Anda di halaman 1dari 28

Biografi Imam Ath-Thabari

Reply
biografi, Break, Dunia Islam, Sejarah
A+ AEmail Print
Ath-Thabari (bahasa Arab: , AD 838 - AD 923 / 310 H) adalah seorang sejarawan dan
pemikir muslim dari Persia, lahir di daerah Amol, Tabaristan (sebelah selatan Laut Kaspia).
Nama lengkapnya adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib alAmali ath-Thabari, lebih dikenal sebagai Ibnu Jarir atau ath-Thabari. Semasa hidupnya, ia
belajar di kota Ray, Baghdad, kemudian Syam dan juga di Mesir.

patung imam at-thibari di pintu masuk Perpustakaan Nasional Tajikistan


Di antara karyanya yang terkenal adalah Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Nabi dan
Raja) atau lebih dikenal sebagai Tarikh ath-Thabari. Kitab ini berisi sejarah dunia hingga
tahun 915, dan terkenal karena keakuratannya dalam menuliskan sejarah Arab dan Muslim.

Karya lainnya yang juga terkenal berupa tafsir Quran bernama Tafsir al-Tabari, yang sering
digunakan sebagai sumber oleh pemikir muslim lainnya, seperti Al-Baghawi, as-Suyuthi dan
juga Ibnu Katsir.
Masa Remaja
Tanda-tanda kesuksesan terlihat jelas pada diri Muhammad bin jarir ath-Thabari sejak masih
remaja. Beliau telah berhasil menghafal Al-Quran pada umur 7 tahun dan mulai menjadi
imam shalat pada umur 8 tahun. Dan pada usia 9 tahun beliau sudah menulis kitab hadis.
Kesuksesan ath-Thabari adalah berkat dorongan ayahnya yang selalu menuntutnya untuk
terus belajar. Ayahnya selalu memberikan semangat kepada ath-Thabari untuk tetap rajin
belajar dan menuntut ilmu. Beliau menghabiskan beberapa tahun dari umurnya menimba
ilmu di kota Amol, kota kelahirannya, lewat para ulama dan guru setempat. Ketika beranjak
remaja, keinginan belajarnya meningkat dan sering keluar kota untuk memperdalam
menimba ilmu, sering berpindah-pindah tempat, dan tinggal di antara kota-kota thibristan.
Tidak hanya itu, ia juga merambah daerah-daerah tetangga sekitar kotanya, daerah yang
banyak terdapat berkumpulnya para ulama. Ia menimba ilmu dari mereka, seperti ilmu tafsir,
hadis dan sejarah. Setelah selesai menimba ilmu dari mereka. Ath-Thabari merasa belum
cukup dan memutuskan untuk pergi menuju kota baghdad. Sebelumnya, beliau pernah
mendengar nama besar seorang ulama terkenal di Baghdad, Ahmad bin Hanbal. Karena itu, ia
sangat ingin bertemu dengannya dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari ulama terkenal
tersebut. Akhirnya beliau berangkat ke kota Baghdad pada tahun 241 H/855 M. Namun citacitanya itu kandas ketika beliau baru sampai di pinggiran kota Baghdad setelah mendengar
berita kematian sang ulama besar yang dikaguminya itu, Ahmad Bin Hambal. Keinginannya
untuk meneruskan perjalanan ke kota Baghdad pun menurun, hilang harapannya. Namun
kecintaan terhadap ilmu dan pelajaran tetap terjaga kuat dan terus berusaha mencari sumber
pengetahuan lainnya. Ath-Thabari tidak langsung ingin segera kembali ke kota asalnya, tetapi
ia malah berbelok arah menuju kota Basrah, di mana di kota itu berkumpul sejumlah ulama
besar.
Kemudian, ia pergi lagi ke kota Wasith dan menghabiskan beberapa waktu di kota tersebut.
Barulah setelah itu, ath-Thabari pindah lagi ke kota kufah. Di kota terakhir inilah ia belajar
ilmu hadis dan qiraat pada ulama dan ahlinya langsung. Selanjutnya, ia pergi juga ke kota
Baghdad untuk melengkapi pelajarannya lewat ulama yang lebih ahli.
Karya-karya ath-Thabari
Di antara karya besar ath-Thabari dalam bidang tafsir adalah Jaamiul Bayaan fii Tawiilil
Quran. Ath-Thabari menulis kitab ini di akhir abad ketiga Hijriyyah. Dalam pendahuluan
kitab ini, Beliau memulainya dengan menjelaskan sebuah hadis Nabi Saw yang berbunyi
unzilal Quran alaa sab atil ahruf dan diakhiri dengan diskusi atas pendapat yang berbedabeda. Dalam sejarahnya, Beberapa ahli Qiraat pada zaman nabi SAW pernah mendatangi
Beliau seraya meminta penjelasan tentang hadis tersebut, Rasul bersabda bagi mereka, AlQuran ini telah diturunkan dengan tujuh huruf (dialek), maka bacalah apa yang menurut
kalian mudah.
Dalam bidang sejarah beliau mengarang Kitab Taariikhul Umam Wal Muluuk. Kitab ini
selesai ditulis pada tahun 303H/915 M. Kitab ini memiliki dua tahapan. Pertama, dimulai
sejak awal penciptaan sampai sesaat sebelum datangnya Islam. Kedua, sejak munculnya
Islam hingga tahun 302 H/914 M. Pada fase pertama, ath-Thabari berbicara tentang awal
mula penciptaan dan beberapa lama waktu terjadinya. Ia menyebutkan pula berita tentang

iblis dan kedudukannya sebelum diciptakannya adam, lalu aksi pembangkangan serta
kesombongan untuk sujud kepada Adam dan diakhiri dengan pengusiran iblis dari rahmat
Allah. Dalam bidang fiqih, karyanya berjudul ikhtilaaful Fuqahaa atau ikhtilaaful UlamaalAmshaarfii Ahkamami Syaraaiil Islam. Dalam kitab ini beliau berbicara tentang sejumlah
hukum fiqh yang berkaitan dengan jual beli, pilihan jual beli, keuntungan yang boleh, jual
beli kontan, pegadaian, dan jaminan dalam jual beli barang yang tidak ada ditempat.
Selain yang btersebut di atas beliau juga menulis dalam bidang fiqih, sejarah dan akhlak,
antaranya:
1.

Kitab Dzailul Mudziil, adalah kitab yang berjumlah sekitar 1000 halaman. Kitab ini
membahas sejarah para sahabat, tabiin, tabitabiin, hingga masa ath-Thabari.

2. Kitab Lathiful Qaul fii Ahkami Syarail Islam, terdiri atas 2500 halaman. Kitab ini
dikarang setelah kitab ikhtilaaful Fuqahaa. dalam kitab ini dipaparkan aliran fiqhnya
dan berbicara tentang sejumlah masalah fiqh.
3. Kitab al-Khafiif fii Ahkaami Syaraiil Islam adalah ringkasan buku sebelumnyan,
Lathiiful Qaul yang terdiri dari 400 halaman.
4. Kitab Adaabul Qudhaat. Disini dipaparkan tentang jaksa dan pekerjaan apa saja yang
pantas dilakukan oleh mereka, jumlah sekitar 1000 halaman.
5.

Kitab Basiithul qaul fii Ahkaamil Syaraaiil Islam. Buku ini berbicara tentang
silsilah fiqh di kota Madinah, Mekkah, Kufah, Bashrah, Syam dan Khurasan

http://www.umdah.co/2015/05/biografi-imam-ath-thabari.html

Imam Al-Qurthubi
Ahli Tafsir Ternama dari Cordova
Nama dan asal beliau
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi alQurthubi, seorang ahli tafsir dari Cordova (sekarang bernama Spanyol). Ia berkelana ke negeri timur dan
menetap di kediaman Abu Khusaib (di selatan Asyut, Mesir). Dia salah seorang hamba Allah yang shalih dan
ulama yang arif, wara dan zuhud di dunia, yang sibuk dirinya dengan urusan akhirat. Waktunya dihabiskan
untuk memberikan bimbingan, beribadah dan menulis.
Karya-Karya Beliau
Dia adalah menulis mengenai tafsir al-Quran, sebuah kitab besar yang terdiri dari 20 jilid, yang diberinya
judul: Al-Jami liahkam al-Quran wa al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqan.
Kitab ini merupakan salah satu tafsir terbesar dan terbanyak manfaatnya. Penulis tidak mencantumkan kisahkisah atau sejarah, dan sebagai gantinya, penulis menetapkan hukum-hukum al-Quran, melakukan istimbath
atas dalil-dalil, menyebutkan berbagai macam qiraat, Irab, nasikh, dan mansukh.
Al-Asna fi Syarh Asmaillaj al-Husna
At-Tidzkar fi Afdhal al-Adzkar
Syar at-Taqashshi
Qam al-Hirsh bi az-Zuhd wa al-Qanaah

At-Taqrib likitab at-Tamhid


Al-Ilam biima fi Din an-Nashara min al-Mafasid wa al-Auham wa Izhharm Mahasin Din al-Islam
At-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa umur al-Akhirah (edisi Indonesia: Buku Pintar Alam Akhirat)
Guru-Guru Beliau
Beliau mendengar pelajaran dari Syaikh Abu al-Abbas Ahmad bin Umar al-Qurthubi dan meriwayatkan dari alHafizh Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin Hafsh dan lain sebagainya.

Beliau tinggal di kediaman Abu al-Hushaib.


Wafat Beliau
Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi meninggal dan dimakamkan Mesir yaitu dikediaman Abu al-Hushaib, pada
malam senin, tanggal 09 Syawwal tahun 671 H. semoga Allah merahmati dan meridhai beliau.
Sumber: Lihat dalam Al-Alam karya Az-Zirikli, 5/322. dan Hadiyyatul Arifin, karya Al-Babani, 2/129.

