Utsman bin Affan adalah sahabat Nabi dan khalifah ketiga dalam Khulafaur Rasyidin. Memiliki nama asli Utsman bin Affan bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib Al-Quraisy Al-Umawi Al-Makki Al-Madani, beliau lahir di kota Thaif pada tahun 576 M. Nasabnya bertemu Nabi pada kakek yang keempat, yaitu Abdu Manaf. Usia beliau 6 tahun lebih muda daripada Rasulullah saw, tahun sesudah peristiwa Gajah (al-Fil). Utsman bin Affan berasal dari keluarga kaya raya. Beliau dikenal pemalu, dermawanan, dan memiliki sifat jujur dan rendah hati. Bahkan Rasulullah pun menghormati Utsman karena sifatnya itu. Meskipun pemalu, ia juga seorang Khalifah yang dapat bersikap tegas dalam menjalankan tugasnya menjadi seorang pemimpin. Utsman bin Affan masuk Islam atas ajakan Abu Bakar, sesudah Islamnya Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haristah. Beliau adalah salah satu sahabat besar dan utama Nabi Muhammad SAW, serta termasuk pula golongan as-Sabiqun al-Awwalin, yaitu orang-orang yang terdahulu Islam dan beriman. Utsman bin Affan diangkat menjadi khalifah pada usia 70 tahun, yaitu di dalam usia yang sudah tua dan berkuasa selama dua belas tahun (23-35 H/644-656 M) dan wafat di usia 82 tahun. Pemilihan terhadap dirinya itu berlangsung pada penghujung bulan Zulhijjah tahun 23 H/ 644 dan diresmikan pada awal Muharram 24 H/644 M. Selama masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan, banyak keberhasilan yang dicapai diantaranya perluasan wilayah dengan menguasai Kabul, Gaznah, balk, dan Turkistan bagian timur. Selanjutnya sebagian wilayah Hurasan, Asia kecil ke Tripoli dan Afrika Utara, dan paling utama adalah pengumpulan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf yang masih terjaga hingga saat ini. Namun, banyak tantangan atau perlawanan yang dihadapi Usman bin Affan salah satunya tuduhan nepotisme diseparuh perjalanan kekhilafaannya dengan membagi harta zakat kepada keluarga lebih besar dari rakyatnya yang lain, mengangkat lima gubernur dari keluarga Utsman sendiri, dan tuduhan ketidakadilan atas kedzaliman yang dilakukan keluarganya sebagaimana yang dilakukan Abdullan bin Abi Sarah kepada rakyat Mesir. Hal itu pula yang menjadi titik balik pemberontakan hingga terjadi peristiwa pembunuhan Usman bin Affan.
Pengangkatan Utsman bin Affan menjadi Khalifah
Pada masa Rasulullah masih hidup, Utsman terpilih sebagai salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus salah satu tim penulis wahyu yang turun dan pada masa Kekhalifahannya Al-Qur’an dibukukan secara tertib. Kekerabatan Utsman dengan Rasulullah bertemu pada urutan silsilah ‘Abdu Manaf. Rasulullah berasal dari Bani Hasyim, sedangkan Utsman dari kalangan Bani Ummayah. Jauh sebelum masa kenabian Muhammad, antara Bani Hasyim dan Bani Ummayah dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam persaingan sengit disetiap aspek kehidupan, sehingga proses masuk Islamnya Utsman bin Affan dianggap sebagai hal yang luar biasa, populis, dan sekaligus heroik. Hal tersebut mengingat kebanyakan kaum Bani Ummayah, pada masa masuk Islamnya Utsman, bersikap memusuhi Nabi dan agama Islam. Utsman Bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin Khattab menjelang wafatnya. Sebelum khalifah Umar Bin Khattab wafat, beliau membentuk dewan yang beranggotakan enam orang sahabat yang saat itu dianggap paling tinggi tingkatannya, yang bertugas memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang kelak menjadi penggantinya. Keenam anggota dewan itu adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrohman bin Auf, Ibnu Umar, dan Sa’ad bin Abi Waqqas. Ketua dewan dipegang oleh Abdurrohman bin Auf. Setelah dimusyawarahkan di rumah Abdurrohman bin Auf, akhirnya mayoritas suara memilih Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga. Utsman bin Affan dilantik menjadi khalifah pada hari ketiga setelah wafatnya Umar bin Khattab.
