Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH FILSAFAT ILMU

“Bernalar Ilmiah”

Dosen Mata Kuliah: Rahadian Indarto Susilo, dr., SpBS(K)

Penulis:

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA
UCAPAN TERA KASIH

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya tim penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Bernalar Ilmiah” dengan baik.

Tim penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu tim penulis menyelesaikan makalah ini:

1. dr. Rahadian Indarto S., SpBS(K) selaku dosen pembimbing


2. Rekan-rekan penulis yang telah membantu dalam penyelesaian makalah

Tim penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam makalah ini. Tim penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Tim penulis juga memohon maaf apabila
terdapat kesalahan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca
sekalian.

Surabaya, 13 September 2019

Tim Penulis
DAFTAR ISI

Sampul..................................................................................................................................i
UCAPAN TERIMA KASIH...............................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...............................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................v
Bab 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................1
1.3.1 Tujuan umum penulisan......................................................................................1
1.3.2 Tujuan khusus penulisan.....................................................................................1
Bab 2 PEMBAHASAN........................................................................................................2
2.1 Dasar-Dasar Penalaran Ilmiah...............................................................................2
2.1.1 Definisi................................................................................................................2
2.1.2 Teori Piaget.........................................................................................................3
2.1.3 Metode bernalar ilmiah.......................................................................................8
2.2 Metode Penalaran Ilmiah dalam Penelitian.........................................................12
2.2.1 Manfaat penalaran ilmiah dalam penelitian......................................................12
2.2.2 Hypothesis-deductive model.............................................................................14
2.3 Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Non Ilmiah....................................................18
2.3.1 Kebenaran ilmiah..............................................................................................18
2.3.2 Kebenaran non ilmiah.......................................................................................21
2.3.3 Tabel kebenaran................................................................................................23
2.4 Skill Bernalar Ilmiah (Scientific Reasoning Skill) dan Cara Mengembangkannya
.............................................................................................................................26
2.4.1 Perkembangan keterampilan berilmiah.............................................................26
2.4.1.1 Periode I. Kepandaian sensori motorik (lahir – 2 tahun)...............................26
2.4.1.2 Periode II dan III. Pikiran pra-operasional (2-7 tahun) dan operasi berpikir
konkret (7-11 tahun).........................................................................................27
2.4.1.3 Periode IV. Operasi-operasi berpikir formal (11 tahun- dewasa)..................28
2.4.2 Mengembangkan keterampilan bernalar ilmiah................................................29
Bab 3 PENUTUP...............................................................................................................31
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................32
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Periode Perkembangan Piaget.............................................................................4


Tabel 2.2 Periode Sensori Motor.........................................................................................4
Tabel 2.3 Periode Praoperasional........................................................................................5
Tabel 2.4............................................................................................................................13
Tabel 2.5 Tabel Kebenaran................................................................................................25
Tabel 2.6 Periode Perkembangan Penalaran Ilmiah Manusia oleh Piaget.........................26
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Berbagai proses yang mendasari penalaran induktif, abduktif, dan penalaran
deduktif..........................................................................................................11
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang
akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia berpikir
untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan
atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki (Haakim, 2012).
Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan,
memutuskan, mengembangkan dan sebagainya. Pada dasarnya setiap objek yang ada di
dunia pastilah menuntut metode tertentu, seperti halnya dalam memperoleh pengetahuan.
Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari satu metode ataupun dapat diselesaikan
menurut berbagai metode. Maka digunakanlah metode berpikir ilmiah, metode berpikir
ilmiah dapat dilakukan melalui tiga jenis penalaran, yaitu penalaran deduktif, penalaran
induktif, dan penalaran abduktif (Haakim, 2012).

1.2 Rumusan Masalah


Apakah yang dimaksud dengan bernalar ilmiah?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan umum penulisan


Mengetahui yang dimaksud dengan bernalar ilmiah.

1.3.2 Tujuan khusus penulisan


- Mengetahui dasar-dasar penalaran ilmiah.
- Mengetahui metode penalaran ilmiah dalam penelitian.
- Mengetahui kebenaran ilmiah dan kebenaran non ilmiah.
- Mengetahui skill bernalar ilmiah dan cara mengembangkannya.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Dasar-Dasar Penalaran Ilmiah

2.1.1 Definisi

Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang
sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, Berdasarkan sejumlah proposisi
yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang
sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi
yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil
kesimpulannya disebut dengan konklusi. Hubungan antara premis dan konklusi disebut
konsekuensi (Suriasumantri, 2001).

Menurut Jujun Suriasumantri, penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik
suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir penalaran
memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri pertama adalah proses berpikir logis, dimana berpikir logis
diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut
logika tertentu. Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Sifat analitik ini
merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya
merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu. Penalaran disini
adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis berdasarkan fakta yang
relevan. Dengan kata lain, penalaran adalah proses penafsiran fakta sebagai dasar untuk
menarik kesimpulan (Suriasumantri, 2001).

Menurut tim balai pustaka (dalam Shofiah, 2007) istilah penalaran mengandung tiga
pengertian diantaranya: (1) Cara (hal) menggunakan nalar, pemikiran atau cara berfikir logis.;
(2) Hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan perasaan atau
pengalaman; (3) Proses mental dalam mengembangkan atau mengendalikan pikiran dari
beberapa fakta atau prinsip.

Penalaran mempunyai ciri-ciri yaitu (1) dilakukan dengan sadar; (2) didasarkan oleh
sesuatu yang sudah di ketahui; (3) sistematis; (4) terarah dan bertujuan; (5) Menghasilkan
kesimpulan yang dapat berupa pengetahuan, keputusan dan sikap terbaru; (6) sadar tujuan; (7)
premis berupa pengalaman, pengetahuan, ataupun teori yang di dapatkan; (8) pola pemikiran
tertentu; dan (9) sifat empiris nasional (Suriasumantri, 2001).

Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan


kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat-syarat dalam menalar dapat dipenuhi. Suatu
penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang
memang benar atau sesuatu yang memang salah. Dalam penalaran, pengetahuan yang
dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus
meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran
memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan-aturan berpikir yang tepat sedangkan
material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepa (Suriasumantri, 2001).

2.1.2 Teori Piaget

Pendekatan yang dilakukan Piaget dalam meneliti perkembangan kognitif anak adalah
pendekatan sains, yaitu konsep-konsep biologis yang dibatasi pada sifatnya saja. Selain itu
Piaget juga memperhatikan kecenderungan biologis pada saat anak beraktivitas, yaitu
asimilasi, akomodasi, dan organisasi. Perkembangan merupakan sebuah proses konstruktif
yang aktif, dimana anak, melalui aktivitasnya membangun struktur-struktur kognitif yang
makin berbeda dan komprehensif. Menurut Piaget (1983), inteligensi dapat dilihat dari 3
perspektif berbeda:

Terdapat 3 kecenderungan biologis pada saat anak beraktivitas, yaitu :

1. Asimilasi

Asimilasi  memasukkan sesuatu . Dalam tindakan berarti memasukkan suatu


objek ke dalam objek lain. Contoh: menggenggam sendok. Namun, dalam
pikiran berarti memasukkan informasi ke dalam pikiran.

Contoh: pemahaman tentang virus Zika.

2. Akomodasi

Akomodasi  membuat perubahan dalam struktur. Dalam tindakan berarti


membuat perubahan struktur suatu objek menjadi lebih baik. Contoh:
meletakkan beberapa batang bambu di bawah lemari besar supaya lebih mudah
mendorongnya. Namun, dalam pikiran berarti mengkontruksi cara-cara yang
lebih efisien dan elaboratif dalam mengahadapi sesuatu hal.

Contoh: penanganan banjir di Jakarta

3. Organisasi

Organisasi  mengkombinasikan beberapa hal. Dalam tindakan berarti


merangkai beberapa tindakan sederhana menjadi suatu tindakan yang lebih
sukar. Contoh: makan mie menggunakan sumpit. Namun, dalam pikiran berarti
menggabungkan ide-ide menjadi teori.

Contoh: perumusan teori atom Dalton.


Tabel 2.1 Periode Perkembangan Piaget

Tabel 2.2 Periode Sensori Motor


Perkembangan Permanensi Objek

Pada tahap ini Piaget mengamati bagaimana bayi mengkonstruksi konsep-


konsep tentang objek permanen, waktu, ruang, dan kausalitas, dan bagaimana mereka
mengembangkan kemampuan untuk bermain. Pada awal periode ini, bayi tidak
memiliki perngertian tentang objek-objek yang independen dari pandangan atau
tindakan mereka. Pada akhir periode ini, objek-objek jadi terpisah dan permanen.
Dengan demikian anak-anak bisa mengembangkan suatu semesta yang mengandung
objek-objek independen dimana mereka hanyalah satu diantara objek lainnya.
Tabel 2.3 Periode Praoperasional
Pertumbuhan Aktivitas Simbolik

Pada periode ini, anak-anak mulai menggunakan simbol- simbol ketika


mereka menggunakan sebuah objek atau tindakan untuk merepresentasikan sesuatu
yang tidak hadir. Simbol-simbol pertama bersifat motorik, baru setelah itu
meningkat menjadi simbol-simbol linguistik. Bahasa mengembangkan cakrawala
anak-anak. Lewat bahasa mereka dapat menghidupkan kembali masa lalu,
mengantisipasi masa depan, dan mengkomunikasikan peristiwa-peristiwa pada
orang lain.

Penalaran ilmiah

• Pada periode ini anak-anak masih sulit untuk memahami jumlah dalam bentuk 3
dimensi.

• Biasanya mereka hanya melihat 1 dimensi saja.

• Pemahaman jumlah dalam 3 dimensi akan tercapai pada akhir periode

ini Pemikiran Sosial

• Dalam periode pra-operasional, anak-anak masih bersifat egosentris, menganggap


segala sesuatu berasal dari satu titik pandang saja.

• Egosentrisme mengacu kepada ketidakmampuan untuk membedakan


prespektifnya sendiri dari perspektif orang lain

• Selain itu, pada periode ini anak-anak masih belum dapat membedakan antara
benda hidup dan benda mati. Konsep benda hidup jika benda menyala, berbunyi,
atau bergerak.

• Anak-anak pra-operasional juga masih percaya bahwa mimpi itu adalah


suatu kenyataan.

• Periode berpikir konkret Berpikir dua arah dan logis

• Bertanya tentang segala sesuatu dengan bahasa

sederhana

• Mampu menganalisa dan mengukur

• Memahami bagian dan keseluruhan suatu hubungan


• Memahami jumlah, massa, berat dan volume

• Menerima etika dan aturan dari orang yang lebih tua

• Dapat melakukan operasi-operasi menggabungkan, memisahkan, menyusun,


mengulang, mengali, membagi, mengurangi

• Masih mengalami kesulitan memahami kalimat kompleks

• Pemiki Dalam periode pra-operasional, anak-anak masih bersifat egosentris,


menganggap segala sesuatu berasal dari satu titik pandang saja.

• Egosentrisme mengacu kepada ketidakmampuan untuk membedakan


prespektifnya sendiri dari perspektif orang lain

• Selain itu, pada periode ini anak-anak masih belum dapat membedakan antara
benda hidup dan benda mati. Konsep benda hidup jika benda menyala, berbunyi,
atau bergerak.

• Anak-anak pra-operasional juga masih percaya bahwa mimpi itu adalah


suatu kenyataan.

• Pembagian tahapan perkembangan kognitif berdasarkan usia dan perkembangan


biologis anak menjadi landasan utama penelitian Piaget.

• Jika dihubungkan dengan pembagian usia anak sekolah maka kesetaraannya adal

• Teori ini membagi tingkat kecerdasan kognitif manusia berdasarkan usia.

• Masing-masing periode memiliki keunikan yang tidak bisa dibandingkan dengan


periode lain.

• Pada tahap sensorimotor dan pra-operasional Piaget masih memperhatikan aspek


perkembangan sosial anak, tetapi untuk tahap operasi konkret dan formal
penekanannya hanya pada perkembangan logika kognitif saja (Crain, 2007).
2.1.3 Metode bernalar ilmiah

Salah satu karakteristik paling dasar dari sains adalah bahwa para ilmuwan beasumsi
bahwa alam semesta mengikuti aturan yang dapat diprediksi. Para ilmuwan menggunakan
berbagai strategi berbeda untuk membuat penemuan ilmiah baru. Tiga jenis penalaran yang
sering digunakan ilmuwan adalah penalaran deduksi, induksi dan abduksi (Dunbar, 2005).
Berikut ini akan dibahas ketiga penalaran ini beserta contohnya.
1. Deduksi
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat universal
(umum) ditarik kesimpulan yang bersifat individual (khusus), selain itu metode
deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik
kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat umum.
Logika deduksi adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas
penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu
kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut
bentuk saja.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola pikir
yang dinamakan silogismus. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut
premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor.
Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif
berdasarkan kedua permis tersebut. Logika deduktif membicarakan cara-cara untuk
mencapai kesimpulan- kesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-
pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini di antara suatu kelompok barang
sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat
yang bersifat keharusan dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih dahulu diajukan.
Pembahasan mengenai logika deduktif itu sangat luas dan meliputi salah satu di antara
persoalan-persoalan yang menarik. Contoh deduksi sebagai berikut:

Semua makhluk hidup memerlukan udara (Premis mayor)

Dewi adalah makhluk hidup (Premis minor)

Jadi Dewi memerlukan udara (Kesimpulan)

Kesimpulan yang diambil bahwa Dewi memerlukan udara adalah sah menurut
penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua permis yang
mendukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka dapat dipastikan
bahwa
kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah,
meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah
tidak sah.

Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga


hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan
pengambilan kesimpulan.

2. Induksi

Menurut Aristoteles, pola penalaran induksi merupakan proses peningkatan


dari hal - hal yang bersifat individual (khusus) ke hal - hal yang bersifat universal
(umum). Jadi premisnya berasal dari proposisi – proposisi singular lalu konklusinya
berupa sebuah proposisi universal (Khemlani, 2017).

Premis-premis dari induksi ialah proposisi empiris yang langsung kembali


kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic statement). Proposisi dasar
menunjuk kepada fakta. Pikiran tidak dapat mempersoalkan benar-tidaknya fakta,
akan tetapi hanya dapat menerimanya. Konklusi penalaran induktif itu lebih luas
daripada apa yang dinyatakan di dalam premis-premisnya. Menurut kaidah-kaidah
logika, penalaran itu tidak sahih, pikiran tidak terikat untuk menerima kebenaran
konklusinya. Meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang
normal akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya.

Penalaran induksi terbagi mejadi dua macam (Pratiwi, 2012), yaitu:

- Generalisasi Induksi. Telah diketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan


suatu konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi
empirik itu disebut generalisasi. Prinsip dasar generalisasi induksi adalah: “apa
yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu
terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi”. Generalisasi menerangkan bahwa
konklusi penalaran induktif tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan
tetapi hanya berupa suatu probabilitas, suatu peluang. Syarat yang harus dipenuhi
pada generalisasi induksi adalah: (1) Generalisasi harus tidak terbatas secaara
numerik; artinya generalisasi tidak boleh terikat pada jumlah tertentu, (2)
Generalisasi harus tidak boleh terbatas secara spasio-temporal; artinya, tidak boleh
terbatas dalam ruang dan waktu, jadi harus berlaku dimana saja dan kapan saja dan
(3) Generalisasi
harus dapat dijadikan dasar pengandaian; yang dimaksud “pengandaian” di sini
ialah dasar dari yang disebut ‘contrary to-facts conditionals’ atau ‘unfulfilled
conditional’. Generalisasi yang dapat dijadikan dasar untuk pengandaian itu yang
memenuhi syarat.
- Analogi Induksi. Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang
berlainan, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan yang
lain, dengan mengidentifikasi mencari persamaan. Pada dasarnya bentuk
penalaran analogi induksi sama dengan generalisasi induksi. Tetapi dalam metode
keilmuan analogi induktif itu dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu
objek atau fakta itu dan sifat-sifat apakah yang dapat diharapkan padanya,
sedangkan generalisasi induksi terutama digunakan untuk menemukan hukum,
menyusun teori, atau hipotesis. Jadi analogi induksi tidak hanya menunjukkan
persamaan di antara dua hal yang berbeda, akan tetapi menarik kesimpulan atas
dasar persamaan tersebut.
3. Abduksi

Sementara kurang umum disebutkan daripada penalaran induksi dan deduksi,


penalaran abduksi adalah sebuah cara pembuktian yang memungkinkan hipotesa-
hipotesa dibentuk. Pembuktian abduksi bertolak dari sebuah kasus partikular menuju
sebuah “penjelasan yang mungkin” tentang kasus. Bagi C. S. Peirce, abduksi tetap
merupakan salah satu dari tiga bentuk pokok inferensi, dengan bentuk probable yaitu
tidak memberikan kepastian mutlak (Dunbar, 2005). Pertimbangkan masalah berikut:

Apabila pilot jatuh dari pesawat tanpa parasut,

Pilot ini akan mati. Pilot ini tidak mati. Kenapa tidak?

Mayoritas akan merespon, misalnya:

Pesawat ini masih di darat.

Pilot jatuh ke salju yang dalam.

Hanya sebagian kecil yang akan menarik kesimpulan secara logis:

Pilot ini tidak jatuh dari pesawat tanpa parasut.


Kesimpulan yang diambill penalaran abduksi digunakan untuk menjelaskan peristiwa
seperti temuan yang tak terduga dan kesimpulan ini tidak memberikan kepastian
mutlak.

Berikut contoh perbedaan penalaran deduksi, induksi dan abduksi yang dapat
dilihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Berbagai proses yang mendasari penalaran induktif, abduktif, dan

penalaran deduktif (Dunbar, 2005).

Pada gambar 2.1 perbedaan antara pemikiran deduktif, induktif dan abduktif
disorot. Dalam penalaran deduksi dimulai dari hal umum yaitu:

Semua angsa berwarna putih.

Daisy adalah angsa.

Daisy berwarna putih (Kesimpulan)


Penalaran Induksi contohnya adalah:

Daisy adalah angsa berwarna putih

Danny adalah angsa berwarna putih

Dante adalah angsa berwarna putih (dan begitu selanjutnya)

Semua Angsa berwarna putih (Kesimpulan)

Penalaran Abduksi contohnya adalah:

Semua angsa berwarna putih

Daisy berwarna putih

Daisy adalah seekor angsa (Kesimpulan)

Dalam penalaran abduksi, pemikir berusaha untuk menghasilkan penjelasan


dari bentuk “jika situasi X telah terjadi, dapatkah itu menghasilkan bukti saat ini yang
saya coba tafsirkan?”. Tentu saja, seperti dalam induksi klasik, penalaran seperti itu
tidak sepenuhnya benar. Namun, penalaran itu melibatkan generasi pengetahuan baru,
dan terkait dengan penelitian yang mendorong kreativitas.

2.2 Metode Penalaran Ilmiah dalam Penelitian

2.2.1 Manfaat penalaran ilmiah

Dalam penalaran ilmiah dikenal sebagai konsep berpikir mengenai keilmuan dan juga
sebagai rangkaian proses-proses penalaran yang menjiwai bidang-bidang ilmu. Proses
berpikir tersebut, antara lain berupai induksi, deduksi, desain eksperimen, penalaran sebab
akibat/kausal, pembentukan konsep, uji hipotesis, dll. (Dunbar, K., & Klahr, D., 2012). Pada
Bab kedua ini, akan dibahas beberapa konsep umum yang sering dipakai dalam penalaran
ilmiah di bidang penelitian yang dapat menjadi pedoman kolaborasi pada penalaran klinis
untuk diajarkan, diterapkan, dan dikritisi lebih lanjut mengenai implementasinya untuk
penalaran ilmiah dalam penelitian yang lebih efektif.
- Penalaran Ilmiah sebagai Problem Solving

Salah satu manfaat primer dari penalaran ilmiah adalah untuk memberikan
kerangka berpikir yang melingkupi proses pemahaman untuk pikiran ilmiah (scientific
mind). Penalaran ilmiah membantu pola pikir yang luas dan terbuka untuk
menganalisis dan menyelesaikan permasalahan. Simon, Langley, & Bradshaw (1981)
berpendapat bahwa secara umum, pemecahan masalah dikonsepkan sebagai
penelusuran dalam lingkup masalah (problem space). Lingkup masalah yang
dimaksudkan ini berisi berbagai kemungkinan duduk permasalahan yang mungkin
dipikirkan manusia dan segala upaya yang dapat dilakukan untuk pemecah masalah
dapat beralih dari satu tahap ke tahap lain dalam memecahkan masalah. Berdasarkan
pemikiran ini, kita dapat menyimpulkan bahwa, dengan mengetahui tipe-tipe
representasi dan prosedur yang digunakan seseorang untuk bergerak dari satu tahap ke
tahap lainnya, maka kita dapat memahami proses bernalar ilmiah (Dunbar, K., &
Fugelsang, J., 2005).

Tabel 2.4

Klahr dan Dunbar (1988) melakukan penelusuran mengenai lingkup masalah dan
menyatakan bahwa penalaran ilmiah dapat dilihat dalam 2 lingkup yang berhubungan
(Tabel 2.4), yakni: lingkup hipotesis dan lingkup eksperimen. Setiap lingkup masalah
yang digunakan oleh ilmuwan, akan memiliki representasinya masing-masing dan
operator yang dapat mengubah representasi tersebut. Penelusuran dalam lingkup
hipotesis akan membatasi penelusuran dalam lingkup eksperimen. Ditemukan juga
bahwa beberapa pemikir mulai dari lingkup hipotesis ke lingkup eksperimen, namun
ada juga yang memulai dari lingkup eksperimen ke lingkup hipotesis. Perbedaan tipe
penelusuran ini mendasari adanya perbedaan tipe-tipe hipotesis dan eksperimen.
Beberapa penelitian juga memperluas pendekatan dua-lingkup ini dengan
memasukkan lingkup pemecahan masalah alternatif: data, instrumentasi, dan
pengetahuan bidang khusus (domain-specific knowledge) (Klahr & Simon, 1999).
- Penalaran Ilmiah sebagai Pengujian Hipotesis

Banyak peneliti yang mengidentikan penalaran ilmiah sebagai proses


memprediksi sebuah hipotesis tertentu terhadap teori-teori. Hipotesis (atau sering
disebut juga dengan hipotesa) dimaknai secara sederhana sebagai dugaan sementara.
Hipotesis berasal dari bahasa Yunani hypo yang berarti di bawah dan thesis yang
bersinonom dengan pendirian, pendapat yang ditegakkan, dan kepastian. Maka
dengan pemaknaan bebas, hipotesis berarti pendapat yang kebenarannya masih
diragukan.

Agar dapat dipastikan kebenarannya, maka suatu hipotesis harus diuji atau
dibuktikan kebenarannya. Pengujian hipotesis atau yang dikenal sebagai
hypothesis testing diartikan sebagai proses mengevaluasi sebuah proposisi yang
diperoleh dari pengumpulan data mengenai sebuah kebenaran (Dunbar, K., &
Klahr, D. 2012).
Untuk membuktikan kebenaran suatu hipotesis, seorang peneliti dapat dengan sengaja
menciptakan suatu gejala, yakni melalui percobaan atau penelitian.

Pada penelitian eksperimental kognitif pada penalaran ilmiah terkait isu


spesifik, biasanya jatuh pada 2 area besar kelas investigasi. Kelas pertama
berhubungan dengan tipe penalaran yang memimpin peneliti ke arah yang tidak
menentu sehingga menghalangi keaslian penelitian. Banyak penelitian yang telah
dilakukan dengan strategi penalaran ilmiah yang keliru dari peneliti dan partisipan
pada uji coba. Contohnya, saat peneliti lebih condong kepada salah satu hipotesis pda
satu waktu dan menghamat peneliti untuk membuat penemuan baru. Kelas kedua
berhubungan dengan menyingkapkan proses-proses mental yang mendasari
penciptaan hipotesis dan konsep ilmiah yang baru. Tipe penelitian ini biasanya
berfokus pada penggunaan analogi dan penggambaran ilmu dan penggunaan tipe-tipe
tertentu pemecahan masalah heuristik (Dunbar, K., & Klahr, D., 2012).

2.2.2 Hypothesis-deductive model

Karl popper, nama lengkapnya Karl Raimund Popper, merupakan salah satu
kritikus abad ke-20 yang paling tajam terhadap gagasan lingkaran Wina. Ia dilahirkan
di Wina pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr.
Simon
S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah sosial. Pada tahun
1928, Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi Zur Methodenfrage der
Denkpsychologie (Masalah Metode dalam Psikologi Pemikiran). Popper merasa tidak
puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari bidang epistemologi yang
dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan. Usahanya ini semakin intentif
ketika ia berjumpa dengan positivisme logis dari lingkaran Wina. Meski demikian, ia
bukan termasuk kelompok lingkaran Wina, sebab dia merupakan kritikus paling tajam
terhadap gagasan-gagasan lingkaran Wina (Muslih, 2005).

Popper banyak berkenalan dengan gagasan-gagasan para filosuf yang


tergabung di lingkaran Wina atau kaum positivism logis, namun ia tidak sependapat
dengan gagasan mereka dalam bidang keilmuan terutama terkait dengan tiga ide
utama, yakni masalah induksi, demarkasi, dan dunia ketiga (Muslih, 2005). Dalam
masalah induksi, Popper tidak sependapat dengan penerapan keabsahan generalisasi
yang didasarkan pada prinsip induksi (Popper, 2008). Misalnya, “Apabila sejumlah
besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila semua A yang
diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A memiliki sifat B”
(Chalmers, 1983).

Proses induksi melalui observasi seperti inilah yang dipandang oleh kaum
positivisme logis sebagai prinsip pembentukan ilmu atau pengetahuan. Proses induksi
ini pula yang dijadikan untuk menciptakan hukum umum dan mutlak berdasarkan
kriteria kebermaknaan (meaningfull) dan ketidakbermaknaan (meaningless). Bagi
kaum positivisme logis kebenaran suatu teori umum dapat ditentukan dan dibuktikan
melalui prinsip verifikasi, yakni ditentukan kebermaknaan dan ketidakbermaknaannya
berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris (Muslih, 2005).
Selanjutnya proposisi-proposisi ilmu atau pengetahuan tersebut dipandang ilmiah,
selain dibangun berdasar prinsip induksi melalui eksperimen atau observasi, juga jika
dipandang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan meramalkan (Chalmers,
1983). Suatu pengetahuan adalah ilmiah, misalnya apabila seorang ahli astronomi
dapat meramalkan kapan akan terjadi gerhana bula berikutnya, atau bila seorang ahli
fisika dapat menjelaskan mengapa titik mendidih air di tempat yang tinggi lebih
rendah daripada di tempat yang normal.

Gambaran ilmu seperti yang digambarkan oleh kaum positivism logis, atau
induktifis ini memberi penegasan yang tampak meyakinkan mengenai sifat dari suatu
ilmu atau pengetahuan, yakni selain dayanya yang mampu meramalkan dan
menjelaskan, juga adanya sifat keobyektifan dan reliabilitasnya yang lebih unggul
dibanding jenis-jenis ilmu atau pengetahuan yang lain. Karena itu, wajar jika gagasan
mereka ini begitu meyakinkan dan memiliki penganut yang begitu besar.

Akan tetapi bagi Popper suatu teori atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak
dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui
verifikasi seperti anggapan mereka, tetapi karena dapat diuji (testable) dengan melalui
berbagai percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Bila suatu hipotesa atau suatu
teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau
teori tersebut semakin diperkokoh, atau yang oleh Popper disebut corroboration.
Semakin besar upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus
mampu bertahan, maka semakin kokoh pula keberadaannya.

Selanjutnya Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah selalu hanya


bersifat hipotetis, yakni berupa dugaan sementara (conjecture), tidak akan pernah ada
kebenaran final. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori baru yang lebih
tepat. Terkait hal ini, ia lebih suka memakainya dengan istilah hipotesa ketimbang
teori, hanya semata-mata didasarkan pada sifat kesementaraannya. Ia menegaskan
bahwa suatu hipotesa atau proposisi dikatakan ilmiah jika secara prinsipil ia memiliki
kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability) (Komarudin, 2014).

Berikut ini adalah langkah-langkah yang terlibat:


- Mengidentifikasi area masalah yang luas di mana masalah utama terjadi untuk
melakukan proyek penelitian.
- Mendefinisikan rumusan masalah. Ini bisa menjadi penelitian ilmiah dengan
tujuan pasti dan tujuan umum penelitian.
- Pengembangan hipotesis yang harus diuji dan dapat difalsifikasikan.
- Mengukur kerangka teoritis dan jika tidak terukur maka harus kualitatif.
- Pengumpulan data berdasarkan kuantitatif dan data kualitatif.
- Analisis data dilakukan untuk memeriksa apakah hipotesis yang dihasilkan
didukung.
- Menafsirkan data untuk mencari tahu makna hasil.

Menurut (Lewis 1998) "Pandangan yang keliru tentang metode ini ditambah tidak
adanya definisi teori yang tepat menyesatkan perkembangan awal saya dalam sains"
(hal. 362). Ilmu-ilmu seperti biologi, fisika, geologi dan kimia semua didasarkan pada
metode Hypothesis-deductive. Banyak guru dan penulis menyesatkan siswa mereka
tentang metodologi dasar subjek. Teori ini dapat dijelaskan dengan contoh-contoh
dalam materi pelajaran yang berbeda seperti jika cahaya bergerak dalam gelombang
konsentris maka cahaya harus melewati celah. Percobaan yang dilakukan
menunjukkan bahwa cahaya melewati kedua celah dan menciptakan layar pola ketiga
dari kedua band (hasil yang diharapkan) dan karenanya mendukung hipotesis
alternatif bahwa cahaya bergerak dalam gelombang konsentris (kesimpulan). Dengan
cara yang sama, metode ini dapat digunakan dalam semua materi pelajaran yang
berbeda untuk menemukan kesimpulan, eksperimen, hipotesis, dan hasil.

Metode Hypothesis-deductive mengkonfirmasi sebuah teori ketika perbedaan


prediksi dan observasi kecil dan mengonfirmasi ketika perbedaan besar (Rakover,
2002).

Sebagian besar fokus dalam metodologi ilmiah adalah untuk mengurangi


perbedaan antara prediksi dan pengamatan. Ini adalah komponen penting dari metode
Hypothesis- deductive. Metode Hypothesis-deductive menguji hipotesis empiris dan
teori-teori dengan baik dan banyak digunakan oleh para ilmuwan.

Peneliti yang berbeda telah menggunakan metode Hypothesis-deductive dengan


tujuan penelitian yang berbeda. Glebbeek AC, menggunakan metode untuk menguji
hipotesis untuk turnover karyawan dan kinerja perusahaan untuk memiliki hubungan
terbalik berbentuk U, terutama turnover rendah atau turnover tinggi. Data dianalisis
dari
110 kantor yang menawarkan pekerjaan sementara dan menemukan hubungan
curvilinerar yang dihipotesiskan. Britten N, Stevenson FA, Barry CA, Barber N dan
Bradley CP menggunakan metode untuk mengidentifikasi kategori keputusan yang
disalahpahami dalam keputusan umum. Serangkaian wawancara dilakukan dengan
konsumen akhir untuk mengetahui kategori-kategori kesalahpahaman. Kategori
muncul sebagai akibat dari implikasi data dan berdasarkan pada fakta bahwa sekali
mereka telah terjadi dan mungkin terjadi lagi. Meyer CB, Altenborg E menggunakan
metodologi untuk menyelidiki dampak kesetaraan atau keseimbangan selama proses
penggabungan suatu organisasi. Para peneliti menggunakan studi kasus merger
internasional yang gagal. Mereka menemukan bahwa prinsip kesetaraan memiliki efek
terbalik pada integrasi sosial yang mempengaruhinya secara negatif berlawanan
dengan prediksi dalam literatur. Moutafi J, Furnham A, Crump J menggunakan
metodologi untuk menyelidiki hubungan antara tingkat manajerial dan
kepribadian. Tes
kepribadian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara hasil dan tingkat
manajerial. Empat hipotesis berbeda diturunkan berdasarkan hubungan positif atau
negatif dengan tingkat manajerial. Hemant Deo menggunakan metodologi di sektor
perbankan untuk menyaring data yang terkait dengan cerita tertentu dari yang lain.
Sektor perbankan melibatkan bidang penelitian yang luas termasuk faktor sosial,
ekonomi dan politik yang digabungkan bersama dalam satu konteks organisasi.
Metode Hypothesis- deductive mengabaikan tantangan ini memasukkan nilai
konsekuensi subyektif dan sosial. Ini mengurangi hubungan antara kontrol prediksi,
teknis dan penjelasan. Lewis RW menggunakan metode Hypothesis-deductive pada
teori awal aliran darah dan penelitian William Harvey. Teori ini didasarkan pada
penalaran hipotetiko-deduktif untuk percobaan arah aliran darah dalam tubuh
manusia. Tes juga dilakukan pada lubang septum. Hasil menurut metode Hypothesis-
deductive adalah bahwa teori Galen tidak didukung (Lawson AE, 2000)

2.3 Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Non Ilmiah

2.3.1 Kebenaran ilmiah

Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai salah satu kata benda yang konkret
maupun abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya
adalah preposisi yang benar. Dengan kata lain arti kebenaran itu bergantung pada preposisi
yang mengikuti di belakangnya. Kebenaran memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda
satu dengan yang lain. Terdapat tiga macam definisi kebenaran, yaitu:

1. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Terbagi menjadi 4, yaitu :


a) Pengetahuan Biasa atau biasa disebut juga dengan Knowledge of the man in the
street or Ordinary Knowledge or common sense knowledge. Pengetahuan ini memiliki
inti kebenaran yang bersifat subjektif, yaitu amat terikat pada subyek yang mengenal.
Pengetahuan ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh
pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
b) Pengetahuan Ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang spesifik
dengan metodologi yang telah disepakati oleh para ahli ilmu tersebut. Kebenarannya
bersifat relatif karena selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian
yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan dari para ilmuwannya.
c) Pengetahuan Filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui
metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyentuh, yaitu dengan
modelpemikiran analitis, kritis dan spekulatif. Kebenarannya bersifat absolut-
intersubjektif, yaitu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu serta
selalu mendapat kebenaran dari filsuf yang menggunakan metodologi pemikiran yang
sama pula.
d) Pengetahuan Agama, pengetahuan yang memiliki sifat dogmatis yakni pernyataan
dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah ditentukan, sehingga
pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran
sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya itu. Kebenarannya
bersifat mutlak absolut.
2. Kebenaran berkaitan dengan sifat atau karakteristik bagaimana cara atau dengan
alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangunnya
dengan cara penginderaan atau sense experience, ratio, intuisi atau keyakinan
Sehingga implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
Jenis pengetahuan menurut kriteria karakteristiknya dapat dibedakan dalam jenis
pengetahuan : (1).inderawi; (2).pengetahuan akal budi; (3). pengetahuan intuitif;
(4). Pengetahuan kepercayaan atau otoritatif dan pengetahuan yang lainnya.
3. Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya
bagaimana relasi antara subjek dan objek. Jika subjek yang lebih berperan maka
kebenarannya bersifat subjektif, dan begitu pula sebaliknya (Tim Dosen Filsafat
Ilmu UGM, 2010)
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian Ilmiah adalah segala sesuatu yang
bersifat keilmuan, didasarkan pada ilmu pengetahuan, memenuhi syarat atau kaidah ilmu
pengetahuan. Sesuatu dapat disebut ilmiah apabila memiliki patokan yang merupakan rambu-
rambu untuk menentukan benar atau salah. Karakteristik ilmiah terdiri dari empat syarat,
yaitu:
1. Obyektif (ada kesesuaian dengan obyeknya/dibuktikan dengan hasil penginderaan
atau empiris).
2. Metodik (diperoleh dengan menggunakan cara-cara tertentu dan terkontrol)
3. Sistematik (tersusun dalam suatu sistem, tidak berdiri sendiri satu sama lain saling
berkaitan, saling menjelaskan sehingga keseluruhannya merupakan satu kesatuan
yang utuh)
4. Berlaku umum/universal (tidak hanya berlaku atau dapat diamati oleh seseorang/oleh
beberapa orang saja, tetapi oleh semua orang dengan cara eksperimental yang sama
dan akan menghasilkan sesuatu yang sama/konsisten) (Maslikah, 2013).
Berbagai cara telah ditempuh oleh para pemikir untuk sampai pada rumusan tentang
kebenaran. Teori atau ukuran kebenaran yang disebut oleh Kattsoff adalah Koherensi
(Coherence Theory), paham Korespondensi (Correspondence Theory), Paham Empiris dan
Pragmatis. Sementara Abbas Hamami menyebut tujuh Teori yakni teori kebenaran
korespondensi, koherensi, pragmatis, sintaksis, semantis, non-deskripsi dan teori kebenaran
logis yang berlebihan (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010). Di bagian ini hanya akan
dibahas tiga teori saja, yaitu Kebenaran Koherensi, Korespondensi, dan Teori Pragmatis.
1. Teori Koherensi (Coherence Theory)

Kata “koherensi” (coherence. Inggris = sticking together, consistent (especially


of speech, thought, reasoning), clear, easy to understand; Latin: cohaerere = melekat,
tetap menyatu, bersatu) (Angles, 1981). Koherensi berarti hubungan yang terjadi
karena adanya gagasan (prinsip, relasi, aturan, konsep) yang sama. Paham ini
mengatakan bahwa suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam
keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi yang benar atau jika makna
yang dikandunganya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koherensi ini juga
termasuk dalam katagori “Veritas de raison” yaitu, kebenaran-kebenaran yang masuk
akal dan juga melahirkan berpikir deduksi yang sangat diperlukan untuk matematika
(Langevald). Alam pikiran teori ini terpadu secara utuh/koheren, baik argumentasinya
maupun kaitannya dengan pengeahuan-pengetahuan sebelumnya yang dianggap benar
(Suriasumantri, 1991). Teori ini dikenal juga sebagai teori justifikasi, karena
dukungan dari keputusan-keputusan yang terdahulu yang sudah diakui dan diterima
kebenarannya.

2. Teori Korespondensi (Correspondence Theory)


Teori ini disebut oleh White dalam bukunya sebagai teori yang paling tua
(Tradisional) (White, 1970). Inti ajarannya tentang kebenaran adalah bahwa suatu
pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan
halnya, dinamakan “paham korespondensi” kebenaran atau keadaan benar berupa
kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan
dengan apa yang sesungguhnya merupakan halnya, atau apa yang merupakan fakta-
faktanya. Teori kebenaran ini termasuk dalam katagori “veritas desfait” yaitu
kebenaran-kebenaran berdasarkan kenyataan (Hadi, 1997). Teori ini melahirkan cara
berpikir induksi yang tampak dalam statistika.
3. Teori Pragmatisme (Pragmatic Theory)
Merupakan pandangan Filsafat kontemporer yang berkembang pada akhir abad
ke-19. Dalam pandangan The Pragmatic Theory of Truth, menurut Patrick adalah
seperti dinyatakannya sebagai berikut :

Teori, hipotesa atau idea adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang
memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis.
Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, oleh akibat-akibat praktisnya.
Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.

Kebenaran menurut teori ini adalah suatu pernyataan yang diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Yaitu, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan dalam kehidupan manusia (Suriasumantri, 1991).
Kebenaran tidak diukur dengan adanya hubungan atau kesesuaian antara pernyataan
dengan lainnya. Kebenaran berada pada fungsi dan kegunaan. Benar sesuatu itu jika
berfungsi dan berguna, tidak benar jika tidak berfungsi dan tidak berguna.

2.3.2 Kebenaran non ilmiah

Ada tiga hal yang seringkali orang-orang memandanganya sebagai kebenaran yang
tidak ilmiah karena disebabkan sifat dan caranya yang sederhana, penuh dengan kira-
kira,serta tidak dapat dijangkau oleh alat indera manusia diantaranya : pengetahuan biasa,
mitos, dan wahyu.
1. Pengetahuan Biasa
Pengetahuan manusia,secara skematik, biasa berkembang menuju kepada yang
lebih berkualitas/valid. Validitas tersebut sangat ditentukan oleh kerangka dasar
pemikiran/landasan epistemiologiya serta bentuk bentuk penalarannya. Semakin logis
dan teruji di dalam penerapannya, maka pengetahuan itu disebut ilmiah. Tiga tahap
dalam kehidupan manusia dalam mencari kebenaran yaitu : tahap awal yaitu Proses
tahu dan dari hasil inilah disebut pengetahuan biasa ; tahap kedua yaitu memori, dan
tahap ketiga ialah ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tingkat validitasnya di
atas pengetahuan biasa. Sebab hasil ini diperolehnya berdasarkan pada pengujian
teoretik dan
penggunaan metode yang jelas dalam analisisnya. Adapun rumus atau teori itu sendiri
adalah produk pengetahuan ilmiah yang memiliki kekokohan dasar pemikiran dan telah
teruji, serta pada tahap berikutnya biasa dijadikan landasan pengetahuan obyek kajian
tertentu lainnya.
2. Mitos
Mitos sebenarnya bagian dari folklore, atau cerita rakyat/hikayat. Mitos diturunkan
secara subyektif,dalam arti kebenarannya hanya berlaku dalam masyarakatnya, dan
tidak ada kaitannya dengan antara pengalaman dan penuturan. Mitos berarti
menghindari realitas,bukan menghadapi realitas. Kualitas mitos setingkat dengan
legenda dan dongeng. Mitos biasanya efektif sebagai alat komunikasi massa. Mitos akan
hidup tatkala rakyat tertekan dan penuh harapan. Mitos dapat mendorong suatu
perbuatan. Sebagaimana contoh mitos tentang Ratu Kidul. Masyarakat akan antusias
datang ke pantai Selatan untuk melakukan ritual dan larung sesaji berharap akan
mendapatkan keselamatan, keamanan dan ketenteraman dalam kehidupannya (Suhasti,
2012).
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui
kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan
ini sangat sukar untuk dibedakan. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan
manusia merupakan pematangan dari kepercayaan (Adib, 2011).
3. Wahyu
Arti Wahyu secara umum adalah bisikan, isyarat atau petunjuk, ilham, perintah,
perundingan rahasia. Dalam Syara’, wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh Nabi
atau Rasul, yang berasal dari Allah dengan perantara/tidak melalui perantara (malaikat,
mimpi, indera, lonceng). Manusia tidak akan mengetahui hakikat wahyu secara pasti.
Upaya untuk menemukan kebenaran Non Ilmiah dapat terlaksana dengan berbagai cara
diantaranya :
1. Penemuan secara kebetulan
Penemuan yang berlangsung tanpa disengaja. Penemuan secara kebetulan ini juga
berguna walaupun terjadinya tidak secara ilmiah, tidak sengaja dan tanpa rencana. Cara
ini dapat diterima dalam metode keilmuan untuk menggali pengetahuan.
2. Penemuan “coba dan ralat” (trial and error)
Penemuan trial and error terjadi tanpa kepastian akan berhasil atau tidak berhasil
kebenaran yang akan dicari itu. Memang ada aktivitas mencari kebenaran, tetapi
aktivitas itu mengandung unsur spekulatif atau “coba-beruntung”
3. Penemuan melalui otoritas atau kewibawaan
Pendapat orang yang memiliki kewibawaan, misalnya orang-orang yang memiliki
kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu
tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah (Hartanto, 1990).

2.3.3 Tabel kebenaran

Pada Logika matematika, tabel kebenaran adalah tabel di dalam matematika yang
dipakai untuk melihat nilai kebenaran pada suatu premis ataupun pernyataan. Jika hasil akhir
ialah benar semua (dilambangkan dengan B, T, atau 1) maka disebut Tautologi. Akan tetapi
jika salah semua (S, F, atau 0) maka disebut kontradiksi. Premis hasil akhirnya gabungan
benar dan salah disebut kontingensi.

1. Tabel Kebenaran Ingkaran (Negasi)


Ingkaran atau negasi adalah suatu kebalikan atau lawan dari suatu pernyataan.
Untuk pernyataan negasi diberi simbol “ ~ “
2. Tabel Kebenran Konjungsi
Konjungsi merupakan gabungan dari dua pernyataan tunggal dengan memakai kata
hubung “dan”. Simbol dari konjungsi adalah “ ˆ “. Jika nilai kedua pernyataan itu
adalah benar, maka nilai kebenaran konjungsi kedua prnyataan itupun benar, namun
apabila ada salah satu pernyataan salah, maka nilai konjungsi kedua pernyataan itupun
memiliki nilai salah.
3. Tabel Kebenaran Disjungsi
Disjungsi adalah gabungan dari dua pernyataan tunggal dan yang menggunakan
kata hubung “ atau “. Simbol dari disjungsi adalah “ ˇ “. Dalam menentukan nilai
kebenaran disjungsi juga mempunyai aturan yaitu andai salah satu dari dua pernyataan
memiliki nilai benar, maka nilai kebenaran disjungsi dari kedua pernyataan itu adalah
benar, namun apabila kedua pernyataan tersebut memiliki nilai salah, maka nilai
kebenaran disjungsi pun bernilai salah.
4. Tabel Kebenaran Implikasi
Implikasi adalah gabungan dari dua pernyataan tunggal dengan kata hubung “ jika
“ dan “ maka “. Simbol dari implikasi yaitu “ → “. Jika nilai pernyataan kedua dari dua
pernyataan memiliki nilai benar dan jika kedua pernyataan bernilai sama baik itu benar
ataupun salah, jadi nilai kebenaran implikasi yaitu benar. Namun apabila nilai kedua
pernyataan keduanya salah, maka nilai kebenaran implikasi dari dua pernyataan
tersebut memiliki nilai salah.\
5. Tabel Kebenaran Biimplikasi
Biimplikasi adalah gabungan dari dua pernyataan tunggal dengan kata hubung “
jika dan hanya jika, maka “. Simbol dari biimplikasi yaitu “ ↔ “. Jika kedua
pernyataan sama, maka nilai kebenaran biimplikasi bena, begitupun sebaliknnya andai
nilai salah satu dari pernyataan bernilai salah maka nilai dari kebenaran biimplikasi dari
kedua pernyataan tersebut adalah salah.
6. Tabel Kebenaran Negasi Konjungsi
Pada tabel kebenaran negasi konjungsi ini berlaku negasi dari p ^ q ekuivalen dengan
~pˇ~q.
7. Tabel Kebenaran Negasi Disjungsi
Nilai kebenaran disjungsi berlaku negasi dari pˇq ekuivalen dengan ~p ^ ~q.
8. Tabel Kebenaran Negasi Implikasi
Nilai kebenaran negasi implikasi ialah negasi dari p → q ekuivalen dengan p ^ ~q
9. Tabel Kebenaran Negasi Biimplikasi
Negasi dari p ↔ q ekuivalen dengan (p ^ ~q) ˇ (q ^ ~p)

Hubungan dari Nilai Kebenaran dapat dilihat dalam tabel 2.2 di bawah.
Tabel 2.5 Tabel Kebenaran
2.4 Skill Bernalar Ilmiah (Scientific Reasoning Skills) dan Cara Mengembangkannya

2.4.1. Perkembangan keterampilan bernalar ilmiah

Perkembangan manusia dalam hal keterampilan bernalar ilmiah dibagi ke dalam 4


periode oleh Piaget, sebagaimana dijelaskan dalam table di bawah ;(Crain, 2007)

Tabel 2.6 Periode Perkembangan Penalaran Ilmiah Manusia oleh Piaget

2.4.1.1 Periode I. Kepandaian sensori motorik (lahir – 2 tahun)

Periode pertama perkembangan Piaget terdiri atas enam tahapan yaitu ,(Crain, 2007)

 Tahap 1 (lahir-1 bulan) : penggunaan refleks-refleks


 Tahap 2 (1-4 bulan) : reaksi-reaksi sirkuler primer
 Tahap 3 (4-10 bulan) : reaksi-reaksi sirkuler sekunder
 Tahap 4 (10-12 bulan) : koordinasi skema-skema sekunder
 Tahap 5 (12-18 bulan : reaksi-reaksi sirkuler tersier
 Tahap 6 (18 bulan-2 tahun) : permulaan berpikir
Selama tahap 1 dan 2, bayi-bayi tidak memiliki konsepsi objek apapun diluar mereka.
Namun begitu, di tahap 3 bayi menjadi tertarik pada dunia eksternal. Jika sebuah objek
dijatuhkan dihadapan bayi, mereka sekarang akan melihat ketempat dimana objek itu jatuh.
Tahap 4 menandai awal pengertian sejati permanensi objek. Bayi-bayi sekarang dapat
menemukan objek-objek yang tersembunyi sepenuhnya. Ditahap 5, anak-anak bisa mengikuti
serangkaian pemindahan, namun selama mereka melihat kita melakukannya. Baru pada tahap
6 anak-anak dapat mengikuti serangkaian pemindahan yang tidak tampak.(Crain, 2007)

2.4.1.2 Periode II dan III. Pikiran pra-operasional (2-7 tahun) dan operasi berpikir
konkret (7-11 tahun)

Diakhir periode sensori motorik anak telah mengembangkan tindakan yang efisien
dan terorganisasikan dengan baik untuk menghadapi lingkungannya di hadapannya. Anak
terus menggunakan kemampuan sensori motorik di seluruh kehidupannya, meskipun terjadi
perubahan yang cukup besar. Peikiran anak berkembang cepat ke sebuah tataran baru yaitu
simbol-simbol. Akibatnya anak harus mengorganisasikan seluruh pemikirannya sekali lagi.
Namun hal ini tidak bisa dilakukan sekaligus. Untuk beberapa saat, selama seluruh periode
pra- operasional, pikiran anak pada dasarnya tidak sistematis dan logis. Baru pada usia tujuh
tahun atau lebih, yaitu permulaan berpikir konkret, pemikiran jadi terorganisasikan di atas
sebuah landasan mental.(Crain, 2007)

Dalam periode ini terdapat ciri perkembangan yang dapat diuraikan sebagai berikut:
(Crain, 2007)

 Pertumbuhan aktivitas simbolik


Anak mulai menggunakan simbol ketika mereka menggunakan sebuah objek untuk
merepresentasikan sesuatu yang tidak hadir. Salah satu sumber utama simbol ini adalah
bahasa, yang berkembang cepat selama tahun-tahun pra operasional awal (2-4 tahun).
Lewat bahasa mereka dapat menghidupkan kembali masa lalu, mengantisipasi masa
depan, dan mengkomunikasi peristiwa kepada orang lain. Namun karena pikiran anak
kecil cepat berkembang, mereka belum dapat memiliki sifat logis yang koheren. Hal ini
terlihat dalam penggunaan kata-kata.
 Penalaran ilmiah
Salah satu eksperimen Piaget yang paling kontroversi adalah pengkonservasian
kuantitas-kuantitas (beda cair) yang bersambungan. Anak-anak umunya mencapai
pengkonservasian benda cair kira-kira pada usia 7 tahun. Mereka sedang memasuki
tahapan berpikir konkret. Penting untuk dicatat bahwa operasi berpikir adalah suatu
tindakan mental. Anak sedang membawa pengkompensasian dalam pikirannya. Anak
tidak sungguh-sungguh melakukan transformasi yang dibicarakannya. Transformasi
yang dilakukan mirip dengan yang dimiliki bayi namun sekarang lebih berlangsung di
tataran internal.
 Pemikiran sosial
Dalam pemikiran sosial ini terdapat egosentrisme, penilaian moral, keberjiwaan, dan
mimpi-mimpi. Egosentrisme, mengacu pada ketidakmampuan untuk membedakan
perspektifnya sendiri dari perspektif orang lain. Namun begitu, bukan berarti tidak
mengandung pementingan diri atau kesombongan. Penilaian moral, menurut Piaget ada
dua sikap moral mendasar ; (1) karakteristik anak yang lebih muda usianya adalah
heteronomi moral, sebuah kepatuhan membuta pada aturan-aturan yang dipaksakan
orang dewasa. Anak berasumsi bahwa terdapat sebuah hukum dasyat yang mesti
mereka ikuti. Pemikiran ini berasal dari anak yang lebih tua usianya, disebut otonomi
moral, menganggap aturan-aturan sebagai piranti manusia yang diproduksi oleh
kesetaraan semata-mata demi kerja sama. Keberjiwaan , Piaget melukiskan cara-cara
lain yang didalamnya pikiran anak-anak kecil berbeda dari anak yang lebih besar dan
orang dewasa. Anak muda tidak membuat perbedaan yang sama antara benda hidup dan
tidak hidup seperti yang biasanya dilakukan orang dewasa. Mimpi-mimpi, anak kecil
memandang mimpi berdasarkan pentahapan tertentu. Mulanya anak-anak percaya kalau
mimpi itu nyata. Segera sesudahnya, anak-anak menemukan kalau mimpi itu tidak
nyata, namun mereka masih melihat mimpi dengan cara yang agak berbeda dari anak-
anak yang lebih besar atau orang dewasa melihatnya.(Crain, 2007)

2.4.1.3 Periode IV. Operasi-operasi Berpikir Formal (11 tahun- dewasa)

Ditahapan operasi berpikir konkret anak-anak dapat berpikir sistematis berdasarkan


‘tindakan-tindakan mentalnya’. Namun begitu, ada keterbatasan dalam kemampuan ini.
Mereka bisa berpikir logis dan sistematis hanya selama mengacu pada objek-objek yang bisa
diindera yang tunduk pada aktivitas riil.(Crain, 2007)

Selama operasi-operasi berpikir formal, sebaliknya, pemikiran membumbung tinggi


ke wilayah abstrak murni dan hipotesis. Kemampuan bagi penalaran abstrak bisa dilihat
pada
respon-respon kepada pertanyaan-pertanyaa. Sama seperti periode lainnya, Piaget
memperkenalkan model logiko-matematis untuk melukiskan operasi berpikir formal. Model-
model ini dalam beberapa hal mirip dengan yang diterapkan pada tingkat-tingkat
perkembangan sebelumnya, namun sekaligus melampauinya.(Crain, 2007)

2.4.2 Mengembangkan keterampilan bernalar ilmiah

Mengembangkan penalaran ilmiah dalam ranah pendidikan memiliki banyak


perspektif berkenaan dengan proses perkembangan, metode pengajaran pendidikan sains,
evaluasi terhadap literasi ilmiah, dan lain sebagainya.(Barz and Achimaș-Cadariu, 2015)

Pendekatan pendidikan yang pertama, lebih berfokus pada interaksi antara berbagai
aspek penalaran ilmiah kolaboratif, ketimbang menganalisis produk dari pemikiran individual
(Dunbar and Fugelsang, 2005). Pandangan tentang pengembangan penalaran ilmiah ini
spesifik untuk teori pendidikan konstruktivis, dimana menurut teori ini, pembelajaran lebih
merupakan proses aktif dibandingkan mekanisme independen untuk memperoleh
pengetahuan. Menurut teori ini, mengembangkan keterampilan penelitian ilmiah pada siswa
terutama dilakukan dengan cara mengubah keyakinan mereka agar sejalan dengan prinsip-
prinsip ilmiah yang dipikul oleh masyarakat. Konstruktivisme memberikan dasar filosofis
untuk perubahan konseptual untuk membangun keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan
juga dalam pendidikan kedokteran(Colburn, no date; Maudsley and Strivens, 2000).

Pendekatan pendidikan kedua menempatkan lingkungan belajar sebagai dasar otentik


untuk mengembangkan keterampilan penalaran pada siswa. "Teori pembelajaran
situatif"(Lave, 1991) menawarkan pendekatan instruksional, dimana siswa cenderung
diarahkan untuk belajar dengan cara berpartisipasi aktif dalam pengalaman belajar. Perspektif
ini mengklaim bahwa pengetahuan prosedural dapat diperoleh dari pemecahan masalah; siswa
belajar dari pengalaman orang lain dalam memecahkan permasalahan yang sama (Patel et al.,
2009).

Teori lainnya, yang berusaha memberikan landasan untuk pengembangan


keterampilan penalaran ilmiah dalam pendidikan, berhubungan dengan perspektif kognitif.
Teori Adaptive Character of Thought (ACT-R), yang dikembangkan oleh Anderson [10],
mengusulkan bahwa kognisi muncul dari interaksi antara pengetahuan prosedural dan
deklaratif. Pengetahuan prosedural terdiri dari production rules, yang mewakili pertanyaan
"bagaimana", sedangkan
pengetahuan deklaratif terdiri dari fakta, yang mewakili pertanyaan "apa".Menurut teori
ACT- R, “kognisi manusia tergantung pada jumlah pengetahuan yang dikodekan dan
penyebaran efektif dari pengetahuan yang dikodekan tersebut ”(Anderson, 1996; Koedinger
and Anderson, 1998).

Sebagai upaya untuk mengintegrasikan peran memori ke dalam teori dan praktik dari
pendidikan, Sweller dan Chandler (Chandler and Sweller, 1991) mengusulkan Teori Beban
Kognitif/ Cognitive Load Theory (CLT). CLT menyebutkan bahwa komponen dari
pengajaran yang efektif akan memfasilitasi pembelajaran melalui kegiatan-kegiatan terarah
yang relevan, sedangkan model pembelajaran yang tidak efektif mengakibatkan peserta didik
mengintegrasikan informasi yang berbeda, serta dari sumber terpisah, yang akan
menghasilkan beban kognitif yang berat. Berdasarkan temuan penelitian Sweller dan handler,
pada area-area dimana akuisisi pengetahuan kompleks diperlukan dalam asimilasi lebih dari
dua sumber informasi, model pengajaran konvensional seharusnya diganti dengan desain
instruksional terintegrasi.

Singkatnya, pengembangan penalaran ilmiah dalam pendidikan kedokteran dapat


ditelusuri melalui dua pengaruh utama ini: teori belajar kognitif, yang berfokus pada proses
kognitif individu, dan teori pembelajaran konstruktivis, yang berfokus pada interaksi dalam
lingkungan pendidikan. Kedua perspektif ini memberikan kontribusi yang berharga dalam
desain dan implementasi metode pendidikan(Lave, 1991).
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Manfaat dari penalaran ilmiah
adalah untuk memberikan kerangka berpikir yang melingkupi proses pemahaman untuk
pikiran ilmiah (scientific mind) dan untuk pengujian hipotesis. Model Hypothesis-deductive
adalah salah satu model yang digunakan untuk penalaran ilmiah dan penelitian.
Perkembangan manusia dalam hal keterampilan bernalar ilmiah dibagi ke dalam 4 periode
oleh Piaget. Mengembangkan penalaran ilmiah dalam ranah pendidikan memiliki banyak
perspektif berkenaan dengan proses perkembangan, metode pengajaran pendidikan sains,
evaluasi terhadap literasi ilmiah, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Adib, H. M. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II, halaman: 26.

Anderson, J. 1996. ‘ACT: A simple theory of complex cognition’, American Psychologist, 51,
pp. 355–365.

Angles, P. L. 1981. A Dictionary of Philosophy. London: Harper & Row Publishers. Halaman:
40.

Barz, D. L. and Achimaș-Cadariu, A. 2015. ‘The Development of Scientific Reasoning in


Medical Education: A Psychological Perspective’, Medicine and Pharmacy Reports,
89(1), pp. 32–37. doi: 10.15386/cjmed-530.

Britten, N., Stevenson, F.A., Barry, C.A., Barber, N., Bradley, C.P. 2000. Misunderstandings
in prescribing decisions in general practice: qualitative study. British Medical Journal;
320:484-488.

Chalmers, A.F. 1983. What is This Thing Called Science (Apa itu yang Dinamakan Ilmu), terj.
Redaksi Hasta Karya. Jakarta: Hasta Karya.

Chandler, P. and Sweller, L. 1991. ‘Cognitive Load Theory and the Format of
Instruction, Cognition and Instruction’, 8(4), pp. 293–332.

Colburn, A. ‘Constructivism: Science Education’s “Grand Unifying Theory”’, Clearing


House, 74(1), pp. 9–12.

Crain, William. 2007. Theories of Development, Concepts and Applications (third ed.).
Trans Yudi Santoso. Yogyakarta:Penerbit Pustaka Pelajar.

Dunbar, K., & Fugelsang, J. 2005. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J. Holyoak & R.
G. Morrison (Eds.), The Cambridge handbook of thinking and reasoning (pp. 705-
725). New York, NY, US: Cambridge University Press.

Dunbar, K., & Klahr, D. 2012. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J. Holyoak & R. G.
Morrison (Eds.), The Oxford Handbook of Thinking and Reasoning. Oxford
University Press,. Retrieved 20 Jul. 2019, from
https://www.oxfordhandbooks.com/view/10.1093/oxfordhb/9780199734689.001.000
1/oxfordhb-9780199734689-e-35.

Glebbeek, A.C., Bax, E.H. 2004. Is high employee turnover really harmful? An empirical
test using company records. Academy of Management Journal;47(2):277-286.

Hadi, H. 1997. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius. Halaman: 35.

Haakim, A., dkk. 2012. Konsep Dasar Berfikir Ilmiah dengan Penalaran Deduktif, Induktif,
dan Abduktif. Semarang: Universitas Diponegoro.
Hartanto, K., dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press. Halaman: 25-27.

Hemant, D., Kathy, R. 2007. A research framework in banking studies: Researching


and writing articles a researcher’s odyssey. The Business Review, Cambridge.

Khemlani, S.S., Byrne, R.M. and Johnson‐ Laird, P.N., 2018. Facts and Possibilities: A
Model‐ Based Theory of Sentential Reasoning. Cognitive science, 42(6),
pp.1887- 1924.

Klahr, D., & Dunbar, K. 1988. Dual space search during scientific reasoning. Cognitive
Science, 54, 1–48.

Klahr, D., & Simon, H. 1999. Studies of scientific discovery: Complementary approaches
and convergent findings. Psychological Bulletin, 54, 524–543.

Koedinger, K. and Anderson, J. 1998. ‘Illustrating principled design: The early evolution of
a cognitive tutor for algebra symbolization’, Interactive Learning Environments, 5,
pp. 161–180.

Komarudin. 2014. FALSIFIKASI KARL POPPER DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA


DALAM KEILMUAN ISLAM, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2.

Langevald, M. J. Op Weg Noor Weijsgering Denban, alih bahasa G.J. Claessen, “Menuju ke
Pemikiran Filsafat”. Jakarta: Pembangunan. Halaman: 35.

Lave, J. 1991. ‘Situating Learning in Communities of Practice.’, in Situated Learning


Legitimate Peripheral Participation. Cambridge University Press, pp. 63–82.

Lewis, R.W. 1998. Biology: A hypothetico-deductive science. The American Biology


Teacher.; 50(6):362-366.

Maslikhah dan Susapti, P. 2013. Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta: Ombak. Halaman: 46-47.

Maudsley, G. and Strivens, J. 2000. ‘Promoting professional knowledge, experiential


learning and critical thinking for medical students’, Med Educ, 34(7), pp. 535–544.

Meyer, C.B., Altenborg, E. 2007. The disintegrating effects of equality: a study of a


failed international merger. British Journal of Management.;18:257-271.

Moutafi, J., Furnham, A., Crump, J. 2007. Is managerial level related to personality? British
Journal of Management; 18:272-280.

Muslih, Mohamad. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma
dan KerangkaTeori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2. Yogyakarta: Belukar.

Patel, V. et al. 2009. ‘Cognitive and learning sciences in biomedical and health
instructional design: A review with lessons for biomedical informatics education’, J
Biomed Inform, 42(1), pp. 176–197.
Popper, Karl R. 2008. The Logic of Scientific Discovery (Logika Penemuan Ilmiah), terj.
Saut Pasaribu & Aji Sastrowardoyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pratiwi. 2012. PENALARAN DAN MACAM-MACAM PENALARAN. Cited from :


http://pratiwi-19.blogspot.com/2012/03/penalaran-dan-macam-macam-
penalaran_06.html. 1 21 Juli 2019

Simon, H. A., Langley, P., & Bradshaw, G. L. 1981. Scientific discovery as problem solving.
Synthese, 54, 1–27.

Suhasti, E. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Prajnya Media. Cet I, halaman: 69.

Suriasumantri, J. S. 1991. Mencari Alternatif Pengetahuan Baru, dalam; A.M. Saifuddin,

et.al.,
“Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi”. Bandung: Mizan. Halaman: 16.

Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. Halaman: 135-137.

White, R. A. 1970. Truth; Problem in Philosophy. New York: Doubledaly & Company

Anda mungkin juga menyukai