Anda di halaman 1dari 235

KONSEP LǏ (理) DALAM PEMIKIRAN ZHŪ XĪ

Sebuah Kajian Historis dan Semantik

Vekky Mongkareng

Jakarta 2018
KONSEP LǏ (理) DALAM PEMIKIRAN ZHŪ XĪ
Sebuah Kajian Historis dan Semantik

Penulis/Hak Cipta @Vekky Mongkareng


Editor: Reni Anggraeni
Desain Sampul & Layout: Lin Changqi

ISBN: 978-602-6747-67-9
xxviii + 204 hlm.; 14,8x21 cm

Penerbit:
Cinta Buku Media

Redaksi:
Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No. 8
Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan
Hotline CBMedia 0858 1413 1928
e_mail: cintabuku_media@yahoo.com

Cetakan: Ke-1 Mei 2018

All rights reserverd


Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh Cahaya Digital Printing, Ciputat


Isi di luar tanggung-jawab percetakan

ii
KONSEP LǏ (理) DALAM PEMIKIRAN ZHŪ XĪ
Sebuah Kajian Historis dan Semantik

Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Agama (M.Ag.)

Oleh:
Vekky Mongkareng
NIM: 2112 0321 0000 3

PROGRAM STUDI MAGISTER PERBANDINGAN AGAMA


KONSENTRASI AGAMA KHONGHUCU
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018-M / 1439-H / 2569-K

iii
iv
v
vi
ABSTRAK

Vekky Mongkareng
Konsep Lǐ (理) dalam Pemikiran Zhū Xī,
Sebuah Kajian Historis dan Semantik.

Lǐ (理), konsep utama Neo-Konfusianisme telah luas dikaji


sebelumnya oleh banyak pemikir Neo-Konfusian. Inilah konsep
pemikiran yang memengaruhi begitu dalam agama dan filsafat Neo-
Konfusianisme di Tiongkok. Pengaruhnya bahkan meluas ke
Vietnam, Korea dan Jepang. Namun akibat kondisi-kondisi tertentu
di Indonesia, Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)
masih amat minim berkesempatan melakukan riset-riset yang
serius terhadap konsep pemikiran Neo-Konfusianisme ini.
Oleh karena konsep Lǐ (理) juga telah demikian lama dikaji
oleh berbagai filsuf-agamawan Tiongkok, maka dengan
menggunakan pendekatan historis tesis ini akan menggali dan
mengemukakan secara singkat evolusi konsep Lǐ sebelum tiba di
tangan Zhū Xī (朱熹). Akan dilacak bagaimana posisinya dalam
kitab-kitab klasik Konfusianisme maupun di tangan lima filsuf-
agamawan Dinasti Sòng Utara. Aksara 理 (Lǐ) sebagai nomina juga
memiliki banyak variasi saat diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris/Indonesia, maka tesis ini juga perlu dikaitan dengan
pendekatan semantik/makna. Kemudian, tesis ini akan membahas
bagaimana pemahaman Zhū Xī tentang hubungan Lǐ (理) dengan
dua istilah penting lainnya: Tàijí (太極) dan Qì (氣), khususnya
dalam kaitan dengan bidang kosmogoni Neo-Konfusianisme.
Akhirnya dalam tesis ini akan pula dinilai bagaimana sifat
transendensi dan imanensi Lǐ (理).
Zhū Xī (朱熹, 1130 M--M 1200 M) adalah eksponen
terpenting dalan gerakan Neo-Konfusiansme, khususnya dalam
sayap rasional gerakan ini. Peran beliau tidak terbatas pada
keberhasilannya memadukan konsep-konsep filsafat dan agama
seperti Tiān (天), xìng (性) dan rén (仁) Konfusius dan Mencius
dengan konsep-konsep penting para filsuf Neo-Konfusian zaman
Dinasti Sòng Utara (yakni: konsep Tàijí 太極 Zhōu Dūnyí, konsep Qì

vii
氣 Zhāng Zài, dan konsep Lǐ 理 Chéng Hào 程顥 dan Chéng Yí 程頤)
menjadi satu sistem filsafat dan agama yang solid. Zhū Xī juga
berhasil membawa kajian Lǐ menjadi pemikiran utama Neo-
Konfusianisme.
Bagi Zhū Xī, Tàijí (太極) Zhōu adalah identik dengan Lǐ (理).
Lǐ (理) adalah asal-mula alam semesta. Ringkasan segenap ciptaan
dan alam semesta ini tidak lain daripada Lǐ (理). Jika terdapat
sesuatu maka terdapatlah Lǐ (理). Hanya ada satu Lǐ (理), namun
sekaligus juga Lǐ (理) itu banyak. Perbedaan utamanya adalah pada
Qì (氣). Qì (氣) sifatnya konkrit/fisikal dan menjadi bentuk/fisik
manusia/benda, Lǐ (理) menjadi sifat dan hukum segala sesuatu.
Meski Lǐ (理) dan Qì (氣) dua entitas yang berbeda namun mereka
tidak mungkin dan tidak dapat dianggap terpisah. Keduanya eksis
menyatu dalam segala sesuatu. Zhū Xī berpendapat bahwa dalam
perkataan yang logis Lǐ (理) mendahului Qì (氣), namun bukan
dalam pengertian tempo/waktu.
Penelusuran yang penulis lakukan akhirnya menemukan
pula bahwa makna dan arti Lǐ bagi Zhū Xī tetap terkait dengan
konsep Tiān (天) atau Shàngdì (上帝) sebagai Yang Mutlak di
zaman klasik tiga dinasti Tiongkok: Xià, Shāng dan Zhōu (夏, 商, 周)
yang dipahami sebagai sesuatu yang personel (atau semi-personel),
sebagai kreator yang antropomorfik. Jadi nuansa teistis itu tetap
eksis dalam konsep Lǐ Zhū Xī. Dapat dilihat Lǐ-Qì Zhū Xī juga
merupakan konsep yang memiliki aspek transendensi sekaligus
imanensi, walau bagian imanensi adalah aspek yang lebih dominan.
Kemudian, jika kita lihat pula kehidupan spiritual Zhū Xī
menyangkut peribadahan beliau kepada Konfusius, kegiatan
doa/persembahyangan bersama, sampai pada riset dan penulisan
hasil riset beliau dalam buku ‘Ritual/Persembahyangan Keluarga
Jiālǐ 家禮’, maka penulis menilai bahwa pada dasarnya beliau bukan
saja seorang filsuf utama Neo-Konfusianisme sebagaimana biasa
beliau dinilai, namun beliau juga seorang agamawan Neo-
Konfusianisme.
Kata Kunci: Zhū Xī (朱熹), Lǐ (理), Lǐxué (理學), Dàoxué (道 學),
Tàijí (太極), Qì (氣), Neo-Konfusianisme, Kosmogoni, Imanensi,
Transendensi.

viii
ABSTRACT

Vekky Mongkareng
Zhū Xī’s Concept of Lǐ (理),
An Historical and Semantical Study.

The primary concept of Neo-Confucianism, Lǐ (理), has been


extensively studied by many Neo-Confucian thinkers. It is a concept
which has deeply influenced the religion and philosophy of Neo-
Confucianism in China. Its influence even extends to Vietnam, Korea
and Japan. However, due to certain conditions in Indonesia, Matakin
(The Supreme Council of Confucian Religion in Indonesia) has yet to
produce some serious research on the concept of Lǐ.
Being that the concept of Lǐ has also been studied over such
a long period of time by various Chinese philosophers, this thesis
will employ an historical approach in seeking to briefly outline the
evolution of Lǐ (理) before it arrived at the hands of Zhū Xī (朱熹).
Lǐ’s development from it’s position in Confucianism Classics until its
arrival in the hands of the five Northern Sōng Dynasty philosophers
will be traced. As a noun, Lǐ (理) itself has many variations when
translated into English/Indonesian, hence need to incorporate a
semantic approach in this thesis. Thereafter, this thesis will discuss
Zhū Xī’s understanding of the relationship between Lǐ (理) and two
other important terms: Tàijí (太極) and Qì (氣), especially in
connection with the Neo-Confucian cosmogony. At last this thesis
will also explore the imanence and transcendence aspects of Lǐ (理).
Zhū Xī (朱熹, 1130 M--M 1200 M) was the most important
exponent of the Neo-Confucian movement, especially on the
rationalist wing of this movement. His role was not limited to his
success in combining the philosophical and religious concepts of
Tiān (天), Xìng (性) dan Rén (仁) of Confucius and Mencius with the
important concepts of five Neo-Confucian philosophers of the
Northern Sōng Dynasty (ie: Dūnyí’s concepts of Tàijí 太極, Zhāng
Z{i’s concept of Qì 氣, and Chéng Hào 程顥 and Chéng Yí’s 程頤
concept of Lǐ 理) into a solid system of philosophy and religion. He

ix
also succeeded in bringing the study of Lǐ (理) into mainstream of
Neo-Confucianism thought.
For Zhū Xī, Zhōu’s Tàijí (太極) is identical to Lǐ (理). Lǐ (理) is
the origin or foundation of the universe. The sum of all creation and
the universe is none other than Lǐ (理). If there are things/events, so
there is Lǐ (理). Lǐ (理) is one, but Lǐ (理) is also many. The main
differentiating factors rely on Qì (氣). Qì (氣)’s nature is concrete
and becomes the physical form of man and things/events, while Lǐ
(理) is the nature and law of everything. Although Lǐ (理) and Qì
(氣) are two different entities, it is unthinkable to consider them
separately. Both of them exist together in all things/events. Zhū
Xī states that logically speaking Lǐ (理) precedes Qì (氣), but not in
the temporal sense.
My studies also found that for Zhū Xī, the meaning and
importance of Lǐ (理) remained related to the classical conception of
the Absolute, ie. the personal (or semi-personal) and
anthropomorphic-creator Tiān (天) or Shàngdì (上帝) of the three
Chinese ancient dynasties: Xi{, Shāng and Zhōu (夏, 商, 周). So, the
theistic nuance is still felt in the Zhū Xī’s concept of Lǐ (理). We can
see that Zhū Xī’s Lǐ (理) and Qì (氣), were also concepts with some
aspects of transcendence and immanence, although immanence
predominated.
In addition, if we look on Zhū Xī’s spiritual life, concerning
his worship to Confucius, various prayer activities, and his research
and writing the book of 'Family Ritual/Worship Jiālǐ 家禮', I may
make a claim that Zhū Xī was not merely a major Neo-Confucianism
philosopher, as judged generally, but he was also a Neo-Confucian
cleric.

Keywords: Zhū Xī (朱熹), Lǐ (理), Lǐxué (理學), Dàoxué (道 學), Tàijí


(太極), Qì (氣), Neo-Confucianism, Cosmogony, Immanence,
Transcendence.

x
KATA PENGANTAR

Segenap syukur, sujud serta terima kasih penulis panjatkan ke


hadirat Huángtiān Shàngdì, Tuhan Yang Maha Besar di Tempat Yang
Maha Tinggi, atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis telah
dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Konsep Lǐ (理)
dalam Pemikiran Zhū Xī, Sebuah Kajian Historis dan Semantik
ini.
Tesis ini ditulis sebagai salah satu persyaratan akhir penulis
menyelesaikan studi pada Program Magister Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Isi tesis
membahas tentang konsep Lǐ (理), suatu konsep penting sekaligus
utama dalam pemikiran Neo-Konfusianisme, khususnya pemikiran
eksponen utamanya: Zhū Xī (朱熹).
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta; serta mantan rektor di masa
awal kuliah penulis: Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag., Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta; Bapak Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok M.Si., Wakil Dekan
Bidang Akademik; Bapak Dr. Bustamin, SE. MM., Wakil Dekan
Bidang Administrasi Umum; dan Bapak Dr. M. Suryadinata,
M.Ag., Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan; serta mantan
dekan Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F., MA.
3. Ibu Dr. Atiyatul Ulya M.Ag., ketua Program Magister Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta; Bapak Maulana M.Ag., sekertaris Program Magister;
serta mantan Ka-Prodi Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.
4. Bapak Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer dan Bapak Xs. Dr. Drs.

xi
Oesman Arif, M.Pd., selaku pembimbing tesis (sekaligus dosen
pengajar), atas segenap kebaikan, dedikasi dan arahan kedua
beliau.
5. Para bapak dan ibu panitia penguji tesis ini: ketua, sekretaris
dan anggota panitia (nama para beliau tersebar dalam daftar
ini).
6. Segenap dosen-dosen pengajar perkuliahan Program Magister
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta (termasuk dari Matakin) yang pernah
memberi bimbingan dan ilmu kepada penulis selama masa
perkuliahan (dan belum tersebutkan di atas), antara lain: Prof.
Dr. M. Ridwan Lubis, MA., Prof. Dr. Amsal Baktiar, MA., Dr. M.
Amin Nurdin, MA., Dr. Syamsuri M.Ag. (Alm.), Dr. Media Zainul
Bahri, MA., Dr. Fariz Pari, MA., Dr. Edwin Syarif, M.Ag., Dr. Agus
Salim, M.Si., Dr. Drs. Ws. Chandra Setiawan, MM. Ph.D., dan Dr.
Ir. Drs. Adji Djojo, MM.
7. Segenap staf administrasi tata usaha termasuk pengurus
perpustakaan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Pusat Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta.
8. Pimpinan + anggota Dewan Rohaniwan (DEROH) Matakin dan
para Rohaniwan lain: Xs. Djaengrana Ongawidjaja, Ws. Budi
Santoso Tanuwibowo, Xs. Buanadjaja Bingsidartanto, Xs. Masari
Saputra, Xs. Jam Setiawan Bunjamin, Xs. Indarto Tan dan Ws.
Setianda Tirtarasa.
9. Pimpinan Dewan Pengurus (DP) dan tokoh Matakin antara lain:
Dq. Drs. Uung Sendana L. Linggaraja, SH. M.Ag., Dq. Bratayana
Ongkowijaya, SE., XDS., Dq. Peter Lesmana, Js. Sugeng S. Imam,
dan Js. Sunarta Hidayat, Ws. Dr. Ongky S. Kuncono, SH., SE., Ws.
Mulyadi, Sp.D. Ing., M.Ag., Dq. Haris Chandra, MBA., dan Dq. Drs.
Budi Wijaja, SE.

xii
10. Ws. Ir. Wawan Wiratma dan Ibu Dra. Emma Nurmawati Hadian,
MM., atas segenap pengabdian kedua beliau bagi umat
Khonghucu Indonesia, sejauh yang penulis ketahui.
11. Istri (Ratna H.), kedua ananda (Andi H.M., dan Wienli K.M.)
serta semua anggota keluarga besar penulis (Ci Nie, Ko Ben, Ci
Guat, Ko Teng, Ci Tien, Ko Hoae, Ko Tjhiong, dan keluarga), serta
keluarga istri penulis (Ci Soat Nio, Ko Goan Sien, Ko Goan Leng,
Ko Goan Lie, dan keluarga) atas dukungan moril-materil,
terutama doa restu dan perhatian yang senantiasa disampaikan
untuk penulis.
12. Rekan-rekan kuliah seangkatan (Kang Toto Tohari, Ci Dewi
Riawati, dkk.); para senior dan rekan seiman di litang Makin
Jakarta Barat (Js. Nurjadi, Dq. Fuini, Dq. Min Khiong dkk.), di
Makin Jakarta Pusat (Encim Zl. Tan Tjoen Nio, Tante Zl. Yanti
Yauw, Js. Wiryo P.S., Js. Liliany L., Ci Swie Lan, Ci Lwan Ien, Ci
Giok Lien, Dq. Subagio, Js. Suwandi dkk.), dan di Makin Jakarta
Timur (Dq. Wandi S., Dq. Tjoe Giok, Dq. Afung dkk.); demikian
juga kepada Dq. Rini A., Dq. Yelly L., dan Dq. Heri Y., atas
dorongan semangatnya selama ini kepada penulis.
13. Bapak Ricky Harianto dan ibu Meli, Bapak Rony Tangkilisan,
Bapak Piet Hakim, mas Alfons B.K. dan nyonya serta mas
Suhartono dengan kebaikan-kebaikannya kepada penulis. Tak
lupa juga Brother Max Nilsson Ladner sahabat penulis asal
Inggris yang telah membantu memperbaiki abstrak tesis ini.
Rasa terima kasih penulis kepada para beliau di atas penulis
antarkan pula dalam harap dan doa semoga para beliau selalu
menerima karunia berkah, kesehatan dan kebahagiaan dari
Huangtian, Tuhan YME.
Penulis pun teringat dan berterima kasih atas bimbingan dan
budi tak terbalas ketiga almarhum: mama, papa dan ieie penulis,
serta bimbingan/keteladanan ketiga almarhum rohaniwan dan

xiii
guru: Xs. Tjhie Tjay Ing, Xs. Tjandra R. Muljadi dan Ws. H.
Ongkowijaya, MBA., disertai doa semoga arwah para almarhun yang
terkasih boleh senantiasa damai di haribaan kebajikan Huángtiān
Shàngdì Yang Maha Abadi nan Gemilang.
Akhirnya, isi tesis ini tetap masih perlu dikoreksi dan
dilengkapi, meski segenap saran dan masukan panitia penguji serta
dosen pembimbing tesis sudah diusahakan dipenuhi. Saran
pembaca sekalian tentunya penulis terima pula dengan terbuka dan
rasa terima kasih.

Jakarta, 30 April 2018

Penulis

xiv
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL TESIS ...................................................................................... iii

LEMBARAN PERNYATAAN (-KEASLIAN TESIS) .................................. iv

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... v

PENGESAHAN PANITIA UJIAN (-SIDANG MUNAQASYAH) ............ vi

ABSTRAK .............................................................................................................. vii

KATA PENGANTAR ...........................................................................................xi

DAFTAR ISI .......................................................................................................... xv

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xix

PEDOMAN MELAFAL TRANSLITERASI HÀNYŬ PĪNYĪN .................xx

BAB I. PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang ..........................................................................................1
I.B. Fokus Penelitian dan Pernyataan Masalah … ............................... 12
I.C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 14
I.D. Zhū Xī (朱熹) dan Konsep Lĭ (理) Secara Umum ................... 15
I.E. Metodologi Penelitian .......................................................................... 18
1. Jenis, Ciri, Objek dan Sumber Data Penelitian ................... 18
2. Pendekatan Historis dan Semantik ........................................ 22
3. Pelaporan dan Format Pelaporan Penelitian ...................... 24
I.F. Sistematika Penulisan Tesis ............................................................... 25

xv
BAB II. PERKEMBANGAN MAKNA KONSEP LǏ (理)
II.A. Aksara理 (Lǐ), Perubahan Makna dan Penerjemahannya ...... 29
II.B. Aksara 理 (Lǐ) di Luar Kitab-kitab Klasik Konfusianisme ........ 34
II.C. Aksara 理 (Lǐ) dalam Kitab-kitab Klasik Konfusianisme …....... 38
1. Aksara 理 (Lǐ) dalam Kitab Sanjak (Shījīng 詩經) ................... 39
2. Aksara 理 (Lǐ) dalam Kitab Dokumentasi Sejarah
(Shūjīng 書經) .......................................................................................... 42
3. Konsep Lǐ (理) dalam Kitab Catatan Kesusilaan (Lĭjì 禮記) ... 42
4. Konsep Lǐ (理) dalam Kitab Perubahan (Yìjīng 易經) ......... 44
II.D. Konsep Lǐ (理) pada Kitab Mèngzĭ (孟子) dan Xúnzi (荀子) ... 47
1. Konsep Lǐ (理) dalam Kitab Mèngzĭ (孟子) ............................ 51
2. Konsep Lǐ (理) dalam Kitab Xúnzi (荀子) .... ............................ 52
II.E. Konsep Lǐ (理) di Tangan Neo Konfusian: Zhōu Dūnyí ......... 53
II.F. Konsep Lǐ (理) di Tangan Neo Konfusian: Shào Yōng ................ 59
II.G. Konsep Lǐ (理) di Tangan Neo Konfusian: Zhāng Zài ................ 62
II.H. Konsep Lǐ (理) di Tangan Neo-Konfusian: Chéng Hào dan
Chéng Yí ....................................................................................................... 65
1. Pandangan Chéng Hào .................................................................... 68
2. Pandangan Chéng Yí ........................................................................... 72

BAB III. ZHŪ XĪ DAN PEMIKIRANNYA TENTANG KONSEP LǏ (理)


III.A. Riwayat Hidup Zhū Xī .............................................................................. 75
III.B. Sumbangsih Zhū Xī Bagi Neo-Konfusianisme ............................ 88
III.C. Konsep Lǐ (理) Zhū Xī dalam Kosmogoni Neo-Konfusianisme 89
III.D. Hubungan Lǐ (理) dengan Qì (氣) Menurut Zhū Xī ..................... 96

xvi
III.E. Hubungan Lǐ (理) dengan Tàijí (太極) Menurut Zhū Xī ........... 99
III.F. Kehidupan Religius Zhū Xī ................................................................. 104
1. Cinta dan Ketergantungan Zhū Xī Kepada Nabi Kŏngzĭ… 107
2. Pelaksanaan Kegiatan Doa Bersama ..................................... 109
3. Ketaatan kepada Upacara/Ritus/Kesusilaan ...................... 110
III.G. Penganut, Kritikus, Para Tokoh yang Memengaruhi Zhū Xī. .... 113
1. Beberapa Kritikus Zhū Xī ............................................................ 114
2. Beberapa Tokoh Sepaham, Penganut Pemikiran Zhū Xī. .. 118
3. Tokoh-tokoh yang Memengaruhi Pemikiran Zhū Xī .......... 121
III.H. Pengaruh Zhū Xī di Korea dan Jepang ........................................... 123

BAB IV. TRANSENDENSI-IMANENSI LǏ (理) ZHŪ XĪ


IV.A. Arti Transendensi-Imanensi sesuai KBBI dan English
Dictionary .................................................................................................... 131
IV.B. Arti Transendensi-Imanensi Sesuai Kamus Filsafat ................ 133
IV.C. Transendensi-Imanensi dalam Konfusianisme Klasik ......... 135

IV.D. Transendensi-Imanensi Lǐ-Qì (理-氣) Zhū Xī ............................ 142


1. Dinilai Menurut Definisi Kamus ..................................................... 144
2. Menurut Fung Yu-lan ........................................................................... 147
3. Menurut Wing-tsit Chan .................................................................... 152
4. Menurut Du Yol Choi ........................................................................... 154
5. Menurut D.N. Blakeley ........................................................................ 155
IV.E. Transendensi-Imanensi Lǐ-Qì (理-氣) Zhū Xī dalam Pandangan
Pribadi Penulis Sebagai Umat Khonghucu Indonesia ........... 157

xvii
BAB V. PENUTUP
V.A. Kesimpulan .......................................................................................... 165
V.B. Saran ....................................................................................................... 171

DAFTAR PUSTAKA ………………………....................................................... 173


DAFTAR ISTILAH .......................................................................................... 181
BIODATA PENULIS ………………………………………………………….……204

.

xviii
DAFTAR GAMBAR

Gambar-1: Mèngzĭ (孟子) .................................................................... 51


Gambar-2: Xúnzĭ (荀子) ........................................................................ 52
Gambar-3: Zhōu Dūnyí (周敦頤) ........................................................... 54
Gambar-4: Shào Yōng (邵雍) ............................................................. 59
Gambar-5: Zhāng Zài (張載) .............................................................. 63
Gambar-6: Chéng Hào (程顥) ............................................................... 69
Gambar-7: Chéng Yí (程頤) ................................................................. 72
Gambar-8: Zhū Xī (朱熹) ........................................................................ 75

xix
PEDOMAN CARA MELAFAL TRANSLITERASI HÀNYŬ PĪNYĪN
(Sumber: Naskah Intern Kamus Istilah Keagamaan (KIK)
Khonghucu Matakin)

Istilah berbahasa Tionghoa Mandarin (Guānhu{ 官話, atau


Pǔtōnghu{ 普通話) yang ada dalam tesis/buku ini disajikan dalam
dua bentuk, pertama: terkadang dalam transliterasi+nada
bersamaan dengan aksara aslinya, kedua: terkadang hanya dalam
bentuk transliterasi+nadanya. Transliterasi yang dipakai adalah
transliterasi sistem internasional yang dikenal sebagai transliterasi
H{nyŭ Pīnyīn (漢語拼音).
Namun, saat kita membaca transliterasi H{nyŭ Pīnyīn itu, dalam
hal ini saat kita akan melafalkannya, caranya tidak seperti ketika
kita melafalkan alfabet secara bahasa Indonesia. Maksudnya
transliterasi itu mesti dibaca dengan cara atau lafal yang agak
berbeda dengan saat kita melafalkan alfabet dalam bahasa
Indonesia. Untuk itulah penulis sampaikan Pedoman Praktis Cara
Melafal Transliterasi H{nyŭ Pīnyīn.
Pertama akan disampaikan Tabel Transliterasi H{nyŭ Pīnyīn
Beserta Cara Melafal yang dilengkapi dengan kode-kode fonetiknya
(kode-kode berupa: garis di bawah vokal atau konsonan, serta titik
dua di atas vokal). Kode-kode fonetik yang penulis terapkan ini
adalah sarana bantuan untuk supaya pembaca dapat melafalkan
Transliterasi H{nyŭ Pīnyīn dengan suara yang dihasilkan mendekati
pengucapan yang sesuai aslinya. Setelah melihat tabel itu, pembaca
perlu melanjutkan dengan Penjelasan Tambahan Tentang Kode-
kode Fonetik yang Ada Dalam Tabel Cara Melafalkan Transliterasi
H{nyŭ Pīnyīn sebelumnya. Kemudian akhirnyadisampaikan juga
Penjelasan Tentang Kode-Kode Nada Yang Berlaku Dalam
Pengucapan Bahasa Tionghoa Mandarin.

Berikut ini disampaikan: Tabel transliterasi Hànyŭ Pīnyīn


Beserta Cara Melafalkan yang dilengkapi dengan bantuan
kode-kode fonetik:

xx
ai dibaca ai che dibaca che die dibaca tie
an dibaca an (sebagian: en) chen dibaca chen ding dibaca ting
ang dibaca ang cheng dibaca cheng diu dibaca tiou
ao dibaca ao chi dibaca chë dong dibaca tung
ba dibaca pa
chong dibaca chung dou dibaca tou
bai dibaca pai
chou di baca chou du dibaca tu
ban dibaca pan
chu dibaca chu duan dibaca tuan
bang dibaca pang
chua dibaca chua dui dibaca tuei
bao dibaca pao
chuai dibaca chuai dun dibaca tuen
bei dibaca bei
chuan dibaca chuan duo dibaca tuo
ben dibaca pen
chuang dibaca chuang e dibaca e (atau e)
beng dibaca peng
chui dibaca chuei en dibaca en
bi dibaca pi
chun dibaca chuen eng dibaca eng
bian dibaca pien
chuo dibaca chuo er dibaca er
biao dibaca piao
ci dibaca chë fa dibaca fa
bie dibaca pie
cong dibaca chung fan dibaca fan
bin dibaca pin cou dibaca chou fang dibaca fang
bing dibaca ping cu dibaca chu fei dibaca fei
bo dibaca po cuan dibaca chuan fen dibaca fen
bu dibaca pu cui dibaca chuei feng dibaca feng
ca dibaca cha cun dibaca chuen fo dibaca fo
cai dibaca chai cuo dibaca chuo fou dibaca fou
can dibaca chan
da dibaca ta fu dibaca fu
cang dibaca chang
dai dibaca tai ga dibaca ka
cao dibaca cao
dan dibaca tan gai dibaca kai
ce dibaca che
dang dibaca tang gan dibaca kan
cei dibaca chei
dao dibaca tao
cen dibaca chen gang dibaca kang
de dibaca te
ceng dibaca cheng gao dibaca kao
dei dibaca tei
cha dibaca cha ge dibaca ke
den dibaca ten
chai dibaca chai gei dibaca kei
deng dibaca teng
chan dibaca chan gen dibaca ken
di dibaca ti
chang dibaca chang geng dibaca keng
dian dibaca tien
chao dibaca chao gong dibaca kung
diao dibaca tiao

xxi
gou dibaca kou jie dibaca cie lei dibaca lei
gu dibaca ku jin dibaca cin leng dibaca leng
gua dibaca kua jing dibaca cing li dibaca li
guai dibaca kuai jiong dibaca ciung lia dibaca lia
guan dibaca kuan jiu dibaca jiou lian dibaca lien
guang dibaca kuang ju dibaca cü liang dibaca liang
gui dibaca kuei juan dibaca cüen liao dibaca liao
gun dibaca kuen jue dibaca cüe lie dibaca lie
guo dibaca kuo jun dibaca cün lin dibaca lin
ha dibaca ha ka dibaca kha ling dibaca ling
hai dibaca hai kai dibaca khai liu dibaca liou
han dibaca han kan dibaca khan long dibaca lung
hang dibaca hang kang dibaca khang lou dibaca lou
hao dibaca hao kao dibaca khao lu dibaca lu
he dibaca he ke dibaca khe lü dibaca lü
hei dibaca hei ken dibaca khen luan dibaca luan
hen dibaca hen keng dibaca kheng lüe dibaca lüe
heng dibaca heng kong dibaca khung lun dibaca luen
hong dibaca hung kou dibaca khou luo dibaca luo
hou dibaca hou ku dibaca khu ma dibaca ma
hu dibaca hu kua dibaca khua mai dibaca mai
hua dibaca hua kuai dibaca khuai man dibaca man
huai dibaca huai kuan dibaca khuan mang dibaca mang
huan dibaca huan kuang dibaca khuang mao dibaca mao
huang dibaca huang kui dibaca khuei me dibaca me
hui dibaca huei kun dibaca khuen mei dibaca mei
hun dibaca huen kuo dibaca khuo men dibaca men
huo dibaca huo la dibaca la meng dibaca meng
ji dibaca ci lai dibaca lai mi dibaca mi
jia dibaca cia lan dibaca lan mian dibaca mien
jian dibaca cien lang dibaca lang miao dibaca miao
jiang dibaca ciang lao dibaca lao mie dibaca mie
jiao dibaca ciao le dibaca le min dibaca min

xxii
ming dibaca ming pen dibaca phen ru dibaca ru
mo dibaca mo peng dibaca pheng rua dibaca rua
mou dibaca mou pi dibaca phi ruan dibaca ruan
mu dibaca mu pian dibaca phien rui dibaca ruei
na dibaca na piao dibaca phiao run dibaca ruen
nai dibaca nai pie dibaca phie ruo dibaca ruo
nan dibaca nan pin dibaca phin sa dibaca sa
nang dibaca nang ping dibaca phing sai dibaca sai
nao dibaca nao po dibaca pho san dibaca san
ne dibaca ne pu dibaca phu sang dibaca sang
nei dibaca nei qi dibaca chi sao dibaca sao
neng dibaca neng qia dibaca chia se dibaca se
ni dibaca ni qian dibaca chien sen dibaca sen
nian dibaca nien qiang dibaca chiang seng dibaca seng
niang dibaca niang qiao dibaca chiao sha dibaca sa
niao dibaca niao qie dibaca chie shai dibaca sai
nie dibaca nie qin dibaca chin shan dibaca san
nin dibaca nin qing dibaca ching shang dibaca sang
ning dibaca ning qiong dibaca chiung shao dibaca sao
niu dibaca niou qiu dibaca chiou she dibaca se
nong dibaca nung qu dibaca chü shei dibaca sei
nu dibaca nu quan dibaca chüen shen dibaca sen
nü dibaca nü que dibaca chüe sheng dibaca seng
nuan dibaca nuan qun dibaca chün shi dibaca së
nüe dibaca nüe ran dibaca ran shou dibaca sou
nuo dibaca nuo rang dibaca rang shu dibaca su
o dibaca o (atau u) rao dibaca rao shua dibaca sua
ou dibaca ou re dibaca re shuai dibaca suai
pa dibaca pha ren dibaca ren shuan dibaca suan
pai dibaca phai reng dibaca reng shuang dibaca suang
pan dibaca phan ri dibaca rë shui dibaca suei
pang dibaca phang rong dibaca rung shun dibaca suen
pao dibaca phao rou dibaca rou shuo dibaca suo
pei dibaca phei si dibaca së

xxiii
song dibaca sung weng dibaca weng zai dibaca cai
sou dibaca sou wo dibaca wo zan dibaca can
su dibaca su wu dibaca u (panjang) zang dibaca cang
suan dibaca suan xi dibaca si zao dibaca cao
sui dibaca suei xia dibaca sia ze dibaca ce
sun dibaca suen xian dibaca sien zei dibaca cei
suo dibaca suo xiang dibaca siang zen dibaca cen
ta dibaca tha xiao dibaca siao zeng dibaca ceng
tai dibaca thai xie dibaca sie zha dibaca ca
tan dibaca than xin dibaca sin zhai dibaca cai
tang dibaca thang xing dibaca sing zhan dibaca can
tao dibaca thao xiong dibaca siung zhang dibaca cang
te dibaca the xiu dibaca siou zhao dibaca cao
tei dibaca thei xu dibaca sü zhe dibaca ce
teng dibaca theng xuan dibaca süen zhei dibaca cei
ti dibaca thi xue dibaca süe zhen dibaca cen
tian dibaca thien xun dibaca sün zheng dibaca ceng
tiao dibaca thiao ya dibaca ya zhi dibaca cë
tie dibaca thie yan dibaca yen zhong dibaca cung
ting dibaca thing yang dibaca yang zhou dibaca cou
tong dibaca thung yao dibaca yao zhu dibaca cu
tou dibaca thou ye dibaca ye zhuan dibaca cuan
tu dibaca thu yi dibaca i (panjang) zhuang dibaca cuang
tuan dibaca thuan yin dibaca in zhui dibaca cuei
tui dibaca thuei ying dibaca ing zhun dibaca cuen
tun dibaca thuen yo dibaca yo zhuo dibaca cuo
tuo dibaca thuo yong dibaca yung zi dibaca cë
wa dibaca wa you dibaca you zong dibaca cung
wai dibaca wai yu dibaca yü zou dibaca cou
wan di baca wan yuan dibaca yüen zu dibaca cu
wang dibaca wang yue dibaca yüe zuan dibaca cuan
wei dibaca wei yun dibaca yün zui dibaca cuei
wen dibaca wen za dibaca ca zun dibaca cuen
zuo dibaca cuo

xxiv
Kemudian diberikan: Penjelasan Tambahan Tentang Kode-kode
Fonetik yang Terdapat Dalam Tabel Cara Melafalkan
Transliterasi Hànyŭ Pīnyīn di atas.
1. Khusus konsonan c, ch, s dan r (bergaris bawah, yang berasal
dari zh, ch, sh dan r pada Hànyŭ Pīnyīn) cara membunyikannya:
ujung lidah digulung (agak menempel) ke langit-langit keras.
Dengan catatan perlu diperhatikan  khusus konsonan r
dibunyikan tanpa lidah bergetar (jadi mirip suara j, dan mirip
suara z).
Untuk konsonan c, ch dan s (tanpa garis bawah, berasal dari z, c
dan s pada Hànyŭ Pīnyīn): dibunyikan hampir sama seperti c, ch
dan s dalam bahasa Indonesia, hanya saja ujung lidah agak
menempel ke pangkal gigi depan atas.
2. Khusus untuk ci, chi, si (berasal dari ji, qi dan xi pada Hànyŭ
Pīnyīn), vokal i dibunyikan dengan ujung-ujung mulut agak
dilebarkan ke samping.
3. Untuk cü, chü, sü, serta cün, chün, sün (u dengan dua titik di
atasnya, yang berasal dari ju, qu, xu serta jun, qun, xun pada
Hànyŭ Pīnyīn): di sini vokal ü dibaca i tapi dengan ujung mulut
dipipihkan/dimonyongkan. Cara mendapatkan suara ü ini:
mula-mula ucapkan i, lalu sambil tetap mengeluarkan bunyi i,
mulut dipipihkan seperti hendak mengucapkan u.
4. Cara tersebut di atas juga dipakai untuk membunyikan ü pada
lü, lüe dan nü serta nüe (yang berasal dari lü, lüe, nü serta nüe
pada Hànyŭ Pīnyīn).
5. Khusus untuk yü (yang berasal dari yu pada Hànyŭ Pīnyīn), ia
dibaca ü tapi dengan waktu yang agak panjang. (dengan
memperhatikan pula penjelasan pada point 4 di atas).
6. Cara mengucapkan vokal u (tunggal), yang berasal dari wu pada
Hànyŭ Pīnyīn: seperti u tapi dengan tempo yang agak panjang.
7. Cara mengucapkan vokal i (tunggal), yang berasal dari yi pada
Hànyŭ Pīnyīn: adalah seperti i tapi dengan tempo yang agak
panjang.
8. Vokal ë (e dengan 2 titik di atasnya) dibaca di antara bunyi e
(enam) dan i (ikan)  merupakan bunyi khas dalam Huáyŭ, dan
hanya jelas secara lisan, serta khusus hanya mengikuti vokal-
vokal c, ch, s , r dan c, ch, s saja), yakni cë, chë, së, rë, cë, chë, dan
së (berasal dari zhi, chi, shi, ri, zi, ci, dan si pada Hànyŭ Pīnyīn).

xxv
9. Vokal e (tanpa garis bawah) dibunyikan seperti bunyi e dalam
kata bahasa Indonesia: enam atau elang.
10. Vokal e (dengan garis bawah) dibunyikan mirip seperti bunyi e
dalam kata bahasa Indonesia ember atau enak. Bunyi e ini
biasanya terdapat pada tiga situasi, pertama: bunyi e yang
diawali atau diikuti vokal i (atau konsonan y), misal pada fei, lei,
lie, mei, mie, nei, nie, pei, kei, hei, wei, dan ye. Kedua: hasil
perubahan bunyi a yang diawali vokal i, dan diakhiri vokal n
(bukan ng) pada Hànyŭ Pīnyīn, misalnya, mien (dari mian),
thien (dari tian), lien (dari lian), phien (dari pian). Ketiga, hasil
perubahan bunyi an menjadi en pada suku-suku kata yang
didahului: y, yu, ji, qi, xi, ju, qu, xu pada Hànyŭ Pīnyīn, misalnya:
yen (dari yan), yüen (dari yuan), cien (dari jian), chien (dari
qian), sien (dari xian), cüen (dari juan), chüen (dari quan), süen
(dari xuan).
11. Adanya konsonan h di belakang konsonan-konsonan c, c, k, p, t
(yakni menjadi ch, ch, kh, ph & th): berarti saat
membunyikannya ada hembusan angin keluar dari mulut (suara
beraspirasi).
12. Vokal rangkap uei (yang berposisi di akhir suatu suku kata)
adalah untuk membaca penulisan vokal rangkap ui pada Hànyŭ
Pīnyīn, misalnya huei untuk membaca hui, kuei untuk gui, suei
untuk sui, suei untuk shui.
13. Vokal rangkap iou (yang berposisi di akhir suatu suku kata)
adalah untuk membaca penulisan iu pada Hànyŭ Pīnyīn,
misalnya chiou untuk qiu, ciou untuk jiu, siou untuk xiu, niou
untuk niu, liou untuk liu, tiou untuk diu.
14. Vokal rangkap uen (dengan bunyi e sesuai kata enam, dan yang
berposisi di akhir suatu suku kata) adalah untuk membaca
penulisan un pada Hànyŭ Pīnyīn yang berposisi sebagai akhir
suku kata, misalnya, huen untuk membaca hun, luen untuk
membaca lun, khuen untuk membaca kun, cuen untuk membaca
zun, suen untuk membaca sun. (pengecualian: tetapi untuk un
sebagai akhir suku kata pada Hànyŭ Pīnyīn yang diawali j, q, x
maka un di sini dibaca ün, sesuai poin 4).
15. Pada beberapa kasus, u adalah bunyi yang dipilih untuk
membaca vokal o pada Hànyŭ Pīnyīn khususnya untuk vokal o
yang diakhiri bunyi sengau ng. Misalnya, lung untuk membaca

xxvi
long, tung untuk membaca dong, xiung untuk membaca xiong,
dan chiung untuk membaca qiong.
16. Tambahan: vokal p adalah untuk membaca vokal b pada Hànyŭ
Pīnyīn, demikian pula berturut-turut: ph untuk p, t untuk d, th
untuk t, k untuk g, dan kh untuk k.
Bagi vokal / konsonan lain yang tidak ada penjelasan khusus 
dibaca sesuai dengan bunyi fonetik bahasa Indonesia.

Terakhir disampaikan: Penjelasan Tentang Kode-Kode


Nada Yang Berlaku Dalam Pengucapan Bahasa Tionghoa
Mandarin, atau lebih spesifik lagi yang berlaku dalam sistem
transliterasi H{nyŭ Pīnyīn:
Di samping kode-kode fonetik sebagaimana dibahas di bagian
di atas, faktor lain yang juga sangat penting dan eksis dalam
pelafalan sistem transliterasi H{nyŭ Pīnyīn adalah kode-kode nada
(shēngdi{o 聲調 atau tones), yaitu nada satu, dua, tiga, empat, dan
lima (nada netral atau tanpa nada) yang merupakan lima nada yang
selalu eksis dalam pelafalan standart bahasa Tionghoa Mandarin.
Kode- kode nada ini disimbolkan sebagai berikut:
–, /, ∨, \, dan tanpa tanda (dalam beberapa literatur disimbolkan
dengan tanda ‘titik’).
Lima kode nada ini (nada 1 s.d. nada 5) selalu eksis dalam sistem
transliterasi H{nyŭ Pīnyīn, dan dengan demikian tentu berlaku pula
pada Sistem Pelafalan Bantuan. Adapun penempatan kode-kode
nada ini adalah di atas vokal atau di atas vokal dominan (untuk
kasus adanya vokal rangkap). Contoh:
1. Bunyi tung yang bernada kesatu (berasal dari dōng pada
transliterasi H{nyŭ Pīnyīn), dalam Sistem Pelafalan Bantuan
ditulis tūng
2. Bunyi cie yang bernada kedua (berasal dari jié pada transliterasi
H{nyŭ Pīnyīn), dalam Sistem Pelafalan Bantuan ditulis cié,
dengan e adalah vokal dominannya,
3. Bunyi cu yang bernada ketiga (berasal dari zŭ pada transliterasi
H{nyŭ Pīnyīn), dalam Sistem Pelafalan Bantuan ditulis cŭ,
4. Bunyi siao yang bernada keempat (berasal dari xiào pada
transliterasi H{nyŭ Pīnyīn), dalam Sistem Pelafalan Bantuan
ditulis siào, dengan a adalah vokal dominannya.

xxvii
5. Bunyi te yang tanpa nada (bernada netral) (berasal dari de pada
transliterasi H{nyŭ Pīnyīn), ditulis te saja.
Kode-kode nada di atas merupakan tanda untuk membedakan
tinggi-rendahnya suatu silabel transliterasi atau sebut saja suatu
aksara bahasa Tionghoa Mandarin dilafalkan. Sesungguhnya kode-
kode ini turut serta dalam membantu membedakan makna.
Perlu diperhatikan bahwa nada-nada ini sebenarnya hanya bisa
dipraktekkan secara lisan, tapi untuk maksud praktis dapat
dijelaskan pula dengan pendekatan ilustrasi angka not musik
(solmisasi) sederhana yang relatif sebagai berikut:
Nada 1: tinggi rata, 5-5
Nada 2: nada menengah lalu naik tinggi, 3-5
Nada 3: nada agak rendah lalu turun dan naik agak tinggi, 2-1-4
(catatan: pada kasus tertentu eksis apa yang dinamakan ‘setengah
nada 3’: 2-1-2)
Nada 4: nada menukik, dari tinggi ke rendah 5-1
Nada 5 (nada netral): adalah dengan suara ringan, seperti tanpa
nada.

xxviii
BAB I
PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang
Salah satu aliran pemikiran lokal awal yang paling dominan
dalam sejarah pemikiran Tiongkok adalah Rújiā (儒家)1 yang lebih
umum dikenal sebagai Konfusianisme. Aliran ini mengalami masa
kekejayaan formal pada zaman Dinasti Hàn (漢朝, 206 SM--220 M)
yang ditandai dengan dinaikkannya status Konfusianisme menjadi
doktrin resmi Dinasti Hàn (漢朝)2 oleh Kaisar Hàn Wŭdì (漢武帝,
156 SM--87 SM). Beberapa ahli menyebut Konfusianisme telah
menjadi keyakinan ortodoks Dinasti Hàn (漢朝)3, bahkan dalam
pertengahan kekuasaan Dinasti Hàn (漢朝), dikarenakan
penghormatan kepada Konfusius (孔子, 551 SM--479 SM) telah

1 Aksara 儒 (rú) bermakna “lembut atau lunak 柔也”, juga bermakna “sebutan

bagi para kaum terpelajar (sarjana 術士之稱); ia menunjuk pada sekelompok


orang di zaman kuno yang mempunyai keahlian khusus atau singkatnya para
intelektual lihat Kamus Shuōwén Zìdiǎn (說文字典) versi Elektronik; Shuōwén
Zìdiǎn Gōngzuò Shìnèi (說文字典工作室內) Ver 3+; Profesor Yao memerlihatkan
bahwa dalam perjalanan historisnya beberapa makna 儒umumnya menunjuk pada
para ahli ritual, upacara keagamaan atau liturgi yang mumpuni dalam bidang
sejarah, puisi, musik, matematika dan panahan  lihat Xinzhong Yao, An
Introduction to Confucianism (New York: Cambridge University Press, 2000), h. 20--
21; Aksara 家 (jiā ) berarti sebuah struktur rumah atau keluarga, yang lalu
diperluas untuk merujuk pada sekelompok orang yang mengabdikan dirinya pada
cita-cita yang sama dan membentuk hubungan di antara mereka seperti keluarga
besar. Rújiā berarti aliran pemikiran atau tradisi literati/cendekiawan yang telah
berkomitmen pada tradisi Rú, sebagai aliran pemikiran atau studi/sekolah. Rújiā
berusaha untuk membuat jalan/cara raja bijak kuno berlaku lagi di dunia masa kini
melalui visinya pada harmoni, aturan kepatutan, nilai ritual, upacara keagamaan,
liturgi, serta kebajikan dan metode pemerintahan yang berdasarkan kemanusiaan.
 Yao, An Introduction to Confucianism, h. 27; Rújiā disebut juga Rúxué (儒學).
2 Lihat misal Wing-tsit Chan, A Source Book in Chinese Philosophy (Princeton:

Princeton University Press, 1963), h. 271.


3 Lihat misal Yu-lan Fung, A Short History of Chinese Philosophy, Vol. 2 (New

York: Collier-Macmilan Publisher, 1948), h. 191.

1
semakin meningkat, status Konfusianisme bahkan telah menjadi
agama Dinasti Hàn (漢朝)4. Persembahyangan kepada
Konfusiuspun, di samping kepada Tiān (天), menjadi suatu kegiatan
ibadah yang dilakukan oleh negara5.
Namun dalam suatu periode tertentu yakni zaman Dinasti
Wèi-Jìn (魏-晉朝, 220 M--420M) dan Dinasti-dinasti Nán-Běi (南北
朝, 386 M--581 M) Konfusianisme mulai mengalami kemunduran
supremasinya6. Kebanyakan para pemikir atau filsuf Konfusianisme
saat itu hanya memusatkan perhatian mereka pada bidang karya-
karya kesusastraan dan kajian-kajian naskah saja7.
Sementara itu aliran pemikiran Daoisme, salah satu
pemikiran lokal Tiongkok lainnya, marak berkembang dengan
ditandai lahirnya para filsuf Daoisme dengan berbagai pemikiran
filosofinya. Pada masa itu Daoisme yang berkembang juga
menyerap unsur-unsur pemikiran Konfusianisme, pemikiran
Daoisme di saat itu disebut sebagai Xuánxué (玄學, Mysterious
Learning)8. Demikian pula sekitar abad pertama Masehi, di
Tiongkok telah masuk pemikiran Buddhisme dari Negeri India9.
Lalu sekitar abad ke-6 pemikiran Buddhisme ini telah memiliki
bentuknya yang solid khas Tiongkok, terlepas dari Daoisme dan
Konfusianisme bahkan berbeda dengan Buddhisme India10. Dua
sekte Buddhisme yang marak saat itu terutama adalah Huáyán (華

4 Fung, A Short History, h. 48.


5 Yao, An Introduction to Confucianism, h. 83.
6 Yao, An Introduction to Confucianism, h. 96.
7 Wing-tsit Chan, The Evolution of the Neo-Confucian Concept Li as Principle

in the Tsing Hua Journal of Chinese Studies n.s 4/2 (Beijing: Univ. Tsing Hua,
1964), h. 136.
8 Yao, An Introduction to Confucianism, h. 89--90.
9 Lihat misalnya Karyn L. Lai, An Introduction to Chinese Philosophy,

eBook-ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), h. 235. Atau lihat


pula Chan, A Source Book in Chinese Philosophy, h. 336.
10 Lai, An Introduction to Chinese Philosophy, h. 235.

2
嚴) dan Chán (禪)11.
Dalam sejarah tercatat bahwa paham pemikiran
Konfusianisme kemudian mengalami kebangkitan kembali dimulai
sekitar era Dinasti Suí (隋朝, 581 M--618 M) dan Dinasti Táng (唐朝,
618 M--906 M)12, lalu mencapai puncaknya pada zaman Dinasti
Sòng (宋朝, 960 M--1279 M) dalam bentuknya yang lebih dinamis
dan lebih komprehensif karena telah menyerap beberapa metode
dan elemen aliran pemikiran lain. Tapi, walaupun Konfusianisme
model baru itu telah menyerap beberapa elemen aliran pemikiran
lain, namun ia tetap berkembang berdasarkan pada ajaran Nabi
Kŏngzĭ13, dan tentu pada kitab klasik Konfusianisme. Bentuk
Konfusianisme yang baru itu oleh kalangan internal Tionghoa
disebut sebagai Dàoxuéjiā (道學家, bermakna: studi atau sekolah
mengenai Dào) atau Lǐxuéjiā (理學 家, bermakna studi atau sekolah
mengenai Lǐ)14, tapi di dunia Barat bentuk pemikiran baru itu lebih
dikenal dengan sebutan Neo-Konfusianisme15.
Neo-Konfusianisme adalah suatu paham pemikiran filosofi-
religius yang lahir pada awal abad ke-sebelas di area Dinasti Sòng
Utara (北宋朝, 960 M--1126 M). Dalam pengertian yang paling
umum dan ideal dapat dikatakan bahwa paham pemikiran ini
merupakan suatu bentuk pencarian manusia dalam usahanya untuk
memahami tatanan alam semesta, serta bagaimana posisi manusia
di alam semesta itu16. Umum dikenali dalam sejarah pemikiran
Tiongkok bahwa Neo-Konfusianisme adalah gerakan dan suatu
respon para pemikir atau filsuf Konfusianisme yang lahir untuk

11 Chan, The Evolution, h. 136.


12 Yao, An Introduction to Confucianism, h. 96.
13 Yao, An Introduction to Confucianism, h. 96.
14 Lee Dian Rainey, Confucius and Confucianism 1-st ed. (Chichester: John Wiley

& Sons, Ltd., Publication, 2010), h. 159.


