Anda di halaman 1dari 8

ANGGOTA

1. RAGHIB FARHAN HAKIKI


2. ALIF JUMAIDIL AZHAR
3. MUHAMMAD KHALIL ADAM
4. ATHILLAH RAIHAN PUTRA HARAHAP
5. MUHAMMAD HAYKAL AKBAR
6. SYADID AKKIRA
6 ILMUWAN ISLAM PADA DINASTI
UMAYYAH
1. IBNU JARIR ATH THABARI (224 – 310 H/838 – 923 M)
(BIDANG ILMU TAFSIR)
Ibnu Jarir ath-Thabari (224-310 H/838-923 M) adalah guru besar para ahli tafsir. Ia lahir di Tabaristan, sebuah kota di
Turkmenistan, selatan Laut Kaspia dengan nama lengkap Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari.Menurut Husein
Muhammad dalam buku Ulama-ulama yang Menghabiskan Hari-harinya untuk Membaca, Menulis, dan Menebarkan Cahaya
Ilmu Pengetahuan, Ibnu Jarir ath-Thabari dididik langsung oleh orang tuanya.Ayahnya adalah orang yang sangat mencintai
ilmu dan menginginkan anaknya menjadi ulama besar. Oleh karena itu, Ibnu Jarir ath-Thabari sejak kecil sudah diajari dan
dibimbing menghafal al-Qur'an dan ilmu Islam tradisional pada umumnya. Bahkan, ia sudah hafal al-Qur'an saat masih usia 7
tahun.Ibnu Jarir ath-Thabari menguasai berbagai keilmuan Islam. Ia dikenal sebagai imam mujtahid mutlak, ahli tafsir, ahli
hadits, sejarawan, ahli fiqih, ahli ushul fiqh, dan ahli bahasa.Ia telah menulis puluhan buku selama 40 tahun. Kecintaannya
terhadap ilmu pengetahuan dan kegemarannya dalam menulis membuatnya memilih melajang sampai akhir hayatnya.Abu
Hamid al-Isfirayini, seorang ahli fiqh terkemuka mazhab Syafi'i, pernah menganjurkan kepada para ulama untuk mencari
kitab tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari. Jika perlu, katanya, sampai ke negeri Tiongkok.Sebagai cendekiawan muslim di bidang
ilmu tafsir terkemuka, Ibnu Jarir ath-Thabari begitu dikagumi oleh banyak ulama. Salah satunya Khatib al-Baghdadi, penulis
buku Tarikh al-Baghdad.Menurut Khatib al-Baghdadi, Ibnu Jarir ath-Thabari adalah salah satu ulama besar yang pendapat-
pendapatnya menjadi yang tidak dimiliki orang lain pada zamannya.Ia hafal al-Qur'an dan memahami isinya dengan sangat
brujukan umat dan masyarakat, karena pengetahuannya yang mendalam dan luas, serta keluhuran budi
pekertinya.Menurutnya, Ibnu Jarir ath-Thabari memiliki berbagai ilmu pengetahuan aik. Ia seorang ahli fiqh, menguasai
hadits-hadits nabi secara mendalam dan luas pula. Selain itu, ia paham dengan baik pendapat-pendapat para sahabat nabi dan
generasi sesudahnya," kata Khatib al-Baghdadi, seperti dikutip Husein Muhammad dalam buku Para Ulama dan Intelektual
yang Memilih Menjomblo.Selain menulis kitab tafsir, Ibnu Jarir ath-Thabari juga menulis sejarah para nabi yang berhasil ia
rampungkan pada tahun 303 H. Isinya mulai dari Nabi Adam AS, para raja, hingga bangsa-bangsa di dunia. Kitab ini ia beri
nama Tarikh al-Rusul wa al-Anbiya wa al-Muluk wa al-Uma. Karya-karya Ibnu Jarir ath-Thabari yang sangat populer lainnya
antara lain Jami' al-Bayan an Ta'wil Ayi al-Qur'an (30 jilid), Tarikh al-Rusul wa al-Anbiya' wa al-Muluk wa al-Umam (8 jilid),
Tahdzib al-Atsar, Ikhtilaf al-Ulama al-Anshar, Adab al-Qadhi, dan lainnya.
2. JABIR BIN HAYYAN (721 M) (BIDANG ILMU KIMIA)

Sosok Jabir bin Hayyan memiliki nama lengkap Abu Musa Jabir bin Hayyan yang lahir di Tus, sebuah kota di Persia (kini
menjadi wilayah Iran). Ia lahir pada 721 Masehi dan merupakan anak dari seorang tabib yang bernama Hayyan Al-
Azdi.Kehidupan Jabir bin Hayyan sebagai seorang alkemis tidak bermula dari tempat kelahirannya atau kota-kota lain di
wilayah Persia, ia mulai menjadi seorang alkemis di Yaman.Jabir bin Hayyan meninggalkan Persia dan menuju ke Yaman
setelah ayahnya dijatuhi hukuman mati oleh Kekhalifahan Umayyah. Hayyan Al-Azdi dieksekusi lantaran kedapatan
mendukung revolusi yang dilakukan oleh Dinasti Abbasiyah.Yaman menjadi tempat Jabir bin Hayyan mempelajari
banyak hal. Di bawah bimbingan sosok ulama besar Harbi Al-Himyari, Jabir bin Hayyan belajar tentang Al-Qur'an,
matematika, dan ilmu-ilmu lainnya.Jabir bin Hayyan kemudian pergi ke Kufa, Irak, setelah Kekhalifahan Umayyah jatuh
dan digantikan dengan Kekhalifahan AbbasiyahDi Kufa, Jabir bin Hayyan disebut berguru kepada Ja'far Al-Sadiq, dari
sinilah Jabir bin Hayyan memperdalam ilmu-ilmu pengobatan, filsafat, astronomi, dan alkimia.Alkimia ini merupakan
ilmu yang mempelajari perubahan dan pembuatan sebuah zat. Para alkemis berlomba untuk menemukan unsur
pembentukan filosof (sebuah batu mitos yang dipercaya dapat mengubah logam biasa menjadi emas), dan panacea
universal (mitos obat yang dapat dipercaya menyembuhkan segala penyakit).
Meskipun nama Jabir bin Hayyan besar karena ilmu spekulatif, teori-teorinya atas unsur pembentuk logam atau sifat
beberapa larutan menjadi batu pijakan perkembangan ilmu kimia modern.
Berkat teori-teori dan karya-karyanya di ranah itulah, Jabir bin Hayyan disebut sebagai bapak kimia modern.
Sementara itu, merangkum buku Mencari Islam di Ruang-Ruang Penafsiran karya Riza Pahlevi dan buku Pengantar Studi
Sejarah Peradaban Islam karya Muhammad Husain Mahasnah, Jabir bin Hayyan menjadi motor penggerak dalam
pengembangan ilmu-ilmu kimia.
3. HASAN AL-BASHRI ( 642 M) ( BIDANG ILMU
TASAWUF)
l-Hasan adalah Maula Al-Anshari. Ibunya bernama Khairah, budak Ummu Salamah yang dimerdekakan, dikatakan
Ibnu Sa’ad dalam kitab tabaqat Hasan adalah seorang alim yang luas dan tinggi ilmunya, tepercaya, seorang hamba
yang ahli ibadah dan fasih bicaranya. Bapaknya bernama Pirouz (kemudian dikenal sebagai Abul Hasan), yang
menjadi budak pada zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khattab. Dari kampungnya Pirouz kemudian dibawa
ke Madinah sebagai seorang tawanan. Pirouz dan seorang perempuan dari kampungnya, diberikan kepada Ummu
Salamah. Lalu Ummu Salamah memberikan mereka berdua kepada saudara terdekat dia dan keduanya lantas menikah
dengan tuan mereka dan dibebaskan.Hasan al-Basri dilahirkan di Madinah pada tahun 21 Hijrah (642 Masehi). Dia
pernah menyusu dengan Ummu Salamah, isteri Rasulullah S.A.W. Pada usia 14 bulan, Al-Hasan pindah ke kota
Basrah, Irak, dan menetap di sana. Dari sinilah Al-Hasan mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Bashri. Hasan
kemudian dikategorikan sebagai seorang Tabi'in (generasi setelah sahabat). Hasan al-Basri juga pernah berguru
kepada beberapa orang sahabat Rasulullah S.A.W. sehingga dia muncul sebagai Ulama terkemuka dalam peradaban
Islam.Hasan Al Bashri berguru pada para sahabat Nabi, antara lain: Utsman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Ali bin
Abi Talib, Abu Musa Al-Asy'ari, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah and Abdullah bin Umar. Al-Hasan menjadi guru
di Basrah, (Iraq) dan mendirikan madrasah di sana. Di antara para pengikutnya yang terkenal adalah Amr ibn Ubaid
dan Wasil ibn Atha. Dia salah seorang fuqaha yang berani berkata benar dan menyeru kepada kebenaran di hadapan
para pembesar negeri dan seorang yang sukar diperoleh tolak bandingnya dalam soal ibadah. Dia menerima hadits
dari Abu Bakrah, Imran bin Husein, Jundub, Al Bajali, Muawiyah, Anas, Jabir dan meriwayatkan hadits dari beberapa
sahabat diantaranya ‘Ubay bin Ka’ab, Saad bin Ubadah, Umar bin Khattab walaupun tidak bertemu dengan mereka
atau tidak mendengar langsung dari mereka. Dan kemudian hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Jarir bin Abi Hazim,
Humail At Thawil, Yazid bin Abi Maryam, Abu Al Asyhab, Sammak bin Harb, Atha bin Abi Al Saib, Hisyam bin
Hasan dan lain-lain.
4. MUHAMMAD BIN MUSA AL-KHAWARIZMI (TAHUN 780)
(BIDANG MATEMATIKA , ASTRONOMI , ASTROLOGI DAN
GEGOGRAFIS)
"digitMuḥammad bin Mūsā al-Khwārizmī (bahasa Persia: ‫ )محمد بن موسى الخوارزمي‬adalah seorang ahli dalam
bidang matematika, astronomi, astrologi, dan geografi yang berasal dari Kufah, Irak. Lahir sekitar tahun 780 di
Khwarezmia (sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850 di Bagdad. Hampir sepanjang
hidupnya, ia bekerja sebagai dosen di Sekolah Kehormatan di Bagdad yang didirikan oleh Khalifah Bani
Abbasiyah Ma'mun Ar-Rasyid, tempat ia belajar ilmu alam dan matematik, termasuk mempelajari terjemahan
naskah Sanskerta dan Yunani.