Peradaban Islam pada masa khalifah Utsman bin Affan
Utsman bin Affan merupakan khalifah dengan masa pemerintahan terlama, yakni dua belas tahun. Dibawah pemerintahannya, umat Islam mengalami era paling makmur dan sejahtera. Banyak kemajuan yang dicapainya dari segi politik, ekonomi, hingga sosial budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan yang erat kaitannya dengan perluasan wilayah islam. Namun demikian, para pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Utsman menjadi dua perode, enam tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang baik dan enam tahun terakhir adalah masa pemerintahan yang buruk hingga terjadi peristiwa pemberontakan. Berikut ini beberapa poin yang menunjukkan peradaban Islam selama masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan: 1. Kodifikasi Mushaf al Qur'an Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, wilayah Islam sudah sangat luas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perbedaan pembelajaran Al- Qur'an di beberapa pelosok wilayah. Perbedaan itu meliputi susunan surah atau lafal (dialiknya). Salah seorang sahabat bernama Huzaifah bin Yaman melihat perselisihan antara tentara Islam ketika menaklukkan Armenia dan Azerbeijan. Masing-masing pihak menganggap cara membaca Al-Qur'an yang dilakukan adalah paling baik. Perselisihan tersebut kemudian dilaporkan oleh Huzaifah bin Yaman kepada Khalifah Usman bin Affan. Kemudian, Khalifah Usman bin Affan membentuk sebuah panitia penyusunan Al- Qur'an yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit dan dua anggota lainnya, yaitu Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Harits. Panitia mushaf menyalin ulang ayat-ayat Al-Qur'an dan membukukannya yang kemudian disebut sebagai mushaf dan diperbanyak sejumlah empat buah. Salah satu dari mushaf Al-Qur’an tetap berada di Madinah yang kemudian disebut Mushaf Al-Imam atau Mushaf Usmani, sedangkan empat lainya dikirim ke Makkah, Suriah, Basrah, dan Kufah. Semua naskah Al-Qur'an yang dikirim ke daerah- daerah tersebut dijadikan pedoman dalam penyalinan berikutnya di daerah masing- masing. 2. Renovasi Masjid Nabawi Masjid Nabawi adalah masjid yang pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad saw. pada saat pertama kali tiba di Madinah dari perjalanan hijrahnya. Masjid ini pada mulanya hanya kecil dan masih sangat sederhana. Seiring waktu makin banyak jumlah umat islam, maka Khalifah Umar bin Khattab mulai memperluas masjid ini. Masjid Nabawi telah mulai dibangun sejak masa Khalifah Umar bin Khattab, kemudian dilanjutkan renovasi dan diperluas oleh Khalifah Usman bin Affan. Selain diperluas, masjid Nabawi juga dibangun dengan bentuk dan coraknya yang lebih indah. 3. Pembentukan Armada dan Angkatan Laut Pada masa Khalifah Usman bin Affan, wilayah islam sudah mencapai Afrika, Siprus, hingga konstantinopel. Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat gubernur Suriah, mengusulkan dibentuknya angkatan laut dengan tujuan untuk melindungi wilayah Afrika dari serangan Romawi. Usul itu disambut dengan baik oleh Khalifah Usman bin Affan. Beliau membentuk armada dan angkatan laut yang kuat dan berhasil menghalau serangan musuh Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini menjadi kemenangan pertama bagi tentara Islam dalam pertempuran di lautan. 4. Perluasan Wilayah Islam Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan dakwah Islam menunjukkan kemajuan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan banyaknya penaklukan dan perluasan wilayah Islam hingga mencapai Asia, Afrika dan Eropa. Beliau membagi kekuasaan Islam menjadi 10 provinsi dengan masing-masing amir atau gubernur. Wilayah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan), serta Kabul dan Ghazni. Berikut beberapa wilayah perluasan dibawah kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan: a) Perluasan ke Khurasan dibawah pimpinan Sa’ad bin Ash dan Huzaifah bin Yaman. b) Perluasan ke Armenia yang dipimpin Salam Rabiah Al Bahly. c) Afrika Utara (Tunisia) Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sa’ad bin Abi Sarah. d) Penaklukan Ray dan Azerbeijan yang dipimpin Walid bin Uqbah.