15 Rainey, Confucius and Confucianism, h. 159.
16 Ronnie L. Littlejohn, Confucianism, An Introduction (London: I.B.Tauris & Co

Ltd, 2011), h. 115.

3
menjawab tantangan sekaligus maraknya perkembangan
Buddhisme dan juga Daoisme17.
Paham pemikiran ini secara formal mendominasi negeri
Tiongkok dalam periode yang sangat panjang, sejak beberapa tahun
sepeninggal tokoh utamanya, Zhū Xī (朱熹, 1130 M--M 1200 M).
Pengaruh dalam skop nasionalnya terutama sejak diberlakukannya
sistem ujian kerajaan berdasarkan karya-karya beliau di tahun
1313 hingga akhir kekaisaran Qīng (清朝) di tahun 1907 M. Paham
ini tidak saja berpengaruh dalam negeri namun meluas sampai ke
luar wilayah Tiongkok. Negara luar yang paling banyak menerima
pengaruh Neo-Konfusianisme adalah Korea, kemudian Jepang, dan
berikutnya Vietnam18.
Sementara itu, memahami Neo-Konfusianisme tidak
terlepas dari memahami pemikiran para tokoh pemikir
penggagasnya. Beberapa filsuf-agamawan yang eksis sejak
kemunculan benihnya, pembentukannya, puncak pematangan
sampai pada kelahiran kedua sayap (rasionalis dan idealis) paham
pemikiran itu antara lain19:
1. Hán Yù (韓愈, 768M--824 M) dan Lǐ Áo (李翱, 772 M--844 M)
dari pertengahan Dinasti Táng (唐朝, 618M--906 M);
2. Zhōu Dūnyí (周敦頤, 1017 M--1073 M), Shào Yōng (邵雍, 1011
M--1077 M), Zhāng Zài (張載, 1020 M--1077 M), Chéng Hào (程
顥, 1032 M--1085M), Chéng Yí (程頤, 1033 M--1107M) dari
Dinasti Sòng Utara (北宋朝, 960 M--1126 M);
3. Zhū Xī (朱熹, 1130 M--1200 M) & Lù Jiǔyuān; (陸九淵, 1139 M--
1193 M) dari Dinasti Sòng Selatan (南宋朝, 1127 M--1279 M);

17 John M. Koller, Filsafat Asia, cet-1. Penerjemah Donatus Sermada

(Maumere-Flores: Ledaredo, 2010), h. 605.


18 Rainey, Confucius and Confucianism, h. 155--158.
19 Lihat misalnya uraian dalam Haiming Wen, Chinese Philosophy: Chinese

Political Philosophy, Metaphysics, Epistemology and Comparative Philosophy,


1st-edition (Beijing: China Intercontinenal Press, 2010), h. 100--122.

4
4. Wáng Yángmíng (王陽明, 1472 M--1528 M) dan Huáng Zōngxī
(黃宗羲, 1610 M--1695 M) dari Dinasti Míng (明朝, 1368 M--
1644 M) sampai awal Dinasti Qīng (清朝, 1644 M--1911 M).
Setiap para filsuf-agamawan itu turut memberikan andil dalam
pembentukan, konsolidasi, pemberian arah, dan tentu saja warna
kepada paham pemikiran Neo Konfusianisme.
Zhū Xī (朱熹) adalah tokoh sentral dan terpenting dari
aliran pemikiran Neo-Konfusianisme yang hidup di era Dinasti Sòng
Selatan (南宋朝), bahkan dalam dunia Konfusianisme secara
keseluruhan beliau adalah orang ketiga setelah Nabi Kŏngzĭ (孔子,
551 SM--479 SM) dan Mèngzĭ (孟子, 372 SM--479 SM)20. Apabila
Mèngzĭ (孟子) dalam penghargaannya kepada Nabi Kŏngzĭ
menjuluki Nabi Kŏngzĭ sebagai ‘Yang Lengkap, Besar dan Sempurna
(集大成 Jídàchéng)’21, maka julukan itupun telah akhirnya diberikan
para cendikiawan Tiongkok kepada Mahaguru Zhū Xī (朱熹). Hal ini
tentu membuktikan dan memperlihatkan betapa besar peran,
pengaruh dan penghormatan yang diperoleh Mahaguru Zhū22.
Profesor Wing-tsit Chan (陳榮捷, 1901 M--1994 M), ahli
yang mendalami dan memiliki otoritas informasi yang valid tentang
kehidupan dan karya-karya Zhū Xī (朱熹) menyatakan dalam suatu
karyanya, bahwa sumbangsih terbesar Zhū Xī dalam dunia filsafat
Konfusianisme dan agama Khonghucu adalah antara lain: bahwa
beliau adalah sang figur terbesar dalam penulisan komentar dan
tafsir berbagai kitab Konfusianisme; adalah pemberi tampilan baru
sekaligus penentu arah perkembangan Neo-Konfusianisme lewat

20 Wing-tsit Chan, Chu Hsi and Neo-Confucianism (Hawaii: University Of Hawaii

Press, 1986), h. 1.
21 Lihat Kitab Mengzi VB:1.6 dalam Kitab Sishu (四書 Kitab Yang Empat) versi

Dwilingual dengan Transliterasi H{nyŭ Pīnyīn oleh Team P3K Deroh Matakin
(Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI,
2013), h. 741.
22 Wing-tsit Chan. Chu Hsi - Life and Thought (Hong Kong: The Chinese
University Press, 1987), h.38.

5
beberapa teorinya tentang Lǐ (理), Tàijí (太極), Qì (氣) dan Rén (仁);
adalah pioner pendirian akademi pendidikan dan kegiatan
kemasyarakatan di abad ke-duabelas; dan adalah tokoh yang
memproklamirkan konsep ‘Pewarisan Tradisi Jalan Suci
Konfusianisme (道統 D{otǒng)’23.
Dengan informasi-informasi tersebut di atas maka jelaslah
bahwa untuk memahami Konfusianisme khususnya Neo-
Konfusianisme sangat perlu untuk memahami pemikiran Zhū Xī (朱
熹). Kemudian, untuk memahami Zhū Xī, tentunya takkan terlepas
pula mesti memahami konsepnya tentang Lǐ (理), konsep utama
sekaligus pusat pemikiran Neo-Konfusianisme.
Konsep Lǐ (理) Zhū Xī (朱熹) terkait dengan beberapa
bidang pemikiran, yang paling utama adalah tentang asal-usul alam
semesta (kosmogoni) serta tentang moralitas yang terkait dengan
Xìng (性, sebagai manifestasi Lǐ dalam diri manusia, berupa kodrat
dasar manusia). Menurut Kamus Istilah Keagamaan Khonghucu
Xìng (性) ini disebut watak sejati/sifat asli manusia24, dan dalam
pengertian filosofis berhubungan dengan sumber moralitas
manusia. Dalam kalimat singkat Profesor Bo Mou (牟博)
mendefinisikan Lĭ (理) sebagai asas/prinsip puncak dari alam-
semesta yang bersifat abstrak, statis, kekal dan transenden25,
namun Profesor Chan berpendapat bahwa Lĭ (理) itu bersifak baik
transenden maupun imanen26.
Selanjutnya kita mengetahui bahwa Indonesia adalah salah
satu kawasan yang sebagian penduduknya menganut
Konfusianisme dalam aspeknya sebagai agama. Komunitas

23 Chan. Life and Thought, h. 41--69.


24 Lihat Kamus Istilah Keagamaan Khonghucu oleh Tanuwibowo dan Tjhie
dkk., dalam Kamus Istilah Keagamaan, Cet-1. ISBN 978-602-8766-97-5, 2011
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2014), h. 597--598.
25 Bo Mou. Chinese Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University Press

Ltd., 2009), h. 85.


26 Chan, The Evolution, h. 142.

6
penganut agama Khonghucu di Indonesia real, terorganisir dan
sekaligus sebagai penganut agama yang dibina oleh pemerintah,
yakni oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Kondisi
demikian menjadikan negara Indonesia memiliki posisi yang khas
pula di dalam berinteraksi dengan sekaligus dalam merespons
Konfusianisme, khususnya dengan Konfusianisme berbentuk
religius yang hidup di Indonesia, yakni agama Khonghucu.
Konfusianisme yang berkembang di Indonesia dalam beberapa segi
memang berbeda dengan Konfusianisme di beberapa negara
lainnya, termasuk di negara asalnya. Dengan demikian semakin
jelas lagi pentingnya masyarakat di negara kita perlu mempelajari
landasan pemikiran Konfusianisme dan Neo-Konfusianisme.
Di dunia Barat, Eropa adalah pionir dalam hal minat kepada
kajian Neo-Konfusianime dalam bentuk kajian intelektual yang
telah dilakukan oleh G. W. Leibniz, Charles De Harlez, J. Percy Bruce
dan Joseph Needham27. Walaupun demikian, kajian dan
persentuhan yang lebih awal dengan Neo-Konfusianisme telah lebih
dulu terjadi di abad ke-enambelas tatkala Matteo Ricci (1552 M--
1610 M) seorang paderi Jesuit dari Italia berkiprah di Tiongkok
dalam misi pewartaan injil gerejanya28.
Kemudian juga Amerika Serikat, para akademisi di negara
superpower itu telah cukup lama memiliki minat mengkaji
pemikiran Neo-Konfusianisme. Minat pengkajian itu itu telah
semakin giat sejak filsuf kontemporer Wing-tsit Chan (陳榮捷)
seorang profesor yang berasal propinsi Guangdong Tiongkok aktif
berkiprah kemudian terlibat dalam proyek-proyek penulisan dan
penerjemahan karya-karya Konfusianisme dan atau Neo-
Konfusianisme di benua itu29.

27 Lihat catatan/note Yoshio Takanashi, Emerson And Neo-Confucianism,


Crossing Paths over the Pacific (New York: Palgrave Macmillan, 2014), h. 160.
28 Yao, An Introduction to Confucianism, h. 1.
29 Untuk dua contoh bukti minat itu, lihat misal ketika Profesor Chan melalui

proyek besar Universitas Columbia dengan editor Profesor Dr. Wm. Theodore de

7
Beberapa kajian kontemporer yang memiliki hubungan
dengan konsep Lĭ (理) Neo-Konfusianisme atau dengan Zhū Xī (朱
熹) yang penulis temukan, misalnya:
 Dalam kaitan Lǐ (理) dengan asal-usul alam semesta, Jeloo Liu
dalam tulisan bertajuk The Status of Cosmic Principle (Lǐ) in
Neo-Confucian Metaphysics (2005) menguji dan menilai
perbedaan pemikiran yang dihasilkan oleh beberapa filsuf Neo-
Konfusian dengan penekanan pada kajian Lǐ (理) yang
berkaitan dengan metafisika dan kosmologi. Dalam tulisannya,
pertama ia menggunakan teori Natural Cosmic State Robert
Nozick dalam menginterprestasi pandangan kosmologi para
pemikir Konfusianis dan Daois. Kemudian Liu juga
menggunakan teori-teori Laws of Nature dan Law for Nature
Nicholas Reschers dalam menganalisis perbedaan paham yang
eksis dalam kajian kosmogoni para tokoh Neo-Konfusian
seperti antara Zhū Xī (朱熹) dan Zhōu Dūnyí (周敦頤), maupun
antara Zhāng Zài (張載) dan Wáng Fūzhī (王夫之). Di sana Liu
menyimpulakn bahwa yang dimaksud asas/prinsip kosmik
dalam filsafat Zhū dan Zhōu adalah ‘Prinsip untuk Qì, 
Principle for Qì’, yakni Lǐ (理) sebagai prinsip kosmiknya, dan Lǐ
ini (理) dikaitkan dengan Tàijí (太極 Mutlak Besar); sedangkan
asas/prinsip kosmik dalam pandangan Wáng dan Zhāng adalah
‘Prinsip dari Qì (氣)  Principle of Qì’, yakni Qì (氣) sendiri,
dan Qì (氣) ini dikaitkan dengan Tàixū (太虛 Kekosongan

Bary pada tahun 1967 menerjemahkan satu ontologi Neo-Konfusianisme karya


Xī bertajuk Jìnsīlù (近思錄); kemudian dapat dilihat pula ketika Universitas
dan The American Council of Learned Societies yang juga diketuai oleh Profesor
Theodore de Bary melaksanakan simposium tentang Zhū Xī pada tahun 1982,
hasil dari simposium yang dipartisipasi 30-an ahli yang memiliki minat studi
Zhū Xī itu dikompilasi dan diedit oleh Profesor Wing-tsit Chan menjadi sebuah
buku: Chu Hsi and Neo Confucianism di tahun 1986.

8
Besar) sebagai gaya kosmiknya30.
 Dalam kaitan Lǐ (理) dengan moralitas, Diane Yuksel dalam
karyanya yang berjudul Moral Norm and Physical Necessity: Zhū
Xī on the Concept of Lǐ (2007), telah menggali dan menyajikan
bagaimana paradigma Neo-Konfusianisme dengan konsep Lǐ (理
) dan beberapa konsep lainnya seperti Tàijí (太極), Dào (道), Qì
(氣), Xìng (性), Xīn (心) dan Rén (仁) dalam hubungannya
dengan bidang etika manusia. Dalam tulisannya itu Yuksel
menegaskan kembali bahwa Lǐ (理) adalah sumber norma-
norma Konfusianisme Rén-Y- Lǐ- Zhì (仁-義-禮-智) yang eksis
dalam diri manusia31.
 Sementara dari segi transendensi-imanensi dan teologi, penulis
mendapatkan sebuah tulisan yang berhubungan dengan konsep
Lǐ (理) Neo-Konfusianisme. Yong Huang (黃勇) dalam Theology
of Creativity mengajukan usulan adanya suatu bentuk teologi
yang eksis dalam Neo-Konfusianisme khususnya ketika
mengkaji pemikiran pendahulu Zhū Xī (朱熹): Chéng Hào (程
顥) dan Chéng Yí (程頤), terutama dari bagian pemikiran kedua
tokoh itu yang menyamakan Lǐ (理) dengan shén (神, spirit, roh
suci) serta dengan shēng (生, aktifitas yang melahirkan
kehidupan). Profesor Huang memperlihatkan dua hal, pertama
bahwa Lǐ (理) dari Chéng Hào (程顥) dan Chéng Yí (程頤)
bersifat ‘transenden melekat’ (immanently transcendent),
sedangkan form Plato bersifat ‘transenden lepas’ (externally

30 JeeLoo Liu, asisten profesor dari Department of Philosophy California State

University, Fullerton, mengkaji pemikiran Neo-Konfusianisme melalui tulisannya:


The Status of Cosmic Principle (Li) in Neo-confucian Metaphysics, di muat dalam
Journal of Chinese Philosophy 32:3 (September 2005), h. 391--407, (terutama pada
halaman 400).
31. Diana Yuksel saat itu seorang asisten profesor dan periset dari Universitas

Bucharest di Rumania. Hasil kajiannya dipresentasikan dalam jurnal Acta


Orientalia Vilnensia ISSN 1648--2662. 8.2 (2007), h. 93--102, berjudul Moral Norms
and Physical Necessity: Zhu Xi on the Concept of Li.

9
transcendent). Huáng juga memperlihatkan bahwa terminologi
Shēng (生, aktifitas yang melahirkan kehidupan) dan Shén (神,
spirit, roh suci) dalam pemikiran Chéng Hào ( 程顥) dan Chéng
Yí (程頤) bersesuaian dengan enam langka keyakinan dalam
teologi Kristiani kontemporer seorang teolog dari Harvard
University, Gordon Kaufman (1925--2011)32.
 Masih dalam soal teologi dan kecenderungan sifat transendensi-
imanensi, Du Yol Choi dalam disertasinnya Transcendence and
Immanence in Paul Tillich’s Theology and Chu Hsi’s Neo-
Confucian Philosophy membandingkan berlakunya
kecenderungan itu pada kedua sistem itu. Dengan menggunakan
istilah universalitas-konkritifitas pada filosofi Neo-
Konfusianisme Zhū Xī (朱熹), Choi menyimpulkan bahwa
walaupun transendensi-imanensi teologi Kristen Tillich dan
universalitas-konkritifitas filosofi Zhū Xī (朱熹) digunakan
dalam dua bahasa/bidang yang berbeda namun mereka paralel
secara struktural33.
 Terakhir, sebuah buku yang relatif masih baru karya Yoshio
Takanashi menyajikan hubungan pemikiran Zhū Xī (朱熹)
dengan pemikiran penulis sekaligus filsuf dan penyair Amerika
abad sembilanbelas, R. W. Emerson (1803 M--1882 M). Dalam
bukunya yang bertajuk Emerson And Neo-Confucianism, Crossing
Paths over the Pacific (2014) Takanashi menilai bahwa aspek-
aspek pemikiran Neo-Konfusianisme Zhū Xī (朱熹) dan
pemikiran transendental Emerson banyak yang paralel.
Takanashi menyatakan bahwa pemikiran kedua filsuf yang

32 Yong Huang (黃勇), seorang profesor dari the Chinese University of

Hongkong karyanya Theology of Creativity: Neo-Confucian and (Neo-)


Christian(?), diterbitkan dalam jurnal: Christian Study Centre on Chinese
Religion and Culture, Ching Feng n.s. 12 (2013), h. 43--55.
33 Du Yol Choi, Transcendence and Immanence in Paul Tillich’s Theology

and Chu Hsi’s Neo-Confucian Philosophy. Disertasi Doktoral Universitas Drew


Madison (New Jersey: Universitas Drew Madison, 2000).

10
hidup pada zaman yang berbeda itu banyak kesepakatannya
terutama dalam pandangan mereka bahwa nilai moral dan
pikiran manusia bersumber pada sifat moral tertinggi alam
semesta34.
Dengan menelaah beberapa kajian kontemporer Neo-
Konfusianisme di atas, terlihat bahwa konsep Lǐ (理) menjadi pusat
atau topik kajian utama walaupun terminologi-terminologi lain
bertebaran pula di sekeliling Lǐ (理). Ada penulis yang langsung
membicarakan makna dan sifat transendensi Lǐ (理) tanpa meninjau
evolusi historis Lǐ (理), sementara yang lainnya (misal Jeloo Liu)
berfokus pada sifat hubungan antara Lǐ (理) dan Qì (氣) tanpa
membahas evolusi Lǐ dan tidak membahas aspek transendensinya.
Perbedaan penelitian penulis dengan studi-studi kontemporer yang
disajikan di atas adalah bahwa di samping tesis ini akan menelaah
konsep Lǐ (理) di tangan Zhū Xī, juga penulis ingin mengelaborasi
evolusi historis konsep Lǐ (理) sejak awal kemunculannya dalam
kitab-kitab klasik Konfusianisme (termasuk akan sedikit
menyinggung pada karya-karya di luar itu). Kemudian akan
disampaikan pula bagaimana konsep itu di tangan lima filsuf-
agamawan pendahulu Zhū Xī sebelum pemantapannya di tangan
Zhū Xī sendiri, dan juga termasuk bagaimana pemikiran Zhū Xī ini
berperan di negeri Tiongkok bahkan meluas sampai ke negara
Korea dan Jepang; penelitian kepustakaan ini juga akan menyajikan
beberapa pandangan transendensi-imanensi Lǐ (理)-Qì (氣) dalam
pemikiran beberapa ahli/peneliti. Pandangan transendensi-
imanensi penulis pribadi akan disampaikan juga dalan suatu sub-
bab terpisah. Demikianlah posisi dan perbedaan tesis ini dengan

34 Buku bertajuk Emerson And Neo-Confucianism, Crossing Paths over the

Pacific yang dimaksud di atas diterbitkan pada tahun 2014 oleh penerbit Palgrave
Macmillan, New York; ditulis oleh Profesor Yoshio Takanashi (高橋嘉夫), seorang
dosen dan ilmuwan pada Department of Earth and Planetary Science, Universitas
Tokyo Jepang.

11
beberapa tulisan yang disampaikan di atas.
Kemudian, dengan memperhatikan pentingnya kajian Lǐ
(理) Neo-Konfusianisme Zhū Xī (朱熹) sebagaimana disampaikan di
atas dan dengan memperhatikan bahwa masih sangat minimnya
minat dan kajian dan ulasan dalam bentuk studi ilmiah tentang Lǐ
(理) Zhū Xī (朱熹) di kalangan umat Khonghucu Indonesia dan di
kalangan intelektual umum lain di negara kita, apalagi yang dibuat
dalam bahasa Indonesia, maka penulis tertarik dengan kajian
pemikiran Lǐ (理) Neo-Konfusianisme Zhū Xī (朱熹) ini. Oleh karena
itu dalam tesis ini penulis bermaksud mengkaji dan memeriksa
kembali sejumlah teks, baik teks primer (khusus bagian pandangan
Zhū Xī) maupun sekunder, dan akan menginventarisasi serta
memilah pesan-pesan Zhū Xī (朱熹) dan juga beberapa (-guru-)
pendahulunya khususunya tentang hubungan Lǐ (理) dengan asal-
usul alam semesta, serta akan dilihat sejauh mana Lǐ (理) ini
memiliki elemen/sifat transenden-imanen. Maka penulis
memutuskan menyajikan konsep Lǐ (理) Neo-Konfusianisme dalam
tesis yang diberi judul: Konsep Lǐ (理) dalam Pemikiran Zhū Xī,
Sebuah Kajian Historis dan Semantik ini.

I. B. Fokus Penelitian dan Pernyataan Masalah


Umum diketahui bahwa pemikiran-pemikiran Neo-
Konfusianisme terwakili dalam banyak terminologi, baik yang
disepakati bersama oleh semua filsuf Neo-Konfusianisme sebagai
terminologi utama yaitu konsep Tiānlǐ (天理) atau singkatnya Lǐ
(理), maupun terminologi pendukung lainnya seperti: Wújí (無極),
Tàijí (太極), Dào (道), Wǔxíng (五行), Qì (氣), Xìng (性), Xīn (心),
Rén (仁), serta Gé Wù (格物)35. Berbagai filsuf-agamawan Neo-
Konfusianisme yang muncul semua memberikan analisis dan
pemahamannya terhadap berbagai terminologi Neo-Konfusianisme
tersebut. Ada yang membahas hampir semua terminologi itu, ada
pula yang terbatas membahas beberapa terminologi saja. Zhū Xī (朱
熹) adalah tokoh yang semasa hidupnya telah membahas hampir

35 Littlejohn, Confucianism, An Introduction, h. 115.

12
secara keseluruhan terminologi-terminologi itu secara tuntas36,
walaupun terlihat bahwa beliau lebih mengkhususkan diri pada
terminolog-terminologi: Lǐ (理), Qì (氣), Tàijí (太極), Xìng (性), Gé
Wù (格物), dan Rén (仁)37.
Tesis ini berujung dan berfokus menganalisis konsep Lǐ (理) oleh
tokoh utama Neo-Konfusianisme Zhū Xī (朱熹) khususnya pada
hubungan Lǐ (理) dengan asal-usul alam semesta (kosmogoni).
Pembahasan hubungan antara konsep Lǐ (理) dengan konsep Qì (氣)
dan Tàijí (太極) oleh Zhū Xī (朱熹) adalah hal utama yang akan
dielaborasi, karena hal itu erat berhubungan dengan soal asal-usul
alam semesta. Namun, perlu ditegaskan juga kajian ini akan dibatasi
dalam sudut pandang Konfusianisme/Neo-Konfusianisme dan para
tokohnya saja, karena sebagaimana diketahui umum bahwa Lǐ (理)
ini dibahas pula oleh para filsuf Daoisme dan Mohisme38, serta juga
oleh beberapa sekte Buddhisme Tiongkok39, tentu dengan versi dan
dasar pemikiran mereka yang berbeda pula. Kalaupun pemikiran
dan para pemikir non Konfusian itu juga nantinya disinggung dalam
bab-bab selanjutnya, itu hanya dalam hal-hal terkait sejarah evolusi
konsep Lǐ (理) serta dalam kaitannya dengan beberapa topik yang
mana tokoh atau pemikiran non Konfusian itu perlu untuk
disinggung singkat.
Perlu penulis sampaikan pula keterbatasan penulis antara
lain bahwa penulis masih di awal studi filsafat; kesukaran
memahami teks bahasa Hàn klasik (sebagai jenis bahasa yang
dipakai pada pustaka-pustaka utama kajian Lǐ dari Zhū Xī dan para
pendahulunya; dan keterbatasan waktu dan biaya penulis dalam
mengakses sumber sumber pustaka yang lebih beragam. Dengan
demikian uraian dan analisis yang ada dalam tesis ini lebih bersifat
umum, bersifat inventarisasi data konsep Lǐ (理) Zhū Xī (朱熹) pada
taraf dasar saja, serta dideskripsikan dan dianalisa sebisanya dan
terakhir dievaluasi. Dengan itu penulis juga berterima kasih atas

36 Lihat misalnya ulasan singkat dalam Chan, Chu Hsi and Neo-Confucianism,
h. 2--3.
37 Chan, Source Book, h. 589--590.
38 Lihat misal dalam Chan, Source Book, h. 315 dan 326.
39 Chan, Source Book, h. 365 dan 442.

13
segenap masukan dan koreksi dari para dosen pembimbing dan
dosen penguji tesis ini dalam mengisi keterbatasan yang ada pada
penulis.
Selanjutnya, penulis sampaikan semua permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini seperti berikut ini:
Permasalahan utama: Bagaimana pemahaman (arti atau
makna) Lǐ (理) dalam pandangan Zhū Xī (朱熹) termasuk
hubungannya dengan beberapa peristilahan Neo-Konfusianisme
lain terutama Qì (氣) dan Tàijí (太極), serta bagaimana pula peran
konsep-konsep itu dalam persoalan asal-usul alam semesta?
Permasalahan ikutan: Karena konsep Lǐ (理) sebelum tiba
pada Zhū Xī berevolusi secara gradual melewati waktu yang
panjang, maka terlebih dahulu akan ditinjau pula bagaimana
perkembangan dan perubahan makna aksara Lǐ (理) secara historis
dalam empat kitab klasik Konfusianisme (yakni; kitab Shījīng 詩,
Shūjīng書經, Lǐjì 禮記, dan Yìjīng 易經 dengan Sepuluh Sayap (Shíyì
十翼)-nya)? Bagaimana pula konsep Lǐ (理) di tangan beberapa
filsuf Konfusian dan Neo-Konfusian sebelum Zhū Xī (朱熹)?
Akhirnya penulis membahas: bagaimana kecenderungan
transendensi-imanensi Lǐ-Qì (理-氣) Zhū Xī (朱熹) dilihat dari
definisi kamus dan dari pandangan beberapa ahli/peneliti?

I.C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Kedalaman penelitian bervariasi tergantung sejauh mana
hasil penelitian yang diharapkan. Penelitian ini akan lebih berkisar
pada inventarisasi dan juga mencakup sejumlah analisis atau
evaluasi, walaupun untuk menilai sifat transendesi-imanensi
konsep Lǐ (理) diperlukan juga interprestasi. Berdasarkan beberapa
pernyataan masalah yang dirumuskan pada bagian sebelumnya
maka penelitian ini bertujuan:
 Untuk memperlihatkan bagaimana pemahaman (arti atau
makna) Lǐ (理) dalam pandangan Zhū Xī (朱熹) termasuk
hubungannya dengan beberapa peristilahan Neo-Konfusianisme
lain terutama Qì (氣) dan Tàijí (太極), serta bagaimana pula
peran konsep-konsep itu dalam persoalan asal-usul alam
semesta (kosmogoni).

14
 Untuk menjelaskan perkembangan dan perubahan makna aksara
Lǐ (理) dalam empat kitab klasik Konfusianisme (yakni kitab
Shījīng 詩經, kitab Shūjīng 書經, kitab Lǐjì 禮記, dan kitab Yìjīng
易經 dengan Sepuluh Sayap (Shíyì 十翼)-nya, serta
perkembangan konsep Lǐ (理) di tangan beberapa filsuf
Konfusian dan Neo-Konfusian sebelum era Zhū Xī (朱熹).
Terakhir: Untuk memperlihatkan kecenderungan transendensi-
imanensi Lǐ-Qì (理-氣) Zhū Xī (朱熹) dilihat dari definisi kamus
serta dari pandangan beberapa ahli/peneliti.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini:
 Bagi kalangan akademisi umum: agar dapat memberikan
informasi secara terstruktur dan ilmiah tentang arti dan makna
Lǐ (理), konsep utama dan sentral yang eksis dalam pemikiran
Neo-Konfusianisme, serta mengenai kaitannya dengan
beberapa terminologi Neo-Konfusianisme lainnya.
 Bagi rakyat dan Negara kita: agar boleh memberikan
sumbangan wawasan dan pemahaman dalam hal merespon
dan memahami dengan baik pemikiran-pemikiran dan dasar
pijakan atas kebijakan dari manusia-manusia dan atau negara-
negara lain yang mendapat pengaruh pemikiran Neo-
Konfusianisme.
 Bagi Matakin dan umat Khonghucu Indonesia agar boleh
memahami suatu sisi sejarah perkembangan agama Khonghucu
dan agar merangsang minat kajian-kajian lanjutan dan lebih
beragam lagi tentang Neo-Konfusianisme, sehinga boleh
mengejar ketertinggalan umat Khonghucu pada kajian filosofi
agama Khonghucu yang diimaninya.

I.D. Zhū Xī (朱熹, 1130M--1200M) dan Konsep Lĭ (理) Secara


Umum.
Penerapan konsep Lĭ (理) itu ada dalam 2 bidang utama:
bidang kosmogoni dan etika. Zhāng Zài (張載) banyak berbicara
tentang Qì (氣) tapi jarang tentang Lĭ (理) dalam etika dan
kosmogoninya; sebaliknya kedua Chéng bersaudara (二程) banyak
berbicara tentang Lĭ (理) tapi jarang membahas tentang Qì (氣), dan

15
mereka lebih intens membahas etika dibanding kosmogoni, mereka
juga tidak menjelaskan hubungan antara kedua konsep penting ini
dengan jelas. Di tangan Zhū Xī-lah hubungan kedua konsep itu
menjadi jelas40. Beliau juga mampu mensintesa dan merumuskan
dengan jelas keterkaitan berbagai konsep Neo-Konfusianisme.
Terkait penerapan konsep Lĭ (理) pada kodrat manusia atau
etika, Mèngzǐ (孟子, 371 SM--289 SM) dan Xúnzǐ (旬子, 310 SM?--
211SM) adalah dua tokoh yang berpendirian kontras mengenai
keberadaan kodrat dasar manusia (Xìng 性); Hán Yù (韓愈, 768 M--
824 M) telah membagi kodrat dasar manusia (Xìng 性) menjadi tiga
tingkat; Zhāng Zài (張載) telah membedakan antara kodrat esensial
dan kodrat fisik; dua Chéng bersaudara (二程) telah menyatakan
bahwa kodrat dasar manusia Xìng (性) dan Lĭ (理) adalah identik.
Namun, semua pandangan para filsuf itu belum lengkap dan
sistematis. Zhū Xī-lah figur yang telah dapat mengatasi kekurangan
itu41.
Sebagaimana kedua Chéng bersaudara Zhū Xī (朱熹) juga
berpendapat bahwa kodrat dasar manusia (Xìng, 性 watak
sejati/asli) merupakan kodrat/watak kebaikan yang murni, dan
bahwa sumber kebaikan itu identik dengan Lĭ (理). Beliau juga
selanjutnya menyatakan bahwa ada kodrat/watak lain yang tercipta
oleh penggabungan Lĭ (理) dengan Qì (氣) yang sifatnya tidak
murni, dan kodrat/watak fisik inilah sumber kejahatan yang oleh
Profesor Koller dinamakan dengan sederhana sebagai
kodrat/watak sekunder. Jadi Lĭ (理) dalam diri manusia adalah
sumber terakhir dan tertinggi dari segala sesuatu. Karena Lĭ (理)
sebagai kodrat/watak utama lebih fundamental daripada Qì (氣)
sebagai kodrat/watak sekunder, maka kebaikan kodrat/watak
dasar manusia itu bersifat utama, sedangkan kecenderungan
keburukan manusia bersifat sekunder42. Adapun dalam kosmogoni
Lĭ (理) itu berhubungan dengan sumber atau asal-muasal semesta
yang menjadi prinsip atau hukum alam semesta dan bersifat

40 Chan, Chu Hsi – Life and Thought, h. 50.


41 Koller, Filsafat Asia, h. 625--626.
42 Koller, Filsafat Asia, h. 629--630.

16
abstrak atau metafisikal, sedangkan Qì (氣) itu berhubungan
manifestasi alam semesta yang fisikal.
Dalam karyanya Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類) Zhū menyatakan
bahwa di alam semesta ini tidak ada satupun Qì (氣) yang tanpa Lĭ
(理) dan tidak ada satupun Lĭ (理) yang tanpa Qì (氣)43. Kemudian
dalam karyanya Zhūzǐ Wénjí (朱子文集) Zhū juga menyatakan
bahwa apa yang disebut Lĭ (理) dan Qì (氣) ini memang dua entitas
yang berbeda, tapi ditinjau dari sudut pandang hal atau benda,
kedua entitas itu tergabung (lebur) satu dengan yang lainnya,
keduanya tidak dapat terpisah dalam dua tempat yang berbeda44.
Zhū Xī (朱熹) juga lanjut memahami bahwa Lĭ (理) berkenaan
dengan Dào (道) sebelum berbentuk fisik (xíng ér shàng, 形而上)
dan inilah sumber semua benda/hal dihasilkan, sedangkan Qì (氣)
berkenaan dengan objek material sesudah berbentuk fisik (xíng ér
xià, 形而下) dan inilah instrumen atau materi dari mana semua
benda/hal dihasilkan45. Beliau juga berpendapat bahwa segala
sesuatu terdiri Lĭ (理) dan Qì (氣). Segala sesuatu yang ada di alam
semesta (termasuk manusia) merupakan dari gabungan Lĭ (理) dan
Qì (氣) 46. Sebagaimana Chéng Yì (程頤) Zhū Xī juga berpendapat
bahwa setiap benda memiliki Lĭ (理)-nya masing-masing untuk
menjadi seperti benda itu47. Jika ada benda maka mesti ada Lĭ (理)-
nya48. Untuk penjelasan yang lebih menyeluruh Zhū Xī (朱熹)
menggunakan konsep Tàijí (太極) dari pendahulunya, Zhōu Dūnyí
(周敦頤). Dalam Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類) Zhū Xī (朱熹) menyatakan
bahwa Tàijí (太極) Zhōu Dūnyí (周敦頤) dapat disingkat dalam satu
kata, itulah: Lĭ (理)49. Beliau juga tiba pada kesimpulan bahwa Rén

43 Koller, Filsafat Asia, h. 629--630.


44 Koller, Filsafat Asia, h. 629--630.
45 Chan, Chu Hsi – Life and Thought, h. 50 –51.
46 Koller, Filsafat Asia, h. 627--628.
47 Wen, Chinese Philosophy, h. 112.
48 Chan, Chu Hsi – Life and Thought, h. 49.
49 Chan, Chu Hsi – Life and Thought, h. 49.

17
(仁, cinta kasih, kemanusiaan) adalah kodrat alami manusia, serta
Tàijí (太極) juga adalah Rén (仁) 50. Kemudian perlu disampaikan
pula apa yang disampaikan Profesor Chiu Hansheng dari hasil
studinya tentang konsep Neo-Konfusianisme, beliau menyatakan
bahwa sebutan konsep Lĭ (理) adalah identik dengan sebutan
konsep Tiānlĭ (天理), dengan kata lain Profesor Chiu berpendapat Lĭ
(理) adalah singkatan dari Tiānlĭ (天理)51.

I. E. Metodologi Penelitian.
1. Jenis, Ciri, Objek dan Sumber Data Penelitian.
Penelitian ini adalah tentang pemikiran filsafat seorang
tokoh52, dalam hal ini mengulas Zhū Xī (朱熹, 1130--1200M) dengan
konsepnya tentang Lĭ (理). Data-data yang menjadi bahan atau
sumber penelitian ini berasal dari sumber primer yang ditulis oleh
Zhū Xī (朱熹) dan oleh tokoh yang berasal dari zaman kehidupan
Zhū Xī (朱熹) maupun sumber sekunder yakni buku atau artikel-
artikel dari masa kontemporer, terutama karya Profesor Wing-tsit
Chan dan Profesor Yu-lan Fung, dua pakar yang ahli pemikiran Neo-
Konfusianisme.
Menyangkut penelitian filsafat, Profesor Kaelan antara lain
menyampaikan bahwa “…ciri-ciri deskriptif, kualitatif dan historis
merupakan tiga ciri utama penelitian filsafat…”53. Dengan demikian
dalam penelitian ini sisi historis penulis jadikan pula sebagai salah
satu pendekatan yang dipakai dalam mendapatkan pemahaman
yang lengkap mengenai konsep Lĭ (理) menurut Zhū Xī (朱熹).
Objek material penelitian filsafat juga disebut sebagai fokus
kajian yang ingin diketahui atau dipikirkan, dan ia berupa

50 Koller, Filsafat Asia, h. 629--630.


51 Hansheng, Chiu (丘漢生), “Zhu Xi’s Doctrine of Principle” dalam buku “Zhū Xī
and Neo-Confucianism, dengan editor Wing-tsit Chan (陳榮捷), (Honolulu:
University of Hawaii Press, 1986), h. 116.
52 Penulis antara lain mengacu pada penjelasan dan pengertian metode itu

dari buku Profesor Kaelan, M. S. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat


(Yogyakarta: Paradigma, 2005), h. 247.
53 Kaelan, Metode Penelitian Filsafat, h. 57.

18
pemikiran-pemikiran filosofis dari para filsuf54. Objek material
dalam penelitian ini yakni konsep Master Zhū Xī (朱熹) tentang Lĭ
(理), konsep utama dalam dunia pemikiran Neo-Konfusianisme.
Konsep Lĭ (理) ini sedemikian pentingnya sehingga bahkan telah
menjadi nama alternatif bagi Neo-Konfusianisme, yakni: Lǐxué (理
學, studi atau sekolah Lǐ).
Mengenai bentuk atau komponen penelitian kualitatif,
Iskandar menyatakan biasanya dilaksanakan dalam bentuk:
mendeskripsikan atau menerangkan, membuat analisis,
menginterprestasikan, menilai, mengesahkan, ataupun melakukan
perpaduan dari beberapa point-point itu (Iskandar menyebutnya
sebegai melakukan pengintegrasian ilmu)55. Namun dalam
penelitian ini, deskripsi, analisis dan interprestasi data penelitian
adalah tiga komponen yang dominan untuk diterapkan.
Objek formal penelitian adalah sifat penyelidikan itu sendiri
atau bagaimana penelitian dilakukan dengan mendalam56. Objek
formal itu dapat juga disebut sebagai dari sudut pandang dari mana
objek material dibahas atau dikaji57. Pada penelitian ini sudut
pandangnya mengacu pada ilmu filsafat dengan titik berat pada
bagian kosmogoni konsep Lǐ (理), sementara bagian etika konsep
Lǐ (理) tidak menjadi sekup tesis ini sebagaimana sudah
disampaikan dalam sub-bab sebelumnya, maka etika Lǐ (理), tidak
akan diulas luas, kecuali dalam beberapa kesempatan disinggung
dengan singkat hanya apabila dipandang perlu.
Adapun untuk sumber data penelitian ini peneliti menelaah
beberapa data yang terdiri dari (1) data primer berupa karya-karya
asli Zhū Xī (朱熹) serta (2) beberapa sumber bacaan sekunder buku
teks tentang konsep Lǐ (理) Zhū Xī (朱熹) termasuk beberapa
tulisan/jurnal kontemporer.

54 Kaelan, Metode Penelitian Filsafat, h. 34.


55 Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial, Cetakan ke-5
(Jakarta: Referensi, 2013), h.189--190.
56 Tafsir, Filsafat Umum, h. 21.
57 Kaelan, Metode Penelitian Filsafat, h. 34.

19
Karya Zhū Xī (朱熹) yang dipilih menjadi sumber primer
utama:
1. Zhūzǐ Yǔlèi 朱子語類 (1270M), Percakapan Guru Zhū Xī Yang
Tergolong-golongkan; karya Zhū Xī 宋朱 yang dikompilasi Lí
Jìngdé 黎靖德 (1263M); Edisi kontemporer dengan korektor
Wáng Xīngxián 王星賢. Beijing: Běijīng Zhōnghuá Shūjú 北京中
華書局, 1988M.
2. Zhūzi Quánshū 朱子全書 (1714M) Karya Lengkap Mahaguru
Zhū; dikompilasi oleh Lǐ Guāngdì (李光地 ) dan Xióng Cìlǚ (熊
賜履). Edisi moderen dengan Editor: Zhū Jiérén (朱傑人) Yán
Zuǒzhī ( 嚴佐之) dan Liú Yǒngxi|ng (劉永翔). Sh{nghǎi:
Sh{nghǎi Gǔjí Chūbǎn Shè (上海古籍出版社) serta Héféi: Ānhuī
Jiàoyù Chūbǎn Shè (安徽教育出版社), 2002M.
3. Jìnsīlù 近思錄 (1177M), Catatan Tentang Apa-apa yang Dekat,
karya bersama Zhū Xī 宋朱 dan Lǚ Zǔqiān 呂祖謙. Edisi
moderennya dalam serial Guóxué Jīngdiǎn 國學經典 dengan
anotasi dan komentar oleh Chá Hóngdé 查洪德. Zhèngzhōu:
Zhōngzhōu Gǔjí Chūbǎnshè 中州古籍出版社, 2016M.
4. Reflections on Things at Hand (Chin-ssu lu): The Neo-Confucian
Anthology, by Chu Hsi and Lü Tsu-ch’ien (1176M), terjemahan
dan anotasi oleh Wing-tsit Chan. New York: Columbia
University Press, 1967M. Ini adalah terjemahan dalam bahasa
Inggris dari buku primer berjudul Jìnsīlù 近思錄 yang telah
lebih dulu disebutkan di atas.
Sedangkan sumber sekunder berbentuk buku-buku teks, antara
lain:
1. A Short History of Chinese Philosophy, Oleh Yu-lan Fung. New
York: Macmilan Publishing Co. Inc., 1948M.
2. A Source Book of Chinese Philosophy. Oleh Wing-tsit Chan (ed.).
Princeton: Princeton University Press, 1963M.
3. An Introduction to Confucianism, New York: oleh Xinzhong Yao.
Cambridge University Press, 2000M.
4. Chinese Philosophy: Chinese Political Philosophy, Metaphysics,
Epistemology and Comparative Philosophy, 1st- edition. Oleh

20
Haiming Wen. Beijing: China Intercontinenal Press, 2010M.
5. Confucianism: An Introduction. Oleh Ronnie L. Littlejohn. New
York: I. B. Tauris & Co. Ltd., 2011M.
6. Confucius and Confucianism 1-st-ed. Oleh Lee Dian Rainey.
Chichester: John Wiley & Sons, Ltd., Publication, 2010M.
Adapun untuk pustaka berbentuk tesis, jurnal dan
sejenisnya, antara lain:
1. Transcendence and Immanence in Paul Tillich's Theology and Chu
Hsi's Neo-Confucian Philosophy. Phd. Disertation on Drew
University. Oleh Du Yol Choi. Madison New Jersey: Bell & Howell
Information and Learning Company, 2000M.
2. Moral Norms and Physical Necessity. Oleh Yuksel, Diana, dalam
Acta Orientalia Vilnensia, ISSN 1648–2662. 8.2 (2007M), h. 93--
102 .
3. The Evolution of the Neo-Confucian Concept Lǐ as Principle in the
Tsing Hua Journal of Chinese Studies n.s 4/2 . oleh Wing-tsit
Chan. Beijing: Tsing Hua Univ, 1964M, h. 123--149.
4. The Status Of Cosmic Principle (Lǐ ) in Neo-confucian Metaphysics.
Oleh Jeeloo Liu, Journal of Chinese Philosophy 32:3 (Sept.
2005M), h. 391--407.
5. Theology of Creativity: Neo-Confucian and (Neo-)Christian(?) in
the Christian Study Centre on Chinese Religion and Culture. Oleh
Yong Huang. Ching Feng n.s. 12, 2013M, h. 4--55.
Sebagai catatan tambahan, literatur yang dalam bentuk buku
teks dalam penelitian ini banyak mengambil dari tulisan karya
Profesor Wing-tsit Chan, ini karena melihat kepakaran Profesor
Chan dalam bidang pemikiran Neo-Konfusianisme sebagaimana
telah disinggung pada bagian Latar Belakang. Kapasitas Profesor
Chan ini antara lain diperkuat pula Profesor Deborah Sommer
(1995M) yang dalam testimoninya sebagaimana dikutib Xinzhong
Yao yang antara lain menyatakan: “… dalam beberapa cara yang
misterius mereka sebagai para murid melihat bahwa Profesor Chan
adalah Zhū Xī, dalam arti seorang master dalam Neo-

21
Konfusianisme…58”.
2. Pendekatan Historis dan Semantik
Oleh karena objek material penelitian ini yakni konsep Lĭ (理)
menurut Zhū Xī (朱熹) adalah konsep utama Neo-Konfusianisme
yang sebelumnya telah berkembang dan dikaji luas dalam rentang
zaman yang panjang oleh berbagai tokoh/filsuf, maka pendekatan
historis dengan sendirinya juga merupakan pendekatan yang cocok
dipakai dalam penelitian ini.
Kaelan berpendapat bahwa penelitian filsafat amat erat
hubungannya dengan sejarah karena mayoritas karya pemikiran
filosofis para filsuf berhubungan dengan sejarah, dengan demikian
jelas pendekatan sejarah itu itu penting dan dapat diterapkan59.
Menurut Abdurrahman pendekatan historis adalah cara penelitian
atas suatu masalah (konsep) yang berusaha mendapatkan jalan
pemecahan permasalahan penelitian itu dengan cara meninjaunya
dalam perspektif sejarah. Lebih jauh lagi beliau mengutip Garraghan
bahwa penelitian historis adalah seperangkat aturan dan prinsip
sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara
efektif, menilainya secara kritis dan kemudian mengajukan paduan
dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk uraian60.
Penelitian ini berfokus pada periode kehidupan Zhū Xī yang
hidup pada zaman Dinasti Sòng Selatan (南宋朝, 1127M--1279 M).
Namun melihat perkembangan konsep Lǐ (理) yang kemunculannya
telah mulai ada sejak periode kitab-kitab Konfusianisme klasik,
maka kurun sejarah yang diliputi tentu terbentang sejak masa kitab
Shījīng (詩經 kitab Sanjak) sebagai kitab terawal yang
memunculkan aksara Lǐ (理), dengan sanjak tertuanya berasal dari
abad 16 SM61. Walaupun demikian kurun utama yang ditinjau tentu
saja adalah zaman Dinasti Sòng (宋朝, 960 M--1279 M) yang

58 Yao, An Introduction to Confucianism, h. 3.


59 Kaelan, Metode Penelitian Filsafat, h. 62.
60 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, 1999). h. 43--44.


61 Shījīng(詩經) atau kitab Sanjak adalah salah satu dari kitab Wŭjīng (五經)

berisi kumpulan sanjak atau teks nyanyian-nyanyian purba (abad 16 SM--7 SM),
disebut juga kitab Kuncup Bunga (Pājīng 葩經)

22
merupakan zaman para filsuf agamawan Neo-Konfusianisme hidup.
Sementara itu berbicara mengenai bentuk dan komponen
penelitian yang disebutkan di atas khususnya pada komponen
interprestasi, dengan melihat pada dua jenis sumber penelitian
yang ada, maka salah satu tugas yang perlu penulis lakukan adalah
berhubungan dengan menerjemahkan dan mengemukakan arti
dan makna aksara Lĭ (理) dan beberapa aksara konsep lain yang
berhubungan dengan aksara Lĭ (理), baik yang ditulis sendiri oleh
Zhū Xī (朱熹) dan para pendahulunya di dalam bahasa Tiongkoa
klasik, maupun sumber-sumber sekunder berbahasa Inggris buku-
buku teks maupun jurnal-jurnal lainnya.
Umum diketahui bahwa seluk-beluk arti atau makna suatu
kata dipelajari dalam bagian ilmu linguistik yang dikenal sebagai
semantik. Profesor Pateda seorang ahli bahasa yang banyak
berkecimpung dalam perkamusan menyampaikan lebih detil bahwa
dalam ilmu linguistik semantik merupakan cabang ilmu bahasa
yang khusus mempelajari segala sesuatu tentang makna. Menurut
beliau, cakupan semantik sangat luas mencakup pada kata, frase,
klausa, kalimat, paragraf maupun wacana62. Dengan demikian,
singkatnya semantik adalah ilmu makna atau membicarakan makna
bahasa. Melalui semantik dapat diketahui apa yang dimaksud
dengan makna, bagaimana wujud makna, apakah sajakah jenis
makna, apa sajakah yang berhubungan dengan makna, dan apa
sajakah komponen makna. Bahkan di sana ditinjau pula apakah
makna suatu kata itu berubah, mengapa makna berubah, apakah
setiap kata hanya memiliki satu makna atau lebih, dan
bagaimanakah agar kita mudah memahami makna sebuah kata,
semuanya itu dapat ditelusuri melalui disiplin ilmu semantik63.
Dalam penelitian konsep Lĭ (理) Zhū Xī (朱熹) ini persoalan-
persoalan semantik yang disampaikan di atas tentu tidak ditinjau
semuanya namun dibatasi hanya pada melihat bagaimana aksara Lĭ
(理) telah mengalami perubahan arti dan makna sejak dari awal
kemunculannya dalam kitab-kitab klasik Konfusianisme dan non

62 Mansoer Pateda, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta, 2001),

h. 9.
63 Pateda, Semantik Leksikal, h. 65.

