“Bernalar Ilmiah”
Penulis:
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
UCAPAN TERA KASIH
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya tim penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Bernalar Ilmiah” dengan baik.
Tim penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu tim penulis menyelesaikan makalah ini:
Tim penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam makalah ini. Tim penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Tim penulis juga memohon maaf apabila
terdapat kesalahan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca
sekalian.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Sampul..................................................................................................................................i
UCAPAN TERIMA KASIH...............................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...............................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................v
Bab 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................1
1.3.1 Tujuan umum penulisan......................................................................................1
1.3.2 Tujuan khusus penulisan.....................................................................................1
Bab 2 PEMBAHASAN........................................................................................................2
2.1 Dasar-Dasar Penalaran Ilmiah...............................................................................2
2.1.1 Definisi................................................................................................................2
2.1.2 Teori Piaget.........................................................................................................3
2.1.3 Metode bernalar ilmiah.......................................................................................8
2.2 Metode Penalaran Ilmiah dalam Penelitian.........................................................12
2.2.1 Manfaat penalaran ilmiah dalam penelitian......................................................12
2.2.2 Hypothesis-deductive model.............................................................................14
2.3 Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Non Ilmiah....................................................18
2.3.1 Kebenaran ilmiah..............................................................................................18
2.3.2 Kebenaran non ilmiah.......................................................................................21
2.3.3 Tabel kebenaran................................................................................................23
2.4 Skill Bernalar Ilmiah (Scientific Reasoning Skill) dan Cara Mengembangkannya
.............................................................................................................................26
2.4.1 Perkembangan keterampilan berilmiah.............................................................26
2.4.1.1 Periode I. Kepandaian sensori motorik (lahir – 2 tahun)...............................26
2.4.1.2 Periode II dan III. Pikiran pra-operasional (2-7 tahun) dan operasi berpikir
konkret (7-11 tahun).........................................................................................27
2.4.1.3 Periode IV. Operasi-operasi berpikir formal (11 tahun- dewasa)..................28
2.4.2 Mengembangkan keterampilan bernalar ilmiah................................................29
Bab 3 PENUTUP...............................................................................................................31
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................32
DAFTAR TABEL
Gambar 2.1 Berbagai proses yang mendasari penalaran induktif, abduktif, dan penalaran
deduktif..........................................................................................................11
BAB 1
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2.1.1 Definisi
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang
sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, Berdasarkan sejumlah proposisi
yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang
sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi
yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil
kesimpulannya disebut dengan konklusi. Hubungan antara premis dan konklusi disebut
konsekuensi (Suriasumantri, 2001).
Menurut Jujun Suriasumantri, penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik
suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir penalaran
memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri pertama adalah proses berpikir logis, dimana berpikir logis
diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut
logika tertentu. Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Sifat analitik ini
merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya
merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu. Penalaran disini
adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis berdasarkan fakta yang
relevan. Dengan kata lain, penalaran adalah proses penafsiran fakta sebagai dasar untuk
menarik kesimpulan (Suriasumantri, 2001).
Menurut tim balai pustaka (dalam Shofiah, 2007) istilah penalaran mengandung tiga
pengertian diantaranya: (1) Cara (hal) menggunakan nalar, pemikiran atau cara berfikir logis.;
(2) Hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan perasaan atau
pengalaman; (3) Proses mental dalam mengembangkan atau mengendalikan pikiran dari
beberapa fakta atau prinsip.
Penalaran mempunyai ciri-ciri yaitu (1) dilakukan dengan sadar; (2) didasarkan oleh
sesuatu yang sudah di ketahui; (3) sistematis; (4) terarah dan bertujuan; (5) Menghasilkan
kesimpulan yang dapat berupa pengetahuan, keputusan dan sikap terbaru; (6) sadar tujuan; (7)
premis berupa pengalaman, pengetahuan, ataupun teori yang di dapatkan; (8) pola pemikiran
tertentu; dan (9) sifat empiris nasional (Suriasumantri, 2001).
