.
Aksioma adalah pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena
kebenaran sudah membuktikan sendiri. Postulat adalah pernyataan yang dimintakan
persetujuan umum tanpa pembuktian atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja
sebagaimana adanya. Sedangkan premise adalah pangkal pendapat dalam suatu entimen.
Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi
secara tepat. Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala
awal tunduk pada tiga karakteristik yakni :
Deterministik
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang bersifat universal. Tokoh
dalam karakteristik ini adalah William Hamilton dan Thomas Hobbes, yang
menyimpulkan bahwa pengetahuan bersifat empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak
yang bersifat universal. Pada lapangan pengetahuan ilmu eksak, sifat deterministik lebih
banyak dikenal dan asumsina banyak digunakan dibanding ilmu sosial. Sebagai misal,
satu hari sama dengan 12 jam, 1 jam sama dengan 60 menit. Sejak jaman dahulu sampai
saat ini, dan mungkin juga masa nanti, pernyataan ini tetap berlaku. Berapapun jumlah
percobaan dilakukan, satu atom karbon dan oksigen dicampur akan menghasilkan karbon
dioksida. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham

fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah
ditetapkan lebih dahulu.

Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum

12
alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang
ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti
kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin
bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan
jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana
di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak
ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.4, 5
Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya
berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu.
Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat
deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern,
karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya,
kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat
kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variable dicoba diukur kondisi
deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika
kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai
sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya
adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin
dipelajari dari ilmu. Terdapat

13
kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh
manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih
adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan
digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas,
penafsiran probabilistic merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan
yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak
perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap
hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah
ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana
keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat
relative.Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti
mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau
bersifat peluang.
Seakin banyak asumsi bearti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu objek
observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis,
yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan
dalam bentukasumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini
harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis. Asumsi ini harus
disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang
seharusnya”. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif. Lebih lanjut mengenai
asumsi dan ontologi adalah esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang
bersifat obyektif dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai
hasil persepsi individu. Mengenai hal ini ada dua asusmsi yang berbeda yakni
nominalisme dan realisme.

14
Pada asumsi nominalisme, kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah
kumpulan konsep-konsep baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas
yang ada. Intinya, realita dijelaskan melalui konsep yang telah ada. Sedangkan pada
asumsi realisme, kehidupan sosial adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas
struktur yang tetap, tidak ada konsep mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita
tidak tergantung pada persepsi individu.
Akan terjadi perbedaan pandang suatu masalah bila ditinjau dari berbagai kacamata ilmu
begitu juga asumsi. Ilmu sekedar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan
praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis (sesuatu yang
mengandung manfaat). Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya ilmu fisika yakni ilmu
yang paling maju bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Fisika merupakan ilmu
teoritis yang di bangun atas system penalaran deduktif yang meyakinkan serta
pembutktian induktif yang sangat mengesankan. Fisika terdapat celah-celah perbedaan
yang terletak di dalam pondasi dimana dibangun teori ilmiah diatas yakni dalam asumsi
tentang dunia fisiknya.(zat,gerak,ruang dan waktu)
Kesimpulannya sebuah asumsi adalah sebuah ketidak pastian. Asumsi perlu dirumuskan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan timbulnya asumsi karena adanya sesuatu kejadian atau
kenyataan.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu
objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan.
Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Karena ontologi
membahas hakikat yang “ada”, sedangkan metafisika merupakan bagian dari ontologi,
tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika.
Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang
metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran
ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini.
Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar.
Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang
lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur
pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai gagasan primitif, atau gagasan tanpa
penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian.
Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002)
menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi

suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption)
keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu
kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai
dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah
yang bersifat relatif.
Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam
analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda
pula konsep pemikiran yang dipergunakan.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga
disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya
secara empiris. Jika tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multidisipliner tidak

16
akan bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi sengketa kapling

B. Saran
Berdasar pada pembahasan diatas tentang “Ontologi, Hakikat Apa yang Dikaji:
Metafisika, Asumsi, Peluang, Beberapa asumsi dalam ilmu dan Batas
– batas penjelaqjahan ilmu”, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
Memperluas cakupan materi yang berkaitan dengan obyek bahasan.
Membuat peta konsep dari pembahasan ini yang bertujuan untuk memudahkan para
pembaca memahami secara singkat

17
DAFTAR PUSTAKA

A. Idi, and M. Faizin, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, Dan Pendidikan (Jakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007).
R. Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar (Jakarta: Remaja
Rosdakarya, 2001).
Prasetya, 'Filsafat Pendidikan' (Bandung: Pustaka Setia, 2000).

Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2005).

J.S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. 22 edn (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2017).

18
19

Anda mungkin juga menyukai