23
Konfusianisme sampai kepada pemahaman makna aksara Lĭ (理)
oleh para Neo-Konfusian zaman dinasti Sòng (宋, 960M--1279M)
terutama sampai kepada Zhū Xī (朱熹). Tak terhindarkan tentu
termasuk akan diperlihatkan beberapa variasi arti dan makna
aksara Lĭ (理) hasil beberapa pemaknaan dan pemakaian aksara Lĭ
(理) itu di sepanjang sejarah sebelum dan sampai kepada Zhū Xī (朱
熹).
Kemudian, dalam ilmu linguistik juga dikenal apa yang disebut
perubahan bahasa yang merupakan “…proses perubahan yang
terjadi pada elemen suatu bahasa ketika bahasa itu berkembang
melewati suatu waktu tertentu…”64. Perubahan bahasa pada
dasarnya spontan, normal, dan tak terhindarkan65. Salah satu
elemen bahasa yang mengalami perubahan adalah makna atau arti
‘kata’. Perubahan makna kata dapat saja terjadi pada bahasa
manapun, dan perubahan itu dapat saja berupa: penyempitan,
perluasan, ameliorasi, dan peyorasi66.
Dalam bahasa Tionghoa suatu ‘kata’ terwakili oleh satu atau
lebih ‘aksara (字zì, bahasa Inggrisnya character)’ yang berbeda
dengan bahasa lain yang berdasarkan pada sistem alfabet. Suatu
aksara Tionghoa memiliki sejarah dan proses pembentukan yang
khas maka tentu perubahan makna aksara dalam bahasa Tionghoa
juga mengikuti kekhasan, sifat dan kebiasaan penggunaan yang
khas dalam bahasa itu. Fokus penelitian ini adalah menemukan
makna-makna dan perubahan makna yang terjadi pada konsep
utama Neo Konfusianisme yakni Lǐ (理), dan juga melihat makna
beberapa terminologi lain yang berhubungan erat dengan Lǐ (理)
yakni terutama Qì (氣) dan Tàijí (太極).
3. Pelaporan dan Format Pelaporan Penelitian.
Menyangkut pelaporan penelitian ini, semua akan dilakukan
dengan narasi yang diusahakan kreatif, yakni dengan deskriptif-
analitis. Deskripsi historis akan diterapkan pada evolusi konsep Lǐ

64 John Lyons, Language and Linguistics: An Introduction (New York:


Cambridge University Press, 1981).
65 Meyer, Charles F., Introducing English Linguistics (Cambridge: Cambridge

University Press, 2009).


66 Wardaugh, Ronald, Introduction to Linguistics (1972).

24
(理) dari awal kemunculannya dalam kitab-kitab klasik
Konfusianisme dan dalam pandangan beberapa filsuf sebelum Zhū
Xī (朱熹). Demikian juga untuk latar belakang kehidupan Zhū Xī (朱
熹) hingga pengertian tentang konsep Lǐ (理) Zhū Xī (朱熹),
termasuk hubungannya dengan konsep Qì (氣) dan Tàijí (太極).
Sedangkan pemikiran Zhū Xī (朱熹) tentang hubungan konsep Lǐ
(理) dengan asal-usul alam semesta termasuk kemungkinan mesti
meninjau pula perbedaan dan persamaan pemahaman Lǐ (理) para
filsuf sebelumnya penulis terapkan pendekatan analisis dan
interprestasi. Bagian yang paling terakhir adalah analisis-evaluasi
sifat transendensi konsep Lǐ (理) dan Qì (氣) Zhū Xī (朱熹) dari
sudut pandang kamus, maupun dari beberapa ahli/peneliti. Semua
komponen pelaporan penelitian ini tentu dilakukan dalam koridor
historis dan semantik sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya.
Bagian yang paling akhir penulis menilai transendensi-imanensi Lǐ
(理) menurut pandangan pribadi penulis setelah melihat berbagai
pandangan para ahli dan juga dari latar dan penghayatan penulis
pribadi sebagai umat Khonghucu Indonesia.
Akhirnya penulis sampaikan bahwa format pelaporan
penelitian ini sebisanya akan didasarkan pada dua buah buku
panduan dari Fakultas, yakni: 1. Pedoman Akademik Magister FU,
dan 2. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UIN67, yang telah diberikan
kepada kami para mahasiswa. Tentunya akan termasuk pula
kemungkinan semua ketentuan-ketentuan tambahan atau
perubahan dalam tata penulisan tesis jika ada yang diberlakukan
sejak awal pembuatan proposal penelitian ini sampai pada
penyelesaian pelaporan tesis ini nanti, sejauh diinformasikan atau
sampai kepada kami para mahasiswa. Masukan dan gaya kedua
dosen pembimbing tesis ini tentu tidak dapat penulis abaikan pula.

I. F. Sistematika Penulisan Tesis


Tesis ini ditulis dalam lima bab. Bab I berisi pendahuluan

67 Kedua buku itu adalah: 1. Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah, Pedoman Akademik Program Magister (Jakarta: UIN Jakarta,


2012); 2 Hamid Nasuhii, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan
Disertasi) Cet.-1 (Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah, 2007).

25
yang menguraikan semua latar atau alasan, signifikasi termasuk
batasan masalah, posisi penelitian ini di antara beberapa penelitian
relevan lain yang sudah pernah ada, serta tentu tujuan dan manfaat
yang ingin dicapai. Kemudian penulis pandang penting juga untuk
menyampaikan pengantar konsep Lǐ (理) oleh Zhū Xī (朱熹) secara
umum untuk kemungkinan pembaca yang hanya akan sampai pada
bab I itu. Dalam bab ini juga disampaikan metodologi dan
penjelasan singkat tentang pendekatan-pendekatan yang dipakai
dalam penelitian ini.
Dalam bab II dibahas perkembangan dan perubahan makna
konsep Lǐ (理) dalam kitab-kitab klasik Konfusianisme, yakni kitab
Shījīng (詩經), kitab Shūjīng (書經) kitab Lǐjì (禮記) dan kitab Yìjīng
(易經). Pada bagian ini disampaikan singkat pula bagaimana konsep
Lǐ (理) dipakai dalam pemikiran beberapa karya di luar kitab klasik
Konfusianisme dan kemudian dilanjutkan dengan pemikiran konsep
Lǐ (理) di tangan dua tokoh pemikir Konfusianisme melalui
kitabnya masing-masing, kemudian dalam tangan lima orang Neo-
Konfusian Dinasti Sòng Utara pendahulu Zhū Xī (朱熹), semuanya
diupayakan kronologis.
Adapun bab III membahas konsep Lǐ (理) oleh tokoh utama
Neo-Konfusianisme Zhū Xī (朱熹) meliputi riwayat hidup dan
sumbangsih beliau dalam dunia Neo-Konfusianisme, kemudian akan
dilanjutkan dengan uraian hubungan Lǐ (理) dengan beberapa
konsep sekunder lain yang terkait dengan asal-usul alam semesta
(kosmogoni). Pembahasan dan pemahaman Zhū Xī (朱熹) mengenai
hubungan antara konsep Lǐ (理) dengan konsep-konsep Tàijí (太極)
dan Qì (氣) akan dielaborasi lebih banyak karena erat hubungannya
dengan ide mengenai asal-usul alam semesta menurut Neo-
Konfusianisme. Bab III itu dilengkapi pula dengan uraian singkat
tentang kehidupan religius serta perkembangan Lǐ (理) setelah Zhū
Xī, dalam hal ini para penerus dan kritikus konsep Lǐ (理) Zhū Xī.
Terakhir disampaikan pula bagaimana pengaruh pemikiran Zhū Xī
itu meluas ke luar Tiongkok khususnya ke Korea dan Jepang.
Tesis ini dilanjutkan dengan bab IV yang meninjau serta
menilai aspek atau elemen transendensi-imanensi yang eksis pada
konsep Lǐ-Qì (理-氣) Zhū Xī (朱熹). Di sana dilengkapi pula dengan

26
pandangan transendensi-imanensi beberapa orang ahli/peneliti
yang membicarakan atau melakukan studi tentang Lǐ (理). Akhirnya
dalam suatu sub-bab tersendiri dalam batasan umum dan dengan
latar sebagai umat sekaligus rohaniwan Khonghucu Indonesia
penulis akan mencoba memberikan pandangan pribadi, menilai
atau menginterptrestasikan aspek imanensi-transendensi konsep
Lǐ-Qì (理-氣) Zhū Xī (朱熹) ini.
Bab paling akhir yakni bab V adalah kesimpulan dan saran
tesis ini. Penulis menyajikan isi bab ini dalam bentuk uraian
paragrafis dan point-point untuk bagian kesimpulan, sedangkan
untuk bagian saran penulis tulis langsung dalam bentuk point-point.

27
28
BAB II
PERKEMBANGAN MAKNA KONSEP LǏ (理)

II.A. Aksara理 (Lǐ), Perubahan Makna dan Penerjemahannya.


Dilihat pada kamus Tionghoa umum, aksara理 (Lǐ) memiliki
banyak makna, antara lain: 1 barik-barik (urat kayu, batu pualam,
dll.) 2 alasan, akal sehat, logika 3 Ilmu alam 4 mengurus, mengatur,
menangani, mengelola 5 membenahi, memberesi1 . Makna-makna
yang disampaikan dalam kamus ini tentu dihasilkan para ahli
kamus dari perjalanan sejarah aksara itu sendiri ketika pertama kali
aksara itu muncul sampai aksara itu mengalami evolusi termasuk
penafsiran dan berbagai pemakaiannya yang mungkin telah
melibatkan pula kesepakatan para pakar bahasa/kamus termasuk
tentu para filsuf.
Dalam bahasa Tionghoa suatu ‘kata’ terwakili oleh satu atau
lebih ‘aksara (字zì, bahasa Inggrisnya character)’. Ditinjau dari
bangun aksara 理 (Lǐ) terlihat bahwa ‘akar kata (部首bùshǒu
radical)’ sisi kiri aksara itu adalah aksara 玉 (yù) yang bermakna
antara lain: 1 putih bersih atau cantik 2 batu giok (batu permata)2,
sedangkan akar sisi kanannya adalah aksara 里 (Lǐ) bermakna
antara lain: 1 sebelah dalam 2 satuan ukuran panjang Tiongkok3.
Batu permata telah menjadi objek yang penting dalam agama dan
filsafat Konfusianisme sejak zaman klasik, misalnya sebagaimana
dikutib Profesor Xinzhong Yao bahwa dalam kitab Zhōulǐ (周禮
kitab Kesusilaan Dinasti Zhōu)4, batu permata, di samping sutera

1 Penulis mengacu kepada dua kamus: 1 Xiānzhuó Cáo (曹先擢) dkk. Xiàndài

H{nyǔ Cídiǎn (現代漢語詞典) edisi ke-5 (Beijing: Shāngwù Yìnshūguǎn 商務印書,


2007), h. 835; serta 2 Liji Liang dkk., Kamus Praktis Tionghoa-Indonesia, Indonesia-
Tionghoa (印度尼西亞語-漢語漢語-印度尼西亞語實用詞典), oleh Team Kamus
Universitas Peking, versi Indonesia Cetakan ke-1. (Jakarta: Dian Rakyat, 2001), h.
188.
2 Liji Liang dkk., Kamus Praktis Tionghoa-Indonesia, Indonesia-Tionghoa (印度

尼西亞語-漢語漢語-印度尼西亞語實用詞典), oleh Team Kamus Universitas Peking,


versi Indonesia Cetakan ke-1. (Jakarta: Dian Rakyat, 2001), h. 367
3 Liang dkk., Kamus Praktis Tionghoa-Indonesia, h. 188.
4 Zhōulĭ (周禮) atau Kitab Kesusilaan Dinasti Zhōu (周朝) sebagai kitab suci

yang berisi tata kesusilaan dan tata negara Dinasti Zhōu (周朝, 1122 SM--255 SM)

29
dan hewan korban, adalah salah suatu peranti dalam
persembahyangan besar (dàsì 大祀)5. Kemudian pada ‘zaman
peperangan antar negara (戰國時代zhànguó shídài)’6 batu permata
(giok) memang telah dikaitkan pula dengan aksara 理 (Lǐ)7. Dengan
demikian dapat dipahami jika sebagian ahli telah berpendapat
bahwa makna aksara 理 (Lǐ) pada masa-masa sesudahnya akan
berarti ‘pola’ atau ‘susunan’ (pattern) yang kiranya muncul dari
pengamatan barik-barik (urat atau pola) bahan batu permata8.
Selanjutnya kita lihat akar (radical) sisi kanan aksara aksara理
(Lǐ) yakni aksara 里 (lǐ), sementara aksara 里 (lǐ, sebelah dalam;
satuan ukuran panjang Tiongkok) sendiri terdiri dari aksara 田
(tián) di bagian atasnya yang bermakna ‘ladang, tanah garapan atau
sawah’9 serta aksara 土(tǔ) di bagian bawahnya yang bermakna
‘tanah, wilayah, daerah’10. Dengan demikian maka dapat dimaklumi
jika ada kemunculan aksara 理(Lǐ) dalam suatu kitab klasik
Konfusianisme (yakni kitab Shījīng 詩經) yang memiliki makna
‘membagi lahan persawahan menjadi bagian-bagian kecil’.
Dalam pemakaiannya yang lebih luas, disamping bermakna
pola atau barik-barik (urat) batu permata sebagaimana
disampaikan sebelumnya, aksara 理 (Lǐ) telah menjadi lebih meluas

sebagai bagian dari kitab Lĭjīng (禮經), ditulis terutama oleh Nabi Zhōu Gōng Dàn
(周公旦); Lihat Tjhie, Tjay Ing. dkk., Kamus Istilah Keagamaan Khonghucu, dalam
Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu),
selanjutnya akan disingkat KIK Khonghucu, Cet-1. ISBN 978-602-8766-97-5.
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2014), h. 615.
5 Xinzhong Yao, An Introduction to Confucianism (New York: Cambridge

University Press, 2000), h. 193.


6 Zhànguó shídài (戰國時代) artinya ‘zaman peperangan antar negara’,

merupakan suatu periode sejarah Tiongkok bertahun 403 SM--221 SM sebagai


periode yang kacau selepas Nabi Kŏngzĭ wafat, zaman yang juga banyak terkait
dengan tokoh dan peristiwa dalam sejarah agama dan filsafat Konfusianisme; Lihat
Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 566.
7 Wing-tsit Chan, The Evolution of the Neo-Confucian Concept Li as Principle in

the Tsing Hua Journal of Chinese Studies n.s 4/2 (Beijing: Univ. Tsing Hua, 1964),
h. 128--129.
8 John H. Berthrong and Evelyn M. Berthrong, Confucianism: A Short

Introduction (Oxford: Oneworld Oxford, 2004), h. 98.


9 Liang dkk., Kamus Praktis Tionghoa-Indonesia, h. 299.
10 Liang dkk., Kamus Praktis Tionghoa-Indonesia, h. 306.

30
pemakaiannya dan telah tiba pada pengertian penjelasan untuk
suatu “sebab’ atau untuk suatu ‘alasan’ keberadaan sesuatu. Oleh
kaum Neo-Konfusian aksara 理 (Lǐ) telah dipakai sebagai penjelasan
yang bersifat deskriptif untuk: ‘mengapa sesuatu itu seperti itu’ atau
untuk melukiskan: ‘bagaimana sesuatu itu terjadi’11. Jadi dalam hal
ini aksara 理 (Lǐ) telah mengalami ‘perluasan makna’ dalam
perubahan bahasa ilmu linguistik sebagaimana disampaikan dalam
bab I.
Ketika aksara 理 (Lǐ) ditelaah atau dikaji oleh pihak yang
bukan pemakai bahasa Tiongoa, permasalahan lain yang timbul
adalah pada soal translasi aksara理 (Lǐ) ini. Kita mengetahui bahwa
dalam proses alih-bahasa suatu istilah atau konsep dari suatu
bahasa satu ke bahasa lain tentu akan timbul atau menyimpan
permasalahan. Dalam proses penerjemahan suatu istilah dari suatu
bahasa asal ke bahasa yang lain sangat mungkin ‘makna lengkap
dan utuh’ dari istilah asal itu akan tidak terwakili sepenuhnya oleh
suatu kata atau bahkan suatu frasa bahasa lain yang mengalih-
bahasakannya. Apalagi bahasa Tionghoa itu terwakili dengan
simbol-simbol bahasa yang berbentuk aksara (character), maka
kesulitan penerjemahannya tentu menjadi bertambah. Disamping
memang aksara 理 (Lǐ) unik dengan maknanya yang khas, bahasa
terjemahan yang dipakai untuk menerjemahkannya tentu juga
memiliki keterbatasan atau ‘ketidakmampuan’ untuk
menyampaikan semua makna yang terkandung pada aksara 理 (Lǐ).
Dalam hal ini, bahasa-bahasa Barat termasuk Bahasa Inggris dan
juga Bahasa Indonesia tentu tidak mampu seutuhnya
mengungkapkan makna aksara 理(Lǐ). Giovanni Maciocia (Mǎ
W{nlǐ 馬萬里, seorang Doktor praktisi ilmu pengobatan TCM)
menyatakan “… banyak sinologis setuju bahwa sulit bahkan tidak
mungkin menerjemahkan suatu istilah filsafat Tionghoa dengan
tepat, saat kita (orang Barat, penulis) menerjemahkan istilah itu kita
telah mendistorsinya dengan cara pandang yang bukan Tionghoa12.

11 John W Krummel, Transcendent or Immanent? Significance and History of Li

in Confucianism. (Journal of Chinese Philosophy 37:3 (September 2010), h. 417.


12 Gionanni Maciocia (Mǎ W{nlǐ 馬萬里), Note on The Translation of Chinese

Terms; Artikel imliah, published online in Giovanni own Website:

31
Maciocia dengan mengutip Ames lanjut mengatakan bahwa:
“…Bahasa-bahasa Barat kita berorientasi pada substansi dan karena
itu sangat relevan pada penjelasan dunia yang ditentukan oleh hal-
hal yang bersifat ‘terpilah-pilah, objektif dan berketetapan’. Bahasa
milik kita ini akan keliru menggambarkan dan menafsirkan sebuah
dunia bahasa Tionghoa yang terutama dicirikan oleh ‘kontinuitas,
proses dan menjadi/berubah’ (continuity, process and becoming)..”13.
Penegasan ini kiranya dapat memberikan tambahan penjelasan
kepada kita mengapa nanti aksara 理 (Lǐ) akan diterjemahkan
dengan banyak variasi atau alternatif, seperti akan segera
disampaikan di bagian berikut.
Namun untuk keperluan praktis atau mungkin untuk
memenuhi kebutuhan minimal dalam memahami isi suatu
transkrips atau teks, para ahli bahasa dan para sinolog dalam hal ini
tentu perlu menyepakati suatu kata yang paling mendekati
terjemahan makna aksara 理 (Lǐ). Dalam bahasa Inggris kata itu
adalah kata ‘principle’ yang padanan dalam dalam Bahasa
Indonesianya adalah kata ‘asas’ atau ‘prinsip’ (penulis akan selalu
menggunakan term ‘asas/prinsip’). Tentu saja di tangan para
sinologi atau para ahli filsafat dan perbandingan agama berbahasa
Inggris misalnya terdapat juga berbagai alternatif terjemahan untuk
aksara 理 (Lǐ) ini selain kata ‘principle (asas/prinsip), yakni misal:
“…order (tata-tertib/keteraturan), pattern (pola/susunan), dan
reason (sebab/alasan)…”14. Bahkan, di luar dari empat terjemahan
tadi masih ada terjemahan lainnya seperti: “…coherence
(pertalian/hubungan), law (hukum/dalil), form (bentuk/
kondisi)” . Banyaknya alternatif pilihan terjemahan aksara 理 (Lǐ)
15

ini membuktikan bahwa memang aksara 理 (Lǐ) itu tidak mudah


untuk diterjemahkan begitu saja.

http://www.giovanni-maciocia.com/pdf/ terminology.pdf; accesed on December


2017, h. 2.
13 Gionanni Maciocia, Note on The Translation of Chinese Terms, h. 2--3.
(Maciocia mengutip Ames dalam karya Ames: Focusing the Familiar – A Translation
and Philosophical Interpretation of the Zhong Yong, University of Hawai’i Press,
Honolulu, pp. 6 to 16).
14 Wing-tsit Chan (editor), Chu Hsi and Neo-Confucianism (Honolulu Hawai:

University of Hawaii Press, 1986), h. xii dan 631.


15 Krummel, Li…Its Significance and History, h. 417.

32
Oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin),
aksara 理(Lǐ) yang muncul dalam kitab-kitab suci Khonghucu yang
sudah selesai dialih-bahasakan hampir semuanya diterjemahkan
dengan kata ‘hukum’. Misalnya pada bagian pengantar kitab
Zhōngyōng (中庸kitab Tengah Sempurna)16, demikian juga dalam
bagian Babaran Agung kitab Perubahan (Yìjīng)17, serta bagian
Pembahasan Berbagai Trigram kitab Perubahan (Yìjīng)18.
Disamping itu terdapat juga terjemahan aksara 理 (Lǐ) dalam bagian
lain kitab Perubahan sebagai: ‘pola hukum’19. Semua makna ‘hukum’
dalam kitab Yìjīng kebanyakan memiliki kecenderungan kepada
persoalan kosmogoni atau penjadian alam semesta. Ada juga
‘hukum-hukum (laws)’ yang dipakai sebagai salah satu alternatif
terjemahan bagi aksara 理 (Lǐ) oleh Profesor Xinzhong Yao dalam
karyanya ‘An introduction to Confucianism’20.
Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)
memang belum begitu mendalami konsep Lǐ (理) ini, dalam arti
selain terjemahan lama (yaitu ‘hukum’) dalam kitab-kitab yang
disebutkan di atas, masih belum terdapat usaha yang cukup luas
bagi studi tentang Lǐ (理) di luar itu. Salah seorang umat sekaligus
tokoh agama Khonghucu Indonesia yang telah melakukan studi,
mendalami dan menulis tentang Lǐ (理) adalah almarhun Profesor
Lee T. Oei. Namun setahu penulis, sebagian besar tulisan beliau
tentang konsep Lǐ (理) yang disampaikan kepada bagian penerbitan
Matakin adalah karya terjemahan. Domisili beliau di Amerika
mungkin juga menjadi faktor penyebab akses dan hubungan dengan
Matakin tidak begitu intens. Beliau kelahiran kota Semarang Jawa
Tengah dan telah beberapa kali datang ke tanah air dalam menemui
kerabat-keluarganya dan juga pimpinan Matakin. Karya-karya

16 Lihat Bagian Pengantar Kitab Zhongyong dalam Kitab Sishu, Terbitan (Solo:

Matakin, .
17 Lihat Bagian Babaran Agung (Xìcízhuàn繫辭傳/Dàzhuàn大傳) A.A.I:8: dari

Kitab Yijing (Matakin, Yinli 2536 /Masehi 1985), h. 137.


18 Lihat Bagian Pembahasan Berbagai Trigram (Shuōguà 說卦) I:3 Kitab Yijing

(Solo: Matakin, Yinli 2536 /Masehi: 1985), h. 164.


19 Lihat Bagian Pembahasan Berbagai Trigram (Shuōguà 說卦) II:4 Kitab

Perubahan (Yìjīng, 易經) (Solo: Matakin, Yinli 2536 /Masehi 1985), h. 164.
20 Yao, An Introduction to Confucianism, h. 41.

33
beliau terdapat dalam terbitan Matakin; Seri Genta Suci Konfusiani
(SGSK) mungkin telah dapat diakses seluruhnya oleh penulis.
Terjemahan utama (yang paling sering dipakai) oleh Profesor Oei
bagi aksara Lǐ (理) adalah kata ‘asas’21.
Dalam beberapa sub-bab berikutnya akan diperlihatkan
evolusi aksara 理 (Lǐ) sampai ia menjadi bermakna ‘asas/prinsip’
sebagaimana makna Lǐ (理) Neo-Konfusianisme. Demikian juga
akan disampaikan perkembangan konsep Lǐ (理) di tangan lima
filsuf-agamawan Neo-Konfusian Dinasti Sòng Utara sebagai tokoh-
tokoh kunci pendahulu yang memberikan jalan yang lebih jelas bagi
pemantapan agama dan filsafat eksponen utama Neo-Konfusianme:
Zhū Xī.

II.B. Aksara 理 (Lǐ) di Luar Kitab-kitab Klasik Konfusianisme.


Pada bab I telah disinggung bahwa ide tentang Lǐ (理) ini tidak
saja eksis dalam dunia pemikiran Konfusianisme dan Neo-
Konfusianisme, namun juga dalam kalangan aliran pemikiran
Tionghoa yang lain. Pada bagian awal itu juga telah kita batasi
bahwa pembahasan mendalam makna Lǐ (理) oleh aliran pemikiran
lain tidak dibahas dalam tesis ini. Namun dalam membicarakan
perkembangan atau evolusi konsep Lǐ (理) adalah perlu untuk
menyinggung sedikit tentang kemunculan dan bahsannya dalam
aliran-liran pemikiran yang lain. Maka sebelum membahas lebih
detil kemunculan dan makna aksara 理(Lǐ) dalam beberapa kitab
klasik Konfusianisme, tapi sebelumnya akan disampaikan singkat
kemunculan dan pemakaian aksara 理(Lǐ) di luar kitab-kitab klasik
Konfusianisme, baik menyangkut pada nama suatu tokoh dan atau
nama kitab.
Mòzǐ (墨子, 479 SM--438SM) adalah filsuf dan agamawan non-
Konfusian masa dini yang juga telah menggunakan aksara 理(Lǐ)
dalam menyampaikan ajaran agama dan fisafatnya. Tercatat aksara
理(Lǐ) ini muncul tujuh kali dalam karya Mòzǐ, dengan makna

21 Lihat misalnya tulisan terjemahan Profesor Lee T. Oei berjudul Chu Hsi dan

Anwiksika Agama Konfuciani, yang dimuat dalam Seri Genta Suci Konfuciani (SGSK)
29/2006 (Solo: Matakin Bagian Penerbitan, 2006), h. 1--31.

34
‘mengatur’, ‘tata-tertib’ sampai kepada ‘asas/prinsip’22. Tercatat
pula kemunculan frasa ‘asas/prinsip kebenaran’ Yìlǐ (義理), bahkan
dalam naskah-naskah aliran Moist belakangan, aksara tersebut
hanya bermakna asas/prinsip saja23. Akan tetapi karena dalam
sejarah tercatat bahwa paham pemikiran Mohist sendiri lalu tidak
begitu populer, dan bahkan memudar pada sekitar abad keempat
SM, maka ekplorasi aksara 理(Lǐ) oleh kaum Mohist tentu dengan
sendirinya tidak berlanjut. Meski demikian, aksara itu telah semakin
meluas dan dipakai baik oleh kaum Daoist dan Buddhist serta
berbagai kalangan cendekiawan tertentu lainnya.
Zhuāngzǐ (莊子, 399 SM--295 SM) adalah orang nomor dua
dalam aliran pemikiran Daoisme. Dalam karyanya yang diberi judul
sama dengan namanya: ‘Zhuāngzǐ’ aksara 理(Lǐ) kerap muncul
dengan makna-makna ‘mengatur’ dan ‘tata-tertib’. Walaupun pada
‘bab dalam (nèipiān 內篇)’ yakni bagian yang menurut para ahli
ditulis oleh Zhuāngzǐ sendiri, aksara 理(Lǐ) hanya muncul sekali,
namun di bagian “bab luar’ dan bab ‘lain-lain’ aksara 理 (Lǐ) muncul
cukup kerap. Dalam tangan Zhuāngzǐ juga tercatat pertama kali
dalam sejarah Tiongkok aksara 理(Lǐ) dikaitkan dengan aksara 義
(Yì kebenaran) dan aksara 道 (Dào jalan suci) sehingga muncul
frasa Yìlǐ (義理) dan frasa D{olǐ (道理)24. Disamping Yìlǐ dan D{olǐ,
kitab Zhuāngzǐ telah juga memunculkan frasa Tiānlǐ (天理
prinsip/hukum Tiān)25, tentu dengan pemahaman yang sesuai
dengan aliran pemikiran Daoisme.
Perlu dicatat bahwa dalam pemakaian aksara 理(Lǐ) yang luas
dalam kitab Zhuāngzǐ terutama dalam ‘bab luar’ dan ‘bab lain lain’
aksara 理(Lǐ) yang bermakna asas/prinsip telah dikontraskan
dengan dengan kata ‘fakta’, dengan demikian理 (Lǐ) sendiri tentu

22 Chan, The Evolution, h. 125.


23 Chan, The Evolution, h. 125.
24 Untuk frasa Yìlǐ (義理) dapat ditemui misal pada Zhuāngzǐ edisi SPTK bab XI

(di bawah judul Nánhuá Zhēnjīng 南華真經); dan untuk frasa D{olǐ (道理) misal
dapat ditemui pada bab-bab XVII:620B dan 33:10.32B; sebagaimana dikutib Chan
dalam The Evolution, h. 144.
25 Zhuāngzǐ edisi SPTK, misalnya dalam bab III:2.13A dan 31:10.7A

sebagaimana dikutib Chan dalam The Evolution, h. 144.

35
abstrak. Hal lain yang perlu disampaikan dan diperhatikan adalah
bahwa di dalam kitab itu aksara 理 (Lǐ) juga telah meliputi
pemaknaan yang berkenaan dengan persoalan yang ‘banyak’ dan
yang ‘tunggal’, atau persoalan yang ‘khusus’ dan yang ‘umum’26.
Di bagian sebelumnya telah disampaikan bahwa sejak ‘zaman
zhànguó (戰國時代 zaman peperangan antar negara)’ aksara 理 (Lǐ)
telah dikaitkan dengan batu giok (permata). Di dalam naskah
Yǐnwénzi (尹文子)27 dikatakan bahwa orang di negara bagian Zhèng
(鄭) menamakan玉 (yù batu permata) yang belum ‘di-Lǐ’ sebagai pú
(璞batu kasar)28. Sedangkan dalam kitab Zhànguó Cè (戰國策)29
dikatakan orang di negara bagian Zhèng (鄭) menyebut玉 (yù batu
permata) yang belum ‘di-zhì (治 yakni digosok)’ sebagai pú (璞batu
kasar)30. Demikian pula dalam kitab Hánfēizi (韓非子)31 dikatakan
bahwa ketika batu kasar telah di-lǐ (理) sehingga telah menjadi
suatu benda berharga maka batu itu disebut ‘zhìyù (治玉 batu
permata yang terpoles/tergosok)’32. Semua pemakaian aksara 理
(Lǐ) itu memperlihatkan bahwa maknanya adalah ‘memoles’ atau
‘menggosok’. Itulah sebabnya jika misalnya kita periksa dalam
kitab/kamus Shuōwén Zìdiǎn (說文字典) aksara itu bermakna
utama ‘memotong dan memoles/mengasah batu giok’ (yaitu 雕琢玉

26 Chan, The Evolution, h. 125--126.


27 Yǐn Wénzi ( kira-kira 360 SM--280 SM) adalah seorang cendikiawan dari
zaman zhànguó (戰國) berasal dari negara bagian Qí (齊國) pada era Raja Qí
Xuānwáng (齊宣王). Jadi sezaman dengan Mèngzi (孟子); lihat
baike.baidu.com/item/尹文子.
28 Dari Naskah Yǐnwénzi (尹文子) edisi SPTK bagian 13:b, sebagaimana dikutib

Chan dalam The Evolution, h. 128--129.


29 Zhànguó Cè adalah teks Tionghoa kuno yang berisi pemaparan tentang

strategi dan peperangan politik selama periode Negara Berperang (Zhànguó), buku
yang menggambarkan strategi dan pandangan politik Sekolah Diplomasi pada
zaman itu.
30 Dari Naskah Zhànguó Cè (戰國策) edisi SPPY bagian 28:4a sebagaimana

dikutib Chan dalam The Evolution, h. 129.


31 Hánfēizi adalah teks Tionghoa kuno yang dikaitkan dengan filsuf politik

Guru Hánfēi (韓非). Berisi esai-esai pilihan dalam tradisi kaum Legalis tentang
teori kekuasaan negara, yang memadukan metodologi dari para pendahulunya.
32 Dari Naskah Zhànguó Cè (戰國策) edisi SPPY bagian 23,8:5a sebagaimana

dikutib Chan dalam The Evolution, h. 129.

36
石diāo zhuó yùshí atau singkatnya治玉zhìyù)33.
Oleh Jiǎ Yí (賈誼, 201SM--169 SM)34 dikatakan bahwa aksara
理 (Lǐ) juga telah dikaitkan dengan batu permata (giok). Dalam
suatu karyanya dikatakan bahwa enam prinsip bentuk, sifat dan
bahan semua dapat diungkapkan dengan batu permata. Jiǎ Yí juga
menyatakan bahwa makna Lǐ adalah membedakan ciri-ciri35.
Kemudian dikatakan dalam Băihŭtōng (白虎通, sebuah karya
Konfusiani tapi bukan merupakan bagian kitab klasik
Konfusianisme)36, bahwa batu permata itu menyimbolkan
kebajikan, dan bahwa seorang Jūnzi (君子, insan paripurna,
susilawan) memiliki prinsip tengah dan prinsip universal/semesta
dan bahwa dengan ‘Lǐyì (禮義kesusilaan/tata upacara/ritual dan
kebenaran)’ akan terdapat prinsip-prinsip pembedaan37. Di sini
makna Lǐ (理) telah terkait dengan salah satu pokok bahasan utama
Neo-Konfusianisme yang mengaitkan Lǐ (理) dengan moralitas pada
manusia yakni dengan ‘sifat asli’ atau ‘watak sejati’ manusia (Xìng
性). Jadi di sana arti dan makna Lǐ (理) tidak saja bermakna pola
atau hukum atau asas/prinsip yang menjadi sebab dan alasan alam
semesta namun juga telah menyangkut pada legislasi atau

33 Antara lain penulis telah memeriksa dalam Kamus Shuōwén Zìdiǎn (說文字
典) versi Elektronik produksi; Shuōwén Zìdiǎn Gōngzuò Shìnèi (說文字典工作室內)
Ver 3+.
34 Jiǎ Yí (賈誼) dengan gelar Jià Shēng (價生 cendikiawan Jià) adalah seorang

penulis, penyair dan politisi pada zaman Dinasti Hàn Barat (西漢), seorang
intelektual dengan gelar ‘Profesor’ zaman klasik (yakni: bóshì 博士), beliau penulis
buku Xīnshū (新書).
35 Dari karya Jiǎ Yí berjudul Xīnshū (新書) esisi SPPY bagian 8:7a dan 8:7b

sebagaimana dikutib Profesor Chan dalam The Evolution, h. 129.


36 Băihŭtōng (白虎通) menunjuk sebuah mahakarya himpunan sejarawan Bān

Gù (班固, 32--92M) berisi tulisan-tulisan hasil pembahasan para tokoh Khonghucu


(terutama Dŏng Zhōngshū 董仲舒, 179SM--104SM) yang dikukuhkan dengan judul
lengkap Báihŭtōng Délùn (白虎通德論) atau Băihŭ Tōngyì (白虎通義); istilah ini
juga mengacu pada kegiatan musyawarah besar di Gedung Harimau Putih
(Báihŭguàn 白虎觀) pada tahun 79 M, dalam kegiatan itu para tokoh Khonghucu
(bóshì 博士) menggelar musyawarah besar untuk membicarakan tentang kitab-
kitab suci khususnya Wŭjīng (五經); lihat Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK
Khonghucu, h. 483.
37 Chan, The Evolution, h. 129.

37
kehadirannya dalam diri manusia. Demikian pula Lǐ (理) tidak saja
berarti dan bermakna pola namun juga telah menyangkut pada soal
pembedaannya. Dari makna ‘mengatur’ juga diluaskan menjadi
bermakna ‘membedakan’ atau ‘memilah’.
Pada bagian selanjutnya kita tiba pada bagian yang lebih detil
menjelaskan kemunculan dan atau pemakaian aksara 理 (Lǐ) dalam
kitab-kitab klasik Konfusianisme.

II.C. Aksara 理 (Lǐ) dalam Kitab-kitab Klasik Konfusianisme.


Neo-Konfusianisme berasal dari Konfusianisme Klasik (atau,
untuk maksud penyederhanaan selanjutnya dapat disebut sebagai
Konfusianisme saja)38, dengan kata lain ia adalah hasil
perkembangan Konfusianisme, maka walaupun ide utama Neo-
Konfusianisme yang diwakili oleh aksara 理 (Lǐ) mengalami evolusi
makna di sepanjang sejarahnya, baik sebelum dan selama
pembentukan Neo-Konfusianisme, namun kemunculan aksara 理
(Lǐ) ini dapat dilacak pula dari pemikiran Konfusianisme, yakni
dalam kitab-kitab klasik Konfusianisme.
Suatu fakta yang perlu dikemukakan adalah bahwa jika
ditelusuri lebih mendalam akan ditemui bahwa aksara 理 (Lǐ)
tidaklah merupakan konsep utama Konfusianisme. Bahkan dalam
sebagian kitab klasik Konfusianisme konsep ini tidak muncul39,
kalaupun aksara 理 (Lǐ) muncul dalam beberapa kitab
Konfusianisme yang lainnya, namun ia belum memiliki pengertian
atau makna sesolid sebagaimana pengertian Lǐ (理) pada masa
pembentukan sampai masa puncak Neo-Konfusianisme40. Dari lima
kitab Klasik Konfusianisme yang ada, kitab Chūnqiūjīng (春秋經
kitab Musim Semi dan Gugur) sama sekali tidak membahas tentang
理 (Lǐ).
Dalam kemunculan terawalnya yakni dalam kitab Shījīng (詩

38 Pemakaian kata ‘klasik’ yang dirangkai dengan kata Konfusianisme adalah

dengan maksud mempertegas adanya perbedaan dengan Neo-Konfusianisme.


Namun untuk maksud penyederhanaan pada penyebutan-penyebutan selanjutnya
penulis sebut saja dengan Konfusianisme (tanpa klasik), tapi dengan catatan
pengertian itu sebenarnya menunjuk pada Konfusianisme klasik.
39 Chan, The Evolution, h. 123.
40 Chan, The Evolution, h. 123.

38
經 kitab Sanjak) aksara 理 (Lǐ) memiliki arti atau digunakan dalam
arti-arti: ‘membentuk’, ‘mengatur’, ‘membedakan’ yang merupakan
verba. Sedangkan dalam kitab Shūjīng (書經 kitab Dokumentasi
Sejarah) ia muncul atau digunakan dalam arti ‘mengatur’ yang juga
sebagai kata verba. Adapun dalam kitab Lĭjì (禮記 kitab Catatan
Kesusilaan) aksara 理 (Lǐ) muncul cukup kerap baik dengan makna
verba: ‘mengatur’ maupun makna nomina: ‘asas/prinsip’. Bahkan di
sana telah eksis pula frasa ‘Yìlǐ (義理asas/prinsip kebenaran)’ dan
frasa ‘Tiānlǐ (天理asas/prinsip Tiān)’41. Dalam kitab Yìjīng (易經
kitab Perubahan) khususnya dalam beberapa bagian kitab
penjelasan/tafsirannya, aksara itu muncul beberapa kali dengan
makna verba: ‘mengatur’, ‘mengurutkan’ serta ada pula
kemunculannya dengan makna nomina: ‘pola/patern’ dan juga
‘asas/prinsip’. Pada pemberian judul sub-sub-bab berikut penulis
membedakan ‘aksara理 (Lǐ)’ dan ‘konsep Lǐ (理)’ pada masing-
masing dua kitab klasik, hal mana dalam hemat penulis pada dua
kitab klasik yang disampaikan terlebih dahulu aksara 理 (Lǐ ) belum
tegas bermakna konsep Lǐ (理) sebagaimana pada dua kitab
sesudahnya.
Berikut ini akan disampaikan secara lebih detail kemunculan,
arti dan makna aksara 理 (Lǐ) dalam empat kitab klasik
Konfusianisme itu.

1. Aksara 理 (Lǐ) dalam Kitab Sanjak (Shījīng 詩經).


Kitab Shījīng (書經) 42 merupakan kitab tertua dan salah satu
dari lima kitab Wŭjīng (五經 kitab Yang Lima) yakni kitab yang
‘mendasari’ agama Khonghucu. Profesor Wing-tsit Chan telah
memeriksa bahwa kitab Shījīng (詩經) adalah karya Konfusianisme
terdini yang di dalamnya tercatat muncul aksara 理(Lǐ) 43. Namun
dalam kemunculan awalnya itu, aksara 理(Lǐ) belum bermakna kata

41 Chan, The Evolution, h. 123--124.


42 Kitab Shījīng adalah salah satu dari kitab yang mendasari’dalam agama
Khonghucu, berisi kumpulan sanjak atau teks nyanyian-nyanyian purba (abad 16
SM--7 SM), dan disebut juga kitab Kuncup Bunga (Pājīng 葩經); Lihat Tanuwibowo
dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 572.
43 Chan, The Evolution, h. 123.

39
benda asas/prinsip (principle) tapi masih merupakan verba yang
bermakna ‘meletakkan dalam urutan (to put in order)’, ‘membeda-
bedakan (to distinguish)’ serta ‘membentuk (to form)’. Misalnya
dalam satu kemunculannya muncul dalam frasa: “…wǒ jiāng wǒ lǐ 我
疆我理, bermakna: ‘kami tentukan batas-batansnya dan membentuk
bagian-bagian kecil’…”44. Terlihat bahwa konteks frasanya memang
sedang membicarakan tentang penentuan batas-batas lahan dan
pembentukan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil suatu area
persawahan45. Walaupun sifat aksara 理 (Lǐ) dalam ayat kitab itu
masih merupakan verba namun Profesor Demievill sebagaimana
dikutib Profesor Wing-tsit Chan menyatakan aksara 理(Lǐ) dalam
frasa itu telah tersirat memiliki makna ‘pola (pattern)’46.
Kemudian aksara 理(Lǐ) muncul juga dalam bagian pengantar
kitab itu dalam bentuk frasa jiānglǐ (疆 理) yang bermakna
“mengatur (to put in order)’47. Dalam terjemahan kitab Shījīng,
Matakin mengartikan aksara 理(Lǐ) yang muncul beberapa kali
dalam kitab itu dengan kata ‘membuat’48. Dalam hemat penulis
dengan melihat konteks ayat suci tersebut dapat dipahami bahwa
pemakaian aksara 理(Lǐ) dalam ayat itu untuk membicarakan
bagaimana ‘mengatur’ bagian-bagian persawahan yang merupakan
sarana mata pencaharian dan perhatian utama masyarakat
Tiongkok zaman purba yakni bidang pertanian. Bidang pertanian
adalah hal keseharian yang akan menjamin masyarakat terpenuhi
kebutuhan pangannya. Bidang pangan adalah salah satu tugas dan
tanggung jawab utama pemerintah kekaisaran. Memikirkan pangan
bagi rakyat adalah salah satu fungsi rénzhèng (仁政 pemerintah
yang berdasarkan peri cinta kasih atau kemanusiaan rén (仁).
Dalam sejarah Suci Agama Khonghucu diketahui bahwa kitab Sanjak
memang merupakan kitab yang tertua dalam deretan kitab-kitab
Konfusianisme klasik. Perhatian utama para raja, para nabi dan para

44Chan, The Evolution, h. 123.


45Chan, The Evolution, h. 123.
46 Chan, The Evolution, h. 123.
47 Chan, The Evolution, h. 123.
48 Lihat Kitab Sanjak (Shījīng 詩經) II,VI:6.1 (Solo: Matakin, Yinli 2536 /Masehi

1985), h. 334.

40
filsuf zaman itu sebagaimana yang disampaikan dalam kitab Shījīng
masih berpusat pada persoalan kemanusiaan (rén 仁) belum
membahas secara intens tentang metafisika dan kosmogoni.
Sebagai tambahan, frasa jiānglǐ (疆 理) yang muncul dalam
kitab Shījīng ini terulang pula dalam tafsir resmi kitab Chūnqiūjīng
(春秋經 kitab Musim Semi dan Gugur)49 yakni kitab Zuŏzhuàn (左傳
)50. Dalam kitab itu tertera bahwa “…Para raja purba jiānglǐ (疆理)
dunia ini sehingga produk pertaniannya cocok dan manfaatnya
meningkat (先王疆理天下, 物土之宜而布其利)…”51. Filsuf Du Yu (杜
預, 222M--284M) sebagaimana dikutib Profesor Wing-tsit Chan
menyatakan aksara 疆 (jiāng) bermakna ‘batas-batas’ sedangkan
aksara 理(Lǐ) bermakna ‘membenarkan atau mengatur’52.
Dari uraian-uraian di atas dapat kita lihat bahwa kemunculan
aksara 理 (Lǐ) dalam kitab Sanjak ini baru bersifat mengisyaratkan
adanya makna “keteraturan’ atau ‘pola’. Walaupun makna “pola”
telah ada dalam penilaian Profesor Demievill sebagaimana yang
disampaikan di atas, namun secara umum aksara 理(Lǐ) yang
muncul dalam kitab Shījīng ini belum terlihat dengan jelas memiliki
makna sebagai ‘asas/prinsip’ sebagaimana makna konsep itu dalam
Neo-Konfusianisme.

49 Chūnqiūjīng(春秋經) merupakan kitab Catatan Sejarah Zaman Chūnqiū (春秋

, musim semi dan gugur, 722 SM--481 SM); ditulis oleh Nabi Kŏngzĭ (551 SM--479
SM) sebagai salah satu kitab suci yang tergabung dalam kitab Wŭjīng (五經),
disebut juga kitab Kilien/Kilin atau kitab Línjīng (麟經), betapa pentingnya kitab ini
maka kemudian beberapa ahli menulis kitab tafsirnya; untuk hal ini lihat
Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 497--498.
50 Zuŏzhuàn ( 左傳) bermakna tafsir Zuŏ, adalah kitab tafsir atas Kitab

Chūnqiūjīng (春秋經) yang ditulis oleh Zuŏ Qiūmíng (左丘明) seorang murid
sekaligus sahabat Nabi Kŏngzĭ, yang juga penulis kitab catatan sejarah untuk
berbagai wilayah Dinasti Zhōu (周朝) yang dinamai Kitab Guóyŭ (國語);
merupakan tafsir yang paling serasi dengan Kitab Chūnqiūjīng (春秋經), di
dalamnya berisi penilaian dan cerita-cerita yang lebih luas; lihat Tanuwibowo dan
Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 619.
51 Lihat Kitab Zuŏzhuàn (左傳) khususnya bagian 成公二年 Pasal 2.
52 Chan, The Evolution, h. 123.

41
2. Aksara 理 (Lǐ) dalam Kitab Dokumentasi Sejarah (Shūjīng
書經).
Kitab Shūjīng (書經 kitab Dokumentasi Sejarah)53 juga
merupakan salah satu dari lima kitab Wŭjīng (五經 kitab Yang
Lima) yakni kitab yang ‘mendasari’ agama Khonghucu. Di dalam
kitab itu aksara 理 (Lǐ) misalnya muncul dalam frasa “…xièlǐ Yīn-
yáng (燮理陰陽)…54’, oleh Matakin diterjemahkan sebagai
‘mengharmoniskan dan mengatur sesuai hukum Yīn-yáng. Di sini
sekali lagi terlihat bahwa aksara Lǐ (理) masih muncul dalam makna
‘mengatur’ namun telah secara pas dikaitkan dengan kata ‘hukum’,
hal mana karena obyek dalam frasa itu adalah Yīn-yáng (陰陽) yang
merupakan peristilahan dalam ranah hukum alam (kosmos) dan
hukum hubungan antar manusia55 .
Aksara 理(Lǐ) yang muncul dalam kitab Shūjīng ini terlihat
juga belum secara mantap memiliki makna nomina sebagai
asas/prinsip sebagaimana konsep Neo-Konfusianisme. Dalam
bagian selanjutnya kita akan melihat aksara 理(Lǐ) yang muncul
dalam kitab yang lain dengan makna yang semakin mengarah pada
makna asas/prinsip Neo-Konfusianisme.

3. Konsep Lǐ (理) dalam Kitab Catatan Kesusilaan (Lĭjì 禮記)


Kitab Lĭjì (禮記 atau Catatan Kesusilaan)56 merupakan kitab
suci agama Khonghucu sebagai bagian dari kitab Lĭjìng (禮經 kitab

53 Shūjīng (書經) adalah kitab yang berisi teks-teks yang berkenaan dengan
sabda, peraturan, nasihat, dan maklumat para raja dan nabi yang meliputi zaman
Raja-Nabi Táng Yáo (唐堯 2356 SM--2255 SM) dan Yú Shún (虞舜, memerintah
2255 SM--2205 SM) sampai ke zaman Raja Muda Qín Mùgōng (秦穆公, 659 SM--
621 SM); lihat Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 574.
54 Untuk Terjemahan lengkap bagian yang mengandung frasa itu Lihat Kitab

Dokumentasi Sejarah (Shūjīng書經) V.XX.III:5 yakni bagian Zhōuguān (周官),


(Solo: Matakin, 2004), h. 250.
55 Dalam kitab Kitab Yìjīng (易經 Kitab Perubahan ) bagian Xìcízhuàn (繫辭傳 )

disebut bahwa satu Yīn dan satu Yáng itulah Dào (道, jalaci).
56 Lĭjì ( 禮記) atinya Catatan Kesusilaan, yaitu kitab yang berisikan tentang

pranata-pranata sosial, administrasi pemerintahan dan tata peribadahan yang


berlaku pada dinasti Zhōu (周朝, 1122 SM--255 SM); lihat Tanuwibowo dan Tjhie
dkk., KIK Khonghucu, h. 543.

42
Kesusilaan)57. Sedangkan kitab Lĭjìng adalah bagian dari kitab
Wŭjīng (五經 kitab Yang Lima). Dalam file kitab Lĭjì penulis telah
memeriksa bahwa aksara Lǐ ( 理) muncul sebanyak tiga-puluh tiga
kali58. Profesor Chan menyatakan sebagian aksara itu masih
bermakna verba ‘mengatur’ dan sebagian lainnya sudah bermakna
nomina ‘asas/prinsip’59. Penulis menemukan pula suatu
kemunculan aksara 理 (Lǐ) dalam kitab ini yang dikaitkan atau
disamakan dengan Lĭ (禮upacara/ritual/kesusilaan) yakni: “… Nabi
bersabda ‘Lǐ/kesusilaan itulah Lĭ/hukum (asas/prinsip) yang
rasional, dan yuè/musik adalah jié/pembatas yang membentuk
harmoni’ 子曰: ‘ 禮也者 理也 樂也者 節也’…”60. Dalam bagian
lanjutan akan kita temui bahwa terdapat filsuf-agamawan Neo-
Konfusianisme yang telah mengaitkan Lǐ (理asas/prinsip) dengan Lĭ
(禮upacara/ritual/ kesusilaan) misalnya Chéng Hào (lihat bagian
II.H.1) dan oleh Zhāng Zài (Lihat bagian II.G).
Contoh kemunculan konsep Lǐ ( 理) dalam kitab Lĭjì (禮記)
adalah dalam bagian Lǐqì (禮器, peralatan persembahyangan), di
sana dikatakan “…Kebenaran dan hukum itulah wujud keindahan
kesusilaan 義理禮之文也…”61. Kemudian dikatakan pula di dalam
bagian Yuèjì (樂記 catatan musik) bahwa “…Hukum yang berlaku
bagi berlaksa-benda saling bergerak sesuai jenisnya 而萬物之理 各
以其類相動…”62. Sedangkan bagian yang penting lainnya yang
mengaitkan aksara Lǐ ( 理) dengan aksara Tiān (天, Tuhan, Langit)

57 Kitab Lĭjīng totalnya terdiri atas tiga bagian, yakni (1) Catatan Kesusilaan

(Lĭjì 禮記) (2) kitab Peribadatan dan Kesusilaan (Yílĭ 儀禮), dan (3) Kitab
Kesusilaan Dinasti Zhōu (Zhōulĭ 周禮); lihat Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK
Khonghucu, h. 543-544.
58 Pemeriksaan penulis pribadi pada file versi elektronik kitab Lĭjì dengan

sumber versi WWW.chinesetextproject.com.


