Anda di halaman 1dari 4

Biografi dan Kisah Kepemimpinan Khalifah

Usman Bin Affan


Biografi Singkatan Khalifah Utsman Bin Affan
Nama lengkap Utsman bin Affan bin al- Ash bin Umayyah bin Abdu Syams
bin Abdu Manaf bin Qushay al-Amawi Al- Quraisy dilahirkan pada tahun 573
M dari kelahiran Rasulullah SAW. Ibunya bernama al-Baida binti Abdul alMuthalib, bibi Rasulullah SAW, yakni saudari kembar Abdullah ayah
Rasulullah SAW.[3] Berdasarkan silsilah ini, Utsman bin Affan masih memiliki
jalinan keluarga dengan Rasulullah, yakni silsilah keturunan yang bertemu
pada Abdul al-Manaf bin Qushay al- Amawi al-Quraisy. Bahkan jalinan
kekerabatan ini diperkuat lagi dengan tali pernikahan yang menempatkan
Dia sebagai menantu Rasulullah. Karena itu, hubungannya dengan
Rasulullah bukan hanya dalam hal keagamaan,tetapi juga Dia dihadapan
Rasulullah adalah seorang keluarga, menantu dan saudara seagama. Utsma
bin Affan masuk Islam melalui Abu Bakar dan termasuk kelompok pertama
yang
masuk
Islam.
Rasulullah
sangat
mengaguminya
karena
keserderhanaan, kesalehan, kedermawaan dan kepandaiannya menjaga
kehormatan diri (Iffal), serta dikenal sebagai dahabat yang terbaik dalam
bacaan al-Quran menurut kaca mata Rasulullah SAW, sehingga Rasulullah
memberikan dua putrinya untuk dinikahi secara olehnya berurutan. Setelah
istrinya yang pertama dan ke dua meninggal dunia, Rasulullah berkata,
Seandainya beliau mempunyai putri yang lain, pasti Dia telah
menikahkannya dengan Utsman bin Affan.[4]
Kesetiaan dan pengorbanan Utsman bin Affan terhadap pengembangan
Islam tidak dapat diragukan, demikian pula kepada Rasulullah cintanya amat
mendalam. Dia melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik bagi tujuan
Islam. Ia menderita penganiyaan bersama Nabi di tangan orang-orang
Quraisy, dan Dia menyertai emigran ke Abesinia bersama istrinya, Utsman
adalah orang yang sangat kaya, dan dia menyerahkan kekayaan itu kepada
Rasulullah untuk melayani Islam, di antaranya mendanai pembangunan
mesjid, sumur di Madinah dan memberikan bantuan keuangan yang paling
besar dalam peperangan Islam setelah Abu Bakar, sehingga Dia memproleh
kedudukan yang terhormat di antara para sahabat Rasulullah. Selama
kedudukan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Utsman merupakan salah
seorang dari penasehat dan pembantu utama di dalam urusan negara.[5]
Pengorbanan Utsman bin Affan terhadap Islam dan kaum muslimin tidak
hanya dalam bentuk harta, melainkan lebih dari itu, jiwa dan pikirannya
dicurahkan demi pengembangan syiar Islam dan keselamatan kaum
muslimin sehingga beliau beberapa kali ikut perang bersama Rasulullah SAW
kecuali perang Badar. Karena sedang sibuk melayani dan merawat isterinya
yang sakit keras sampai ia wafat dan dimakamkan pada hari kemenangan
kaum muslimin dan perang tersebut.[6]
Rasulullah pernah menunjuk Utsman sebagai duta Rasululah pada saat
perundingan antara pemimpin Islam dan pemuka-pemuka Quraisy pada
tahun 6 H ketika kaum mislimin hendak memasuki kota Mekkah untuk

melaksanakan umrah dan tersiar kabar bahwa Utsman bin Affan dibunuh
atau setidaknya telah ditahan oleh orang-orang kafir Quraisy, sebab Dia
tidak kembali sampai pada malam hari, maka kaum muslimin mengadakan
sumpah setia untuk membela Utsman bin Affan yang terkanal dengan
Baitat al-Ridwan.[7]
Jadi jelas bahwa pengorbanan dan perjuangan Utsman bin Affan dengan
segala kemampuan, harta benda dan jiwanya adalah semata-mata dalam
rangka pengembangan risalah Islam dan kemaslahatan kaum Muslimin.

