Anda di halaman 1dari 5

PENDIDIKAN PADA MASA DINASTI ABBASIYAH

A. SITUASI POLITIK, SOSIAL, DAN KEAGAMAAN


Dinasti Abbasiyah terbentuk melalui proses perebutan kekuasaan dari Bani
Umayyah. Dengan dasar pemikiran bahwa kekuasaan harus berasal dari keturunan yang
berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW, maka Abu al-Abbas Al-saffah yang didukung
oleh seorang panglima yang gagah perkasa, Abu Muslim Al-Khurasani serta berbagai
kelompok pemberontak, seperti kaum Syiah, oposisi pimpinan Al-Mukhtar dan lainnya,
berhasil mengalahkan khalifah Bani Umayyah terakhir, yaitu khalifah Marwan II pada tahun
750 M/132 H. Dengan demikian maka berdirilah Dinasti Abbasiyah
Dibandingkan dengan Dinasti islam lainnya, dinasti Abbasiyah tergolong yang paling
lama berkuasa, yaitu mulai dari tahun 750 sampai 1258. Dalam kurun waktu selama lebih
dari lima abad, kepemimpinan Dinasti Abbasiyah dipegang oleh lebih dari 37 khalifah, atau
masing-masing berkuasa lebih dari 14 tahun. Namun dari 37 orang khalifah ada lima
khalifahnya yang paling terkenal, yaitu Abu Al-Abbas Al-saffah, Abu Jafar Al-Mansur, Al-
Mahdi, Harun Al-Rasyid, dan Al-Mamun.
Pada masa khalifah Abu Al-Abbas Al-saffah yang berkuasa kurang selama lima tahun
(750-754 M), sebagian besar waktu digunakan untuk konsolidasi internal. Hal ini dilakukan,
karena pada masa ini banyak terjadi konflik, hura-hura dan pemberontakan. Berbagai lawan
politik harus diatasi oleh Abu Al-Abbas dengan banyak melakukan pembunuhan, dengan
demikian Abu Al-Abbas dijuluki sebagai Al-Saffah yang berarti si haus darah atau gemar
membunuh, berkaitan dengan hal ini maka Al-Saffah belum dempat memikirkan hal lain,
selain mempertahankan kekuasaan dinastinya masih baru berdiri. Pada masanya ia
menetapkan putra mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan khalifah setelah
wafatnya. Putra mahkota yang ditunjuk adalah Abu Jafar Al-Mansur.
Abu Jafar Al-Mansur berkuasa kurang lebih selama 20 tahun, yaitu mulai dari tahun
754 M/136 H dan berakhir tahun 775 M/ 158 H. Sejarah mencatat, bahwa Abu Jafar Al-
Mansur dianggap sebagai tokoh Abbasiyah yang terkenal, hebat, berani, tegas, berpikir
cerdas dan gagah perkasa. Ibn Thabathiba, misalnya, berkata bahwa Al-Mansur adalah
seorang raja yang agung, tegas, bijaksana, alim, berpikir cerdas, pemerintahannya rapi, amat
disegani, dan berbudi baik. Masa kekuasaannya yang relatif lama itu digunakan untuk
memerhatikan masalah sosial. Sejarah mencatat, bahwa pada masa kekhalifahannya ini
digunakan untuk menyusun peraturan, membuat undang-undang, dan menciptakan inovasi
dalam pemerintah.
Selanjutnya Al-Mansur digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang bernama lengkap
Abu Abd. Allah Muhammad Ibn Al-Mansur yang lahir di Idzaj tahun 126 H. Masa