Pendekatan yang dilakukan Piaget dalam meneliti perkembangan kognitif anak adalah
pendekatan sains, yaitu konsep-konsep biologis yang dibatasi pada sifatnya saja. Selain itu
Piaget juga memperhatikan kecenderungan biologis pada saat anak beraktivitas, yaitu
asimilasi, akomodasi, dan organisasi. Perkembangan merupakan sebuah proses konstruktif
yang aktif, dimana anak, melalui aktivitasnya membangun struktur-struktur kognitif yang
makin berbeda dan komprehensif. Menurut Piaget (1983), inteligensi dapat dilihat dari 3
perspektif berbeda:
1. Asimilasi
2. Akomodasi
3. Organisasi
Penalaran ilmiah
• Pada periode ini anak-anak masih sulit untuk memahami jumlah dalam bentuk 3
dimensi.
• Selain itu, pada periode ini anak-anak masih belum dapat membedakan antara
benda hidup dan benda mati. Konsep benda hidup jika benda menyala, berbunyi,
atau bergerak.
sederhana
• Selain itu, pada periode ini anak-anak masih belum dapat membedakan antara
benda hidup dan benda mati. Konsep benda hidup jika benda menyala, berbunyi,
atau bergerak.
• Jika dihubungkan dengan pembagian usia anak sekolah maka kesetaraannya adal
Salah satu karakteristik paling dasar dari sains adalah bahwa para ilmuwan beasumsi
bahwa alam semesta mengikuti aturan yang dapat diprediksi. Para ilmuwan menggunakan
berbagai strategi berbeda untuk membuat penemuan ilmiah baru. Tiga jenis penalaran yang
sering digunakan ilmuwan adalah penalaran deduksi, induksi dan abduksi (Dunbar, 2005).
Berikut ini akan dibahas ketiga penalaran ini beserta contohnya.
1. Deduksi
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat universal
(umum) ditarik kesimpulan yang bersifat individual (khusus), selain itu metode
deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik
kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat umum.
Logika deduksi adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas
penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu
kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut
bentuk saja.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola pikir
yang dinamakan silogismus. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut
premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor.
Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif
berdasarkan kedua permis tersebut. Logika deduktif membicarakan cara-cara untuk
mencapai kesimpulan- kesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-
pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini di antara suatu kelompok barang
sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat
yang bersifat keharusan dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih dahulu diajukan.
Pembahasan mengenai logika deduktif itu sangat luas dan meliputi salah satu di antara
persoalan-persoalan yang menarik. Contoh deduksi sebagai berikut:
Kesimpulan yang diambil bahwa Dewi memerlukan udara adalah sah menurut
penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua permis yang
mendukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka dapat dipastikan
bahwa
kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah,
meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah
tidak sah.
2. Induksi
Pilot ini akan mati. Pilot ini tidak mati. Kenapa tidak?
Berikut contoh perbedaan penalaran deduksi, induksi dan abduksi yang dapat
dilihat pada gambar 2.1
Gambar 2.1 Berbagai proses yang mendasari penalaran induktif, abduktif, dan
Pada gambar 2.1 perbedaan antara pemikiran deduktif, induktif dan abduktif
disorot. Dalam penalaran deduksi dimulai dari hal umum yaitu:
Dalam penalaran ilmiah dikenal sebagai konsep berpikir mengenai keilmuan dan juga
sebagai rangkaian proses-proses penalaran yang menjiwai bidang-bidang ilmu. Proses
berpikir tersebut, antara lain berupai induksi, deduksi, desain eksperimen, penalaran sebab
akibat/kausal, pembentukan konsep, uji hipotesis, dll. (Dunbar, K., & Klahr, D., 2012). Pada
Bab kedua ini, akan dibahas beberapa konsep umum yang sering dipakai dalam penalaran
ilmiah di bidang penelitian yang dapat menjadi pedoman kolaborasi pada penalaran klinis
untuk diajarkan, diterapkan, dan dikritisi lebih lanjut mengenai implementasinya untuk
penalaran ilmiah dalam penelitian yang lebih efektif.