Buku pertamanya, Al Kitaab al Muhtasar fii Hisaab al jabr wa'l Muqabaala, adalah buku pertama yang
membahas solusi sistematik dari persamaan linear dan persamaan kuadrat. Sehingga ia disebut sebagai Bapak
Aljabar. Al-Khwārizmī juga berperan penting dalam memperkenalkan angka Arab melalui karya Kitāb al-Jam’a
wa-l-tafrīq bi-ḥisāb al-Hind yang kelak diadopsi sebagai angka standar yang dipakai di berbagai bahasa serta
kemudian diperkenalkan sebagai Sistem Penomoran Posisi Desimal di dunia Barat pada abad ke-12. Ia merevisi
dan menyesuaikan Geografi Ptolemeus sebaik mengerjakan tulisan-tulisan tentang astronomi dan astrologi.

Kontribusinya tak hanya berdampak besar pada matematika, tapi juga dalam kebahasaan. Kata "aljabar" berasal
dari kata al-Jabr, satu dari dua operasi dalam matematika untuk menyelesaikan notasi kuadrat, yang tercantum
dalam bukunya. Kata algorisme dan algoritma diambil dari kata algorismi, latinisasi dari namanya. Namanya
juga diserap dalam bahasa Spanyol, guarismo, dan dalam bahasa Portugis, algarismo bermakna ".
5. AL – KINDI (805-873)(ILMU
KEDOKTERAN ,FISIKA,MATEMATIKA )
Ia adalah filsuf berbangsa Arab dan dipandang sebagai filsuf Muslim pertama. Secara etnis, Al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang
berasal dari suku Kindah, salah satu suku besar daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan Al-Kindi adalah menghadirkan filsafat Yunani
kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.[2]Al-Kindi telah menulis banyak karya dalam
berbagai disiplin ilmu, dari metafisika, etika, logika dan psikologi, hingga ilmu pengobatan, farmakologi, matematika, astrologi dan optik, juga
meliputi topik praktis seperti parfum, pedang, zoologi, kaca, meteorologi dan gempa bumi.[3]Di antaranya ia sangat menghargai matematika. Hal
ini disebabkan karena matematika, bagi al-Kindi, adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukaddimah ini begitu
penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika. Matematika
di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri dan astronomi.[4]Yang paling utama dari seluruh cakupan matematika di sini adalah
ilmu bilangan atau aritmetika karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun.[butuh rujukan]Al-Kindi membagi daya jiwa
menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia
membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu)
sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat
dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti
anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.[2]Menurut Al-Kindi, fungsi
filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan
dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya
sebagai penunjang bagi wahyu.[5]Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia.
Karena itu, Al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal
mukjizat, surga, neraka, dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, Al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio, kebangkitan
jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia oleh Tuhan.[5]

Al-Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia
juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan religius-ortodoks
terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalam keadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam), al Kindi
dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan religius-ortodoks itu.
6. URWAH BIN AZ-ZUBAIR (94H/712M) ( ILMU FIQIH )

Urwah bin az-Zubair (bahasa Arab: ‫عروة بن الزبير‬, w. 94 H/712 M) adalah salah satu dari
Tujuh Fuqaha Madinah, yaitu sebutan untuk sekelompok ahli fiqih dari generasi tabi'in
yang merupakan para tokoh utama ilmu fiqih di kota Madinah setelah wafatnya generasi
Sahabat yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad.[1][2][3]
Urwah adalah putra dari pasangan Asma binti Abu Bakar and Zubair bin Awwam, adik
dari Abdullah bin Zubair, dan juga keponakan dari Aisyah.[4] Nenek Urwah adalah
Safiyyah binti Abdul Muththalib, yaitu bibi Nabi Muhammad dari keluarga ayahnya.[4]
Urwah bin az-Zubair adalah periwayat atas sebagian besar hadits yang berasal Aisyah,
selain dari para Sahabat lainnya seperti Ali, Umar, Ibnu Abbas, Abu Ayyub al-Ansari,
dan lain-lain.[4] Selain itu, ia juga mendapat pengajaran dari Said bin al-Musayyib,
yang lebih tua tujuh atau delapan tahun darinya.[4] Para periwayat hadits berikutnya
yang mengambil jalur darinya antara lain adalah Qatadah bin Di'amah, Ibnu Syihab az-
Zuhri, Yahya bin Said al-Ansari, dan Zaid bin Aslam.[4]

Anda mungkin juga menyukai