Akhir masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan
Setelah melewati saat-saat yang gemilang, pada paruh terakhir masa kekuasaanya, khalifah Usman menghadapi berbagai pemberontakan dan pembangkangan di dalam negeri. Pemberontakan dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap tabiat khalifah dan beberapa kebijaksanaan pemerintahannya. Meskipun begitu, kekacauan tersebut sudah dimulai sejak mula pertama ia terpilih menjadi khalifah. Berikut sebab-sebab mundurnya kekhalifahan Utsman bin Affan: 1. Nepotisme Utsman bin Affan terpilih karena calon konservatif, mereka adalah orang yang baik dan sholeh. Namun, dalam banyak hal kurang menguntungkan karena Utsman terlalu terikat dengan kepentingan-kepentingan orang Makkah, khususnya kaum Quraisy dari puak Umaiyah. Kemenangan Utsman sekaligus adalah suatu kesempurnaan yang baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayyah. Oleh karena Utsman berada dalam pengaruh dominasi seperti itu maka satu persatu kedudukan tinggi kekhalifahan diduduki oleh anggota-anggota keluarga terdekatnya. Nepotisme (memberikan pekerjaan kepada anggota keluarganya) membuatnya tak bisa bergerak banyak, terlebih kepada para pejabat saat itu yang merupakan anggota keluarganya. Hal ini membawa khalifah ke puncak kebencian rakyat, yang pada beberapa waktu kemudian meletus menjadi pemberontakan dan pengepungan. Hal ini ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut: a) Gubernur Syria, Muawiyyah bin Abu Sufyan (kemenakan Utsman yang telah menjadi wali Damaskus 10 tahun pada masa Khalifah Umar bin Khattab) diberi otonomi yang lebih besar, yakni wilayah kekuasaannya ditambah sehingga meliputi Damaskus, Himah, Palestina, Yordania dan Libanon. b) Mengganti para pejabat penting negara dengan orang-orang yang masih mempunyai ikatan kekeluargaan dengannya, seperti gubernur Mesir, Amr Ibn Ash diganti oleh Abdullah Ibn Sa’ad Ibn Abi Sarh (Saudara sepersusuan Utsman), gubernur Kufah, Sa’ad Ibn Abi Waqqas diganti dengan Al-Walid Ibn Uqbah (Kemenakan Utsman), Alwalid dianggap tidak kompeten maka diganti oleh Sa’d Ibn Al-Ash (kemenakan Utsman) dan gubernur Bashrah Abu Musa Al-asy’ari diganti oleh Abdullah Ibn Amir (putra paman Utsman). c) Pengangkatan Marwan Ibn Hakam (saudara sepupu Utsman) sebagai sekertaris negara sehingga negara dikendalikan oleh satu keluarga. 2. Pemberontakan Utsman bin Affan tidak menyadari bahwa berbagai kebijakannya telah membuka kembali munculnya nilai-nilai Arab lama yang berwatak Ashabiyyah. Dari sudut mempertahankan kekuasaan dan wewenang kekhalifannya ia berhasil, namun dalam menjaga nilai-nilai egalitarialisme yang merupakan watak islam ia dikatakan gagal. Dalam masa pemerintahannya muncul rasa tidak puas berkepanjangan dalam masyarakat Islam. Ketidakpuasaan tidak hanya disebabkan oleh faktor politik namun faktor agama dan ekonomi juga turut mendukungnya. Berikut ini kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan yang meresahkan masyarakat: a) Kodifikasi Al-Qur’an Ibn Mas’ud di Kufah menganggap bacaannya benar dan sesuai dengan yang ia terima dari Nabi merasa tidak puas, musuh-musuh usman melontarkan tuduhan pencemaran kitab suci. b) Membagikan tanah kepada kaum muslim yang melakukan migrasi ke Irak sangat merugikan Ahl qurra (penduduk asli) khususnya suku Bani Tamim. c) Wilayah Syria yang dikenal dengan istilah sanna man ra’a (sangat indah dipandang mata) hanya diperuntukan bagi Bani Umayyah dan ditetapkan tertutup bagi para pendatang. d) Tanah Fadak yang pernah disengketakan oleh Fatimah dengan khalifah Abu Bakar