Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HAKIKAT MAKNA HUKUM ISLAM ( TAKLIFI DAN WADH’I)

Dosen pengampu: Dr. H. Hasbullah, S.Th.I, M.A

Disusun Oleh :

NAMA KELOMPOK

1. DENY RAMADHANI (301180026)


2 .SITI KHOTIJAH (301180023)

PROGRAM STUDI ILMU AL- QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDIN JAMBI
TAHUN 2018
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Berikut makalah ini akan menjelaskan tentang pengertian hukum syara Takhlifi dan
Wadh’i. Hukum syara’ ialah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi
mukallaf., yaitu bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara
ialah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama islam.
Aktivitas seorang muslim selalu terikat dengan hukum syara. Hukum syara ini
mengikataktivitas kita, baik perkataan kita, perbuatan kita harus memiliki dasar hukum syara
yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah, mandud, makruh, dan haram. Semua ini disebut
dengan ahkmul khamsah. Kenapa sih harus terikat? Keterikatan kita kepada hukum syara
yang menandakan bahwa kita ialah seorang muslim sejati, muslim sejati dilihat dari indeks
ketaatanya kepada hukum syara atau dalam kata lain ketaqwaanya. Oleh karena itu
pemakalah mencoba membuat makalah sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan
dengan hukum syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, seperti hukum taklifi dan
wadh’i

A. Rumusan Masalah

1. Makna Taklifi dan Wadh’I dalam hukum islam.


2. Bentuk hukum islam Taklifi.
3. Bentuk hukum islam Wadh’i.

B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas dari mata kuliah studi
hukum islam dan menambah wawasan bagi penulis dan pendengar.
PEMBAHASAN

A. MAKNA TAKLIFI DAN WADH’I DALAM HUKUM ISLAM


Hukum Taklifi mengambil bentuk thalab (tuntutan) dan takhyir (pilihan)
perbuatan. Ditinjau dari segi thalab, hukum taklifi dapat dibagi dua yaitu: tuntutan
untuk berbuat dan tuntutan untuk tidak berbuat (meninggalkan perbuatan). Dalam hal
ini, tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat itu sendiri, masing-masing dapat dibagi
dua pula yaitu: tuntutan yang bersifat mesti (tidak boleh tidak;harus) dilakukan dan
tidak mesti (boleh tidak) dilakukan, dan tuntutan yang bersifat mesti (tidak boleh
tidak) ditinggalkan, dan tidak mesti (dianjurkan untuk) ditinggalkan. Sementara
takhyir mengandung kebebasan memilih bagi mukallaf untuk berbuat atau tidak
berbuat . Sedangkan wadh’i ialah firman (titah) Allah yang berbentuk ketentuan
yang menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halangan dari suatu
ketetapan hukum taklifi. Oleh karena itu, pada hakikatnya, hukum wadh’i sangat erat
kaitanya dengan hukum taklifi, baik dalam bentuk sebab (sebab), sehingga
melahirkan akibat (musabbab) suatu hukum taklifi, atau dalam bentuk syarat
(syarth), sehingga dimungkinkan berlakunya (masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun
dalam bentuk halangan (mani), sehingga suatu hukum taklifi menjadi tidak
terlaksana (mamnu). Di samping itu, termasuk pula dalam pembahasan hukum
wadh’i pembahasan yang berkaitan dengan azimah (hukum yang berlaku umum dan
keadaan normal) dan rukhshah (keringanan) , ash-shihah (sah) dan al-buthlan
(batal)1.1

1
Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A.,Ushul Fiqh, perpustakaan nasional KDT, Jakarta 2011 hal:40
B. BENTUK HUKUM ISLAM TAKLIFI
Hukum taklifi dibagi menjadi lima yaitu:
1. Al- Ijab (kewajiban)
2. An- Nadb (kesunnahan)
3. At- Tahrim (keharaman)
4. Al- Karahah (kemakruhan)
5. Al- Ibahah (kebolehan)

1. Wajib
Pada umumnya ulama ushul fiqh menjelaskan, kata wajib secara etimologi
berarti tetap. Sedangkan secara terminologi ialah perbuatan yang dituntut Allah
untuk dilaksanakan oleh mukallaf dengan sifat mesti (tidak boleh tidak) dilakukan,
yang jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala, dan jika
ditinggalkan, maka ia dikenakan dosa.
Hukum wajib dari beberapa segi dapat terbagi menjadi beberapa bagian. Jika dilihat
dari segi pelaksanaanya dibagi menjadi dua yaitu :