Proses Pengangkatan Utsman Bin Affan


Sebagai Khalifah
Ketika Umar sedang sakit akibat dari tikaman seorang budak Persia yang
bernama Fairuz yang lebih dikenal dengan nama Abu Luluah, sekelompok
sahabat
datang
menjenguknya
dan
sekaligus
menanyakan
dan
mendiskusikan penggantinya Dia sebagai khalifah, pertanyaan dari para
sahabat ini tidak mendapatkan jawaban pasti dari.Umar bin Khattab,
sesudah itu, sahabat beranjak meninggalkan Khalifah Umar bin Khattab.
Para sahabat Rasulullah merasa takut andai Umar wafat tanpa meninggalkan
pesan tentang penggantinya. Oleh karena itu, mereka mendatangunya lagi
untuk mendesak Umar bin Khattabmenentukan penggantinya.[8]
Di tempat tidurnya, Umar mengambil keputusan dengan menunjuk badan
musyawarah yang terdiri dari orang-orang yang diridhoi dan dijanjikan oleh
Rasulullah sebagai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab. Mereka itu
adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Saad bin Waqah, Adurahman bin
Auf, Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah bin Umar. Untuk memeilih
seorang khalifah diantara mereka.[9] Namun khusus untuk Abdullah bin
Umar tidak dicalonkan apalagi dipilih berdasarkn wasiat khalifah Umar.
Adapun kriteria pemilihan telah ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab
yaitu :
Khalifah yang di pilih adalah dari anggota Syura kecuali Abdullah bin Umar
yang tidak punya hak pilih dan bertindak sebagai penasihat. Bilamana suara
dari anggota tim sama hendaknya keputusan diserahkan kepada Abdullah
bin Umar sebagai anggota tim tersebut. Jika keputusan Abdullah bin Umar
tidak disetujui oleh anggota mengikuti keputusan yang diambil oleh
Abdurrahman bin Auf. Bila ada anggoat tim yang tidak mau mengambil
bagian dalam pemilihan maka anggota tersebut harus dipenggal kepalanya.
Bila dua calon mendapatkan dukungan yang sama maka calon yang
didukung oleh Abdurrahman bin Auf yang dianggap menang. Apabila
seorang telah terpilih dan minoritas (satu atau dua) tidak mau mengikutinya
maka kepala mereka harus dipenggal. Jadwal pelaksanaan musyawarah
selama tiga hari ke empat sudah ada pemimpin. [10]
Tatkala Umar wafat, berkumpullah orang-orang yang dipilihnya menjadi
formatur dikepalai oleh Abdurrahman bin Auf di dalam salah satu rumah
kepunyaan mereka. Tiga hari lamanya musyawarah yang amat penting itu,
dan sudah tiga hari rupanya belum juga dapat diputuskan karena sejak awal
jalannya pertemuan itu sangat alot, maka Abdurrahman bin Auf berusaha
memperlancar dengan himbauan agar sebaiknya mereka dengan sukarela
mengundurkan diri dan menyerah kepada orang yang lebih pantas
(memenuhi syarat) untuk dipilih sebagai khalifah. himbauan ini tidak

