net/publication/321885365
CITATIONS READS
0 5,252
2 authors, including:
Sokhi Huda
UIN Sunan Ampel Surabaya
86 PUBLICATIONS 8 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Sokhi Huda on 03 February 2018.
Sokhi Huda
A.M. Moefad
Copy Right @ 2011, IAIN Sunan Ampel Surabaya Press (IAIN SA Press)
Hak cipta dilindungi undang-undang
All Rights Reserved
ISBN 978-602-9329-27-0
Diterbitkan oleh;
IAIN Sunan Ampel Press
Gedung SAC IAIN Sunan Ampel Lt.2 Jl. A. Yani No. 117 Surabaya
e-mail: sunanampelpress@yahoo.co.id
ii
KATA PENGANTAR
iii
Dengan kadar isi dan model penyajiannya buku ini
dimaksudkan sebagai salah satu referensi yang bersifat
instrumental bagi siapa saja yang bermaksud mengkaji dan
mendalami ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, untuk
dinamika keilmuan, buku ini niscaya harus senantiasa terbuka
terhadap segala bentuk kritik dan saran, untuk revisi dan
pengembangan lebih lanjut.
Demikian, editor ucapkan “Selamat berstudi logika saintifik.
Semoga sukses dan bermanfaat. Amin!”
iv
DAFTAR ISI
v
BAB VI : IDEOGENESIS DAN ABSTRAKSI
A. Ideogenesis .................................................................................. 81
B. Abstraksi ...................................................................................... 82
C. Ideogenesis dan Abstraksi dalam Telaah Teori Pengetahuan .. 86
BAB VII : HUBUNGAN BAHASA DAN PIKIRAN
A. Bahasa dan Pikiran .................................................................... 91
B. Gerak Pikiran dan Bahasa terhadap Sistem dan Konsep ... 93
C. Studi Bahasa dalam Metodologi Kontemporer .................. 94
BAB VIII : IDEA ATAU KONSEP
A. Pengantar ..................................................................................... 97
B. Pengertian .................................................................................... 100
1. Wilayah dan Isi Pengertian ................................................. 101
2. Macam-Macam Pengertian ................................................ 102
3. Pembatasan (Definisi) ......................................................... 106
C. Komposisi Konsep ................................................................... 111
D. Konsep dan Teori dalam Ilmu ............................................... 113
BAB IX : SISTEMATIKA KERJA AKAL
A. Pengertian Sistematika Kerja Akal .......................................... 121
B. Unsur-Unsur Sistematika Kerja Akal ...................................... 121
BAB X : KEPUTUSAN (PROPOSISI)
A. Keputusan sebagai Unsur Pemikiran ..................................... 131
B. Macam-Macam Proposisi ........................................................ 133
C. Pembagian Proposisi ................................................................ 135
D. Oposisi Proposisi ...................................................................... 137
BAB XI : PEMIKIRAN DAN BENTUK-BENTUKNYA
A. Pengertian dan Hakikat Pemikiran.......................................... 143
B. Bentuk-Bentuk Pemikiran ........................................................ 144
1. Penalaran Induksi ................................................................. 144
2. Penalaran Deduksi ............................................................... 146
a. Deduksi Langsung ......................................................... 147
b. Deduksi Tidak Langsung (Silogisme) ........................ 151
vi
BAB XII : KESALAHAN BERPIKIR
A. Persoalan dan Bentuk-Bentuk Kesalahan Berpikir .............. 163
B. Kerancuan Pola-Pikir dalam Memperlakukan Realitas (Masalah) Sosial 167
BAB XIII : SEKILAS FILSAFAT ILMU: PENGENALAN;
SEJARAH ILMU DAN MODEL-MODEL KEMAJUANNYA
A. Pendahuluan ............................................................................. 171
B. Ilmu dan Filsafat Ilmu .............................................................. 174
C Sekilas Teleskop Sejarah Ilmu .................................................. 175
D. Ilmu dan Realitas dalam Sejarah Ilmu ................................... 179
E. Model-Model Kemajuan Ilmu................................................ 180
F. Kemajuan Ilmu-Ilmu Keislaman ............................................ 189
BIBLIOGRAFI ............................................................................. 195
BIODATA PENULIS................................................................... 201
vii
Daftar Skema:
Skema 1 : Komponen Logika ............................................ 84
Skema 2 : Komposisi Konsep ............................................ 94
Skema 3 : Konsep dan Teori dalam Ilmu ......................... 99
Skema 4 : Rumus Pembagian .............................................. 103
Skema 5 : Gerak Argumentasi ............................................ 108
Skema 6 : Proposisi Kategoris ............................................ 113
Skema 7 : Falsifikasionisme Popper ................................... 154
Skema 8 : Development of Science Kuhn ................................. 155
Daftar Gambar:
Gambar 1: Bagan Ilmu Pengetahuan ................................... 17
Gambar 2: Rumus Pembuktian Oposisi Proposisi ........... 117
Gambar 3: Model-Model Prototipe Hubungan antara
Tuhan, Alam, dan Manusia ................................ 149
Gambar 4: Model-Model Prototipe Hubungan antara
Ilmu, Filsafat, dan Agama ................................. 150
Gambar 6: Program Riset Lakatos ...................................... 157
viii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN LOGIKA
Dardiri mengemukakan, bahwa perkataan “logika”, yang
disebut juga dengan istilah “mantiq”, diturunkan dari kata sifat
“logike”, bahasa Yunani, yang berhubungan dengan kata benda
“logos”, yang berarti pikiran atau perkataan sebagai pernyataan
dari pikiran itu.1 M. Taib Thahir Abd. Mu’in juga sepakat, bahwa
logika berasal dari bahasa Yunani “logos”. Namun ia mengartikannya
dengan kata –bukan perkataan sebagaimana ajuan Dardiri—
dan pikiran yang benar.2 Ini membuktikan bahwa ternyata ada
hubungan erat antara pikiran dan kata atau perkataan yang
merupakan pernyataan dalam bahasa (kata atau perkataan).
Dari penjelasan tersebut, secara etimologis (kebahasaan)
dapat dinyatakan bahwa logika adalah bidang penyelidikan yang
membahas pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
1
Dardiri, Humaniora, Filsafat, dan Logika, (Jakarta: Rajawali, Cet.I, 1986), h. 26.
2
M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq, (Jakarta: Wijaya, 1993), h. 16.
3
Irving M. Copy, Introduction to Logicy (New York: Macmillan, 1972), h. 1.
2 Logika Saintifik
4
Susanne K. Langer, sebagaimana dikutip oleh Dardiri, Humaniora...., h.
26.
Pendahuluan 3
5
Alex Lanur OFM, Logika Selayang Pandang (Yogyakarta: Kanisius: Cet. XI,
1995), h. 7.
6
Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 16.
4 Logika Saintifik
7
Beberapa teori pengetahuan adalah: Rasionalisme, Empirisisme,
Positivisme, Intuisionisme (dalam Islam disebut teori “Kashf“). Periksa Ahmad
tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai James (Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset, 1990), h. 21-30.
Pendahuluan 5
1. Logika Naturalis
Sejak manusia mulai melakukan kegiatan berpikir, saat itulah
ia mempraktikkan hukum-hukum atau aturan-aturan berpikir,
meskipun belum disadarinya. Sejak manusia ada secara potensial,
manusia sudah berlogika dan termanifestasikan sejak budi
manusia berfungsi sebagaimana mestinya. Namun kemampuan
berlogika seperti itu hanya merupakan bawaan kodrat manusia
(kodratiah), masih sangat sederhana, sehingga disebut logika
naturalis. Misalnya: manusia dengan logika naturalisnya
mengetahui bahwa hujan menurunkan air, kemudian di sisi lain
ia mengetahui bahwa tanah menjadi basah jika terkena air.
Dengan dua pengetahuannya itu, secara naturalis manusia dapat
berlogika bahwa jika ada hujan, maka tanah yang terkena hujan
menjadi basah.
Secara potensial, akal budi manusia dapat bekerja menurut
hukum-hukum logika dengan cara yang spontan, terbatas pada
hal-hal yang bersifat badihi (sederhana, tanpa memerlukan
pemikiran). Akan tetapi dalam hal-hal yang rumit, yang berskala
nazari (memerlukan pemkiran), baik akal budinya maupun
seluruh diri manusia dapat, dan nyatanya dipengaruhi oleh
8
Dardiri, Humaniora..., h. 27.
9
Lanur, Logika ..., h. 8.
8 Logika Saintifik
2. Logika Artifisialis
Meskipun potensi manusia telah memiliki kemampuan
menggunakan logika, tetapi kadang kala dapat tersesat apabila
memikirkan masalah-masalah yang rumit. Untuk menolong
manusia dalam berpikir agar tidak sesat, maka manusia membuat
logika buatan (artifisialis/ilmiah). Jadi, logika artifisialis dilahirkan
oleh sekurang-kurangnya tiga penyebab, yakni:
a. kemampuan berlogika secara alami yang sangat terbatas,
b. permasalahan yang dihadapi manusia semakin kompleks,
dan
c. tampilnya keinginan-keinginan, kepentingan-kepentingan,
atau pengaruh-pengaruh tertentu yang dapat merusak
potensi logika manusia.