1. Al-Wajib al-‘aini
Adapun yang dimaksud dengan al-wajib al-‘aini (kewajiban individu).
Kewajiban ‘aini bersifat individual, tanpa membedakan antara satu mukallaf dengan
mukallaf lainya. Kewajiban ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri. Misalnya,
melaksanakan sholat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, membayar zakat bagi
pemilik harta yang telah memenuhi persyaratan nishab dan haul , melaksanakan
ibadah haji dan menuntut ilmu.
2. Al-Wajib al-kafa’i
Adapun yang dimaksud wjib kafa’i (kewajiban kolektif). Apabila beberapa
orang dari sejumlah mukallaf telah melaksanakan kewajiban tersebut dengan
sempurna, secara otomatis kewajiban itu tidak lagi dituntut untuk dikerjakan oleh
mukallaf lainya. Akan tetapi jika kewajiban itu tidak dilaksanakan orang seorang pun
dari antara mereka, maka setiap individu dari sekumpulan mukallaf tersebut menjadi
berdosa.2

2
Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqih,perpustakaan nasional DKT,Jakarta 2011,hal:45
Ditijau dari segi waktu pelaksanaanya dibagi dua yaitu:

1. Al-wajib al-muthlaq
Adapun yang dimaksud dengan al-wajib al-muthlaq ialah suatu kewajiban
yang asy- syari tidak mengaitkan pelaksanaanya dengan waktu tertetu. Dengan kata
lain waktu pelaksanaan kewajiban ini dapat ditangguhkan dan dilaksanakan kapan
saja seseorang merasa mampu.

2. Al-Wajib al-mu’aqqat
Adapu yang dimaksud dengan al-wajib al-mua’qqat ialah suatu kewajiban
yang asy-syari tidak mengaitkan pelaksanaanya dengan waktu tertentu. Karena
kewajiban ini tertentu waktunya, maka pelaksanaan kewajiban ini dipandang tidak
sah jika dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan itu.

Ditinjau dari segi perbuatan yang diperintahkan terbagi atas dua yaitu:

1. Al-Wajib al-mu’ayyan
Yang dimaksud dengan al-wajib al-mu’ayyan (kewajiban tertentu) ialah suatu
kewajiban yang asy-syari memerintahkan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu,
karena perbuatan yang diwajibkan bersifat tertentu, maka perbuatan tersebut tidak
dapat digantikan dengan perbuatan lain, dan tidak ada pilihan perbuatan lain untuk
menggantikan perbuatan yang diperintahkan itu. Contoh melaksanakan sholat lima
waktu, menunaikan zakat, memlihara anak yatim, berbuat baik kepada orang tua dan
berjihad.
2. Al-Wajib al-mukhayyar
Yang dimaksud dengan al-wajib al-mukhayyar ialah suatu kewajiban yang
asy-syari memerintahkan untuk melakukan salah satu dari beberapa perbuatan
tertentu. Contoh dalam membayar kafarat karena melanggar sumpah, asy-syari
menyediakan pilihan antara member makan sepuluh orang miskin, atau puasa
memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan seorang budak.33

3
Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A, Ushul fiqh,perpustakaan nasional KDT,Jakarta 2011,hal:50
Ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan terbagi atas dua yaitu:

1. Al-Wajib al-muhaddad
Adapun yang dimaksud dengan al-wajib al-muhaddad (kewajiban yang
bersifat terbatas) karena kewajiban ini telah ditentukan kadar/ukuranya secara
spesifik dan terbatas, maka seorang mukkalaf belum terpandang telah terlepas dari
kewajiban itu, sebelum ia melaksanakannya secara penuh sesuai kadar dan ukuran
yang telah ditentukan. Contohnya kewajiban zakat mal zakat fitrah bersifat
tertentu, baik syarat-syarat maupun jumlah harta yang dizakatkan.