berhasil, tidak ada satupun yang mau mengundurkan diri, kemudian


Abdurrahman bin Auf sendiri menyatakan mengundurkan diri tetapi tidak
ada seorang pun dari empat sahabat Nabi yang mengikutinya.[11]
Dalam kondisi macet itu, Abdurrahman bin Auf berinisiatif melakukan
musyawarah dengan sahabat dan tokoh-tokoh masyarakat selain yang
termasuk dalam anggota badan musyawarah, dan suara terbelah menjadi
dua kubu yaitu pendukung Ali dan pendukung Utsman. Pada pertemuan
berikutnya, Abdurrahman bin Auf menempuh cara dengan menanyakan
masing-masing angggota formatur dan di dapatlah skor suara tiga banding
satu, dimana Zubair, dan Ali mendukung Utsman, sedangkan Utsman
mendukung Ali.[12]
Meskipun suara terbanyak dari anggota formatur jatuh pada Utsman, namun
Abdurrahman tidak serta merta membaiat Utsman. Tetapi pada subuh hari
sesudah semalaman ia berkaliling memantau pendapat masyarakat, ia
berdiri setelah kaum Muslimin memenuhi mesjid dan menyampaikan
pengantar tentang pelaksanaan pemilihan khalifah. Di sini terlihat kembali
persaingan dua kubu yaitu kubu Ali dan kubu Utsman.[13]
Pada saat itu Abdurrahman menunjukkan keahliannya menghadapi masalah
yang sulit ini. Dia memanggil Ali dan Utsman secara terpisah untuk dimintai
kesanggupannya bertindak berdasarkan al- Quran dan sunnah Rasul-Nya
serta berdasarkan langkah-langkah yang diambil oleh dua khalifah
sebelumnya. Ali bin Abi Thalib bertindak sesuai dengan pengetahuan dengan
kekuatan yang ada pada dirinya, sedangkan Utsman bin Affan
menyanggupinya, sehingga Abdurrahman mengucapkan baiatnya dan
diikuti oleh orang banyak menyatakan baiat, termasuk juga Ali pada
akhirnya juga menyatakan bai;atnya kepada Utsman bin Affan.[14]
Orang keenam tim formatur, Thalha bin Ubaidillah tiba di Madinah setelah
pemilihan itu berakhir. Dia juga menyatakan sumpah setia kepada Utsman
bin Affan.[15]
Mencermati proses pemilihan tersebut, nampak dengan jelas upaya
pemilihan khalifah dilakukan secara musyawarah dengan memperhatikan
suara dari berbagai pihak, dan hal ini pula yang membedakan antar proses
pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
Karena itu Utsman bin Affan ditetapkan menjadi khalifah, pada hari Senin,
akhir bulan Dzulhijjah tahun 23 H. dan resmi menjadi khalifah yang ketiga
dari Khulafa al-rasyidin pada tanggal 1 Muharram tahun 24 H.[16]

Prestasi Yang Dicapai Khalifah Utsman Bin


Affan
Pada saat amirul Muminim Umar bin Khattab wafat dan digantikan oleh
Khalifah Utsman bin Affan. Banyak daerah melakukan pembangkangan,
untuk meredam pembangkangan, Khalifah Utsman bin Affan membentuk
pasukan dalam rangka mengamankan wilayah dan sekaligus memperluas
wilayah kekuasaan Islam sebagai penyempurnaan penaklukan di masa
pemerintahan Umar bin Khattab, baik itu melalui jalur darat maupun jalur
laut.[17]

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan umat Islam mempunyai


angkatan laut. Wilayah-wilayah yang dikuasai pada masa pemerintahannya
adalah Barqah, Tripoli Barat, bagian Selatan negeri Nubah, Armenia, dan
beberapa wilayah di Thabaristan, kemudian negeri-negeri Balkh Harah,
Ghaznah di Turkistan, Kabul, wilayah-wilayah sungai Hindustan dan Jurjan.
[18]
Salah satu peristiwa pertempuran besar di laut pada masa pemerintahan
Utsman adalah peperangan Dzatis Safari (Pertempuran tiang kapal).
Peristiwa ini terjadi pada tahun 34 H di laut Tengah di kota Iskandariah
antara tentara Romawi yang berada di bawah pimpinan Kaisar Constantine
dan tentara Islam di bawah pimpinan Abdullah Ibnu Abi Sarah (Gubernur
Mesir), yang melibatkan 1.000 kapal perang, dan 200 di antaranya
kepunyaan kaum Muslimin yang berhasil memenangkan pertempuran ini.
[19] Demikian bangsa Arab menancapkan keunggulan mereka dilaut.
Kesimpulan
Proses pengangkatan Utsman bin Affan menjadi khalifah berbeda dengan
pengangkatan Abu Bakar, Umar bin Khattab maupun Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatannya secara demokratis didasari oleh asas musyawarah.
Pada awal masyarakat pemerintahannya, Utsman bin Affan menuai masa
keberhasilan dan kejayaan, namun diakhir masa pemerintahannya timbul
kritikan dan pemberontakan akibat dari tiduhan orang munafik yang
memprofokasi rakyat kepada beliau melakukan nepotisme dan favoritisme
yang berakhir dengan kematian beliau.
Saran
Sejarah memang peristiwa masa lalu, tetapi ia adalah cermin dalam konteks
kekinian. Oleh karena itu kajian dan telaah sejarah harus di pahami dalam
konteksnya agar tidak terjebak pada asumsi yang menyimpang dari konteks
sejarah itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai