Anda di halaman 1dari 42

47

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum

1. Ibnu Katsir

a. Kelahiran dan Wafatnya

Nama lengkapnya adalah Imaduddin Abul Fida’ Ismāil Ibnu Umar

Ibn Katsir Al- Qurasyi al-Bashrawi ad-Dimasyq asy-Syafi’i.1 Yang sering

dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau dilahirkan di Busrha pada tahun

700 H. Pada usia yang ke tiga tahun beliau ditinggal oleh ayahnya yang

dikenal sebagai khatib dikota itu. Beliau merupakan anak bungsu dan

nama Ismāil sendiri diambil dari nama kakaknya yang meninggal sebelum

beliau lahir, pada saat mencari ilmu di kota Damaskus.2

Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir hijrah ke kota Damaskus, beliau

pertama kali menuntut ilmu dari saudara kandungnya Abdul Wahab ketika

itu beliau telah hafal al-Qur’an dan sangat menekuni ilmu hadis, fikih,

maupun tarikh. Beliau juga menimba ilmu kepada Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah (wafat tahun 728). Karena besar cintanya kepada gurunya,

sehingga beliau terus mengikutinya sampai mendapat berbagai cobaan

demi membela gurunya.

1
Ibnu Katsir. 2004. Al-Bidayah Wan Nihayah. Diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsari. Cet. I.
Jakarta: PT Darul Haq. hlm. 5
2
Ibiid., hlm. 5
48

Keilmuan, akahlak dan kepribadiannya beliau hasilkan dari

gurunya yaitu Ibnu Taimiyah, karena inilah beliau menjadi seorang yang

mempunyai kepribadian dalam berargumen. Dalam mengutarakan

pendapat beliau selalu menggunakan dalil, dan tidak pernah fanatik

dengan madzhabnya atau madzhab orang lain, sehingga hasil karya-karya

beliau mencerminkan dirinya.

Dalam menjalani kehidupan, Ibnu Katsir didampingi oleh seorang

yang bernama Zainab (putri Mizzi) yang masih sebagai putri gurunya.

Setelah menjalani kehidupan yang panjang, pada tanggal 26 Sya’ban 774

H bertepatan dengan bulan Februari 1373 M pada hari kamis, Ibnu Katsir

meninggal dunia.

b. Pendidikannya

Pada usia 11 tahun Ibnu Katsir menyelesaikan hafalan al-Qur’an,

dilanjutkan memperdalam Ilmu Qira’at, Ilmu Tafsir dari Syaikhul Islam

Ibnu Taimiyah (661-728), dan juga beliau belajar kepada Alamuddin al-

Qashim bin Muhammad al-Barzali (w. 739 H) dan Abul Hajjaj Yusuf bin

az-Zaki al-Mizzi (w. 748 H).

Karena ilmunya yang mendalam sehingga para ulama yang

sezaman dengan beliau maupun yang datang sesudahnya memberikan

banyak pujian kepada beliau, diantaranya adalah al-Imam adz-Dzahabi


49

beliau mengatakan “beliau adalah seorang imam yang faham berbagai

macam ilmu, diantaranya ilmu tafssir, hadis, dan fiqh”.

Beliau juga mendapatkan pujian dari muridnya Ibnu Hijji “beliau

adalah seorang yang kami temui dengan hafalan yang kuat terhadap matan

hadis, faham dengan ilmu takhrij dan para perawinya, beliau mampu

membedakan antara hadis yang shahih dan dhaif, sehingga memiliki

pemahaman yang baik serta agama yang benar.

Al-Alamah al-Aini berkata, “Beliau adalah rujukan ilmu tarikh,

hadis, dan tafsir. Ibnu Habib berkata, “Beliau masyhur dengan kekuatan

hafalan dan redaksi yang bagus, dan menjadi rujukan dalam ilmu tarikh,

hadis, maupun tafsir.3

c. Karya-karyanya

Ibnu katsir merupakan salah seorang ulama yang banyak

menghasilkan karya-karya ilmiah, di antara karya besarnya:

1. Tafsir al-Qur’anul Adzim,

2. Jami al-Masanid iya as-Sunan,

3. at-Takmu fi Ma’rifatis Tsiqat wa ad-Dhuafa’ wa al-Majahil dalam

kitab ini beliau mepadukan apa yang terdapat dalam kitab Tahdzibul

3
Ibiid., hlm. 6
50

Kamal karya besar al-Mizzi dan Mizanul ‘idal karya adz-Dzahabi

dengan sedikit pembahasan.

4. al-Bidayah wan Nihayah.4

d. Metode dan Corak Penafsiran Ibnu Katsir

Di antara karya Ibnu Katsir yang terkenal adalah Tafsir al-Qur’an

al-‘Azim. Karya monumental ini memiliki keistimewaan tersendiri

dibandingkan dengan kitab tafsir lain. keistimewaannya terletak pada

ketajaman analisis penulisnya dalam menelaah berbagai problem yang

berkaitan dengana penafsiran ayat al-Qur’an. Perbedaan-perbedaan

pendapat dikemukakan dengan jelas, kemudian dikritik dengen

mengemukakan argumen-argumen yang kuat dan dapat dipertahankan.

Demikian juga bahasa yang digunakan sangat mudah dipahami karena jelas

dan tidak berbelit-belit.5

Dalam penafsiran ayat al-Qur’an, Ibnu Katsir menggunakan metode

tersendiri. Sebagai mufasir, ia sangat hati-hati dan tidak terlalu liberal

dengan selalu berpegang pada ayat-ayat al-Qur’an, hadis, atsar sahabat, dan

pendapat para ulama salaf. Kitab tafsirnya penuh dengan beragam nukilan

yang ia kutip untuk menjelaskan maksud suatu ayat. Nukilan tersebut

4
Ibiid., hlm. 6
5
Nurdin. Analisis Penerapan Metode Bi Al-Ma’sur dalam Tafsir Ibnu Katsir Terhadap Penafsiran Ayat-
Ayat Hukum. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum. Vol. 47. No I, Juni 2013. hlm 85
51

diungkapkan secara lengkap dengan sanadnya sehingga bisa diukur

validitas nukilan tersebut.

Langkah pertama yang dilakukan Ibnu Katsir dalam menafsirkan

ayat al-Qur’an adalah mencari tafsir ayat tersebut di dalam al-Qur’an itu

sendiri. Jika tidak ditemukan tafsirnya, ia berusaha menemukan dalam

hadis, kemudian ia berpegang kepada pendapat para sahabat dan setelah

itu, ia berpedoman kepada pendapat para tabi’in dan tabi’ tabi’in, seperti

mujahid Ibnu Jarir, Said Ibnu Jubair dan al-Dhahak ibnu Mazahim. Dengan

demikian, motode yang ia gunakan berdasarkan definisi yang ia tawarkan

oleh Manna’ al-Qaththan dan Muhammad Rasyid Ridha, termasuk metode

bi al-ma’sur. Bahkan tafsir Ibnu Katsir ini termasuk tafsir bi al-ma’sur

yang populer dan menduduki tingkatan kedua setelah tafsir Ibnu Jarir al-

Thabary.6

Selain itu, Ibnu Katsir juga menggunakan cerita-cerita Isrāiliyyāt

untuk mendukung dan menolak suatu penafsirn terhadap ayat al-Qur’an.

Namun menurutnya, kita harus selektif dalam menerima atau menolak

cerita Isrāiliyyāt, karena sebagian riwayat Isrāiliyyāt itu tidak shahih atau

munkar. Ibnu Katsir juga menyebutkan pendapat-pendapat para ulama

dalam masalah fikih, bahkan kadang-kadang ia menolak pendapat mereka

dengan argumen yang menurutnya lebih tepat.