2. Al-Wajib ghair al-muhaddad


Adapun yang dimaksud dengan al-wajib ghair al-muhaddad (kewajiban tidak
terbatas) ialah kewajiban member nafkah kepada kerabat atau keluarga atau
family yang miskin, seperti orang tua, saudara, dan lain-lain.
Ditinjau dari segi pertanggungjawaban pelaksanaanya terbagi menjadi dua yaitu:

1. Al-Wajib al-qadha’i
Yang di maksud dengan al-wajib al-qadha’i ialah suatu kewajiban yang dapat
dimintakan pertanggungjwaban pelaksanaanya di dunia melalui pelaksanaan
pemerintahan atau keputusan pengadilan . Contohnya kewajiban membayar zakat.
Seseorang yang memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan minimal sejumlah
harta (nishab) maka kepadanya dikenakan kewajiban membayar zakat. Apabila orang
tersebut tidak mau mengeluarkanya, maka bukan ia bukan saja berdosa tetapi
pemerintah dapat pula memaksa orang tersebut untuk membayar zakat hartanya itu.44

4
Dr.H.Abd,Rahman,M.A,Ushul fiqh,perpustakaan nasional KDT,Jakarta 2011,hal:53
2. Al-Wajib ad-diyani
Yang dimaksud dengan al-wajib ad-diyani ialah kewajiban yang bersifat
keagamaan. Suatu kewajiban yang jika tidak dilaksanakan, maka ia mendapat siksa di
akhirat, tetapi kewajiban tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya di dunia.
Contonya kewajiban seorang ibu yang sehat untuk menyusukan anaknya untuk
pertama kali setelah anak tersebut lahir.

Ditinjau dari segi tujuanya terbagi menjadi dua bagian yaitu:

1. Al-Wajib at-ta’abbudi
Adapun yang dimaksud dengan al-wajib at-ta’abbudi (kewajiban untuk tujuan
ibadah) ialah suatu kewajiban yang secara khusus diwajibkan pelaksanaanya
dengan maksud untuk menunjukkan manifestasi kepatuhan,ketundukan, dan
mendekatkan diri (qurbah) kepada Allah. Contohnya semua ibadah yang dibahas
di dalam kitab-kitab fiqh.

2. Al-Wajib at-tawashshuli
Adapun yang dimaksud dengan al-wajib at-tawashshuli (kewajiban untuk
tujuan ibadah) ialah, suatu kewajiban yang pelaksanaanya tidak secara khusus
diwajibkan dengan maksud untuk menunjukkan secara langsung kepaatuhan dan
ketundukan seorang hamba kepada Allah, tetapi untuk melahirkan keteraturan,
ketertiban, kenyamanan dan ketentraman dalam masyarakat , akan tetapi jika
dikerjakan dengan niat untuk ibadah, tentu saja pelakunya mendapat pahala
sebagai pelaku ibadah. Contohnya menyelenggarakan penguburan jenazah,
membersihkan badan dan pakaian55

5
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul fiqh, perpustakaan nasional KDT, jakarta 2011, hal:54
2. Haram
Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakanya. Orang yang
melakukanya akan disiksa dan berdosa, dan yang meninggalkanya diberi pahala.
Misalnya mencuri, membunuh, dan lain-lain.

3. Mandud
Mandud adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala,
tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa. Biasanya, mandud ini
disebut juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada
a. Sunat’ ain, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi
mukallaf untuk dikerjakan, misalnya shalat sunnah rawatib.
b. Sunat’ kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat
cukup oleh seorang saja dari satu kelompok, misalnya mengucapkan salam
dan lain-lain.

4. Makruh
Makruh adalah perbuatan yang apabila ditinggalkan, orang yang
meninggalkanya mendapat pahala, tapi orang yang tidak meninggalkanya tidak
mendapat dosa. Misalnya merokok dan lain-lain.