- Penalaran Ilmiah sebagai Problem Solving
Salah satu manfaat primer dari penalaran ilmiah adalah untuk memberikan
kerangka berpikir yang melingkupi proses pemahaman untuk pikiran ilmiah (scientific
mind). Penalaran ilmiah membantu pola pikir yang luas dan terbuka untuk
menganalisis dan menyelesaikan permasalahan. Simon, Langley, & Bradshaw (1981)
berpendapat bahwa secara umum, pemecahan masalah dikonsepkan sebagai
penelusuran dalam lingkup masalah (problem space). Lingkup masalah yang
dimaksudkan ini berisi berbagai kemungkinan duduk permasalahan yang mungkin
dipikirkan manusia dan segala upaya yang dapat dilakukan untuk pemecah masalah
dapat beralih dari satu tahap ke tahap lain dalam memecahkan masalah. Berdasarkan
pemikiran ini, kita dapat menyimpulkan bahwa, dengan mengetahui tipe-tipe
representasi dan prosedur yang digunakan seseorang untuk bergerak dari satu tahap ke
tahap lainnya, maka kita dapat memahami proses bernalar ilmiah (Dunbar, K., &
Fugelsang, J., 2005).
Tabel 2.4
Klahr dan Dunbar (1988) melakukan penelusuran mengenai lingkup masalah dan
menyatakan bahwa penalaran ilmiah dapat dilihat dalam 2 lingkup yang berhubungan
(Tabel 2.4), yakni: lingkup hipotesis dan lingkup eksperimen. Setiap lingkup masalah
yang digunakan oleh ilmuwan, akan memiliki representasinya masing-masing dan
operator yang dapat mengubah representasi tersebut. Penelusuran dalam lingkup
hipotesis akan membatasi penelusuran dalam lingkup eksperimen. Ditemukan juga
bahwa beberapa pemikir mulai dari lingkup hipotesis ke lingkup eksperimen, namun
ada juga yang memulai dari lingkup eksperimen ke lingkup hipotesis. Perbedaan tipe
penelusuran ini mendasari adanya perbedaan tipe-tipe hipotesis dan eksperimen.
Beberapa penelitian juga memperluas pendekatan dua-lingkup ini dengan
memasukkan lingkup pemecahan masalah alternatif: data, instrumentasi, dan
pengetahuan bidang khusus (domain-specific knowledge) (Klahr & Simon, 1999).
- Penalaran Ilmiah sebagai Pengujian Hipotesis
Agar dapat dipastikan kebenarannya, maka suatu hipotesis harus diuji atau
dibuktikan kebenarannya. Pengujian hipotesis atau yang dikenal sebagai
hypothesis testing diartikan sebagai proses mengevaluasi sebuah proposisi yang
diperoleh dari pengumpulan data mengenai sebuah kebenaran (Dunbar, K., &
Klahr, D. 2012).
Untuk membuktikan kebenaran suatu hipotesis, seorang peneliti dapat dengan sengaja
menciptakan suatu gejala, yakni melalui percobaan atau penelitian.
Karl popper, nama lengkapnya Karl Raimund Popper, merupakan salah satu
kritikus abad ke-20 yang paling tajam terhadap gagasan lingkaran Wina. Ia dilahirkan
di Wina pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr.
Simon
S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah sosial. Pada tahun
1928, Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi Zur Methodenfrage der
Denkpsychologie (Masalah Metode dalam Psikologi Pemikiran). Popper merasa tidak
puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari bidang epistemologi yang
dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan. Usahanya ini semakin intentif
ketika ia berjumpa dengan positivisme logis dari lingkaran Wina. Meski demikian, ia
bukan termasuk kelompok lingkaran Wina, sebab dia merupakan kritikus paling tajam
terhadap gagasan-gagasan lingkaran Wina (Muslih, 2005).
Proses induksi melalui observasi seperti inilah yang dipandang oleh kaum
positivisme logis sebagai prinsip pembentukan ilmu atau pengetahuan. Proses induksi
ini pula yang dijadikan untuk menciptakan hukum umum dan mutlak berdasarkan
kriteria kebermaknaan (meaningfull) dan ketidakbermaknaan (meaningless). Bagi
kaum positivisme logis kebenaran suatu teori umum dapat ditentukan dan dibuktikan
melalui prinsip verifikasi, yakni ditentukan kebermaknaan dan ketidakbermaknaannya
berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris (Muslih, 2005).
Selanjutnya proposisi-proposisi ilmu atau pengetahuan tersebut dipandang ilmiah,
selain dibangun berdasar prinsip induksi melalui eksperimen atau observasi, juga jika
dipandang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan meramalkan (Chalmers,
1983). Suatu pengetahuan adalah ilmiah, misalnya apabila seorang ahli astronomi
dapat meramalkan kapan akan terjadi gerhana bula berikutnya, atau bila seorang ahli
fisika dapat menjelaskan mengapa titik mendidih air di tempat yang tinggi lebih
rendah daripada di tempat yang normal.
Gambaran ilmu seperti yang digambarkan oleh kaum positivism logis, atau
induktifis ini memberi penegasan yang tampak meyakinkan mengenai sifat dari suatu
ilmu atau pengetahuan, yakni selain dayanya yang mampu meramalkan dan
menjelaskan, juga adanya sifat keobyektifan dan reliabilitasnya yang lebih unggul
dibanding jenis-jenis ilmu atau pengetahuan yang lain. Karena itu, wajar jika gagasan
mereka ini begitu meyakinkan dan memiliki penganut yang begitu besar.
Akan tetapi bagi Popper suatu teori atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak
dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui
verifikasi seperti anggapan mereka, tetapi karena dapat diuji (testable) dengan melalui
berbagai percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Bila suatu hipotesa atau suatu
teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau
teori tersebut semakin diperkokoh, atau yang oleh Popper disebut corroboration.
Semakin besar upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus
mampu bertahan, maka semakin kokoh pula keberadaannya.
Menurut (Lewis 1998) "Pandangan yang keliru tentang metode ini ditambah tidak
adanya definisi teori yang tepat menyesatkan perkembangan awal saya dalam sains"
(hal. 362). Ilmu-ilmu seperti biologi, fisika, geologi dan kimia semua didasarkan pada
metode Hypothesis-deductive. Banyak guru dan penulis menyesatkan siswa mereka
tentang metodologi dasar subjek. Teori ini dapat dijelaskan dengan contoh-contoh
dalam materi pelajaran yang berbeda seperti jika cahaya bergerak dalam gelombang
konsentris maka cahaya harus melewati celah. Percobaan yang dilakukan
menunjukkan bahwa cahaya melewati kedua celah dan menciptakan layar pola ketiga
dari kedua band (hasil yang diharapkan) dan karenanya mendukung hipotesis
alternatif bahwa cahaya bergerak dalam gelombang konsentris (kesimpulan). Dengan
cara yang sama, metode ini dapat digunakan dalam semua materi pelajaran yang
berbeda untuk menemukan kesimpulan, eksperimen, hipotesis, dan hasil.
Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai salah satu kata benda yang konkret
maupun abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya
adalah preposisi yang benar. Dengan kata lain arti kebenaran itu bergantung pada preposisi
yang mengikuti di belakangnya. Kebenaran memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda
satu dengan yang lain. Terdapat tiga macam definisi kebenaran, yaitu:
Teori, hipotesa atau idea adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang
memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis.
Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, oleh akibat-akibat praktisnya.
Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
Kebenaran menurut teori ini adalah suatu pernyataan yang diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Yaitu, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan dalam kehidupan manusia (Suriasumantri, 1991).
Kebenaran tidak diukur dengan adanya hubungan atau kesesuaian antara pernyataan
dengan lainnya. Kebenaran berada pada fungsi dan kegunaan. Benar sesuatu itu jika
berfungsi dan berguna, tidak benar jika tidak berfungsi dan tidak berguna.
Ada tiga hal yang seringkali orang-orang memandanganya sebagai kebenaran yang
tidak ilmiah karena disebabkan sifat dan caranya yang sederhana, penuh dengan kira-
kira,serta tidak dapat dijangkau oleh alat indera manusia diantaranya : pengetahuan biasa,
mitos, dan wahyu.