59 Chan, The Evolution, h. 124.
60 Lihat buku ke-XXV.10 Kitab Lĭjì (禮記), (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005),

h. 562.
61 Lihat buku ke-VIII.I:1.2 Kitab Lĭjì (禮記), (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005),

h. 259.
62 Lihat buku ke-XVII.II:2.14 Kitab Lĭjì (禮記), (Jakarta: Pelita Kebajikan, 005),

h. 414.

43
menjadi frasa Tiānlǐ (天理) yang dalam bentuk negasi menyebutkan
bahwa: “…memadamkan kesadaran tentang hukum Tuhan yang
ada dalam dirinya, dan menjadikan keinginan manusia berkembang
tidak terbatas 滅天理而窮人欲者也…”63. Frasa Tiānlǐ (天理) ini
merupakan salah satu sumber konsep Lǐ (理) terpenting yang
sering dikutib dan para filsuf-agamawan Neo-Konfusianisme64.
Jelas terlihat dalam beberapa bagian kitab ini bahwa konsep Lǐ
(理) telah lumayan jelas nampak arahnya menuju kepada
pemahaman sebagai ‘asas/prinsip’ sebagaimana yang dimaksudkan
oleh para tokoh Neo-Konfusianisme.

4. Konsep Lǐ (理) dalam Kitab Perubahan (Yìjīng 易經).


Kalangan masyarakat Konfusian meyakini secara bulat bahwa
Konfusius (孔子, Nabi Kŏngzĭ) adalah penulis ‘Sepuluh Sayap
(Shíyì 十翼)’ yakni bagian penjelasan atau tafsir utama kitab
65

Perubahan (Yìjīng 易經). Penganut agama Khonghucu bahkan


mengimani penuh bahwa tidak saja Sepuluh Sayap adalah buah
kalam Nabi Kŏngzĭ namun telah menjadi bagian tak terpisahkan
dari teks kitab Perubahan, dengan demikian kitab Yìjīng (易經) bagi
masyarakat Konfusian dalam kemunculannya selalu disertai Shíyì
(十翼), atau tegasnya Shíyì (十翼) adalah suatu kesatuan dengan
kitab Yìjīng.
Jika ditelusuri sejarah pembentukan kitab Perubahan (yang

63 Lihat buku ke-XVII.I:1.12 Kitab Lĭjì (禮記), (Jakarta: Pelita Kebajikan, 005),
h. 403.
64 Chan, The Evolution, h. 124.
65 Sepuluh Sayap, Ten Wings atau Shíyì (十翼) adalah dokumen komentar atau
tafsir Kitab Perubahan (Yìjīng 易經) yang terdiri atas sepuluh bagian, sebagai hasil
rumusan atas wahyu yang turun kepada Nabi Kŏngzĭ melalui ibundanya, berisi
uraian yang menjelaskan segala sesuatu tentang kitab Yìjīng, terdiri dari: dua buah
dokumen ‘Sabda’ (Tuànzhuàn 彖傳 A dan B), dua buah dokumen ‘Babaran Peta’
(Xiàngzhuàn 象傳 A dan B), dua buah dokumen ‘Babaran Agung’ (Dàzhuàn 大傳
atau Xìcízhuan 繫辭傳 A dan B), satu dokumen ‘Babaran Rohani’ (Wényán 文言),
satu dokumen ‘Pembahasan Berbagai Heksagram’ (Shuōguà 說卦), satu dokumen
‘Susunan Berbagai Heksagram’ (Xùguà 序卦), dan satu dokumen ‘Paduan Berbagai
Heksagram’ (Záguà 雜卦); Lihat Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu hal.
572--573.

44
meliputi zaman baginda Raja-Nabi Fúxī sampai zaman Nabi Agung
Kŏngzĭ) dan wahyu-wahyu (Tiānxī 天錫, yang juga disebut Tiāncì 天
賜 karunia Tiān )66 yang menyertai para Nabi itu, di sana setidaknya
akan ditemui lima wahyu melalui lima nabi besar yang ikut
mengerjakan kitab Perubahan67. Nabi Kŏngzĭ merupakan nabi
terakhir yang menangani kitab itu dan kemudian tertuang dalam
karyanya yang dinamakan ‘Sepuluh Sayap’.
Sepuluh Sayap pada hakikatnya merupakan penjelasan,
pengarah atau dapat dikatakan sebagai tafsir awal resmi kalangan
Konfusian atas teks asli kitab Perubahan (Yìjīng 易經). Sepuluh
Sayap merupakan sumber yang paling kuat dalam penetapan
konsep Lǐ (理) dengan makna ‘asas/prinsip’ sebagaimana
dimaksudkan oleh penulisnya: Nabi Kŏngzĭ. Di dalam Sepuluh Sayap
itu konsep Lǐ (理) muncul beberapa kali, terutama pada bagian
Babaran Rohani (Wényán 文言)68, Babaran Agung (Dàzhuàn 大傳,
atau disebut juga Xìcízhuàn 繫辭傳)69, serta Pembahasan Berbagai
Heksagram (Shuōguà 說卦)70.

66 Tiānxī (天錫) wahyu Tuhan; sebagai bentuk karunia pemberian Tuhan


kepada beberapa manusia khusus, sebagai hasil interaksi suci antara para manusia
khusus itu dengan Tuhan; Tiānxī ( 天錫) memiliki sinonim dengan istilah lain: frasa
‘karunia Tuhan’ (Tiāncì 天 賜); lihat Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h.
583.
67 Lihat entri Wu Tianxi pada KIK Khonghucu oleh Thjie dkk., h. 590.
68 Wényán ( 文言) oleh Matakin diterjemahkan sebagai ‘babaran Rohani,

merupakan salah satu dari Sepuluh Sayap (Shíyì 十翼) kitab Yìjīng sebagai
pelengkap bagian ‘Babaran’ (Xiàngzhuàn 象傳) yang khusus terdapat pada
heksagram urutan ke-1 dan 2 kitab Yìjīng, juga oleh Nabi Kŏngzĭ; lihat Tanuwibowo
dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 589.
69 Dàzhuàn (大傳) diterjemahkan matakin sebagai ‘Babaran Agung’ sebagai

salah satu dari Sepuluh Sayap (Shíyì 十翼) kitab Yìjīng yang ditulis oleh Nabi
Kŏngzĭ, berisi penjelasan dan uraian berbagai hal terkait penafsiran makna ayat-
ayat kitab Yìjīng atau seluruh jalinan sistem yang ada dalam kitab itu; dikenal juga
dengan sebutan Xìcízhuan; Lihat KIK Khonghucu h. 597 dan 503--504.
70 Shuōguà (說卦) diterjemahkan Matakin sebagai: ‘Pembahasan Berbagai

Heksagram’; merupakan salah satu bagian dari Sepuluh Sayap (Shíyì 十翼) kitab
Yìjīng, ditulis oleh Nabi Kŏngzĭ, membahas hubungan berbagai guà (heksagram)
yang terdapat dalam kitab tersebut; lihat Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK
Khonghucu, h. 574.

45
Dalam Babaran Rohani (Wényán 文言) khusus untuk
heksagran Kūn (坤) 2 dikatakan bahwa: “…Sang Susilawan (Jūnzĭ
君子) dengan lambang ‘kuning’ dan ‘tengah’ memahami hukum
Tuhan 君子黃中通理…”71. Dalam Babaran Agung (Dàzhuàn 大傳)
bagian A dikatakan bahwa “…Dengan memiliki kemudahan dan
kewajaran maka akan dapat memahami hukum atas isi kolong
langit (dunia); dan dengan dapat memahami hukum atas isi kolong
langit (dunia) ini maka akan mampu menyempurnkan
kedudukannya agar berada di tengah 易簡 而天下之理得矣天 下之
理得 而成位乎其中矣…” 72. Sedangkan dalam bagian Pembahasan
Berbagai Heksagram (Shuōguà 說卦) dikatakan bahwa: “…Dengan
sepenuhnya di dalam hukum itu dan berkembang sempurnanya
watak sejati, maka sampailah pada firman Tuhan 窮理盡性以至於命
…”73. Ayat suci pada Shuōguà ini telah menjadi acuan kunci bagi
para Filsuf dan agamawan Neo-Konfusianisme dalam hal
mengartikan Lǐ ( 理) sebagai asas/prinsip, dan maka sering dikutip
oleh para filsuf agamawan Neo-Konfusanisme. Demikan juga dalam
bagian lain Shuōgu{ dikatakan: “…Dahulu nabi membukukan Yijing
dengan mematuhi pola hukum yang merupakan perwujudan watak
sejati dan firman 昔者聖人之作易也 將以順性命之理…”74. Kembali
di sini ditemukan suatu hal yang sangat penting yakni keterkaitan
antara konsep asas/prinsip dengan konsep ‘watak sejati (性xìng)’
serta ‘firman/perintah/takdir (命 mìng)’.
Di dalam Sepuluh Sayap kitab Yìjīng inilah aksara 理 (Lǐ )
dalam pengertian konsep Lǐ (理) yang sesuai dengan konsep utama
Neo-Konfusianisme telah sepenuhnya jelas, sehingga menjadi
sumber rujukan utama paling dini konsep Lǐ (理) oleh para filsuf-
agamawan Neo-Konfusianisme.

71 Lihat Babaran Rohani (Wényán 文言) ayat ke-enam untuk Heksagram kūn
(坤) dalam Kitab Yìjīng (易經), (Solo: Matakin, 1985) h. 11.
72 Lihat Babaran Agung (Dàzhuàn 大傳) bagian (A).A:1.8 dalam Kitab Yìjīng

(易經), (Solo: Matakin, 1985) h. 137.


73 Lihat Pembahasan Berbagai Heksagram (Shuōguà 說卦) Bab I.3 dalam Kitab

Yìjīng (易經), (Solo: Matakin, 1985) h. 164.


74 Shuōguà (說卦) Bab II.4 dalam Kitab Yìjīng (易經), (Solo: Matakin, 1985) h.

164.

46
Yang terakhir yang perlu dikemukakan adalah ayat dalam
Dalam Babaran Agung (Dàzhuàn 大傳) A:12 yang kelak akan
dihubung-eratkan dengan Lǐ (理) berbunyi: “…apa itu yang hadir
‘sebelum berbentuk (xíng ér shàng 形而上, metafisik)’ adalah Dào
(道), sedangkan apa yang hadir ‘setelah berbentuk (xíng ér xià 形而
下, fisik)’ merupakan qì (器 instrumen/alat/benda konkrit)…”75.

II.D. Konsep Lǐ ( 理) pada kitab Mèngzĭ (孟子) dan Xúnzĭ (荀子).


Mèngzĭ (孟子, 371 SM--289 SM)76 dan Xúnzĭ (荀子, sekitar 298
SM--238 SM)77 adalah dua tokoh besar Konfusianisme yang hidup di
penghujung kurun Dinasti Zhōu (周朝, 1122 SM--255 SM), tepatnya
pada periode yang disebut ‘zaman peperangan antar negara (戰國
時代 zhànguó shídài, 403 SM--221 SM)’78. Mèngzĭ adalah tokoh
mainstream dalam Konfusianisme, dan bahkan digelari ‘wakil nabi
(亞聖 yàshèng)’, sedangkan Xúnzĭ adalah tokoh yang relatif tidak
begitu populer bila dibandingkan Mèngzĭ.
Kehidupan Mèngzĭ mirip dengan Nabi Kŏngzĭ. Seperti Nabi
Kŏngzĭ, beliau lahir di negara bagian Lǔ (魯, sekarang di provinsi
Shāndōng 山東 Tiongkok). Seperti Nabi Kŏngzĭ, beliau seorang guru
profesional, dan awalnya adalah seorang murid dari cucu Nabi

75 Untuk terjemahan versi Matakin berbunyi: “maka yang di atas bentuk


dinamai Jalan Suci dan yang di bawah bentuk dinamai alat”; lihat Babaran Agung
(Dàzhuàn 大傳) bagian (A).B:78 dalam Kitab Yìjīng (易經), (Solo: Matakin, 1985),
h. 148.
76 Mèngzĭ (孟子) berasal dari negara bagian Zōu (鄒) sekarang di kota

Zōuchéng (鄒城) propinsi Shāndōng (山東) merupakan penganut utama sekaligus


penegak ajaran Nabi Kŏngzĭ pada zamannya sekaligus salah satu dari sìpèi (四配,
empat pendamping Nabi Kŏngzĭ), beliau bernama asli Mèng Kē (孟軻, 371 SM--289
SM) dan bergelar wakil nabi atau Yàshèng (亞聖); Lihat juga sebagian penjelasan
itu dalam Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 549.
77 Xúnzĭ alias Xún Kuàng (荀況) berasal dari negara bagian Zhào (趙), seorang

filsuf dari zaman zhànguó (戰國時代) dengan perhatian utama pada doktrin-
doktrin ketatanegaraan.
78 Zhànguó shídài (戰國時代) atau zaman peperangan antar negara merupakan

periode sejarah Tiongkok bertahun 403 SM--221 SM sebagai zaman yang kacau
selepas Nabi Kŏngzĭ wafat, zaman yang juga banyak terkait dengan tokoh dan
peristiwa dalam sejarah agama Khonghucu; Lihat Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK
Khonghucu, h. 608.

47
Kŏngzĭ. Seperti Nabi Kŏngzĭ beliau mengidolakan para raja-nabi
purba. Seperti Nabi Kŏngzĭ beliau hidup dalam periode perjuangan
politik, kekacauan moral, dan konflik intelektual. Seperti Nabi
Kŏngzĭ beliau merasa memiliki misi untuk menegakkan ajaran
Konfusianisme dan juga merasa berkewajiban meluruskan "doktrin-
doktrin yang menyimpang79. Dalam mencapai tujuan ini beliau
berani berdebat dengan para filsuf-agamawan dan menyerang
lawan-lawan debatnya, terutama para pengikut Mòzǐ (墨子, 479 SM-
-438SM) dan Yáng Zhū (楊朱, 440 SM--360 SM?)80. Seperti Nabi
Kŏngzĭ beliau melakukan perjalanan dari satu negara bagian ke
negara bagian yang lain (bahkan sampai selama empat puluh tahun)
untuk menawarkan sarannya kepada para penguasa supaya
melakukan reformasi pemerintahan. Seperti Nabi Kŏngzĭ, beliau
pernah menjabat sebagai seorang pejabat yakni di negara bagian Qí
(齊). Seperti Nabi Kŏngzĭ, dia adalah seorang anak berbakti yang
mengambil cuti tiga tahun untuk melakukan perkabungan bagi
ibunya. Serta seperti Nabi Kŏngzĭ setelah berkelana sekian lama
Mèngzĭ juga akhirnya kecewa, pensiun dan kembali ke
kampungnya81. Setelah pensiun itulah beliau banyak menerima
murid dan berdiskusi dengan mereka. Para muridnya misal
terutama Wàn Zhāng (萬章) akhirnya menulis pemikirannya dalam
buku termasyur berjudul Mèngzĭ yang akhirnya menjadi bagian dari
kitab utama Agama Khonghucu.
Jikalau Nabi Kŏngzĭ hanya menyiratkan bahwa ‘watak sejati’
manusia (yakni xìng 性) itu baik, namun Mèngzĭ berjalan lebih jauh,
beliau menyatakan dengan pasti bahwa xìng (性) pada dasarnya
baik. Beliau adalah filsuf-agamawan yang pertama melakukan
penafsiran demikian, dan dengan dasar teori ‘watak sejati manusia

79 Wing-tsit Chan (ed.). A Source Book of Chinese Philosophy (Princeton:

Princeton University Press, 1963), h. 49.


80 Ajaran kedua beliau ini disebut Yáng-Mò zhī dào (楊墨之道) maksudnya

ajaran Yáng Zhū (楊朱) dan Mò Dì (墨翟); di satu pihak Yáng Zhū mengajarkan
pementingan diri sendiri yang tidak menghiraukan kebutuhan orang lain serta
tidak mengakui adanya pemimpin/pembimbing, sedangkan di pihak lain Mò Dì
mengajarkan cinta sama-rata (兼愛 Jiān’{i) yang tidak mengakui dan membedakan
orang tua sendiri dengan orang lain.
81 Chan, Source Book, h. 49.

48
itu baik (性本善 xìng běn shàn)’ itulah Mèngzĭ menyampaikan
beberapa inti pemikirannya yang terkait moralitas, yang
sebagaimana disampaikan Profesor Chan, dapat disarikan sebagai
berikut82:
(1) Manusia memiliki ‘pengetahuan bawaan tentang kebaikan’
(yang disebut liángzhī 良知, innate knowledge, Matakin
menerjemahkan frasa itu sebagai ‘kecerdasan asli’ dan
‘kemampuan bawaan untuk melakukan kebaikan’ (yang
disebut liángnéng良能, innate ability, Matakin
menerjemahkannya sebagai ‘kemampuan asli’) ; Liángzhī
83

nanti banyak dipakai oleh Neo-Konfusianisme sayap idealis.


(2) Bahwa jika manusia dapat menyelami 'hati-pikiran’(心)-nya
dengan sebaik mungkin maka manusia dapat ‘melayani Tuhan
(shì Tiān 事天)’ dan ‘memenuhi takdirnya (lì mìng 立命,
Matakin menerjemahkan sebagai ‘menegakkan firmannya)’84;
(3) Awal kejahatan itu bukannya sudah terdapat dalam diri
manusia, namun karena kegagalan dan ketidakmampuan
manusia sendiri untuk menghindari pengaruh jahat dari
luar85; pandangan ini nanti dipakai oleh neo-Konfusian baik
oleh sayap ideal maupun sayap rasional. Moralitas dan awal
kejahatan juga merupakan topik bahasan utama Neo-
Konfusianisme.
(4) Upaya serius mesti dilakukan untuk memulihkan watak sejati
manusia; dan
(5) Akhir pembelajaran tidak lain adalah ‘mencari hati yang lepas
(求其放心)’86.
Dari beberapa hal yang sudah disampaikan di atas, hal yang

82 Chan, Source Book, h. 50.


83 Lihat Kitab Mèngzĭ VIIA:15.1.
84 Lihat Kitab Mèngzĭ VIIA:1.1-3. Sedangkan untuk pengertian心(hati-pikiran:

alat merasa dan berpikir) lihat ‘empat permulaan’ dalam Kitab Mèngzĭ IIA:6.1-7,
dan Daftar Istilah terlampir.
85 Untuk pemahaman point ini lihat Kitab Mèngzĭ VIA:8.1-3 dalam Kitab Sìshū

(四書 Kitab Yang Empat), versi Dwilingual dengan Transliterasi H{nyŭ Pīnyīn oleh
Team P3K Deroh Matakin (Jakarta: Matakin, diperbanyak oleh Bimas Khonghucu
PKUB Kemenag RI, 2013), h. 789--791.
86 Lihat Kitab Mèngzĭ VIA:11.3 dalam Kitab Sìshū; h. 797.

49
perlu disampaikan pula adalah bahwa teori Mèngzĭ tentang
kebaikan watak sejati manusia ini telah memberikan pengaruh yang
sangat luar biasa pada keseluruhan gerakan Konfusianisme sejak
beliau mempromosikannya sampai di masa kini. Pandangan inipun
tetap dipakai oleh para filsuf-agamawan Neo-Konfusianieme,
termasuk oleh Zhū Xī. Pandangan yang telah menjadi ide
mainstream dalam pemikiran filsafat dan agama Khonghucu,
menjadi salah satu ciri imanensi dalam Konfusianisme dan Neo-
konfusianisme
Xún Kuàng (荀子, 298 SM--238 SM) alias Xúnzĭ (荀子) lebih
menaruh perhatian besar kepada persoalan administrasi
pemerintahan dan ritual. Pengaruh Xúnzĭ cukup besar bahkan lebih
besar daripada Mèngzĭ terkhususnya dalam suatu babakan sejarah
pemikiran Tiongkok melalui penekanannya pada bidang logika dan
psikologi dan pemikirannya tentang kontrol negara. Pemikiran itu
berkontribusi pada timbulnya otoriterisme dan bermuara pada
kediktatoran dinasti sesudah masa hidupnya, yakni dinasti singkat
Qín (秦朝, 221 SM--207 SM). Pemikiran itu kelak dikembangkan
lebih lanjut ke arah dan dasar yang agak berbeda oleh seseorang
murid Xún, yakni H|n Fēi (韓非), dengan mengkristalnya paham
pemikiran Legalisme yang mendominasi Dinasti Qín (秦朝). Adapun
pegaruh pemikiran Xúnzĭ sendiri bahkan berlanjut sampai awal
dinasti masyur Hàn (漢朝, 206 SM--220 M), walaupun setelah itu
paham Mèngzĭ menggantikan mendominasi. Pemahamam Xúnzĭ
terhadap Tiān (天) sedemikian naturalistik, menyerupai paham
Taoisme, maka pemikirannya digolongkan sebagai ‘Konfusianisme
Naturalisme’, sedangkan Mèngzĭ lebih tertarik pada hal-hal yang
ideal sehingga pemikirannya disebut aliran ‘Konfusianisme
Idealisme’87.
Kedua tokoh ini memiliki perbedaan pendapat dalam hal

87 Lihat misalnya Chan, Source Book, h. 49 dan 115.

50
memandang watak sejati manusia (性 xìng). Mèngzĭ berpendapat
watak manusia itu baik (性 本善 xìng běn shàn) sedangkan Xúnzĭ
berpendapat watak sejati manusia itu buruk (性本惡 xìng běn è )88.
Mèngzĭ mewakili sayap ideal paham pemikiran Konfusianisme
sedangkan Xúnzĭ mewakili sayap natural89. Walaupun demikian
kedua filsuf ini keduanya paling tidak sama dalam meyakini tiga hal
yakni bahwa:
1. Semua manusia berpotensi mencapai kesempurnaan
berdasarkan kemanusiaan dan kebenaran (仁義 Rényì) sebagai
kebajikan tertinggi,
2. Mengakui pentingnya mengikuti pola pemerintahan raja
bijaksana,
3. Pendidikan itu memegang peranan yang sangat penting dalam
pembentukan karakter manusia90.
Berbicara tentang Lǐ ( 理) Xúnzĭ memiliki bagian kajian yang
lebih intens dan kerap bila dibandingkan dengan Mèngzĭ. Bagian
selanjutnya akan membicarakan bahasan konsep Lǐ (理) kedua
tokoh itu.
1. Konsep (理) dalam Kitab Mèngzĭ (孟子).
Penulis telah memeriksa bahwa aksara 理
(Lǐ ) hanya muncul tujuh kali dalam kitab
Mèngzĭ (孟子) dan kemunculannnya itu terjadi
dalam tiga bagian ayat yang terpisah. Dalam
Kemunculannya pada jilid VIIB:19-pun hanya
bermakna ‘bergantung kepada’91, dan tidak
mengandung signifikansi filosofis92. Namun

Gambar-1. Mèngzĭ (孟子)


88 Chan, Source Book, h. 115. Sbr: Wen H.M., Chinese
89 Chan, Source Book, h. 115. Philosophy, h. 29.
90 Chan, Source Book, h. 115.
91 Kalimat lengkapnya: 貉稽曰“稽大不理於口“, oleh Zhū Xī lǐ (理) pada bagian

ayat itu dipahami sebagai ‘bergantung kepada’ (lài賴); lihat buku Anotasi Kitab
Mèngzĭ oleh Zhū Xī: Mèngzi (Sòng) Zhū Xī Jízhù孟子送朱熹集注 Terbitan baru
dengan dukungan oleh Prof. Tāng Ēnjiā 湯 恩 佳 (Hongkong: Kǒngji{o Xuéyu{n
Chūbǎn 孔教學院出版, 2011), h. 200.
92 Chan, The Evolution, h. 126.

51
pada kemunculannya dalam jilid VB:1.6 aksara Lǐ (理) yang muncul
dalam frasa ti|olǐ (條 理) yang berkenaan dengan pujian Mèngzĭ
bagi Nabi Kŏngzĭ dengan perumpamaan suatu kesempurnaan
performa orkestra musik dengan makna ‘suatu
keteraturan/kerapihan’ atau ‘suatu prosedur’.
Kemudian yang terpenting adalah kemunculannya pada jilid
VIA:7.8 di sana dikatakan (sebagaimana terjemahan Matakin)
bahwa “…hukum itulah kebenaran 謂理也 義也…”. Di sini pertama
kalinya dalam Konfusianisme kebenaran diidentikkan dengan
hukum atau asas/prinsip. Bahkan dalam bagian ayat lanjutannya
terdapat juga frasa ‘hukum/prinsip kebenaran’ (Yìlǐ 義理).
Dinyatakan pula bahwa Lǐ (理) dan Yì (義) dapat diresapi baik oleh
seorang nabi maupun orang biasa, dan bahwa keduanya bisa
membawa kesukaan bagi hati manusia. Kemunculan Lǐ (理) sebagai
‘hukum/prinsip kebenaran’ dalam bagian kitab Mèngzĭ jilid VIA ini
sama penting dan sentral dengan kemunculannya dalam Sepuluh
Sayap kitab Yìjīng, serta juga menjadi acuan utama para Neo-
Konfusian dalam membangun filsafatnya kelak pada zaman Dinasti
Sòng93.

2. Konsep Lǐ (理) dalam Kitab Xúnzĭ (荀子).


Xúnzĭ (荀子) adalah tokoh yang
kontroversial dalam Konfusianisme. Arus
utama (mainstream) Konfusianisme mengakui
dan memahami bahwa ‘sifat’ atau ‘watak sejati
(xìng 性)’ dalam diri manusia itu baik adanya,
namun Xúnzĭ berpandangan sebaliknya.
Demikianlah Xúnzĭ berada di ekstrim
berseberangan dengan Mèngzĭ. Tapi, menurut
Doktor Oesman Arif, “…Xun Zi telah
Gambar-2: Xúnzĭ (荀子);
Sumber: Wen H.M., menjabarkan filsafat Konfusianisme menjadi
Chinese Philosophy, h. 56. filsafat praktis dan realistis, akibatnya
filsafat Konfusianisme menjadi filsafat yang

93 Chan, The Evolution, h. 126.

52
sangat akrab dengan kehidupan rakyat…94”.
Di bidang telaah aksara Lǐ (理) kitab Xúnzĭ relatif memiliki
lebih banyak catatan untuk dilihat dan diketahui dibandingkan
dengan kitab Mèngzĭ. Dalam karyanya yang juga dinamakan Xúnzĭ,
konsep Lǐ (理) tidak saja bermakna atau bernuansa
universal/umum atau umum namun sekaligus juga bermakna
bervariasi dan spesifik/khusus95. Aksara 理(Lǐ) banyak sekali
muncul dalam karya Xúnzĭ, kemunculan yang terdapat pada hampir
semua bagian bukunya. Di samping kemunculannya dengan makna
verba: ‘meletakkan pada ketertiban/ keteraturan (to put in order)’96,
juga kemunculan dengan makna nomina sebagai: ‘ketertiban order’
dan atau “pola (pattern wénlǐ 文理)’97 juga sangat kerap.
Sebagaimana juga dalam kitab Mèngzĭ (孟子) muncul juga frasa
‘prinsip kebenaran (yìlǐ 義理)’98’ bahkan dalam frasa ‘prinsip moral
(d{olǐ 道理)’99 sebagaimana terjemahan Profesor Chan. Bahkan
terdapat pula frasa ‘prinsip langit dan bumi (tiānxià zhī lǐ 天下之
理)’100 serta ‘prinsip yang agung (d{lǐ 大理)’101.

II.E. Konsep Lǐ (理) di Tangan Neo Konfusian: Zhōu Dūnyí.


Zhōu Dūnyí (周敦頤, 1017 M--1073 M)102 adalah pioner Neo-

94 Oesman, Arif. Penyelenggaraan Negara Menurut Filsafat Xunzi, Disertasi S3

Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta, 2007), h. 113.


95 Chan, The Evolution, h. 126.
96 Misalnya pada edisi SPTK Hsün Tzu bab IX:5.12a dan Bab XVII:11.23B,

sebagaimana sumber kutipan Chan dalam The Evolution, h. 126.


97 Misalnya Hsün Tzu bab VII:3.23A, bab XXII:16.11A dan baba XIX:13.3A,

sebagaimana kutipan dan footnote Chan dalam The Evolution, h. 126


98 Untuk yìlǐ misalnya dalam edisi SPTK Hsün Tzu pada bab XV:10.13B,

XXI:19.5A dan XXVII19.5B, sebagaimana kutipan dan footnote Chan dalam The
Evolution, h. 126
99 Untuk d{olǐ misalnya dalam edisi SPTK Hsün Tzu pada bab II:1.24B, I:1.14B

dan XXII:16.10A sebagaimana kutipan dan footnote Chan dalam The Evolution, h.
126.
100 Lihat edisi SPTK Hsün Tzu bab XII:7.3A sebagaimana kutipan dan footnote

Chan dalam The Evolution, h. 126


101 Lihat misalnya edisi SPTK Hsün Tzu bab XXI:15.1A dan 18:12.5A

sebagaimana kutipan dan footnote Chan dalam The Evolution, h. 126.


102 Zhōu berasal dari Dàozhōu (道州) kabupaten Yíngdào(營道, sekarang ini di

propinsi Húnán 湖南). Memiliki banyak sebutan: nama pribadinya Dūnyí (敦頤)

53
Konfusianisme yang membuka babakan dan arah aliran pemikiran
tersebut. Melalui dua risalah singkat karya beliau: Tàijítú Shuō (太極
圖說An Explanation of the Diagram of the Great Ultimate, Penjelasan
Tentang Bagan Mutlak Besar) dan Tōngshū (通書Penetrating the
Book of Change, Menembus kitab Perubahan) beliau meletakkan pola
metafisika termasuk juga kosmogoni dan etika bagi Neo-
Konfusianisme103.
Beliau juga adalah Neo-Konfusian awal
yang telah mulai menggunakan istilah Lǐ (理)
dalam karyanya Tōngshū (通書) dengan suatu
pernyataan bahwa: “…hanya jika Yīn (陰) dan
Yáng (陽) bekerja menurut Lǐ (理) maka
mereka berada dalam keadaan harmoni…”104.
Namun konsep terpenting yang disumbangkan
Zhōu kepada neo-Konfusianisme adalah
Gambar-3: Zhōu Dūnyí
konsep Tàijí (太極).
(周敦頤), Sumber: Tàijí (太極, Mutlak Besar/Maha Kutub,
Wen H.M, Chinese
Philosophy, h. 103.
Great Ultimate) adalah konsep yang lebih kuno
yang menunjuk pada sesuatu Yang Mutlak
dalam Konfusianisme, istilah yang telah ada lebih dulu sebelum
zaman Neo-Konfusianisme, tepatnya terdapat dalam Sepuluh Sayap
yakni penjelasan/komentar atas kitab Perubahan (Yìjīng 易經) yang
ditulis oleh Nabi Kŏngzĭ, terkhususnya dalam bagian bernama
Babaran Agung (大傳 Dàzhuàn, yang juga disebut Xìcízhuàn 繫辭
傳). Dalam Babaran Agung antara lain terdapat penjelasan tentang
Tàijí yang terkait kosmogoni sebagai berikut:
“Maka dikatakan dalam sistem Yì (易, perubahan/kejadian) terdapatlah
Tàijí (太極, Mutlak Besar/Maha Kutub) yang melahirkan Liăngyí (兩儀, dua
unsur), dari Liăngyí lahirlah Sìxiàng (四象, empat peta), dari Sìxiàng
lahirlah Bāguà (八卦, delapan trigram) 是故易有太極 是生兩儀 兩儀生四

alias Yuán Hào (元皓), nama asalnya Dūnshí (敦實), nama lainnya Liánxī (濂溪),
dan nama kehormatannya Màoshū (茂叔); Lihat Chan, Source Book, h. 461--462.
103 Chan, Source Book, h. 460.
104 Dapat dilihat di Tōngshū (通書, Penetrating the Book of Changes bab. 13,

dikutib oleh Chan dalam The Evolution, h. 137; Lihat juga dalam Chan, Source Book,
hal. 471.

54
象 四象生八卦“105.
Ayat ini adalah salah satu acuan para kosmolog Neo-
Konfusianisme, tak terkecuali Zhōu. Profesor Chan menilai bahwa
Zhōu menjadikan kitab Perubahan sebagai ‘penjelasan yang cerdas
tentang evolusi alam semesta’106.
Adapun pemikiran dan sumbangsih Zhōu dalam Neo-
Konfusianisme menyangkut dua hal utama: kosmogoni dan etika.
Peran dan penjelasan Tàijí dalam kosmogoni Neo-Konfusianisme
disampaikan Zhōu dalam karya singkatnya Tàijítú Shuō (太極圖說)
melalui pernyataan sebagai berikut:
“Mutlak Tak Ada (Wújí 無極 Non-Being Ultimate) adalah juga Mutlak Besar
(Tàijí 太極 The Great Ultimate). Tàijí melalui gerakan menghasilkan Yáng
(陽), ketika aktifitasnya mencapai batas ia menjadi tenang. Melalui
ketenangan Tàijí menciptakan Yīn (陰), ketika ketenangan mencapai
puncaknya aktifitas dimulai lagi. Demikianlah aktifitas dan ketenangan silih
berganti dan saling menjadi dasar bagi satu sama lainnya, dengan demikian
menimbulkan pembedaan Yáng dan Yīn, maka kemudian Liăngyí (兩儀)
tersusun. Melaui transformasi Yáng dan kesatuannya dengan Yīn timbullah
lima unsur (Wǔxíng 五行: air, api, kayu, logam tanah) Ketika lima tenaga
kebendaan ini terdistribusi dalam keteraturan yang harmonis keempat
musim berproses. Lima unsur (Wǔxíng) merupakan sistem Yīn- Yáng yang
tunggal, dan Yīn- Yáng juga merupakan Tàijí yang tunggal. Tàijí pada
dasarnya adalah Wújí. Pada saat wǔxíng timbul masing-masing mereka
memiliki sifat khususnya sendiri. Ketika realitas Wújí serta sari Yīn-Yáng
dan sari Wǔxíng bersatu secara misterius/gaib/halus maka terjadilah
penggabungan/pemadatan. Qián (乾) membentuk unsur jantan dan Kūn (坤
) membentuk unsur betina, interaksi dua tenaga kebendaan/ material ini
menghasilkan dan mentransformasikan berbagai benda-benda. Berbagai
benda-benda ini dihasilkan dan dihasilkan ulang, menyebabkan perubahan
bentuk (transformasi) yang tiada hentinya 無極而太極 太極動而生陽 動極
而靜 靜而生陰 靜極復動 一動一靜 互為其根 分陰分陽 兩儀立焉 陽動陰
靜而生水火木金土 五氣分佈 四時行焉 五行一陰陽也 陰陽一太極也 太
極本無極也 五行之生也 各一其性 無極之真 二五之精 合而凝 乾道成男

105 Kitab Perubahan (易經 Yìjīng) bagian Babaran Agung (大傳 Dàzhuàn, yang
juga disebut Xìcízhuàn 繫辭傳) Bagian A Bab XI ayat 70 (Solo:Matakin, 1984) hal.
147; kalimat terjemahan sedikit disesuaikan dengan mengacu pada Mou (Chinese
Philosophy, A-Z), h. 143.
106 Wing-tsit Chan, Reflections on Things at Hand (terjemahen Jìnsīlù 近思錄):

The Neo-Confucian Anthology (New York: Columbia University Press, 1967),


h. xviii.

55
坤道成女 二氣交感 化生萬物 萬物生生而變化無窮焉” 107.
Terlihat bahwa pernyataan dalam karya Zhōu ini adalah
perluasan ayat Babaran Agung (大傳 Dàzhuàn) yang telah
dikemukakan di atas. Hal yang berbeda adalah Zhōu menggunakan
konsep Wújí (無極) namun tidak mengembangkan konsep Bāguà
(八卦) yang menjadi term utama kitab Yìjīng (易經).
Secara umum Yīn berarti tenaga kosmik pasif, dan Yáng adalah
tenaga kosmik aktif108. Karya singkat Zhōu itu mengandung unsur
Taois karena Zhōu memang telah meminjam bagan dari seorang
pendeta Taois, meskipun beliau lalu memodifikasinya dan
membuatkan naskah penjelasannya berjudul Tàijítú Shuō109, juga
ada term Wújí (無極). Profesor Chan menyatakan bahwa meskipun
di dalam karya singkat Zhōu itu terdapat suatu konsep bernama
‘Mutlak Tak Ada’ (Wújí 無極) yang berbau Taois yang tidak tentu
disukai para Neo-Konfusianis, namun sifatnya yang organis, luas
dan logis yang ada dalam karya Zhōu itu semua diperlukan oleh
dunia Neo-Konfusianisme110. Jeloo Liu menyatakan bahwa walau
Zhōu terkadang dinilai sebagai Taoist, namun teori kosmogoni
beliau pada dasarnya kosmogoni Konfusian, dalam arti bahwa
kondisi awal keberadaan segala sesuatu adalah tidak saja kondisi
yang nyata/real (some exitence atau something) tapi bahkan adalah
suatu yang nyata penuh (full existence atau being)111.
Zhōu tidak menyamakan Mutlak Besar dengan asas/prinsip,

107 Sumber aslinya adalah dalam naskah Tàijítú Shuō (太極圖說 Penjelasan
Tentang Bagan Tàijí ) karya Zhōu Dūnyí yang antara lain terdapat dalam naskah
Jìnsīlù (近思錄, 1177) yang dikompilasi oleh Zhū Xī (宋朱) dan Lǚ Zǔqiān (呂祖謙),
misalnya dalam versi yang penulis miliki: Jìnsīlù edisi serial Guóxué Jīngdiǎn (國學
經典) 1.1, anotasi dan komentar oleh Chá Hóngdé 查洪德 ( Zhèngzhōu: Zhōngzhōu
Gǔjí Chūbǎnshè 中州古籍出版社, 2016), h. 15; Sedangkan terjemahan dan anotasi
versi bahasa Inggrisnya terdapat dalam buku Wing-tsit Chan Reflections on Things
at Hand (terjemahen Jìnsīlù 近思錄): The Neo-Confucian Anthology, I.1 (New York:
Columbia University Press, 1967), h. 5--6.
108 Chan, The Evolution, h. 137.
109 Wing-tsit Chan, Chu Hsi - Life and Thought, (Hong Kong: The Chinese

University Press, 1987), h 52.


110 Chan, Life and Thought, h. 114.
111 Jeeloo, Liu, The Status Of Cosmic Principle (Lǐ ) in Neo-confucian Metaphysics,

dalam Journal of Chinese Philosophy 32:3, September 2005, h. 395.

56
bahkan menurut Profesor Chan, tidak sedikitpun Zhōu
mengisyaratkan kemungkinan persamaan di antara kedua konsep
itu112. Tetapi, walau aksara 理 (Lǐ) tidak muncul dalam karya Tàijítú
Shuō namun secara keseluruhan dalam karya itu telah terkandung
‘semangat’ tentang Lǐ (理). Dapat dikatakan bahwa Zhōu menulis
karya beliau itu untuk menunjukkan asal-usul pengertian Lǐ (理)
sebagai asas/prinsip113. Adapun dalam karya monumental Zhōu
lain yang berjudul Tōngshū (通書 Penetrating the Book of Change)114
aksara 理 (Lǐ) telah dipakai beliau dalam suatu pernyataan bahwa:
“…hanya ketika Yīn-yáng bekerja menurut Lǐ (理) barulah mereka
berada dalam keadaan harmoni/seimbang…”. Namun menurut
analisa Profesor Chan, aksara Lǐ (理) di situ masih mengandung dua
pengertian, yakni pertama kata verba ‘meletakkan benda pada tata-
tertib/susunan (to put in order)’ maupun kata benda yang
bermakna ‘asas/prinsip’115.
Menyangkut yang satu dan yang banyak, Zhōu menyatakan:
“…Berbagai benda diciptakan/ditransformasikan dari dua tenaga
kebendaan/material (Yīn-yáng) dan lima unsur (Wǔxíng 五行). Lima
unsur adalah dasar pembedaanya sedangkan tenaga
kebendaan/material adalah kenyataannya. Dua tenaga kebendaan
itu pada dasarnya satu. Maka yang banyak itu adalah satu, dan yang
satu terbeda-bedakan dalam banyak. Yang satu dan yang banyak
memiliki kondisi keberadaannya masing-masing. Yang besar dan
yang kecil masing-masing juga mempunyai fungsi tertentu…”116.
Zhōu telah membicarakan tentang asas/prinsip (理 Lǐ), watak
sejati/sifat asli (性 Xìng), dan firman/takdir (命 Mìng) yang adalah
konsep-konsep yang penting dalam pemikiran Neo-Konfusianisme.
Tapi Zhōu belum dapat menjelaskan sifat Tàijí (太極, Mutlak

112 Chan, Life and Thought, h. 115.


113 Chan, The Evolution, h. 137.
114 Terjemahan Tōngshū (通書) sebagai Penetrating the Book of Change =

Tōngyì 通易 adalah karena awalnya memang buku itu berjudul Tōngyì (通易);
sebagaimana disampaikan Chan dalam Life and Thought, h. 54.
115 Chan, The Evolution, h. 137
116 Terdapat dalam karya Zhōu Dūnyí Tōngshū (通書Penetrating);
sebagaimana dikutib dalam Chan, Life and Thought, h. 54, Maupun dalam Chan, The
Evolution, h. 138.

57
Besar/Maha Kutub, Great Ultimate) yakni dalam hal hubungannya
dengan asas/prinsip Lǐ (理). Namun memang kita tidak dapat
berharap banyak dari Zhōu karena memang Lǐ (理) tidak
merupakan perhatian utama Zhōu. Klarifikasi tentang itu harus
menunggu Zhū Xī .
Telah diketahui di atas bahwa dalam proses penciptaan versi
Zhōu dalam Tàijítú Shuō (太極圖說) dinyatakan bahwa Mutlak
Besar (Tàijí) menghasilkan Yīn-yáng (陰陽). Profesor Chan
menyatakan bahwa ketika penciptaan yang berkelanjutan tersirat
dalam Tàijítú Shuō, namun faktor yang mendasar adalah faktor
ketenangan, sedangkan faktor aktifitas belum dapat dijelaskan117.
Penjelasan-penjelasan ini juga harus menunggu Zhū Xī .
Kemudian perlu disampaikan juga penjelasan lanjutan Zhōu
tentang sumber etika moral pada manusia yang -dalam pandangan
beliau- berhubungan erat dengan proses kosmogoni yang sudah
disampaikan di bagian atas. Dalan Tàijítú Shuō Zhōu lanjut
mengatakan:
“Manusia sendiri menerima lima tenaga kebendaan/materil (yakni lima
unsur) dalam mutu mereka yang tertinggi, dan karena itu manusia sangat
cerdas. Bentuk fisiknya terlihat jelas, dan rohnya mampu akan hal
kesadaran. Lima prinsip kebajikan/moral ‘watak sejati’ manusia (atau
‘kodrat alamiah’, yakni: cinta kasih/kemanusiaan, keadilan/kebenaran,
kesusilaan/kepantasan, kebijaksanaan, dan kepercayaan) dibangkitkan
oleh dan bereaksi terhadap dunia luar dan terlibat dalam aktifitasnya;
kebaikan dan kejahatan terbedakan; dan berlangsunglah peristiwa
manusiawi”118
Demikianlah kita mendapatkan bahwa walaupun perhatian
utama Zhōu ada pada kosmogoni namun tema sentral
Konfusianisme yakni etika lebih khusus lagi pada kemanusiaan
tetap hadir dalam pemikirannya. Dalam kutipan di atas terlihat
bahwa Zhōu mengaitkan dengan erat moralitas manusia dengan

117 Chan, Life and Thought, h. 54.


118 Sumber asli: Tàijítú Shuō (太極圖說) karya Zhōu, misalnya terdapat dalam
Jìnsīlù (近思錄, 1177) yang dikompilasi Zhū Xī (宋朱 ) dan Lǚ Zǔqiān (呂祖謙), edisi
Zhōngzhōu Gǔjí Chūbǎnshè 中州古籍出版社, 2016, h. 15; teks aslinya berbunyi: 惟
人也, 得其秀而最靈. 形既生矣, 神發知矣, 五性感動而善惡分, 萬事出矣.
Terjemahan Inggrisnya dapat dilihat dalam Chan, Reflections on Things at Hand:
The Neo-Confucian Anthology, I.1 (New York: Columbia University Press, 1967), h.
5--6.

58
keberadaan alam semesta, dalam hal ini pada keberadaan lima
unsur dalam kosmologi yang terkait lima kebajikan dalam etika.
Kemudian menyangkut asas/prinsip walau Zhōu jarang
membicarakan tentang Lǐ (理) ini namun melalui siratan semangat
dalam karya beliau, semangat itu telah menjadi benih konsep Lǐ
(理) yang nanti akan menjadi dasar bagi filsafat yang dikembangkan
oleh penerusnya Zhū Xī yang akan dengan jelas menghubungkan Lǐ
(理, asas/prinsip) itu dengan kosmogoni dan etika.

II.F Konsep Lǐ (理) di Tangan Neo-Konfusian: Shào Yōng.


Shào Yōng (邵雍, 1011 M--1077 M)119 nama
kehormatannya Shào Yáofū (邵雍堯夫) dan nama
anumertanya Shào Kāngjié (邵康節) muncul
dalam perkembangan Neo-Konfusianisme dengan
kajiannya yang didominasi topik tentang
kosmogoni dengan banyak memakai lambang
Gambar-4: Shào Yōng atau diagram yang dikaitkan dengan ‘bentuk’
(邵雍)
sumber: Patrick Ho’s
(atau gambaan象 xiàng) dan ‘angka’ (numerik 數
Three Knocks shù)120, tentu saja sebagaimana Zhōu Dūnyí
beliau juga mendasarkan filsafatnya pada kitab
Perubahan (易經Yìjīng). Aliran pemikirannya disebut juga sebagai
‘studi bentuk dan angka (象數學xiàngshùxué) yang khas dan
berbeda dengan rekan-rekan Konfusian sezamannya yang lebih
banyak menekuni asas/prinsip dan kebenaran (義理Yìlǐ) maka
dikenal sebagai Yìlǐxué (義理學)121.

Shào adalah intelek pada zamannya, namun tidak seperti

119 Shào Yōng (邵雍, 1011--1077) adalah seorang ilmuwan dinasti Sòng, ahli
kosmologi, penyair dan sejarawan mempengaruhi perkembangan Neo-
Konfusianisme. Beliau lahir daerah Héngzhāng (衡漳, sekarang di Ānyáng安 陽
propinsi Hénán河 南).
120 Fung, Yu-lan, A Short History of Chinese Philosophy. Editor: Bodde, Derk

(New York: Macmilan Publishing Co. Inc. (The Free Press), 1948), h. 272--273.
121 Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Shao_Yong.

59
kebanyakan orang pintar beliau menghindari posisi pemerintahan
sepanjang hidupnya122. Karya terpenting beliau Huángjí Jīngshì Shū
(皇極經世書 Book of the August Ultimate Through the Ages, Kitab
Mutlak Penguasa Sepanjang Masa123) sebuah kitab berisi tentang
kosmogoni yakni prinsip-prinsip dasar kejadian alam semesta dan
segenap benda-benda. Dalam kitab Huángjí Jīngshì Shū Shào
menyamakan Tàijí (太極) dengan hati-pikiran (xīn 心). Namun
berpendapat bahwa Tàijí hanya dapat diselami jika hati-pikiran
dalam kondisi tenang. Menurut beliau Tàijí (太極) pada dasarnya
satu lalu menghasilkan Yīn dan Yáng (陰陽) dan lalu angka/numerik
dan bentuk baru kemudian akhirnya benda konkrit. Jadi bagi beliau
Tàijí (太極) adalah totalitas dari angka/numerik dan bentuk 124.
Beliau banyak mengaitkan angka-angka dengan sisitem
kosmologinya, bahkan karya beliau telah menginspirasi dan
memberikan terobosan bagi G. W. Leibniz (1646M--1716M) dalam
studinya tentang sistem binary yang berperan dalam logika
komputer125.
Sifat filsafatnya dianggap bersifat mekanistis, sehingga tidak
terlalu mendapatkan perhatian dari para filsuf-agamawan
sesudahnya 126. Bahkan akibat kedekatan pemikiran beliau dengan

122 Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Shao_Yong.


123 Huángjí Jīngshì Shū juga dikenal dengan nama singkatnya: Huángjí Jīngshì
(皇極經世) kitab yang membahas tentang asas/prinsip benda-benda di dunia (物理
wùlǐ, istilah moderen untuk Fisika). Term huángjí berasal dari uraian dalam Bab
Hóngfàn (洪範) kitab klasik Konfusianisme Shūjīng (書經). Filsuf Konfusian zaman
Dinasti Táng (唐) Kǒng Yǐngd| (孔穎達) menjelaskan bahwa istilah huángjí
bemakna ‘pusat besar’ (大中 dàzhōng) yang bermakna ‘mengukur persoalan-
persoalan dunia (經緯世事jīngwěi shìshì)’, dari fakta-fakta itu dapat diambil
pengertian bahwa inilah mungkin sumber penamaan Huángjí Jīngshì Shū karya
Shào tersebut; lihat http://www.chinaknowledge.de/ Literature/Daoists/
huangjijingshi.html.
124 Huángjí Jīngshì Shū (edisi Ssu-pu pei-yao SPPY) 8:25A sebagaimana dalam

Chan, Life and Thought, h. 52.


125 Patrick, Ho, Three Knocks: Basic Questions About Chinese Values, Schiller

Institute Conference of The Win-Win Solution: One Belt, One Road (New York City:
published on http://www.schillerinstitute.org, 2017 February 4th), diakses Januari
2018.
126 Chan, Life and Thought, h. 48.

