Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah bin Muhammad bin Ali bin
Abdullah bin al-Abbas as-Saffah atau lebih dikenal dengan sebutan Abu al-Abbas
(750-754 M). Sekalipun Abu al-Abbas adalah orang yang mendirikan dinasti
Abbasiyah, namun pembina yang sesungguhnya adalah Abu Ja’far al-Mansyur
(754-775 M)[ Suryantara, H. Bahroin. . Sejarah Kebudayaan Islam. Bogor:
Yudhistira 2011].
Ibukota yang awalnya terletak di al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih
memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri, khalifah al-
Mansyur memindahkannya ke Baghdad, dekat bekas ibukota Persia, Ctesiphon,
tahun 762 M. Dengan demikian pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada d
tengah-tengah bangsa Persia. Lalu, al-Mansyur juga melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga
eksekutif dan yudikatif.
Pada masa al-Rasyid (786-809 M), kekayaan negara banyak dimanfaatkan untuk
keperluan social, mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan
farmasi. Setelah al-Rasyid, al-Makmunlah yang menggantikan, al-Makmun
dikenal sebagai kalifah yang sangat cinta dengan ilmu filsafat.
Al-Wathiq (842-847 M), khalifah penggantinya, sadar dengan keadaan yang ada,
lalu dia berusaha melapaskan diri dari cengkraman perwira-perwira Turki,
dengan cara memindahkan ibu kota pemerintahan ke Sammara, tetapi usahanya
tidak berhasil. Khalifah-khalifah Abbasiyah tetap berada di bawah bayang-
bayang para perwira Turki.
Selanjutnya, khalifah al-Mutawakkil (847-861 M) merupakan kekhalifahan
besar terakhir dari dinasti Abbasiyah. Khalifah-khalifah sesudahnya pada
umumnya lemah dan tidak mampu melawan kehendak tentara pengawal dan
sultan-sultan yang kemudian datang menguasai ibu kota. Ibu kota kemudian
dipundahkan lagi ke Baghdad oleh al-Mu’tadid (870-892 M). khalifah terakhir
dari dinasti Abbasiyah adalah al-Mu’tasim (1242-1258 M), pada masanyalah
Baghdad kemudian dihancurkan oleh tentara Hulagu Khan di tahun 1258 M.
Perkembangan Pendidikan Islam pada
Masa Daulah Abbasiyah
Perkembangan ilmu pengetahuan ditandai dengan mulainya kegiatan
penerjemahan buku-buku, baik dari bahasa Sansekerta, Suriani mapun Yunani.
Dan khalifah al-Mansyurlah yang meletakkan batu pertama bagi kegiatan
penerjemahan ini. Diantara penerjemah yang terkemuka ialah Abdullah bin
Muqaffa (757 M), seorang Majusi yang kemudian masuk Islam. Salah satu
karyanya yang terkenal adalah Kalilah Wa Dimmah, yang berasal dari bahasa
Sansekerta dan sudah dialihbahasakan ke bahasa Persi.
Pada masa khalifah al-Rasyid, Yuhannad bin Masuwaih diangkat
sebagai penerjemah buku-buku lama yang terdapat di Ankara,
Amuriayah dan di seluruh negeri Romawi.Pada tahun 832 M khalifah
al-Makmun mendirikan sebuah akademi di Baghdad yang
bernama Bait al-Hikmah. Di tempat ini para ilmuan Muslim
melakukan kegiatan penerjemahan, penelitian dan menulis buku.
Dalam ilmu kimia dikenal nama jabir bin Hayyan dengan julukan bapak
al-Kimia. Kemudian Abu Bakar al-Razi (856-925 M) adalah pengarang buku
terbesar tentang kimia. Dalam bidang fisika ada Abu Raihan Muhammad al-
Baituni (973-1048 M) yang menemukan teori tentang bumi berputar sekitar
porosnya juga melakukan penyelidikan tentang kecepatan suara dan cahaya,
serta berhasil menentukan berat dan kepadatan 18 macam permata dan metal.
Dalam bidang filsafat dikenal nama-nama seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd. Diantara mereka yang pengaruhnya kuat di Eropa adalah Ibnu
Rusyid, yang dikenal dengan sebutan Averros. Bahkan di Eropa ada aliran
yang bernama Averroism.