pemerintahannya selain digunakan untuk menstabilkan politik dalam negri dan
menyejahterakan masyarakat, juga untuk memurnikan agama dari praktik bidah. Dalam
kaitan ini, misalnya membebaskan semua orang dari penjara, mengembalikan harta
keturunan Nabi dan mengizinkan mereka kembali untuk menerima suplai dari Mesir,
membagi harta sebanyak 30 juta dirham sebagai derma bagi rakyat Hejaz, membangun
kembali masjid Nabi, memberi tunjangan bagi orang yang terkena penyakit kusta dan orang-
orang miskin, membuatkan penginapan dan sumur dipinggir-pinggir jalan yang dilalui jamaah
haji. Namun demikian ia tidak memberikan peluang bagi tumbuhnya praktik-praktik bidah. Ia
pernah menumpas gerakan Zoroastrianisme yang dipimpin oleh Ibn Abd. Al-Qudus,ia juga
membangun benteng-benteng yang memberikan pengamanan pada pusat-pusat kota. Berkat
usaha kerasnya ini, maka Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional, musik, syair,
filsafat dan kesastraan yang menarik perhatian banyak orang
Selanjutnya dizaman Harun Al-Rasyid dunia islam semakin mengalami kemajuan
yang semakin pesat, para ahli sejarah menganggap bahwa Harun Al-Rasyid sebagai khalifah
yang paling besar dan cemerlang yang membawa Dinasti Abbasiyah kezaman keemasan.
Melalui masa pemerintahannya yang berlangsung selama 23 tahun ia telah berhasil
membuat Dinasti ini mencapai kemajuan dan kejayaan di bidang politik, ekonomi,
perdagangan, ilmu pengetahuan, dan peradaban islam. Kemasyuran Harun Al-Rasyid yang
lama ini menjadi buah bibir dan pembicaraan orang-orang timu dan barat, barangkali
disebabkan karena ia menjadi tokoh legendaris dalam kisah Seribu Satu Malam.
Kemudian di zaman Al-Maun keadaan peradaban dan kebudayaan islam semakin
berkembang pesat. Al-Maun adalah tokoh Bani Abbasiyah yang paling utama keilmuan,
keberanian, kehebatan, kesabaran, dan kecerdasannya. Khalifah ini dikenal karena
keintelektualian dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, serta jasa-jasanya dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Dia banyak mengoleksi buku-buku dan disimpan di
perpustakaan Bait Al-Hikmah. Untuk itu ia mengundang para pakar bahasa untuk
menerjemahkan buku-buku sains dan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab dengan gaji yang
besar dan memuaskan.
Pada zaman Abbasiyah telah mencapai perkembangan dan kemajuan dibandingkan
dengan zaman sebelumnya. Zaman Bani Abbasiyalah dunia islam mencapai puncak kejayaan
dan keemasannya di dunia. Namun dari sekitar 37 khalifah tentu tidak semuanya memiliki
karakter sebagai khalifah yang cerdas, berani, bertanggung jawab, cinta ilmu, dan
kepribadian mulia. Di antara mereka pula ada yang kemampuan dan akhlaknya kurang baik,
bahkan dapat di katakan lemah. Inilah yang selanjutnya menyebabkan Dinasti
Abbasiyahmengalami kehancuran.

B. KEADAAN PENDIDIKAN PADA ZAMAN BANI ABBASIYAH

Dinasti Abbasiyah adalah zaman keemasan islam yang di tandai oleh kemajuan
bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban yang mengagumkan, yang dapat di
buktikan kebenarannya, baik memalui berbagai sumber informasi dalam buku-buku sejarah
maupun melalui pengamatan empiris di berbagai wilayah di berbagai belahan dunia yang
pernah di kuasai islam. Berbagai kemajuan yang dicapai dunia islam tidak mungkin terjadi
tanpa di dukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan, karena pendidikanlah yang
menyiapkan sumber daya insani yang menggerakkan kemajuan tersebut. Terdapat sejumlah
informasi yang menggambarkan keadaan pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah

1. KEADAAN LEMBAGA PENDIDIKAN


Selain masjid, kuttab, al-ibadah, istana, perpustakaan, dan al-bimaristan
sebagaimana telah di sebutkan sebelumnya, pada masa itu pula berkembang lembaga
pendidikan, berupa toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesastraan,
observatorium, dan madrasah. Penjelasan lebih lanjut mengenai lembaga pendidikan islam
yang tumbuh pada zaman Abbasiyah ini dapat di kemukakan sebagai berikut.
AL-Hawanit Al-Warraqien
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut mendorong lahirnya para
pengarang, dan lahirnya para pengarang mendorong lahirnya industri
perbukuan, dan industri perbukuan mendorong lahirnya toko buku. Di beberapa
kota atau negara yang di dalamnya terdapat toko-toko buku, menggambarkan
bahwa kota atau negara tersebut telah mengalami kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan, berkenaan dengan toko buku ini Ahmad Syalabi mengatakan
sebagai berikut. Menghubungkan antara pasar-pasar bangsa Arab di zaman
jahiliah: Ukadz, Majanan dan Dzil Majas, dengan toko-toko yang menjual kitab
pada zaman islam tampaknya sebuah kemungkinan. Di pasar-pasar bangsa Arab
terdapat sekelompok manusia berkumpul untuk mendirikan sejumlah tenda
untuk berdagang, dan mereka menggunakan kesempatan pertemuan ini untuk
mempertunjukkan kehebatannya dalam bidang sastra. Mereka kemudian
membaca syair dan menyelenggarakan diskusi dan menyampaikan pidato, dan
dalam kesempatan tersebut berdirilah toko-toko untuk menjual kitab. Toko-toko
ini mulanya di buka untuk keperluan berdagang, namun kemudian menjadi
tempat untuk pertunjukan kebudayaan dan peradaban serta kegiatan ilmiah
yang di datangi oleh para budayawan dan sastrawan.mereka menggambil bagian
di tempat tersebut untuk berkumpul dan melakukan kajian. Toko-toko yang
menjual kitab muncul pada zaman Daulat Abbasiyah, kemudian menyebar
dengan cepat pada setiap ibu kota dan berbagai negara islam, bahkan di setiap
sudut pada setiap kota. Dalam hubungan ini Al-Yakubi menyebutkan, bahwa
toko-toko tersebut ada di sejumlah tempat di Baghdad, yang jumlahnya lebih
dari 100 toko buku. Demikian pula di Mesir pada masa Dinasti Bani Thulun dan
Al-Ikhsyidin terdapat sejumlah pasar yang besar yang khusus menyediakan buku
untuk di jual dan terkadang diselenggarakan pula kegiatan kajian ilmiah. Dengan
demikian pula Al-Maqrizdi mengemukakan tentang adanya sejumlah tempat
yang banyak menjual kitab-kitab, tentang adanya para penulis buku untuk ikut
ambil bagian dalam perdebatan di tempat tersebut
Manazil Al-Ulama(Rumah-rumah para ulama)
Al-Abdary di dalam kitabnya Al-Madkhal telah menjelaskan ketentuan ini dengan
mengatakan ,bahwa sebaik-baiknya tempat kegiatan belajar adalah masjid,
karena duduk di masjid untuk keperluan pendidikan dan pengajaran memiliki
faedah untuk menumbuhkan tradisi yang baik, menghilangkan kebiasaan yang
buruk, atau mempelajari hukum Allah. Berbeda dengan rumah yang melarang
orang untuk memasukinya kecuali atas seizinnya. Selanjutnya Al-Abdary pada