60
filsafat Daoisme menyebabkan Zhū Xī tidak memosisikan karya-
karya beliau sebagai landasan pemikiran lanjutan bagi Neo-
Konfusianisme.
Salah satu hasil perenungan dan pemikiran Shào adalah
idenya tentang siklus alam semesta yang bergerak dalam siklus
yang diwakili simbol-simbol duabelas heksagram yang oleh Shào
dikatakan memiliki durasi 129.600 tahun127. Menurut Shào langit
diciptakan dari gerakan sedangkan bumi dari ketenangan. Saling
pengaruh dan saling bergantian antara gerak dan tenang
melahirkan perkembangan puncak langit dan bumi. Pada
kemunculan pertama gerakan munculah Yáng (陽), dan gerakan
ini lalu mencapai puncaknya maka kemudian Yīn (陰) muncul.
Saling bergantian dan saling pengaruh antara Yīn (陰) dan Yáng (陽)
melahirkan perkembangan puncak aspek fungsi langit. Dalam
kemunculan pertama ketenangan munculah kelembutan, dan
gerakan ini lalu mencapai puncaknya maka kemudian kekerasan
muncul. Saling bergantian dan saling pengaruh antara kelembutan
dan kekerasan melahirkan perkembangan puncak aspek fungsi
bumi128. ‘Yáng (陽) yang lebih’ merupakan matahari, dan ‘Yīn (陰)
yang lebih’ merupakan bulan. ‘Yáng (陽) yang kurang’ merupakan
bintang, dan ‘Yīn (陰) yang kurang’ merupakan zona zodiak. Saling
mempengaruhi antara matahari, bulan, bintang dan ruang zodiak
melahirkan perkembangan puncak substansi langit. Kelembutan
( 柔Róu) yang lebih merupakan air dan kekerasan yang lebih
merupakan api. Kelembutan (剛Gāng) yang kurang merupakan
tanah dan kekerasan yang kurang merupakan batu. Saling
mempengaruhi antara air, api, tanah dan batu menghasilkan
perkembangan puncak substansi bumi129.
Bagi Shào, Tàijí (太極) adalah suatu kesatuan yang tidak
bergerak, Tàijí menghasilkan dualitas, dan dualitas inilah
spritualitas, spriritualitas menghasilkan angka, angka menghasilkan

127 Fung, A Short History, h. 277.


128 Huángjí Jīngshì (皇極經世, diterjemahkan Profesor Fung sebagai Cosmogical
Chronology) khususnya bagian Observasi benda-benda bab 11A, sebagaimana
dikutib Fung dalam A Short History, h. 275.
129 Fung, A Short History, h. 275.

61
lambang dan lambang menghasilkan ‘alat’ (yakni benda-benda
individual)130. Demikianlah proses pembentukan alam semesta
menurut Shào.
Hanya sedikit pembahasan tentang Lǐ (理) yang disampaikan
Shào. Beberapa pemahaman pokok Shào tentang Lǐ (理) adalah
sebagaimna yang disarikan Profesor Chan sebagai berikut131:
1. Terdapat asas/prinsip (Lǐ 理) yang mengatur alam semesta
ini,
2. Prinsip-prinsip ini dapat dilihat dalam angka/numerik,
3. Pemahaman terbaik tentang asas/prinsip ini adalah secara
objektif, artinya melihat segalanya dari sesuatu/benda itu
sendiri.
Di sini dapat dilihat bahwa Shào adalah filsuf-agamawan yang
berorientasi pada objek. Pernyataan Shào lainnya yang penting
tentang Lǐ (理) yang dikutib dari karya beliau sendiri: "…jika
seseorang bertindak dengan melalui Tiānlǐ (天理) akan memahami
dengan baik segenap proses penciptaan seakan proses itu ada di
genggamannya…”132, suatu pernyataan ringan mengenai pentingnya
Lǐ (理) namun sayangnya beliau tidak memberikan penjelasan
yang cukup untuk pentingnya konsep Lǐ (理) ini.

II.G. Konsep Lǐ (理) di Tangan Neo-Konfusian: Zhāng Zài.


Zhāng Zài (張載, 1020 M--1077 M)133 seperti juga Zhōu Dūnyí

130 Fung, A Short History, h. 275.


131 Chan, Source Book, h. 481.
132 Sumber aslinya adalah pernyataan Shào Yōng dalam karya klasiknya

bertajuk Huángjí Jīngshì Shū (皇極經世書, Supreme Principles Governing the World),
bab 8B:26a, sebagaimana dikutib dan diterjemahkan oleh Profesor Chan dalam
Source Book, h. 493.
133 Dalam KIK Khonghucu halaman 608, disampaikan bahwa Zhāng Zāi (張 栽)

adalah seorang tokoh Dàoxuéjiā (道學家) dari zaman Dinasti Sòng Utara (北宋朝)
yang hidup pada tahun 1020--1077, dikenal juga sebagai Tuan Héngqú (Héngqú
Xiānshēng (橫渠先生) sesuai daerah asalnya kabupaten Héngqú, konsep utama
beliau dalam agama dan filsafat metafisika Konfusianisme adalah studinya yang
mendalam tentang substansi awal alam semesta yang beliau sebut ‘tenaga
kebendaan/material’ (qì氣)

62
dan Shào Yōng mendasarkan filsafatnya pada kitab Perubahan (易
經 Yìjīng). Beliau mirip dengan Zhōu bahwa perhatian utamanya
filsafatnya adalah pada persoalan moral dan kosmogoni. Beliau
telah semakin memberikan dasar yang lebih baik pada
pembentukan Neo-Konfusianisme. Walaupun kajian Zhāng adalah
Qì-sentris, artinya pusat filsafatnya ada pada konsep Qì (氣), hal ini
ditandai dengan diidentikannnya Qì (氣) dengan Tàijí (太極) oleh
Zhāng.
Tapi tidak seperti Zhōu yang berpendapat
bahwa proses evolusi dalam kosmogoni adalah
akibat Tàijí (太極) melalui dua tenaga
kebendaan/material Qì (氣, yakni Yīn dan Yáng
陰陽) dan lima unsur (Wŭxíng 五行), demikian
juga tidak seperti Shào Yōng yang menyatakan
bahwa proses evolusi dalam kosmogoni adalah
akibat Tàijí (太極) melalui dua tenaga
Gambar-5: Zhāng Zài
(張載) Sumber: Wen, kebendaan/material Qì (氣 yakni Yīn dan Yáng
Chinese Philosophy, 陰陽) dan lima unsur (Wŭxíng 五行) serta
hal. 107
tahapan-tahan bentuk dan angka (Xiàngshù象
數學) serta benda konkrit lain, Zhāng menolak
bahwa Yīn dan Yáng (陰-陽) sebagai tenaga-tenaga yang mampu
menurunkan sesuatu, namun berpendapat bahwa Yīn dan Yáng
hanyalah dua aspek dari Qì (氣) dan pada dasarnya Yīn dan Yáng itu
sama atau satu134. Sebagai materi/substansi (tǐ 體) sebelum
konsolidasi terjadi, maka Qì (氣) adalah ‘kekosongan besar (太虛
Tàixū)’; dan sebagai fungsi (yòng 用) dalam aktifitas dan
kepasifannya serta integrasi dan disintegrasi dan seterusnya, maka
Qì (氣) adalah ‘keselarasan besar (太和Tàihé atau keharmonsan
agung)’. Tàixū dan Tàihé adalah sama dengan Dào (道), yang ‘Satu’
itu135. Ketika berkontraksi dan berekspansi dua aspek Qì (Yīn dan
Yáng) itulah Guǐshén (鬼神 yakni kekuatan/daya spiritual negatif
dan positif). Di sini Zhāng menggantikan teori tradisional Tionghoa
tentang makhluk spiritual atau roh orang-orang yang telah

134 Chan, Source Book, h. 495.


135 Chan, Source Book, h. 495.

63
meninggal dengan interpretasinya yang sepenuhnya rasionalistik
dan naturalistik, sebuah doktrin yang banyak dipakai oleh kaum
Neo-Konfusianis136.
Dalam filafat Tiongkok Qì (氣) terkadang dipahami sebagai
abstrak kadang sebagai konkrit, tergantung filsuf siapa yang
membahas. Tapi Qì (氣)-nya Zhāng adalah konkrit yang terkait
persoalan fisikal yang menyusun keberadaan segala sesuatu yang
bersifat individu. Seperti filsuf-agamawan yang lain Zhāng juga
mendasarkan filsafatnya pada kitab Perubahan dan kemudian
mengembangkan teori kosmogoni dan etikanya. Pengiidentikkan Qì
(氣) dengan Tàijí (太極) oleh Zhāng adalah kekhasan pemikirannya.
Tàihé (太和), Dào (道) dan Tàijí (太極) adalah sama bagi beliau, di
dalamnya terdapat kualitas mengapung-tenggelam, naik-turun,
bergerak-diam, maka ada pancaran kekuatan yang menguasai atau
dikuasai satu sama lain dan penyusutan atau pengembangan satu
dengan yang lain. Saat Qì (氣) dipengaruhi kualitas Yáng ia akan
mengapung, bergerak dan naik; ketika dipengaruhi kualitas Yīn ia
akan tenggelam, diam dan turun. Pemadatan Qì (氣) menghasilakan
tersusunnya segala sesuatu/benda yang konkrit, penguraiannya
menghasilkan pemutusan segala sesuatu/benda137.
Di antara karya Zhāng, yang terpenting adalah satu risalah
singkatnya: ‘Prasasti Barat’ (Xīmíng 西銘, Western Inscription) dan
satu karya lainnya yang lebih tua: ‘Memperbaiki Kebodohan’
(Zhèngméng 正蒙 Correcting Ignorance). Dalam Zhèngméng Zhāng
menyampaikan suatu argumen untuk menyatakan kekhasan Neo-
Konfusianisme yang berbeda dengan pandangan Taois dan Buddhis
yang mendasarkan fasafahnya pada kekosongan. Dalam Xīmíng
beliau menyampaikan bahwa: alam semesta satu adanya tapi
manifestasinya banyak, suatu ide fundamental Zhāng yang memiliki
pengaruh yang luar biasa bagi para Neo-Konfusian sezaman dan
sesudahnya dan akan sangat dikaitan dengan Qì (氣) dan Lǐ (理)
oleh para tokoh Neo-Konfusian lain.
Dalam pemikirannya Zhāng jarang berbicara mengenai Lǐ (理),

136 Chan, Source Book, h. 495.


137 Fung, A Short History h. 278-279.

64
pada umumnya filsafat Zhāng adalah filsafat tentang Qì (氣)138.
Dalam kesempatan lain beliau dengan berdasarkan suatu kutipan
kitab Upacara/Ritual/Kesusilaan (lihat pembahasan kemunculan
konsep Lǐ (理) dalam bagian kitab Lĭjì (禮記) sebelumnya) telah
menghubungkan atau mengartikan pula asas/prinsip itu sebagai
‘ritual/upacara/ kesusilaan’: misal dalam karya beliau Zhāng Zài Jí
(張載集) beliau menyatakan: “…ritual/upacara/kesusilaan itulah
prinsip (禮者理也lǐ zhě lǐ yě)…”, serta pernyataan menarik lainnya
bahwa “…siapa yang mengetahui aturan prinsip/pola akan mampu
wewujudkan ritual/ upacara/kesusilaan (知理則能制禮)…”139.
Namun dalam suatu pernyataan Zhāng juga menganggap Lǐ (理)
sebagai suatu bagian tak terpisahkan dari konsep utamanya Qì (氣),
beliau berpendapat bahwa istilah Lǐ (理) tidak bisa terasing/jauh
dari konsep Qì (氣)140. Namun memang faktanya teori beliau tidak
menjelaskan lebih jauh tentang Lǐ (理).

II.H. Konsep Lǐ (理) di Tangan Neo-Konfusian: Chéng Hào


dan Chéng Yí.
Kedua bersaudara Chéng, yakni Chéng Hào141 (程顥, 1032 M--

138 Chan, Life and Thought, h. 50.


139 Diambil dari Karya Zhāng berjudul Zhāng Zài Jí (張載集) bagian 326 dan
259 sebagaimaba dikutib Profesor Dr. Christian Mayer dalam Cheng Yi as Ritualist,
in Journal Institute of Chinese Literature and Philosophy, Academia Sinica,
November-25 2002 edited and republished in Orient Extremus Journal No. 47
(Hamburg: 2007), h. 227.
140 Lihat Paolos Huang: Confronting Confucian Understandings of the Christian

Doctrine of Salvation (Helsinki: Department of Systematic Theology, University of


Helsinki, 2006), h. 303.
141 Chéng Hào: Beliau populer dipanggil Chéng Míngdào (程明道), beliau anak

seorang pejabat pimpinan. Setelah memperoleh gelar jìnshì (進士) di tahun 1057,
dia menjadi asisten hakim dan mencetak sukses besar dalam mencegah kelaparan
dengan membangun bendungan. Kemudian beliau menjadi hakim selama tiga
tahun (1065M--1067M), membawa kedamaian dan ketertiban, dan mendapat
kehormatan dan cinta yang besar dari rakyat. Pada tahun 1069M ia menjadi wakil
sekretaris putra mahkota. Kaisar Shén Zōng (神宗, 1068M--1085M) memberinya
sejumlah kesempatan beraudisensi dan sangat terkesan dengan rekomendasinya.
Tapi dia sangat menentang Wáng Ānshí (王安石, 1021M--1086M) dalam reformasi
radikalnya. Pada tahun 1070 beliau diturunkan menjadi asisten daerah

65
1085M) dan adiknya Chéng Yí142 (程頤, 1033 M--M 1107)
menghabiskan hampir seluruh waktu hidup mereka di kota
Luòyáng (洛陽), maka filsafat mereka terkadang disebut ‘aliran atau
sekolah Luòy|ng’143. Chéng Hào dikenal sebagai Tuan Míngdào (明
道) dengan nama lain Bó Chún (伯淳) sedangkan Chéng Yí dikenal
sebagai Tuan Yīchuān (伊川) dengan nama lain Zhèng Shū (正叔)144.
Mereka pernah menjadi murid Zhōu Dūnyí, mereka adalah teman
Shào Yōng dan merupakan keponakan Zhāng Zài. Kedua bersaudara
Chéng dan ketiga tokoh itu disebut ‘Lima Filsuf Tiongkok Utama

administrasi. Pada 1078M--1080M beliau kembali menjadi hakim tapi musuh


politiknya akhirnya memecatnya. Kaisar baru, Zhé Zōng (哲宗, 1086M--1093M)
menunjuknya sebagai asisten eksekutif biro, tapi sebelum beliau menjabat beliau
meninggal; Lihat Chan, Source Book, h. 518.
142 Chéng Yí: Populer dipanggil Chéng Yīchuān (程伊川). Pada tahun 1056M

beliau memasuki universitas nasional di mana beliau tampil begitu luar biasa
sampai rekan sekolah memperlakukannya sebagai guru. Pada usia dua puluh lima
(1057M) beliau mengabadikan kaisar untuk mempraktikkan ajaran
pemerintahan/raja yang Konfusianis. Dua tahun kemudian beliau memperoleh
gelar gelar jìnshì (進士). Belau tinggal dan mengajar di Luòyáng (洛陽) dan
berulang kali menolak jabatan tinggi, termasuk jabatan Profesor di direktorat
pendidikan pada tahun 1085M. Pada 1086M beliau diangkat sebagai calon
komentator istana, dan dia memberi kuliah dengan sangat serius mengenai prinsip
Konfusianisme kepada kaisar. Dia melakukan ini selama dua puluh bulan dan
menarik banyak pengikut. Namun sikapnya yang keras tanpa kompromi, pendapat
kritisnya, dan serangannya terhadap banyak hal menciptakan banyak musuh
sengit, terutama Sū Shì (alias Sū Dōngpō 蘇軾 蘇東坡, 1036M--1101M), pemimpin
kelompok Sìchuān. Hal ini menyebabkan persaingan yang keras di antara
kelompok Sìchuān dan kelompok Luòyáng yang dipimpin oleh Chéng Yí. Pada
1087M dia ditunjuk sebagai direktur direktorat pendidikan di ibukota barat namun
mengundurkan diri beberapa bulan kemudian. Saat dia menjadi pengawas
direktorat pada tahun 1092M, pemeriksa istana berulang kali mengajukan petisi
untuk mendakwahnya-nya. Dia akhirnya mengundurkan diri dan kembali ke
Luòyáng. Dalam 1097M ajarannya dilarang, tanahnya disita, dan dia dibuang ke
Sìchuān (四川). Dia diampuni dan tiga tahun kemudian dan melanjutkan posisinya
di direktorat. Pada tahun 1103M bukunya dimusnahkan dan ajarannya dilarang.
Beliau diampuni lagi di tahun 1106, setahun sebelum beliau meninggal; Lihat Chan,
Source Book, h. 546.
143 Haiming, Wen, Chinese Philosophy: Chinese Political Philosophy, Metaphysics,

Epistemology and Comparative Philosophy, 1st- edition (Beijing: China


Intercontinenal Press, 2010), h. 108.
144 Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 495--496.

66
abad Kesebelas’145.
Pemikiran kedua bersaudara Chéng sebagaimana Zhōu
mengacu pula pada kitab Perubahan (易經 Yìjīng). Mereka juga
mengembangkan lebih lanjut pemikiran kosmologi dan etika Zhōu.
Bedanya adalah bagi kedua Chéng persoalan praktis menyangkut
kemanusiaan (仁rén146) dan moralitas (德 dé 147) adalah perhatian
utama mereka. Dengan kata lain, mengikuti penilaian Profesor
Chan, bahwa kedua bersaudara Chéng walaupun sebagaimana Zhōu
memakai kitab Perubahan sebagai dasar falsafahnya namun lebih
banyak menggunakan kitab Perubahan itu untuk persoalan etika,
singkatnya digunakan untuk ‘penjelasan tentang persoalan
kehidupan sehari-hari148.
Dari kedua bersaudara ini telah lahir pula dua sayap
pemikiran Neo-Konfusianisme yang terbedakan oleh sifat kedua
bersaudara itu (yang satunya introvert dan yang satunya
ekstrovert) dengan munculnya aliran idealis dan aliran rasionalis.
Walaupun demikian, kedua kakak beradik ini sepakat dalam suatu
term utama dalam kajian pemikiran mereka yakni istilah Tiānlǐ (天
理) atau singkatnya Lǐ (理) yakni asas/prinsip.
Selanjutnya, walaupun mereka menganut paham Zhōu tentang
Tàijí (太極) namun mereka melihat Tàijí (太極) Zhōu terlalu
abstrak, dan menyadari bahwa diperlukan suatu konsep yang lebih
pas untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan yang ingin
dipecahkan, konsep itulah yang disebut Lǐ (理 asas/prinsip). Lǐ (理)
di mata kedua bersaudara ini harus lebih dari sekedar suatu Mutlak
Besar (太極Tàijí) yang menjadi asal-usul segala sesuatu, tapi juga Lǐ
(理) ini harus menjadi sesuatu yang bersifat inheren dalam segala

145 Chan, Source Book, h. 518.


146 Deroh Matakin menerjemahkann仁ini sebagai cinta kasih atau
kemanusiaan’ yang menjadi pusat (inti) dari ajaran agama Khonghucu; lihat Tjhie,
dkk., KIK Khonghucu, h. 561.
147 Deroh Matakin menerjemahkan dé ini sebagai ‘kebajikan’ yang merupakan

suatu kekuatan moral yang bersumber dari Tuhan; lihat Tanuwibowo dan Tjhie,
dkk., KIK Khonghucu, h. 504.
148 Wing-tsit Chan, Reflections on Things at Hand (terjemahen Jìnsīlù 近思錄):

The Neo-Confucian Anthology (New York: Columbia University Press, 1967), h.


xviii.

67
sesuatu dan memberinya eksistensi serta mengarahkan
fungsinya149. Paham Lǐ (理) kedua bersaudara Chéng itulah yang
kelak disempurnakan oleh Zhū Xī. Itulah sebabnya maka dalam
karya-karya pemikirannya Zhū Xī banyak mengacu pada karya
kedua bersaudara Chéng ini (terutama pandangan Chéng Yí). Zhū Xī
demikian mengagumi keduanya sehingga menganggap kedua beliau
ini sebagai gurunya, terutama Chéng Yí, walau pada kenyataannya
Zhū tidak pernah berguru langsung150. Satu catatan penting adalah
berbeda dengan Zhāng Zài (張載) yang banyak berbicara tentang Qì
(氣) dan sedikit tentang Lǐ (理), sebaliknya kedua bersaudara Chéng
banyak berbicara tentang Lǐ (理) tapi sedikit tentang Qì (氣)151.
Zhāng telah menyatakan bahwa sesuatu yang nampak maupun
tidak nampak itu sebagai pemadatan maupun penguraian Qì (氣).
Namun menurut Profesor Fung teori tentang Qì (氣) Zhāng belum
mampu menjelaskan mengapa sesuatu itu adalah sesuatu
sebagaimana adanya ia, belum mampu menjelaskan kategori-
kategori dari benda benda atau hal individu. Untuk itulah kedua
bersaudara Chéng membangun teorinya tentang Lǐ (理). Kategori
dari segala sesuatu itu berbeda karena pemadatan Qì (氣)
‘berlangsung dengan cara yang berbeda’ masing-masing sesuai
kondisi Lǐ (理) yang berbeda pula. Sekuntum bungan adalah
sekuntum bunga karena ia merupakan pemadatan yang
berlangsung sesuai pada bunga. Demikian juga sehelai daun adalah
sehelai daun karena ia merupakan pemadatan Qì (氣) yang
berlangsung sesuai Lǐ (理) pada daun152.

1. Pandangan Chéng Hào (程顥).


Dalam Wàishū (外書) Chéng Hào menyatakan perhatiannya

149 John M. Koller, Filsafat Asia, cet-1. Penerjemah:Donatus Sermada

(Maumere-Flores: Ledaredo, 2010), h. 615-616.


150 Lihat misal pada tiap pembukaan kitab Zhōngyōng (中庸) dan kitab Dàxué

(大學), dua di antara empat kitab pokok Konfusianisme, dimana Zhū Xī


memberikan kata pengantarnya dengan kalimat: “Guruku Chéngzĭ (程子) berkata
...”
151 Chan, Life and Thought, h. 50.
152 Fung, A Short History h. 285.

68
pada keberadaan dan makna frasa Tiānlǐ (天理)153, bahkan
mengklaim pengertian itu merupakan temuannya. Beliau
menyatakan bahwa ‘realitas mutlak (Tiān天)’ itu tidak lain adalah
asas/prinsip (Lǐ 理)154.
Chéng Hào juga mengartikan
asas/prinsip itu sebagai sesuatu yang
ajaib/mengagumkan sekaligus ‘tidak dapat
diduga/ditetapkan’. Dalam Yíshū (遺書)
beliau menyamakan beberapa istilah yang
telah ada sebelumnya dalam dunia filsafat
Tiongkok dengan Lǐ (理): “… ditinjau dari
segi realitas Lǐ (理) adalah ‘perubahan (Yì
易)’ dari segi prinsip itulah ‘jalan suci (Dào
Gambar-6: Chéng Hào (程顥)
道)’, dari segi fungsinya itulah
Sumber: Wen, H.M. Chinese ‘roh/Tuhan (Shén神)’, dan dari sisi
Philosophy, h. 109.
ketetapan-Nya (atau Mìng命-Nya) dalam
diri manusia itulah disebut ‘watak
sejati/sifat asli manusia (Xìng性)’ …”155.
Beliau lanjut menjelaskan lagi: “… Tiān (天) tidak lain adalah
asas/prinsip Lǐ (理), kami menyebutnya sebagai ‘roh/Tuhan’ (shén
神) untuk menekankan misteri yang ajaib dari prinsip berbagai
hal/benda, sama seperti kami juga menyebutnya sebagai raja (Dì 帝
Lord) untuk menggolongkannya sebagai penguasa berbagai
peristiwa…"156. Chéng Hào bahkan mengidentikkan asas/prinsip

153 Chéng Hào (程顥) dan Chéng Yí (程頤), 二程集 (Èr Chéng Jí, Complete Works

of the Two Chengs) Khususnya bagian Wàishū (外書) bab 12. Korektor moderen
oleh Wáng Xiàoyú 王孝魚點校 (Beijing: 中華書局 Zhōnghuá Shūjú, 1980), h. 424;
jika muncul selanjutnya akan disingkat Wàishū dalam Èr Chéng Jí.
154 Chéng Hào dan Chéng Yí , Èr Chéng Jí, Khususnya bagian Yíshū (遺書) bab

11. , h. 132; jika muncul selanjutnya akan disingkat Yíshū dalam Èr Chéng Jí; bagian
ini sangat penting maka disampaikan kalimat aslinya: Tiān zhě Lǐ yě 天者理也
artinya Tiān itulah Lǐ.
155 Chéng Hào (程顥) dan Chéng Yí (程頤), Yíshū dalam Èr Chéng Jí; bab 1, h. 4.
156 Chéng Hào (程顥) dan Chéng Yí (程頤), Yíshū dalam Èr Chéng Jí; bab 11, h.

132.

69
dengan ‘hati-pikiran manusia (xīn 心)’157, pemikiran yang akan
menjadi dasar utama dan dan cikal-bakal filsafat Neo-
Konfusianisme ‘sayap idealisme (Xīnxué 心學, mazhab/sayap hati-
pikiran)’ yang belakangan muncul dan dikembangkan oleh Lù
Xi{ngshān (陸象山) 158 dan Wáng Yángmíng (王陽明)159.
Chéng Hào dengan mengacu pada suatu kalimat/ayat dalam
kitab Perubahan yakni “….aktifitas yang melahirkan kehidupan yang
berkesinambungan itulah perubahan 生生之謂易…”160, maka
kemudian mengartikan juga Lǐ (理) sebagai semacam ‘aktifitas yang
menurunkan kehidupan’ yang identik dengan Dào (道) dan Tiān (天
)161. Satu catatan penting lain adalah beliau mengaitkan pula Lǐ (理)
dengan ‘kesusilaan/ ritual/upacara (Lǐ禮)’162.
Jadi, kesimpulannya bahwa asas/prinsip yang merupakan
realitas tertinggi alam semesta telah disebut atau diidentikkan oleh
Chéng Hào antara lain dengan: Tiān (Tuhan/surga 天), Shén
(roh/Tuhan 神), Dì (Raja 帝), Dào (Jalan/Hukum Suci 道), xīn (hati-
pikiran 心), dan Yì (perubahan 易). Chéng Hào memahami adanya
satu asas/prinsip yang tetap dan berlaku terus: "…di kolong langit
ini hanya ada satu asas/prinsip di bawah langit, dan karenanya
berlaku atas isi alam, ia tidak berubah sejak zaman tiga raja dan

157 Chéng Hào (程顥) dan Chéng Yí (程頤), Yíshū dalam Èr Chéng Jí; bab 5, h.
76.
158 Lù Xiàngshān (陸象山, 1139 M--1193 M) alias Lù Jiŭyuān (陸九淵), tokoh

kaum Dàoxuéjiā (道學家 atau Lǐxuéjiā 理學家) dari zaman Dinasti Sòng beraliran
idealisme (xīnxué 心學); Lihat Thjie, KIK Khonghucu, h. 547.
159 Wáng Yángmíng (王陽明, 1472M--1529M) alias Wáng Shŏurén (王孚仁),

seorang tokoh Dàoxuéjiā (道學家, atau Lǐxuéjiā 理學家) dari zaman Dinasti Míng
beraliran idealisme (xīnxué 心學), tokoh yang pemikirannya memberikan pengaruh
penting bagi perkembangan Rújiào dalam masyarakat Jepang pada era kebangkitan
restorasi Meiji; lihat Thjie, KIK Khonghucu, h. 587.
160 Lihat Babaran Agung (Dàzhuàn 大傳) bagian (A).B:V:29 dalam Kitab
Perubahan Yìjīng (易經), (Solo: Matakin, 1985) h. 139; Matakin
menerjemahkannya sebagai: tumbuh dan tumbuh kembali itulah dinamakan Yì (易
perubahan)’.
161 Parafrase Yíshū dalam Èr Chéng Jí; bab 2A, h. 29 dan 33.
162 Lihat Karya Profesor Yong Huang (The Chinese University of Hongkong),

Cheng Hao (Cheng Mingdao, 1032--1085), dalam artikel from website


http://www.iep.utm.edu/chenghao/ diakses 10 Maret 2017.

70
tetap sama terus…”163. Dari pemahaman-pemahaman sebelumnya
Profesor Wen Haiming menamakan Lǐ (理) dari Chéng Hào sebagai
Tiānd{o (Jalan suci Tiān atau Hukum Tiān天道)164.
Menurut Chéng Hào semua yang ada di dunia ini eksis karena
asas/prinsip : “… Segala sesuatu/hal memiliki asas/prinsip…”165.
Juga beliau menyatakan alasan kenapa semua hal/benda bisa
merupakan satu badan (suatu kesatuan) dengan penjelasan yang
sama yaitu karena semua benda/hal memiliki asas/prinsip166.
Menurut beliau asas/prinsip adalah dasar keberadaan segala
sesuatu. Chéng Hào menjelaskan dengan mengutip pernyataan
dalam kitab Perubahan yaitu “…apa itu yang hadir ‘sebelum
berbentuk (xíng ér shàng 形而上, metafisik) disebut Dào (道),
sedangkan apa yang hadir ‘setelah berbentuk (xíng ér xià 形而下
fisik)’ merupakan benda konkrit ..."167 , Chéng Hào segera
menambahkan bahwa "di luar Dào ada tidak ada benda-benda/hal
konkrit dan di luar benda-benda/hal konkrit tidak ada Dào168. Kata
‘benda/hal konkrit’ adalah terjemahan atau pemahaman Profesor
Huang Yong untuk kata aslinya: 器qì (alat atau instrumen)169,
pemahaman ini sebenarnya juga mengikuti pemahaman Chéng Yí
dan Zhū Xī 170.
Kemudian Chéng Hào juga menyatakan hubungan antara
asas/prinsip (yakni Dào (道 jalan/hukum suci), Xìng (性watak
sejati), dan Shén (神 roh/Tuhan) dengan tenaga kebendaan/
material Qì (氣), menurut beliau: "…semua benda/hal yang konkrit
adalah tenaga kebendaan/material, dan hanya Dào yang tidak
berwujud…"171. Namun, menyangkut kehadiran Lǐ (理) dalam diri
manusia beliau menekankan bahwa "… Xìng (性) watak sejati

163 Chéng Hào dan Chéng Yí , Yíshū dalam Èr Chéng Jí; bab 21, h.39.
164 Wen, Chinese Philosophy, h. 109.
165 Chéng Hào dan Chéng Yí, Yíshū dalam Èr Chéng Jí; bab 11, h. 123.
166 Chéng Hào dan Chéng Yí, Yíshū, dalam Èr Chéng Jí; bab 2A, h. 33.
167 Lihat Babaran Agung (Dàzhuàn 大傳) bagian (A).B:78 dalam Kitab
Perubahan Yìjīng (易經), (Solo: Matakin, 1985) h. 148.
168 Chéng Hào dan Chéng Yí, Yíshū, dalam Èr Chéng Jí; bab 4, h. 73.
169 Lihat Profesor Yong Huang, Cheng Hao (Cheng Mingdao, 1032--1085).
170 Fung, A Short History, h. 286.
171 Chéng Hào dan Chéng Yí, Yíshū, dalam Èr Chéng Jí; bab 6, h. 83.

71
manusia tidak dapat dipisahkan dari tenaga kebendaan/material Qì
(氣) demikian pula tenaga kebendaan/material tidak dapat
dipisahkan dari watak sejati… "172, serta bahwa "…tidak ada roh (神
Shén) di luar Qì (氣), dan tidak ada Qì (氣) di luar roh (神Shén) …”173.
Menurut pandangan Chéng Hào asas/prinsip sebagai aktivitas hadir
tidak hanya dalam hal-hal alami atau dalam proses penjadian
semesta alam tetapi juga dalam urusan manusia, tegasnya
asas/prinsip juga adalah sumber moralitas pada manusia. Namun
tentu hal tersebut tidak merupakan sekup pembahasan tesis ini.
Selanjutnya akan kita lihat pandangan Chéng Yí.

2. Pandangan Chéng Yí (程頤).


Berbeda dengan kakaknya yang pendiam namun sangat ramah
ketika berkomunikasi dengan orang, Chéng Yí memiliki sifat
sebaliknya, aktif dan selalu keras dan ketat ketika berhubungan
dengan orang174. Chéng Yí juga sangat produktif menulis buku dan
atau ulasan atas kitab-kitab klasik Konfusianisme maupun kitab-
kitab yang lebih belakangan.
Namun seperti juga kakaknya konsep Lǐ
(理) adalah tema sentral dalam agama dan
filsafatnya. Chéng Yí beranggapan substansi
dan fungsi memiliki sumber yang sama, dan
tiada perbedaan antara apa yang terlihat dan
yang tidak kelihatan. Tiānlǐ (天理) itu samar
dan tidak mudah dikenali/diselami sedangkan
imej/gambaran atau bentuk itu banyak,
Gambar-7: Chéng Yí (程頤) bervariasi dan nyata kelihatan. Inilah yang
Sumber: Wen, Chinese dinamakan kesesuaian atau kesatuan antara
Philosophy, h. 110.
substansi dan fungsi (tǐ-yòng 體用) dalam
filsafat Tiongkok . Bagi beliau ketenangan maupun gerakan tidak
175

dapat dipandang sebagai permulaan proses kosmologis, juga bukan


Yīn (陰) maupun Yáng (陽). Titik awal gerakan itu adalah hati-

172 Chéng Hào dan Chéng Yí, Yíshū, dalam Èr Chéng Jí; bab 1, h. 10.
173 Chéng Hào dan Chéng Yí, Yíshū, dalam Èr Chéng Jí; bab 1, h. 10.
174 Wen, Chinese Philosophy, h. 108.
175 Wen, Chinese Philosophy, h. 110.

72
pikiran langit dan bumi. Kecenderungan gerakan adalah titik awal
semua gerakan, maka kecenderungan inilah akar langit dan bumi
walau tidak ada pembatasan yang konkrit mengenai asal usul alam
semesta ini176. Untuk memahami keseluruhan semesta harus
melalui pemahaman kecenderungan gerak sebagai awal proses
kosmogoni.
Sebagaimana Chéng Hào, Chéng Yí juga mengartikan Lǐ (理)
sebagai Dào (道) yang bermakna jalan, cara atau hukum. Ketika
menggunakan pemahaman ini Dào (道) juga adalah jalur yang mesti
ditempuh manusia sebagai hukum moral. Di samping itu Lǐ (理) juga
dipahami Chéng Yí sebagai dasar mutlak keberadaan segala sesuatu
(benda/hal). Ini berarti bahwa Lǐ (理) berperan sebagai atau
semacam penjelasan kenapa segala sesuatu itu adalah sebagaimana
adanya segala sesuatu itu. Dengan kata lain Lǐ (理) adalah
asas/prinsip dari keberadaan segala sesuatu177. Beliau juga
berpendapat sama seperti kakanya bahwa apa itu yang hadir
sebelum berbentuk (xíng ér shàng 形而上) disebut Dào (道),
sedangkan apa yang hadir setelah berbentuk (xíng ér xià 形而下)
merupakan benda konkrit. Lalu, di dalam kesadarannya bahwa
terdapat prinsip yang banyak untuk segala sesuatu Chéng Yí juga
menyadari bahwa jumlah prinsip-prinsip dari segala sesuatu
hanyalah akan kembali kepada satu prinsip yang mutlak. Dengan
demikian Lǐ (理) dalam pandangan Chéng Yí juga adalah semacam
suatu yang mutlak yang trasendental yang mendasari segala
sesuatu. Dalam memahami adanya prinsip yang mutlak tertinggi
yang satu itu beliau juga menyadari adanya prinsip-prinsip untuk
berbagai benda/hal. Prinsip berbagai hal/benda adalah
partikularisasi dari prinsip yang satu/yang mutlak itu178. Chéng Yí
juga memaksudkan bahwa Lǐ (理) ini adalah asas/prinsip yang
berlaku baik untuk alam semesta maupun untuk manusia dalam hal

176 Wen, Chinese Philosophy, h. 110---111.


177 Lihat Karya Profesor Waiying Wong (Lingnan University Hongkong), Cheng
Yi (Cheng Mingdao, 1033--10107), 2009, online publication on Bradley Dowden Ed.
Pp 1--5; dimuat dalam from website http://www.iep.utm.edu/chengyi/ diakses 10
Maret 2017.
178 Waiying Wong (Lingnan University Hongkong), Cheng Yi (Cheng Mingdao,

1033--10107), 2009, online publication on Bradley Dowden Ed. Pp 1--5.

73
ini sebagai sumber moral manusia yang akan mendasari atau
mendahului semua proses hubungan antar manusia.
Profesor Mou Zongshan berpendapat bahwa tidak seperti
Chéng Hào yang mengartikan Lǐ (理) sebagai suatu ‘daya atau
aktifitas yang melahirkan kehidupan’, namun Lǐ (理) dalam
pandangan Chéng Yí lebih merupakan suatu dasar ontologi
keberadaan, baik keberadaan fisik alam semesta maupun moralitas
manusia179.
Menurut Chéng Yí segala sesuatu yang ada di alam semesta
jika memang mereka ada, maka mereka itu mestilah merupakan
perwujudan dari sejumlah prinsip dalam sejumlah materi. Yang
merupakan prinsip disebut dengan istilah Lǐ (理), dan yang
merupakan materi disebut dengan istilah Qì (氣)180. Lǐ (理) ini abadi
dan stabil, walau benda itu belum ada. Chéng Yí berkata:
“…eksistensi atau bukan eksistensi, penambahan atau pengurangan
tidak dapat didalilkan kepada Lǐ (理). Lǐ (理) seutuhnya sempurna
dalam dirinya, di dalamnya tidak ada yang dapat dikurangi 181. Lǐ (理
) ini juga sepenuhnya mampu membuktikan dirinya sendiri, dan
mampu mencukupi dirinya sendiri. Lǐ (理) ini hadir pada setiap
benda atau manusia bahkan benda sekecil apapun semuanya
memiliki asas/prinsip, demikian Profesor Chan memahami
asas/prinsip dalam pemikiran Chéng Yí182. Pandangan Chéng Yí
adalah pandangan yang rasional sedangkan Chéng Hào lebih pada
hal-hal idealis. Pandangan Chéng Yí-lah yang kebanyakan dipakai
dan dikembangkan lebih jauh oleh Zhū Xī yang akan segera kita
bahas pada bab berikutnya.

179 Waiying Wong (Lingnan University Hongkong), Cheng Yi (Cheng Mingdao,

1033M--1107M), 2009, online publication on Bradley Dowden Ed. Pp 1--5.


180 Fung, A Short History, h. 285.
181 Chéng Hào dan Chéng Yí, Yíshū, dalam Èr Chéng Jí 2A, sebagaimana

dikutib Fung dalam A Short History, h. 286.


182 Chan, Source Book, h. 519.

74
BAB III
ZHŪ XĪ DAN PEMIKIRANNYA TENTANG KONSEP LǏ (理)

III.A. Riwayat Hidup Zhū Xī.


Sumber primer riwayat kehidupan
Zhū Xī (朱熹, 1130M--1200M) yang otentik
dan terdini dapat diperoleh dari Zhūzi
Xíngzhuàng (朱子行狀, kadang disingkat
Xíngzhuàng saja) yang ditulis murid
terkasih sekaligus menantunya Huáng Gàn
(黃榦, 1152M--1221M). Berikut ini penulis
sarikan perjalanan kehidupan Zhū Xī yang
diambil dari dari beberapa sumber yang
Gambar-8 Zhū Xī (朱熹) memuat riwayat hidup beliau, antara
Sumber: Chan W.T lain: dua buku karya Profesor Wing-tsit
Reflection on Things at Hand
h. ii Chan yang mengacu pada Zhūzi
Xíngzhuàng yaitu Zhū Xī and Neo-
Confucianism1 dan Zhū Xī – Life and Thought2, buku karya Ronnie
Littlejohn: Confucianism: An Introduction3, serta juga sedikit info
yang penulis ambil dari sumber Wikipedia berbahasa Tionghoa
https://zh.wikipedia. org/wiki/朱熹.
Zhū Xī hidup pada zaman Dinasti Sòng Utara (北宋, 960 M--
1126 M), salah satu dinasti di Tiongkok dengan pencapaian budaya
dan peradaban yang unggul. Keluarga Zhū berasal dari kabupaten
Wùyuán (婺源) bagian daerah administrasi Huīzhōu (徽州), pada
zaman sekarang ini berada di provinsi Jiāngxī (江西). Ayahnya, Zhū
Sōng (朱 松, 1097M--1143M), pindah ke Fújiàn (福建) Tiongkok
Tenggara karena ditugaskan sebagai kepala polisi di kabupaten
Yóuxī (尤溪). Di sanalah Zhū Xī (朱熹) lahir pada tanggal 20 April
1130M. Beliau mulai bersekolah pada usia lima tahun, dan pada saat
itu terungkap beliau telah mampu untuk menanyakan mengenai apa

1 Wing-tsit Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism, Khususnya pada bagian

Appendix A: Biography of Chu Hsi (Hawaii: University Of Hawaii Press, 1986),


h. 595--602.
2 Chan, Life and Thought, h. 1--37.
3 Ronnie L. Littlejohn, Confucianism: An Introduction (New York: I. B. Tauris &

Co. Ltd., 2011), h. 212.

75
sajakah isi di balik langit yang biru itu. Demikian juga pada usia
delapan telah beliau mampu membaca dan mengapresiasi kitab
Bakti (Xiàojīng 孝經)4.
Pada tahun 1140M ayahnya yang menjabat asisten direktur
pada Kementerian Personalia mengundurkan diri karena menolak
berdamai dengan penyerbu Jīn (金朝 Jīncháo, 1111M--1224M),
maka kemudian mundur dan tinggal di distrik Jiànyáng (建陽. Di
sana Zhū Xī diajari di rumah. Tiga tahun kemudian ketika ayahnya
menjelang ajal telah mengungkapkan keinginannya supaya Zhū Xī
belajar bersama teman-temanya: Liú Zihuī (劉子翬, 1101M--
1147M), Liú Miǎnzhī (劉勉之, 1091M--1149M) dan Hú Xiàn (胡憲,
1086M--1162M). Liú Miǎnzhī demikian menyukai Zhū Xī sehingga
belakangan malah mengijinkan putrinya menjadi istri Zhū Xī.
Pada usia 19 pada pada tahun 1148M beliau memperoleh
gelar kesarjanaan urutan atas yakni tingkat nasional (Jìnshì 進士),
dan pada tahun 1151M ditunjuk hakim di kabupaten Tóng’ān (同安)
Fújiàn (福建) untuk bertugas di sana sampai 1156M. Di daerah itu
beliau melakukan peningkatan kapasitas sekolah-sekolah,
membangun perpustakaan, menyelenggarakan upacara
pengorbanan/persembahyangan, menganjurkan adanya upacara
pernikahan, memperkuat pertahanan kota, dan membangun
kelenteng peringatan untuk tokoh lokal yang pantas diteladani, dan
lain lain5.
Sebelum ke Tóng’ān, beliau menemui bakal guru resminya Lǐ
Tóng (李侗, 1093M--1163M) dan tahun 1158M saat kembali ke
Jiànyáng, Zhū menemuinya lagi. Pada tahun 1160M Zhū resmi
mengikuti Lǐ Tóng sebagai murid, dan pada tahun 1162M Zhū
mengunjunginya lagi. Di bawah pengaruh Lǐ Tóng, Zhū Xī
membuang minatnya terhadap meditasi Buddhisme Chán (禪) dan

4 Xiàojīng (孝經) Kitab Bakti, merupakan kitab tuntunan pembinaan diri

dalam hal perilaku bakti anak kepada orang tuanya, dibukukan olehcontoh
salah seorang murid Nabi Kŏngzĭ bernama Zēngzĭ (曾子); Lihat Tjhie, Tjay Ing.
dkk., Kamus Istilah Keagamaan Khonghucu, dalam Kamus Istilah Keagamaan
(Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu), selanjutnya akan disingkat
KIK Khonghucu, Cet-1. ISBN 978-602-8766-97-5. (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2014), h. 595.
5 Chan, Chu Hsi and Neo-Confucianism, h. 595.

76
berkonsentrasi pada aliran pemikiran Konfusianisme. Doktrin
Konfusianisme yang dikembangkan oleh Chéng Hào (程顥,1032M--
1085M) dan Chéng Yí (程頤, 1033M--1107M) yang diwarisi kepada
Yáng Shí (楊時, 1053M--1135M) lalu kepada Luó Cóngyàn (羅從彥,
1072M--1135M) kemudian kepada Lǐ Tóng (李侗, 1093M--1163M).
Jadi terlihat bahwa di awal kehidupan Zhū Xī tradisi Konfusianisme
telah mapan.
Pada 1159M Zhū Xī dipanggil ke ibukota sementara Lín-ān (臨
安, zaman sekarang bernama kota Hángzhōu 杭州), namun karena
seseorang di istana memboikotnya maka langkah Zhū Xī tertahan.
Ketika Kaisar Xiào Zōng (孝宗) naik tahta pada tahun 1162M, Zhū
mengajukan sebuah petisi tertutup yang isinya mendesak kaisar
untuk6:
1. Agar mempraktekkan ajaran Konfusianisme terutama tentang
‘mengimankan (mentuluskan) tekad (chéngyì 誠意)’7 dan
‘meluruskan hati-pikiran (zhèngxīn正心)’8 sebagaimana yang
dituntunkan dalam kitab Dàxué (大學),
2. Agar tidak berdamai dengan para penyerbu Jīn (金),
3. Agar menempatkan orang-orang layak di kantor
pemerintahan.
Menanggapi panggilan kekaisaran, Zhū tiba di Lín-ān pada
akhir tahun 1163M. Pada saat itu perdana menteri Tāng Sītuì (湯思

6 Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi, h.


596.
7 Dalam KIK Khonghucu dijelaskan bahwa ‘mengimankan (mentuluskan) tekad’

chéngyì (誠意) juga memiliki beberapa pengertian 1 pemikiran yang beriman atau
tekad yang penuh iman, suatu kemauan yang pasti, menghayati apa yang
terkandung dalam niat (sesuai kitab Mèngzĭ IV.B:14); 2 jujur dan tidak mendustai
diri sendiri untuk senantiasa menyukai kebaikan dan membenci keburukan (sesuai
kitab Dàxué VI:1); Lihat Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 496.
8 Dalam KIK Khonghucu dijelaskan bahwa zhèngxīn (正心) bermakna

‘menempatkan/meluruskan/ mengoreksi hati-pikiran secara tepat’; sebagai salah


satu tahapan pembinaan diri sesuai yang dibimbingkan di dalam kitab Dàxué (大學
), untuk mencapai ke arah itu wajib pula diawali beberapa langkah awal antara lain
‘meneliti hakikat tiap perkara’ (géwù 格物), ‘mencukupkan pengetahuan’ (zhìzhī 致
知), dan mengimankan/mentuluskan tekad (chéngyì 誠意); Lihat Tanuwibowo dan
Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 609.

77
退, wafat 1164M) bermaksud akan berdamai dengan Jīn (金,
Jurchen), maka dalam tiga audisensinya dengan kaisar, Zhū
mendesak sang kaisar agar supaya kaisar dan aparatur
pemerintah9:
1. Melaksanakan gerakan ‘meneliti hakikat setiap perkara /
segala sesuatu’ (géwù 格物)10 dan juga ‘memperluas
pengetahuan’ (zhìzhī 致知)11 yang juga diajarkan dalam kitab
Dàxué (大學)
2. Menolak Jīn (金),
3. Mendengarkan pendapat rakyat.
Pada akhir tahun itu Zhū diangkat menjadi profesor pada
akademi militer kerajaan (武學博士 wǔxué bóshì). Zhū menekuni
jabatan itu, namun pada tahun 1165M beliau mendapati bahwa
Perdana Menteri Hóng Kuò (洪适, 1117M--1184M) hendak
memenuhi tuntutan penyerbu Jīn (金), maka Zhū kembali ke desa

9 Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi,


h. 596.
10Dalam KIK Khonghucu dijelaskan bahwa géwù (格物) bermakna meneliti
hakikat setiap perkara (segala sesuatu), sebagai tahap pertama (dari total
empat tahap) dalam usaha manusia membina diri, yakni dengan cara
mempelajari berbagai kitab dan berbagai kejadian, sebelum melanjutkan
dengan tahapan lainnya: ‘mencukupkan pengetahuan (zhìzhī 致知)
‘mengimankan/mentuluskan tekad (chéngyì 誠意)’ dan meluruskan hati-
pikiran (zhèngxīn 正心)’; metode ini juga menjadi kajian dan cara pembinaan
diri kaum Neo-Confucian (Dàoxuéjiā 道學家); Lihat Tanuwibowo dan Tjhie
dkk., KIK Khonghucu, h. 513--514.
11 Dalam KIK Khonghucu dijelaskan bahwa zhìzhī (致知) bermakna

‘mencukupkan pengetahuan’ adalah sebagai tahap kedua (dari total empat


tahap) dalam pembinaan diri manusia (setelah ia mampu melewai tahap awal
yakni ‘meneliti hakekat setiap perkara géwù (格物)’, melakukan zhìzhī ini
adalah dengan cara memperdalam dan memperluas pengetahuan, sebelum
memasuki tahapan lanjutannya yakni ‘mengimankan/mentuluskan tekad
(chéngyì 誠意)’ dan ‘meluruskan hati-pikiran (zhèngxīn 正心)’; ‘mencukupkan
pengetahuan’ ini menjadi salah satu metode pembinaan diri kaum Neo-
Konfusian aliran rasional Chéng-Zhū Lĭxué (程朱理學), agar dengan
kemampuan itu manusia akan dapat memahami Lĭ (理) atau asas/prinsip yang
merupakan hukum metafisik puncak dari seluruh alam semesta; Lihat
Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 612.