dijadikan milik pribadi oleh Marwan Ibn Hakam. e) Menghukum Abu Dzar al-Ghiffari dengan mengucilkannya karena mengkritik Muawiyyah Ibn Abi Sufyan yang sering mengadakan pesta dan mengabaikan kaum miskin. f) Harta Baitul Mal dipakai untuk kepentingan pribadi dan diberikan kepada kaum kerabatnya. g) Membagikan tanah-tanah kepada famili-famili dan kerabatnya tanpa jalan yang syah. Keluhan rakyat di daerah-daerah terhadap tindakan sewenang-wenang pejabat pemerintah yang diangkat Utsman bin Affan dari kaum kerabat dan familinya sendiri, tidak pernah sampai kepada khalifah. Pembantu-pembantu khalifah itu sengaja menutupi dan memandang remeh keluhan rakyat. Kepercayaan Utsman terhadap famili dan kerabatnya semakin besar. Dengan memegang kekuasaan, mereka melakukan tindakan sewenang-wenang, menggencet dan menjatuhkan hukuman yang berat kepada orang- orang yang mereka curigai dan membentuk kelompok untuk memukul lawan-lawan politik dan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Semua itu mengundang kebencian rakyat terhadap Utsman. Menjelang akhir pemerintahan Utsman, pemberontakan terjadi di Kufah, Bashrah, dan Mesir. Hanya wilayah Syam (Syria dan Palestina) yang masih terkendali dibawah kekuasaan Muawiyyah. Ketidaksukaan orang-orang ini disebut dengan fitnah al-Kubra yakni munculnya tuduhan miring kepada Usman bin Affan sehingga muncul di kalangan umat ketidak percayaan kepada khalifah serta muncul niat dan mosi tidak percaya kepada khalifah. Fitnah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka kepada khalifah Utsman bin Affan semakin tersebar di berbagai kota. Gagasan mosi tidak percaya kepada khalifah Utsman semakin luas dan tidak pernah berhenti. Mereka mengajak seluruh kaum muslimin untuk pergi ke Madinah menghadap kepada khalifah untuk menyampaikan mosi tidak percaya kepada para pejabat yang diangkat oleh Utsman. Pada bulan Zulkaedah 35H/656 M, berdatangan rombongan dari Mesir, Kufah, dan Bashrah yang masing-masing berjumlah lebih 500 orang menunaikan ibadah haji ke tanah suci dan bertujuan mengepung kediaman khalifah serta menuntut agar khalifah Utsman turun dari jabatannya. Rombongan dari Mesir dipimpin Al-Gafiki Ibn Harbal- Akki mendirikan perkemahan di Zil-Marwa, mempunyai keinginan mengangkat Ali Ibn Abi Thalib menggantikan Utsman bin Affan. Rombongan dari kufah dipimpin oleh Abdullah Ibn Assham Al-Amiri mendirikan perkemahan di al-aswah berkeinginan mengangkat Zubair Ibn Awwam menggantikan Utsman. Sedangkan rombongan dari Bashrah dipimpin oleh Hurkush Ibn Zuhair Al-Saadi mendirikan perkemahan di Za- Khusub, berkeinginan mengangkat Thalhah Ibn Ubaidillah untuk menggantikan Utsman. Mereka mengepung Madinah selama 40 hari dan pulang ke daerahnya masing-masing setelah protesnya direspon oleh khalifah. Khalifah berjanji akan merubah sikap dan kebijaksanaannya. Sementara itu, pemuka-pemuka Bani Umayyah seperti Muawiyyah Ibn Abi Sufyan, Marwan Ibn Hakam, dan pembesar-pembesar Bani Umayyah lainnya tidak kelihatan batang hidungnya. Mereka tidak membela dan melindungi Utsman dalam keadaan yang sangat genting itu, mereka lepas tangan tak berbuat apa-apa. Padahal yang menjadi penyebab pemberontakan dan amarah yang meluap-luap terhadap Utsman adalah akibat dari perbuatan mereka yang tak bertanggungjawab. Mereka menghindarkan diri untuk menjaga pandangan bahwa perselisihan ini adalah perselisihan khalifah dengan kaum Muslimin, bukan perselisihan kaum muslimin dengan Bani Umayyah. Pada subuh hari Jum’at tanggal 8 zulhijjah tahun 35 H/656 M, khalifah Usman Ibn Affan meninggal dunia dalam