6
Ibiid., hlm. 86
52

2. Ahmad Mustafa al-Maraghi

a. Kelahiran dan Wafatnya

Nama lengkapnya adalah Ahmad al-Mustafa ibn Muhammad ibn

‘Abd al-Mun’in al-Qadi al-Maraghi. Beliau dikenal dengan nama al-

Maraghi. beliau lahir pada tahun 1300 H/1883 M di kota al-Maraghah,

Privinsi Suhaj yang jaraknya 700 meter dari selatan kota Kairo. Menurut

‘Abd al-Aziz al-Maraghi kota al-Maraghah adalah ibukotanya al-

Maraghah yang berada ditepi barat sungai Nil, yang memiliki

berpenduduk sekitar 10.000 orang.7

al-Maraghi lahir dari keluarga ulama yang taat dan memiliki

berbagai ilmu agama, 5 dari 8 orang putra Syeikh Mustafa al-Maraghi

(ayah al-Maraghi) adalah ulama besar yang cukup terkenal, diantaranya:

1) Muhammad Mustafa al-Maraghi yang pernah menjadi Syekh al-Azhar

dua periode: tahun 1928-1935 dan 1935-1945.

2) Ahmad Mustafa al-Maraghi, pengarang tafsir al-Maraghi.

3) ‘Abd al-Aziz Al-Maraghi, dekan Fakultas Ushuludin Universitas al-

Azhar dan Imam Raja Faruq.

4) ‘Abdullah Mustafa al-Maraghi, Inspektur umum pada Universitas al-

Azhar.

7
M. Khoirul Hadi. Karakteristik Tafsir al-Maraghi dan Penafsiran Tentang Akal. Hunafa: Jurnal
Studia Islamika. Vol. 11, No. 1, Juni 2014: 153-172. hlm. 157
53

5) ‘Abd al-Wafa Mustafa al-Maraghi, sekretaris badan Penelitian dan

Pengembangan Universitas al-Azhar.8

Selain itu pada saat al-Maraghi

Di samping itu, sewaktu Ahmad Mustafa al-Maraghi lahir, situasi

politik sosial dan intelektual di Mesir sedang mengalami perubahan,

sebab pada masa itu nasionalisme “Mesir untuk orang Mesir” sedang

menampakan peranannya baik dalam usaha membebaskan diri dari

kesulitannya Utsmaniyyah maupun penjajah inggris.

Pada tanggal 9 juli 1952 M/1371 H al-Maraghi meninggal dunia

di daerah Hilwan tempat kediamannya sekitar 25 Km selatan Kota Kairo.

b. Pendidikannya

Ibnu Katsir sejak kecil telah mencari ilmu. Sosok ayahnyalah yang

menjadi suri tauladan yang mampu membuat Ibnu Katsir memahami

berbagai bidang keilmuan, dan bersemangat dalam mencari ilmu. Pada

usia yang ke 13 tahun beliau telah mengkhatamkan al-Qur’an dengan

kaidah bacaan tajwid serta dasar-dasar syari’ah.9

Setelah selesai dari madrasah, ayahnya memerintahkan al-

maraghi untuk melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar 1897 M. al-

Maraghi belajar berbagai macam ilmu, diantaranya; ilmu al-Qur’an, hadis,

8
Ibiid., hlm. 157
9
Ibiid., hlm. 158
54

usūl fikih, akhlak, ilmu falak, dan sebagainya. Selain belajar di Universitas

al-Azhar beliau juga belajar di Dār al-‘Ulūm Kairo. Pada tahun 1909

beliau menyelesaikan studinya.

Setelah lulus beliau mengawali karirnya menjadi utusan sekolah

dan menjadi direktur didaerah Fayumi yang jaraknya sekitar 300 km dari

kota Kairo. Pada tahun 1916 beliau menjadi utusan dari Universitas al-

Azhar untuk mengajar di Universitas Ghirdun di Sudan untuk mengajar

ilmu-ilmu syari’ah Islam. Selain mengajar beliau juga aktif menulis, salah

satu buku yang ditulisnya yaitu ‘Ulūm al-Balāghah.

Pada tahun 1920 sampai 1940 beliau kembali ke Kairo untuk

mengajar Bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariat Islam di Dār al-‘Ulūm.

Selain itu beliau juga mengajar di Fakultas Adab Universitas al-Azhar

mengajar ilmu balaghah dan sejarah kebudayaan Islam, di daerah itu

tepatnya di daerah al-Huwwa beliau menghabiskan waktunya sampai

meninggal dunia. Karena terkenalnya, nama beliau diabadikan sebagai

nama jalan dikota itu, yaitu al-Maraghi.

c. Karya-Karyanya

Al-Maraghi banyak menghasilkan karya-karya yang banyak di

antara:

1. Tafsir al-Maraghi.

2. ‘Ulūm al-Balāghah

3. Hidāyah al-Tālib
55

4. Tahzīb al-Taudīh

5. Buhūs wa Arā’

6. Tārikh ‘Ulūm al Balāghah wa Ta’rīf Rijālihā

7. Mursyid al-Tulāb

8. Al-Mu’jaz fī al-Adab al-‘Arabī

9. Al-Mu’jaz fī ‘Ulūm al-Usūl

10. Al-Diniyāt wa al akhlāq.10

d. Metode dan Corak Penafsirannya

Dalam penafsirannya al-Maraghi mempunyai keunikan dan

metode tersendiri dibandingkan dengan tafsir lain. kitab tafsir ini dianggap

sejajar dengan Tafsir al-Manār karya Muhammad ‘Abduh yang bercorak

adabi ijtimā’i.

Dari metode dan sitematika penulisan tafsir al-Mataghi memiliki

bobot yang tinggi. Pertama, beliau mengemukakan ayat dari awal lalu

memberikan penafsiran satu atau dua ayat yang mengacu pada makna dan

tujuan yang sama. Kedua, beliau menjelaskan kosakata dan syarah

mufradāt untuk menjelaskan kata yang sulit difahami. Ketiga, beliau

menjelaskan ayat secara global untuk menjembatani pembaca sebelum

menyelami makna yang lebih dalam. Kempat, al-Maraghi selalu

menampilkan asbāb al-nuzūl berdasarkan riwayat yang shahih yang

10
H. Masnur. Jurnal dengan Judul Al-Maraghi:Pemikiran Teologinya. hlm.263
56

dijadikan pegangan oleh para ahli tafsir, juga melakukan kontektualisasi

ayat dengan melihat asbāb al-nuzūl-nya. Kelima, al-Maraghi

menggunakan bahasa yang mudah agar difahami oleh pembaca, hal ini

terbentuk ketika al-Maraghi membaca tafsir terdaulu yang menurut beliau,

gaya bahasa yang beliau temukan dalam tafsir terdahulu sesuai dengan

kondisi zamannyaa. Oleh karena itu al-Maraghi mencoba menafsirkan

dengan bahasa baru yang mudah difahami dan tetap tidak meninggalkan

substansi penafsiran yang dilakukan oleh para ulama zaman terdahulu.