78
Wǔfū (五夫) kabupaten Chóng‘ān (崇安) Fújiàn yang telah menjadi
rumahnya sejak 1143M. Untuk selanjutnya selama empat belas
tahun, ia berulang kali menolak jabatan. Zhū sangat produktif dalam
periode ini, beliau menulis banyak buku, menerima banyak murid,
dan melakukan berbagai korespondensi dalam diskusi yang ilmiah
dengan para pakar yang lain12.
Pada tahun 1166M Zhū berkorespondensi dengan Zhāng Shì
(張栻, 1133M--1180M) dan kawan-kawannya dari Húnán (湖南)
dengan topik keseimbangan dan harmoni. Zhū yakin bahwa
keseimbangan dan harmoni dapat dicapai hanya setelah pikiran
menjadi aktif. Dalam korespondensi berbentuk surat dengan Zhāng
dan kawan-kawan tahun 1169M Zhū kemudian telah menyadari
bahwa pencapaian tersebut dapat dicapai baik sebelum dan
sesudah pikiran menjadi aktif, sebuah titik yang dapat dianggap
sebagai kematangan penuh dari pemikirannya.
Zhū kemudian mengkompilasi Hénán Chéngshì Yíshū (河南程
氏遺書 Karya Peninggalan Kedua Bersaudara Chéng) pada tahun
1168M. Fakta ini memperlihatkan bahwa pada saat ini Zhū telah
menjadikan Konfusianisme -atau lebih tepatnya NeoKonfusianisme
yang dikembangkan oleh kedua bersaudara Chéng- sebagai jalur
ortodoksi. Pada tahun 1172M Zhū juga menulis Xīmíng Jiěyì (西銘解
義 penjelasan atas Xīmíng ‘Prasasti Sebelah Barat’ karya Zhāng Zài
(張載1020M--1077M)13. Setahun kemudian beliau lanjut dengan
menulis komentar atas naskah Tàijí Túshuō (太極圖說 Penjelasan
Diagram Mutlak Besar’) karya Zhōu Dūnyí (周敦頤,1017M--1073M).
Karya-karya itu telah dijadikan dasar oleh Zhū sebagai pola etika
dan kosmologi Neo-Konfusianisme. Zhū menyadari karya-karyanya
ini sangat penting –dan mungkin ingin terus direvisinya- maka Zhū
belum mengungkapkana kepada para siswanya sampai tahun
1188M14.

12 Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi,


h. 596.
13 Xīmíng (西銘) adalah karya Zhāng Zài yang sangat dikagumi Zhū Xī, dan

menjadi salah satu dasar falsafah Zhū di bidang moralitas.


14 Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi, h.

596.

79
Pada 1175M Lǚ Zǔqiān (呂祖謙, 1137M--1181M) seorang
teman Zhū datang berkunjung, dan bersama-sama mereka
menyeleksi karya-karya Zhōu, kedua bersaudara Chéng dan Zhāng
Zài untuk kemudian disusun dalam sebuah karya berjudul Jìnsīlù
(近思錄). Buku ini merupakan antologi Neo-Konfusianisme pertama
yang kemudian menjadi dasar bagi pemikiran-pemikiran Neo-
Konfunianisme lanjutan. Karya itu berfungsi sebagai prototipe
antologi pada masa-masa kemudian dan juga menjadi model bagi
naskah Xìnglǐ D{qu|n (性理大全 koleksi Neo-Konfusianisme) yang
sejak 1415M telah mendominasi pemikiran Tiongkok selama
berabad-abad.
Selama kunjungan ini, Lǚ Zǔqiān juga mengatur pertemuan
Zhū dengan Lù Jiǔyuān (陸九淵, alias Lù Xiàngshān 陸象山, 1139M--
1193M) di Kelenteng Danau Angsa di provinsi Jiāngxī (江西) dalam
rangka membicarakan perbedaan-perbedaan pandangan keduanya.
Dalam sejarah tercatat bahwa pada pertemuan itu masing-masing
pihak tetap bertahan dengan pendapatnya sendiri, Lù Xiàngshān
bertahan pada 'memuliakan kebajikan dan watak sejati (尊德性 zūn
déxìng)’, sedangkan Zhū Xī bertahan pada ‘menjalani sikap suka
bertanya dan belajar (道問學dào wènxué)’15 .
Pada tahun 1177M Zhū melakukan penganotasian kitab Lúnyŭ
(論語) 16 dan kitab Mèngzĭ (孟子)17. Pekerjaan ini dilakukan untuk

15 Petikan ayat aslinya: ‘maka seorang jūnzǐ memuliakan kebajikan watak

sejatinya dan menjalankan sifat suka belajar dan bertanya 故君子尊德性而道


問學’; dapat dilihat pada bagian Zhōngyōng (中庸) XXVI:6, dalam Kitab Sìshū
(四書 Kitab Yang Empat), versi Dwilingual dengan Transliterasi H{nyŭ Pīnyīn
oleh Team P3K Deroh Matakin (Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas
Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2013), h. 82.
16 Lúnyŭ (論語) nama salah satu kitab suci yang tergabung dalam kitab

Sìshū (四書), terkandung kumpulan ajaran, kehidupan sehari-hari serta


percakapan Nabi Kŏngzĭ dengan para muridnya; Lihat Tanuwibowo dan Tjhie,
dkk., KIK Khonghucu, h. 547.
17 Frasa Mèngzĭ (孟子) memiliki dua makna: 1 nama seorang penganut

utama sekaligus penegak ajaran Nabi Kŏngzĭ pada zamannya sekaligus salah
satu dari sìpèi (四配, empat pendamping Nabi Kŏngzĭ), beliau bernama asli
Mèng Kē (孟軻, 371 SM--289 SM) dan bergelar wakil nabi atau yàshèng (亞聖);
2 Kitab Mèngzĭ, sebagai bagian ‘kitab yang pokok’ dalam jajaran kitab agama
Khonghucu, berisi tulisan Mèngzĭ yang menerangkan dan menegakkan kembali

80
mendukung interpretasi beliau sendiri di antara para ahli Neo-
Konfusian lainnya. Zhū telah mengerjakan studinya terhadap kitab-
kitab klasik itu selama bertahun-tahun dan beliau ingin
pekerjaannya ini kelak dapat mewakili tingkat tertinggi
pembentukan Neo-Konfusianisme.
Kehidupan Zhū tidak terbatas pada teori sama sekali, misalnya
di kampung halamannya Zhū mendirikan sebuah komunitas
lumbung yang mensuplai persediaan pangan yang cukup untuk
sekitar area lima puluh Lǐ (里) persegi, dan hal ini menjadi model di
banyak daerah selama berabad-abad. Pada tahun 1179M dia
menjadi pejabat untuk daerah administrasi Nánkāng (南康, zaman
sekarang ini telah menjadi kabupaten Xīngzi 星子 provinsi Jiāngxī
江西). Saat itulah Zhū telah dua kali menolak pemberian jabatan
dan hanya menerima sekali atas dorongan kuat dari Lǚ Zǔqiān dan
Zhāng Shì.
Sementara itu di Nánkāng, Zhū mempromosikan pendidikan,
secara pribadi memberi ceramah kepada siswa pada setiap empat
atau lima hari. Zhū membangun sebuah kelenteng untuk Zhōu
Dūnyí serta membangun ulang Akademi Rusa Putih (Báilùdòng
Shūyuàn 白鹿洞書院), sebuah institusi penting yang memainkan
peran penting Neo-Konfusianisme serta berposisi sebagai akademi
ternama selama ratusan tahun. Zhū juga membangun tanggul-
tanggul kota dan melakukan berbagai langkah-langkah yang perlu
dalam upaya menanggulangi bahaya kelaparan.
Pada tahun 1180M Zhū membuat kaisar marah karena
mengirimkan sebuah peringatan tersegel yang di dalamnya Zhū
berpandangan bahwa tekanan ekonomi, kelemahan militer, dan
korupsi politik dapat dihapus hanya jika kaisar dan para pejabat
merombak pandangannya. Zhū mengundang Lù Xiàngshān ke
Akademi Gua Rusa Putih di Lúshān (廬山) untuk memberi ceramah,
dan ceramah Lù tentang perbedaan antara kebenaran dan
keuntungan (lìyì 利義) membuat audiensnya mengucurkan air mata.
Zhū sendiri telah menyiapkan ceramah yang ditulis untuk murid-

ajaran Nabi Kŏngzĭ serta percakapan beliau dengan murid-muridnya serta


raja/orang yang sezaman dengannya.

81
muridnya, yang kemudian isi ceramah itu dituliskan di atas batu
prasasti18.
Ketika masa jabatannya berakhir pada tahun 1181M, Zhū
diangkat sebagai kepala pengawas yang membawahi kantor ‘urusan
umum lumbung teh dan garam’ (chángpíng cháyán gōngshì 常平茶
鹽公事) di Barat Jiāngnán (江南, yang meliputi sebelas area
administrasi provinsi Ānhuī 安徽 dan Zhèjiāng 浙江). Sambil
menunggu untuk menjabat, Zhū kembali ke rumah, dan ketika di
akhir tahun terjadi kelaparan besar di Timur Zhèjiāng (enam area
administrasi), Perdana Menteri Wáng Huái (王淮, 1127M--1190M)
merekomendasikan Zhū menjabat di daerah itu. Selama dua belas
bulan Zhū memegang jabatan itu, dengan ekstensif Zhū berkeliling
daerah yang dilanda kelaparan dan mendirikan lumbung untuk
masyarakat di sana; Zhū memecat dua orang pejabat (termasuk
keluarga PM. Wáng Huái), dua hakim dan beberapa keluarganya,
serta menganulir kelenteng Qín Guì (秦檜, 1090M--1155M)19.
Zhū juga telah mengadakan audiensi dengan kaisar dengan
topik masalah pembiaran pejabat jahat menduduki beberapa pos
jabatan. Pada saat itu Zhèng Bǐng (鄭丙1130M--1198M) menteri
Personalia Sipil (hùbù shàngshū戶部尚書) melakukan demo
menyerang doktrin kedua bersaudara Chéng. Pejabat Pemeriksa
Chén Jiǎ (陳賈) menyerang Dàoxué (道學, nama saat itu bagi Neo-
Konfusianisme) sebagai ‘bermuka-dua’. Keduanya membidik Zhū Xī,
namun serangan mereka tetap tidak mampu menghalangi Zhū
mempromosikan Neo-Konfusianisme20.
Pada tahun 1184M--1185M Zhū mengkritik doktrin idealistik
Lù Xiàngshān dan paham utilitarianisme Chén Liàng (陳亮, 1143M--
1194M), bahkan Lǚ Zǔqiān pun tidak luput dari kritikan Zhū. Dua
tahun kemudian pada tahun 1187M, Zhū ditunjuk sebagai ‘Hakim
Agitasi di Barat Jiāngnán (jiāngnán xīlù tídiǎn xíngyuè 江南西路提點
刑嶽)’, namun pada bulan keenam tahun 1188M, sebelum Zhū

18 Lihat Chan, Life and Thought, h. 8.


19 Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi,
h. 597
20 Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi,
h. 598.

82
menjabat, Zhū mendapat kesempatan untuk beraudiensi dengan
kaisar di mana beliau menekankan bahwa hanya ketika
asas/prinsip Tiān (Tiānlǐ 天理) mengatasi keinginan egois manusia
(rényù 人欲), ketika pikiran manusia diperbaiki/diluruskan, dan
ketika kehendak/tekat menjadi tulus/beriman, maka kesulitan
ekonomi akan dapat dilepaskan, dan selanjutnya pemerintah
direformasi, kemudian para pejabat jahat mestinya juga dipecat.
Pada saat ini, kaisar telah merasa capai dengan nasihat
moralitas Zhū. Zhū ditunjuk menjadi direktur di kementerian
‘Angkatan Darat (bīngbù lǎngguān 兵部朗官)’ tapi Zhū menolak.
Pada bulan kesebelas, merasa bahwa beliau masih belum
sepenuhnya mengungkapkan pendiriannya, Zhū mengirim lagi
sebuah peringatan tersegel di mana Zhū menganjurkan enam
langkah untuk: memperbaiki pikiran, mempekerjakan pejabat yang
layak, menegakkan disiplin, mereformasi kebiasaan sosial,
memberikan kesejahteraan kepada rakyat, dan mereformasi militer.
Meskipun kaisar telah pensiun pada saat peringatan tersebut tiba
pada tengah malam, kaisar bangkit dan membacanya dengan cahaya
lilin. Keesokan paginya Zhū ditunjuk sebagai ‘Pejabat Penerangan
(chóngzhèng diànshuō shū崇政殿說書)’, namun karena beberapa
pejabat mengumumkan bahwa pemikiran Dàoxué yang
dipromosikan Zhū jelek, Zhū menolak pengangkatan tersebut.
Dari tahun 1190M sampai 1191M, beliau menjabat di daerah
administrasi Zhāngzhōu (漳州) Fújiàn. Di sana Zhū mempromosikan
pendidikan moral, mengatur upacara-upacara persembahyangan,
menghapuskan pajak yang tidak diatur, melarang pria dan wanita
berkumpul di tempat-tempat ibadah Buddhis melafalkan naskah
suci, melarang biara wanita, dan mendakwa seorang hakim yang
melakukan pencatutan. Tetapi, rekomendasi Zhū untuk persoalan
tanah dan reformasi pajak, bagaimanapun tidak diperhatikan oleh
pemerintah pusat21.
Pada tahun 1194M, Zhū menjabat Komisaris Pengamanan di
Jīnghú (荊湖) Selatan yang berbasis di daerah administrasi Tánzhōu
(潭州, zaman sekarang di Chángshā 長沙 provinsi Húnán 湖南)

21 Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi,


h. 598.

83
selama tiga bulan, cukup lama untuk meyakinkan penduduk asli
yang memberontak agar menyerah dan melakukan beberapa
langkah reformasi pendidikan. Ketika Kaisar Níngzōng 寧宗 naik
tahta tahun itu, atas rekomendasi perdana menteri Zh{o Rǔyù (趙汝
遇, 1140M--1196M) Zhū menjadi dosen yang membahas tentang
kitab Ajaran Besar. Zhū mengurangi jumlah hari libur dan mengajar
setiap hari kedua. Zhū dianugerahi gelar ‘earl’. Tapi kemudian,
karena Zhū menentang anggota keluarga kaisar yang berpengaruh
Hán Tuózhòu (韓佗冑, meninggal tahun 1207M), gelar itu terlepas
walaupun sudah ada intervensi PM. Zh{o Rǔyù. Kaisar hanya
menghendaki Zhū untuk memberi kuliah, tidak mengganggu
urusan kaisar.
Zhū Xī kemudian kembali ke Fújiàn dan menetap di Kǎotíng
(考亭) di Kabupaten Jiànyáng (建陽), yang berjarak sekitar 120 lǐ
dari Desa Wǔfū. Pada saat itu kerabat kaisar Hán Tuózhòu memiliki
kekuatan yag besar di tangannya. Hán menuduh PM. Zhào
berkomplot, dan Zh{o melarikan diri ke Yǒngzhōu (永州, zaman
sekarang Kabupaten 零陵Línglíng provinsi Húnán 湖南) hingga
menjelang akhir tahun 1195M. Zhū Xī merancang sebuah petisi
panjang untuk menyerang pejabat jahat dan bermaksud membela
Zhào. Atas dorongan muridnya beliau melakukan pengkajian
dengan melakukan konsultasi zh{nbǔ (占卜). Hasilnya
menyarankan Zhū untuk mundur, dengan itu maka beliau lalu
membakar petisinya itu, mundur dan kemudian menamakan dirinya
dùnwēng (遯翁, orang tua yang telah mundur).
Selama hampir lima puluh tahun setelah mendapat gelarnya,
hanya sembilan tahun Zhū menjabat di pemerintahan dan tidak
lebih dari empat puluh enam hari pernah hadir di istana22. Dalam
tiga petisi tersegelnya kepada kaisar pada tahun 1162M, 1180M,
dan 1188M dan di tiga kali audiensinya dengan kaisar pada tahun
1163M, 1181M, dan 1188M Zhū dengan putus asa telah mencoba
melakukan usulan reformasi politik dan moral. Di kantor dia
terbukti menjadi administrator yang pemberani dan efektif.

22 Versi Chan mengatakan total lamanya Zhū menjabat hanya tujuh tahun

enam bulan, namun setuju dengan mencatat hanya 46 hari Zhū di istana; lihat
Life and Thought, h. 8.

84
Tapi nampak sekali beliau tidak mengejar karir/jabatan
politiknya, beliau menolak banyak posisi, terutama menjadi anggota
‘biro urusan militer (shūmìyuàn biānxiū 樞密院編修)’ pada tahun
1169M, pustakawan arsip kekaisaran di tahun 1176M, sebuah
jabatan lain di bagian arsip kekaiasaran di tahun 1181M, pengawas
pengadilan di Barat Jiāngnán pada 1182, eksekutif kementerian di
departemen militer dan pejabat penerangan yunior pada tahun
1188, ‘asisten komisaris keuangan regional (jīnghú nánlù, 荊湖南
路)’ provinsi Hún|n dan sebagian provinsi Guǎngxī (廣西) pada
tahun 1191M, dan komisaris perencanaan dan penambangan di
Barat Guǎngxī (guǎngn|n廣南) pada tahun 1192M. Pada tahun
1169M sebanyak tiga kali beliau menolak jabatan penyusun kantor
urusan militer, dan antara tahun 1170M dan 1173M menolak
pemanggilan ke ibukota sebanyak lima kali. Pada 1178M beliau
menerima jabatan di Nánkāng hanya setelah empat kali penolakan
sebelumnya23.
Pada kenyataannya Zhū adalah seorang pria miskin di
sepanjang hidupnya, beliau beberapa kali meminta dan
mendapatkan pekerjaan sebagai Pelindung Kelenteng, sebuah
pekerjaan ringan yang memungkinkannya tinggal di rumah dengan
waktu luang yang cukup untuk mengajar, menulis, dan berdiskusi
dengan cendikiawan terkemuka di saat itu. Dengan cara itulah
beliau mengabdikan hidupnya untuk merangkum dan
menyelesaikan aliran pemikiran Neo-Konfusianisme. Beliau
mengorganisir filsafat Zhōu Dūnyí (周敦頤), kedua bersaudara
Chéng (Èrchéng 二程) dan Zhāng Zài (張栽) menjadi suatu
perpaduan yang harmonis; menentukan arah Neo-Konfusianisme;
menggenapkan teorinya tentang Tàijí (太極 Mutlak Besar), Lǐ (理
asas/prinsip) dan Qì (氣 tenaga kebendaan/material); menetapkan
garis transmisi tradisi ortodoksi Konfusianisme (D{otǒng 道 統);
membawa doktrin Chéng Yí (程頤) tentang penyelidikan berbagai
benda/hal sampai ke titiknya yang tertinggi, dan memulai
menghentikan kebiasaan interprestasi kitab-kitab klasik
Konfusianisme seperti kitab Sanjak (Shījīng 詩經), kitab

23 Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi,


h. 599.

85
Dokumentasi Sejarah (Shūjīng 書經), kitab Perubahan (Yìjīng 易經
khususnya dalam beberapa bagian Penjelasan Yìjīng), kitab Catatan
Kesusilaan (Lĭjì 禮記), dan karya-karya lainnya24.
Tapi bagi sebagian pejabat pemerintah, Neo-Konfusianisme
adalah doktrin yang berbahaya. Serangan mereka terhadap Neo-
Konfusianisme sebagai "ajaran palsu" menjadi semakin hebat.
Ajaran Chéng Yí (程頤) dan tokoh yang lainnya dilarang. Bagian
‘Penyensoran Penyidik ( jiānch| yùshǐ 監察御史)’ di bawah Shěn
Jìzǔ (沈繼祖) menuduh Zhū Xī dalam sepuluh kejahatan, termasuk
"ajaran palsu". Tindakan ini dihasut oleh Hú Hóng (胡紘) wakil
direktur urusan ‘Upacara Pengorbanan Kekaisaran (tàicháng
shǎoqīng 太常少卿)’, yang menurut catatan pernah disakiti Zhū
karena beberapa tahun sebelumnya pernah mengunjungi Zhū dan
hanya disuguhkan makanan biasa tanpa anggur atau daging ayam25.
Bahkan calon pejabat resmi bernama Yú Zhe mengajukan petisi
menghukum Zhū. Sebagai akibat serangan ini Zhū dipecat dari tugas
penghimpunan dan juga atas tugas perwalian kelentengnya. Cài
Yuándìng (蔡元定文, 1135M--1198M) seorang murid yang oleh Zhū
Xī lebih dianggap sebagai teman dan telah lama berhubungan juga
diincar untuk kemudian ditangkap dan diusir. Pada 1197M--1198M
serangan terhadap “ajaran palsu” telah menjadi semakin parah.
Pada tahun berikutnya, atas permintaannya sendiri, gelarnya telah
dihapus dan beliau mulai menerima pengunjung dengan pakaian
informal sebagai seorang warga biasa. Setahun kemudian, di tahun
1200M, beliau meninggal dunia. Namun, terlepas dari suasana
politik yang ada, hampir seribu orang hadir pada upacara
pemakamannya. Ketika iklim politik membaik sembilan tahun
kemudian (1209M) beliau dianugerahi gelar anumerta ‘budayawan
(wén 文), dan pada tahun 1230M beliau dianugerahkan gelar
‘Pangerah Huī (徽公 Huī Gōng)’, serta akhirnya pada tahun 1241M
papan nama (arwah)-nya ditempatkan di Kelenteng Nabi Kŏngzĭ.
Selama hidupnya Zhū Xī menulis, mengumpulkan, dan menulis
anotasi hampir seratus karya di bidang-bidang: filsafat, sejarah,

24 Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi,


h. 599.
25 Lihat juga Chan, Life and Thought, h. 12.

86
agama, sastra, dan penulisan biografi. Di samping yang telah
disebutkan di atas ‘Pembentukan Bab dan Pemberian Komentar
Kitab Yang Empat (Sìshū Zhāngjù Jízhù 四書章句集註)’ adalah yang
tidak boleh diabaikan. Selain anotasi kitab ‘Sabda Suci (Lúnyŭ 論語,
Analects)’ dan kitab Mèngzĭ (孟子, Mencius), juga termasuk
‘Pembagian Bab dan Pemberian Komentar Kitab Ajaran Besar
(Dàxué Zhāngjù大學章句)’ serta ‘Pembagian Bab dan Pemberian
Komentar Kitab Tengah Sempurna (Zhōngyōng Zhāngjù 中庸章句)’.
Kedua karya itu telah beliau kerjakan selama dua tahun sebelumnya
namun belum dibuatkan kata pengantarnya sampai tahun 1198M.
Karya pada Ajaran Besar (Dàxué) tidak pernah benar-benar selesai,
tiga hari sebelum beliau meninggalpun beliau masih
mengerjakannya. Pada 1313M sebuah dekrit kekaisaran
memerintahkan agar komentar beliau atas kitab Yang Empat (yang
telah diterbitkannya pada tahun 1190) menjadi interpretasi resmi
standar dan dasar ujian pegawai negeri sipil negara. Karya-karya itu
tetap menjadi acuan sampai sistem ujian kekaisaran dihapuskan
pada tahun 1905M. Jadi selama hampir enam ratus tahun karya-
karya itu telah hampir menjadi ‘Alkitab’ bagi bangsa Tionghoa26.
Hasil percakapannya telah dikumpulkan dalam buku
‘Percakapan Mahaguru Zhū yang Tergolong-golongkan’ (Zhūzi Yǔlèi
朱子語類)’ dalam 140 bab, serta ‘Kumpulan Karya Sastra Mahaguru
Zhū (朱子文集 Zhūzi Wénjí)’ dalam 121 bab27. Ibunya, Zhù (祝)
meninggal pada pada 1169M pada usia tujuh puluh tahun
sedangkan istrinya meninggal pada tahun 1176M. Mereka memiliki
tiga putra, termasuk Zài (在, lahir 1169M) yang menjadi ‘asisten
menteri departemen personalia sipil (hùbù shìláng 戶部侍郎M)’ dan
lima anak perempuan, yang salah satunya menikah dengan Huáng
Gàn (黃榦, 1152M--1221M) seorang murid terkasih dan paling
ternama28.

III.B. Sumbangsih Zhū Xī Bagi Neo-Konfusianisme.


Mengapa Zhū Xī adalah tokoh terpenting? Profesor Koller

26 Chan: Chu Hsi & Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi, h. 600.
27 Chan: Chu Hsi & Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi, h. 600.
28 Chan: Chu Hsi & Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi, h. 600.

87
menyatakan antara lain karena jasa terbesar Zhū Xī dalam menafsir
ulang dan menggabungkan, mensintesa pemikiran para pemikir
Konfusianisme dan Neo-Konfusianisme sebelumnya. Zhū Xī
memberi dasar yang kuat bagi filsafat praktis yang menekankan
pemulihan kembali kodrat alami manusia yang baik dan murni
melalui pengolahan diri secara moral. Zhū Xī dengan berdasar pada
jalur dan gagasan Mèngzi telah berhasil memadukan pemikiran
metafisis pemikir Konfusianisme dan Neo-Konfusianisme awal dan
mencapai taraf kesempurnaan sistematis. Filsafatnya lebih
terperinci dibanding para pendahulunya29.
Di tangan beliau lengkap dan jelaslah sudah segenap
peristilahan-peristilahan utama agama dan filsafat Neo-
Konfusianisme, termasuk bagaimana hubungan antara peristilahan-
peristilahan utama Neo-Konfusianisme: Tàijí (太極), Lǐ (理), Qì
(氣), Xìng (性), Géwù (格 物) dan Rén (仁)30.
Profesor Chan telah meringkaskan peran dan sumbangsih Zhū
Xī bagi Neo-Konfusianisme sebagai berikut:
1. Mementukan arah Neo-Konfusianisme dengan cara
mengorganisir filsafat Zhōu Dūnyí (周敦頤), kedua
bersaudara Chéng (Èrchéng 二 程) dan Zhāng Zài (張栽)
menjadi suatu perpaduan yang harmonis; Beliau mengambil
Tàijí (太極) Zhōu tapi menyingkirkan ‘unsur’ Taoismenya,
mengambil karya Zhāng tapi tidak terpaku pada teori Qì (氣)-
nya, beliau menghindari filsafat Shào Yōng (邵雍) yang
menurutnya terlalu mekanistis dan Taoistis; semua ini
membawa arah Neo-Konfusianime pada arah sebagaimana
Neo-Konfusianisme yang mandiri 31;
2. Menyampaikan paduan lengkap teorinya tentang Tàijí (太極,
Mutlak Besar), Lǐ (理 asas/prinsip) dan Qì (氣tenaga
kebendaan/material); beliau telah berhasil mengklarifikasi
hubungan antara Lǐ (理 asas/prinsip) dan Qì (氣) yang tidak
dicapai baik oleh kedua bersaudara Chéng maupun Zhāng

29 Koller, Filsafat Asia, h. 623-624.


30 Chan, Source Book, h. 589--580.
31 Chan, Life and Thought, h. 105--110.

88
Zài; serta mengangkat dan memosisikan Tàijí (太極) Zhōu
Dūnyí pada posisi dan peran yang tepat32.
3. Membawa ke puncaknya konsep kemanusiaan/cinta kasih (仁
Rén) yang menjadi pusat kaajian Konfusianisme klasik,
dengan mereinterprestasikan secara lengkap dan luas dan
mengaitkan serta memberikannya landasan metafisika33
4. Menyempurnakan dan menyusun tabel jalur penyebaran
tradisi ortodoksi Konfusianisme (D{otǒng 道 統) yakni suatu
susunan yang meliputi dari Nabi Purba Fú Xī (伏羲), Shén Nóng
(神農), Huángdì (黃帝), Yáo (堯), Shùn (舜), Yŭ (禹), Chéng
Tāng (成湯), Wén Wáng (文王), Wŭ Wáng (武王), Zhōu Gōng
(周公), Kǒngzi (孔子), Yánzĭ (顏子), Zēngzĭ (曾子), Zĭ Sī ( 子思),
Mèngzi (孟子), Zhōu Dūnyí (周敦頤), Chéng Hào (程顥) dan
Chéng Yí (程頤) sampai kepada Zhū Xī ( 朱熹) sendiri34.
5. Mengangkat dua bab dari kitab Kesusilaan yakni Zhōngyōng
(中庸) dan Dàxué (大學) dan menyatukannya dengan kitab
Mèngzĭ (孟子) serta kitab Lúnyŭ (論語). Beliau kemudian
menulis tafsiran kitab-kitab itu dalam Sìzi (四子) yang
belakangan dikenal sebagai Sìshū Zhāngjù Jìzhù (四書章句記注)
kitab yang sejak 1313 menjadi acuan ujian negara kekaisaran
Tiongkok saat itu. Beliau menyusun pula kitab-kitab anotasi
yang mandiri terhadap empat kitab itu. Beliau menghentikan
studi-studi yang luas terhadap kitab-kitab klasik Konfusianisme
dan menganjurkan memakai kitab-kitab yang berasal zaman
Nabi Kŏngzĭ dan sesudahnya35.

III.C. Konsep Lǐ (理) Zhū Xī dalam Kosmogoni Neo-


Konfusianisme.
Sebelumnya perlu disampaikan makna dan pemilihan kata
kosmogoni. Menurut KBBI kata kosmogoni bermakna “…teori

32 Chan, Life and Thought, h. 110--119.


33 Chan, Life and Thought, h. 119--120.
34 Chan, Life and Thought, h. 121--125.
35 Chan, Life and Thought, h. 130--138.

89
tentang asal mula terjadinya benda langit dan alam semesta…” 36,
sedangkan kosmologi memiliki pengertian yang lebih kompleks,
lebih beragam dan lebih mendalam daripada kosmogoni. Kata
kosmologi dalam kamus telah dikaitkan lebih lanjut dengan sistem
tata-surya dan astronomi dan maka terasa lebih bernuansa
modern37. Terlepas bahwa kosmologi itu merupakan bagian dari
metafisika, juga terlepas bahwa dalam persoalan asal-usul alam
semesta para pakar menyebutnya dengan kosmologi, namun oleh
karena bahasan dalam tesis ini berkenaan dengan teori penjadian
alam semesta yang berlaku di zaman dahulu, maka penulis lebih
cenderung untuk memilih menggunakan istilah kosmogoni.
Zhū Xī bukanlah penemu konsep Lǐ (理), beliau adalah
peramu, pelengkap yang telah berhasil membangun filsafat konsep
Lǐ (理) dari para pendahulunya menjadi suatu sisitem filsafat yang
lengkap dan sistematis, sehingga konsep ini menjadi tema sentral
dalam Neo-Konfusianisme. Sedemikian sentralnya sehingga juga
telah menjadi alternatif nama aliran pemikiran itu yakni: Lǐxué (理
學, studi atau sekolah Lǐ), atau dikenal juga sebagai aliran
rasionalisme38, walaupun di samping itu masih ada juga penamaan-
penamaanyang lain39.
Sebagaimana dibahas pada bab II, beberapa filsuf-agamawan
Neo-Konfusianisme yang bermunculan telah turut memberikan
sumbangsih dalam perkembangan paham konsep Lǐ (理) ini. Zhōu
Dūnyí ( 周敦頤, 1017M--1073 M)40 adalah tokoh Neo-Konfusian

36 KBBI Offline V 0.2.0 Beta (20) 2016, last online updated on 9th Oct 2017;

oleh: Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI (Based on


versi V).
37 KBBI Offline (Based on KBBI versi V).
38 Wing-tsit Chan, Zhū Xī and Neo-Confucianism (Hawaii: University of

Hawaii Press, 1986), h. 2.


39 Selain Lǐxué (理學 yang bermakna studi atau sekolah Lǐ), ada istilah

yang lebih sempit yakni: Sòng-Míng lǐxué (宋明理學, Neo-Konfusianisme


zaman Dinasti Sòng dan Míng), sedangkan dalam arti yang lebih sempit lagi
ada juga penyebutan lain yakni: Chéng-Zhū lǐxué (程朱理學 Neo-Konfusianisme
dari Chéng dan Zhū); sedangkan Dàoxué (道學) adalah nama yang sering
dipakai dalam dokumen pemerintahan Tiongkok saat itu.
40 Zhōu Dūnyí ( 周敦頤) seorang tokoh kaum Dàoxuéjiā (道學家, yang

oleh orang barat disebut kaum Neo-Confucian) dari zaman awal Dinasti Sòng

90
pertama yang menggunakan istilah Lǐ (理) dalam karyanya Tōngshū
(通書, Penetrating the Book of Changes). Belakangan Zhū Xī banyak
mengacu pada konsep dari karya-karya Zhōu, terutama dan yang
paling krusial adalah pada konsep Zhōu tentang Tàijí (太極). Itulah
sebabnya pemikiran Zhū Xī banyak mengacu lagi ke karya dan
pemikiran Zhōu. Kemudian telah disampaikan pula dalam bab II
bahwa Shào Yōng (邵雍, 1011 M--1077 M) muncul dengan kajian
utamanya yang bertema kosmogoni dengan memakai lambang atau
diagram yang dikaitkan dengan ‘bentuk’ (象 xiàng) dan
‘angka/numerik’ (數 shù). Namun, seperti juga Zhōu, hanya sedikit
konsep Lǐ yang disampaikan Shào. Zhū jarang mengutip Shào
karena pendekatan Shào, menurut Zhū, terlalu mekanistis dan
condong pada Taoisme. Kemudian ada Zhāng Zài (張載, 1020 M--
1077 M) dengan teori Qì (氣) yang semakin memberikan dasar yang
lebih kokoh pada pembentukan Neo-Konfusianisme. Zhāng dalam
teorinya mengidentikan Qì (氣) dengan Tàijí bukan dengan Lǐ (理)
karena memang dalam pemikirannya Zhāng memang jarang
membicarakan tentang Lǐ (理)41. Akhirnya kedua bersaudara Chéng,
yakni Chéng Hào (程顥, 1032 M--1085M) dan adiknya Chéng Yí (程
頤, 1033 M--M 1107), kedua beliau inilah pada dasarnya sebagai
penemu konsep Lǐ (理), walaupun merekapun pada dasarnya
mengembangkan lebih lanjut pemikiran kosmologi dan etika Zhōu.
Tapi bagi kedua bersaudara Chéng persoalan praktis menyangkut
kemanusiaan dan moralitaslah yang menjadi perhatian utama
mereka. Lǐ (理) di mata kedua bersaudara ini fungsinya lebih
komplit dari fungsi Mutlak Besar (Tàijí) Zhōu. Bagi kedua
bersaudara Chéng Lǐ ini tidak saja sebagai suatu entitas yang
menjadi asal-usul segala sesuatu, namun harus juga menjadi
sesuatu yang bersifat inheren dalam segala sesuatu, memberikan
eksistensi kepada segala sesuatu dan juga mengarahkan
fungsinya42. Lǐ (理) kedua bersaudara Chéng itulah yang akhirnya

(宋朝960--1279), dikenal dengan uraiannya tentang proses alam semesta melalui


melalui gambar/diagram yang termasyur Tàijítú (太極圖)
41 Chan, Life and Thought, h. 50.
42 John M. Koller, Filsafat Asia, cet-1. Penerjemah:Donatus Sermada (Maumere-

Flores: Ledaredo, 2010), h. 615-616.

91
disempurnakan oleh Zhū Xī.
Zhū Xī (朱熹, 1130 M--1200 M) tak pelak adalah adalah tokoh
sentral dan terpenting dari aliran pemikiran Neo-Konfusianisme
yang hidup di era Dinasti Sòng Selatan. Bahkan dalam dunia
Konfusianisme secara keseluruhan beliau adalah orang ketiga
setelah Nabi Kŏngzĭ (Konfusius 孔子, 551 SM--479 SM) dan Mèngzĭ
(Mencius 孟子, 371 SM--289 SM)43. Pemikiran beliau tentang
konsep Lǐ (理) adalah yang dinilai dan terbukti paling komprehensif.
Segenap gagasan agama dan filsafat Neo-Konfusianisme lengkap
disistematisir oleh beliau, termasuk bagaimana hubungan antara
peristilahan-peristilahan utama Neo-Konfusianisme: Tàijí (太極), Lǐ
(理), Qì (氣), Xìng (性), Géwù (格 物) dan Rén (仁)44. Tentu tidak
semua konsep yang disebutkan di atas dibicarakan pada tesis ini,
namun beberapa konsep pemikiran beliau yang berhubungan
dengan batasan masalah tesis ini sajalah yang akan dibicarakan
lanjut, khususnya konsep beliau terkait kosmogoni, yakni terutama
Tàijí (太極), Lǐ (理), dan Qì (氣).
Sebagaimana dibahas dalam bab II, aksara Lǐ (理) dengan arti
dan makna yang sesuai maksud dan penggunaanya dalam dunia
Neo-Konfusianisme (yakni yang bermakna: asas/prinsip) telah
terlebih dahulu mengalami proses pemantapan dan evolusi sejarah
yang panjang dan luas oleh berbagai kalangan45, lalu pada zaman
moderen setelah tiba gilirannya aksara itu dikaji pula oleh pihak
luar Tiongkok, maka para ahli dari luar ini (tentu terutama ahli dari
Barat) telah mengaitkan aksara Lǐ (理) dengan berbagai terjemahan
misalnya: “…asas/prinsip (principle), tata-tertib/keteraturan
(order), pola/susunan (pattern), sebab/alasan (reason)…”46 Namun
terjemahan yang dipakai oleh filsuf kontemporer Tiongkok seperti
Profesor Wing-tsit Chan, Profesor Bo Mou, Profesor Yu-lan Fung

43 Chan, Zhū Xī and Neo-Confucianism, h. 1.


44 Chan, Source Book, h. 589--580.
45 Untuk kajian yang panjang tentang sejarah konsep Lĭ lihat Wing-tsit

Chan: The Evolution of the Neo-Confucian Concept Li as Principle, in the Tsing


Hua Journal of Chinese Studies n.s 4/2 (Beijing: Univ. Tsing Hua, 1964), h. 123-
-149.
46 Wing-tsit Chan (editor), Chu Hsi and Neo-Confucianism (Honolulu

Hawai: University of Hawaii Press, 1986), h. xii dan 631.

92
serta beberapa yang lain adalah ‘principle’. Penulis dengan demikian
menggunakan terjemahan ketiga beliau tersebut dan memahaminya
sebagai terjemahan yang paling mendekati aksara Lǐ (理). Dalam
bahasa Indonesia telah diterjemahkan sebagai ‘asas’ oleh Profesor
Lee T. Oei. Untuk soal definisi (bukan sekedar makna harafiah)
Profesor Mou pakar Neo-konfusianisme kontemporer penyusun
buku peristilahan Filsafat Tiongkok, memberikan definisi singkat
bagi aksara Lǐ (理) sebagai: “…Asas/prinsip puncak dari alam-
semesta yang bersifat abstrak, statis, kekal dan transenden…”47.
Apabila Chéng Hào (程顥) telah menyatakan bahwa: “…segala
sesuatu memiliki Lĭ (理, asas/prinsip)…48, Chéng Yí (程頤) juga
menyatakan: “…segala sesuatu yang ada di kolong langit ini dapat
dimengerti melalui asas/prinsipnya, bahwa jika terdapat sesuatu
maka harus ada asas/prinsip yang khusus untuk sesuatu itu, dan
untuk sebuah sesuatu itu ada satu asas/prinsipnya…”49. Dengan
perkataan yang sederhana dapat kita sebutkan bahwa asas/prinsip
adalah intisari dari berbagai benda/hal. Dalam beberapa bagian
buku Èrchéng Yíshū (二程遺書, karya kedua bersaudara Chéng), di
sana dapat pula dilihat penjelasan-penjelasan yang merupakan
sifat-sifat sekaligus definisi Lĭ 理) bahwa asas/prinsip itu
membuktikan-diri sendiri, mencukupi-diri sendiri, meluas di mana-
mana, dan menguasai segala sesuatu. Asas/prinsip tidak dapat
diperbanyak maupun dimusnahkan. Asas/prinsip itu banyak tapi
pada hakikatnya satu yaitu karena prinsip-prinsip setiap benda/hal
tertentu hanyalah satu. Asas/prinsip adalah hati/pikiran,
kebenaran, tata-aturan alam semesta, hukum alam semesta, dan
dasar penciptaan alam semesta. Ia identik dengan sifat/watak
manusia dan segala benda-benda. Asas/prinsip juga merupakan

47 Bo Mou, Chinese Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University Press Ltd.,

2009), h. 85.
48 Kutipan Pernyataan Chéng Hào dalam kitab besar Èr Chéng Quánshū (二程

全書 Karya Lengkap Kedua Guru Chéng ) khususnya dalam bagian buku Èrchéng
Yíshū (二程遺書 Karya Peninggalan Kedua Guru Chéng) 11.5a, selanjutnya akan
disingkat Yíshū/Karya Peninggalan; Sebagaimana dikutib Profesor Chan dalam Chu
Hsi - Life and Thought, h. 48.
49 Yíshū (遺書, Karya Peninggalan) 18.95a, Sebagaimana dikutib Profesor

Chan dalam Life and Thought h.48--49.

93
sumber dari berbagai kebaikan50.
Terhadap segenap pengertian Lĭ (理) dari kedua bersaudara
Chéng, Zhū Xī memberikan penegasan dan pemahamannya sendiri
yang lebih jauh melalui pernyataannya dalam kitab Zhūzǐ Yǔlèi (朱
子語類)51: “…jika terdapat sesuatu, maka terdapatlah
asas/prinsip…” . Demikian juga beliau melanjutkan bahwa:
52

“…Bahkan sesuatu itu telah rusak/layu tetap memiliki


asas/prinsip…”53. Asas/prinsip mengacu pada Dào (道) yang hadir
‘sebelum bentuk fisik’ (xíng ér shàng 形而上) dan merupakan
dasar/akar dari segala yang diciptakan54. Asas/prinsip juga sudah
ada walau benda/hal itu belum ada. Terhadap pemahaman Zhū Xī
ini Rainey memberikan penjelasan dengan sebuah ilustrasi sebagai
berikut: “…misalnya pada suatu saat tertentu manusia menemukan
komputer, ini sebetulnya adalah proses menemukan prinsip
komputer yang mana sebenarnya prinsip komputer itu sudah ada

50 Paragraf ini adalah parafrase penulis dari ringkasan beberapa

pernyataan kedua Chéng yang diambil dari Èrchéng Yíshū (二程遺書Karya


Peninggalan) misal 1.2a, 2A.19a, 11.5a, 11b, 15.1a dll.; Sebagaimana dikutib
Profesor Chan dalam Life and Thought, h. 110.
51 Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類, Percakapan Mahaguru Zhū Yang Tergolong-

golongkan; edisi 1603 zaman Dinasti Míng. Selanjutnya untuk judul


terjemahan Indonesia akan disingkat Percakapan). Karya ini pertama kali
dikompilasi pada tahun 1270 di zaman Dinasti Sòng oleh Lí Jìngdé (黎靖德).
Edisi Scan-Ebook (total 8 buku) yang dimiliki penulis adalah versi dengan
korektor Wáng Xīngxián (王星賢. Beijing): Běijīng Zhōnghuá Shūjú 北京中華
書局, 1988. Namun Penulis akan lebih banyak mengutip mengikuti edisi
terjemahan Prof Chan yang mengambilnya dari edisi 1603 terbitan Taipei:
Cheng-chung Book Co, 1970, termasuk penamaan babnya.
52 Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類, Percakapan) Ch.4, Sect 28, Chan dalam Life and

Thought, h. 49.
53 Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類, Percakapan) Ch.4, Sect 26-29, Chan dalam Life

and Thought, h. 49.


54 Pernyataan Zhū Xī dalam karya klasik bertajuk Zhūzi Quánshū (朱子全

書, Karya Lengkap Mahaguru Zhū, bagian 58:4b. Selanjutnya judul bahasa


Indonesianya akan disingkat Karya Langkap Zhū). Karya ini disusun pada
zaman Dinasti Qīng (清朝, 1644--1911M) pada tahun 1714 atas perintah
penguasa Dinasti. Pernyataan ini dikutib dan diterjemahkan oleh Profesor
Chan dalam bukunya Source Book, h. 636.

94
sebelumnya…”55.
Sedangkan untuk hubungan atau posisi (Lĭ 理) dengan alam
semesta dan segenap isinya dinyatakan oleh Zhū Xī sebagai berikut:
“…Ringkasan dari segenap ciptaan dan alam semesta ini ketika
ditinjau secara keseluruhan tidak lain adalah asas/prinsip…”56. Zhū
Xī (朱熹) juga dengan tegas menyatakan bahwa asas/prinsip adalah
awal dari alam semesta dalam pesannya yang masyur sebagai
berikut:
“Sebelum ada lagit dan bumi yang ada semuanya hanya asas/prinsip. Ketika
ada prinsip ini selanjutnya ada langit dan bumi. Jika tidak ada asas/prinsip
takkan ada langit dan bumi, tidak akan ada manusia, tidak akan ada
bebagai benda, dan pada kenyatannnya tidak akan ada (sesuatu benda)
yang terkandung (oleh langit dan bumi) untuk dibicarakan 未有天地之先畢
竟也只是理有此理便有此天地若無此理便亦無天地無人無物都無該載了”57.
Selanjutnya kita akan melihat keberadaan asas/prinsip dan
banyaknya benda-benda dan manusia di alam semesta ini, dalam
hal ini beliau memuji ‘gurunya’ (Chéng Yí 程頤) yang telah
mengungkapkan bahwa:
“Asas/prinsip itu satu tapi manifestasinya banyak sekali (lǐ yī fēn shū).
Ketika langit, bumi dan berbagai benda dibicarakan bersama hanya ada
satu asas/prinsip, tapi ketika diterapkan pada manusia akan ada
asas/prinsip masing-masing (khusus) pada tiap individu 理一分殊合天地
萬物而言只是一箇理及在人則又各自有一箇理”58.
Dalam pemikiran Zhū Xī walau segala sesuatu memiliki
asas/prinsip yang sama yakni prinsip yang satu itu, tapi terdapat
juga asas/prinsip yang khusus dalam tiap segala sesuatu, maka
prinsip itu banyak, dapat dikatakan adanya satu prinsip yang

55 Rainey, Confucius and Confucianism, h. 166.


56 Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類, Percakapan). Sebagaimana dikutib dan diterjemahkan
oleh Profesor Chiu-Hansheng (丘漢生) dalam karyanya berjudul “Zhu Xi’s Doctrine
of Principle” yang yang kompilasi oleh (editor) Wing-tsit Chan (陳榮捷) dalam buku
“Zhū Xī and Neo-Confucianism (Honolulu: University of Hawaii Press, 1986), h. 116.
57 Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) bagian 49:3a-b.
Sebagaimana dikutib dan diterjemahkan oleh Profesor Chan dalam Source Book, h.
635.
58 Kutipan Zhū Xī (朱熹) atas pernyataan gurunya yang dimuat dalam Zhūzi

Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) 49:1b, sebagaimana dikutib Chan dalam
Source Book, h. 635.

95
universal dan juga banyak prinsip yang spesifik59.
Dalam beberapa petikan di atas terlihat bahwa Zhū Xī tegas
menyatakan bahwa asas/prinsip adalah sumber atau asal mula dari
pada alam semesta termasuk makhluk hidup. Alam semesta ini
timbul atau ada oleh karena adanya asas/prinsip, demikian juga
benda-benda dan manusia. Kemudian beliau juga telah menyatakan
bahwa prinsip itu tunggal adanya, namun bisa hadir dalam segenap
benda atau segala sesuatu sesuai dengan benda atau sesuatu itu
sendiri, dalam hal ini prinsip itu ada pula dalam segala apa yang ada
di alam semesta ini, maka dikatakan ia satu namun juga banyak.
Selanjutnya, dalam maksud memahami lebih jauh peran
konsep Lǐ (理) dalam kosmogoni Zhū Xī maka dalam bagian berikut
akan dibahas berturut-turut hubungan antara konsep Lǐ (理)
dengan konsep penting lain, yakni konsep ‘tenaga
kebendaan/material’ (氣, Qì material force) serta konsep ‘Maha
Kutub/Mutlak Besar’ (太極, Tàijí, Great Ultimate, Supreme Ultimate),
semua itu terbatasi dalam skop atau tema kosmogoni Neo-
Konfusianisme.

III.D. Hubungan Lǐ (理) dengan Qì (氣) Menurut Zhū Xī.


Qì (氣) adalah suatu konsep klasik dalam filsafat dan agama
Tiongkok yang arti umumnya adalah: “…sejenis tenaga-kebendaan
menyerupai napas/udara yang vital yang amat penting bagi segala
sesuatu…”60. Profesor Bo Mou memberikan definisi spesifik Qì (氣)
khususnya dalam aliran pemikiran Neo-Konfusianisme, bahwa Qì
(氣) adalah “…tenaga kebendaan/material (material force) yang
dinamis, tidak tetap (transient), khusus dan imanen…”61. Pada
pengamatan penulis, dalam Neo-Konfusianisme Qì (氣) itu
bervariasi maknanya dari yang abstrak sampai dengan yang nyata.
Namun bagaimana posisi Qì (氣) terhadap Lǐ (理)? apakah mereka
itu sama saja, bagaimana pula soal urutan kemunculannya, mana

59 Chan, Life and Thought, h.116--117.


60 Bo Mou, Chinese Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University Press
Ltd., 2009), h. 118.
61 Bo Mou, Chinese Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University Press

Ltd., 2009), h. 85.

96
yang duluan? Kita akan lihat dalam penjelasan berikut.
Zhū Xī mengutip peristilahan dalam kitab klasik Yìjīng (易經),
yakni bahwa dalam dunia metafisik hanya terdapat asas/prinsip
yang ‘bebas bentuk’. Tapi, di samping dunia metafisik itu terdapat
pula dunia nyata yang ‘berbentuk’, jadi proses pembentukan alam
semesta di sana bergantung pula kepada tenaga kebendaan/
material (氣 Qì material force). Beliau berkata:
“Pada keseluruhan alam semesta terdapatlah baik itu asas/prinsip maupun
tenaga kebendaan/material. Asas/prinsip mengacu pada Dào, yang eksis
‘sebelum bentuk fisik’ [dan tanpa itu] dan merupakan akar dari mana segala
sesuatu dihasilkan. Tenaga kebendaan/material mengacu pada benda-
benda material (objek), yang ada ‘setelah bentuk fisik xíng ér xià’ [dan
bersamanya] dan ini merupakan instrumen/alat dimana segala sesuatu
dihasilkan. Oleh karena itu dalam penjadian manusia dan benda-
benda:manusia dan benda-benda harus dilengkapi/diberikan asas/prinsip
sebelum watak/sifatnya, dan mereka harus dianugerahi tenaga
kebendaan/material sebelum bentuk fisiknya 天地之間有理有氣理也者形
而上之道也生物之本也氣也者形而下之器也生物之具也是以人物之生必稟
此理然後有性必稟此氣然後有形”62.
Dengan memahami tentang Qì ini Zhū Xī juga dapat
menjelaskan lebih lanjut mengenai doktrin ‘prinsip itu satu tapi
manifesasinya banyak’ dengan meminjam konsep Qì (氣) Zhāng.
Menurut Zhū Xī, dalam kerjanya sebagai Yīn dan Yáng, Qì
teranugerahkan ke dalam diri manusia atau benda-benda dengan
cara dan komposisi berbeda-beda, sedemikian sehingga
penganugerahan itu kokoh/lengkap dan seimbang pada sebagian
manusia dan benda-benda tapi juga kecil/tidak lengkap pada
sebagian manusia dan benda-benda yang lain. Dengan demikian di
alam semesta ini tidak ada satupun manusia dan benda-benda yang
serupa.
Mengenai hubungan asas/prinsip dan tenaga
kebendaan/material, beliau juga lanjut menjelaskan bahwa
“…Keduanya tidak terpisahkan dan saling membutuhkan. Dengan
demikian kita mesti selalu membicarakan serta memahami kedua
konsep itu secara bersama-sama. Lǐ (理) dan Qì (氣) juga tidak
bercampur maupun terpisah satu sama lain, namun Lǐ (理) melekat

62 Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) 49:5b, oleh Chan dalam

Source Book, h. 636.