usia 82 tahun sambil memeluk al-qur’an yang sedang dibacanya karena dibunuh oleh salah seorang dari pasukan pemberontak yang datang dari Mesir bernama al-Gafiki. II) Khalifah Ali bin Abi Thalib Ali adalah putera Abu Thalib bin Abdul Muthalib kakek Rasulullah saw, ibunya bernama Fatimah bin Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf adalah paman Rasulullah yang mengasuh nabi semenjak kakeknya meninggal dunia. Ali bin Abi Thalib tergolong keturunan Hasyimiyah, sama dengan garis keturunan nabi Muhammad, beliau lahir pada tahun ke-10 sebelum kerasulan Muhammad. Sejak kecil Ali tumbuh dalam pengasuhan dan bimbingan Nabi. Ia merupakan orang pertama dari golongan remaja yang menyatakan masuk islam. Terdapat berbagai pendapat mengenai kelahiran Ali bin Abi Thalib, namun sebagian besar mengatakan beliau lahir pada hari Jumat malam, tanggal 10 bulan Rajab. Sepeninggal Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib adalah kandidat terkuat untuk menjadi khalifah saat itu, dikerenakan adanya ketetapan dari Nabi jauh sebelum Beliau wafat, yang menegaskan bahwa beliau adalah satu-satunya penerus kekhalifaan yang sah. Namun, jika kita tinjau dari sisi lain, yang mengantikan Nabi menjadi imam shalat pada saat Nabi sakit dan tidak dapat ke masjid adalah Abu Bakar. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa Abu Bakar adalah orang yang dipercaya oleh Nabi SAW untuk memimpin umat Islam sepeninggal beliau.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontakan yang waktu itu menguasai Madinah tak memiliki pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah, waktu itu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai’at mereka. Menjadikan Ali satu- satunya Khalifah yang dibai’at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda. Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ke-4, memegang pemerintahan selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintahannya Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, yaitu Perang Jamal. Pertempuran ini terjadi di Basra, Irak pada tahun 656 M, antara pasukan yg berpihak pada Ali bin Abi Thalib dan pasukan yang berpihak kepada Aisyah r.a, yang menginginkan keadilan atas terbunuhnya khalifah terdahulu, yaitu Utsman bin Affan. Sebanyak 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul Mu’minin Aisyah binti Abu Bakar. Perang tersebut akhirnya dimenangkan oleh pihak pendukung Ali bin Abi Thalib. Pada perang jamal sebanyak lebih dari 10.000 umat Islam gugur dalam peperangan, termasuk Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah, sedangkan aisyah r.a ditawan dan dikembalikan ke Madinah. Selesainya perang jamal, Ali bin Abi Thalib bergerak dari Kufah ke Damaskus dan bertemu pasukan Muawiyyah di kota Shiffin. Muawiyyah yang menolak meletakkan jabatannya sebagai gubernur Syria, bahkan tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sejak awal akhirnya menyebabkan pemberontakan hingga terjadi perang Shiffin. Perang ini berakhir dengan adanya perundingan untuk mencapai perdamaian, namun hal ini malah menyebabkan munculnya golongan ketiga, yaitu Al-Khawarij atau orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
Peradaban Islam pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib
Masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil, hal ini dikarenakan banyaknya pergolakan yang terjadi dari kaum muslimin, mulai dari perang jamal, perang shiffin hingga pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Khawarij. Hal ini menyebabkantak banyak warisan yang ditinggalkannya. Berikut ini usaha-usaha yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib selama masa pemerintahannya: 1. Mengganti Pejabat yang Kurang Cakap. Khalifah Ali bin Abi Thalib menginginkan sebuah pemerintahan yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, beliau mengganti pejabat-pejabat yang kurang cakap dalam bekerja. Akan tetapi, pejabat-pejabat tersebut ternyata banyak yang berasal dari keluarga Khalifah Usman bin Affan (Bani Umayah). Akibatnya, makin banyak kalangan Bani Umayyah yang tidak menyukai Khalifah Ali bin Abi Thalib. Adapun gubernur baru yang diangkat Khalifah Ali bin Abi Thalib antara lain : a) Sahl bin Hanif sebagai gubernur Syiria b) Usman bin Hanif sebagai gubernur Basrah c) Qays bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir d) Umrah bin Syihab sebagai gubernur Kufah e) Ubaidaillah bin Abbas sebagai gubernur Yaman 2. Membenahi Keuangan Negara (Baitul Mal) Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan, banyak kerabatnya yang diberi fasilitas negara. Khalifah Ali bin Abi Thalib memiliki tanggung jawab untuk membereskan permasalahan tersebut. Beliau menyita harta para pejabat tersebut yang diperoleh secara tidak benar. Harta tersebut kemudian disimpan di Baitul Mal dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Kebijakan tersebut mendapat tantangan dan perlawanan dari mantan penguasa dan kerabat Utsman bin Affan. Mereka mengasut para shahabat yang lain untuk menentang kebijakan Ali bin Abi Thalib dan melakukan perlawanan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib. Akibatnya, terjadilah peperangan seperti perang Jamal dan perang Shiffin. 3. Memajukan Bidang Ilmu Bahasa. Pada saat Khalifah Ali bin Abi Thalib memegang pemerintahan, wilayah Islam sudah mencapai India. Pada saat itu, penulisan huruf hijaiyah belum dilengkapi dengan tanda baca seperti kasrah, fathah, dhommah dan syaddah. Hal tersebut menyebabkan banyaknya kesalahan bacaan teks Al-Qur'an dan Hadits di daerah-daerah yang jauh dari Jazirah Arab. Untuk menghindari kesalahan fatal dalam bacaan Al-Qur'an dan Hadits, Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad-Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajarai tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non-Arab dalam mempelajari sumber utama ajaran islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadits. 4. Bidang Pembangunan. Khalifah Ali bin Abi Thalib membangun Kota Kufah secara khusus. Pada awalnya kota Kufah disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi, Kota Kufah kemudian berkembang menjadi pusat ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu nahwu dan ilmu pengetahuan lainnya. Setelah mengamati prestasi keempat khalifah memiliki persamaan prestasi pada penyebaran daerah Islam. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain : a) Islam mengajarkan semua sendi kehidupan, baik agama, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. b) Kewajiban dakwah bagi pemeluknya merupakan pendorong utama bagi para shahabat untuk menyebarkan Islam. c) Byzantium dan Persia mulai melemah membuat Islam bisa berkembang dengan cepat. d) Kebebasan beragama bagi masyarakat di Byzantium membuka peluang untuk mengajarkan ajaran Islam. e) Penyebaran Islam dilakukan secara simpatik dengan penuh kedamaian. Kekerasan diperlukan dalam kondisi yang tidak ada pilihan. f) Bangsa Arab lebih dekat dengan bangsa-bangsa jazirah. g) Mesir, Syiria, dan Irak merupakan daerah kaya yang ingin membebaskan diri dari penjajahan Romawi dan persia. Sekaligus menjadi penyokong dana dalam menyebarkan Islam.