Janji Allah yang termaktub dalam Surat al-Mujadilah ayat ke-11, Dia akan
mengangkat orang-orang yang beriman dan memiliki ilmu ke derajat yang lebih
tinggi, mendapat sambutan yang hangat dari kaum Muslimin. Mereka berlombalomba ingin mencapai hirarkhi keilmuan yang paling tinggi, bagaimanapun caranya
dimanapun mereka berada, dan kapan pun waktunya. Tidak mengherankan jika di
berbagai zaman dan berbagai tempat banyak para ulama dalam berbagai disiplin
ilmu yang bermunculan, bagaikan cendawan di musim penghujan.
Dalam lintasan sejarahnya, umat Islam mempunyai banyak ahli tafsir yang
ternama. Di antara sebagian nama ahli tafsir ternama yang lekat di hati kaum
Muslimin adalah Imam Qurthubi yang memiliki nama asli Abu Abdillah Muhammad
bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi.
Lahir di Cordova, Andalusia (Spanyol) Di kota kelahirannya itu, ia belajar bahasa
Arab, al-Quran, syair, fiqh, nahwu, qiraat, balaghah, dan ilmu-ilmu lainnya.
Imam al-Qurthubi hidup ketika orang-orang al-Muwahhidun tengah berkuasa.
Secara tidak langsung, di bawah kekuasaan orang-orang alMuwahhidun ini, banyak
memberikan sumbangan berharga bagi kehudupan intelektualnya. Hal demikian
terjadi karena Muhammad bin Taumart, pendiri Dinasti al-Muwahhidun, merupakan
salah seorang ulama terkemuka pada masanya. Ketika orang-orang al-Muwahhidun
ini berkuasa, banyak buku dan karya tulis yang tersebar luas di Andalusia. Cordova
sendiri merupakan kota yang paling banyak dibanjiri buku-buku tersebut, dan
penduduknya merupakan para pecinta dan penuntut ilmu yang paling gigih di
seantero Andalusia.
Oleh orang-orang yang hidup sezaman dengannya, Imam al-Qurthubi dikenal
sebagai seorang penuntut ilmu yang sangat tekun. Dia belajar kepada banyak
ulama terkemuka pada masanya. Di antaranya Dharir bin Ali bin Futuh al-Uzdi alIskandarani al-Maliki (adalah ahli hadits yang lebih terkenal dengan julukan Ibnu
Rawaj). Al-Alamah Bahauddin Abu al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah al-Misri
asy-SyafiI (ahli hadits, ali fiqh, dan ahli qiraat yang lebih terkenal dengan julukan
Ibnu al-Jumaizi).. Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim al-Maliki, Al-Hasan bin
Muhammad bin Amruk at-Taimi an-Nisaburi, dll.
Selama hidupnya, Imam al-Qurthubi dikenal sebagai seorang lelaki yang shalih,
ulama yang sangat luas dan dalam ilmunya, zuhud terhadap dunia, banyak

menyibukkan diri dengan urusan akhirat, serta menghabiskan umurnya untuk


beribadah dan menulis buku. Asy-Syaikh adz-Dzahabi memberikan kesaksian
tentang dirinya, Imam al-Qurthubi seorang imam yang banyak menguasai dengan
mendalam berbagai disiplin ilmu. Dia mempunyai banyak karya tulis yang
bermanfaat, yang menunjukkan tentang keanekaragaman kajiannya, serta
maksimalitas akal dan keunggulannya.
Para ahli sejarah menyebutnya bahwa Imam al-Qurthubi mempunyai banyak
karangan. Di antaranya Al-Jami li Ahkamil Quran, At-tadzkirah fi Ahwalil Mauta
wa Umuril Akhirah, At-Tidzkar fi Afdlalil Adzkar, Al-Usna fi Syarhi Asmaillahil
Husna, Syarhut Taqashi, Al-Ilam bi Ma fi Dinin Nashara minal Mafasid wal Auham
wa Idhari Mahasini Dinil Islam, Qamul Hirshi biz Zuhdi wal Qanaah, Risalatun fi
Alqabil Hadits, Kitabul Aqdliyah, Al-Mishbah fil JamI bainal Afali wash Shihah,
dll.
Meskipun mempunyai banyak karya tulis, namun karya tullis yang paling terkenal
yang dipunyai Imam al-Qurthubi adalah kitab tafsirnya yang berjudul Al-jami li
Ahkamil Quran. Kitab ini dinilai sebagai ensiklopedia yang memuat banyak
informasi tentang ilmu pengetahuan. Adapun keistimewaan dari kitab ini, di
dalamnya diulas tentang hukum-hukum yang terkandung di dalam ayat al-Quran
secara panjang lebar, mayoritas hadits-hadits yang ada di dalamnya langsung
ditakhrij oleh Imam al-Qurthubi dan diungkapkan pula para perawinya. Di dalam
kitab ini Imam al-Qurthubi tidak banyak memasukkan cerita-cerita israiliyat dan
hadits-hadits palsu, dan kalaupun dia memasukkan cerita-cerita israiliyat yang ada
kaitannya dengan nama baik para malaikat dan para nabi, dia berulangkali
menyebutkan bahwa cerita tersebut adalah batil dan tidak bisa
dipertanggungjawabkan otentisitasnya.
Kendati oleh banyak kalangan kitab al-Jami li Ahkamil Quran dinilai sebagai kitab
tafsir yang terbaik, namun tetap saja ia tidak bisa terlepas dari cacat dan
kekurangan. Di antara cacat dan kekurangan itu adalah ketika Imam a-Qurthubi
menafsiri ayat ke 7 dari surat Gharir yang artinya berbunyi, (Malaikat-malaikat)
yang memikul Arsy dan malaikat yang ada di sekelilingnya bertashbih memuji
Tuhan mereka. Dalam menafsiri ayat ini dia menukilkan cerita israiliyat yang
menyebutkan bahwa kaki para malaikat tersebut berada di lapisan bumi yang
paling bawah, sedangkan kepala mereka menembus langit hingga ke samping Arsy.
Dalam menulis kitab tafsirnya itu, Imam al-Qurthubi banyak merujuk dan
dipengaruhi kitab-kitab tafsir yang dikarang para ahli tafsir besar yang hidup
sebelumnya. Di antara mereka itu adalah Abu Muhammad Abdul Haq bin Athiyyah
(lebih terkenal dengan julukan Ibnu Athiyyah), Abu Jafar an-Nuhas, Abu al-Hasan
Ali bin Muhammad al-Mawardi (lebih terkenal dengan julukan Al-Mawardi), Abu
Jafar Muhammad bin Jarir ath-Thabari (lebih terkenal dengan julukan Ibnu Jarir
ath-Thabari), dan Abu Bakr bin al-Arabi. Dari kitab-kitab tafsir mereka itu, Imam
al-Qurthubi menukil tafsir bil matsur, qiraat, lughah, nahwu, balaghah, fiqh,
kajian hukum dsb.
Dikemudian hari kitab tafsir Imam al-Qurthubi itu ternyata banyak mempengaruhi
dan menjadi rujukan bagi para penafsir yang hidup sesudahnya. Hal demikian tentu
bisa dimaklumi mengingat adanya berbagai keistimewaan pada kitab tersebut. Para
penafsir yang banyak dipengaruhi dan merujuk kitab tafsirnya itu di antaranya
adalah Imaduddin Abul Fida Ismail bin Amru bin Katsir (lebih terkenal dengan
julukan asy-Syaukani) dll.
Beberapa tahun menjelang kewafatannya, Imam al-Qurthubi berpindah ke Mesir.
Pada saat itu yang tengah berkuasa di sana adalah orang-orang al-Ayyubiyyun.

Orang-orang al-Ayyubiyyun ini, seperti halnya orang-orang al-Muwahhidun di


Andalusia, juga dikenal sebagai para pecinta dan penuntut ilmu yang sangat gigih.
Maka, praktis di ahidup di tengah komunitas baru yang tidak jauh berbeda dengan
komunitas lamanya.
Pada malam Senin hari ke 9 dari bulan Syawwal tahun 871 H, Allah memanggil
Imam al-Qurthubi yang shalih serta berilmu luas dan mendalam ini ke hadirat-Nya.
Oleh kaum Muslimin, jenazahnya dimakamkan di pemakaman al-Muniya yang
terletak di sebelah timur Sungai Nil. Semoga Allah senantiasa merahmatinya
dengan rahmat yang seluas-luasnya.
http://gurungaji-ygni.blogspot.co.id/2013/11/biografi-imam-al-qurthubi.html

FAKHRUDDIN AR-RAZI

(Rayy, Iran, 1149-Herat, Afghanistan, 1209). Seorang mufassir, mutakallim,


ahli usul fiqih dan pengamat perkembangan pemikiran, sosial dan kehidupan
masyarakat. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin
Husain at-Taimi al-Bakri. Fakhruddin ar-Razi dikenal juga dengan nama ar-Razi atau
Imam Fakhruddin.
Pendidikan awal diterima dari orang tuanya yang bernama Dauddin, seorang
ulama dan pemikir yang dikagumi masyarakat Rayy. Selanjutnya ia belajar kepada
ulama-ulama besar lainnya. Filsafat dipelajarinya dari dua ulama besar bernama
Muhammad al-Bagawi dan Majdin al-Jilli. Ilmu kalam dipelajarinya dari Kamaluddin
as-Sammani. Kecerdasannya menjadikannya ahli dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan, baik agama maupun umum, seperti kedokteran, matematika, fisika,
bahkan astronomi.
Kematangan pengetahuan Fakhruddin membuatnya berani berdialog dengan
para tokoh di tanah kelahirannya dan di beberapa daerah lain. Dialog pertama terjadi
dengan kaum Muktazilah di Khawarizmi (Asia Tengah) dan dengan para ahli agama
lainnya, seperti seorang pendeta besar yang dikagumi pengetahuannya oleh
masyarakat Kristen. Dialognya dengan pendeta ini ditulis dalam buku al-Munazarat
bain an-Nasara.
Fakhruddin kemudian meninggalkan Khawarizmi menuju Transoksania (Asia
Tengah). Di sini ia disambut hangat oleh penguasa Dinasti Guri, Giyatuddin, dan
saudaranya, Syihabuddin. Akan tetapi, keadaan itu hanya berjalan sebentar, karena
kemudian ia mendapat serangan-serangan tajam dari golongan Karamiah.
Akibatnya, ia meninggalkan Transoksania menuju Gazna (kini di Afghanistan).
Sebagaimana di Transoksania, penguasa Khawarizmsyah di Gazna, Alaaddin,
menyambutnya dengan penuh kehormatan dan mendirikan sebuah perguruan
baginya. Ke situ berdatangan para pencari ilmu dari berbagai daerah, baik dari
daerah yang telah dikuasai Islam maupun dari luarnya. Beberapa bulan setelah
kitabnya yang berjudul al-Matalib al-'Aliyah (kitab teologi dan filsafat) selesai ditulis,
Fakhruddin ar-Razi meninggal dunia dalam usia 60 tahun.