97
dalam Qì (氣) supaya dapat mewujud di alam semesta ini…63.
Penjelasan kedua konsep ini dijelaskan lanjut oleh Zhū Xī sebagai
berikut:
“Apa yang disebut asas/prinsip dan tenaga kebendaan/material tentu
merupakan dua entitas yang berbeda. Tapi ditinjau dari sudut pandang
benda-benda (things) kedua entitas itu melebur satu dengan yang lain dan
tidak dapat dipisahkan masing-masing pada tempat yang berbeda. Namun,
ini juga tidak menggagalkan fakta bahwa kedua entitas masing-masing
merupakan entitas tersendiri. Bila dilihat dari sudut pandang asas/prinsip,
sebelum segala sesuatu ada, asas-asas keberadaan mereka sudah ada.
Hanya asas namun belum benda-benda itu sendiri. Kapan pun kita
mempelajari aspek-aspek ini, kita harus mengenali dan membedakannya
dengan jelas, meninjau kedua prinsip dan tenaga kebendaan/material itu
dari awal sampai akhir, dengan begitu seseorang akan bebas dari kesalahan
所謂理與氣決是二物但在物上看則二物渾淪不可分開各在一處然不害二物
之各為一物也若在理上㸔則雖未有物而已有物之理然亦但有其理而己未嘗
實有是物也大凡看此等處湏認得分眀又兼始終方是不錯”64.
Jadi dalam pemikiran Zhū Xī di alam semesta tak akan pernah
ada tenaga kebendaan/material apapun tanpa adanya asas/prinsip,
demikian juga sebaliknya tidak ada asas/prinsip tanpa adanya
tenaga kebendaan/material. Arti logisnya adalah keduanya bersifat
menyatu secara khusus.
Kemudian, jika dikatakan mereka tidak terpisahkan satu sama
lain dan tapi berbeda, bagaimanakah tentang kemunculannya?
manakah yang muncul duluan? Dalam hal ini kelihatan Zhū Xī agak
dengan susah-payah menjelaskan sebagai berikut:
“Pada dasarnya asas/prinsip dan tenaga kebendaan/material tidak bisa
dibicarakan sebagai yang duluan dan yang menyusul. Tapi kalau kita harus
melacak asal usulnya, kita wajib mengatakan bahwa asas/prinsip itu
mendahului. Namun, prinsip bukanlah entitas yang terpisah. Ia tepat berada
dalam tenaga kebendaan/material. Tanpa tenaga kebendaan/material,
prinsip tidak memiliki apa sesuatu utk menempeli. Kalau tenaga
kebendaan/material memiliki unsur-unsur (atau Elemen) Logam, Kayu, Air,
dan Api, maka dalam asas/prinsip terdapat kemanusiaan, kebenaran,
kesusilaan/kepatutan, dan kebijaksanaan 理氣本無先後之可言然必欲推其
所従來則須說先有是理然理又非別為一物即存乎是氣之中無是氣則是理亦

63 Bo Mou, Chinese Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University Press

Ltd., 2009), h. 85.


64 Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) 49:5b-6a; lihat Chan

dalam Source Book, h. 637.

98
無掛搭處氣則為金木水火理則為仁義禮智”65.
Beliau lanjut menjelaskan soal itu sebagai berikut:
“Ada prinsip sebelum bisa ada tenaga kebendaan/material. Tapi hanya bila
ada tenaga kebendaan/material maka prinsip itu menemukan tempat untuk
menetap. Inilah proses dimana segala sesuatu dihasilkan, entah besar
seperti langit dan bumi atau kecil seperti semut. Mengapa kita harus
khawatir bahwa dalam proses penciptaan langit dan bumi pemberiannya
mungkin kurang? Pada dasarnya, prinsip tidak bisa ditafsirkan dalam arti
ada atau tidak adanya. Sebelum Langit dan Bumi mulai tercipta mereka
(prinsip-prinsip) itu sudah seperti apa adanya 有此理後方有此氣既有此氣
然後此理有安頒處大而天地細而螻蟻其生皆是如此又何慮天地之生無所付
受耶要之理之一字不可以有無論未有天地之時便已如此了也”66.
Dengan uraian di atas kita melihat pendapat Profesor Wing-
tsit Chan yang berpendapat bahwa sifat bersebelahan antara
asas/prinsip dengan tenaga kebendaan/material menempatkan
mereka terpisah, tapi kesaling-terlibatan mereka mengikatnya
bersama. Hal ini berarti sifat relasi antara prinsp/asas dan tenaga
kebendaan/ material tidak dapat disebut hanya
terpisah/transenden maupun terlingkup/imanen, tapi kedua-
duanya.67

III.E. Hubungan Lǐ (理) dengan Tàijí (太極) Menurut Zhū Xī .


Pada Bab II telah dikemukakan bahwa Tàijí (太極, Mutlak
Besar/Maha Kutub, Great Ultimate) adalah konsep yang lebih kuno
yang menunjuk pada Yang Mutlak dalam Konfusianisme jadi telah
ada lebih dulu sebelum zaman Neo-Konfusianisme. Konsep itu
terdapat dalam ‘Sepuluh Sayap’ Kitab Perubahan (Yìjīng) bagian
Babaran Agung (大傳 (Dàzhuàn yang disebut juga: Xìcízhuàn 繫辭
傳) yang mengatakan bahwa: “... dalam sistem Yì
(perubahan/kejadian) terdapatlah Tàijí (太極, Mutlak Besar/Maha
Kutub) yang melahirkan Liăngyí (兩儀, dua unsur), dari Liăngyí
lahirlah Sìxiàng (四象, empat peta), dari Sìxiàng lahirlah Bāguà (八

65 Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) 49:1b; lihat Chan dalam

Source Book, h. 634.


66 Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) 49:6b, oleh Chan dalam

Source Book, h. 637.


67 Chan. Life and Thought, h. 51.

99
卦, delapan trigram)…“68.
Profesor Bo Mou meringkaskan arti Tàijí sebagai: “…sumber
tertinggi alam semesta, dan merupakan kesatuan dari segala
sesuatu di alam semesta…serta juga menjadi dasar metafisika Neo-
Konfusianisme…”69. Dari sudut pandang agama Khonghucu, Matakin
melalui Kamus Istilah Keagamaan (KIK) Khonghucu
menerjemahkan Tàijí (太極) secara harafiah sebagai: Maha Kutub,
Maha Mutlak; dan pula selanjutnya Tàijí dimengertikan sebagai
simbol/lambang Tiān (天, Tuhan Yang Maha Esa) dalam
kondisinya yang Maha Ada, serta yang menjadi mula dan
berpulangnya seluruh alam dan segenap makhluk70.
Telah disinggung dalam bab II bahwa dalam Neo-
Konfusianisme filsuf-agamawan yang menelaah secara mendalam
konsep Tàijí (太極) adalah pendahulu Zhū Xī, yakni Zhōu Dūnyí (周
敦頤). Zhōu, dengan itu dianggap sebagai pendiri Neo-
Konfusianisme71. Telah disinggung juga di bagian depan bahwa Zhū
Xī kemudian lebih jauh mengembangkan dan melengkapi pemikiran
Zhōu Dūnyí. Dapat dikatakan, bahwa dalam merumuskan agama
dan filsafatnya (yang oleh para filsuf Neo-Konfusianisme masa
kemudian dinilai sebagai yang paling komprehensif), Zhū Xī
berhutang budi kepada Zhōu Dūnyí terutama pada konsep Zhōu
tentang Tàijí (太極). Dengan konsep Tàijí (太極) Zhōu, Zhū Xī
menjadi lebih mampu menjelaskan hubungan antara Lǐ (理) dengan
Qì (氣), juga dengan itu beliau mampu menjelaskan kerja
(operation) Yīn dan Yáng, maka dengan alasan inilah Zhū Xī
mengacu kepada Zhōu72. Zhōu dalam karya singkatnya Tàijítú Shuō
(太極圖說) telah menjelaskan tentang Tàijí (太極) dan
hubungannya dengan beberapa peristilahan lainnya sepirti: Wújí

68 Kitab Perubahan (易經 Yìjīng) bagian Babaran Agung (大傳 Dàzhuàn,


yang juga disebut Xìcízhuàn 繫辭傳) Bagian A Bab XI ayat 70 (Solo:Matakin,
1984) hal. 147; kalimat terjemahan sedikit disesuaikan dengan mengacu pada
Mou (Chinese Philosophy, A-Z), h. 143.
69 Bo Mou, Chinese Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University Press

Ltd., 2009), h. 143--144.


70 Tanuwibowo dan Tjhie, dkk., KIK Khonghucu, h 579.
71 Chan, The Evolution, h. 137.
72 Chan, Chu Hsi – Life and Thought, h.52.

100
(無極 Non-Being Ultimate), Yáng (陽), Yīn (陰), Liăngyí (兩儀)
Wǔxíng (五行 lima unsur: air, api, kayu, logam tanah). Qián (乾) dan
Kūn (坤)73. Di sana Zhōu tidak menyamakan Mutlak Besar dengan
Lǐ (理 asas/prinsip). Demikian pula kita perlu ketahui walau aksara
Lǐ (理) tidak muncul dalam karya Tàijítú Shuō namun secara umum
karya beliau telah mengandung semangat atau pemahaman tentang
konsep Lǐ (理)74.
Di lain pihak Zhū Xī sejak dini telah melihat hubungan antara
Mutlak Besar dengan asas/prinsip, bahkan merupakan inovasi Zhū
Xī dalam hal mengidentikkan Mutlak Besar (Tàijí) dengan
asas/prinsip (Lǐ 理) 75. Memang diakui umum bahwa salah satu
pemahaman dan terpenting Zhū adalah kesimpulannya yang
menyatakan bahwa: “…Tàijí (太極) tidak lain daripada Lǐ (理)…”76.
Bagi Zhū Tàijí dapat disingkat dalam satu aksara yakni Lǐ (理) , serta
beliau sekaligus menegaskan bahwa Lǐ (理) adalah asas langit, bumi
dan segenap benda-benda77. Profesor Chan setuju bahwa
penyamaan Tàijí dengan Lǐ (理) itu sebagai tema sentral pemikiran
Zhū Xī, beliau juga setuju pada pandangan Zhū bahwa doktrin Tàijí
Zhōu berdasarkan pada Lǐ (理) bukan pada Qì sebagaimana
kebanyakan pandangan sebelum zaman Zhōu. Zhōu menyiratkaan
namun Zhū-lah yang memantapkan pandangan ini78. Dalam hal ini
pernyataan Zhū adalah seperti yang dijelaskan pada dialog sebagai
berikut:
“Pertanyaan: Mutlak Besar bukanlah hal (thing) yang ada dalam keadaan
kacau sebelum terbentuknya langit dan bumi, namun merupakan nama
umum untuk asas/prinsip langit dan bumi dan berbagai hal/benda. Apakah
itu benar?
Jawaban: Mutlak Besar hanyalah asas/prinsip langit dan bumi dan berbagai
benda. Sehubungan dengan langit dan bumi, ada Mutlak Besar di dalamnya.
Sehubungan dengan berbagai hal, juga ada Mutlak Besar pada masing-

73 Lihat Bab II.E.


74 Chan, The Evolution, h. 137.
75 Chan, Chu Hsi – Life and Thought, h. 53, 115.
76 Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) 49:8b, oleh Chan dalam

Source Book, h. 638.


77 Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類, Percakapan) Ch.1, Sect 1&4 (p.1&2), oleh Chan, Life &

Thought, h. 53.
78 Chan, Source Book, h. 638.

101
masing dan setiap dari mereka. Sebelum langit dan bumi terjadi, pasti ada
asas/prinsip ini. Inilah asas/prinsip yang bahwa ‘melalui gerakan
menghasilkan Yáng’. Asas/prinsip inilah yang juga yang ‘melalui
ketenangan menghasilkan Yīn’ 問太極不是未有天地之先有箇渾成之物是天
地萬物之理總名否曰太極只是天地萬物之理在天地言則天地中有太極在萬
物言則萬物中各有太極未有天地之先畢竟是先有此理動而生陽亦只是理靜
而生隂亦只是理”79.
Telah diketahui juga di atas bahwa dalam proses penciptaan
oleh Zhōu dalam Tàijítú Shuō (太極圖說) dinyatakan bahwa Mutlak
Besar (Tàijí) menghasilkan Yīn-Yáng (陰陽). Juga Profesor Chan
menyatakan bahwa ketika penciptaan yang berkelanjutan dapat
disiratkan dalam Tàijítú Shuō, faktor yang mendasarnya adalah
faktor ketenangan, tapi tersisa persoalan lain yaitu bahwa faktor
aktifitasnya belum dapat dijelaskan80. Zhāng Zài telah menyatakan
bahwa; “…Saling bergantinya Yīn-Yáng adalah akibat kerja tenaga
kebendaan/material…81. Sedangkan Chéng Yí menyatakan:
“…Gerakan/aktifitas dan ketenangan tidak memiliki permulaan,
juga bahwa Yīn-Yáng (陰陽) tidak ada titik mula…82. Di sana terlihat
bahwa pandangan Zhāng dan Chéng adalah pandangan penciptaan
yang siklik dan tetap meninggalkan pertanyaan yang tidak terjawab
tentang bagaimana proses penciptaan benda-benda yang baru.
Terhadap persoalan-persoalan aktifitas dan ketenangan ini
Zhū Xī dalam Zhūzi Quánshū menjawab berikut:
“ Mutlak Besar tidak memiliki batasan ruang maupun bentuk fisik atau
badan. Tidak ada titik/tempat di mana ia bisa ditempatkan. Bila ia ditinjau
pada kondisi sebelum aktivitas dimulai, keadaan ini tidak lain hanyalah
ketenangan. Adapun aktivitas, ketenangan, Yīn, dan Yáng semuanya ada
hanya setelah bentuk fisik [dan bersamanya]. Akan tetapi, aktivitas
betapapun adalah aktivitas Mutlak Besar dan ketenangan adalah
ketenangannya juga, walaupun aktivitas dan ketenangan sendiri bukanlah
Mutlak Besar. Inilah sebabnya mengapa Master Zhōu hanya membicarakan

79 Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) 49:8B-9A, oleh Chan


dalam Source Book, h. 638.
80 Chan, Life and Thought, h. 54.
81 Terdapat dalam naskah karya Zhāng Zài (張載) berjudul Zhèngméng (正

蒙Correcting Youthful Ignorance) ch. 1, sect 1,5; sebagaimana dikutib Chan


dalan Source Book, h. 500--517
82 Pernyataan Chéng Yí dalam Èr Chéng Quánshū (二程全書 Complete

Works of Two Chengs) khususnya dalam Explanantion of the Classic (經說


Jīngshuō); sebagaimana dikutib Chan dalam Life and Thought, h. 54.

102
kondisi itu sebagai Non-ultimate (Mutlak Tak Ada). Sementara keadaan
sebelum aktivitas dimulai tidak dapat dikatakan sebagai Mutlak Besar,
namun asas/prinsip kegembiraan, kemarahan, kesedihan, dan kesenangan
sudah melekat/terdapat di dalamnya. Kegembiraan dan kesenangan milik
Yáng sedangkan kemarahan dan kesedihan milik Yīn. Pada tahap awal
keempat emosi ini tidak termanifestasi, namun asas/prinsip mereka sudah
ada. Bertentangan dengan keadaan setelah aktivitas dimulai, itu bisa
disebut Mutlak Besar. Tapi ini semua tetap sulit untuk mengatakannya.
Semua ini hanyalah deskripsi samar-samar. Kebenarannya harus disadari
secara pribadi oleh masing-masing individu 太極無方所無形體無地位可頒
放若以未發時言之未發卻只是靜動靜隂陽皆只是形而下者然動亦太極之動
靜亦太極之靜但動靜非太極耳故周子只以無極言之未發固不可謂之太極然
中含喜怒哀樂喜樂屬陽怒哀屬隂四者初未著而其理已具若對已發言之容或
可謂之太極然終是難說此皆只說得箇髣髴形容當自體認”83.
Penjelasan tersebut sedikit susah dimengerti, maka bisa kita lihat
lanjut juga dalam ringkasan Profesor Chan tentang hal di atas:
“…Karena ada asas/prinsip aktifitas (動之理 dòng zhī lǐ) dan ada
asas/prinsip ketenangan (靜之理 jìng zhī lǐ) maka tenaga
kebendaan/material juga menjadi aktif (動 dòng) atau tenang (靜
jìng) . Karena ada dua prinsip ini, maka ada aktifitas yang
menghasilkan tenaga kebendaan/material Yáng dan ada
ketenangan yang menghasilkan tenaga kebendaan/material Yīn. Hal
ini tidak berarti Mutlak Besar itu sendiri adalah aktif atau tenang
seperti pada kasus Zhāng, atau mungkin bisa aktif dan tenang
seperti pada kasus Zhōu, tapi karena Mutlak Besar mengandung
prinsip ketenangan dan prinsip aktifitas, maka tenaga
kebendaan/material Yīn-Yáng dengan sendirinya menyusul
terjadi…84. Adanya pemahaman dan penjelasan seperti ini maka
Zhū Xī telah mampu menjawab pertanyaan atau kekurangan yang
ada dalam pemikiran kosmogoni para pendahulunya.

83 Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) 49:11A-11B sebagaimana


dikutib Chan dalm Source Book, h. 639
84 Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類, Percakapan) Ch. 94, Sect 19 (p. 3762), oleh Chan

dalam Life and Thought, h. 118. Kesimpulan dengan parafrase Chan yang demikian
adalah sari dari dialog Zhū ketika mengomentari karya Zhōu dalam Zhūzǐ Yǔlèi
sebagai berikut: 問太極動而生陽是有這動之理便能動而生陽否曰有這動之理便能
動而生陽有這靜之理便能靜而生隂既動則理又在動之中既靜則理又在靜之中曰動
靜是氣也有此理為氣之主氣便能如此否曰是也既有理便有氣既有氣則理又在乎氣
之中.

103
Adapun penjelasan Zhū Xī tentang persoalan ‘yang satu dan
yang banyak’ dalam term Tàijí adalah sebagai berikut: “karena Tàijí
adalah prinsip tertinggi dari asas/prinsip, dan segala sesuatu
memiliki asas/prinsip, ini berarti tiap segala sesuatu memiliki Tàijí
di dalamnya, maka konsekwensinya Tàijí berada atau terkait
dengan segala sesuatu secara keseluruhan dan pada saat yang sama
setiap segala sesuatu terkandung Tàijí. Alam semesta adalah
makrokosmos dan segala sesuatu adalah mikrokosmos85. Dalam
kaitan itu, Zhū Xī, lanjut pula menyatakan:
“Pada dasarnya terdapat hanya satu Mutlak Besar, namun masing-masing
pada segala sesuatu yang demikian banyak itu telah dianugerahi pula
dengan itu, maka di dalam segala sesuatu memiliki Mutlak Besar. Hal ini
sama dengan kenyataan bahwa hanya terdapat satu rembulan di langit
namun pantulannya yang dapat ditemui di sungai maupun danau, rembulan
itu dapat dilihat dimana-mana. Tapi tidak dapat dikatakan rembulan itu
telah terbagi-bagi 本只是一太極而萬物各有稟受又自各全具一太極爾如月
在天只一而已及散在江湖則隨處而見不可謂月分也”86
Pesan itu adalah penjelasan lebih lanjut dari pernyataan guru-
guru Zhū Xī, bahwa asas/prinsip itu satu tapi pengejawantahannya/
manifestasinya banyak (lǐ yī fēn shū 理一分殊)87, dan ini merupakan
salah satu doktrin penting kosmogoni Neo-Konfusianisme.

III.F. Kehidupan Religius Zhū Xī.


Kehidupan religius seseorang dari suatu latar budaya tertentu
terkadang akan sulit untuk didefinisikan dan dipetakan. Apalagi
bagi seorang rasionalis seperti Zhū Xī kemudian kehidupan
religiusnya akan dikaji oleh pihak dengan budaya lain tertentu, oleh
pihak dari dunia Barat misalnya. Pembicaraan ini tidak begitu
bermasalah bila dibahas dalam ranah komunitas intern Tiongkok,
namun agak menjadi sulit ketika dibicarakan oleh kelompok dari

85 Chan, Life and Thought, h. 53 dan 117.


86 Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類, Percakapan) Ch.94, Sect 203 (p. 3824) dalam Life
and Thought, h. 53; Juga dalam Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū)
49:8b dikutib Chan, Source Book, h. 638.
87 Kutipan Pernyataan Chéng Hào dalam kitab besar Èr Chéng Quánshū

(二程全書 Karya Lengkap Kedua Guru Chéng) khususnya dalam bagian


Èrchéng Cuìyán (二程粹言 Kata-kata Murni Kedua Guru Chéng) 11.5a,
selanjutnya jika muncul lagi akan disingkat Cuìyán (粹言Kata Murni);
Sebagaimana dikutib Profesor Chan dalam Source Book, h.635.

104
luar, para filsuf dan peneliti Barat mungkin agak kesulitan
memetakan perjalanan kehidupan spiritual Zhū Xī. Dalam bagian ini
penulis akan secara singkat membicarakan kehidupan spiritual Zhū
Xī dengan melihat pada beberapa aktifitas nyata dalam kehidupan
Zhū Xī yang tentu dilatari oleh pemikiran dan keyakinannya pada
sesuatu Yang Mutlak yang berlaku pada masa hidupnya dan masa
sebelumnya.
Sebelumnya telah terdapat perbedaan pendapat tentang
kehidupan religius Zhū Xī. Bahkan jauh sebelum pemikiran filsafat
Zhū Xī luas dibahas di dunia Barat kontemporer. Pada abad ke
enambelas ketika beberapa kelompok misionaris (salah satunya di
bawah pimpinan Matteo Ricci, 1552M--1610M) tiba dan berkiprah
di Tiongkok, para misionaris ini telah melihat bahwa dalam
masyarakat Tiongkok saat itu (dengan pemerintahnya Dinasti Míng,
明朝, 1368M--1644M) kehidupan religius rakyat dan pemerintahan
Tiongkok terpusat pada persembahyangan kepada Tiān (天) atau
Shàngdì (上帝), kepada Kǒngzi (孔子 Konfusius) dan para Guǐshén
(鬼神 termasuk di dalamnya kepada para leluhur (祖 zǔ) dari
keluarga masing-masing). Ketika itu Neo-Konfusianisme juga
merupakan agama dan filsafat utama di Tiongkok. Walaupun saat
itu eksis pula paham Neo-Konfusianisme sayap idealis namun sayap
rasionalis dari Zhū Xī masih merupakah mainstream agama dan
filsafat di Tiongkok saat itu, maka tentu perhatian para misionaris
juga tertuju kepada figur puncak sayap aliran rasionalis ini: Zhū
Xī88.
Perbedaan pandanganpun muncul dan marak di antara para
misionaris tentang keberadaan kehidupan religius Zhū Xī. Sebagai
misionaris Kristiani mereka tentu terutama menilai Zhū Xī dari
standart misionaris yakni menilai kepercayaan beliau kepada
Tuhan. Frater Nicolas Longobardi (1656M--1655M) yakin baik Nabi
Kŏngzĭ maupun para tokoh Neo-Konfusianis tidak percaya kepada
Tuhan yang antropomorfik, pendapat yang juga didukung oleh para
ahli lain seperti Antonie de St. Marie (1602M--1669M) dan Nicholas
Mallebrance (1638M--1715M). Pendapat ini terus ada sampai pada
tokoh abad ke sembilan belas Stanisles Le Gall. Le Gall bahkan

88 Chan, Life and Thought, h. 73.

105
menilai Zhū Xī materialis dan ateis89.
Pada sisi lain, lagi seperti juga Matteo Ricci yang yakin bahwa
kepercayaan masyarakat Tiongkok kepada Tiān (天 Heaven, Tuhan)
atau Shàngdì (上帝 Lord on High, Tuhan di Tempat yang Tinggi) itu
segaris atau identik dengan kepercayaan umat Katolik kepada
Tiānzhǔ (天主Tuhan yang Kudus, Bapak Allah), maka pada tahun
1710 ilmuwan Leibniz (1646M--1716M) juga menyatakan bahwa
walaupun konsep Lǐ (理 asas/prinsip) dan Xìng (性 watak
sejati/sifat asli) yang ada pada filsafat Zhū Xī Lǐ (理)-nya abstrak
tanpa ciri-ciri kreator-antropomorfik, namun Lǐ (理) Zhū Xī tetap
dapat diinterprestasikan sebagai Tuhan yang antropomorfik
sebagaimana diyakini Ricci, dan bahwa prinsip moral ini dapat
disamakan dengan Tuhan serta bukanlah realitas materi
sebagaimana dimengertikan Longobardi90. Charles de Harlez
membantah pandangan Le Gall dengan menunjukkan terjemahan
oleh Le Gall sendiri tentang percakapan Zhū Xī, bahwa ada kalanya
Zhū Xī mengartikan Tiān (天) sebagai langit biru (blue sky) namun
ada kalanya sebagai Tuhan (Lord) dan juga sebagai Lǐ (理
asas/prinsip). Maka kesimpulan de Harlez: Zhū Xī percaya akan
adanya Tuhan91 .
Perkembangan lanjutannya adalah oleh Ilmuwan Universitas
Oxford J. Percy Bruce yang pada tahun 1918M menerbitkan
karyanya ‘Makna Teistik Dinsati Sòng (The Teistic Import of Sung)
menyatakan bahwa Lǐ (理) memiliki karakter religius karena di
dalamnya terkandung cinta kasih/kemanusiaan, kebijaksanaan,
Tiān (天), serta Dì (Lord). Demikian juga dalam karyanya pada
tahun 1923M, Bruce mengemukakan pandangan utamanya bahwa
‘Zhū Xī menganggap Tiān sebagai Tuhan yang imanen serta sebagai
penguasa tertinggi, sehingga antropomorfik. Namun beberapa
dekade kemudian, walau bukan dalam maksud mengutamakan

89 Chan, Life and Thought, h. 73.


90 Chan, Life and Thought, h. 73.
91 Prof Chan telah mememriksa bahwa percakapan Zhū Xī yang dimaksud

adalah yang diambil dari Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) bab 49
yang sumber awalnya dari Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類, Percakapan) bab 1, bagian 22
; Lihat Chan, Life and Thought, h. 74.

106
bahasan tentang hal ini pada 1956M muncul Joseph Needham dari
Universitas Cambridge yang dalam Science and Civilization in China
yang menyatakan pandangannya bahwa Zhū Xī tidak menyetujui
adanya konsep Tuhan yang personal.
Terlepas dari perbantahan selama berabad-abad di dunia
Barat di atas itu, kita mengetahui secara umum bahwa dalam
pemahaman Konfusianisme, alam semesta ini: “…ditopang oleh, dan
terstruktur di seputar sekitar ‘tiga kutub (三 極sānjí)’ yang juga
disebut sebagai‘tiga kekuatan alam semesta (三才sāncái)’92 yakni:
Tiān (天 Tuhan, sorga), Dì (地bumi atau alam semesta) dan Rén (人
manusia). Ketiga kekuatan ini bekerja sama dalam kosmos yang
dapat disebut sebagai organik . . . Tiān menghasilkan mereka, Dì
memberi makan (menghidupi) dan Rén menyempurnakan” 93.
Kita akan melihat kehidupan religius Zhū Xī yang telah diteliti
dan dihimpun oleh Profesor Chan dalam buku ‘Chu Hsi, Life and
Thought’. Profesor Chan membahas empat sisi dalam melihat
religiusitas Zhū Xī. Berikut ini penulis akan mengambil tiga di
antaranya yakni: cinta dan ketergantungannya kepada Nabi Kŏngzĭ,
pelaksanaan kegiatan doa bersama, dan ketaatan pada
upacara/ritus/kesusilaan 94.
1. Cinta dan Ketergantungan Zhū Xī Kepada Nabi Kŏngzĭ.
Pada tahun 1153M saat Zhū Xī berusia dua puluh empat,
ketika ditugaskan di daerah Tóng’ān (同安) Fújiàn (福建) sebagai
asisten hakim kabupaten, sebagaimana telah penulis sampaikan
pada bagian riwayat hidup Zhū Xī, beliau memperluas sekolah,

92 Sāncái ( 三才) diartikan ‘tiga hakikat atau tiga kekuatan’, sebagai tiga unsur

atau dimensi dalam teologi agama Khonghucu (Rújiào 儒教), yakni terdiri atas:
Tuhan (Tiān 天), bumi/alam semesta (dì 地) dan manusia (rén 人) sebagaimana
terjelaskan dalam Kitab Yìjīng Babaran Agung (Dàzhuàn 大傳) A.II:12 dan Babaran
Agung B.X:63; Lihat Tanuwibowo dan Tjhie dkk., KIK Khonghucu, h. 565.
93 Kutipan dari Yao yang diambil dari Chūnqiū Fánlù Yìzhèng (春秋繁露義證ed.

1992: 168) karya pakar Dinasti Qīng (清, 1644--1911) Sū Yú (蘇輿) yang
merupakan komentar atas Kitab Chūnqiū Fánlù (春秋繁露義證) sebuah risalah
karya filsuf Disnati Hàn Awal (前漢, 206SM--8 M) Dǒng Zhòngshū (董仲舒); Lihat
Xinzhong Yao, An Introduction to Confucianism (New York: Cambridge University
Press, 2000), h. 139.
94 Chan, Life and Thought, h. 141--155.

107
perpustakaan, menyelenggarakan upacara pengorbanan/
persembahyangan, menganjurkan ketertiban upacara pernikahan,
membangun kelenteng peringatan untuk tokoh lokal yang pantas
diteladani, dalam hal ini kelenteng bagi mantan perdana menteri
yang berasal dari area itu, Sū Sòng (蘇頌). Saat itu juga sebanyak
tiga kali beliau melakukan persembahyangan besar kepada Nabi
Kŏngzĭ sebagai kegiatan resmi pemerintahan kabupaten dan
sekaligus memberikan laporannya95. Adapaun kesempatan-
kesempatan lain dimana beliau mengadakan persembahyangan
kepada Nabi Kŏngzĭ adalah: ketika menjadi pejabat daerah
administrasi Nánkāng (南康) pada 1179M; ketika beliau
merenovasi Akademi Gua Rusa Putih (Báilùdòng Shūyuàn 白鹿洞書
院) di Lúshān (廬山) pada 1180M; ketika menjadi pejabat daerah
administrasi Zhāngzhōu (漳州) pada 1190M; ketika beliau
menerbitkan empat dari lima kitab klasik Konfusianisme (Yìjīng易
經, Shūjīng 書經, Shījīng 詩經 dan Chūnqiūjīng 春秋) pada tahun
yang sama; serta ketika beliau membentuk grup studi Cāngzhōu
(滄州 ) pada 1194M96.
Di samping itu beliau juga menyusun bagan garis ‘Pewarisan
Tradisi Jalan/Jalur Suci Konfusianisme (道統 D{otǒng )’ yang
meliputi dari para nabi zaman klasik yang dimulai dari Raja Yáo dan
Shùn (堯-舜) lanjut kepada Kǒngzi (孔子), Mèngzi (孟子), Zhōu
Dūnyí (周敦頤), Chéng Hào (顥) dan Chéng Yí (程頤) sampai kepada
diri beliau sendiri97. Kemudian dalam doanya kepada Nabi Kŏngzĭ
beliau memohon ‘bimbingan, inspirasi dan permohonan maaf’,
bahkan ketika beliau mengeluarkan dengan paksa seorang murid
dari sekolah kabupaten dalam doanya kepada Nabi Kŏngzĭ Zhū
menyesali dirinya sendiri sebagai tidak mampu memengaruhi
murid itu menjadi baik98. Sehubungan dengan D{otǒng Zhū pun

95 Tercatat dalam Zhūzi Wénjí (朱子文集) 86:1A-1B; oleh Chan memakai

edisi SPPY maka di bawah judul Zhūzi Dàquán (朱子大全); selanjutnya disebut
Wénjí; Lihat Chan, Life and Thought, h. 141.
96 Lihat Chan, Life and Thought, h. 142.
97 Lihat Chan, Life and Thought, h. 143.
98 Dicatat dalam Wénjí 86:1B; Sebagimana dalam Chan, Life and Thought,

h. 144.

108
membangun kuil untuk Zhōu Dūnyí (周敦頤) di sekolah di Nánkāng
(南康), juga membangun altar untuk Nabi Purba Fúxī (伏羲) yang
bersama-sama dengan Zhōu adalah figur para Nabi yang berperan
dalam pembentukan dan penggalian kitab Perubahan. Dalam
berbagai doa-doanya beliau menyampaikan segenap harapan dan
syukurnya kepada Nabi Kŏngzĭ dan para nabi lain, seakan-akan
beliau telah mendapatkan ‘misi’ untuk ‘taat pada perintah
Ketuhanan/Ilahi’. Misalnya tentang telah didengarkannya Dào,
tentang telah terkontaknya beliau dengan para pemilik Dào, tentang
permohonananya supaya para nabi merestui beliau dan para
pengikutnya mencapai keluhuran. Beliau yakin roh Nabi Kŏngzĭ ada
dimana-mana (dalam hal ini beliau adalah sama seperti umat
tradisional), dan beliau yakin bahwa para roh akan tergerak dengan
ketulusan dari orang yang menyampaikan doa99.
2. Pelaksanaan Kegiatan Doa Bersama.
Sejak berusia tiga puluhan beliau sering mengadakan kegiatan
bersama untuk berdoa di kampung halamannya, ketika misalnya
terjadi bencana kekeringan100. Kegiatan ini lebih marak ketika
beliau menjabat di Nánkāng Jiāngxī, juga ketika menjabat di
Zhèjiāng dan Zhāngzhōu. Dalam kesempatan-kesempatan yang lain
beliau mengadakan doa ketika terjadi kelaparan, serangan hama
atas usaha pertanian rakyat, memohon hujan, bahkan permohonan
cuaca baik untuk kondisi hujan berlebihan101, bahkan juga doa
ucapan terima kasih atas dikabulkannya permohonan doa beliau102.
Terkadang beliau turun tangan sendiri, terkadang beliau serahkan
tugas itu kepada bawahannya dan beliau hanya mengawasi103. Dari
surat-surat beliau kepada para teman, dari percakapan beliau
dengan para murid serta dokumen-dokumen resmi dapat kita
peroleh informasi banyak tentang kegiatan berkumpul untuk
berdoa itu104.

99 Life and Thought, h. 145.


100 Wénjí 37:2A; Sebagimana dalam Chan, Life and Thought, h. 146.
101 Wénjí 86:8B; Sebagimana dalam Chan, Life and Thought, h. 147.
102 Wénjí 86:7A-7B; Sebagimana dalam Chan, Life and Thought, h. 147.
103 Wénjí 86:7A; Sebagimana dalam Chan, Life and Thought, h. 146.
104 Lihat Chan, Life and Thought, h. 146--147.

109
Perlu dicatat juga bagaimana di samping doa-doa beliau juga
mementingkan pelaksanaan kehidupan berkebajikan/moral,
misalnya dalam suratnya kepada kaisar, Zhū menyarankan agar
kaisar melakukan introspeksi, bertobat, mengukur perbuatan yang
berperilaku cinta kasih dan mencintai Tiān (天) agar dengan
demikian akan muncul pengaruh spiritual dan respon Tiān (天)
dalam merubah bahaya yang dihadapi kekaisaran menjadi
berkah105. Tahun 1194M beliau meyampaikan kepada kaisar bahwa
segenap gejala atau pertanda, apakah itu pertanda berkah maupun
pertanda bencana, semuanya tergantung pada mau-tidaknya kaisar
melakukan prinsip-prinsip kebajikan/moral dalam hidup dan
bagaimana pemerintahannya berjalan sesuai dengan keinginan
rakyat. Jika kaisar telah melakukan itu maka tidak akan ada
kejahatan yang terjadi106. Lebih dari sekali ketika beliau beraudiensi
dengan kaisar beliau menyatakan bahwa bencana gempa atau badai
salju yang diikuti angin adalah tanda dari Shàngdì (上帝Tuhan Yang
Maha Tinggi) dan bahwa ituah saatnya kaisar mesti bertobat dan
melaksanakan kehidupan yang berkebajikan/moral107. Kalau kita
lihat semua tindakan Zhū ini sebenarnya terlandasi oleh sabda Nabi
Kǒngzi di dalam suatu ayat bahwa: “…barang siapa berbuat dosa
kepada Tiān tiada tempat ia dapat meminta doa 獲罪於天無所禱也
…”108.
3. Ketaatan kepada Upacara/Ritus/Kesusilaan.
Tindakan-tindakan Zhū perihal kedekatan dan doa kepada
Nabi Kŏngzĭ serta kegiatan melaksanakan doa bersama semuanya
dilandasi dengan pemahaman dan komitmen personal yang kuat
antara beliau dengan objek/sasaran doanya. Hal ini juga berlaku
bagi pemahaman dan praktek beliau pada persoalan ritual/upacara
yang dilaksanakan Zhū di sepanjang kehidupannya109. Pada usia
sembilan belas tahun beliau telah melaksanakan riset tentang

Wénjí 17:13A; Sebagimana dalam Chan, Life and Thought, h. 147--148.


105

Wénjí 14:10A; Sebagaimana dalam Chan, Life and Thought, h. 148


106
107 Wénjí 14:9A; Sebagaimana dalam Chan, Life and Thought, h. 148.
108 Lihat ayat itu dalam Kitab Sìshū (四書 Kitab Yang Empat) bagian Lúnyŭ

論語 III:13.2 (Jakarta: Matakin; diperbanyak Kemenag RI, 2013), hal. 123.


109 Chan, Life and Thought, h. 149-155.

110
upacara/ritual110. Ketika menjabat asisten hakim kabupaten
Tóng’ān (同安) beliau mengatur pelaksanaan upacara-upacara
pengorbanan di sekolah kabupaten dan melakukan petisi kepada
pemerintahan untuk mendukung tertatanya upacara perkawinan111.
Tahun 1170M adalah saat yang sangat penting karena
bertepatan dengan beliau mengadakan perkabungan atas
meningalnya sang ibunda, beliau menulis karyanya Ritus Keluarga
(家禮 Jiālǐ, Family Rites) yang isinya terdiri dari empat bidang yakni:
upacara pemakaman, upacara pengorbanan/persembahan, upacara
pengenaan topi kedewasaan untuk anak lelaki, serta upacara
pernikahan. Kitab itu ternyata dicuri seorang anak dan baru muncul
kembali kelak dalam upacara pemakaman Zhū. Dalam Xíngzhuàng
(行狀) Huáng Gàn (黃榦 1152M--1221M) menantu sekaligus murid
beliau menyatakan bahwa versi kitab ritual ini belum final namun
sudah banyak beredar di masyarakat. Buku tersebut masih dikaji
dan dikembangkan sampai zaman sekarang. Dalam surat kepada Lǚ
Zǔqiān (呂祖謙, 1137M--1181M) di tahun 1175M beliau
memberitakan tentang revisi atas karya beliau ‘pakta
kemasyarakatan’ yang juga berisi topik ritual pengenaan topi,
pernikahan, perkabungan dan upacara pesembahan112. Pada 1177M
Lù Xiàngshān (陸象山, 1139M--1193M) dan adiknya menulis surat
menanyakan perihal uacara pemakaman bagi ibu mereka. Hal mana
memperlihatkan bahwa saat itu beliau telah menjadi seorang
master ritual yang diperhitungkan113.
Tahun 1179M ketika beliau sebagai pejabat daerah
administrasi Nánkāng (南康) beliau menyurati Departemen Ritual
kerajaan untuk merevisi ketentuan berbagai upacara-upacara,
terkait cara berlutut dan bangkit serta mengenai peralatan-
peralatan upacara114. Tahun 1188M beliau juga menyurati kaisar
dalam menentang ritual dipimpin oleh seorang kasim115, serta pada

110 Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類, Percakapan) bab 90 bagian 109; Sebagaimana dalam

Chan, Life and Thought, h. 149.


111 Nianpu h. 11-12; Sebagaimana dalam Chan, Life and Thought, h. 149.
112 Wénjí 33:27A; Sebagimana dalam Chan, Life and Thought, h. 149.
113 Wénjí 58:23A; Sebagimana dalam Chan, Life and Thought, h. 149.
114 Wénjí 20:28-31B; Sebagimana dalam Chan, Life and Thought, h. 149
115 Wénjí 11:21A; Sebagimana dalam Chan, Life and Thought, h. 149

111
1190M karena Buku Panduan Ritual yang diterbitkan oleh
Kementerian Upacara kurang lengkap, beliau meminta untuk
direvisi116. Zhū juga baik atas undangan kaisar maupun atas inisiatif
pribadi telah tercatat berdiskusi dengan kaisar tentang masalah
pemindahan makam mantan kaisar dan juga soal pelaksanaan
perkabungannya117.
Profesor Chan telah mempelajari karya Profesor Qián Mù (錢
穆 Zhūzi Xīn Xué’{n朱子新學案) dan menyimpulkan bahwa
keprihatinan Zhū dalam hal ritual ternyata menyangkut segi-segi
yang lebih jauh lagi: upacara pemakaman, upacara di kelenteng,
upacara berpakaian resmi, pengaturan arah hadap kelenteng,
pengaturan peran pengganti almarhum dalam persembahyangan,
upacara pengorbanan, upacara pernikahan, tata susila antara
atasan dan bawahan, cara duduk, cara membongkokkan badan,
berlutut, bangkit, pakaian formal dan pakaian biasa, tatacara makan
dalam keluarga, dan lain lain118.
Suatu hal yang patut diperhatikan kenapa Zhū demikian besar
perhatiannya pada ritual adalah karena dalam sejarah pemikiran
para Konfusian tradisional sebagaimana juga telah disampaikan
dalam beberapa bagian pada bab II bahwa terdapat pengertian
aksara 理 (Lǐ) itu telah diidentikkan dengan Lǐ (禮 ritual/upacara).
Bagi Zhū Lǐ 理itu abstrak sedangkan Lǐ (禮) itu nyata, demikian juga
Lǐ (禮ritual) merupakan kerja dari Tiānlǐ (天理). Maka: “…setiap
peralatan, setiap hubungan antar manusia, setiap aksi: makan,
duduk, minum, berpakaian di musim panas dan dingin, semua itu
merupakan kerja dari Tiānlǐ (天理)…”119, demikian pemahaman
ritual bagi Zhū.
Akhirnya penulis akan sampaikan analisa pribadi penulis
terhadap keberadaan kehidupan spiritual Zhū Xī. Terlepas bahwa

116 Wénjí Extra Collection 8A; Sebagimana dalam Chan, Life and Thought,
h. 149
117 Chan, Life and Thought, h. 150.
118 Kutipan dan ringkasan Profesor Chan atas bebebrapa bagian Zhūzi Xīn
Xué’{n (朱子新學案) pada bagian IV halaman 116-129; lihat Chan, Life and
Thought, hal 151.
119 Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類, Percakapan) bab 41 bagian 22 sebagaimana

dalam Chan, Life and Thought

112
agama di negara kita Indonesia sangat didominasi dan dipengaruhi
oleh pandangan agama Samawi dan maka akan melihat bahwa Zhū
Xī masih kurang dalam pembicaraan dengan topik-topik tentang
Tuhan. Namun dalam kacamata penulis sebagai umat Khonghucu,
penulis menilai Zhū Xī adalah seorang yang religius dalam jalur
tradisi dan religiusitas khas Konfusianisme apa-adanya.
Sebagaimana keyakin dalam Konfusianisme dengan kewajiban
persembahyangan kepada Tiān (天), kepada Nabi Kǒngzi (孔子
Konfusius) dan kepada para Guǐshén (鬼神para roh, termasuk di
dalamnya kepada para roh leluhur (atau 祖Zǔ) dari keluarga
masing-masing), maka tak diragukan Zhū Xī adalah seorang yang
mengamalkan Konfusianisme dalam arti agama. Perhatiannya
kepada ritual/upacara/tata ibadah sampai-sampai beliau menyusun
kitab ‘Ritual Keluarga (家禮 Jiālǐ)’ yang belakangan lebih dikenal
dengan sebutan lengkap kitab ‘ritual Keluarga oleh Mahaguru Zhū
(朱子家禮Zhūzi Jiālǐ)’, kegiatan pembangunan altar dan kelenteng,
kegiatan-kegiatan doa bersama, dan usaha-usahanya dalam
menyadarkan kaisar tentang keberadaan dan kekuatan Tiān (天)
bagi kemaslahatan dan nasib negara melalui kegiatan
persembayangan kaisar kepada Tiān (天), semua ini telah
memperlihatkan sekaligus meyakinkan bahwa sesungguhnya beliau
tidak saja adalah seorang ilmuwan dan filsuf namun juga adalah
seorang agamawan Neo-Konfusianisme.
Kemudian dari pandangan Konfusianisme lain yang mengakui
bahwa keseluruhan kehidupan manusia baik itu berkenaan dengan
kehidupan lahiriah/sosial maupun rohaniah/batiniah semua adalah
dalam rangka memenuhi Firman, Mandat atau Takdir Tuhan (yakni
Tiānmìng 天命). Orang Barat mengatakan bahwa dalam
Konfusianisme itu terdapat paham ‘the mundane as sacred’, maka
keseluruhan kehidupan Zhū Xī di mata penulis sungguh merupakan
ibadahnya kepada Tiān, adalah merupakan pemenuhan kewajiban
moralnya sebagai mahkluk sosial dan makhluk religius yang berasal
dari Tiān dan yang suatu saat akan kembali kepada Tiān.

III.G. Penganut, Kritikus, Tokoh-tokoh yang Memengaruhi Zhū


Xī.
Pada kenyataanya pemikiran Neo-Konfusianisme Zhū Xī telah

113
mendominasi Tiongkok selama 700an tahun yakni sejak beliau
menerbitkan ‘Kitab Yang Empat dengan Anotasinya’ dengan judul
Sìzi (四子) pada tahun 1190M. Demikian juga sistem ujian
berdasarkan kitab-kitab Konfusianisme dengan anotasi Zhū yang
disahkan kekaisaran Dinsati Yuán (元朝Mongol) sejak 1313M
bertahan hampir 600 tahun sampai dihapus pada 1907M120.
Namun karya-karya serta pandangan-pandangan Zhū Xī di
sepanjang hidupnya tentu tidak terlepas mendapat kritik maupun
pujian. Kritikan kepada Zhū itu meliputi teori kosmogoni beliau dan
juga pada teori etika. Berikut ini penulis sampaikan beberapa tokoh
pemikir dalam zaman berbeda yang merupakan penentang maupun
penganutnya. Untuk tokoh-tokoh yang ditampilkan satu persatu
penulis batasi hanya pada periode sampai sebelum Tiongkok
dipengaruhi filsafat Barat saja. Kemudian, walaupun kritikan
beberapa tokoh adalah pada soal etika Zhū, namun di sini tokoh dan
kritikan ditampilkan seperlunya dengan maksud untuk
menunjukkan dinamika tanggapan atas keseluruhan pemikiran Zhū.

1. Beberapa Kritikus Zhū Xī.


a. Lù Xiàngshān (陸象山, 1139M--1193M).
Lù Xi{ngshān adalah kritikus sekaligus teman yang hidup
sezaman dengan Zhū. Kriktikannya kebanyakan pada etika Zhū
karena Lù jarang berbicara kosmogoni. Perbedaan utama mereka
adalah apabila Zhū mengatakan ‘asas/prinsip sama dengan watak
sejati/sifat asli (yakni性即理Xìng Jí Lǐ)’121, maka Lù berpendapat
bahwa ‘asas/prinsip itu identik dengan hati-pikiran (心即理 Xīn Jí
Lǐ)’122. Kemudian jika Zhū memprioritaskan pada prinsip ‘menjalani
sifat suka bertanya dan belajar (道問學dào wènxué), sedangkan Lù
berprioritas pada ’memuliakan kebajikan watak sejati (尊德性 zūn

120 Chan, Life and Thoght, h. 1.


121 Terdapat dalam Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類, Percakapan) Ch.5; misal
sebagaimana dalam Fung, Yu-lan, A Short History of Chinese Philosophy. Editor:
Bodde, Derk (New York: Macmilan Publishing Co. Inc. (The Free Press), 1948),
h. 302; atau juga Juga dalam Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū)
42:5A dikutib Chan, Source Book, h. 614.
122 Terdapat dalam Lù Xiàngshān Quánjí (陸象山全集) Ch. 12;

sebagaimana dalam Fung-lan, A Short History, hal. 307.

114
déxìn)123, kedua hal ‘prioritas’ itu terdapat dalam kitab Zhōngyōng
bab XXVI 124.
Bagi Lù alam semesta adalah hati-pikiran (心xīn) dan hati-
pikiran adalah alam semesta125. Hati-pikiran (心xīn) adalah sumber
semua benda-benda dan hal (segala sesuatu) di alam semesta ini
berasal126. Kalau Zhū dengan jelas membedakan antara Lǐ (理) yang
abstrak dan Qì (氣) yang nyata maka bagi Lù antara Dào (道) yang
abstrak tiada bedanya dengan dan Qì (器) benda konkrit. Jika Zhū Xī
membedakan adanya hati-pikiran manusia (Rénxīn人 心 ) yang
selalu berada dalam posisi rawan/genting yang menjadi asal atas
kekeliruan/kejelekan dengan hati-pikiran Dào (Dàoxīn 道心) atau
hati-pikiran jalan suci (moral) yang selalu mengikuti jalan suci,
namun Lù menolak untuk menerima pembedaan seperti itu.
Baginya, hati-pikiran itu hanya satu dan sama, dan juga sama saja
baik pada masing-masing individu atau pada seluruh alam semesta.
Terhadap Tàijí (太極) jika Zhū menganggap Mutlak Besar (太
極Tàijí) itu adalah suatu yang ‘sebelum berbentuk fisik’ sedangkan
Yīn dan Yáng (陰陽kekuatan kosmik pasif dan aktif) sebagai
berbentuk fisik, namun Lù menolak dikotomi seperti itu, dan
menyatakan Yīn dan Yáng (陰-陽) itu sebelum ranah fisik. Meski
keduanya sepakat bahwa watak sejati/sifat asli manusia pada
awalnya baik, Zhū mengkontraskan asas/prinsip Tiān (Tiānlǐ 天理)
dengan keinginan manusia (Rényù 人欲). Bagi Lù pengontrasan
seperti itu tidak dapat dipertahankan127.
b. Chén Liàng (陳亮, 1143M--1194M).
Kritikus yang satu ini juga mengeritik etika dan metafisika Zhū
Xī. Beliau rekan sezaman Zhū dan disebut-sebut membawakan
‘aliran praktis (Shíxué 實學)’ Neo-Konfusianisme yang juga

123 Chan, Source Book, h. 583.


124 Lihat Kitab Zhōngyōng (中庸) XXVI:6, dalam Kitab Sìshū (四書 Kitab Yang
Empat), versi Dwilingual dengan Transliterasi H{nyŭ Pīnyīn oleh Team P3K Deroh
Matakin (Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag
RI, 2013), h. 82.
125 Lihat Yao, An Introduction to Confucianism, h., 109.
126 Yao, An Introduction to Confucianism, h. 110.
127 Chan, Source Book, h. 573.