1. Pengetahuan Biasa
Pengetahuan manusia,secara skematik, biasa berkembang menuju kepada yang
lebih berkualitas/valid. Validitas tersebut sangat ditentukan oleh kerangka dasar
pemikiran/landasan epistemiologiya serta bentuk bentuk penalarannya. Semakin logis
dan teruji di dalam penerapannya, maka pengetahuan itu disebut ilmiah. Tiga tahap
dalam kehidupan manusia dalam mencari kebenaran yaitu : tahap awal yaitu Proses
tahu dan dari hasil inilah disebut pengetahuan biasa ; tahap kedua yaitu memori, dan
tahap ketiga ialah ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tingkat validitasnya di
atas pengetahuan biasa. Sebab hasil ini diperolehnya berdasarkan pada pengujian
teoretik dan
penggunaan metode yang jelas dalam analisisnya. Adapun rumus atau teori itu sendiri
adalah produk pengetahuan ilmiah yang memiliki kekokohan dasar pemikiran dan telah
teruji, serta pada tahap berikutnya biasa dijadikan landasan pengetahuan obyek kajian
tertentu lainnya.
2. Mitos
Mitos sebenarnya bagian dari folklore, atau cerita rakyat/hikayat. Mitos diturunkan
secara subyektif,dalam arti kebenarannya hanya berlaku dalam masyarakatnya, dan
tidak ada kaitannya dengan antara pengalaman dan penuturan. Mitos berarti
menghindari realitas,bukan menghadapi realitas. Kualitas mitos setingkat dengan
legenda dan dongeng. Mitos biasanya efektif sebagai alat komunikasi massa. Mitos akan
hidup tatkala rakyat tertekan dan penuh harapan. Mitos dapat mendorong suatu
perbuatan. Sebagaimana contoh mitos tentang Ratu Kidul. Masyarakat akan antusias
datang ke pantai Selatan untuk melakukan ritual dan larung sesaji berharap akan
mendapatkan keselamatan, keamanan dan ketenteraman dalam kehidupannya (Suhasti,
2012).
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui
kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan
ini sangat sukar untuk dibedakan. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan
manusia merupakan pematangan dari kepercayaan (Adib, 2011).
3. Wahyu
Arti Wahyu secara umum adalah bisikan, isyarat atau petunjuk, ilham, perintah,
perundingan rahasia. Dalam Syara’, wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh Nabi
atau Rasul, yang berasal dari Allah dengan perantara/tidak melalui perantara (malaikat,
mimpi, indera, lonceng). Manusia tidak akan mengetahui hakikat wahyu secara pasti.
Upaya untuk menemukan kebenaran Non Ilmiah dapat terlaksana dengan berbagai cara
diantaranya :
1. Penemuan secara kebetulan
Penemuan yang berlangsung tanpa disengaja. Penemuan secara kebetulan ini juga
berguna walaupun terjadinya tidak secara ilmiah, tidak sengaja dan tanpa rencana. Cara
ini dapat diterima dalam metode keilmuan untuk menggali pengetahuan.
2. Penemuan “coba dan ralat” (trial and error)
Penemuan trial and error terjadi tanpa kepastian akan berhasil atau tidak berhasil
kebenaran yang akan dicari itu. Memang ada aktivitas mencari kebenaran, tetapi
aktivitas itu mengandung unsur spekulatif atau “coba-beruntung”
3. Penemuan melalui otoritas atau kewibawaan
Pendapat orang yang memiliki kewibawaan, misalnya orang-orang yang memiliki
kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu
tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah (Hartanto, 1990).
Pada Logika matematika, tabel kebenaran adalah tabel di dalam matematika yang
dipakai untuk melihat nilai kebenaran pada suatu premis ataupun pernyataan. Jika hasil akhir
ialah benar semua (dilambangkan dengan B, T, atau 1) maka disebut Tautologi. Akan tetapi
jika salah semua (S, F, atau 0) maka disebut kontradiksi. Premis hasil akhirnya gabungan
benar dan salah disebut kontingensi.
Hubungan dari Nilai Kebenaran dapat dilihat dalam tabel 2.2 di bawah.