Dalam bidang fiqih, Fakhruddin menganut Mazhab Syafi'i. la juga termasuk


salah seorang yang gigih mempertahankan pemikiran yang dikembangkan kaum
Asy'ariyah. Sebagai seorang yang mendalami teologi, kajian-kajian teologi
dikembangkannya melalui pendekatan filsafat. Karena pendekatannya itu, ia
dianggap sebagai seorang Muktazilah. Namun konsep dasar Muktazilah pun tidak
luput dari kajian dan kritiknya.
Peranan Fakhruddin ar-Razi dalam pengembangan cakrawala pemikiran
umat Islam tak dapat dilepaskan dari perhatian yang diberikan penguasa.
Kemunduran semangat intelektualitas dalam Islam sebagai akibat jatuhnya Dinasti
Abbasiyah ke tangan bangsa Tatar dalam aspek politik, agama maupun peradaban
sangat parah, khususnya di daerah-daerah yang dikuasai oleh kaum Suni. Keadaan
semacam inilah yang mendapat perhatian dari Fakhruddin. Keterputusan pemikiran
filsafat dalam dunia Islam dicoba untuk dihubungkan kembali.
Fakhruddin dinyatakan sebagai tokoh reformasi dunia Islam pada abad ke-6
H, sebagaimana tokoh Abu Hamid al-Gazali pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki
sebagai tokoh pembangun sistem teologis melalui pendekatan filsafat. Pembahasan
teologisnya mengambil bentuk yang berbeda dari pembahasan tokoh-tokoh teologi
sebelumnya. Tema-tema teologis dikaitkan dengan tema-tema cabang pengetahuan
lainnya. Sayid Hussein an-Nasr, seorang penulis Iran dan pemikir mistik modern,
menjelaskan bahwa dalam risalah yang berjudul Asrar at-Tanzil, Fakhruddin
mengawinkan tema etika dengan pembahasan teologis.
Permasalahan manusia dan kebebasannya, yang merupakan ajang
perbedaan pendapat yang tak berkeputusan di kalangan kaum mutakalim, mendapat
pembahasan yang berbeda dari Fakhruddin. Menurut pandangannya, manusia,
dalam melakukan perbuatan atau tidak melakukannya, sangat terkait dengan
keyakinan terhadap akibat perbuatan yang dilakukannya, baik maupun buruk.
Keyakinan tersebut oleh Fakhruddin diistilahkan dengan ad-da'iyat, dorongan
melakukan perbuatan dan, as-sarifat, dorongan meninggalkan atau tidak melakukan
perbuatan. Ad-da'iyat dan as-sarifat, dalam mewujudkan perbuatan, tidak dapat
berdiri sendiri; keduanya membutuhkan suatu daya yang disebut al-qudrat. Ketiga
unsur tersebut adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia, karena itu
perbuatan yang dilakukan manusia adalah perbuatan manusia.
Mengenai masalah penilaian baik dan buruk, Fakhruddin membaginya ke
dalam dua bentuk. Pertama, yang menyangkut kesenangan dan kepuasan manusia
sangat bergantung kepada manusia sendiri. Kedua, yang menyangkut hukum,
apakah suatu perbuatan harus dilaksanakan atau terpaksa harus ditinggalkan,
syariatlah yang menentukannya. Dalam hal terakhir manusia tidak mempunyai
kekuasaan untuk mengaturnya.
Sebagaimana
permasalahan
manusia
dan
perbuatannya,
dalam
permasalahan sifat Tuhan, Fakhruddin sepakat dengan kalangan Asy'ariyah. la
mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Akan tetapi sifat-sifat Tuhan itu berjumlah

delapan buah, sebagaimana dikembangkan oleh Imam Syafi'i, yaitu wahdaniyat


(esa), al-hayah (hidup), al-'ilm (ber-ilmu), al-qudrah (berkuasa), al-iradah
(berkehendak), as-sam'i (mendengar), al-basr (melihat) dan al-kalam (berkata).
Dalam menghadapi ayat-ayat yang berkonotasi tajsim dan tasykhis
(antropomorfis) bagi Tuhan, Fakhruddin memahaminya sebagai ayat-ayat majasi
(kiasan), yang perlu ditakwilkan dan dipahami secara metafora. Tuhan, menurutnya,
adalah maha suci dari semua penyerupaan dan penyamaan. Tuhan tidak berjisim,
karena yang berjisim memerlukan ruang dan waktu, serta memerlukan adanya
dimensi. Setiap yang berdimensi adalah terbatas, dan setiap yang terbatas bukanlah
Tuhan. Tuhan, menurutnya, adalah Wajib al-wujud li zatih (Wajib ada-Nya karena
Zat-Nya) dan la mempunyai beberapa keistimewaan, yaitu: Ia yatarakkab min gairih
(tidak tersusun dari unsur lain); Ia yatarakkabu 'anhu gairuh (selainnya bukan
berasal dari Zat-Nya); Ia yakunu wujuduh za'idan 'ala mahiyatih (wujud-Nya bukan di
luar hakikat-Nya); dan Ia yakunu musytarikan bain al-isnain (la bukan kombinasi dua
unsur).
Dalam masalah fiqih, pemikiran yang dikembangkan Fakhruddin melalui
karya tafsirnya yang berjudul Mafatih al-Gaib (Pembuka yang Gaib) sejalan dengan
pendapat dan pemikiran kaum asy-Syafi'iyah pada umumnya. Namun dalam permasalahan usul fiqih, menurutnya, istinbat hukum tidak perlu ditempuh melalui
pendekatan analogi (kias).
Fakhruddin menghasilkan lebih-kurang seratus karya tulis dalam berbagai
aspek pengetahuan yang berkembang di zamannya. Semua karya tersebut dapat
dipilah dalam beberapa bidang.
Dalam bidang tafsir Al-Qur'an, terdapat karya monumental, yaitu kitab tafsir
Mafatih al-Gayb (16 jilid, beredar hampir ke seluruh penjuru dunia, termasuk
Indonesia), Tafsir Surah al-Fatihah, dan Tafsir Surah al-Baqarah.
Dalam bidang ilmu kalam, karya tulisnya mencakup beberapa buku, di
antaranya; 1) Al-Matalib al-'Aliyah min al-'ilm al-ilahi, terdiri dari 9 jilid, terbitan
pertama oleh Dar al-Kutub al-'Arabi, Beirut, tahun 1987, tahqiq (diedit) oleh Dr.
Ahmad Hijazi as-Saqa. 2) Asas at-Taqdis (Dasar-dasar Penyucian), terbitan pertama
oleh Mushthafa al-Halabi, Mesir, tahun 1935. 3) Al-Arba'in fi Usul ad-Din (tentang
empat puluh pokok agama), terbitan pertama oleh Dar al-Ma'arif Heydrabat, tahun
1952. 4) Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Mutaakhkhirin min 'Ulama' wa alHukama' wa al-Mutakallimin, diterbitkan oleh Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyat.

Dalam bidang tasawuf, karya-karyanya antara lain Kitab Irsyad an-Nazar ila
Lata'if al-Asrar dan Kitab Syarh 'Uyun al-Hikmah. Dalam bidang filsafat, antara lain
Kitab Syarh Qism al-Ilahiyat min al-Isyarah li ibn Sina dan Lubab al-Isyarah. Dalam
bidang sejarah, antara lain Kitab Manaqib al-Imam as-Syafi'i dan Kitab Syarh Saqt

al-Zind li al-Mu'ri. Dalam bidang usul fiqih, antara lain al-Mahsul fi 'Ilm Usul al-Fiqh
(terbit tahun 1979). Di samping kitab-kitab tersebut, masih terdapat banyak
manuskrip lain tulisan Fakhruddin, baik dalam tulisan Arab maupun dalam tulisan
Persia.
http://wierahadie.blogspot.co.id/2014/02/fakhruddin-ar-razi.html

BIOGRAFI AZ-ZAMAKHSYARI
By. Moh. Subhan
Riwayat Hidupnya
Dia adalah Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Di lahirkan
pada 27 Rajab 467 H. Di Zamakhsyar, sebuah perkampungan besar di kawasan khawarizmi
(Turkistan). Dia mulai belajar di negeri sendiri, kemudian di Bukhara, dan belajar sastra
kepada Syeih Mansyur Abi Mudhar. Kemudian pergi ke Mekkah dan menetap cukup lama
sehingga memperoleh julukan Jarullah (Tetangga Allah). Dan selama tinggan di kota Mekkah
itulah dia menulis Al-Kasysyaf An Haqaiqit Tanzil Wa Unuyil Aqawil Fi Wujuhit Tawil.
Dia wafat pada 538 H, di Jurjaniah Khawarizm setelah kembali dari Mekkah.
Beliau termasuk tokoh aliran Muktazilah yang membela mati-matian madzhabnya. Ia
memperkuatnya dengan kekuatan hujjah yang dimilikinya.
Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya al-Miizaan (IV:78) berkata, Ia
seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah,
semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf
karyanya.
Keilmuan Dan Karyanya
Zamakhsyari adalah salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, maanai dan bayan. Dia
juga merupakan ulama yang genius dan sangat ahli dalam bidang ilmu nahwu, bahasa, sastra
dan tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang ilmu bahasa arab diakui dan dipedomani oleh para
ahli bahasa karena keorisinilan dan kecermatannya.
Bagi orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah tentu sering menemukan
keterangan-keterangan yang di kutip dari Zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya mereka
mengatakan Zamakhsyari telah berkata dalam kitab al-kasysyaf atau dalam asasul
balaghah... Ia adalah orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak
masalah bahasa arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti langkah orang lain yang hanya
menghimpun atau mengutip saja, tetapi dia mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya di
tiru dan diikuti oleh banyak orang. Dia menpunyai banyak karya dalam bidang hadits, tafsir,
nahwu, bahasa, maani dan lain sebagainya. Diantara karangannya adalah :
Al-Khasysyaf, tentang Tafsir Al-Quran
Al-Faiq, tentang Tafsir Hadits
Al-Minhaj, tentang Ushul
Al-Mufassal, tentang Nahwu
Asasul Balaghah, tentang Bahasa
Ruusul Masailil Fiqhiyah, tentang Fiqh
Kitab al-khasysyaf karya az-Zamakhsyari adalah sebuah kitab tafsir paling masyhur diantara

sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bir-ra-yi yang mahir dalam bidang bahasa.
Al-alusi, Abus Suud, an-Nasafi dan para mufassir lain banyak mengutib dari kitab tersebut,
tetapi tanpa menyebut sumbernya
Mazhab Fiqih Dan Aqidahnya
Zamakhsyari bermazhab Hanafi dan beraqidah paham Mutazilah. Ia menakwilkan ayat-ayat
al-quran sesuai dengan mazhab dan aqidah yang dianutnya dengan cara yang hanya di
ketahui oleh orang yang ahli, dan menamakan kaum mutazilah sebagai saudara seagama
dan golongan utama yang selamat dan adil .
Kitab Karangannya, Al-Kasysyaf An Haqaiqit Tanzil Wa Unuyil Aqawil Fi Wujuhit Tawil
Kitab tafsir ini disusun oleh Az-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H
sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk
melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Hal itu diketahui dari pengakuannya sendiri yang
dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa lama
penyusunan kitabnya sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.
Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-rayi yang terkenal, yang dalam
pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau
dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab
terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga
didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam,
termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas
pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mutazilah untuk menyuarakan
fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara
lain untuk menaikkan pamor Mutazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan
tawil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan,
tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jamaah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah
wal Jamaah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi
pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama
mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama
mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman
makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk
menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Quran. Lebih jauh, Ibnu Asyur
menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Quran
didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Suud, al-Nasafi, dan para mufassir
lain merujuk kepada tafsirnya.
Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di
antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai
Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Inshaf fi ma
Taqaddamahu al-Kasysyaf min Itizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam
Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir alIskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir alKasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi.

Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan
tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh azZamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting
tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah alFatihah sampai surah an-Nisa (surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada
surah al-Anam sampai pada surah al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran
ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam
surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat
dalam surah Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke114).
Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an,
dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini
dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode
tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan
segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf
Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan
metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka
tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di
mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan
satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia
menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini
selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan
kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini
digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid AzZamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut
pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:
"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu
bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk
menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat
yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan
seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu.
Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka
penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di
dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada
awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan
sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya
menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta
menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".
Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitabkitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir,
hadis, qiraat, maupun bahasa dan sastra.
Pada sisi lain karya az-Zamakhsyari ini banyak dijadikan sebagai obyek kajian para ulama,
baik ulama mutaakhirin maupun para ulama mutaqaddimin, yang ditujukan terhadap berbagai

aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di antara para ulama ada juga yang
memberikan penilaian negatif, di samping yang positif. Komentar-komentar tersebut dapat
dilihat antara lain di dalam kitab-kitab yang secara lengkap membahas mengenai hal itu,
antara lain: Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur'an wa Bayan Ijazi karya Musthafa
Juwaini, At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-'Irfan fi Ulum al-Quran
karya Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah al-Quraniyyah fi Tafsir azZamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa.
Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir Al-Kasysyaf
tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu:
1. Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mutazilah;
2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;
3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;
4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;
5. Penampilan dirinya sebagai ahli qiraat,
6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,
7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan
8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang
Mutazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas
menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab
tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada
pandangan-pandangan Mu'tazilah.
Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia juga
mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir Al-Kasysyaf, antara lain: Pertama,
terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari uraian yang panjang; Ketiga,
dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya
bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan penekanan pada aspek-aspek
balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa maaniyyah maupun bayaniyyah; dan
Kelima, dalam melakukan penafsiran ia menempuh metode dialog.
Zamakhsyari adalah seorang penganut paham dan bermazhab Hanafi, ia menulis al-khasysaf
untuk mendukung akidah dan mazhabnya. Paham kemutazilahan dalam tafsirnya itu telah
diungkapkan dan diteliti oleh Allamah Ahmad Annayyir yang di tuangkan dalam bukunya
al-Intisaf.
Di dalam kitab ini an-Nayyir menyerang az-zamakhsyari dengan mendiskusikan masalah
akidah mazhab Mutazilah yang dikemukakannya dan mengemukakan pandangan yang
berlawanan dengannya, dia juga mendiskusikan masalah-masalah kebahasaan.
Paham kemutazilahan Zamakhsyari dalam tafsirnya membuktikan kecerdasan,
kecemerlangan dan kemahirannya. Ia mampu mengungkapkan isyarat-isyarat yang jauh agar
terkandung di dalam makna ayat guna membela kaum Mutazilah dan menyanggah lawanlawannya. Tetapi dari aspek kebahasaan ia berjasa telah menyingkap keindahan al-quran dan
daya tarik balaghahnya. Hal ini karena dia memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang
ilmu balaghah, Bayan, nahwu dan sharaf.
Dia pernah menyatakan bahwa orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir tidak akan dapat
menyelami hakikatnya sendirikecuali jika dia telah menguasai dua ilmu khusus bagi al-quran

yaitu, ilmu maani dan ilmu bayan. Zamakhsyari telah cukup lama menyelami keduanya,
bersusah payah dalam menggalinya, menderita karenannya serta di dorong oleh cita-cita
luhur untuk memakahi kelembutan-kelembutan hujjah Allah dan oleh hasrat ingin
mengetahui mukjizat Rasulullah.
Ibnu Khaldun memberikan analisa dan penilaian terhadap Al-Khasysyaf karya Zamakhsyari
tersebut di saat membicarakan tentang rujukan tafsir mengenai pengetahuan tentang bahasa,
Irab, dan balaghah. Dia mengatakan :
Di antara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah kitab Al-Khasysyaf
karya Zamakhsyari, seorang penduduk khawarizm di Irak.hanya saja pengarangnya termasuk
pengikut fanatic mutazilah. Karena itulah ia senantiasa mendatangkan argementasiargumentasi untuk membela mazhabnya yang rusak setiap ia menerangkan ayat-ayat
Alquran dari segi balaghah. Cara demikian bagi para penyelidik dari kaum ahli sunnah di
pandang sebagai penyimpangan dan, bagi jumhur, merupakan manipulasi terhadap rahasia
dan kedudukan al-Quran. Namun demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya
dalam hal berkaitan dengan bahasa dan balaghah. Tetapi jika orang membacanyatetap
berpijak pada mazhab sunni dan menguasai hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari
perangkap-perangkapnya. Oleh karena itu, kitab tersebut perlu di baca mengingatkeindahan
dan keunikan seni bahasanya.
Belakangan ini munculsebuah karya salah seorang bangsa Irak, Syafruddi at-Tayyibi,
penduduk Tauriz Irak ajam. Di dalam karya tersebut ia mensyarahkan kitab zamakhsyari,
meneliti lafaz-lafaznyam membeberkan mazhab mutazilahnyadengan mengemukakan dalildalil yang membuktian kepalsuannya dan menjelaskan bahwa aspek balaghah itu hanya
terletak pada ayat menurut pandangan ahli sunnah, bukan menurut pandangan kaum
mutazilah. Sungguh sebemnarnya dia telah berbuat baik dalam hal tersebut sesuai dengan
kemampuannya serta mencukupi pula seni-seni balaghahnya. Ya, kita tahu benar bahwa
bagaimanapun di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai.
Al-Maktabah at-Tajariyah Mesir telah menerbitkan al-Khasysyaf cetakan terakhir yang
diterbitkan oleh Mustafa Husein Ahmad dan di beri lampiran empat buah kitab.
Al-Intisaf oleh an-Nayyir
Asy-Syafi fi Takhriji Ahaadisil Khasysyaf oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar Alasqalani
Hasyifah Tafsir al-Khasysyaf oleh Syaikh Muhammad Ulyan al-Marzuki, dan
Masyahidul Insaf ala Syawahidil khasysyaf juga oleh al-Marzuki
Kitab terakhir inilah yang menunjukkan bahwa tafsir az-Zamakhsyari mengandung banyak
akidah Mutazilah yang diungkapkan secara tersirat.
KESIMPULAN
Dari hasil kajian terhadap karya-karya Az-Zamakhsyari, para pengkaji dapat menarik
kesimpulan-kesimpulan tersendiri, baik tentang kepribadiannya maupun tentang kedalaman
ilmu dan keistimewaan karya itu sendiri. As-Samani misalnya, berkata: Az-Zamakhsyari
adalah orang yang dapat dijadikan contoh karena kedalaman ilmu pengetahuannya mengenai
sastra dan tata bahasa Arab. Pujian ini sangat berkaitan dengan kedalaman ilmu beliau dalam
bidang bahasa dan sastra. Pernyataan itu wajar ditujukan kepadanya, karena memang para
ulama mengakui kapabilitas tokoh ini dalam ilmu bahasa. Hal yang sama juga telah

dikemukakan oleh Ibnu al-Anbari, dengan menyatakan bahwa az-Zamkhsyari adalah pakar
nahwu. Kemudian, Ibnu Kalikan memuji kedalaman ilmu yang dimiliki oleh az-Zamkhsyari
seraya mengatakan bahwa ia adalah ulama besar pada masanya. Ia menjadi tempat bertanya
dan menjadi rujukan, sehingga ia selalu didatangi oleh para ulama untuk menimba ilmu
pengetahuan. Begitulah pujian yang menempatkan Az-Zamakhsyari sebagai narasumber pada
masanya, bahkan pada masa sesudahnya.
http://islami90.blogspot.co.id/2011/07/biografi-az-zamakhsyari-by.html

Al-Baidawi dilahirkan di Baida, sebuah daerah yang berdekatan


dengan kota Syiraz di Iran Selatan. Di kota inilah beliau tumbuh dan
berkembang menempa ilmu. Ia juga pernah belajar di Baghdad hingga
kemudian menjadi hakim agung di Syiraz (Azarbaijan) suatu daulah yang
berdiri sendiri namun tetap berkiblat kepada daulah Abbasiyah mengikuti
jejak ayahnya.[1] Abdullah ibn Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidawi alSyafii yang merupakan nama lengkap dari al-Baidawi adalah seorang
ulama multidisipliner dalam ilmu pengetahuan, yaitu ahli dalam bidang
tafsir, bahasa arab, fiqh, ushul fiqh, teologi, dan mantiq.[2] Iapun
merupakan sosok yang pandai berdebat dan sangat menguasai etika
berdiskusi, sehingga pantaslah ia mendapatkan gelar nazzar atau
mutabahhir fi maida fursan al-kalam.[2] Al-Baidhawi merupakan salah
satu pengikut madzhab syafiiyah dalam bidang fiqh dan ushul fiqh serta
menganut konsep teologi ahl al-sunnah wa al-jamaah.
Sesuai dengan jabatan dan keahliannya dalam berbagai bidang
keilmuan, al-Baidawi dapat disebut sebagai sosok yang unggul dalam
masyarakatnya. Salah satu bukti kepandaiannya adalah pujian yang
diteriama beliau, yaitu Nasir al-Din (penolong agama). Al-Baidawi hidup
dalam keadaan politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakar yang
memegang tampuk kekuasaan pada saat itu tidak memiliki kekuatan yang
cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya
supremasi keadilan yang lemah, namun juga sikap hedonis dan boros dari
para pejabat yang berkuasa. Nampaknya hal inilah yang melatarbelakangi
pengunduran diri al-Baidawi dari jabatan hakim agung. Intervensi dari
penguasa terhadap lembaga peradilan yang begitu kuat membuat
kekhawatiran tersendiri bagi banyak fuqaha, termasuk al-Baidawi. Mereka
khawatir jika diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan
dengan syariat Islam. Keputusan al-Baidawi ini juga dipengaruhi oleh
nasihat yang diberikan oleh pembimbing spiritualnya, Syaikh Muhammad
bin Muhammad al-Khatai agar al-Baidawi tidak lagi bersentuhan dengan
lembaga hukum.[3]
Setelah melepaskan jabatannya sebagai hakim di daerah Syiraz, alBaidawi mengembara ke Tabriz dan berguru pada ulama setempat. Ia
singgah di sebuah majlis dars bagi para pembesar setempat. Karena
kehebatan beliau, banyak diantara pembesar setempat memujinya.
Dikota inilah beliau mengarang kitab tafsir yang berjudul Anwar al-Tanzil
wa Asrar al-Tawil. Beliau menetap di kota ini hingga ajal menjemputnya.
Ada perbedaan diantara ulama tentang tahun wafat beliau, antara lain alSubki dan Asnawi menyatakan bahwa al-Baidawi wafat pada tahun 691 M,
sedangkan Ibnu Kasir menyatakan bahwa beliau wafat tahun 685 M.[4]

Sebagai seorang ulama yang terkemuka, al-Baidawi telah


menghasilkan banyak karya tulis diberbagai bidang keilmuan. Karya-karya
tesebut antara lain Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Tawil (tafsir), Syarah
Masabih (hadis), Tawali al-Anwar, al-Misbah fi Ushul al-Din (teologi), syarh
al-Mahsul, Minhaj al-Wusul ila Ilm al-Usul (ushul fiqh), syarh al-Tanbih
(fiqh), al-Lubb fi al-Nahwu (nahwu), Kitab Al-Mantiq (mantiq), al-Tahzib wa
al-akhlaq (tasawuf), Nizam al-Tawarikh (sejarah), dll.[5]
2. Seputar Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Tawil
a. Latar Belakang Penulisan
Kitab tafsir al-Baidhawi dinamainya sendiri dengan Anwar Al-Tanzil Wa
Asrar Al-Tawil. Hal ini tampak dalam dari pernyataan beliau sendiri
sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip
oleh Al-Dzahabi: Setelah melakukan shalat istikharah, saya memutuskan
untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu mulai menulis dan
menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan
buku ini, setelah selesai penulisannya, dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar AlTawil.[6] Alasan al-Baidawi menulis kitab ini adalah sebagaimana yang
beliau tuliskan dalam muqaddimah kitab bahwa ilmu tafsir merupakan
ilmu yang paling tinggi derajatnya. Tafsir merupakan pemimpin, fondasi,
dan dasar bagi ilmu-ilmu agama yang lainnya.[7]
b. Bentuk dan Sistematika Penafsiran
Kitab tafsir al-Baidawi ini merupakan salah satu kitab tafsir yang
mencoba memadukan penafsiran bi al-masur dengan bi al-rayi sekaligus.
Dalam hal ini, al-Baidawi tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari
Nabi yang menjadi ciri khas penafsiran bi al-masur, tapi juga
menggunakan
ijtihad
untuk
memperjelas
analisisnya
ataupun
argumentasinya. Model seperti ini dinilai dapat mempermudah
pemahaman dan pengamalan akan petunjuk kitab suci tersebut, karena
mufasir tidak hanya mengutip pendapat ulama terdahulu, melainkan juga
menggunakan tinjauan dari pengetahuannya sendiri.[8]
Kitab ini, sebagaimana yang dipaparkan al-Zahabi, merupakan kitab
hasil ringkasan dari tafsir al-Kasysyaf dengan meninggalkan unsur-unsur
kemutazilahan yang terdapat dalam kitab al-Kasysyaf. Namun, terkadang
beliau juga mengambil pendapat dari Shahib al-Kasysyaf, al-Zamakhsyari.
Selain bertolak pada kitab ini, al-Baidawi juga menggunakan kitab tafsir
al-Razy dan juga al-Ashfahani.[9] Terlepas dari pendapat al-Zahabi dan
Haji Khalifah tersebut, dalam muqadimahnya, al-Baidawi menyebutkan
bahwa ada dua macam sumber yang dijadikan rujukan dalam menulis
tafsirnya. Pertama, berdasarkan qaul para sahabat, tabiin, dan ulamaulama salaf. Kedua, qaul yang terdapat kitab tafsir sebelumnya. Beliau
menerapkan hal ini memang sebagai salah satu upaya untuk mensarikan
pendapat ulama-ulama sebelumnya. Disamping itu, beliau juga
memberikan pandangannya sendiri dalam menafsirkan ayat al-Quran
sehingga pantaslah beliau menyatakan bahwa karyanya adalah langkah
independen dari hasil istinbat yang beliau lakukan sendiri.[10]
Dari segi sistematika penyusunannya, kitab tafsir ini diawali dengan
menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentang kemujizatan alQuran, signifikasi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru

kemudian uraian penafsiran ayat-ayat al-Quran dengan metode alBaidawi tersendiri. Di akhir kitabnya, al-Baidhawi menjelaskan tentang
keunggulan kitab karyanya, mengungkapkan harapan agar kitab ini bisa
dimanfaatkan oleh pelajar. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup
dari kitab ini.[11]
c.

Metode Penafsiran
Tafsir al-Baidhawi ini menggunakan metodologi tahlili (analitis),
berupaya menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan urutan urutan
mushaf Usmani, dari surat ke surat, dan dari ayat ke ayat, mulai dari alFatihah sampai al-Nas.[12] Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, beliau
menggunakan berbagai sumber, antara lain ayat al-Quran, hadis Nabi,
pendapat para sahabat dan tabiin, dan pandangan ulama sebelumnya.
Selain itu, penggunaan tata bahasa dan qiraat juga menjadi suplemen
utama guna penguatan analisis dan penafsiran al-Baidawi. Keberadaan
cerita-cerita israiliyat dapat ditemukan walau penggunaanya diminimalisir
oleh al-Baidawi.
Kisah-kisah Israiliyat yang menjadi bagian penting dalam kitab-kitab
sebelumnya, dalam tafsir al-Baidhawi diminimalisir. Kalaupun mengutip
kisah-kisah tersebut, al-Baidhawi menyebutkannya dengan menggunakan
istilah ruwiya (diriwayatkan) atau qila (dikatakan). Menurut Al-Dzahabi,
penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa al-Baidhawi
mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyat tersebut
yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika. Contohnya adalah ketika
beliau menafsirkan surat Al-Naml: 22;



.

.

.


. .



.

"Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah


menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri
Saba dengan membawa berita yang meyakinkan. Dalam hal ini, setelah
menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macammacam bacaan dari lafadh makaksa, saba serta bacaan tajwid pada
beberapa kata, al-Baidhawi mengemukakan, Diriwayatkan bahwa Nabi

Sulaiman As setelah menyelesaiakan bangunan Bait Al-Maqdis, lalu


bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji. Setelah mengutip sebuah
kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke
Sanaa tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga tidak
menafikannya beliau berkata: Barangkali di antara keajaiban kekuasaan
Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara
yang lebih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang
mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya,
orang-orang yang mengingkarinya akan menolaknya.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa penggunaan tata bahasa dan
qiraat menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis
dan penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi. Dengan demikian pendekatan
bahasa menjadi menu utama dalam setiap penafsirannya.
Adapun langkah operasional penafsiran al-Baidhawi dalam kitabnya
ialah mula-mula al-Baidhawi menyebutkan tempat turun surat (Makki atau
Madani) beserta jumlah ayat yang menjadi obyek. Penjelasan makna ayat
baik menggunakan analisis kebahasaan, hadis nabi, maupun qiraah
menjadi langkah selanjutnya yang diterapkan al-Baidhawi. Pada bagian
akhir surat, beliau menyertakan hadis-hadis yang menerangkan tentang
keutamaan surat yang sedang ditafsirkan. Lebih lanjut, al-Baidawi juga
menggunakan metode munasabah ayat antara suatu ayat dengan ayat
lain.
d. Corak Penafsiran
Sebagaimana yang al-Zahabi kutip dari shahib al-kasyf al-Zunun,
bahwa al-Baidawi dalam menulis tafsirnya merujuk pada al-Zamakhsyari
dalam hal Irab, Maani, dan Bayan, al-Razy dalam hal filsafat dan kalam,
juga pada al-Ashfahani dalam hal asal-usul kata.[13]
Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi
ahlus-sunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir Mafatih al-Ghaibi karya Imam
Fakhruddin ar-Raziy. Walaupun begitu tafsir ini merupakan ringkasan dari
tafsir
Al-Kasysyaf,
namun
beliau
meninggalkan
aspek-aspek
kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau
sependapat juga dengan pendapat penulis al-Kasysyaf.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, al-Baidhawi sebenarnya
tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak
yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, aqidah atau yang lainnya.
Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah,
filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini didukung oleh basis awal
keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam
penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai
seorang Sunni, penafsiran al-Baidhawi memang cenderung kepada
madzhab yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini
lebih kental nuansa teologisnya.[14]
http://maqalah2.blogspot.com/2015/01/tafsir-baidhawi-anwar-al-tanzilwa_21.html

Sejarah kelahiran Muhammad Rasyid Ridho


Disebuah desa yang bernama Qalamun, sebuah desa yang tidak jauh dari

kota Tripoli, libanon. Tepatnya pada tanggal 27 Jumadil ula 1282 H (1865
M.) lahirlah seorang anak yang kelak akan menjadi pembaharu dalam
dunia islam. Sebuah nama yang dianugerahkan dengan segenap rasa
cinta oleh kedua orang tuanya adalah Muhammad Rasyid bin Ali Ridho bin
Syamsudin bin Bahaudin Al-Qolmuni Al-Husaini. Yang kemudian hari dunia
islam lebih mengenal beliau dengan nama Muhammad Rasyid Ridho.
Beliau dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat
beragama. Dalam sebuah sumber ada yang menyebutkan bahwa beliau
masih memiliki pertalian darah dengan Husain bin Ali Abi Thalib cucu
Rasulullah SAW.
Riwayat pendidikan Muhammad Rasyid Ridho
Rasyid Ridho belajar membaca Al-Quran, balajar menulis, dan belajar
menghitung di sebuah Madrasah tradisional di desanya, Qolamun. Beliau
adalah anak yang berbeda dengan anak-anak yang seusia dengannya,
karena beliau lebih banyak menghabiskan waktu beliau untuk belajar dan
banyak membaca buku. Dan memang sejak kecil beliau sudah memiliki
kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah beliau menyelesaikan pendidikannya di Madrasah, pada usia 17
tahun beliau melanjutkan studinya di Madrasah Al-Wathaniyah AlIslamiyah yaitu sekolah milik pemerintah di kota Tripoli. Sekolah ini
merupakan sekolah yang tergolong modern yang didirikan oleh Syeikh AlJisr, seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya
telah dipengaruhi oleh ide-ide modernisme. Di Madrasah ini Rasyid Ridho
mempelajari pengetahuan agama dan bahasa arab secara lebih
mendalam.ia juga belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan pengetahuan
modern lain seperti bahasa Prancis dan Turki.
Namun Rasyid Ridho tidak dapat belajar lama di sekolah ini karena
sekolah tersebut terpaksa ditutup karena mendapatkan tekanan politik
dari pemerintah kerajaan Turki Usmani. Demi melanjutkan studinya,
akhirnya beliau pindah sekolah ke sekolah agama yang ada di Tripoli.
Meskipun sekolahnya telah pindah, hubungan beliau dengan guru
utamanya di sekolahnya yang dulu tetaplah terjalin erat, karena sang
gurulah yang banyak berjasa dalam dalam menumbuhkan semangat
ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridho di kemudian hari.
Selain menekuni pelajaran di sekolah beliau juga mengikuti beberapa
perkembangan dunia islam melalui surat kabar Al-Urwah Al-Wusqo
(sebuah surat kabar berbahasa arab yang dikelola oleh Muhammad Abduh
dan Jamaludin Al-Afghani dan diterbitkan selama masa pengasingan
mereka di Prancis).
Pertemuan Muhammad Rasyid Ridho dengan Muhammad Abduh
Melalui surat kabar Al-Urwah Al-Wusqo, Rasyid Ridho menenal
gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaludin
Al-Afghani dan Muhammad Abduh, sehingga baliau berkeinginan untuk
bertemu dan bergabung dengan keduanya. Namun keinginannya itu tidak

sepenuhnya terpenuhi, karena Jamaludin telah lebih dahulu meninggal,


namun pada tahun 1882 Muhammad Abduh di buang ke Beirut, sehingga
Rasyid Ridho berkesempatan untuk berdialog dengan beliau.\
Di Lebanon Rasyid Ridho mencoba untuk menerapkan ide-ide
pembaharuan, namun upayanya mendapat tekanan dari pemerintah
Lebanon, sehingga beliau pindah menuju mesir. Di kota itulah beliau
kembali bertemu dengan Muhammad Abduh. Rasyid Ridho adalah murid
yang paling dekat dan paling setia kepada gurunya yaitu Muhammad
Abduh.
Tafsir Al-Manar Muhammad Rasyid Ridho

Disamping
banyak
memperdalam
pengetahuan
dan
ide
pembaharuan, beliau juga mengusulkan kepada sang guru untuk
menerbitkan suatu majalah yang akan menjadi sarana untuk
menyebarkan ide dan pemikiran mereka. Kemudian sang guru dan
muridnya ini menerbitkan sebuah majalah yang di beri nama Al-Manar.
Setelah menerbitkan majalah Al-Manar beliau juga sangat aktif
menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab. Dia sempat
mengajukan saran kepada sang guru agar menafsirkan kitab suci AlQuran dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman.
Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar,
Rayid Ridho selalu mencatat ide-ide pembaharuan yang muncul dalam
kuliah yang diberikan Muhammad Abduh. Selanjutnya catatan-catatan itu
di susun secara sistematis dan diserahkan kepada sang guru untuk
diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah
tulisan itu di terbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan tafsir mengenai
tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudian
dibukukan menjadi tafsir Al-Manar.
Karya-karya Rasyid Ridho
Karya-karya yang dihasilkan semasa hidup Rasyid Ridho pun cukup
banyak. Antara lain:
Tarikh Al-Ustadz Al-Imama As-Syaikh Abduh (sejarah hidup Imam Syaikh
Muhammad Abduh)
NidaLi Al-jins Al-Latif (panggilan terhadap kaum wanita)
Al-Wahyu Muhammad (wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad
SAW)
Yusr Al-Islam wa Usul At-TASYRI Al-Am (kemdahan agama ilam dan dasardasar umum penetapan hokum islam)
Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (kekhalifahan dan imam-imam besar)
Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqqallid (dialog antara kaum pembaharudan
konservatif)
Zikra Al-Maulid An Nabawiy (perinatan kelahiran nabi Muhammad SAW)
Haquq Al-Marah As-Solihah (hak-hak wanita muslim).
Pembaruan-pembaruan Rasyid Ridho
Selain dalam hasil pemikiran modern, arah pemikiran Rasyid Ridho
tidak jauh berbeda dengan sang guru yaitu Muhammad Abduh ide-ide

pembaharuan penting yang dikumandangkan beliau antara lain dalam


bidang agama, pendidikan, dan politik.
Pembaruan dalam bidang agama
Di bidang agama, Rasyid Ridho mengatakan bahwa umat islam
lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran Islam yang murni
seperti yang dipraktekan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.
Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur
dengan bidah dan khurofat. Ia menegaskan jika umat Islam ingin maju,
mereka harus kembali berpegang kepada Quran dan Sunnah.
Ia membedakan antara urusan peribadatan (yang berhubungan
dengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan
manusia). Menurutnya masalah yang pertama, Alquran dan hadis harus
dilaksanakan serta tidak berubah meskipun situasi masyarakat terus
berubah dan berkembang. Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan
prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan, persamaan dan hal lain,
namun pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk
menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi dan kondisi
yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar
ajaran islam.
Pembaruan dalam bidang pendidikan
Di bidang pendidikan, Rasyid Ridho berpendapat bahwa umat islam
akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, dia banyak
mengimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan
kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam
bidang ini beliau pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum
dengan muatan ilmu agama dan umum. Dan sebagai bentuk
kepeduliaanya, ia mendirikan sekolah di kairo pada 1912 yang diberi
nama Madrasah Ad-Dawah.
Pembaruan dalam bidang politik
Dalam bidang politik beliau tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah
(persaudaraan islam). Sebab ia banyak melihat penyebab kemunduran
Islam antara lain, karena perpecahan yang terjadi di kalangan mereka
sendiri. Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali dibawah
satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk
dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk Negara.
Namun, Negara yang diinginkannya bukan seperti konsep barat,
melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada
masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin. Dia menganjurkan pembentukan organisasi
Al-Jamiah Al-Islamiyah (persatuan islam) dibawah naungan khalifah.
Khalifah ideal menurutnya adalah sosok yang memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain, dari segi keadilan, kemampuan, sifat
mengutamakan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi.
Lebih lanjut Rasyid Ridho menyebutkan dalam bukunya Al-Khilafah, bahwa
funsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran menegakkan keadilan,
memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai maslah yang tidak
dijelaskan nash. Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala
tindakannya dibawah pengawasan sebuah dewan pengawas yang
anggotanya terdiri dari para ulama dan pemuka masyarakat. Tugas dewan
pengawas selain mengawasi roda pemerintahan, juga mencegah

terjadinya penyelewengan oleh khalifah, dan lembaga ini berhak


menindak khalifah yang bebuat zalim dan sewenang-wenang.
Khalifah harus ditaati sepanjang pemerintahannya dijalankan sesuai
dengan ajaran Islam. Ia merupakan kepala atau pemimpin umat islam
sedunia. Meskipun tidak memerintah secara langsung setiap negara
anggota. Dan menurut Rasyid Ridho, seorang khalifah hendaknya juga
seorang mujtahid besar yang dihormati. Dibawah khalifah seperti inilah
kesatuan dan kemajuan umat islam dapat terwujud.
Kiprah Rasyid Ridho dalam dunia politik secara nyata dapat di lihat
dalam aktivitasnya. Ia pernah menjadi presiden kongres pada 1920, dan
pernah menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Ia juga
pernah menjadi anggota politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri
konferensi Islam di Mekkah tahun 1926 dan di Yerussalem tahun 1931.
Pengaruh pemikiran Rasyid Ridho dan juga para pemikir lainnya
berkembang ke berbagai penjuru dunia islam, termasuk Indonesia. Ide-ide
pembaharu yang dikumandangkan banyak mengilhami semangat
pembaharuan di berbagai wilayah dunia islam. Banyak kalangan ulama
yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide
yang di usungnya. Nama besarnya terus di kenang hingga beliau wafat
pada agusutus 1935.
http://www.huajiehulan.com/2012/05/biografi-muhammad-rasyid-ridho.html

Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Abdillah at-i al-Htimi yang terkenal dengan
sebutan Ibnu Arabi, nama lakobnya Muhyiddin Ibnu Arabi, al-Qutub, as-Syaikh
al-Akbar. Nama kunyahnya Abu Abdillah. Ia
dilahirkan di kota Murcia pada
tanggal 27 Ramdan tahun 560 H (7 Agustus 1165 M). 1[1] Di Prancis pada saat
itu Louis VII sedang bertahta, pembangunan Notre Dame de Paris sudah
berjalan dua tahun. Di Spanyol Muslim, kekuasaan Dinasi al-Moravid sedang
menurun, tak lama kemudian digantikan oleh Dinasti al-Muwahhidun. Di Mesir,
dinasti lain sedang berakhir, dinasti Ayyubiyyah sedang disiapkan oleh
Salahuddin. Di pinggir sungai Onon di timur Siberia, Jengis Khan dilahirkan.
Kurang dari satu abad, kemudian cucunya, Hulagu Khan, akan menghancurkan
kota Bagdad dan akan membunuh khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiah. 2[2]
Ketika Dinasti al-Muwahhidn menaklukan Mursia pada tahun 567 H./1172
M. Ibnu Arabi dan keluarganya pindah ke Seville, tempat ayahnya diberi
pekerjaan pada dinas pemerintahan atas kebaikan Abu Yakub Yusuf, penguasa
Daulah Muwahhidn pada saat itu.3[3] Ibnu Arabi menghabiskan masa kecilnya
di Seville, tempat keluarganya tinggal. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu,
dibawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal ia mempelajari al-Quran dengan
tafsirnya, hadis, fikih, teologi dan filsafat scolastik. Seville adalah suatu pusat
1
2
3

sufisme yang penting dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal di
sana.4[4] Keberhasilan Ibnu Arabi dalam pendidikannya mengantarkannya
kepada kedudukan sebagai sekretaris Gubernur Seville. Pada periode itu pula ia
menikah dengan seorang wanita salihat, Maryam. Suasana kehidupan guruguru sufi dan kesertaan istrinya dalam keinginannya mengikuti jalan tasawuf
adalah paktor penyebab yang mempercepat pembentukan kepribadian Ibnu
Arabi menjadi seorang sufi. Ia memasuki jalan sufi (tarekat) secara formal pada
tahun 580 H/1184 M, saat berusia dua puluh tahun. 5[5] Sementara Michel
Chodkiewicz, menyebutkan bahwa pada saat usia Ibnu Arabi berumur sekitar
enam belas tahun ia masuk tarekat. Mendekati usianya yang ke dua puluh, ia
sudah berhasil melewati seluruh tingkatan (maqmt) yang harus dilalui oleh
para salik
dalam perjalanannya menuju Tuhan. Selain itu, ia juga sudah
menerima berkah yang istimewa.6[6]
Ibnu Arabi7[7] mempunyai dua saudara yang keduanya pengamal tarekat.
Saudara pertama bernama Yahya bin Yagon yang meningglkan kedudukannya
sebagai pejabat di wilayah Tilmasan dan ia mewakafkan diri untuk berhidmah
kepada seorang wali. Adapun saudaranya yang kedua adalah Abu Muslim alKhaulani yang biasa menghabiskan waktu malamnya dengan zikir dan tasbih.
Melihat latar belakang kehidupan Syaikh, begitu juga lingkungan keluarganya,
kita dapat membuat suatu asumsi yang cukup signifikan bahwa ternyata Ibnu
Arabi dan keluarga besarnya merupakan para pengamal tarekat. Mereka hidup
zuhud, istiqamah dalam beribadah serta selalu melakukan riydah. Banyak
kejadian dari kehidupan sehari-hari menjadi wasilah kedua adik Ibnu Arabi
semakin sadar akan arti pentingnya bertasawuf. Pertemuan dengan ulama-ulama
yang arif seringkali menyadarkan mereka sehingga mereka menempuh jalan
tasawuf secara penuh. Ibnu Arabi menceritakan saudaranya yang satu, yaitu
Abu Muslim al-Khaulani: Saudaraku termasuk salah seorang tokoh di daerah itu.
Ia bangun sepanjang malam, tatkala ia diserang rasa ngantuk segera ia
memukul-mukul kedua kakinya dengan satu cemeti yang ada padanya sambil
berkata: Engkau berdua lebih berhak dipukul daripada kendaraanku (kuda). 8[8]
Pada masa usia belajar, Ibnu Arabi belum menampakkan tanda-tanda
kecenderungan terhadap tasawuf bahkan yang paling ia dalami adalah belajar
sastra Arab dan kesenangannya untuk berburu. Tentang kesenangan dalam
berburu ia mengisahkan: Pada saat aku masih dalam kebodohan, dalam
4
5
6
7
8

perjalalananku dan aku bersama ayahku, aku sedang berada di antara daerah
Qurmunah dan Balmah (wilayah Andalusia), aku terkejut melihat seekor binatang
liar sedang merumput, dan aku pun membidik untuk menangkapnya. Aku
berfikir dalam hati bahwa aku tidak akan menyakiti salah satu di antara binatang
buruan dengan panah. Tatkala buruan tadi melihat kuda yang aku kendarai
maka larilah ia ketakutan. Akhirnya aku terpaksa melepaskan anak panah dan
mengena ke salah satu di antara binatang buruan tadi dan dalam waktu yang
sama larilah himar-himar yang ada di sekitar kami. Aku tidak tahu faktor
penyebab hal itu. Setelah aku kembali ke tarekat baru aku tahu apa yang
menjadi penyebab terjadinya peristiwa itu (berlarian himar di sekelilingku), yaitu
hilangnya rasa aman dalam jiwa mereka yang rasa aman itu ada dalam jiwaku
buat mereka. Sebagai telah disinggung bahwa Ibnu Arabi menikah, setelah ia
diangkat menjadi sekretaris Gubernur di Pemerintahan Seville, dengan seorang
wanita salihah bernama Maryam binti Muhammad bin Abdun bin Abdurrahman
al-Bijai. Ia mencintai Ibnu Arabi sepenuh hatinya demikian juga sebaliknya,
sehingga tidak dapat disembunyikan, dalam sebagian karangan sastranya
terlukis kecintaan Ibnu Arabi kepada istrinya. 9[9] Ibnu Arabi menyatakan, aku
tidak melihat perasaan seorang pun dari ahli maqam ini kecuali keluarga Maryam
binti Muhammad bin Abdun melihat seseorang dan ia menceritakan keadaanya
kepadaku, akhirnya aku tahu kalau ia termasuk ahli syuhd (orang yang dapat
melihat hal-hal yang gaib), meskipun Maryam menceritakan berbagai keadaan
yang menunjukan bahwa ia tidak kuat dan lemah di dalamnya, tetapi ia yakin
dengan keadaan ini. Selanjutnya istriku yang salihah pernah menceritakan
bahwa pada suatu waktu ia mimpi melihat seseorang yang berjanji akan
menikahinya, ia tidak pernah melihat sosok orang itu di alam nyata. Laki-laki
tadi bertanya: Apakah anda bermaksud menuju suatu jalan (tarekat)? Aku
berkata kepadanya: Demi Allah aku bermaksud menuju tarekat, tetapi aku tidak
tahu harus bagaimana?. Berkata Maryam bahwa laki-laki itu mengkhabarkan
kepadanya tentang lima perkara yaitu tawakkal, yakin, sabar, azimah, dan assidq (benar). Ibnu Arabi berkata kepada Maryam; Inilah mazhab pegangan
kaum.10[10]
Ibnu Arabi menuturkan: Suatu waktu aku sakit sehingga pingsan dan
dalam kerasnya sakitku aku merasa bertemu dengan orang-orang yang telah
meninggal, lalu aku melihat suatu kaum yang jelek dipandang mata bermaksud
menyakitiku. Dalam waktu yang sama aku pun melihat seorang laki-laki yang
kuat dan harum dengan wewangian mengusir mereka dan mempertahankanku.
Aku bertanya kepadanya: Siapakah anda? Ia menjawab: Saya adalah surat Ysn,
sedang menjagamu. Tak lama kemudian aku pun siuman dan sadar dari
pingsanku dan aku terkejut di depan kepalaku ada ayah menangis sambil
membaca surat Ysn. Setelah ayah selesai membacanya aku menceritakan
kepada ayahanda apa yang aku saksikan. 11[11]

9
10

Beberapa karomah yang pernah terjadi diungkapkannya sendiri, misalnya


peristiwa kematian ayahandanya: Lima belas hari sebelum meninggal, ayahku
telah menginformasikan kepaku tentang kapan waktu kematiannya, bahwa ia
akan meninggal hari Rabu dan memang hal itu terbukti. Setelah tiba hari
kematiannya yaitu hari Rabu ia sakit keras, ia memaksakan duduk tanpa
sandaran dan berkata kepadaku: Anaku! hari ini perjalanan dan pertemuan akan
dimulai. Aku berkata kepadanya: Mudah-mudahan
keselamatan menyertai
perjalananmu dan Allah memberkahimu dalam pertemuanmu. Ayah merasa
bahagia lalu ia berkata kepadaku: Semoga Allah membalasmu wahai anaku
dengan kebaikan. Segala apa yang aku dengar darimu, engkau mengucapkannya
tetapi aku tidak memahaminya, kadang-kadang aku mengingkari sebagiannya
tetapi aku menyaksikannya. Kemudian nampaklah di keningnya setitik cahaya
yang berbeda dengan warna kulitnya tanpa meninggalkan cacat. Cahaya tadi
semakin menampakkan sinarnya
sehingga ayah pun merasakannya dan
akhirnya sinar cahaya tadi meliputi seluruh wajahnya hingga seluruh tubuhnya.
Aku pun mencium tangannya lalu aku keluar dari sampingnya dan aku berkata
kepada ayah, aku hendak pergi ke Mesjid Jami. Ayah berkata: Pergilah dan
jangan kau tinggalkan seorang pun di sisiku. Tak lama kemudian berkumpulah
keluarga dan anak-anak perempuanya. Setelah waktu zuhur tiba aku
mendatanginya dan aku mendapatinya dalam keadaan setiap orang yang
melihatnya ragu apakah ia telah meninggal atau masih hidup. Dan setelah aku
yakin tentang kepergiannya, dalam keadaan seperti ini aku mengebumikan ayah
dan baginya ada tanda-tanda kebesaran. 12[12]
Kepindahan Ibnu Arabi ke dunia tasawuf dan tarekat, sebagai
diungkapkannya sendiri, terjadi pada tahun 580 H
Aku mendapatkan
kedudukan setelah aku masuk tarekat pada tahun 580 H. 13[13] Setelah umur
Ibnu Arabi mencapai usia 30 tahun kemasyhurannya menyebar ke seluruh
wilayah Andalusia dan dunia Barat. Paktor penyebabnya antara lain, karena ia
banyak bepergian dari satu kota ke kota lain baik untuk berziarah kepada para
ulama atau menemui para syaikh tarekat, untuk menghadiri diskusi atau tukar
pendapat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah filsafat,
teologi atau mistisisime. Di sebagian perjalanannya tidak jarang ia sengaja
mengunjungi para sufi, mursyid tarekat dan berdiskusi dengan mereka sekitar
tawil ayat-ayat yang berkaitan dengan teologi, hukum, panteisme dan lain-lain.
Sering pula ia menghabiskan waktunya dengan berhidmah kepada para syaikh
(mursyid) untuk bertabarruk mengambil barokah (kebaikan) dari mereka yang
memiliki karmah dan kedudukan yang tinggi.14[14]
11
12
13
14

Ibnu Arabi pindah dari Mursia ke Asbilia pada tahun 568 H. selanjutnya
beliau pindah ke Magrib pada tahun 590 H. Di Maroko beliau sibuk dengan
tugas-tugas harian sebagai pegawai kerajaan; antara lain membuat konsepkonsep, baik untuk pidato raja atau surat-surat biasa. Beliau tidak lama berada
di tempat ini sehingga akhirnya beliau pulang kembali ke Seville untuk menetap
bersama pengikutnya. Atas kehendak Allah, ia kembali lagi pergi ke Magrib untuk
bekerja pada seorang raja dan beliau tinggal pada kali kedua ini selama sembilan
bulan kurang beberapa hari. Selepas bekerja di kerajaan beliau mulai melakukan
pengembaraannya yang panjang; pertama beliau pergi ke Maroko dan ia
menjadikan Maroko sebagai tempat star (berangkat) untuk pengembaraannya di
Timur Tengah. Beliau pergi ke Pes dan beliau masuk ke kota Jyah, di kota ini
beliau banyak mengunjungi para tokoh, khususnya para sufi.
Ibn Arabi melanjutkan perjalananya ke Mesir pada tahun 597 H. Di Mesir
ia bertemu dengan para penentang ajarannya. Ia menetap di Mesir untuk jangka
waktu tertentu bersama murid dan pembantunya Abdullah al-Habash. Banyak
percobaan
dilakukan
oleh orang Mesir yang tidak sehaluan untuk
membunuhnya. Ia lolos dari maut dengan pertolongan dan perlindungan
seorang syaikh berpengaruh yang menjadi penduduk Mesir saat itu. Karenanya
ia mengakhiri perjalanan di Mesir, pulang meninggalkan Mesir dengan selamat.
Penguasa Mesir amat mencintainya dan wali Mesir amat senang atas kehadiran
Ibnu Arabi. Di Mesir bahkan ia sempat diangkat menjadi imam.
Selanjutnya Ibnu Arabi berteguh hati meneruskan perjalananya ke
wilayah Hijaz kemudian ke Makkah. Di Makkah beliau khusu beribadah dan
sekaligus mengajar di Masjid al-Harm. Di Masjid yang dimulyakan ini beliau
mencurahkan sepenuh kemampuan intelektual dan spiritualnya sehingga beliau
berhasil menyusun kitab yang amat monumental yaitu kitab al-Futht alMakkiyyah. Dalam pada itu, ia juga menyelesaikan empat kitab yang lainnya
yaitu: Misykah al-Anwr, Hilyah al-Abdl, Tj ar-Rasil dan Rh al-Quds. Beliau
meneruskan perjalanan ke Madinah, setibanya di Madinah beliau berziarah ke
Raudah Nabawiyyah untuk menemui Rasulullah saw. Ibnu Arabi meneruskan
perjalanan masuk ke Tif selanjutnya ke Irak. Kota Mosul menjadi kota pertama
yang ia kunjungi, ia bertemu dan berkumpul dengan para tokoh di kota ini untuk
selanjutnya beliau pergi meninggalkan Mosul menuju
Bagdad, ia sampai di
kota Abu Nawas ini pada tahun 601 H. dan beliau kembali lagi ke Bagdad, untuk
yang kedua kalinya, pada tahun 608 H.15[15]
Makkah bagi Ibnu Arabi bukan sekedar tempat melaksanakan ibadah haji,
tawaf mengelilingi Kabah dan ibadah-ibadah lain. Makkah baginya, adalah
tempat meningkatkan kualitas kehidupan mistiknya. Kabah sebagai pusat
kosmik merupakan tempat khusus untuk memperoleh pengalaman rohani yang
tidak mungkin diperoleh di tempat lain. H. Corbin, melukiskan, sebagaimana
dikutip oleh Kautsar Azhari Noor, peristiwa hakiki dan menentukan hanya
ditimbulkan dengan bermeditasi di sekitar Kabah karena peristiwa-peristiwa

15

seperti itu terjadi hanya dalam pusat dunia, yaitu pada kutub mikrokosmos
batini, dan Kabah adalah pusat dunia. 16[16]
Kunjungannya ke Kabah secara teratur untuk beribadah dan
bermeditasi
membuahkan pengalaman-pengalaman rohani. Di antara pengalamanpengalaman itu ada dua yang perlu disebutkan di sini. Pertama, ia mengalami
suatu visi tentang kemudaan abadi yang boleh dikatakan mewakili perpaduan
apa-apa yang berlawanan, concidentia oppositorum, yang dalam keseluruhannya
semua ketegangan dapat dipecahkan. Kedua, visi yang menegaskan bahwa ia
adalah penutup Walyah Muhammadiyyah.17[17]
Ia kembali pergi ke Makkah pada tahun 604 H. /1207 M. Hanya satu tahun
ia tinggal di kota suci ini. Setelah itu ia pergi ke Asia Kecil melalui Aleppo. Ia
sampai di Konya, atau Quniyyah, pada tahun 607 H./1210 M. Di sana ia
disambut hangat oleh Raja Kay Kaus dan penduduknya. Pengaruhnya di Konya
menyebar dengan cepat di masyarakat dan khususnya di kalangan para sufi. Di
kemudian hari pengaruhnya menjalar ke mana-mana dan menjadi dominan
dalam sejarah perkembangan tasawuf di seluruh dunia Islam sampai hari ini.
Tokoh yang paling berjasa dalam proses penyebaran ajaran Ibnu Arabi adalah
Sadr ad-Din al-Qunawi (w. 673 H/1274 M), murid terdekat dan terpenting Ibnu
Arabi, dan menjadi komentator karya-karya gurunya itu. Beberapa ahli
mengakui bahwa al-Qunawi adalah tokoh yang berhasil membantu pemaduan
ajaran-ajaran Ibnu Arabi dan sufisme timur.18[18]
Pada tahun 608 H Ibnu Arabi memasuki Irak bermaksud menemui Syaikh
Syihabuddin Umar as-Suhrawardi, mursyid Madrasah Sufi di Bagdad. Diceritakan
bagaimana Ibnu Arabi bertemu dengan as-Suhrawardi; untuk yang pertama,
masing-masing saling memandang dalam waktu yang agak lama tanpa sepatah
kata pun keluar dari lisan keduanya, kemudian keduanya berpisah tanpa
mengeluarkan ucapan sedikit pun. Setelah pertemuan ini berlalu berkatalah asSuchrawardi kepada para muridnya mengenai Ibnu Arabi: Huwa bahrun amq
fi al-Haqqah Dia adalah lautan yang dalam mengenai hakekat19[19]
Di Bagdad banyak terjadi karomat, tajalliyat, dan isyrqt spiritual Ibnu Arabi,
sehingga karenanya berkumpulah kepadanya para pengikutnya dan para pencari
hakikat berbondong-bondong menemuinya dari berbagai pelosok.
Namun, meskipun di Bagdad ia disambut hangat oleh para pengikutnya, Ibnu
Arabi tidak tinggal lama di Bagdad, malah kemudian ia pergi ke Halb dan dari
16
17
18
19

kota ini beliau menuju ke kota Damaskus dan dari Damaskus Ibnu Arabi pergi
berziarah ke Majid al-Aqsa. Berulang kali beliau pulang pergi antara Syam dan
Hijaz hingga ia mengakhiri perjalanannya di Damaskus tahun 620 H., ketika
umur beliau menginjak 60 tahun. Beliau menghabiskan sisa umurnya di
Damaskus dengan riydoh, mengarang dan menulis.
Raja Muazzam putera Raja al-Malik al-dil menaruh kepercayaan yang
amat besar kepada Ibnu Arabi. Raja Muazzam selalu menghadiri pengajian
yang diselenggarakan Ibnu Arabi dengan hidmat. Demikian juga Qadi Qudt
Damaskus, penganut Mazhab Syafii, yang bernama Syamsuddin Ahmad alKhauli berhidmah kepada Ibnu Arabi seperti layaknya pengabdian seorang
hamba sahaya kepada majikannya. Hal ini dilakukan semata-mata karena
mengagungkan ketinggian kedudukan dan keilmuan Ibnu Arabi.
Al-Khauli
banyak mengambil ilmu dan hikmah dari Ibnu Arabi sekaligus mengikuti
sirahnya (perjalanan hidupnya). Kecuali itu, Hakim Agung yang bermazhab
Maliki menghendaki kemuliaan, tak segan-segan
ia
menikahkan anak
perempuannya kepada Ibnu Arabi. Dihikayatkan, bahwa ia pernah meninggalkan
suatu persidangan dengan dasar teori yang ia dapatkan dari Ibnu Arabi. Dalam
pada itu, masih di Damaskus, Hakim Ibnu Zaki selalu memberikan keleluasaan
kehidupan kepada Ibnu Arabi. Secara rutin tiap hari, ia mengirimkan tiga puluh
dirham dan ia menyerahkannya ke rumah Ibnu Arabi. 20[20]
Di penghujung bulan Muharram tahun 627 H, -dalam kejadian spiritualdatanglah kepada Ibnu Arabi Nabi Muhammad saw. menyerahkan kitab Fuss
al-Hikam dan beliau memerintahkan Ibnu Arabi agar menyebar luaskan kitab
tersebut kepada umat manusia. Mengenai kejadian ini Ibnu Arabi menyatakan:
Pada tanggal 20 Muharam tahun 627 H. di suatu tempat yang terpelihara
di Damskus, dalam tidurku, aku melihat Rasulullah saw dan di tangan beliau
ada sebuah kitab, Nabi berkata kepadaku: Ini adalah kitab Fuss al-Hikam
ambilah dan sebarkanlah kepada umat manusia agar mereka mengambil
manfaat darinya. Aku menjawab: Aku mendengar dan ketaatan hanya bagi
Allah dan Rasul-Nya, juga bagi uli al-Amri (penguasa) sebagaimana kami
diperintah untuk
berlaku demikian. Kemudian aku mengikhlaskan niat,
membulatkan tekad dan kesungguhan untuk memperkenalkan kitab ini
sebagaimana didiktekan oleh baginda Rasulullah saw kepadaku tanpa dikurangi
atau ditambah sedikitpun.21[21]
Di Damaskus, Ibnu Arabi beserta keluarganya menghabiskan sisa hidupnya
dengan tenang, tentram dan sakinah. Para murid dan pengikutnya berkeliling di
sekitarnya. Ibnu Arabi menyusun kitab, menyampaikan wejangan-wejangan
(mauizah) dan pemikiran-pemikiran falsafahnya hingga ahir hayatnya. Beliau
meninggal di kota itu pada malam Jumat tanggal 27 Rabi al-Akhr tahun 638 H.

20
21

bertepatan dengan tanggal 16 Agustus 1240 M. Beliau di makamkan di kaki


gunung Qasiun di luar kota Damaskus.
Ibnu Arabi meninggalkan dua anak yaitu Saduddin Muhammad yang
dilahirkan pada bulan Ramdan tahun 618 H /1221 M. Ia seorang sastrawan
sufisme besar yang terkenal, ia mempunyai balai tempat menampilkan karyakarya seninya. Saduddin meninggal pada tahun 656 H dan dimakamkan di luar
kota Damaskus di kaki gunung Qasiun bersebelahan dengan ayahnya, Ibnu
Arabi. Dan anak yang satu lagi adalah Imduddin Abu Abdillah Muhammad, ia
meninggal di Madrasah As-Slihiyyah dan juga dimakamkan di sebelah
ayahandanya berdekatan dengan saudara tuanya. Ibnu Arabi juga memiliki
seorang putri bernama Sayyidah Zainab. Menurut Ibnu Arabi, sejak kecil, anak
putrinya Zainab telah sering mendapatkan intuisi (ilham) dan mukasyafah
(terbuka hijab).22[22]
http://faksyariah.blogspot.co.id/2013/11/tasawuf-sekilas-biografi-ibnu-arabi.html

22

Anda mungkin juga menyukai