5. Mubah
Mubah adalah segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatanya, dan
tidak berdosa karena meninggalkanya.66

6
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul fiqh, perpustakaan nasional KDT, jakarta 2011,hal:74
C. BENTUK HUKUM ISLAM WADH’I

1. Sebab
Sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan
bagi ada dan tidak adanya hukum.
Ulama membagi sebab ini menjadi dua bagian :
a. Sebab yang diluar kemampuan mukallaf. Misalnya keadaan terpaksa
menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau
tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat.
b. Sebab yang berada dalam kesanggupan sebagai seorang mukallaf. Sebab
ini terbagi dua :
 Yang termasuk dalam hukum takfili
 Yang termasuk dalam hukum wadh’i

2. Syarat
Syarat adalah segala sesuatu yang tergantung dengan adanya hukum
dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan
tidak ada pula hukum. Namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula
adanya hukum. Misalnya, wajib bayar zakat perdagangan apabila usaha
perdagangan itu sudah berjalan satu tahun bila syarat berlakunya satu tahun itu
belum terpenuhi, zakat itu belum wajib, Namun, dengan adanya syarat
berjalan satu tahun itu saja tentu belum wajib zakat, karena masih tergantung
kepada sampai atau tidaknya dagangan tersebut senisab.7

7
.Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul fiqh,perpustakaan nasional KDT,jakarta 2011,hal: 76
3. Mani
Mani adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum
atau dapat membatalkan sebab hukum. Mani terbagi menjadi dua macam yaitu
:
a. Mani terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama antara pewaris
dengan yang akan diwarisi adalah mani (penghalang) hukum pusaka
mempusakai sudah ada, yaitu perkhawinan. Begitu juga najis yang
terdapat di tubuh atau di pakaian orang yang sedang shalat, yaitu suci
dari najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya shalat. Hal ini
disebut mani hukum.
b. Mani terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta
senisab wajib mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai
hutang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat, ia tidak wajib
membayar zakat. Namun, keadaanya memiliki banyak hutang tersebut
menjadikan penghalang sebab adanya hukum wajib zakat.

4. Sah dan Batal


Secara harfiah, sah berarti lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban
di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan
sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’.88

8
Dr.H.Rahman Dahlan,M.A,Ushul fiqh,perpustakaan nasional DKT,Jakarta 2011,hal:78
5. Azimah dan Rukhshah

a. Pengertian Azimah
Azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri atas
hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap
mukallaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat
atau pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut belum ada
peraturan lain yang mendahuluinya. Misalnya bangkai menurut hukum
asalnya adalah haram dimakan untuk semua orang. Ketentuan ini disebut
juga dengan ketentuan pokok.

b. Pengertian Rukhshah
Rukhshah adalah peraturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena
adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankanazimah. Dengan
kata lain, rukhshah adalah pengecualian hukum-hukum pokok (azimah)
sebagaimana disebut sebelumnya.
Hukum Azimah dan Rukhshah selama tidak ada hal-hal yang
menyebabkan adanya rukhshah seorang mukallaf diharuskan mengambil
azimah, karena memang begitulah ketentuan-ketentuan pokok dari Allah
dalam menyariatkan peraturanya. Namun, bila ada hal yang memberatkan
sehingga menimbulkan kefatalan, dibolehkan mengambil rukhshah.
Misalnya, seseorang yang dalam keadaan terpaksa dibolehkan memakan
bangkai , yang hukum asalnya adalah haram. Artinya dalam keadaan
normal seseorang diwajibkan untuk tidak memakan bangkai sehingga
memakan bangkai itu haram hukumnya bagi orang tersebut. Namun,
dalam keadaan terpaksa orang itu diberi kebolehan memakan bangkai
tersebut. Maka dengan sendirinya hukum rukhshah tersebut adalah
mubah.9

9
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul fiqh, perpustakaaan nasiional KDT, jakarta 2011,hal:79
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian sebelumnya dapat dilihat antara hukum taklifi dan hukum wadh’i dari dua hal:

a. Dilihat dari sudut pengertianya, hukum taklifi adalah hukum Allah yang berisi
tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan
memilih antara berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan hukum wadh’i tidak mengandung
tuntutan atau member pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (mani) suatu
hukum, sah dan batal.
b. Dilihat dari segi kemampuan mukallaf untuk memikulnya, hukum taklifi selalu dalam
kesanggupan mukallaf, baik dalam mengerjakan tau meninggalkanya. Sedangkan
hukum wadh’I kadang-kadang dapat dikerjakan oleh mukallaf dan kadang-kadang
tidak.
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan,Rahman. Ushul fiqh, Jakarta, 2011

Amzah,hakikat makna hukum islam, cetakan 2 (Jakarta, kreasindo media citra,2011)

Anda mungkin juga menyukai