Tabel 2.5 Tabel Kebenaran
2.4 Skill Bernalar Ilmiah (Scientific Reasoning Skills) dan Cara Mengembangkannya
Periode pertama perkembangan Piaget terdiri atas enam tahapan yaitu ,(Crain, 2007)
2.4.1.2 Periode II dan III. Pikiran pra-operasional (2-7 tahun) dan operasi berpikir
konkret (7-11 tahun)
Diakhir periode sensori motorik anak telah mengembangkan tindakan yang efisien
dan terorganisasikan dengan baik untuk menghadapi lingkungannya di hadapannya. Anak
terus menggunakan kemampuan sensori motorik di seluruh kehidupannya, meskipun terjadi
perubahan yang cukup besar. Peikiran anak berkembang cepat ke sebuah tataran baru yaitu
simbol-simbol. Akibatnya anak harus mengorganisasikan seluruh pemikirannya sekali lagi.
Namun hal ini tidak bisa dilakukan sekaligus. Untuk beberapa saat, selama seluruh periode
pra- operasional, pikiran anak pada dasarnya tidak sistematis dan logis. Baru pada usia tujuh
tahun atau lebih, yaitu permulaan berpikir konkret, pemikiran jadi terorganisasikan di atas
sebuah landasan mental.(Crain, 2007)
Dalam periode ini terdapat ciri perkembangan yang dapat diuraikan sebagai berikut:
(Crain, 2007)
Pendekatan pendidikan yang pertama, lebih berfokus pada interaksi antara berbagai
aspek penalaran ilmiah kolaboratif, ketimbang menganalisis produk dari pemikiran individual
(Dunbar and Fugelsang, 2005). Pandangan tentang pengembangan penalaran ilmiah ini
spesifik untuk teori pendidikan konstruktivis, dimana menurut teori ini, pembelajaran lebih
merupakan proses aktif dibandingkan mekanisme independen untuk memperoleh
pengetahuan. Menurut teori ini, mengembangkan keterampilan penelitian ilmiah pada siswa
terutama dilakukan dengan cara mengubah keyakinan mereka agar sejalan dengan prinsip-
prinsip ilmiah yang dipikul oleh masyarakat. Konstruktivisme memberikan dasar filosofis
untuk perubahan konseptual untuk membangun keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan
juga dalam pendidikan kedokteran(Colburn, no date; Maudsley and Strivens, 2000).
Sebagai upaya untuk mengintegrasikan peran memori ke dalam teori dan praktik dari
pendidikan, Sweller dan Chandler (Chandler and Sweller, 1991) mengusulkan Teori Beban
Kognitif/ Cognitive Load Theory (CLT). CLT menyebutkan bahwa komponen dari
pengajaran yang efektif akan memfasilitasi pembelajaran melalui kegiatan-kegiatan terarah
yang relevan, sedangkan model pembelajaran yang tidak efektif mengakibatkan peserta didik
mengintegrasikan informasi yang berbeda, serta dari sumber terpisah, yang akan
menghasilkan beban kognitif yang berat. Berdasarkan temuan penelitian Sweller dan handler,
pada area-area dimana akuisisi pengetahuan kompleks diperlukan dalam asimilasi lebih dari
dua sumber informasi, model pengajaran konvensional seharusnya diganti dengan desain
instruksional terintegrasi.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Manfaat dari penalaran ilmiah
adalah untuk memberikan kerangka berpikir yang melingkupi proses pemahaman untuk
pikiran ilmiah (scientific mind) dan untuk pengujian hipotesis. Model Hypothesis-deductive
adalah salah satu model yang digunakan untuk penalaran ilmiah dan penelitian.
Perkembangan manusia dalam hal keterampilan bernalar ilmiah dibagi ke dalam 4 periode
oleh Piaget. Mengembangkan penalaran ilmiah dalam ranah pendidikan memiliki banyak
perspektif berkenaan dengan proses perkembangan, metode pengajaran pendidikan sains,
evaluasi terhadap literasi ilmiah, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, H. M. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II, halaman: 26.
Anderson, J. 1996. ‘ACT: A simple theory of complex cognition’, American Psychologist, 51,
pp. 355–365.
Angles, P. L. 1981. A Dictionary of Philosophy. London: Harper & Row Publishers. Halaman:
40.
Britten, N., Stevenson, F.A., Barry, C.A., Barber, N., Bradley, C.P. 2000. Misunderstandings
in prescribing decisions in general practice: qualitative study. British Medical Journal;
320:484-488.
Chalmers, A.F. 1983. What is This Thing Called Science (Apa itu yang Dinamakan Ilmu), terj.
Redaksi Hasta Karya. Jakarta: Hasta Karya.
Chandler, P. and Sweller, L. 1991. ‘Cognitive Load Theory and the Format of
Instruction, Cognition and Instruction’, 8(4), pp. 293–332.
Crain, William. 2007. Theories of Development, Concepts and Applications (third ed.).
Trans Yudi Santoso. Yogyakarta:Penerbit Pustaka Pelajar.
Dunbar, K., & Fugelsang, J. 2005. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J. Holyoak & R.
G. Morrison (Eds.), The Cambridge handbook of thinking and reasoning (pp. 705-
725). New York, NY, US: Cambridge University Press.
Dunbar, K., & Klahr, D. 2012. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J. Holyoak & R. G.
Morrison (Eds.), The Oxford Handbook of Thinking and Reasoning. Oxford
University Press,. Retrieved 20 Jul. 2019, from
https://www.oxfordhandbooks.com/view/10.1093/oxfordhb/9780199734689.001.000
1/oxfordhb-9780199734689-e-35.
Glebbeek, A.C., Bax, E.H. 2004. Is high employee turnover really harmful? An empirical
test using company records. Academy of Management Journal;47(2):277-286.
Haakim, A., dkk. 2012. Konsep Dasar Berfikir Ilmiah dengan Penalaran Deduktif, Induktif,
dan Abduktif. Semarang: Universitas Diponegoro.
Hartanto, K., dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press. Halaman: 25-27.
Khemlani, S.S., Byrne, R.M. and Johnson‐ Laird, P.N., 2018. Facts and Possibilities: A
Model‐ Based Theory of Sentential Reasoning. Cognitive science, 42(6),
pp.1887- 1924.
Klahr, D., & Dunbar, K. 1988. Dual space search during scientific reasoning. Cognitive
Science, 54, 1–48.
Klahr, D., & Simon, H. 1999. Studies of scientific discovery: Complementary approaches
and convergent findings. Psychological Bulletin, 54, 524–543.
Koedinger, K. and Anderson, J. 1998. ‘Illustrating principled design: The early evolution of
a cognitive tutor for algebra symbolization’, Interactive Learning Environments, 5,
pp. 161–180.
Langevald, M. J. Op Weg Noor Weijsgering Denban, alih bahasa G.J. Claessen, “Menuju ke
Pemikiran Filsafat”. Jakarta: Pembangunan. Halaman: 35.
Maslikhah dan Susapti, P. 2013. Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta: Ombak. Halaman: 46-47.
Moutafi, J., Furnham, A., Crump, J. 2007. Is managerial level related to personality? British
Journal of Management; 18:272-280.
Muslih, Mohamad. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma
dan KerangkaTeori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2. Yogyakarta: Belukar.
Patel, V. et al. 2009. ‘Cognitive and learning sciences in biomedical and health
instructional design: A review with lessons for biomedical informatics education’, J
Biomed Inform, 42(1), pp. 176–197.
Popper, Karl R. 2008. The Logic of Scientific Discovery (Logika Penemuan Ilmiah), terj.
Saut Pasaribu & Aji Sastrowardoyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Simon, H. A., Langley, P., & Bradshaw, G. L. 1981. Scientific discovery as problem solving.
Synthese, 54, 1–27.
Suhasti, E. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Prajnya Media. Cet I, halaman: 69.
et.al.,
“Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi”. Bandung: Mizan. Halaman: 16.
Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. Halaman: 135-137.
White, R. A. 1970. Truth; Problem in Philosophy. New York: Doubledaly & Company