Logika ilmiah pada dasarnya membantu logika kodratiah.
Logika artifisialis memperhalus, mempertajam pikiran serta akal
budi manusia, sehingga dengan bantuan logika artifisialis,
manusia dapat berpikir dengan tepat, teliti, lebih mudah dan
lebih aman. Pada giliran berikutnya, kesesatan dapat
dihindarkan, atau paling tidak dapat dikurangi.
Pendahuluan 9
10
Bandingkan dengan Walter L. Wallace, Metode Logika Ilmu Sosial (The
Logic of Science in Sociology), terj. Ali Mandan (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. II,
1994), h. v.
Pendahuluan 13
12
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: penerbit Ar-
Ruzz, 2005), h. 81.
Pendahuluan 15
13
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, h. 5.
14
J.B. Major Polah, Sosiologi Suatu Pengantrar Ringkas, (Cet. IX, 1979)
16 Logika Saintifik
15
Amir Dien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha
Nasional), h. 14.
Pendahuluan 17
GAMBAR 1:
BAGAN ILMU PENGETAHUAN
Se b agai Prose s:
Ak tivitas Pe ne litian
Se b agai Prod uk :
Pe nge tah uan Siste m atis
20
Ibid., h. 15.
Pendahuluan 21
23
Nasution, Metode Penelitian Kualitatif, (1996), h. 9-12.
Pendahuluan 23
24
Bagus, Kamus Filsafat, h. 307-308.
24 Logika Saintifik
25
Ismaun, Filsafat Ilmu, (Bandung: UPI Bandung, 2001).
26
Eugene Meehan, sebagaimana dikutip oleh Kerneth R. Hoover, Unsur-
Unsur Pemikiran Ilmiah dalam Ilmu-Ilmu Sosial, terj. Hartono, (Yogyakarta: PT
Tiara Wacana Yogya,Cet.II, 1990), h. 37.
Pendahuluan 25
27
A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan ilmu?, terj. Redaksi Hasta Mitra
(Jakarta: Hasta Mitra, 1983), h. 1. Sebagai tambahan informasi, tulisan Chalmers
ini berkomposisi perkenalan yang sederhana, tetapi mendalam, tentang
pemikiran filsafati mengenai cara kerja dan ciri khas ilmu-ilmu modern. Topik-
topik yang dibahasnya adalah: Induktivisme, Falsifikasionisme, Rasionalisme
lawan Relativisme, Objektivisme, Realisme, dan Instrumentalisme. Masing-
masing isme disajikannya dengan kritik yang tajam terhadapnya. Sedangkan
materi bahasannya difokuskan pada ilmu pengetahuan alam.
26 Logika Saintifik
28
Khusus tentang ‘strategi ilmiah’, bandingkan dengan Hoover, Unsur-
Unsur Pemikiran Ilmiah ....., h. 39.
29
Ibid., h. 38.
Pendahuluan 27
30
David Easton, The Political System (New York, 1953), h. 53, sebagaimana
dikutip oleh Hoover, Unsur-Unsur Pemikiran Ilmiah…h. 38.
31
Bandingkan dengan Hoover, Unsur-Unsur Pemikiran Ilmiah…h. 38.
28 Logika Saintifik
32
Ibid., h. 39-52. Secara universal-konseptual, tawaran Hover tentang unsur-
unsur strategi ilmu itu dapat diterima, meskipun dalam penjelasan masing-
masing dari ketiga unsur strategi itu, Hover lebih cenderung menggunakan
konteks pendekatan (paradigma) kuantitatif. Indikasinya adalah dimasukkannya
aspek ‘mengoperasional pengubah’ sebagai salah satu dari ketiga aspek dalam
unsur ‘merenungkan masalah’, untuk pengukuran (measurement) terhadap fakta.
Sedangkan dua aspek lainnya adalah ‘fokus’ dan ‘pembentukan hipotesis’.
Gaya kuantitatif (pengukuran) tersebut juga digunakan untuk menjelaskan
dua unsur lainnya, yaitu: ‘uji realitas’ dan ‘memahami hasil-hasilnya’.
Pendahuluan 29
33
Transferability adalah satu dari keempat kriteria yang digunakan untuk
menilai keabsahan data. Ketiga kriteria lainnya adalah credibility (derajat
keterpercayaan, yang dapat disejajarkan dengan konsep validitas internal dalam
penelitian kuantitatif); dependibility (kebergantungan pada konteks, dapat
Pendahuluan 31
Artinya:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur”.
(Q.S. al-Nahl [16]: 78)
Ayat al-Qur’an di atas pada tahap awal berkenaan secara
langsung dengan substansinya tentang sarana mencari ilmu,
sebagaimana dinyatakan secara ekspresif oleh Yusuf Qardhawi,
sebagai titel sub bahasan bukunya.34 Akan tetapi dalam hemat
penulis, jika diperhatikan lebih jauh, dari ayat tersebut dapat
diperoleh pemahaman tentang metode dan strategi mencari ilmu.
Pertama, metode mencari ilmu. Dalam pemahaman penulis,
kata-kata firman Tuhan yang mengisyaratkan metode mencari
34
Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,
terj. Abdul Hayyie al-Kattani, at. al., (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 260.
Pendahuluan 33
b. Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah sebagai fondasi bagi lahirnya karya ilmiah
adalah sebagai berikut:
1) sikap ingin tahu terhadap berbagai hal yang dihadapinya,
2) sikap kritis dan analitis untuk menemukan berbagai jawaban
yang ada di balik fakta yang dihadapinya,
3) sikap terbuka terhadap berbagai pandangan lain yang
berbeda dengan pandangan dan pendiriannya,
4) sikap objektif; melihat dan menyatakan sesuatu secara apa
adanya, tidak dikuasai oleh pikiran-pikiran atau perasaan-
perasaannya sendiri, dan tidak dipengaruhi oleh prasangka
pribadi.
5) sikap rela menghargai karya orang lain, termasuk kejujuran
dalam hal kutipan,
6) sikap berani menyatakan dan mempertahankan kebenaran,
7) sikap menjangkau ke depan, sehingga pengkajian ilmu,
termasuk penulisan karya ilmiah, merupakan suatu
kebutuhan bagi jangkauan ke depannya itu.
Pendahuluan 37
6. Bahasa Ilmiah
Bahasa dalam dunia ilmu pengetahuan berposisi strategis,
karena sebuah istilah dalam ilmu bukan sekadar kata. Ia
merepresentasi kebenaran tentang realitas. Kebenaran bukan
milik pribadi seseorang, tetapi milik kebenaran itu sendiri. Untuk
kebenaran inilah bahasa ilmiah memeroleh amanat universal.
Dalam studi komunikasi ada pameo, bahwa bahasa, sebagai
media pernyataan, telah ada setua usia manusia. Kemudian ada
ungkapan kunci: “tiada pikiran dan bahasa tanpa realitas, dan
tiada realitas tanpa pikiran dan bahasa”. Ungkapan terakhir ini
muncul dalam subjek tentang bahasa dalam relevansinya dengan
realitas, pikiran, dan ilmu.
Sedangkan ilmu merupakan penjelasan tentang realitas
perilaku dunia. Penjelasan tersebut diwakili oleh teori-teori
ilmu37. Penjelasan tentang realitas itu menggunakan bahasa. Di
sinilah peran bahasa menjadi sentral dalam ilmu, untuk membuat
realitas itu menjadi nyata; untuk membuat penjelasan ilmiah
itu menjadi mungkin. Meskipun demikian, bahasa yang
digunakan dalam penjelasan ilmiah merupakan produk pikiran
manusia. Di sinilah muncul persoalan tentang konstruksi pikiran
dan sikap manusia yang disyaratkan dapat menyesuaikan diri
dengan karakter ilmu, sehingga bahasa yang diproduknya
bersifat ilmiah.
Kemudian dalam konteks kekinian (era kontemporer),
terutama sejak paruh pertama abad ke-20, bahasa tidak hanya
dijadikan sebagai media pernyataan tentang realitas sebagaimana
37
Hoover, Unsur-Unsur Pemikiran Ilmiah…, h. 28, menjelaskan bahwa tanpa
peran teori, tidak akan ada ilmu, dan berbagai ahli menegaskan tidak akan ada
juga realitas yang dapat dimengerti.
38 Logika Saintifik
38
Bandingkan dengan Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika
Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 74, yang engemukakan macam-
macam studi bahasa.
39
Lihat Asmoro Ahmad, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Press,
1997), h. 25; FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman, Para Filosof Penentu
Gerak Zaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hh. 93-94. Dari kedua sumber ini
dapat diperoleh keterangan tentang asal-usul mazhab studi bahasa dan
ketokohan Wittgenstein.
40
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 171.
Pendahuluan 39
41
Poespoprodjo, Logika Scientifika:…, h. 74.
42
Suriasumantri, Filsafat Ilmu…, h. 184.
40 Logika Saintifik
43
Karakter pertama dan ketiga sampai ketujuh dikutip dari Brotowidjoyo,
Penulisan Karangan Ilmiah, h. 1-21. Kemudian kutipan tersebut dielaborasi dan
dikembangkan oleh penulis dengan referensi lain dan contoh-contoh praktis.
Sedangkan karakter kedua merupakan hasil elaborasi penulis sendiri, berdasarkan
wawasan bacanya.
Pendahuluan 41
44
Dalam penjelasan Suriasumantri, bahasa ilmiah harus terbebas dari unsur-
unsur emotif dan bersifat reproduktif (jelas dan objektif sesuai dengan sumber
dan kenyataan sebenarnya), dan di bagian lain dia menjelaskan bahwa bahasa
ilmiah harus bersifat antiseptik dan reproduktif. Lihat Suriasumantri, Filsafat
Ilmu…, h. 181, 184.
Pendahuluan 43
TABEL 1
TUJUAN DAN CARA PEROLEHAN
PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
TABEL 2
RELASI ILMU DAN KEPENTINGAN
B. TUGAS LOGIKA
Poejawijatna mengemukakan bahwa tahu itu bukan suatu
alat atau daya manusia yang dimilikinya sejak lahir, seperti:
mata, telinga atau alat indra lainnya, melainkan merupakan suatu
45
Poejawijatna, Tahu dan Pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat (Jakarta:
Rineka Cipta, Cet.VII, 1991), h. 17.
Kedudukan Logika sebagai Alat Pencari Kebenaran 53
46
Poejawijatna, Logika Filsafat Berpikir (Jakarta: Rineka Cipta, Cet.VII, 1992),
h. 13.
54 Logika Saintifik
47
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat (1986), h. 12.
48
Poejawijatna, Tahu dan Pengetahuan..., h. 11.
56 Logika Saintifik
49
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Andi Offset, 1994),
h. 9.
50
C.A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, (Jakarta: Gramedia, cet.VI,
1991), h. 38.
Kedudukan Logika sebagai Alat Pencari Kebenaran 57
51
M.J. Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat (Jakarta: Pustaka Sarjana,
tt.), h. 47.
Kedudukan Logika sebagai Alat Pencari Kebenaran 59
52
Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 18.
60 Logika Saintifik
54
Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 17.
66 Logika Saintifik
BAB IV
SEJARAH SINGKAT LOGIKA
masa ini, al-Farabi (wafat 950) yang digelari ‘guru kedua’ ilmu
pengetahuan, setelah Aristoteles. Ia melakukan tajdid
(pembaruan) terhadap logika; yang sebelumnya hanya
merupakan teori-teori, kemudian dipertajamnya secara praktis
(amaliah); dalam arti bahwa tiap-tiap qadiyah (proposisi)
diverifikasi (diuji) kebenarannya.
Aristoteles dan al-Farabi; keduanya adalah tokoh filsafat.
Akan tetapi mereka memeroleh gelar sebagai ‘guru’ bukan
dengan karya filsafatnya, melainkan dengan karya logikanya.
Ini membuktikan bahwa karena sedemikian penting peran logika
dalam ilmu, sehingga perintisnya digelari sebagai ‘guru ilmu
pengetahuan’. Apa yang dilakukan oleh mereka merupakan pintu
pembuka bagi konstelasi logika bagi para pemikir periode-
periode selanjutnya.
Demikian ini memberikan jalan bagi pembahasan logika
pada abad baru yang dipelopori oleh Herbert Spencer (1820-
1903 M) dengan menggunakan eksperimen-eksperimen yang
berdasarkan pancaindra; juga percobaan Descartes (1596-1650
M) dan Immanuel Kant (1724-1804 M) yang dalam banyak
pembahasan-nya berpedoman pada logika, dan tidak sedikit
sumbangan mereka terhadap ilmu ini.
Meskipun logika telah bergerak ke periode modern, melalui
tokoh-tokohnya, tetapi hingga sekarang belum ada pemikir yang
diberi julukan ‘guru ketiga’ setelah al-Farabi, seorang pemikir
Islam yang cukup terkenal.
Selanjutnya, secara periodik, sejarah ringkas logika dapat
diperiksa lebih dekat pada penjelasan berikut.56
56
Lihat Lanur, Logika Selayang Pandang, 9-11; W. Poespoprojo, Logika
Scientifika: Pengantar Dialektika Ilmu (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1991), h.
28-48; dan juga Ali Hasan, Ilmu Mantiq (Logika) (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1995), h. 4-18.
Sejarah Singkat Logika 69
58
Lihat Lanur, Logika ..., h. 57-60; Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 53; Partap Sing Mehra, Pengantar Logika
Tradisional (Bandung: Bina Cipta, 1986), h. 16-18.
Prasyarat Berpikir Logis 77
B. ASAS-ASAS PEMIKIRAN
Asas-asas ini merupakan dasar yang terdalam dari setiap
pemikiran dan pengetahuan. Kecuali menjadi dasar, asas-asas
pemikiran juga merupakan asas-asas yang dengan sendirinya
sudah jelas sekali, terutama berkaitan dengan penyimpulan dan
sillogisme (keduanya dibahas pada bab XI tentang penalaran
atau bentuk-bentuk pemikiran).
Asas ialah sesuatu yang mendahului; juga dapat dikatakan
sebagai titik pangkal dari mana sesuatu itu muncul dan
dimengerti. Sedangkan asas pemikiran adalah pengetahuan
tentang dari mana pengetahuan lain bergantung dan dimengerti;
juga disebut pengetahuan yang menunjukkan mengapa pada
umumnya kita dapat menarik suatu simpulan.
Asas-asas pemikiran dibagi menjadi dua; yaitu asas-asas
primer dan asas-asas sekunder, sebagaimana penjelasan masing-
masing berikut.
1. Asas-Asas Primer
Asas ini mendahului asas-asas lainnya; juga dalam arti tidak
tergantung asas-asas lain. Asas primer berlaku untuk segala
sesuatu yang ada; terutama tentu saja dalam kaitannya dengan logika.
2. Asas-Asas Sekunder
Asas-asas ini merupakan pengkhususan (spesifikasi) dari
asas-asas primer di atas, dan terbagi menjadi dua, yaitu dari sudut
isi dan luasnya.
a. Dari Sudut Isinya, terdapat:
1) Asas Kesesuaian (Principium Convinientiae)
Asas ini menyatakan bahwa ada dua hal yang sama. Salah
satu di antaranya sama dengan hal yang ketiga. Dengan
demikian, hal yang lain itu juga sama dengan hal ketiga.
Misalnya: S = M, dan M = P, maka S = P (dengan catatan
bahwa S dan P di sini dihubungkan satu sama lain
dengan satu M).
Contohnya:
- Pak Antik adalah dosen
80 Logika Saintifik
BAB VI
IDEOGENESIS DAN ABSTRAKSI
A. IDEOGENESIS
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ideogenesis adalah
instrumen (alat/media) untuk memeroleh pengetahuan, ide atau
konsep. Di sini sengaja digunakan kata “instrumen”, agar
pembahasan tidak tergesa-gesa bergerak terlalu jauh ke wilayah
epistemologi atau filsafat ilmu. Meskipun di dalamnya memang
terdapat kandungan epistemologi.
Ada dua media bagi manusia untuk memeroleh pengetahuan,
yaitu indera dan intelek. Pertama: indera, baik ekstern (kelima
indera pisikis) maupun intern (indera psikis: imajinasi, ingatan
dan sebagainya), menangkap pengetahuan tentang realitas (ada-
khusus) secara materialistik, berdasarkan aspek kongkret. Kerja
indera mengumpulkan bahan mentah, tanpa mengambil
keputusan tertentu, untuk diberikan kepada intelek. Kedua:
intelek berfungsi mengolah bahan mentah itu; untuk membuat
konsep, membuat keputusan, melakukan refleksi, mengabstraksikan
dan menyimpulkannya. Pengetahuan yang diperoleh lewat
82 Logika Saintifik
B. ABSTRAKSI
Abstraksi merupakan proses untuk menghasilkan abstrak.
Proses ini dapat disebut proses immaterialisasi. Ia berusaha
membersihkan sifat-sifat materialistik dari realitas-realitas yang
ditawarkan oleh indera, sebagaimana gerak momen asensif.
Ada tiga taraf abstraksi, yaitu abstraksi fisik, matematik dan
metafisik. Pertama: abstraksi fisik menetralisasi –untuk tidak
dikatakan menafikan/membersihkan—ciri-ciri individual dan
kongkret, tetapi kualitas materinya tetap dibiarkan melekat
padanya. Kedua: abstraksi matematik tidak hanya mengangkat
ciri-ciri individual dan kongkret saja, tetapi juga kualitasnya.
Abstraksi ini mempertahankan aspek kuantitas materi. Ketiga:
abstraksi metafisik menetralisasi kesemuanya; ciri-ciri individual
dan kongkret, kualitas dan kuantitas materi. Hasil abstraksi
Ideogenesis dan Abstraksi 83
TABEL 3
TAHAP-TAHAP ABSTRAKSI
R e al
itas Ab strak si Ab strak si
Ab strak si Fisik
M ate m atik M e tafisik
K uantitas K ual
itas (Tah ap Pertam a)
(Tah ap K e d ua) (Tah ap K e tiga)
M e rah Be rani W AR NA: ID ENTITAS: LAM BANG
Putih Suci - Corak Se ni - Id e ntitas EK SPR ESI
Biru R ind u - Corak Z am an Se ni M e ngab strak si
H ijau D inam is - Sim b ol - Id e ntitas se m uanya;ciri-
H itam Ge l ap K e prib ad ian Se jarah ciri ind ivid ual,
K uning H ati-h ati M e ngab strak si - Id e ntitas k ongk tre t,
Ungu R agu ciri-ciri ind ivid ual K e jiw aan k ual itas, d an
Contoh d i Aspe k ini d an k ongk re t; M e ngab strak si k uantitasnya;
atas d apat d apat k ual itas te tap ciri-ciri Se b agai b ah an
and a d ise b ut d ipe rtah ank an ind ivid ual , m e tafisik a.
lanjuk an m ak na. k ongk re t d an
k ual itasnya;
k uantitas
d ipe rtah ank an
59
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum ..., h. 111.
Ideogenesis dan Abstraksi 87
60
A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan ilmu?, terj. Redaksi Hasta Mitra
(Jakarta: Hasta Mitra), 1982. Chalmers memberikan bahasan yang detil
mengenai falsifikasionisme pada halaman h. 39-79.
61
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum..., h. 136.
62
Lihat Encyclopedia Americana (1997), h. 10.
88 Logika Saintifik
63
Mill telah menampilkan usaha klasiknya dan lebih terakhir untuk
mensistemasikan penjelasan tentang induktivisme dalam karyanya A System
of Logic (London: Longman, 1961)
Ideogenesis dan Abstraksi 89
TABEL 4
TEORI PENGETAHUAN DAN ABSTRAKSI
64
Poespoprojo, Logika ..., h. 74.
92 Logika Saintifik
65
Ibid.
Hubungan Bahasa dan Pikiran 93
66
Ibid., h. 68.
94 Logika Saintifik
BAB VIII
IDEA ATAU KONSEP
A. PENGANTAR
Sebelum dibahas tentang idea atau konsep, telebih dulu perlu
dipahami mengenai komponen-komponen logika. Komponen-
komponen logika, yang kadangkala disebut juga unsur-unsur
logika, ada tiga; yaitu (1) pengertian, (2) keputusan dan (3)
penalaran. Pada bab ini dibahas unsur pertama (pengertian).
Sedangkan unsur kedua (keputusan) dibahas pada bab X, dan
unsur ketiga (penalaran) dibahas pada bab XI.
Berikut disajikan tabel gambaran masing-masing komponen
logika.
98 Logika Saintifik
TABEL 5
KOMPONEN LOGIKA
SKEMA 1
KOMPONEN LOGIKA
Pe m ik iran/Pe nal
aran
K e putusan/Proposisi/ K e putusan/Proposisi/
Prem is 1 Pre m is 2
72
Poejawijatna, Logika..., h. 28, menjelaskan bahwa istilah “subjek” berasal
dari kata “subjectum“, berarti ‘yang menjadi dasar’, sedangkan istilah “predikat”
dari kata “praedicatum“, berarti ‘yang dikatakan’. Dalam tata bahasa Indonesia,
subjek disebut pokok kalimat, sedangkan predikat disebut juga sebutan.
100 Logika Saintifik
B. PENGERTIAN
Pengertian adalah hasil penangkapan esensi objek (yang
dimengerti). Maka, mengerti berarti menangkap hakikat objek.73
Istilah pengertian ini dalam kitab-kitab mantiq disebut ta’rif.74
Lebih jauh Dardiri mengemukakan bahwa pengertian dapat
disebut juga “idea” berasal dari kata “ideos” yang arti sebenarnya
adalah gambar. Kemudian, dalam karya Plato idea berarti
pengertian atau maksud75. Pada abad pertengahan, istilah yang
digunakan adalah universale dan jamaknya adalah universalia,
yang artinya “umum”. Ini disebabkan bahwa pengertian itu
berlaku umum. Selain idea atau universale, ada istilah lain yang
searti dengan istilah pengertian; yaitu “konsep” yang berasal
dari kata “conceptus” dari kata “concipere” yang berarti menangkap.
Arti ini disamakan dengan pengertian, karena pengertian itu
merupakan hasil tangkapan manusia dengan budinya.
Secara lebih dalam, dari uraian di atas muncul persoalan:
apa sebenarnya pengertian itu? Untuk menjawabnya, dapat
diajukan jawaban bahwa pengertian itu adalah buah fikiran
umum mengenai suatu himpunan benda-benda atau hal-hal yang
biasanya dibedakan dari pelihatan atau perasaan, seperti
pengertian tentang buku, pengertian mengenai mahasiswa. Jadi,
pengertian itu isinya hanya satu, atau sekelompok subjek,
individu atau hal.
73
Dardiri, Humaniora..., h. 29.
74
Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 57.
75
Sebagai pengembangan informasi, Plato, sebagai pelopor tentang “idea”,
memberikan perhatian besar terhadap “jiwa” yang dapat diringkas dalam
ungkapan “... suatu kerinduan untuk kembali ke alam jiwa...”. Lihat Jostein
Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah Novel filsafat, (Bandung; Mizan, 1996), h. 98.
Idea atau Konsep 101
76
Poejawijatna, Logika..., h. 33.
102 Logika Saintifik
2. Macam-Macam Pengertian
Poejawijatna mengemukakan bahwa dalam meninjau isi
pengertian, jelaslah bahwa pengertian memang tidak identik
dengan kata. Oleh karena itulah, maka ada satu kata saja yang
memang menunjuk satu pengertian, tetapi isinya banyak sekali,
misalnya pengertian ‘manusia’ (sepatah kata), tetapi sebagai
pengertian, isinya banyak; yaitu ‘sesuatu yang hidup sensitif
dan rasional’. Sedangkan ‘binatang’ (juga sepatah kata), isinya
kurang dari isi manusia.77
77
Ibid.
Idea atau Konsep 103
a. Pengertian Universal
Pengertian universal (umum) adalah pengertian yang
mewilayahi terhadap semua dan tiap-tiap dalam macamnya. Ini
berarti bahwa manusia, dalam menghadapi realitas tertentu,
hanya memperhatikan sifat atau aspek yang terdapat pada semua
hal yang termasuk dalam macam realitas, dan dari itu kemudian
umum. Sifat tersebut umum, karena harus juga terdapat pada
realitas tersebut, sehingga sifat itu mutlak. Misalnya: jika realitas
yang ditunjuk dengan pengertian ‘manusia’: maksud manusia
itu tidak lain adalah manusia kongkrit dengan segala aspeknya,
tetapi aspek-aspek yang membedakan manusia satu dengan
manusia lainnya itu sekarang ini tidak diperhatikan; apa yang
diperhatikan adalah sifat yang menyamakan satu dengan lainnya.
Sifat atau aspek itu dipandang lepas dari subjeknya, sehingga
mungkin berlaku bagi semua dan tiap orang (yang dalam
kongkritnya selalu berlainan). Adapun jika ada persoalah: sifat-
sifat manakah yang memanusiakan manusia itu, sehingga
kemudian mempunyai ‘kemanusiaan’, belum perlu dibahas dalam
subbahasan ini.
Pengertian universal inilah yang seringkali dipakai dalam
ilmu-ilmu; dalam banyak putusan yang merupakan hukum ilmu.
104 Logika Saintifik
b. Pengertian Partikular
Pengertian partikular adalah pengertian dalam putusan yang
tidak umum mutlak. Pengertian ini tidak berlaku bagi semua
dan tiap-tiap pada macamnya. Mengenai apakah pengertian
partikular ini menunjuk pada yang berlaku banyak atau sedikit,
bukan masalah. Pengertian partikular tidak berlaku bagi semua
dan tiap-tiap pada macamnya. Di sinilah letak perbedaannya
dengan pengertian universal.
Idea atau Konsep 105
3. Pembatasan (Definisi)
Tidak semua pengertian itu sama jelasnya. Sebenarnya, jelas-
tidaknya pengertian itu bukan tergantung pada pengertian itu
sendiri, melainkan dari yang mengerti. Misalnya pengertian
tentang ‘rudal’. Bagi siswa SMP, dapat jadi, itu telah dianggap
jelas olehnya (atau justru sebaliknya), tetapi bagi ahli rudal, tentu
akan lebih jelas lagi. Demikian juga kata demokrasi menunjukkan
suatu pengertian. Akan tetapi, maksud pengertian itu tentu tidak
sama bagi tiap orang yang mempergunakannya atau tidak.
Dengan demikian, yang ditunjuk oleh pengertian demokrasi itu
bukan satu pengertian, atau sekurang-kurangnya bukan suatu
pengertian yang jelas. Oleh karenanya, jelas-tidaknya dan variasi
maksud pengertian bergantung pada yang mengerti, dan
seringkali terjadi kemungkinan adanya salah pengertian (salah
106 Logika Saintifik
78
Definisi berasal dari kata latin ‘definitio’; kata dasarnya ‘finis’, berarti
‘batas’.
79
Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 59-60.
Idea atau Konsep 107
a. Macam-Macam Definisi
1) Definisi nominal (ta’rif lafzi; dalam fiqh sering digunakan
istilah makna lughawi); yaitu pembatasan penerangan nama
(identitas), yang biasanya dipinjam dari bahasa asing.
Definisi ini kemudian dikenal oleh pembaca (pendengar).
Misalnya: kata ‘hadith’ (bahasa Arab) diterangkan dengan
‘ucapan’; dan kata ‘nagasari’ (bahasa Jawa) yang terdiri dari
kata-kata ‘naga’ (ular besar) dan ‘sari’ (bunga). Kalaupun
ternyata nagasari itu nama makanan yang tidak berunsurkan
ular besar dan bunga, tidak menjadi urusan definisi ini.
Definisi nominal tidak memberi banyak manfaat untuk
menangkap pengertian, kecuali hanya membantu ke arah
pengertian. Oleh karenanya untuk menangkap pengertian
secara jelas, perlu dilanjutkan pada macam definisi
berikutnya.
2) Definisi real (ta’rif bi al-hadd; dalam fiqh sering digunakan
istilah makna istilahi); yakni pembatasan yang mencoba
mendekati pengertian realitas, dan dengan demikian hendak
memberi pengertian yang jelas, sehingga terhindar darinya
kesalahpahaman.
Pembatasan inilah yang sesungguhnya diperlukan dalam
ilmu dalam hubungannya dengan objektivitas dan
universalitas ilmiah.
108 Logika Saintifik
Contoh 1:
- Masjid (kata yang didefinisikan)
- adalah (penghubung)
- tempat ibadah (genus terdekat)
- bagi umat Islam (sifat primer)
Contoh 2:
- Bendera (kata yang didefinisikan)
- adalah (penghubung)
- identitas idealisme (genus terdekat)
- diekspresikan dalam bentuk gambar (sifat primer)
- beralas kain atau sejenisnya yang
dapat dikibarkan (sifat primer)
d. Latihan
Buatlah 5 (lima) definisi dari genus yang berbeda, dengan
prosedur sebagaimana contoh-contoh di atas.
Idea atau Konsep 111
C. KOMPOSISI KONSEP
SKEMA 2
KOMPOSISI KONSEP
(Contoh Konsep tentang Sepeda Motor)
K e nd araan R od a
Ge nus/Abstrak
D ua
1. Konsep
Konsep adalah abstraks yang dibentuk dengan menggeneralisasi-
kan hal-hal khusus.80 Atau dapat juga dinyatakan bahwa konsep
80
Kerlinger, Foundation of Behavioral Research (New York: Hotl, Rinehart
and Winston, 1973), 28, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, Metode
Penelitian Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1989), h. 12.
114 Logika Saintifik
2. Teori
Sebelum dipahami apa itu teori, terlebih dulu perlu dipahami
mengenai proposisi. Dalam ilmu, proposisi disebut pernyataan
mengenai korelasi (hubungan) antara dua konsep atau lebih yang
dapat diuji kebenarannya. Misalnya: daya serap terhadap pesan
komunikasi ditentukan oleh metode yang tepat dari komunikator,
penerimaan kontrasepsi modern oleh masyarakat pedesaan
dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap nilai ekonomis anak.
84
Nan Lin, Foundation of Research (USA: Mc. Graw Hill Inc., 1976), 1; dan
Masri Singarimbun, Metode Penelitian..., h. 19.
116 Logika Saintifik
85
Kerlinger dalam Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),
h. 12.
Idea atau Konsep 117
SKEMA 3
KONSEP DAN TEORI DALAM ILMU
m e nurut m e nurut
Te ori
(H ubungan d ua k onse p/l
ebih )
118 Logika Saintifik
87
Bandingkan dengan Mehra dan Burhan, Pengantar Logika..., h. 30-33.
Sistematika Kerja Akal 123
1. Pembagian
a. Cara Pembagian
Pembagian (disebut taqsim dalam mantiq) dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu: (1) pembagian secara logis dan (2)
pembagian secara dikotomis.87
Pembagian secara logis adalah pemecahan genus/kull (kelas
yang lebih luas) kedalam species/juz’ (kelas-kelas yang lebih kecil).
Apabila dibalik, species dapat membentuk genus. Pembagian logis
dilakukan atas prinsip-prinsip tertentu.
Pembagian logis bukan merupakan pembagian individu
kedalam bagian bagiannya, juga bukan pembagian kelas kedalam
atribut-atributnya.
Cara dan contoh berikut bukan pembagian logis:
1) Pembagian secara fisik (pembagian individu kedalam bagian-
bagiannya).
Misalnya: Meja dibagi kedalam: sandaran, tangan, dan
kakinya.
2) Pembagian secara metafisik (kelas ke dalam atribut-
atributnya).
Misalnya: Meja dibagi kedalam: keras, bentuk, dan motifnya.
Pembagian logis harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1) Pembagian logis harus membagi kelas (genus) kedalam sub-
kelasnya (species), tidak sebagaimana cara pembagian secara
fisik dan metafisik di atas.
Apabila pembagian dilanjutkan, maka species dapat menjadi
genus bagi species bagiannya. Perhatikan rumus berikut.
124 Logika Saintifik
SKEMA 4
RUMUS PEMBAGIAN
Species
Species
Genus Species
(Genus) Species
Species Species
Misalnya:
Spanyol
Jawa
Manusia Indonesia
(Genus) Sumatera
Dst. Dst.
Contoh 1: Itali
Eropa
Manusia Bukan Itali
Bukan Eropa
Contoh 2: Kreatif
Pop
Musik Bukan Kreatif
Bukan Pop
2. Definisi
Tinjau kembali penjelasan tentang definisi yang telah dibahas
pada penjelasan di muka.
3. Argumentasi
Pertama, terdapat dua prinsip argumentasi, yaitu prinsip
material dan prinsip formal.
a. Prinsip Material (PM), terdiri dari term-term, proposisi-
proposisi (premis-premis).
b. Prinsip Formal (PF), merupakan rambu-rambu untuk
mencapai pemikiran yang benar dan tepat.
Misalnya:
1) Prinsip formal silogisme kategoris adalah prinsip
identitas.
2) Prinsip formal silogisme kondisional, induksi dan
argumen kumulatif adalah prinsip alasan yang mencukupi.
128 Logika Saintifik
SKEMA 5
GERAK ARGUMENTASI
Argumentasi A
Priori
- Sebab - Akibat
- Konsep/Teori - Fakta
Argumentasi
A Posteriori
131
BAB X
KEPUTUSAN (PROPOSISI)
B. MACAM-MACAM PROPOSISI
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa keputusan itu
terdiri dari dua bagian; yaitu S dan P. P ini merupakan keterangan
dari S; paling tidak P dikatakan terhadap S. Hubungan S dan P
ini bermacam-macam, dan untuk corak hubungan S dan P ada
beberapa macam, sebagai berikut.
C. PEMBAGIAN PROPOSISI
Berikut ini dipaparkan pembagian proposisi menurut aspek
dan karaktaristiknya. Kemudian mengenai contoh-contohnya,
sengaja dikemas secara khusus pada tabel-tabel berikutnya.
1. Proposisi Kategoris
Proposisi kategoris adalah proposisi yang menjelaskan
identitas subjek.
SKEMA 6
PROPOSISI KATEGORIS
Universal
1) Kuantitas
Partikular
Proposisi Kategoris
Positif
2) Kualitas
Negatif
136 Logika Saintifik
TABEL 6
PROPOSISI KATEGORIS
ASPEK
NO . KO D E CO NTO H
K uantitas K ual
itas
Se m ua filosof ad alah
1 Unive rsal Positif A m anusia
Se m ua filosof b uk an
2 Unive rsal Ne gatif E onta
Se b agian dose n ad al ah
3 Partik ul
ar Positif I D ok tor
Se b agian dose n b uk an
4 Partik ul
ar Ne gatif O D ok tor
Keterangan Kode:
a. Kode A berasal dari “Affirmo” berarti mengakui.
b. Kode E berasal dari “nEgo” berarti mengingkari.
c. Kode I berasal dari “affIrmo” berarti mengakui.
d. Kode O berasal dari “negO” berarti mengingkari.
2. Proposisi Hipotetis
Proposisi ini, antara bagian-bagiannya terdapat hubungan
dependensi (ketergantungan). Misal:
a. Apabila anda tekun studi, maka prestasi anda pasti bagus.
b. Jika lama tidak hujan, maka tumbuh-tumbuhan menjadi
kering.
Keputusan (Proposisi) 137
D. OPOSISI PROPOSISI
1. Oposisi Kontradiktori (A O dan E I)
Pertentangan kontradiktori adalah pertentangan dalam
kuantitas (wilayah) dan kualitas (bentuk) keputusan.
Contoh 1:
a. Semua benda berzat (universal-positif, A),
bertentangan dengan
b. Beberapa benda tak berzat (partikular-negatif, O)
Contoh 2:
a. Tidak ada orang desa kaya (universal-negatif, E),
bertentangan dengan
b. Ada orang desa kaya (partikular-positif, I)
Dalam pertentangan kontradiktori, jika ada satu yang benar,
maka yang lain tentu salah. Tidak mungkin keduanya salah atau
keduanya benar.
2. Oposisi Kontrari (A E)
Pertentangan kontrari adalah pertentangan dalam kualitasnya
saja, sedangkan kuantitas keduanya adalah universal.
Contoh 1:
a. Semua Nabi menerima wahyu (universal-positif, A),
bertentangan dengan
b. Semua Nabi tak menerima wahyu (universal-negatif, E)
Contoh 2:
a. Semua binatang dapat berenang (universal-positif, A),
bertentangan dengan
138 Logika Saintifik
3. Oposisi Subkontrari (I O)
Pertentangan subkontrari adalah pertentangan dalam
kualitasnya, sedangkan kuantitas kedua proposisi adalah
partikular.
Contoh 1:
a. Beberapa orang Jawa kaya (partikular-positif, I),
bertentangan dengan
b. Beberapa orang Jawa tidak kaya (partikular-negatif, O)
Contoh 2:
a. Beberapa mahasiswa pandai (partikular-positif, I),
bertentangan dengan
b. Beberapa mahasiswa tidak pandai (partikular-negatif,O)
Dalam pertentangan subkontrari, jika keputusan pertama
benar, maka yang kedua mungkin benar, mungkin salah. Akan
tetapi, jika keputusan pertama salah, maka tentu yang kedua
benar. Kalau dikatakan: beberapa orang Jawa kaya, dan ini
benar, maka keputusan yang bertentangan secara subkontraris:
beberapa orang Jawa tidak kaya, mungkin benar, mungkin
salah. Untuk mengetahui kebenaran atau kesalahannya, harus
dibuktikan dengan penyelidikan.
Keputusan (Proposisi) 139
GAMBAR 2
RUMUS PEMBUKTIAN OPOSISI PROPOSISI
Se tiap b e si adal
ah logam Se tiap b e si b uk an l
ogam
R um us: Ab Es Ab Os
Eb As Ob As
A K ontrari E
Ab Os
Ab Ib Ob As Eb Ob
Ib An Ob En
K ontrad ik tori
Sub alte rnasi/ Sub alte rnasi/
Supe rim plik asi Supe rim plik asi
Ib Es
Eb Is
I Sub k ontrari O
IO b (m ungk in)
IO s (m ustah il
)
Se b agian b e si adalah logam Se b agian b e si b uk an l
ogam
Keterangan:
b = benar
s = salah
n = netral (dapat salah, dapat benar)
142 Logika Saintifik
BAB XI
PEMIKIRAN DAN
BENTUK-BENTUKNYA
B. BENTUK-BENTUK PEMIKIRAN
1. Penalaran Induksi
Induksi adalah suatu metode penalaran yang berdasarkan
sejumlah hal khusus untuk tiba pada suatu simpulan yang bersifat
kemungkinan. Dikatakan kemungkinan, karena hal-hal
khusus sebagai data hanyalah mendukung atau menguatkan
simpulan yang bersangkutan, tetapi tidak mutlak menjamin
kebenarannya; mungkin benar atau mungkin salah; boleh jadi
benar atau boleh jadi salah.
Aristoteles sendiri mendefinisikan induksi sebagai suatu
aluran (proses peningkatan) dari hal-hal yang bersifat khusus
individual, menuju ke hal-hal yang bersifat universal (a passage
from individuals to universals).
Ada dua macam induksi, yakni induksi sempurna dan
induksi tidak sempurna.
Dalam induksi sempurna, peneliti (observer) menyelidiki
seluruh subjek (individu) dalam kelasnya tanpa satupun yang
meleset. Dari hasil penyelidikan itu kemudian ia mengambil
simpulan yang sifatnya lebih umum. Misalnya: obsever akan
menyimpulkan apakah mangga satu keranjang itu manis semua
atau tidak, maka dia mencoba semua mangga dalam keranjang
itu tanpa satupun yang dikecualikan. Inilah sebabnya, mengapa
Pemikiran dan Bentuk-bentuknya 145
2. Penalaran Deduksi
Deduksi adalah suatu metode penalaran yang menurunkan
suatu simpulan sebagai keniscayaan dari pernyataan yang
merupakan pangkal pikir (premis). Simpulan itu merupakan
kelanjutan yang sah dan tak terlepas dari premis yang
bersangkutan. Kalau premisnya benar, maka konklusinya niscaya
benar.
Lebih lanjut, deduksi dapat dikatakan sebagai suatu metode
penalaran yang berpangkal dari pendapat umum untuk tiba pada
suatu simpulan yang bersifat khusus. Maka simpulan dari deduksi
harus lebih khusus dari premis-premisnya. Dan yang perlu dicatat
adalah, bahwa dalam deduksi, simpulan merupakan kemestian.
Artinya, mau tidak mau harus begitu.
Contoh 1:
Semua mahasiswa adalah manusia
Nani adalah mahasiswa
Maka, Nani adalah manusia
Contoh 2:
Semua motor adalah kendaraan
Honda bebek adalah motor
Maka, Honda bebek adalah kendaraan
Apabila diadakan komparasi antara penalaran induktif dan
penalaran deduktif, maka ditemui bahwa dalam penalaran
deduktif tidak ada penalaran baru yang dapat diperoleh, karena
simpulannya merupakan pengetahuan yang secara implisit sudah
ada pada premis terdahulu. Oleh karenanya penalaran deduktif
dikatakan sebagai penalaran yang menghasilkan kebenaran
tautologik. Sedangkan pada penalaran induktif didapatkan
Pemikiran dan Bentuk-bentuknya 147
a. Deduksi Langsung
Deduksi langsung (eduksi) merupakan proses penyimpulan
dari satu premis. Deduksi ini meliputi iversi, konversi, obversi,
dan kontraposisi.
148 Logika Saintifik
TABEL 7
MACAM-MACAM DEDUKSI LANGSUNG
Keterangan:
1) Tanda garis bawah menunjukkan kualitas proposisi (positif/
negatif).
Demikian ini terkait dengan kopula.
2) Perhatikan tanda sambung “-” pada negasi subjek atau
predikat.
3) Kedua tanda garis bawah dan tanda sambung itu digunakan
untuk memastikan perubahan proposisi ke bentuk-bentuk
inversi, konversi, obversi, atau kontraposisi.
4) Proposisi yang belum diubah disebut proposisi premis, dan
yang telah diubah ke bentuk lain disebut proposisi konklusi.
TABEL 9
HUKUM DASAR PENYIMPULAN DALAM SILOGISME
PR EM IS
K ETER ANG-
PR INSIP NO M AYO R M INO R SIM PULAN
AN
K onotasi 1 A=B B=C A=C Sal ah satu
Te rm proposisi yang
2 A=B B∩C A∩C d ipe rb and ing-
k an b e rbe ntuk
3 A=B B≠C A≠C e k uival en
D e notasi 4 AB B=C AC Sal ah satu
Te rm proposisi yang
5 AB B=C AC ipe rb and ing-
6 AB BC AC k an b e rbe ntuk
im pl ik asi
7 AB B≠C A≠C
Keterangan Simbol:
1) Tanda “=” berarti afirmatif (persamaan).
2) Tanda “#” berarti negatif (pertidaksamaan).
∩
3) Tanda “ ” berarti satu adalah bagian lainnya (perpotongan).
4) Tanda “Ì” berarti bagian dan keseluruhan (peliputan).
5) Tanda “É” berarti keseluruhan dan bagian (peliputan).
Cara membaca rumus di atas demikian:
1) Jika A sama dengan B (premis mayor), sedangkan B sama dengan
C (premis minor), maka A sama dengan C (simpulan).
2) Jika A sama dengan B (premis mayor), sedangkan B
berpotongan dengan C (premis minor), maka A berpotongan
dengan C (simpulan).
Pemikiran dan Bentuk-bentuknya 153
TABEL 10
CONTOH-CONTOH PRINSIP DASAR PENYIMPULAN
DALAM SILOGISME
TABEL 11
SILOGISME KATEGORIS
PR EM IS
No. K ATEGO R I
SILO GISM E M AYO R M INO R SIM PULAN
S= P S= P
1 Sub -Pre M = P S= M S= P
2 Pre-Pre P= M S= M S= P
3 Sub -Sub M = P M = S S= P
4 Pre-Sub P= M M = S S= P
Keterangan:
(1) Coba anda perhatikan tanda lingkaran pada tabel di atas.