Meski demikian al-Maraghi tetap merujuk pada ulama-ulam penafsir

sebelumnya, ia berupaya menunjukan kaitan ayat al-Qur’an dengan

pemikiran dan ilmu pengetahuan lain. contohnya beliau berkonsultasi

dengan dokter, sejarawan astronomi dan lain. Keenam, al-Maraghi melihat

kelemahan kitab tafsir terdahulu yang banyak mengutip cerita-cerita

(Isrāiliyāt). Padahal cerita tersebut belum pasti kebenarannya.11 Al-

Maraghi memandang langkah yang tepat dalam menyikapi cerita

Isrāiliyyāt adalah tidak menyebutkan masalah-masalah yang erat

kaitannya dengan cerita orang-orang terdahulu, kecuali jika cerita-cerita

tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang sudah

tidak diperselisihkan,.12

11
Ibiid., hlm. 163
12
Ibiid., hlm. 164
57

B. Penafsiran Qur’an Surat al-Baqarah ayat 83

1. Tafsir Ibnu Katsir

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua,
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, dan bertutur katalah yang
baik kepada manusia, laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi
kemudian kamu berpaling (mengingkar, kecuali sebagian kecil dari kamu, dan
kamu masih jadi pembangkang) [Q.S. al-Baqarah (2) : 83]

Menurut Ibnu Katsir dalam ayat ini Allah mengingatkan kepada Bani

Isrāil bahwa Allah perintahkan kepada mereka dan mengambil janjinya, tetapi

mereka berpaling dari semuanya itu, bahkan mereka menentang secara

sengaja, sedangkan mereka mengetahuinya. Dari penafsiran Ibnu Katsir ini

dapat disimpulkan bahwa mereka kaum Bani Israil diperintahkan hanya

menyembah Allah semata dan janganlah sekali-kali menyekutukannya. Hal ini

pula yang Allah diperintahkan pula kepada semua makhluk-Nya, bahwa Allah

menciptakan mereka. Sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat yang lain,

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan
Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". [Q.S. al-Anbiya (21) : 25]
58

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut. [Q.S. an-Nahl
(16) : 36]

Ayat ini menjelaskan bahwa menyembah Allah merupakan hak yang

paling tinggi, yaitu Allah Swt satu-satunya Tuhan yang disembah, tiada sekutu

bagi-Nya. kemudian hak kedua orang tua yang harus ditunaikan. sperti yang

dijelaskan dalam firman-Nya:

Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah


kembalimu. [Q.S. al-Lukman (31) : 14]

Allah SWT telah berfirman pula dalam ayat lain,

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain


Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. [Q.S al-Isra’ (17) : 23]

Sampai dengan firman-Nya,

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada


orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. [Q.S. al-Isra’ (17) : 26]

Dalam kitab sahihain disebutkan sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud seperti

berikut:
59

Aku bertanya kepada Nabi Saw, “apakah perbuatan yang paling dicintai
Allah SWT ?. “Nabi menjawab, “shalat pada waktunya”. Kemudian saya
bertanya lagi, “lalu apa?.” Rasulullah menjawab, “kemudian berbuat baik
kepada kedua orang tua. Lalu saya kembali bertanya, “lalu apa?” Rasulullah
menjawab, “kemudian jihad dijalan Allah’.

Seoraang bertanya kepada Rasululla,“Wahai Rasulullah, siapakah yang


harus didahulukan aku berbakti kepadanya?” beliau menjawab, “ibumu.’
Lelaki itu bertanya lagi, “kemudian siapa lagi?” beliau menjawab, “ibumu.”
Lelaki itu bertanya lagi, “kemudian siapa lagi?” beliau menjawab, “ibumu.”
Lelakai itu bertanya lagi, “kemudian siapa lagi?” beliau menjawab,
“ayahmu, kemudian orang yang paling dekat kerabatnya denganmu, lalu
orang yang paling dekat dengan kerabatmu.
Firman Allah SWT,

Janganlah kalian beribadah selain Allah. [Q.S. al-aqarah (2) : 83]


Menurut Zamakhsyari ayat ini bentuknya khabar, tetapi tetapi

mempunyai makna talab (tuntutan). Menurut pendapat yang lain, bentuk

asalnya adalah an la ta’budu’ illallah, seperti bacaan yang dilakukan oleh

ulama Salaf, lalu huruf (an) dibuang hingga tidak kelihatan. Menurut suatu
60

riwayat dari Ubay dan Ibnu Mas’ud keduanya membaca ayat ini la ta budu’

illallah (jangalah kalian menyembah selain Allah).

Al-yatāmā artinya adalah anak-anak yang belum baligh dan tidak

mempunyai orang tua yang mengasuhnya.

Al-masākīn artinya adalah orang miskin ang mempunyai pekerjaan,

tetapi tidak mencukupi untuk kebutuhannya.

Kalimat berikutnya,

“Serta ucapkanlah perkataan yang baik kemada manusia”

Maksudnya adalah berkatalah kepada manusia dengan baik dan lemah

lembut, termasuk dalam hal menyuruh yang baik dan menolak dalam hal

kejelekan “amar ma’ruf nahi munkar”. Sebagaimana Hasan al-Basri berkata

sehubungan dengan ayat ini bahwa perkataan yang baik ialah yang

mengandung kesabaran, memaafkan, dan pengampunan serta berkata baik

kepada manusia, seperti yang telah dijelaskan oleh Allah Swt yaitu semua

akhlak baik yang diridhai oleh Allah Swt.

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Abu Zar ra, bahwa Nabi

Muhammad Saw bersada:


61

Jangan sekali-kali kamu meremehkan suatu hal yang baik sedikitpun,


apabila kamu tidak menemukannya, maka sambutlah saudaramu dengan
wajah yang berseri-seri.
Hadis ini sesuai dengan perintah Allah Swt yang memerintahkan

kepada mereka untuk berbuat baik melalui perbuatan. Dengan demikian

dalam ayat ini menggabungkan dua sisi kebaikan, yaitu kebaikan perbuatan

dan ucapan. Kemudian dalam ayat ini mmemerintahkan untuk menyembah

Allah dan berbuat baik kepada manusia. ini dikuatkan dengan perintah secara

detail yaitu perintah mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Allah

berfirman dalam ayatnya:

Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.

Dalam riwayat diceritakan bahwa Bani Israil berpaling dari semua

yang Allah telah perintahkan, mereka meninggalkannya, bahkan mereka

berpaling dengaan sengaja sesudah mereka mengetahuinya, kecuali sedikit

dari kalangan mereka yang mengerjakannya.

Dalam ayat lain Allah telah memerintahkan pula kepada umat ini

dengan hal sama di dalam surat an-Nisa, yaitu melalui firman-Nya:


62

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan


sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh , dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri. [Q.S. an-Nisa (4) : 36]

Dari ayat ini, Allah swt memerintahkan kepada hambanya untuk tidak

mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan menyuruh untuk

mengerjakan yang ma’ruf sesama manusia.

Diantara nukilan yang garib (aneh) sehubungan dengan hal ini ialah

sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim di dalam kitab

tafsirnya; telah menceritakan ia kepada Muhammad Ibnu Khalaf Al-Asqalani,

telah menceritakania kepada Abdullah Ibnu Yusuf (yakni At-Tanisi), telah

menceritakan kepada kami Khalid Ibnu Sabih, dari Humaid Ibnu Uqbah, dari

Asad Ibnu Wada’ah, disebutkan bahwa Asad Ibnu Wada’ah ketika keluar dari

rumahnya tidak pernah menyapa dengan seorang Yahudi dan Nasrani

melainkan ia mengucapkan salam kepadanya. Ketika ditanyakan kepadanya,

“apakah gerangan yang mendorongmu hingga kamu mengucapkan salam

kepada orang Yahudi dan Nasrani ?” Ia menjawab bahwa Allah telah

berfirman:

Serta ucapkanlah yang baik-baik kepada manusia


63

Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ucapan yang baik adalah ucapan

salam, beliau juga mengatakan yang diriwayatkan dari Ata’ Al-Khurrasani ia

menceritakan telah ditetapkan di dalam sunah bahwa kita tidak boleh

mengucapkan salam penghormatan kepada mereka (orang-orang Yahudi dan

Nasrani).

2. Tafsir al- Maraghi

Ingatlah wahai muhammad tatkala kami (Allah) mengambil janji dari mereka

(kaum Bani Isrāīl). Kemudian Allah Swt. Menjelaskan isi perjanjian itu:

Pengertian dari ayat ini ialah, kami mengambil janji kepada kamu agar

kamu jangan berlaku demikian (jangan menyembah selain Allah). cara

pengumkapan seperti ini banyak dipakai oleh orang-orang arab, yang dalam

pengertiannya mengandung makna perintah dan larangan. Sama halnya apabila

ada yang mengatakan kepada teman anda, datanglah kepada si anu dan

katakanlah hal tersebut kepadanya”. Uslub (gaya bahasa) semacam ini

mengandung makna yang tegas dan keras. Jadi, seolah-olah dipastikan bahwa

mukhatab (lawan bicara) benar-benar meninggalkan larangan tersebut dan

dengan segera ia menyampaikan berita tersebut kepada alamat yang dituju,

kesimpulannya: jangan kalian menyembah kepada selain Allah, atau kalian

jangan menyekutukan Allah.


64

Mereka (Bani Isrāīl) dilarang melakukan penyembahan kepada selain

Allah, sedangkan pada hakikatnya mereka menyembah Allah. Yang demikian

ini sebagai peringatan bagi mereka agar tidak melakukan penyelewengan

dengan jalan menyekutukan Allah dengan selain-Nya seperti malaikat,

manusia dan berhala, dengan cara berdo’a atau lainnya yang termasuk jenis

peribadatan.

Agama Allah yang disampaiakan oleh para Rasul-Nya, pada

hakikatnya mempunyai kesimpulan yang sama yaitu menganjurkan agar

meyembah kepada Allah dan dilarang menyekutukannya.

Allah berfirman :

Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan-Nya. [Q.S. an-Nisa (4) :


36]
Jadi pilar utama agama tauhid adalah dua hal yang berjalan seiringan

yaitu, menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.

Berlaku baiklah terhadap mereka berdua, dengan cara mengasihi

mereka berdua serta memelihara mereka dengan baik dan benar, dan menuruti

segala kemauan mereka berdua selagi tidak bertentangan dengan perintah-

perintah Allah. Dalam kitab taurat disebutkan bahwa barang siapa yang

mencaci maki kedua orang tuanya maka hukumannya adalah dibunuh.


65

Hikmah yang terkandung dalam hal berbuat baik terhadap kedua orang

tau adalah karena mereka berdua telah mencurahkan jerih payahnya demi sang

anak. Pada masa kecilnya ia dipelihara oleh mereka dengan penuh kasih

sayang, dididik dan dipenuhi segala kebutuhannya. Sebab pada masa-masa itu

ia tidak berdaya sama sekali untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi

dirinya atau menolak bahaya yang menimpa dirinya. Oleh karena itu sudah

sepantasnyalah apabila mereka berdua mendapat imbalan yang sepadan

dengan jerih payahnya. Allah Swt berfirman:

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula. [Q.S. ar-Rahman (55) :
60]
Sebab utama cinta orang tua terhadap anaknya:

1) Kasih sayang secara fitri yang telah diciptakan oleh Allah pada hati

mereka berdua. Dalam hal ini terkandung hikmah yang besar yaitu

menunjang kelestarian manusia sampai batas waktu yang dikehendaki

oleh Allah.

2) Rasa bangga terhadap anak, sebagaiman yang telah diungkapkan oleh

seorang penyair kenamaan yang bernama Ibnu Rumy:

“sudah berapa banyak nama seseorang melonjak ketinggkat yang luhur


karena prestasi anaknya, sebagaimana nama adnan (nenek moyang
Rasulullah) pun menjadi termasyhur oleh karena Rasulullah.”

3) Pertolongan atau santunan yang bisa diharapkan dari sang anak terhadap

mereka berdua.
66

Cinta orang tua terhadap anak mereka adalah hal yang tidak

membutuhkan lagi sesuatu untuk mengukuhkannya atau memperkuat cinta

tersebut. Oleh karena itu al-Qur’an, tidak menyinggung hal ini, sebab masing-

masing dapat merasakanya sendiri.

Berbuat baik terhadap sanak famili/keluarga akan mempererat tali

persaudaraan dengan mereka. Salah seorang penyair mengatakan:

“Berbuat baiklah terhadap orang banyak, maka anda akan dicintai oleh
mereka. Sebab kebaikan itu dapat menguasai hati seseorang.”
Suatu umat atau bangsa pada hakikatnya merupakan kumpulan dari

berbagai rumah-rumah dan keluarga. Jadi kebaikan suatu bangsa bertumpu

pada kebaikan rumah tangga-rumah tangga tersebut. Sebaliknya rusaknya

suatu bangsa adalah akibat rusaknya rumah tangga-rumah tangga tersebut.

Orang yang tidak mempunyai rumah tangga berarti sama saja dengan orang

yang tidak berbangsa. Dan barang siapa memutuskan hubungan kekeluargaaa.

Maka bagaiman ia dapat merasakan apa yang layaknya dirasakan oleh suatu

bangsa. Dengan demikian keterlibatan seseorang dengan bangsanya memang

tidak bisa dipisahkan, baik itu yang menyangkut kebahagiaan maupun

penderitaan suatu bnagsa. Demikian pula apa yang mendatangkan manfaat

bagi bangsa ataupun yang membahayakan bangsa berarti membawa manfaat

bagi dirinya atau membahayakan bagi dirinya pula.


67

Secara fitri (naluri) ikatan kekeluargaan itu adalah suatu ikatan yang

paling kuat. Dan agama pun menjunjung ikatan ini dengan memerintahkan

kepada manusia agar mempererat tali silaturahmi dengan cara mendahulukan

hak sesuai dengan jauh dekatnya pertalian kekeluargaan.

Cara berbuat baik kepada anak yatim adalah memperbaiki

pendidikannya dan menjaga hak miliknya agar jangan sampai tersia-siakan.

Dalam hal ini al-Qur’an dan hadis Nabi menganjurkan wasiat untuk berbuat

baik kepada anak-anak yatim. Salah satu hadis Nabi saw yang menyangkut

perihal anak yatim adalah:

“saya dan orang yang menanggung anak yatim berada disurga seperti ini
(sambil mengisyaratkan dengan telunjuk dan ibu jari tengah beliau).”

Perintah untuk berbuat baik kepada anak yatim adala pada umumnya

anak yatim itu tidak mempunyai orang yang mengasihinya terutama dalam hal

pendidikan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya serta memelihara harta

bendanya. Sedangkan ia masih mempunyai ibu, akan tetapi ia tidak mampuu

untuk mendidik dan mencukupi kebutuhannya dengan baik.

Perlu diketahui bahwa anak yatim adalah bagian dari umat dan bangsa

ini, apabila mereka tidak mendapatkan pendidikan ahkhlak yang baik, maka
68

bangsa juga akan mendapatkan akhlak yang tidak baik. Karena perbuatan

merekalah yang menjamin baik buruknya umat dan bangsa ini.

Cara berbuat baik dengan kaum fakir miskin adalah memberikan

shadaqah kepada mereka, khususnya ketika mereka dalam keadaan yang sulit.

Imam muslim meriwayatkan dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah, bahwa

Rasulullah saw pernah bersabda:

“Orang yang bekerja agar bisa memberi sebagian nafkah kepada janda, dan
orang miskin, sebagaimana orang yang berjihad di jalan Allah, atau seperti
orang yang tahajud di malam hari, puasa di siang hari.“ (HR. Bukhari 5353
dan Muslim 2982).

Pada ayat diatas menyebutkan, bahwa anak yatim lebih didahulukan

daripada ank miskin, karena anak miskin masih bisa mencari kebutuhan

hidupnya, sedangkan anak yatim tidak bisa melakukan yang sama dengan

anak miskin.

Pada ayat di atas memerintahkan mereka agar berbuat baik kepada

orang-orang tertentu yaitu kepada kedua orag tua, kaum kerabat, anak-anak

yatim dan orang-oang miskin. Sebab mustahil seseorang bisa berbuat baik

kepada semua orang. Oleh karena itu secara umum Allah memerinthakan
69

kepada mereka agar bergaul dengan baik dan melaksanakan amar ma’ruf nahi

mungkar kepada orang-orang yang tidak termasuk dalam golongan yang

disebutkan oleh ayat di atas, dengan perlakukan yang baik dan bisa

mendatangkan manfaat bagi kehidupan agama dan dunia.

Dengan melaksankan semua kewajiban yang telah diperintahkan

berarti mereka telah melakukan perbaikan terhadap kondisi kehidupan

masyarakat, dan telah berupaya untuk meningkatkan kemajuan dan

kesejahteraan masyarakat.

Setelah Allah memerintahkan kepada mereka secara global agar

beribadah hanya kepada-Nya, lalu Allah merincikan perintah-perintah-Nya

yang lain yang tidak bisa mereka laksankan sendiri kecuali melalui petunjuk

ilahi berupa wahyu samawi. Allah berfirman :

Fungsi shalat adalah memperbaki jiwa seseorang dan

membersihkannya dari noda-noda dosa serta menghiasi jiwa dengan berbagai

keutamaan. Ruh atau inti shalat adalah ikhlas kepada Allah, khusu’ dalam

melaksanakannya serta dengan penuh rasa takut terhadap keagungan dan

kekuasaan-Nya. Apabila dalam melaksanakan shalat seseorang telah

kehilangan hal-hal tersebut maka shalatnya hanya merupakan gambaran

lahiriah belaka yang tidak ada gunanya sama sekali. Mereka (kaum Bani
70

Isrāīl) membiasakan diri dengan jenis ibadah yang hanya tampak secara

lahiriah saja, tidak hanya pada saat turunnya ayat saja, tetapi sampai

sekarangpun mereka masih tetap dalam keadaan demikian.

Masalah zakat, sesungguhnya ia dapat memperbaiki kehidupan sosial

masyarakat. Mereka (kaum Bani Isrāī) telah dibebani kewajiaban membayar

zakat yang beraneka ragam. Di antaranya, ada yang dibayarkan khusus untuk

keturunan Nabi Harus yang sampai sekarang dikenal dengan nama ‘Al-

Laawiyyin (diambil dari nama salah seorang cucu Nabi Harun). Mereka

dibebani zakat untuk kaum miskin. Zakat tersebut ada yang diambil dari buah-

buahan atau hasil bumi, dan ada juga kewajiban yang dikenal dikalangan

mereka dengan nama sibt yang artinya membiarkan hasil bumi selama satu

tahun tidak dipetik, setiap tujuh tahun sekali, kemudian setelah satu tahun

dipetik hasilnya dan disedekahkan untuk orang banyak.

Kemudian ternyata mereka berpaling dan mengingkari janji tersebut

serta mereka tidak mau mengamalkannya. Bahkan janji tersebut kalian anggap

remeh sama sekali.

Dalam kaliamt ( ) mengandung nada yang sangat tegas

dalam pengungkapan berpalingnya mereka. Kadangkala manusia suka

berpaling dari sesuatu, tetapi dalam hatinya masih terbetik keinginan untuk
71

kembali kepadanya dan berniat untuk melakukan kewajiban tersebut. Tetapi

karena mereka berlebihan dalam berpaling sehingga tidak bisa diharapkan lagi

untuk bisa kembali.

Salah satu di antara sikap berpaling mereka dari kebenaran ajaran

agama Islam ialah, meraka menjadikan para rahib dan pendeta sebagai tuhan-

tuhan yang mensyariatkan hukum-hukum untuk mereka. Para rahib dan

pendeta tersebut dengan seenaknya menghalalkan dan mengharamkan sesuatu

serta seenaknya pula memperbolehkan dan melarang. Selain itu merek juga

menambah-nambahi upacara-upacara ritual (keagamaan) seolah-olah mereka

sederajad dengan Allah. Mereka mensyariatkan untuk kaum mereka hal-hal

yang tidak diizinkan oleh Allah. Dan termasuk sikap berpaling mereka dari

ajaran agama ialah sikap kikir mereka yang sudah merasuki jiwanya sehingga

tidak mau membelanjakan harta mereka untuk kewajiaban-kewajiaban agama,

seperti memberi shadaqah kepada kaum kerabat dan menunaikan zakat

kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dengan seenak sendiri

mereka meninggalkan dan tidak menghiraukan larangan-larangan agama. Dan

sikap mereka lainnya bersikap mengejek dan meremehkan masalah agama.

Fiman Allah Swt,

Ada di antara mereka hidup pada zaman yang sama dengan Nabi Musa

as, telah menunaikan kewajiabn-kewajiban ini sesuai dengan ajaran Nabi

Musa as. Adapula sebagian diantara mereka yang hidup pada zaman
72

Rasulullah saw, atau sesudah beliau wafat, dan mereka telah masuk agama

Islam, mereka telah menunaikan kewajiaban-kewajiaban tersebut. Di antara

mereka adalah ‘Abdullah Ibnu Salam dan orang-orang Yahudi lainnya yang

berhati ikhlas serta bertekad memelihara kebenaran dengan sekuat tenaga

mereka. Faidah disebutkannya sebagian kecil diantara mereka yang

melakukan kewajiban ini adalah untuk menegaskan bahwa mereka yang

beramal kewajiban, sedikitpun pahalanya tidak dikurangi oleh Allah. Dan

mereka adalah merupakan contoh baik yang patut ditiru. Selain itu disebutkan

mereka merupakan isyarat bahwa adanya golongan yang sedikit yang beramal

shaleh dalam tubuh suatu umat tidak menjadi penghalang bagi turunnya

siksaan Allah kepada mereka apabila kerusakan telah merajalela dan

mnguasai seluruh umat.

Sudah menjadi kebiasaan dari sunnatullah bahwa kejayaan suatu

umat, sehingga umat tadi berpengaruh dan disegani oleh lainnya adalah

disebabkan sikap dari sebagian besar umat atau kaum tersebut yang telah

membudayakan akhlak luhur dikalangan mereka. Dan mereka telah terbiasa

melakukan amal saleh yang bisa membawa mereka kepada kejayaan dan

kemuliaan.

Dengan demikian tidak perlu merasa heran apabila melihat dan

merasakan bahwa kaum muslimin pada masa-masa sekarang ini sering


73

tertimpa musibah dan bencana, dengan mengkaji ayat-ayat yang telah lalu

maka bisa disimpulkan bahwa penyebab utama timbulnya musibah dan

bencana dikalangan kaum Muslimin karena ulah mereka sendiri yang telah

melupakan ajaran-ajaran agama baik secara sadar atau tidak, dan mereka sama

sekali tidak mengambil contoh serta pelajaran dari kejadian-kejadian yang

menimpa umat-umat terdahulu.

C. Analisis Perbandingan

Persamaan Penafsiran Surat Al-Baqarah Ayat 83 Antara Ibnu Katsir dan

Al-Maraghi:

Secara umum kedua kitab tafsir ini mempunyai beberapa persamaan.

Pertama: mereka sama-sama menafsirkkan ayat demi ayat, walaupun tafsir Ibnu

Katsir muncul pada zaman yang berbeda dengan zaman munculnya tafsir al-

Maraghi, yaitu tafsir Ibnu Katsir muncul pada periode tafsir klasik sementara tafsir

al-Maraghi masuk dalam kategori tafsir modern. Namun dari sisi awal

penafsirannya memiliki persamaan yaitu diawali dengan penafsiran ayat demi

ayat, walaupun dalam tafsir al-Maraghi terdapat makna ijmali tetapi sebelum

makna ijmali itu, beliau juga melakukan penafsiran dengan ayat demi ayat seperti

Ibnu Katsir.

Kedua: mereka sama-sama menggunakan metode tahlili, kedua tafsir ini

juga sama-sama memegang erat bil-ma’sur yaitu sama-sama menafsirkan ayat


74

dengan ayat lain, hadis, qoul sahabat. Sehingga ayat atau hadis yang dikemukakan

al-Maraghi terkadang juga telah dijadikan sebagai tafsiran oleh Ibnu Katsir.

Selanjutnya persamaan-persamaan penafsiran keduanya tentang surat al-

Baqarah ayat 83: Ketika Allah mengambil janji dari kaum Bani Israil bahwa janji

yang pertama adalah mereka dilarang menyekutukan Allah denagn sesuatu apapun

yang menyebabkan mereka masuk dalam kategori syirik. Dalam menafsirkan ayat

ini keduanya sangat tegas dan mengandung penekanan, artinya janji Allah yang

berupa perintah janganlah menyembah kecuali hanya kepada Allah semata,

maksunya orang yang diajak bicara itu harus benar-benar meninggalkan larangan

tersebut karena konsekwensinya sangat berat, dan mereka bisa dikatakan mereka

sudah melampui batas sehingga hukumannya Allah tidak akan mengampuni dosa

syirik selama-lamanya.

Selain itu keduanya dalam menafsirkan ayat mereka

menafsirkan dengan ayat yang lain yang kalimatnya berbeda tetapi maknanya

sama. Misalnya Ibnu Katsir menggunakan ayat “ La ilaha illa ana fa’budu” atau

“ani’budullaha wajtanibut thagut”. Kemudian al-Maraghi menggunakan

menggunakan ayat “Wa’budullah walā tusyruku bihi syaia”.

Sisi perbedaan dari penafsiran tentang surat al-Baqarah ayat 83 menurut

Ibnu Katsir dan al-Maraghi antara lain:


75

Pertama: walaupun keduanya sama-sama menggunakan metode tahlīlī

tetapi ada sisi perbedaan yang menonjol dari kedua mufasir tersebut. Ibnu Katsir

menggunakan metode tahlīlī dengan bentuk bil ma’sūr murni. Sehingga hampir-

hampir tidak terdapat penafsiran beliau sendiri dalam menafsirkan ayat. Beliau

menafsirkan ayat dengan ayat lain yang relevan, hadis serta qoul sahabat dan tabiin

yang setema dengan ayat tersebut. Beliau juga menjelaskan tentang hadis atau aṡar

mana yang dapat dijadikan hujjah dan mana yang tidak dapat dijadikan hujjah.

Sedangkan al-Maraghi menggunakan metode tahlīlī denagan bentuk bil ma’sūr

bercampur dengan bi al ro’yi. Jadi disamping beliau menafsirkan ayat dengan ayat,

hadis atau qoul sahabat dan tabiin beliau juga menyertakan pendapat beliau sendiri

yang disesuaikan denagan kondisi zamannya. Disini al-Maraghi lebih leluasa

dalam menafsirkan ayat. Sehingga ayat, hadis dan qoul sahabat dan tabiin yang

beliau kemukakan tidak lebih banyak dari Ibnu Katsir. Al-Maraghi juga tidak

memberikan penilaian terhadap hadis dan aṡar mana yang dapat dijadikan hujjah

dan mana yang tidak dapat dijadikan hujjah, seperti halnya Ibnu Katsir.

Kedua: dari sistematika penulisan kedua kitab tafsir tersebut mempunyai

perbedaan, penjelasan tentang sistematika penulisan keduanya telah dijelaskan

pada bab II sebelumnya. Ibnu Katsir dalam menerapkan sistematika tidak

konsisten, kadang-kadang beliau mendahulukan mengemukakan ayat-ayat yang

setema, kemudian mengungkapkan hadis-hadis marfu’ kemudian disusul dengan

qoul sahabat dan tabiin, atau beliau dahulukan hadis-hadis lalu dengan ayat-ayat

yang satu tema. Jadi tidak selamanya Ibnu katsir ayat yang setema pada urutan
76

yang pertama, justru kadang-kadang sebaliknya yaitu beliau ungkapkan

dibelakang sendiri. Sedangkan al-Maraghi dalam penerapan sistematika

penafsiran beliau tetap konsisten, dari mulai awal kitabnya sampai akhir kitabnya

sistematika penafsiran beliau tidak berubah. Yaitu mulai dengan makna mufradat,

makna ijmalī, dan al-iḍoḥ.

Ketiga: corak tafsir keduanya, tafsir Ibnu Katsir termasuk dalam tafsir

klasik, karena beliau lahir dan mulai menulis kitab tafsirnya pada zaman para

pemula kitab tafsir yaitu zaman Ibnu Jarīr at-Tabarī dan Ibnu Taimiyyah, corak

yang beliau gunakan bersifat umum, tidak mengacu terhadap corak tertentu.

Sedangkan tafsir al-Maraghi termasuk dalam tafsir modern karena beliau lahir dan

mulai mengarang kitab tafsirnya pada zaman munculnya tafsir-tafsir modern dan

zaman pembaharuan, yaitu zamannya Abduh dan corak yang beliau gunakan

adalah adabī Ijtima’ī.

Keempat dalam menafsirkan qur’an surat al-Baqarah ayat 83 penafsiran al-

Maraghi lebih panjang dari Ibnu Katsir karena selain menggunakan bil ma’sur juga

menggunakan bil ro’yi. Dalam menafsirkan kaliamat “la ta’budu ilallah” al-

Maraghi menjelaskan bahwa ini merupakaan pilar utama dalam agama Islam,

manakala pilar utama ini tidak ada dalam diri seseorang, maka dia keluar dari

keIslamannya. Sedangkan Ibnu Katsir menjelaskan kaliamat “la ta’budu ilallah”

beliau menafsirkan bahwa perintah menyembah kepada Allah itu merupakan

risalah yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya. Jadi perintah menyembah kepada

Allah tidak khusus bagi kaum Bani Israil, bahkan perintah menyembah kepada
77

Allah itu dibawa oleh Nabi Muhammad saw yaitu Nabi terakhir, dan sampai

sekarang banyak manusia yang mengenal Tuhan yang sebenarnya yaitu Allah Swt

karena perjuangan para Nabi dan Rasul yang telah berjuang menyampaikan risalah

kepada umatnya.

D. Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Terkandung dalam surat al-Baqarah ayat

83

Kajian terhadap nilai-nilai pendidikan Islam dalam al-Qur’an menjadi

sesuatu yang sangat penting, karena selain memberikan pencerahan akal pikiran

manusia, juga pencerahan qolbu yang sesungguhnya menjadi kebutuhan manusia

dalam membangun generasi yang berkualitas, karena al-Qur’an selain berfungsi

sebagi petunjuk (hudan, juga sebagai penerangan jalan (bayinnat).

1. Nilai Tauhid (aqidah)

Tauhid merupakan satu-satunya doktrin Islam yang sangat urgent dan

tidak bisa tawar-menawara dalam persoalan ini. Islam hanya mengenal satu

illah yaitu Allah ‘Azza Wajalla sebagai penguasa langit dan bumi dan tidak

ada pemahaman lain tentang aqidah Islamiyah. Karena mempercayai selain-

Nya adalah digolongkan kedalam syirik. Jika seseorang sudah tergolong ke

dalam kategori syirik maka tidak ada tempat lagi dalam lingkungan Islam.

Allah berfirman artinya: sesungguh nya Allah tidak akan mengampuni dosa

syikrik, dan Dia mengampunai segala dosa yang selain dari syirik itu, bagi
78

siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah,

maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (Q.S. an-Nisa : 48).13

Begitulah buruknya akibat kesyirikan yang menimpa seseorang

manusia sehingga siapa saja yang terus mempersekutukan Allah, maka

kepadanya diberikan suatu kepastian yaitu neraka jahanam sebagai tempat

kembali dan kekal di dalamnya selama-lamanya. Inilah yang meyebabkan

pentingnya nilai aqidah yang dapat menyelamatkan dari segala azab dunia dan

azab akhirat. Karena Allah Maha pengampun dan Pemaaf, namun yang satu

ini tidak ada maaf terhadap orang-orang mencari illah selain-Nya.14

Pandangan Ibnu Katsir dan al-Maraghi tentang ayat 83 surat al-Baqarah,

keduanya hampir sama penafsirannya bahwa perintah kepada kaum Bani Israil

untuk menyembah kepada Allah begitu ditekankankan sekali, yaitu mereka

diperintah menyembah kepada Allah Swt dan jangan sekali-kali

mnyekutukannya dengan sesuatu apapun. perintah tauhid atau menyembah

kepada Allah Swt adalah perintah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul

termasuk Nabi Musa yang diperintah kepada kaum Bani Israil.

Secara sederhana tauhid dapat dibagi dalam tiga tingkatan atau tahapan

yaitu:

a. Tauhid Rububiyah

13
Muhammad AR. Pendidikan Agama: Sebuah Kewajiabn Rumah tangga Pada Peringkat Awal.
Jurnal Ilmiah Didaktika Februari 2012. Vol. XII No. 2, 272-288. hlm. 275
14
Ibiid., hlm. 275
79

Tauhid rububiyah yaitu mengesakan Allah dalam segala perbuatannya,

baik mencipta, memberi rizki seluruh ciptaan-Nya, menghidupkan dan

mematikan. Allah adalah Raja, Penguasa dan rabb yang mengatur segala

sesuatu.15 Firman Allah :

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-


orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. [Q.S. al-Baarah (2) : 21]

Hai manusia, ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu. Adakah pencipta


selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan
bumi ? Tidak ada Tuhan selain Dia. maka mengapakah kamu berpaling
(dari ketauhidan. [Q.S. al-Fathir (35) : 3]

Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian
Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak
ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan
melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan
umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya,
melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya
yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. [Q.S. al-Fathir (35) : 11]

15
Sri Dewi Purnamawati. 2014. Studi Kristis Konsep Ketauhidan Aliran Kristen Tauhid. Tesis,
Universitas Muhammadiyah Surakarta. hlm. 4
80

b. Tauhid Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah artinya mengesakana Allah Swt melalui segala

perbuatan para hamba berdasarkan niat untuk bisa mendekatkan diri

kepada Allah dengan cara yang disyari’atkan oleh-Nya. Diantaranya adalah

melalui do’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta) dzabh

(penyebelihan), nadzar, isti’anah (minta pertolongan), istighatsah (minta

pertolongan disaat sulit), isti’aadah (minta perlindungan, dan segala apa

yang diperintahkan Allah. Tauhid uluhiyah juga bisa dissebut tauhid

ibadah.16 Firman Allah Swt:

Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram


dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram. [Q.S. ar-Ra’du (13) : 28]

c. Tauhid Asma’ wa Sifat

Tauhid Asm wa Sifat adalah beriman kepada nama-nama Allah dan

sifat-sifat-Nya, sebagiman diterangkan dalam al-Qur’an dan sunnah rasul-

Nya menurut apa yang pantas bagi Allah, tanpa ta’wil dan ta’thil

(menghilangkan makna atau sifat Allah), tanpa takyif (mempersoalkan

hakikat asma’ dan sifat Allah dengan bertanya “bagaimana”) dan tamtsil

(meyerupakan Allah dengan makhluknya).17

16
Ibiid., hlm. 4
17
Ibiid., hlm. 4
81

Sehubungan dengan asma’ was-shifat ini ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan secara lebih khusus18:

1. Larangan memberikan nama-nama Allah selain yang ada di dalam al-

Qur’an dan sunnah. Allah Swt berfirman:

Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka bermohonlah kepada-Nya


dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang
yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya
. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.[Q.S. al-‘Araf (7) : 180

2. Larangan menyamakan sifat-sifat dan perbuatan Allah dengan

makhluknya. Firman Allah:

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang
Maha Mendengar dan Melihat. [Q.S. Asy-Syura (42) : 11]

Jika terjadi persamaan nama dan sifat antara Allah Swt dan

makhluk-Nya, misalnya Allah Maha Mendengar, manusia juga

mendengar, Allah berbicara dengan Musa, manusia juga berbicara dan

lain sebagainya, maka persamaan tersebut hanyalah persamaan nama

(ismam), bukan persamaan hakiki (musamma). Nama dan sifat untuk

18
Yunahar Ilyas. 1992. Kuliah Aqidah Islam. Cet. I. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
(LPPI). hlm. 51
82

Allah Swt sesuai dengan Zat dan Kemahaan-Nya, nama dan sifat untuk

manusia atau makhluk lain sesuai kemakhlukannya.

3. Mengimani asma’ was-shifat Allah Swt harus apa adanya tanpa

menanyakan atau mempertanyakan “bagaimana” (kaifiyat) misalnya

Allah menyatakan:

Kita harus mengimani bahwa Allah Swt bersemayam di atas

‘Arasy, tanpa mempertanyakan bagaimana caranya Allah

bersemanyam, berapa lusnya ‘Arasy itu, mana yang lebih besar, Allah

atau ‘Arasy, dimanakah ‘Arasy itu, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya

yang mungkin diajukan. Selain tidak akan bisa dijawab karena itu

masalah ghaib, juga tidak ada gunanya, bahkan hanya akan

menghabiskan waktu saja.

2. Nilai akhlak/Perintah Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua

Setelah kepercayaan kepada Tuhan berkaitan dengan hubungan

manusia dengan Tuhan. Dalam hal ini nilai yang berhubungan erat antara

manusia dengan manusia adalah kedua orang tua terutamanya ibu.

Menghormati ibu-bapak berada dikedudukan yang kedua setelah kepercayaan

kepada Allah, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23,

yang bermaksud: “Dan Tuhanmu telah memerinthkan supaya kamu jangan


83

menyembah selain dari pada-Nya, dan kepada kedua ibu-bapak hendaklah

kamu berbuat baik.”19

Oleh karena itu, meghormati kedua orang tua bukanlah satu perkara

yang kecil dalam Islam. Saat ini menghormati kedua orang tau menjadi kian

pudar di kalangan masyarakat, disebabkan karena kesibukan diri dari perkara

duniawi. Sebenarnya menghormati orang tua adalah asas yang sangat penting

dalam mebentuk masyarakata yang harmoni. Tanpa kasih sayang antara anak

dengan orang tua dan rasa penghormatan terhadap mereka, maka tidak akan

terwujud keluarga yang harmoni, yang akhirnya lahirlah masyarakat yang

mementingkan diri sendiri.20

Penekanan terhadap nilai penghormatan terhadap kedua orang tua jelas

digambarkan oleh firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 83,

yang bermaksud; “Dan kami memerintahkan berbuat baik kepada ibu-bapak.”

Ayat ini sudah jelas memerintah kepada kita agar berbuat baik kepada ibu-

bapak, lebih-lebih terhadap ibu. Nasihat ini menggambarkan susah payah

seorang ibu dalam usaha membesarkan anak-anak mereka, bermula dari dalam

kandungna hingga sampai mereka dewasa bisa bertindak sendiri.21

19
Arifin Mamat dan Adnan Abd Rasyid. Aplikasi Nilai-Nilai Murni Berlandaskan Tema Lukamn al-
Hakim di dalam al-Qur’an Sebagai Asas Pendidikan. Jurnal Pendidikan Sains dan Sosial dan
Kemanusiaan. 6(2) November 2013. hlm. 136
20
Ibiid., hlm. 136
21
Ibiid., hlm. 136-137
84

Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 83 tentang

perintah berbuat baik kepada kedua orang tua, itu ditafsirkan dengan hadis

Nabi saw. Yang maksudnya, bahwa orang yang pertama kali yang harus

didahulukan bebuat baik adalah kepada kedua orang tua. Kemudian diperkuat

lagi dengan hadis yang lain, bahwa perbutan yang paling dicintai oleh Allah

Swt adalah berbuat baik kepada kedua orang tua.

Al-Maraghi menafsirkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua,

itu dengan cara mengasihinya dan memelihara mereka dengan baik dan benar

serta menuruti segala apa yang diperintahkan olehnya selama hal itu tidak

bertentangan dengan syariat Islam. Perjuangan orang tua begitu besar sekali

demi sang anak. Pada masa kecilnya ia dipelihara oleh mereka dengan penuh

kasih sayang dan dipenuhi segala kebutuhannya.

Kemudian kalimat berikutnya

Dan diperintahkan agar berbuat baik kepada kaum kerabat, anak-anak yatim,

dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.

3. Nilai Perintah Mendirikan Shalat

Allah Swt mengambil janji dari kaum Bani Israil agar mereka

mendirikan shalat, karena shalat merupakan asas dalam agama. Firman Allah

Swt dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 83: “Dan (ingatlah), ketika Kami

mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain
85

Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak

yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada

manusia, dirikanlah shalat.”22

Shalat ialah pokok syari’at Islam yang penting, oleh karena itulah

shalat menjadi rukun Islam yang utama sesudah mengucap dua kalimat

syahadah.23 Sabda Rasulullah saw yang bermaksud: “Shalat itu adalah tiang

agama. Siapa yang mendirikannya, maka ia telah mendirikan agama. Dan

siapa yang meninggalkanya, maka ia telah merobohkan agama.”)

Shalat merupakan merupakan ketaatan seorang hamba kepada Tuhan.

Shalat juga merupakan suatu penghubung antara hamba dengan Allah Swt,

manakala seseorang hamba menunaikan shalat disitulah seorang hamba bebas

memohon ampun dari semua dosa yang telah dilakukannya, juga bebas

memohon semua apa yang diinginkannya.

Tepatlah bila shalat merupakan tanggungjawab yang penting bagi

setiap Muslim. Sekiranya seorang Muslim mempunyai tanggungjawab

terhadap Allah Swt, maka sudah pasti tanggung jawabnya terhadap sesama

manusia tidak akan terabaikan.

Perjanjian Allah kepada kaum Bani Israil memerintahkan kepada

mereka untuk mengerjakan shalat agar supaya mereka terhindar dari perbuatan

buruk dan keji, karena shalat merupakan sarana penyucian diri sama halnya

22
Ibiid., hlm. 138
23
Ibiid., hlm. 138
86

dengan jasmani. Shalat dapat memelihara seseorang supaya berada dijalur

yang benar, dan memelihara diri supaya tidak terjerumus kepada perbuatan

dosa. firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat al-Ankabut ayat 45, yang

bermaksud: “dan dirikanlah shalat, karena shalat itu mencegah perbuatan keji

dan mungkar.” Dalam mengamalkan perintah Allah berupa shalat harus

disertai dengan istiqomah. Manakala istiqomah sudah tertanam dalam diri

individu maka dapat memperkokoh iman seseorang, karena bacaan dalam

shalat akan mengagungkan Allah, Ini bermakna bahwa disiplin diri, komitmen

yang tinggi melalui shalat, maka akan menjadi benteng yang kuat dalam

menghadapi segala cobaan yang dihadapinya.24

4. Nilai Perintah Menunaikan Zakat

Ajaran Islam menjadikan zakat sebagai ibadah yang mempunyai aspek

sosial sebagai landasan membangun suatu sistem yang mewujudkan

kesejahteraan dunia dan akhirat. Dengan mengintegrasikan dalam ibadah

berarti memberikan peranan penting pada keyakinan keimanan yang

mengendalikan orang mukmin dalam hidupnya.25

Zakat merupakan salah satu kerangka dasar dari bangunan Islam, yang

bekedudukan sebagai ibadah yang ditampilkan sebagai kembaran ibadah

shalat. Dalam hal ini fungsi utamanya adalah mendekatkan diri kepda Allah

24
Ibiid., hlm. 138
25
Abuzar. Hubungan Antara Tingkat Pemahaman dan Sikap masyarakat Kota Jambi Terhadap
Kewajiban Zakat dengan Kesadaran untuk Berzakat ke Bazda. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan.
Vol. 21 No. 2, Des 2016. hlm. 120
87

untuk menumbuhkan jiwa pengambidan dan sikap loyalitas serta disiplin moral

kehidupan sebagai suatu totalitas kehidupan beragama bagi seorang Muslim.

Di dalamnya terdapat fungsi ganda, yaitu menyangkut aspek kemanusiaan dan

kebersamaan dalam kehidupan masyarakat, yang menyangkut dirinya dan

harta miliknya sebagai seorang Muslim.26

Di antara faedah zakat adalah sebagai berikut:27

1. Menumbuhkan rasa kasih sayang antara yang kaya dan yang miskin,

karena telah menjadi tabiat manusia, ketika seseorang memperlakukan

orang lain dengan baik maka ia pun akan mendapatkan hal yang sama dari

orang lain.

2. Membersihkan jiwa serta menjauhkannya dari sikap rakus dan tamak,

sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur’anul yang artinya “ Ambilah

zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.”

(Q.S. at-Taubah :103)

3. Membiasakan diri untuk selalu memberi terhadap orang lain khususnya

orang yang sangat membutuhkan.

4. Mendatangkan berkah bagi harta seseorang, dan Allah akan membalas

harta yang dikeluarkan dalam rangka mencari ridha Allah . Sebagaimana

26
Ibiid., hlm. 121
27
Abdul Aziz bin Baz. 2009. Zakat. Diterjemahkan oleh Ummu Abdillah al-Buthoniyah. Buku ini adalah
onine e-Book dari Maktabah Raudhah al-Mubbin yang diterjemahkan dari on-line e-bok versi Bahasa
Inggris dari situs www.islam house.com. hlm. 2-3
88

firman Allah yang artinya, “Dan apa saja yang kamu infakan, Allah akan

mengganti nya dan Dialah pemberi rezeki terbaik.. (Q.S. as-Saba : 39)

Anda mungkin juga menyukai