bagian lain kitabnya berpendapat, bahwa rumah dapat menjadi tempat belajar
hanya dalam keadaan darurat saja. Pelaksanaan kegiatan di rumah pernah
terjadi pada awal permula islam, yaitu pada saat sebelum tumbuhnya masjid.
Rasulullah SAW misalnya pernah menggunakan rumah Al-Arqam Bin Abi Arqam
sebagai markas bertemunya para sahabat dan pengikut Nabi, dan mengajar
mereka tentang dasar-dasar agama yang baru, srta membaca ayat-ayat Al-Quran
yang yang di turunkan, sebagaimana Rasulullah SAW yang menerima orang-
orang yang ingin masuk islam dan mengikuti ajarannya di rumah ini, agar
Rasulullah merasa mantap dalam memberikan bimbingan dan pengajaran,
sehingga ia benar-benar memeluk islam dan bergabung dengan kaum Muslimin.
Berkaitan dengan Al-Arqam ini, Rosulullah SAW pada waktu sebelum banyak
berdirinya masjid banyak menggnakan rumah di Mekkah dan di kelilingi oleh
kaum muslimin untuk memberikan pengajaran dan pendidikan, dan keadaan ini
terus berlangsung hingga turunnya ayat-ayat Al-Quran di Madinah, yakni setelah
berdirinya masjid. Rumah yang disinggung di dalam Al-Quran adalah rumah
Rosulillah. Namun demikian dari hal tersebut dapat di pahami bhwa sebaiknya
rumah tidak digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar, namun
larangan penggunaan rumah sebagai tempat kegiatan belajar tidak sampai jatuh
pada derajat yang di larang, karena dalam keadaan tertentu terdapat sejumlah
rumah, sebagaimana telah disebutkan di atas di gunakan sebagai tempat
bertemunya para murid dan pendidik serta sebagai pusat kegiatan ilmiah
sebelum berdirinya masjid. Di antara rumah yang sering di gunakna sebagai
tempat belajar adalah rumah Al-Rais Ibn Sina. Dalam hubungan ini Al-Jauzajani
berkata kepada sahabatnya bahwa pada setiap malam ia berkumpul di rumah
Ibn Sina untuk menimba ilmu, dan aku membaca kitab Al-Syifa dan sebagian
yang lain ada yang membaca kitab AL-Qanun. Kegiatan belajr di waktu malam
tersebut di lakukan, karena habis di gunakan untuk bekerja pada Raja Syams Al-
Daulah, dengan kegiatan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Demikian pula Abu Sulaiman Al-Sijistani yang wafat pada tahun ke 400 H. Ia
bnayk menggunakan waktu di rumah, dan itulah sebabnya ia putus komunikasi
dengan manusia dan banyak tinggal di rumah. Selanjutnya berdasarkan
penjelasan Abi Al-Hasan Abd. Allah Al-Munjum menyebutkan pendapat Al-Qifthy
yang mengatakan bahwa Abu Hasan bertemu dengan Abi Sulaiman dan
menyertainya. Rumah Abi Sulaiman ini banyak di kunjungi para ulama
untukmelakukan tukar menukar informasi (muzakarah), dan berdiskusi
(munazarah) pada berbagai tempat yang berbeda-beda, Abu Sulaiman bertindak
sebagai tenaga ahli yang memberikan penilain. Di antara yang menghadiri
majelis ilmudi selenggarakan di rumah Abu Sulaiman ini adalah Abu Muhammad
Al-Muqadasi, Abu Al-Fatah Al-Nuwasjaniy, Abu Zakariya Al-Shiymiry, Abu Bakar
Al-Qumisy, Ghulam Zuhlih, Abu Hayan Al-Tauhidy berkata,bahwa pada masing-
masing individu memiliki bidang keahlian dalam bidang ilmu pengetahuan.
Selanjutnya rumahbyang di gunakan sebagai majelis ilmu yang di datangi para
pelajar dan para guru untuk mematangkan ilmunya adalah Imam Al-Ghazaly (504
H). Yang menerima para siswa di rumahnya itu, setelah ia berhenti bertugas
sebagai guru di Madrasah Al-Nidzamiyah di Nisafur, serta menuntaskan kegiatan
spiritualnya, yaitu mengerjakan ibadah haji, berikhtikaf di masjid Al-Alamawiy di
Damaskus serta menulis kitabnya yang di kenal IhyaUlum Al-Din. Demikian juga
dengan rumah Yakub Bin Kalas Wazir Al-Aziz Billah Al-Fathimiy, rumah Al-Sulfiy
Ahmad Bin Muhammad Abu-Thahir(576 H ) DI Iskandariyah di guankan sebagai
tempat untuk kegiatan ilmiah.
.

Anda mungkin juga menyukai