Akhir masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Konflik yang terjadi antara pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim. Pihak Khalifah Ali mengutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur tetapi tidak baik dalam berpolitik bernama Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan pihak Muawiyah mengutus seorang yang terkenal sangat cerdik dalam berpolitik yaitu Amr bin Ash. Dalam tahkim tersebut pihak Ali bin Abi Thalib kalah bersaing dengan pihak Muawiyah, karena Amr bin Ash lebih cakap dibandingkan Abu Musa Al-Asy’ari. Setelah selesai melakukan tahkim, pihak Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima hasil tahkim tetapi tetap setia terhadap Khalifah Ali, dan kelompok yang tidak menerima hasil tahkim tetapi kecewa dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Mereka yang kecewa terhadap kepemimpinan Ali memilih untuk melakukan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam tahkim, termasuk Ali bin Abi Thalib. Muncul kaum Khawarij yang mengeluarkan beberapa pernyataan mengenai orang-orang yang mengikuti tahkim sebagai orang-orang kafir. Sebagai oposisi dalam kekuasaan yang ada, Khawarij berpendapat bahwa Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib telah keluar dari ajaran Islam karena kebijakan-kebijakannya, termasuk karena melakukan tahkim. Selain kedua khalifah tersebut, khawarij memandang pemimpin-pemimpin lain pun telah menyeleweng dari Islam, di antaranya Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, dan mereka yang mendukung tahkim. Peristiwa tahkim memang menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para sahabat, banyak pengikut Ali bin Abi Thalib yang tidak setuju dan memilih untuk tidak mendukung Khalifah Ali. Pemerintahan Ali dibuat repot oleh tindakan-tindakan pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Khawarij. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk menduduki wilayah Mesir. Akibatnya, perekonomian pemerintahan Khalifah Ali mulai terganggu, mengingat Mesir menjadi sumber pendapatan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Akhirnya, perselisihan antara pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah diselesaikan dengan pemberian kekuasaan Syria kepada Muawiyah, dan Khalifah Ali tidak melanjutkan penyerangan terhadap pihak Muawiyah. Hal itu disebut oleh beberapa pihak sebagai kegagalan dari pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh banyak pihak, seperti di wilayah Bashrah, Mesir, dan Persia, telah membuat kekuasaan Ali menjadi lemah, sedangkan Muawiyah bertambah kuat. Pihak Muawiyah berhasil memanfaatkan penurunan pemerintahan Ali sebagai kekuatan bagi mereka untuk membangun kekuasaan baru. Semakin banyak pihak-pihak yang tidak mendukung Khalifah Ali untuk kembali bangkit membangun pemerintahannya. Ditambah semakin berkurangnya pemasukan dari setiap daerah kekuasaan pemerintahan Ali yang mulai membangkang, telah membuat kekuatan Khalifah Ali sulit untuk kembali. Berbeda dengan pihak Khalifah Ali, pihak Muawiyah semakin kuat posisinya karena banyak didukung oleh rakyat dan sumber daya alam di sekitar wilayah Mesir dan Syria. Ali bin Abi Thalib adalah jenderal perang yang gagah berani, dan seorang diplomat yang jujur, sedangkan Muawiyah adalah seorang diplomat yang cerdik dan pintar. Namun, Muawiyah akan memainkan sebuah strategi yang cukup licik apabila jalan peperangan sudah tidak bisa ia tangani. Hal itu terlihat ketika Muawiyah menuduh pihak Ali bin Abi Thalib sebagai dalang dari terbunuhnya Khalifah Utsman. Dia memanfaatkan situasi ketegangan di antara umat Islam untuk menjatuhkan kekuatan Khalifah Ali di mata umat. Sebuah rencana pembunuhan dilakukan oleh kaum Khawarij yang tidak suka dengan keputusan Ali bin Abi Thalib. Dikisahkan, salah seorang pengikut Khawarij, bernama Abdurrahman, memberikan sebuah pukulan yang hebat kepada Ali bin Abi Thalib ketika ia akan melaksanakan adzan di Masjid. Pukulan itu membuat Khalifah Ali mengalami luka yang fatal, dan wafat pada 17 Ramadhan 40 H.