(2) Tanda tersebut mengingatkan anda terhadap posisi term
pembanding, yakni M (Media) sebagai subjek atau predikat.
Misal demikian (merujuk pada nomor 1/silogisme sub-pre):
(a) Pada premis mayor, M = P, berarti M sebagai subjek.
(b) Pada premis minor, S = M, berarti M sebagai predikat.
(3) Dari penjelasan nomor 2, secara mandiri anda dapat
merumuskan pengertian; bahwa silogisme sub-pre adalah
bentuk silogisme yang term pembandingnya dalam premis
mayor sebagai subjek dan dalam premis minor sebagai
predikat. Demikian ini dapat anda terapkan pada silogisme
lainnya.
Pemikiran dan Bentuk-bentuknya 157
TABEL 12
CONTOH-CONTOH SILOGISME KATEGORIS
Keterangan:
(1) Tanda garis bawah pada contoh-contoh tersebut menunjukkan
M sebagai term pembanding dalam posisinya sebagai subjek
atau predikat.
(2) Term pembanding dihilangkan dalam simpulan.
(3) Tanda cetak miring pada konsekuen menunjukkan posisi
sebagai subjek atau predikat.
2) Silogisme Hipotetis
a) Unsur-Unsur:
(1) Premis mayornya berupa proposisi hipotetis atau
proposisi majemuk.
(2) Premis minornya berupa pengakuan atau penolakan
terhadap salah satu proposisi premis mayor.
b) Pembagian:
(1) Silogisme Ekuivalen (SE):
Bentuk penyimpulan yang premis mayornya berupa
proposisi ekuivalen.
Simpulannya berbentuk MPP dan MTT.
(2) Silogisme Kondisional (SK):
Bentuk penyimpulan yang premis mayornya berupa
proposisi implikatif.
Simpulannya berbentuk MPP dan MTT.
(3) Silogisme Hipotetis (SH):
Bentuk penyimpulan berdasarkan perbandingan dua
bentuk implikasi.
Bentuk logisnya sama dengan silogisme kategoris.
(4) Silogisme Disjungtif (SD):
Pemikiran dan Bentuk-bentuknya 159
1. Petitio Principii
Kesalahan ini terjadi apabila sesuatu dijadikan sebagai
pangkal pikir, kemudian konklusi, dan pangkal itu dianggap
benar, padahal kebenarannya belum pasti. Misalnya: “Manusia
adalah ciptaan Tuhan”, sebagai pangkal pikiran. Lalu darinya
secara tergesa-gesa diambil kesimpulan bahwa Tuhan harus ada.
164 Logika Saintifik
2. Circulus Vitousus
Ini adalah kesalahan karena lingkaran tak berujungpangkal
dalam pembuktian dan penyimpulan. Misalnya: “Mengapa
keadaan ekonomi negara kita goncang?” Lalu diajukan bukti
“karena banyak pejabat yang korup”. “Mengapa banyak yang
korup?” Untuk ini diajukan penjelasan “karena ekonomi negara
kita goncang”.
Contoh lainnya: “Mengapa kuliah logika tidak efektif ?”
Kemudian diajukan jawaban “karena pertemuan kuliah tidak
aktif ”. “Mengapa pertemuan kuliah tidak aktif ?” Kemudian
diajukan jawaban “karena kuliah tidak efektif ”.
BAB XIII
SEKILAS FILSAFAT ILMU:
Pengenalan; Sejarah dan Model-Model Kemajuan
Ilmu
A. PENDAHULUAN
Dunia keilmuan Islam mengekspresikan tiga gelombang
besar dalam sejarahnya. Pertama, pada abad ke-9 sampai ke-
12 (bagian abad klasik dalam sejarah Islam), Islam berhasil
membangun menara tertinggi –dalam skala internal maupun
global—ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu lain dari khazanah
Islam dan umatnya. Bahkan sejak awal abad kesembilan, dunia
Islam berhasil menancapkan metodologi yang representatif.
Sejak abad itu, strategi isnad Hadis telah menawarkan apa yang
sejak tahun 1950-an dan 1960-an dikenal dengan pendekatan
kualitatif (natural setting), sebagai respon terhadap pendekatan
172 Logika Saintifik
91
Thomas S. Kuhn The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University
of Chicago Press, 1970), h. 1-2.
176 Logika Saintifik
92
Pada periode ini, posisi umat Islam masih kuat sebagai konsumen ilmu-
ilmu modern yang berkembang.
93
Ian G. Barbaur, Issues in Science and Religion (New York: Torchbooks
Harpers Row Publishers, 1996). Dalam buku ini, Barbaur menyajikan tulisan
yang luas, dengan menghadirkan isu-isu keilmuan dan keagamaan. Kemudian
penulis mencoba sedapat mungkin untuk mengabstraksikannya dalam bahasan
sejarah ilmu pada diktat ini, sambil memberikan ulasan kritis.
Sekilas Filsafat Ilmu 177
GAMBAR 3
MODEL-MODEL PROTOTIPE HUBUNGAN
ANTARA TUHAN, ALAM, DAN MANUSIA
Man
Filsafat
1. Karl R. Popper
Popper manggunakan istilah “falsifikasi” (alirannya disebut
falsifikasionisme) sebagai development of science, bukan dengan
“verifikasi” seperti yang didapati pada aliran empirisisme dan
rasionalisme (abad ke-18), karena dua aliran ini hanya bermetode
mencocokkan antara fakta dan teori (empirisisme), atau teori
dan fakta (rasionalisme).
Dalam kemajuan ilmu versi Popper, antar teori saling
bertempur. Teori yang bertahan dikonfirmasi/dikokohkan
(corroborated), dan teori yang tidak mampu bertahan dikatakan
terfalsifikasi. Peristiwa ini merupakan tonggak penting history
of science. Oleh karenanya, karakter falsifikasionisme bernuansa
historis.
Sebelum pertempuran itu berlangsung, gaya falsifikasionisme
menggalakkan pengajuan hipotesis-hipotesis baru secara berani,
untuk menantang teori-teori konvensional (teori-teori yang
dianggap sudah mapan dan secara umum diakui).
Cara kerja falsisikasionisme adalah menguji teori-teori dalam
pertempurannya, kemudian mengokohkan teori yang dinyatakan
bertahan (menang) dan memfalsisikasi teori yang dinyatakan
tidak mampu bertahan (kalah).
182 Logika Saintifik
95
Untuk hal ini, Chalmers, Apa itu ..., h. 49-51, menampilkan dua contoh:
pertama, mengenai kelelawar terbang, dan kedua, yang lebih ambisius, mengenai
kemajuan fisika dari Aristoteles melalui Newton sampai Einsten, dalam skala
besar.
Sekilas Filsafat Ilmu 183
SKEMA 7
FALSIFIKASIONISME POPPER
Prob le m -Prob l
e m Baru
(jauh d ari proble m yang te l
ah terpecah k an)
Falsifik asi
(se bagai tah ap puncak k ritik )
Il
mu Prob le m -Prob l
em
(tentang perilak u d unia/al
am sem esta)
2. Thomas S. Kuhn
Kuhn menggunakan istilah “paradigma”. Sebagai history of
science, paradigma meninggalkan ciri positivistik (memperlakukan
objek secara a priori dan menyejajarkan manusia seperti benda-
184 Logika Saintifik
SKEMA 8
DEVELOPMENT OF SCIENCE THOMAS S. KUHN
Pra-Paradigm a Pra-Il
mu Paradigm a Il
m u Biasa
Anom al
i K risis R e vol
usi Parad igm a Baru
96
Untuk ini, terdapat istilah anekdotik, yaitu “diktator” untuk ilmuwan
(tenaga edukatif) yang menimang-nimang diktatnya, bersikap “bagai katak dalam
tempurung”, atau bahkan menjadikannya sebagai “kitab suci” dalam servis
kuliahnya. Meskipun anomali dan krisis menggoncang keras terhadap status
konvensi ilmu, ia tetap khusuk sambil mengelus-elus diktatnya.
Sekilas Filsafat Ilmu 185
3. Imre Lakatos
Lakatos menggunakan kata kunci “program riset”, mengutama-
kan riset terbaik sebagai acuan.
Dalam “program riset” terdapat dua wilayah keilmuan, yaitu
heuristik negatif (HN) dan heuristik positif (HP). HN adalah
wilayah kerja ilmu yang tidak dapat diganggu gugat, dan
karenanya harus ditetapkan/disepakati batas-batasnya.
Sedangkan HP adalah wilayah kerja ilmu yang dapat
dikembangkan, dengan cara melakukan pengujian terhadap
problem-problem historikal yang ada. Oleh karenanya, HP
disebut juga wilayah historisitas.
Pembagian wilayah HN dan HP dapat diperiksa pada
gambaran sebagai berikut:
Sekilas Filsafat Ilmu 187
GAMBAR 6
PROGRAM RISET LAKATOS
Program R ise t
1. H N;tid ak b ol e h d iganggu gugat;
h arus ad a b atas-b atas yang
d ise pak ati. M isal nya: M ate m atik a,
HP Fisik a, Biol ogi, K im ia, d an
HN se b againya.
2. H P;w il ayah h istorisitas;
pe ngujian te rh ad ap prob l em -
prob l e m h istorik alyang ad a.
Program R ise t d al
am Il
m u-il
m u K e isl
am an
4. Paul Feyerabend
Kata kunci Fayerabend adalah “any thing goes” dan “reality is
very complex”, untuk mengungkapkan gagasannya tentang
kombinasi antar ilmu.
Dalam pandangannya, karena realitas itu sangat kompleks,
maka ilmu-ilmu pengetahuan dapat saling bertemu. Misalnya:
teologi bertemu dengan psikologi, melahirkan psikologi agama;
188 Logika Saintifik
5. Clifford Geertz
Clifford Geertz adalah pelopor interpretative social sciences
(ilmu-ilmu sosial interpretatif). Sebagaimana identitasnya, model
ini mengandalkan keberanian interpretasi, ketika tidak dijumpai
teori-teori yang dapat menjelaskan tentang fakta yang
ditemukan dalam penelitian. Untuk ini, bekal yang dimiliki oleh
Geertz adalah (1) teori, (2) fakta, dan (3) interpretasi, dalam
penelitian etnografis yang dilakukannya di Pare Kediri.
Penelitian etnografis yang dilakukannya terdiri dari empat
unsur metodologis, yaitu (1) perbincangan sosial, (2) interpretasi
mendalam, (3) kata-kata/istilah-istilah kunci, (4) micro copies.
Micro copies marupakan hasil pengamatan lokal, tetapi berlaku
untuk yang lain; yang dalam penelitian kualitatif dikenal istilah
transferability97.
97
Transferability adalah satu dari keempat kriteria yang digunakan untuk
menilai keabsahan data. Ketiga lainnya adalah credibility (derajat keterpercaya-
an, yang dapat disejajarkan dengan konsep validitas internal dalam penelitian
kuantitatif); dependibility (kebergantungan pada konteks, dapat disenadakan
dengan istilah reliabilitas dalam penelitian kuantitatif); dan confirmability (dapat
atau tidaknya dikonfirmasikan kepada sumbernya, dalam penelitian kuantitatif
disebut objektivitas).
Sekilas Filsafat Ilmu 189
98
Antara ketiganya secara bergantian terjadi konflik dan integrasi.
190 Logika Saintifik
99
‘Abdullah Mahmud, Manhaj al-Imam Muhammad ‘Abduh fi Tafsir al-Qur’an
al-Karim (Kairo, Mesir: Nashr al-Rasail al-Jami’ah, tt), h. 36-37.
Sekilas Filsafat Ilmu 191
100
Model yang menghendaki pengayaan pola-pola analogi adalah
induktivisme John Stuart Mill, bersifat suportif terhadap teori-teori
konvensional, dan karenanya a-historis (kontras terhadap sifat historis
falsifikasionisme Popper). Dengan karakter ini induktivisme Mill lebih dekat
pada karakter romantisisme, lebih bernuansa dukungan terhadap “status quo”
ilmu daripada memperjuangkan kondisi yang lebih dinamis.
101
Istilah “ilmuwan yang gelisah” merupakan identitas artifisialis bagi
mereka yang energik terhadap dinamika perkembangan ilmu, dalam spektrum
makro maupun mikro, setelah ia memperhatikan tumpukan anomali yang
menyebabkan krisis. Jurnal merupakan wadah yang aktual dan interaktif untuk
menampung kegelisahan mereka.
192 Logika Saintifik
102
Karya-karya yang diharapkan dari para Guru Besar dan Doktor adalah
semisal “Metodologi Studi Islam”, bahkan yang substansinya di atas itu, berupa
kerangka filosofis yang di dalamnya terdapat tawaran format metodologis.
Sekilas Filsafat Ilmu 193
BIBLIOGRAFI
Chalmers, A.F. 1983. Apa itu yang dinamakan ilmu?, terj. Redaksi
Hasta Mitra. Jakarta: Hasta Mitra.
Champion. 1981. Basic Statistic for Social Research. New York:
Macmillan Publishing Co., Inc.
Copy, Irving M. 1972. Introduction to Logic, Macmillan, New York.
Dardiri, H.A. 1986. Humaniora, Filsafat dan Logika. Jakarta:
Rajawali.
Davies, J.J. 1968. On the Scientific Method. London: Longman.
Effendy, Onong Uchyana. 1988. Hubungan Insani. Bandung:
Remaja RosdaKarya.
Encyclopedia Americana, 1997.
Gaarder, Jostein. 1996. Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat.
Bandung: Mizan.
Gie, The Liang. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Penerbit Liberty.
Haramain, Ismail. 1994. Menulis secara Populer. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Hasan, Ali. 1995. Ilmu Mantiq (Logika). Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya.
Hoover, Kerneth R. 1990. Unsur-Unsur Pemikiran Ilmiah dalam
Ilmu-Ilmu Sosial, terj. Hartono. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Yogya.
Hornby, AS. 1987. Oxford Advanced Leaner’s Dictionary for Current
English, 3rd Ed. 25th Imp. New York: Oxford University,
Press.
Bibliografi 197
BIODATA PENULIS
(2003); “Telaah Kasuistik tentang Khalq al-Qur’an dalam Latar Historis (2004), dan
Studi Kritis atas Pemikiran Wensinck tentang Sumber dan Perkembangan Akidah Muslim
(2006), Hak Berpikir, Hak Reproduksi, dan Hak Kepemilikan dalam Islam (Tinjauan
Historis, Yuridis, dan Sosiologis) (2006); Menggagas Sketsa Konsep Dakwah Kontemporer
(Perspektif Historis-Paradigmatis) (2008); Potret Rekonstruksi Pilar-Pilar Filosofis
Ilmu-Ilmu Keislaman di Indonesia (2009); Gerak Ilmu dalam Perspekif Induktivisme
dan Falsifikasionisme: Tinjauan atas Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman (2010); Pendidikan
Tasawuf Model Walisanga: Telaah Teori-Teori Pendidikan (2010). Sedang beberapa
penelitian yang pernah dilakukannya bersama Tim Fakultas Dakwah dan Syari’ah
IKAHA, antara lain: Kerukunan Antarumat Beragama di Kecamatan Mojowarno Kabupaten
Jombang (Studi Deskriptif) (1998); Sistem Pengelolaan Masjid dan Gereja (Studi Kasus
Masjid Jami’ dan Gereja Katolik Tanjunganom Nganjuk) (2002); Urgensi Teori Maslahah
al-Mursalah dalam Merespons Problematika Ketatanegaraan di Indonesia (Studi Kasus Pasca
Gagasan Era Reformasi) (2001); dan Reorientasi Pengembangan Bank Syari’ah Pasca
Bergulirnya Lembaga Perbankan Syari’ah (Developmental Research untuk Studi Mu’amalah)
(2001). Sejumlah penelitian ini diperkaya penelitian mandirinya: Shalawat Wahidiyah;
Produk Tasawuf Indonesia dengan Misi Inklusivisme Global (2007); Perbedaan Hasil
Belajar Ragam Rasional dan Sosial antara Siswa Pria dan Siswa Wanita (Studi Komparatif
di Madrasah Aliyah “Manba’ul Ulum” Kebun Jeruk, Kedoya, Jakarta Barat (2009);
Pengaruh Perilaku Kepemimpinan dan Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah terhadap
Motivasi dan Kinerja Guru (Studi Korelasi Kausal Eksploratif di SMK/STM “Sultan
Agung 1” Tebuireng Jombang) (2010); Bambu Wahidiyah: Antara Cita dan Fakta
(2011).
Selain aktif mengajar, menulis, dan melakukan penelitian, Sokhi Huda juga pernah
mengikuti “Kajian Content Analysis” (1997); “Lokakarya Penelitian Kualitatif ”
(1999); “Lokakarya Penguatan Participatory Action Research (PAR) bagi PTAIS se-
Indonesia” (Surakarta, 2006); “Workshop Pemberdyaan Diri Dosen” (2003);
Workshop Emotional Freedom Technique (2005); Temu Ilmiah Worldview Islam &
Modernisme (2004); dan “ToT Program Pengembangan Pesantren dan Madrasah”
(2005), “Lokakarya Pengembangan Kurikulum PTAIS di lingkungan Kopertais
Wilayah IV Surabaya (2008)”; “Pelatihan Sistem Penjaminan Mutu Perguruan
Tinggi (SPMPT) (2009)”; “Workshop Course Design” Lembaga Penelitian (Lemlit)
IAIN Sunan Ampel Surabaya (2009). Selain itu, Sokhi Huda juga aktif mengisi
kegiatan di luar kampus, seperti diskusi, bedah buku, pembinaan masyarakat,
penelitian, dan aktivitas pemberdayaan pesantren dan madrasah.