115
dinamakan ‘aliran nyata’. Beliau berpendapat bahwa semua studi
dan kepakaran mestilah memiliki kegunaan bagi masyarakat128.
Menurut Tailor aliran ini tumbuh subur pada dinasti Míng (明朝,
1368M--1644M) dan Dinasti Qīng (清朝, 1644M--1911M) dan
memiliki pengaruh besar di Korea dan Jepang dan berhadapan
dengan pengaruh Buddhisme di kedua negara itu129. Chén Liàng
adalah penganut utilitarianisme yang mengeritik teori Zhū bahwa
pembicaraan asas/prinsip dan watak sejati/sifat asli Zhū sebagai
kurang bermanfaat. Baginya aksi lebih berharga daripada teori atau
kata-kata. Studi kepustakaan hendaknya untuk kepentingan
kehidupan praktis. Konfusianisme harus selalu menjadi doktrin
yang berguna di sepanjang waktu130. Chén jarang berbicara tentang
kosmologi.
c. Wáng Yángmíng (王陽明).
Wáng Yángmíng (王陽明, 1472M--1529M alias Wáng Shŏurén
王孚仁) hidup di zaman Dinasti Míng (明朝, 1368M--1644M) dan
merupakan penerus paham Lù Xiàngshān. Wáng juga menyatakan
bahwa ‘hati-pikiran (心xīn)’ itulah asas/prinsip, dengan demikian
juga menyatakan bahwa Mutlak Besar (太極Tàijí) adalah hati-
pikiran (心xīn), dan bahwa Tàijí (太極) berisi keseluruhan alam
semesta dan semua asas/prinsip serta semua kebajikan. Wáng
berpendapat bahwa Zhū gagal mengakui keutuhan asas/prinsip dan
gagal juga untuk menemukan asas/prinsip di dalam hati-pikiran.
Karena bagi beliau tidak ada asas/prinsip di luar hati-pikiran131.
Terlihat di sini Wáng juga adalah kritikus di bidang etika Zhū
walaupun beliau mengeritik pula kosmogoni Zhū. Salah satu
kekhasan W|ng adalah mengangkat ide ‘innate knowledge (良知

128 Yao, An Introduction to Confucianism, h. 108.


129 Rodney L. Taylor and Choy Howard Y.F. (Cài Yuánfēng 蔡元豐), The
Illustrated Encyclopedia of Confucianism, 1st-Ed. New York: The Rosen
Publishing Group, Inc., 2005, h. 520.
130 Taylor and Howard, The Illustrated Encyclopedia of Confucianism, 1st-

Ed., h. 249.
131 Taylor and Howard, The Illustrated Encyclopedia of Confucianism, 1st-

Ed, h. 109.

116
Liángzhī kemampuan intuitif)132’ yang ada dalam dari manusia (ide
yang awalnya disampaikan dalam kitab Mèngzĭ 孟子) sebagai salah
satu dukungan untuk filsafatnya yang berorientasi ke dalam.
d. Wáng Fūzhī (王夫之).
Kehidupan Wáng Fūzhī (王夫之 1619M--1692M alias Wáng
Chuánshān 王船山) berkisar pada pada akhir zaman Dinasti Míng
(明朝, 1368M--1644M) dan awal era Dinasti Qīng (清朝, 1644M--
1911M). Beliau mengeritik baik etika maupun kosmogoni Zhū.
Wáng adalah filsuf yang materialis, seorang pemikir independen
yang menentang paham idealisme Wáng Yángmíng maupun paham
rasionalisme Zhū, dan beliau bergerak ke arah yang lain.
Belakangan pandangan beliau dihormati oleh pemerintah Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) yang Komunis karena pikiran
materialistisnya. Beliau menolak pandangan Zhū dan Wáng bahwa
asas/prinsip itu adalah transenden universal dan mendahului
tenaga kebendaan/material Qì (氣). Sebaliknya berpendapat bahwa
asas/prinsip itu identik dengan tenaga kebendaan/material. Wáng
berpendapat Tàijí (太極) dan Tiānlǐ (天 理) yang oleh Zhū dan
Wáng dinilai sebagai transenden dan abstrak menurutnya tidak
demikian, dan bersamaan dengan Xīn dan Xìng (心-性) semuanya itu
tidak lain daripada tenaga kebendaan/material Qì (氣)133. Walaupun
beliau mengaku sebagai penerus pandangan Zhāng Zài (張載) tapi
bagi Wáng ‘kekosongan besar (太虛 Tàixū)’-nya Zhāng bukanlah
entitas abstrak tapi konkret. Menurut beliau dunia hanya terdiri
dari benda konkret (Qì器, harap dibedakan dengan Qì (氣
tenaga/kebendaan konsep Zhū yang merupakan bahan pembuat
benda) saja tanpa yang abstrak. Penulis memahamai bahwa beliau
menganggap Lǐ (理 bukan entitas sebagaimana Zhū dan Wáng.
Dalam kaitan ini sebagaimana disinggung di bagian bab I
(Pendahuluan) Jeeloo Liu menyatakan bahwa yang dimaksud
asas/prinsip dalam filsafat Wáng adalah “…Lǐ (理 asas/prinsip) dari

132 Matakin menerjemahkan Liángzhī sebagai ‘kecerdasan asli’. Lihat Kitab

Sìshū (四書 Kitab Yang Empat) bagian Mèngzĭ (孟子) VIIA:15 (Jakarta: Matakin;
diperbanyak Kemenag RI, 2013), h. 858.
133 Chan, Source Book, h. 573.

117
Qì (氣)  Lǐ of Qì bukannya Lǐ (理 asas/prinsip) untuk Qì (氣)  Lǐ
for Qì …” 134

2. Beberapa Tokoh Sepaham, Penganut Pemikiran Zhū Xī.


a. Lü Zuqian (呂祖謙 ) dan Zhāng Shì (張栻).
Bersama dengan Zhū Xī, Lü Zuqian 呂祖謙 (1137M--1181M)
dan Zhāng Shì (張栻, 1133M--1180M) dikenal sebagai ‘Dōngnán
Sānxián (東南三賢Three Worthies of the Southeast, Tiga Bijak dari
Tenggara).
Zhāng Shì alias Zhāng Jìngfū (張敬夫) adalah penganut aliran
Tiānlǐ (天理) dan Lǐxué (理学) dan memiliki reputasi harum dan
lama mengajar di Akademi Yuèlù (Yuèlù Shūyàn 岳麓書院) kota
Chángshā (長沙) Húnán (湖 南). Zhāng Shì juga membicarakan dan
menggunakan konsep-konsep utama Neo-Konfusianisme yaitu
‘Mutlak Besar (Tàijí 太極)’, ‘asas/prinsip (Lǐ 理)’, ‘watak sejati/sifat
asli (Xìng 性)’ dan ‘takdir/perintah Tiān (Tiānmìg天命)’. Beliau
berpendapat konsep-konsep ini sebagai satu sistem yang berpadu
namun berada pada tingkat yang berbeda-beda. Beliau mengakui
gagasan Mèngzi (孟子) bahwa karakter manusia itu baik secara
alami, namun berargumen watak sejati/sifat asli (Xìng 性) tidak
sama seimbang pada semua manusia, ada yang sejak lahir sudah
berkembang sempurna (yǐfā 已發) dan ada yang belum (wèifā未發),
bagian inilah pokok perbedaan beliau dengan Zhū135.
Lǚ Zǔqiān (呂祖謙 alias Lǚ Bógōng 呂伯恭) seorang pakar,
filsuf dan penulis puisi yang berasal dari Shānxī (山西) yang
kemudian menetap di Hángzhōu (杭州) ketika Dinasti Sòng (宋朝)
pindah ke Selatan akibat serangan penyerbu Jurchen. Leluhurnya
adalah para cendekiawan yang mendirikan sekolah aliran Lǚxué
(呂學) atau sekolah Wùxué (婺 學). Lǚ penganut paham Tiānlǐ (天

134 Liu, Jeeloo, The Status Of Cosmic Principle (Lǐ ) in Neo-confucian


Metaphysics, on JCP 2:3 (California: JCP September 2005), h. 400.
135 Theobald, Ulrich (田孙利), Persons in Chinese History - Zhang Shi 張栻-

Lü Zuqian 呂祖謙, in online Encyclopaedia on Chinese History, Literature and


Art.; diakses Januari 2018 pada dari http://www.chinaknowledge.
de/History/Song/personszhangshi.html

118
理) yang dikembangan kedua bersaudara Chéng Yí (程頤) dan
Chéng Hào (程顥). Pada 1175M beliau mengatur pertemuan Zhū Xī
dengan Lù Xiàngshān dalam membahas perbedaan pendapat
mereka136. Kemudian juga bersama Zhū Xī beliau menyeleksi karya-
karya Zhōu, kedua bersaudara Chéng dan Zhāng Zài untuk
kemudian disusun dalam sebuah karya berjudul Jìnsīlù (近思錄)137.
Lǚ mengusulkan penggabungan ajaran kitab klasik yang
disesuaikan dengan kebutuhan zaman praktis, beliau berpendapat
bahwa sangat baik jika para filsuf mampu melihat kebaikan dan
keburukan masa lalu dengan mempelajari sejarah, itulah sebabnya
beliau terkenal dengan ucapan ‘mempelajari sejarah melalui kitab-
kitab klasik (Yǐ Jīng Wéi Shǐ 以經為史)’, inilah titik perbedaannya
dengan Zhū, karena umum diketahui Zhū sangat kritis terhadap
kitab-kitab klasik dan dalam kehidupannya berorientasi serta
mengacu dari kitab-kitab yang berasal dari Nabi Kŏngzĭ dan
Mencius saja138.
b. Xǔ Héng (許 衡).
Xǔ Héng (許衡, 1209M--1281M) adalah seorang Neo-
Konfusian pendidik pada kurun Dinasti Yuán (元朝, 1279M--
1368M). Dalam filsafatnya Xǔ berada dalam garis Chéng Yí, Chéng
Hào dan Zhū Xī. Xǔ mengatakan bahwa Dào (道) adalah dasar alam
semesta. Tapi Xǔ Héng sedikit mengubah pandangan ketat ini
dengan anggapan bahwa pengetahuan (知Zhī ) dan praktik (行 Xíng)
harus sebangun. Beliau adalah seorang pejabat tingkat tinggi pada
kekaisaran Dinasti Yuán (元朝) dan atas saran beliaulah maka
kitab-kitab komentar Zhu yakni Sìshū Jízhù (四書集注) telah
disahkan kekaisaran pada tahun 1313M sebagai kurikulum untuk
persiapan ujian negara. Oleh karena itu, dia dihormati sebagai ‘guru

136 Lihat Chan, Source Book, h. 583.


137 Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism, Appendix A: Biography of Chu Hsi, h.
596.
Theobald, Ulrich (田孙利), Persons in Chinese History - Zhang Shi 張栻- Lü
138

Zuqian 呂祖謙, in online Encyclopaedia on Chinese History, Literature and Art.;


diakses Januari 2018 pada dari http://www.chinaknowledge.de/History/Song/
personslvzuqian.html

119
aliran asas/prinsip (理學宗師 Lǐxué Zōngshī)’139. Demikian juga
karya Zhū tentang tanya-jawab kitab Sìshū yakni Sìshū Huòwèn (四
書或問 ) tercatat sangat antusias terapresiasi dan dipakai oleh Xǔ
demi menggantikan metode pelajaran lain yang telah dipakainya
sebelumnya140.
c. Luó Qīnshùn (羅欽順).
Luó Qīnshùn (羅欽順, 1465M--1547M) seorang filsuf yang
hidup pada zaman Dinasti Míng (明朝,1368M--1644M). Beliau
adalah pengikut sayap rasionalis Zhū, namun dapat melihat jelas
permasalahan yang menjadi pokok pikiran sayap idealis dari Wáng
Yángmíng. Beliau menyatakan bahwa Wáng salah menggunakan
pemahaman dan tulisan-tulisan Zhū saat Zhū belum berusia 46
tahun141. Luó sangat mendalami dan juga intens dalam
menginterprestasikan kembali pemikiran kosmologi dan etika Neo-
Konfusianisme termasuk karya-karya Zhū. Menurut Kim Young Min
dalam karyanya pada jurnal T2oung Pao LXXXIX142 bahwa
keprihatinan Luó atas pemikiran Zhū sangat luas antara lain pada
studi mendalam beliau dan memandang untuk meredefinisi kembali
Lǐ (理) sebagai ‘pola yang tertanam (Embedded Pattern)’. Beliau
tampaknya sangat serius ingin memahami Lǐ (理) supaya tidak
‘jatuh’ menjadi sekedar objek ‘studi vulgar’ maupun ‘omongan
kekosongan (emptyness talks seperti dalam sekte Chanisme)’. Beliau
juga menekankan bahwa keberadaan ontologis Lǐ (理) tidak boleh
dimengertikan tanpa Qì (氣). Luó agak berbeda dengan Zhū karena
Zhū mengunakan kata Lǐ (理) menempel atau menggantung (= guà
掛) pada Qì (氣) yang dengan demikian memiliki konotasi
keterpisahan Lǐ dari Qì (氣) 143. Di suatu sisi Luó tidak bermaksud
menekankan adanya asas/prinsip yang satu yang mengontrol
fenomena yang banyak, sehingga ada kesan suatu kekuatan
pengontrol “controlling power” (zhǔzǎi主宰)’. Tapi beliau

139 Ulrich, Persons in Chinese History - Xu Heng 許衡.


140 Chan, Life and Thoght, h. 20.
141 Chan, Life and Thoght, h. 22
142 Youngmin, Kim, Luo Qinshun (1465-1547) and His Intellectual Context

T2oung Pao LXXXIX (Brill, Leiden: Bryn Mawr College©, 2003), h. 367--440.
143 Kim, Luo Qinshun (1465-1547) , h. 392.

120
memaksudkan bahwa kekuatan pengontrol ini tidak wujud
sedemikian rupa sehingga terdapat satu entitas yang bebas dari
kepelbagaian yang banyak itu. Namun itu hanya wujud yang
"seolah-olah terdapat entitas tunggal yang bertindak sebagai
kekuatan pengontrol dalam berbagai hal dan menyebabkan mereka
menjadi seperti mereka sebagaimana adanya”. Penulis
menyimpulkan bahwa Luó sebenarnya ingin menyatakan adanya
sesuatu kekuatan yang sebenarnya transenden di mata beliau, tapi
sifat dan karakternya itu imanen. Zaman ketika Luó hidup adalah
saat Tiongkok belum berhubungan dengan filsafat Barat maka tentu
istilah imanence transcendent belum ada dalam benak beliau,
bahkan untuk sekedar memberikan perbandingan saja.

3. Tokoh-tokoh yang Memengaruhi Pemikiran Zhū Xī


Dari berbagai uraian pada kisah kehidupan serta pada uraian
mengenai kritikus dan pelanjut pemikiran Zhū Xī yang disampaikan
di bagian atas, serta dari pembahasan dalam bab II.D, II.E dan II.H,
kemudian dengan berbagai bacaan yang penulis telah ikuti, maka
penulis mengamati ada setidaknya empat tokoh yang terutama
memengaruhi pemikiran dan karya-karya Zhū Xī, yakni: Nabi
Kŏngzĭ, Mèngzĭ, Zhōu Dūnyí , serta Chéng Yí.
Pengaruh Nabi Kŏngzĭ tak diragukan adalah yang terbesar
dalam kehidupan dan pemikiran Zhū Xī. Seluruh kehidupan Zhū Xī
senantiasa bersandar dan disuasanai semangat Nabi Kŏngzĭ.
Semangat kemanusiaan dan kepentingan bagi orang banyak,
semangat ‘pendidikan untuk semua (Yǒuji{o Wúlèi 有教無類)’,
semangat rasional sekaligus meyakini adanya sesuatu Yang Mutlak
yakni kepada Tiān. Semua itu adalah contoh utama pengaruh Nabi
Kŏngzĭ. Demikian tingginya penghormatan dan sujud Zhū Xī kepada
Nabi Kŏngzĭ sehingga beliau selalu berdoa di altar Nabi Kŏngzĭ baik
di rumah pribadi maupun di tempat beliau berdinas.
Pengaruh Mèngzĭ yang terbesar pada Zhū Xī adalah pemikiran
Mèngzĭ tentang kebaikan watak manusia (性本善 xìng běn shàn).
Walaupun sisi etika tidak merupakan skop bahasan tesis ini, namun
perlu diutarakan bahwa pemikiran etika Mèngzĭ telah sedemikian
dalam memengaruhi pemikiran etika Zhū Xī (di samping para Neo-
Konfusian lain). Dalam hal ini posisi manusia di jagad ini

121
mendapatkan tempat yang mulia, bahwa manusia merupakan
mahkluk yang dikaruniakan dengan kualitas-kualitas terbaik
kebajikan Tuhan, berupa karunia Tuhan yang dinamakan watak
sejati (sifat asli). Zhū Xī memosisikan manusia sebagai penerima
nilai-nilai luhur Tuhan sebagaimana terdapat juga dalam kosmos,
manusia adalah sebagai penerima amanat Tuhan untuk
melaksanakan kebajikan dalam hidupnya. Hal ini juga yang telah
Zhū Xī berusaha laksanakan di sepanjang hidupnya.
Zhōu Dūnyí adalah juga tokoh yang dikagumi Zhū Xī, terutama
kesucian hidupnya yang jernih dan bersahaja. Zhū Xī telah
membuatkan kelenteng dan altar bagi Zhōu untuk memperingati
keteladanan Zhōu. Dari Zhōu Zhū Xī mewarisi pemikiran tentang
Tàijí (太極) termasuk Wújí (無極). Tetapi Zhū Xī memahami maksud
Wújí (無極) Zhōu bukanlah kekosongan atau sunyata, namun
semata-mata hanya mencerminkan sifat Tiān yang ‘tidak bersuara
tidak berbau (無聲無臭wúshēng wúxiù)’ sebagaimana penjelasan
dalam kitab Zhōngyōng (中庸) XXXII144. Dengan konsep Tàijí (太極)
Zhōu, Zhū Xī kemudian menghubungkannya dengan konsep Lǐ (理)
yang diwarisi dari Chéng Yí, sehingga membuat pemikiran filsafat
Zhū Xī menjadi lengkap.
Akhirnya Chéng Yí, adalah guru imajiner Zhū Xī. Walaupun
Zhū Xī tidak secara langsung berguru kepada beliau namun Zhū Xī
selalu menyatakan bahwa Chéng Yí adalah gurunya. Konsep Lǐ (理),
konsep utama Neo-Konfusianisme yang telah melalui perjalanan
sejarah pemaknaan dan pengertian dari zaman Konfusianisme
klasik sampai era Neo-Konfusianisme mendapatkan posisi dan
pengertian yang sangat tinggi di tangan Chéng Yí, dan kelak
mencapai kulminasinya di tangan Zhū Xī. Dari Chéng Yí jugalah Zhū
Xī mewarisi keyakinan dan sifat khas Chéng Yí ‘menjalani sifat suka
bertanya dan belajar (道問學dào wènxué) yang merupakan frase
yang berasal dari kitab Zhōngyōng (中庸)145. Dengan semangat itu

144 Lihat Kitab Zhōngyōng (中庸) XXXII:6 dalam Kitab Sìshū (四書 Kitab
Yang Empat), versi Dwilingual dengan Transliterasi H{nyŭ Pīnyīn oleh Team P3K
Deroh Matakin (Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas Khonghucu PKUB
Kemenag RI, 2013), h. 95.
145 Untuk Petikan ayat aslinya: ‘maka seorang jūnzǐ memuliakan kebajikan

watak sejatinya dan menjalankan sifat suka belajar dan bertanya 故君子尊德性

122
Zhū Xī sebagaimana juga gurunya Chéng Yí sangat giat
melaksanakan dan mempromosikan kegiatan menelaah
kepustakaan dan ‘mempelajari berbagai hal/benda (géwù 格 物)146,
menjadikan Zhū Xī , sebagaimana juga Chéng Yí, sangat produktif
menulis dan menganotasi berbagai kitab dari era Nabi Kŏngzĭ . Zhū
Xī juga tentu mewarisi pemahaman Chéng Yí (dan juga Chéng Hào)
tentang Tiānlǐ (天理) asas/prinsip atau hukum Tiān.

III.H. Pengaruh Zhū Xī di Korea dan Jepang.


Paham pemikiran filsafat dan keagamaan Zhū Xī tidak saja
merebak dalam negeri Tiongkok selama 800-an tahun sejak masa
hidupnya, dan hampir 600 tahun sejak sistem ujian negara
dilaksanakan dengan mengacu pada anotasi dan karya-karya Zhū.
Di dalam negeri Tiongkok terdapat sederet penentangnya demikian
pula mungkin lebih banyak lagi para penerusnya. Di samping itu
dan ada pula kalangan yang telah memadukan pemikiran rasionalis
Zhū dengan pemikiran sayap idealis dari Lù dan Wáng: tandingan
sekaligus partner pemikiran Zhū Xī. Namun, di samping maraknya
pemikiran Zhū di dalam negeri, arus perkembangan pemikiran Zhū
Xī itu telah melompat jauh melewati daratan dan lautan sampai ke
Vietnam, Korea dan Jepang147. Pengaruh Konfusianisme dan Neo-
Konfusianisme masih sangat terasa di ketiga negara tersebut. Kita
akan melihat pengaruh Zhū pada Korea dan Jepang, dua negara
yang sangat jelas terpengaruh oleh Neo-Konfusianisme Zhū Xī.
Sebelum Neo-Konfusianisme aliran idealis Zhū Xī
mendominasi ideologi dan agama di Korea, lama sebelum itu
Konfusianisme (klasik) sudah masuk dan memengaruhi pemikiran
orang Korea. Diperkirakan semenjak periode Dinasti Hàn Akhir (後
漢, 25M--220M) Konfusianisme sudah memasuki Korea. Negeri
Korea sering disebut 'rumah kedua Konfusianisme'148. Levi
menyatakan bahwa pada sekitar abad keempat pengaruh

而道問學’; dapat dilihat pada bagian Zhōngyōng (中庸) XXVI:6, dalam kitab
Sìshū versi Dwilingual, h. 82
146 Oleh Matakin géwù (格 物) diterjemahkan meneliti hakekat berbagai hal

(setiap perkara).
147 Chan, Life and Thoght, h. 1.
148 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 155

123
Konfusianisme telah jelas di Korea149.
Menurut salah satu buku sejarah kuno Korea150, di tahun
372M telah dibangun akademi negara untuk anak-anak bangsawan
dengan kitab-kitab klasik Konfusianisme menjadi buku
pegangannya. Di tahun 648M Taejong Muyeol (太宗武烈, 602M--
661M) menuju ke Chángān (長安) untuk meninjau universitas
kerajaan Dinasti Táng (唐朝) sebelum beliau kembali ke Korea dan
naik takhta sebagai raja kerajaan Silla (新羅, 57SM--935M) ke-29.
Penguasa dinasti Koryo (高麗, 918M--1392M) juga mendirikan
sistem ujian pegawai sipil (Kwako) dan universitas nasional
(Kukjakam). Kaisar Munjong (文宗, 1019M--1083M) telah
mengembangkan sistem sekolah Konfusian swasta di sana151.
Ketika Dinasti Yuán (元朝, 1279M--1368M) menguasai Korea
pada tahun 1267M banyak pejabat Korea yang menuju ke Tiongkok
dan membawa pulang pemikiran Zhū Xī. An Hyang (1243M--
1306M) adalah tokoh utama dan menjadi bapak Neo-Konfusianisme
Korea, dan memimpin pengkajian tentang sifat manusia (姓理學
Songnihak) serta studi Jalan Suci (道學Tohak). Ketika Dinasti Joseon
(Chosun 朝鮮, 1392M--1919M) didirikan, penganut Neo-
Konfusianisme Korea mengeritik Buddhisme. Jeong Do-Jeon
(1342M--1398M), yang merupakan penasihat dekat Taejo
(Taejong,1335M--1408M) pendiri dinasti tersebut, sangat kritis
terhadap doktrin Buddhisme152. Nanti pada era Raja Taejong
barulah Buddhisme diijinkan. Maka kalangan rakyat jelata
menganut Buddhisme pula di Korea153.
Dinasti Joseon (Chosun) merupakan dinasti dengan
penggunaan ideologi Konfusian terpanjang di Asia154. Pada saat itu
Konfusianisme sangat memengaruhi orang Korea dari perkotaan

149 Nicolas Levi, The Impact of Confucianism in South Korea and Japan PL

ISSN 0860-6102 (Poland: Acta Asiatica Varsovienesia No. 26, 2013), h. 8.


150 Yakni Chronicles of the Three Kingdoms (Samkuk Saki); Lihat Littlejohn,

Confucianism: An Introduction, h. 155.


151 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 155.
152 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 155..
153 Levi, The Impact of Confucianism, h. 9.
154 John H. Berthrong and Evelyn M. Berthrong, Confucianism: A Short

Introduction (Oxford: Oneworld Oxford, 2004), h. 170.

124
sampai pedesaan. Tapi, pada saat yang sama, para penganut Neo-
Konfusianisme Korea tidak menelan begitu saja ajaran itu, tapi juga
sangat intens mengkaji ajaran Zhū Xī dan menyesuaikan dengan
kondisi Korea155. Mereka sangat bangga menggunakan ideologi Neo-
Konfusianisme bahkan ketika Tiongkok pertama kali jatuh dalam
kekuasaan Mongol dengan Dinasti Yuán (元朝)-nya, Korea
memploklamirkan sebagai satu-satunya negara Konfusian di Asia
Timur156. Dua orang Tokoh yang yang paling menonjol dari Dinasti
Joseon adalah Yi Hwang (1501M--1570M, alias Yi T'oegye) dan Yi I
(1536M--1584M, alias Yi Yulgok). Kemudian ada pula murid
T'oegye, yakni Ki Taesung (1552M--1572M, alias Kobong). Studi
yang kritis dan mendalam menandai diterimanya dengan serius
paham Zhū Xī di Korea. Isu-isunya yang terutama adalah bagaimana
penataan hubungan antar masyarakat sosial dan pengolahan batin
dengan juga melibatkan studi-studi ajaran Mèngzĭ (孟子). Dengan
langkah perpaduan studi ini, pemikiran Zhū Xī sangat berkembang
di Korea157. ‘Kitab Ritual Keluarga Mahaguru Zhū (Zhūzi Jiālǐ 朱子家
禮)’ buah karya Zhū Xī sangat tekun dikaji dan digunakan di Korea.
Kelas bangsawan Yangban yang terutama menjadi ujung
tombaknya. Upacara perkawinan menurut kitab Zhū tersebut di
atas saat itu sangat lumrah, populer dan digunakan sebagai
standart158.
Satu catatan yang perlu disampaikan bahwa paham idealis
Wáng Yángmíng, tidak marak di Korea, tetapi ketika paham Chén
Liàng dengan 'Practical Learning (實學Silhak) muncul pada abad
ketujuh belas orang Korea dengan mudah menerima dan
mengkajinya sebagaimana juga pemikiran rasional Zhū Xī159.
Demikianlah Korea menjadi negeri pertama di luar Tiongkok yang
menerima paham Zhū Xī. Paham itu masih terasa sampai sekarang.
Kehidupan orang Korea modern tetap masih diwarnai oleh ajaran-
ajaran Zhū Xī. Joghwan Lee (seorang periset Korea) sebagaimana
dikutib Levi menyatakan bahwa pengaruh Neo-Konfusianisme

155 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 156.


156 Berthrong, Confucianism: A Short Introduction, h. 170.
157 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 156.
158 Berthrong, Confucianism: A Short Introduction, h. 170--171.
159 Berthrong, Confucianism: A Short Introduction, h. 170--171.

125
masih kelihatan hal mana disebabkan banyak orang Korea yang
kecewa dengan sistem Barat dan kembali ke akar budaya mereka
Konfusianisme160. Zaman sekarang di Korea kelenteng-kelenteng
Nabi Kŏngzĭ dan sekolah-sekolah menjalankan praktek-praktek dan
tradisi Neo-Konfusianisme dalam bidang yang luas, terutama
misalnya: soal-soal administrasi perkantoran, dalam hal meneken
kontrak kerja dalam waktu yang lama, dalam hal pekerjaan yang
langgeng, penggunaan prasasti dan papan nama leluhur, pembuatan
museum-museum prifat pada berbagai sekolah, dan lain lain.
Bahkan upacara-upacara pemakaman marak dilaksanakan dengan
pencampuran elemen Neo-Konfusianisme dan Kristen. Rasa hormat
dan bakti kepada para senior dan orangtua sendiri juga tetap
terpelihara. Para murid tidak pernah memanggil guru-gurunya
dengan nama gurunya tapi dengan sebutan kehormatan
seongsangim161.
Kemudian kita akan lanjut melihat pengaruh Zhū Xī di negara
Jepang. Kedua buku sejarah Jepang Nihon Shoki (日本書紀)162 dan
Kojiki (古事記)163, yang ditulis dengan aksara Tionghoa klasik,
mencatat bahwa salinan kitab Lúnyŭ (論語) dan kitab Seribu Aksara
dibawa ke Jepang oleh seorang warga Korea bernama Wang In,
pada tahun 285M. Pengaruh Konfusianisme juga diperoleh dari
informasi atau catatan tentang utusan Jepang ke istana Dinasti Hàn
Akhir (後漢朝, 25M--220M) dan sesudahnya, serta dengan adanya
melalui imigran Tionghoa yang bermikim di Jepang. Demikian juga
beberapa sarjana Korea yang adalah pakar kitab-kitab
Konfusianisme diterima di istana Jepang pada awal tahun 500-an
M164. Konstitusi Tujuhbelas Topik (Junano Kenpo), konstitusi

160 Levi, The Impact of Confucianism. h. 11.


161 Levi, The Impact of Confucianism, h. 12.
162 Nihon Shoki (日本書紀) Buku Catatan sejarah Jepang, karya kuno

lengkap tentang sejarah bangsa Jepang dari sumber-sumber histori dan


arkeologi, termasuk di dalamnya kisah penjadian alam semesta. Ditulis
dalam aksara Tionghoa oleh Ono Yasumaro pada abad 8 Masehi (711M--
712M), berbentuk puisi dan nyanyian.
163 Kojiki (古事記) catatan tentang kejadian kuno, buku tentang

kerohanian bangsa Jepang. Ditulis dalam aksara Tionghoa oleh Ono


Yasumaro pada abad 8 Masehi (720M).
164 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 159.

126
pertama untuk Jepang yang ditetapkan oleh Pangeran Shotoku
(573M--621M memberikan bukti kuat tentang pengaruh
Konfusianisme. Kaisar Tenji (626M--672M) mendirikan sebuah
akademi lokal serta universitas nasional dan provinsi yang di
dalamnya menggunakan teks klasik Konfusianisme. Namun, tidak
seperti Korea, pengaruh Konfusianisme dalam sistem pendidikan
Jepang mulai memudar setelah tahun 700an M saat sistem
penulisan bahasa Jepang mulai menggantikan bahasa Tionghoa.
Buddhisme kemudian menjadi pegangan spiritual dan intelektual
orang-orang Jepang165. Belakangan pada zaman Dinasti Míng (明朝,
1368M--1644M) pemikiran-pemikiran Neo-Konfusianisme Zhū Xī
dibawa ke Jepang oleh biksu Buddha Keian Genju (1427M--1508M)
yang berkunjung ke istana Dinasti Míng (明朝) pada tahun 1466M
maka timbul anggapan Neo-Konfusianisme sebagai sekte
Buddhisme oleh banyak orang di Jepang. Pengajaran Neo-
Konfusianisme kemudian didukung oleh pemerintah kekaisaran
Jepang. Pada akhir keshogunan Ashikaga dan kebangkitan
Tokugawa, Neo-Konfusianisme aliran Chéng-Zhū (程朱) menjadi
dasar politik Jepang serta berbagai aspek kehidupan sosial dan
intelektual166. Terutama pada zaman Edo (1600M--1868M)167.
Fujiwara Seika (1561M--1619M) adalah tokoh penting yang
mengembangkan Neo-Konfusianisme pada masa hidupnya. Beliau
bahkan meninggalkan tradisi spiritual Buddhis Zen (禪) dan beralih
ke Konfusianisme. Beliau menulis anotasi Empat Buku dan Lima
Klasik Konfusianisme berdasar tafsiran Chéng-Zhū. Ajaran Neo-
Konfusianisme tentang Jìngzuò (靜坐duduk diam) terasa cocok
dengan latihan spritual meditasi Buddhist. Beliau juga
mengapresiasi Wáng Yángmíng terutama pada ide ‘pengetahuan
murni (良知Liángzhī)’. Seika adalah guru Tokugawa Ieyasu (1542M-
-1616M), yang merupakan pelindung studi Neo-Konfusianisme di
Jepang saat itu.
Kemudian datang Hayashi Razan (1583M--1657M), melalui
karya dan pengaruhnya Neo-Konfusianisme menjadi filsafat dan

165 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 159.


166 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 160.
167 Levi, The Impact of Confucianism, h. 10.

127
kode resmi keshogunan Jepang. Tak lama kemudian Yamazaki Ansai
(1618M--1682M) juga menulis untuk menggabungkan pandangan
dunia Konfusianisme dan spiritualitas Shinto (神道) yang asli
Jepang. Ansai memulai karirnya sebagai biksu Buddha, namun
beralih ke Neo-Konfusianisme dalam masa-masa studinya. Tradisi
murid Ansai dikenal secara kolektif sebagai Sekolah Kimon. Sekolah
pemikiran ini dibangun di seputar karya-karya otoritatif misalnya
tulisan-tulisan Zhū Xī termasuk: Reflections on Things at Hand;
Empat Buku; dan Komentar Chéng Yí (程頤) tentang kitab
Perubahan. Sementara membuat sintesis intens antara
Konfusianisme dan Shinto. Ansai juga sangat mengkritik Buddhisme
selama periode Tokugawa. Ansai menolak Buddhisme dengan
beberapa alasan, di antaranya alasan etis dan sosial. Beliau
keberatan dengan Buddhisme monastisisme (biarawan) yang
menurut beliau merusak tatanan keluarga dan kesetiaan kepada
negara dan masyarakat. Meskipun pemikiran Ansai terkadang
terjadi salah tafsir terhadap Buddhisme tapi beliau memenangkan
banyak pengikut. Tahun 1658M terbit karya beliau Japanese
Elementary Learning (Yamato Shōgaku), yang menggabungkan
moralitas Neo-Konfusianisme dengan elemen religius Shinto168.
Anzai menunjukkan dalam karyanya itu banyak sekali istilah-istilah
filsafat dan keagamaan Shinto Jepang yang memiliki persamaan
makna dengan istilah neo-Konfusianisme. Bahkan menyamakan
ritual/upacara (Lǐ 禮) agama Shinto (神道) dengan asas/prinsip (Lǐ
理) Neo-Konfusianisme. Suatu hal yang menjadi kekhasan Anzai
adalah mengetengahkan soal harmoni (和, dibaca wa dalam bahasa
jepang dan hé dalam bahasa Tionghoa) tapi menolak Tiānmìng (天
命) Neo-Konfusianisme169. Selama Periode Meiji (1868M--1911M)
Neo-Konfusianisme dijadikan landasan untuk nasionalisme

168 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 161.


169 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 161.

128
Jepang170. Di sana, sebagaimana juga di Korea sangat ditekankan
kesetiaan warga kepada negara, bagai hormat anak kepada
orangtua171.
Memasuki zaman moderen nilai-nilai Neo-Konfusianisme
tetap terpelihara di Jepang, terutama kelihatan pada soal harmoni
dan kerjasama antara pekerja dan majikan yang pada gilirannya
sangat memajukan ekonomi Jepang. Jarang sekali di Jepang timbul
konflik antara pemodal dan pekerja. Bahkan soal nasionalisme
selalu didasarkan pada pemikiran Jepang dan Neo-Konfusiainisme.
Misalnya karya Yamaga Soko (1662M--1685M) yang merumuskan
perpaduan dan harmoni tetap dijadikan panutaan kebijaksanaan
pemerintah Jepang. Satu pengaruh besar lain terlihat dari
penamaan universitas dalam bahasa Jepang, yakni Daigaku, yang
meminjam aksara Tionghoa大學(Dàxué) yang merupakan nama
kitab Konfusianisme yang juga dapat bermakna ‘pelajaran bagi
orang dewasa’172.
Perbedaan penekanan atau prioritas pemikiran Neo-
Konfusianisme di Korea dan Jepang tentu ada, disesuaikan dengan
kondisi kedua negara itu. Hasil riset Levi menyatakan bahwa Korea
lebih Konfusian daripada Jepang. Hal ini dikarenakan pertama
kedekatan geografis Korea ke Tiongkok dibadingkan dengan ke
Jepang. Kemudian Jepang juga memiliki Shinto sebagai agama
pribuminya, sehingga Konfusianisme harus mengalami penyesuaian
dengan agama Shinto untuk dapat tetap eksis di Jepang173. Terlepas
dari semua itu Korea dan Jepang adalah dua contoh utama dan
aktual eksisnya Konfusianisme khususnya Neo-Konfusianisme yang
tumbuh subur di luar Tiongkok, dari zaman kekaisaran hingga
zaman moderen ini.

170 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 161.


171 Littlejohn, Confucianism: An Introduction, h. 161.
172 Levi, The Impact of Confucianism, h. 12.
173 Levi, The Impact of Confucianism, h. 15.

129
130
BAB IV
TRANSENDENSI-IMANENSI LǏ (理) ZHŪ XĪ

IV.A. Arti Transendensi-Imanensi Sesuai KBBI dan English


Dictionary.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terlihat terbatas
dalam menjelaskan istilah transendensi-imanensi. Dalam KBBI yang
penulis gunakan, istilah yang berkaitan dengan transendensi hanya
muncul dalam bentuk kata sifat: ‘transenden’ dan ‘transendental’
dan tidak muncul dalam bentuk kata benda/nomina: ‘transendensi’.
Sedangkan untuk kata benda ‘imanensi’ muncul secara lengkap di
KBBI selain kemunculannya dalam bentuk kata sifat: ‘imanen’.
Dalam pengamatan penulis, terlihat bahwa kata
transendensi yang tersaji dalam kamus KBBI versi Kemendikbud
RI1 lebih mengarah kepada arti agamis atau kerohanian, sedangkan
untuk kata imanensi terlihat relatif lebih umum. Adapun definisi
transendensi-imanensi selengkapnya menurut KBBI Kemendikbud
RI itu, adalah sebagai berikut:
1. Transenden (kata sifat) yang memiliki dua makna yakni: (1) di
luar segala kesanggupan manusia; luar biasa; (2) utama.
2. Transendental (kata sifat) dengan empat makna yakni:
(1) menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian; 2 sukar
dipahami; 3 gaib; 4 abstrak.
3. Imanen (kata sifat): berada dalam kesadaran atau dalam akal
budi (pikiran).
4. Imanensi (kata benda): prinsip pemerian bahasa sebagai sistem
yang otonom, lepas dari faktor ekstern, seperti filsafat,
sosiologi.
Adapun dalam kamus bahasa Inggris penjelasan
transendensi-imanensi yang diberikan terlihat telah meliputi
pemahaman yang lebih luas, karena di samping telah mencakup
pemisahan dalam kata sifat dan kata benda, juga telah membedakan
jenis kata benda serta telah ikut memberikan kata sinonom serta

1 KBBI Offline V 0.2.0 Beta (20) 2016, last online updated on 9th Oct 2017; oleh:

Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI (Based on KBBI versi


V).

131
juga lawan katanya. Misalnya kamus Livio Offline English
Dictionary2, kamus ini memberikan penjelasan istilah-istilah itu
sebagai berikut:
1. Transcendence: terdapat empat makna sebagai berikut:
1 countable noun tindakan yang melebihi batas-batas yang
biasa; 2 uncountable noun keadaan yang berada di luar
jangkauan persepsi biasa; 3 uncountable noun keadaan yang
terbebas dari batasan dunia material, seperti dalam kasus
keilahian; 4 superior excellence, supereminence.
2. Transcendent: terdapat tiga makna dalam bentuk kata sifat
sebagai berikut: 1 adjective melampaui batas-batas biasa;
2 adjective di luar jangkauan persepsi biasa; 3 adjective bebas
dari batasan dunia material; serta dalam dua makna dalam
kata benda 1 noun melampaui atau supereminent; 2 noun
sesuatu yang sangat unggul/mulia.
3. Transcendental: dengan satu makna dalam kata benda (noun,
kata kuno yang tidak dipakai lagi) A transcendentalist; serta tiga
makna dalam kata sifat: 1 adjective (istilah filsafat)
berhubungan dengan dasar pengetahuan apriori atau intuitif,
yang bebas dari pengalaman; 2 adjective unggul/ulung/mulia,
melampaui yang lain, luar biasa (extraordinary); 3 adjective
mistis atau supernatural.
4. Immanence (synonym immanency): terdapat tiga makna
sebagai kata benda sebagai berikut: 1 noun kondisi yang
imannen, inherensi; 2 noun keadaan yang berada di dalam dan
tidak meluas melampaui wilayah tertentu; 3 noun (istilah
filsafat) konsep kehadiran Tuhan di dalam dan pada
keseluruhan dunia nyata
5. Immanent: terdapat lima makna sebagai kata sifat sebagai
berikut: 1 adjective secara alami merupakan bagian dari
sesuatu, berada keseluruhannya dan bersama dengan sesuatu,
inheren, integral, intrinsik, berdiam diri ; 2 adjective dibatasi
sepenuhnya pada wilayah utama atau wilayah tertentu, intern,
subjektif; 3 adjective (istilah filsafat) berada bersama dan

2 Offline English Dictionary, Livio3, ver 3.7 (last update 19th Sept 2017) by Livio,

with database from English Wiktionary.

132
dalam keseluruhan pikiran dan dunia, berdiam dengan dan
dalam keseluruhan hal/benda, sepanjang waktu, dan lain-lain.
Compare: transendence; 4 adjective (istilah filsafat)
berlangsung sepenuhnya di dalam pikiran subjek dan tidak
memiliki efek di luarnya Compare: emanant, transeunt;
5 adjective berada dalam batas pengalaman atau pengetahuan.

IV.B. Arti Transendensi-Imanensi Sesuai Kamus Filsafat.


Kamus Filsafat berbahasa Indonesia karya Lorens Bagus
memberikan penjelasan-penjelasan bahwa:
1. Transenden awalnya berasal dari kata latin ‘trans’ yang berarti
‘seberang’, ‘melampaui’, ‘atas’, dan kata ‘scandere’ yang berati
‘memanjat’. Istilah ini memiliki beberapa pengertian: ‘lebih
tinggi’, ‘unggul’, ‘agung’, ‘melampaui’ ‘superlatif’; ‘melampaui
apa yang ada dalam pemahaman manusia’; ‘berhubungan
dengan apa yang selamanya melampaui pemahaman terhadap
pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah’; ‘tidak tergantung dan
tersendiri’. Kata Transenden digunakan dalam beberapa
pengertian dalam sejumlah cara serta pemakaiannya dalam
filsafat dan sejarah: Pola pemikiran dari Phytagoras, Plato dan
Neoplatonis lain sampai Philo Judeaus tentang transendensi
Allah; Dalam pemikiran Skolastik ia dipakai dalam istilah yang
disebut ‘Transendentalia’ yang diterapkan pada semua yang
melampaui definisi dengan genus dan diferrensia3.
2. Transedental: secara umum bermakna sesuatu yang
berhubungan dengan transenden. Di sini yang trensenden
berlawanan dengan dunia material, maka filsafat transendental
sama dengan metafisika. Di tangan Kant transendental
mengalami perubahan arti yang sangat penting, yakni bahwa
transendental adalah seluruh pengetahuan yang tidak saja
menyangkut objek, melainkan juga menyangkut cara kita
mengetahui obek, sejauh cara itu merupakan sesuatu yang a
priori4.
3. Imanen berasal dari bahasa Latin ‘imanere’ yang berarti

3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) Cet.

Ke-4 September 2005, h. 1118--1119.


4 Bagus, Kamus Filsafat, h . 1119-1121.

133
‘tinggal di dalam’, ‘berlangsung seluruhnya dalam pikiran’,
‘subjektif’; merupakan lawan kata dari transenden; Ia memiliki
beberapa arti antara lain: ‘tinggal di dalam’, ‘melekat di dalam’,
‘bekerja dari dalam’; secara aktual hadir dalam sesuatu, juga
berarti segi ‘batin’ dari suatu objek, fenomen atau gejala;
sesuatu yang ada dalam diri sendiri, juga bermakna berada
atau terdapat di dalam yang terjadi di dalam, atau selama suatu
proses, Tuhan yang imanen berati Tuhan berada dalam suatu
struktur alam semesta turut serta ambil bagian dalam
prosesnya dalam kehidupan manusia5.
4. Imanensi: tidak melampaui, lawan dari transendensi; Dipakai
dalam banyak bidang/pemahaman yang berbeda: misal utk
menjelaskan hubungan antara tindakan dan prinsip serta
hubungan antara manusia dan Tuhan; dalam epistemologi ia
bermakna ketergantungan pada kesadaran; Dalam bidang
pengalaman insani ia bermakna keterbatasan pada bidang-
bidang pengalaman yang mungkin terjadi (misal yang dibahas
Hume dan Kant); Dalam pandangan metafisis ia bermakna
adanya yang absolut dalam dunia atau dalam eksistensi yang
terbatas (misal yang ditegaskan dalam panteisme).
Dari beberapa definisi di atas terlihat bahwa istilah
transendensi dan imanensi itu memiliki makna yang luas dan
beragam baik dari arti umum, segi agama (teologi) dan filsafat.
Belum lagi dari beberapa bacaan, penulis membaca bahwa istilah
itu dipakai pula dalam bidang keilmuwan lain selain filsafat dan
agama, misalnya dalam bidang matematika dan psikologi.
Penulis menggunakan langsung definisi transendensi-
imanensi KBBI untuk menilai aspek transendensi-imanensi konsep-
konsep Neo Konfusianisme dalam ranah kosmogoni, lalu hanya
menggunakan ringkasan atau pengertian umum dari transendensi-
imanensi kamus bahasa Inggris, namun dan belum dapat
menggunakan secara mendalam pengertian transendensi-imanensi
kamus Filsafat. Tujuan disampaikannya definisi transendensi-
imanensi dari kamus filsafat dalam bab ini lebih pada informasi dan
untuk memperlihatkan khazanah yang lebih luas bahwa

5 Bagus, Kamus Filsafat, h. 323.

134
transendensi-imanensi ini sangat luas pemakaiannya dalam ilmu
filsafat.
Dalam bagian selanjutnya, akan ditinjau bagaimana persoalan
imanensi-transendensi ini eksis dalam bidang kosmogoni dan etika
Neo-Konfusianisme oleh Zhū Xī dan beberapa nama para guru
pendahulunya.

IV. C. Transendensi-Imanensi dalam Konfusianisme-Klasik.


Fakta bahwa manusia terdiri dari bagian raga dan bagian
jiwa, maka tentu saja beragam manusia dari berbagai budaya dan
geografi masing-masing dalam keseluruhan rentang sejarahnya
yang panjang telah memiliki pengalaman jasmani dan rohani yang
khas dan berbeda-beda pula. Berbagai ras manusia yang hidup
berkembang dan berevolusi di berbagai belahan dunia ini tentu
telah melahirkan, hidup bersama, mengembangkan dan ‘berurusan’
dengan berbagai agama dan atau kepercayaannya masing-masing.
Ketika manusia menjalani perjalanan hidupnya apakah itu
bersama agama, falsafah dan atau keyakinan masing-masingnya,
tentu mereka juga akan mengalami, merasakan dan memikirkan
dengan berbagai cara dan pemahaman yang berbeda-beda tentang
bagaimana di dalam hidupnya itu ada sesuatu yang terasakan
maupun terpikirkan melampaui berbagai potensi-kemampuannya
dan (-apalagi-) tentu saja melampaui kelemahannya sebagai
manusia. Manusia dapat menyadari dengan cara merasakan
maupun memikirkan adanya ‘sesuatu’ yang berhubungan dengan
semua aspek dalam kehidupannya yang pengaruhnya luas dan tidak
terbatas, bahwa sesuatu itu berkenaan dengan segenap hal/benda
yang terkait dalam hidupnya, tidak saja berkenaan dengan
hal/benda yang terlihat namun juga kepada hal/benda yang tidak
terlihat. Dengan kata lain sesuatu itu ada dan melingkupi manusia
walau mungkin belum dapat dipahami dengan penuh, maka sesuatu
itu kita sebut saja secara umum sebagai Yang Mutlak.
Sebagian manusia menyadari bahwa Yang Mutlak itu jauh
dari dirinya, berbeda sekali dengannya dan terpisah dari dunia ini,
dari segala benda/hal yang terpikirkan maupun terasakan. Namun
ada sebagian manusia lain yang menyadari bahwa sesuatu Yang
Mutlak yang melebihi dan melampaui dirinya itu berada tidak jauh
dari dirinya, tidak jauh dari segala hal yang terdapat di dunia ini,

135
tidak jauh dari hati sanubarinya sendiri, bahkan ada juga yang
menyadari atau merasakan bahwa ‘percikan’ Yang Mutlak itu ada
dalam dirinya.
Selanjutnya, dalam menyadari kehadiran sesuatu Yang Mutlak
itu, karena manusia juga dikaruniai hati yakni iman selain otak
yakni akal, maka kemungkinan besar faktor akal dan iman ini akan
berperan bersama-sama atau mungkin dengan cara
mengkombinasikan kedua faktor itu sedemikian rupa sehingga
manusia akan lebih mampu dan lebih memahami dengan lebih baik
serta lebih pas dalam menilai kehadiran sesuatu Yang Mutlak dalam
hidupnya itu. Dengan menggunakan hati yakni iman dan otak yakni
rasio/akalnya dalam berusaha memahami kehadiran atau
bekerjanya hukum dari Yang Mutlak itulah barulah mungkin
manusia akan lebih merasa mantap, lebih terpuaskan baik dari sisi
rasa maupun sisi logikanya.
Memang dalam sejarah penggunaan hati dan akal oleh
manusia, pernah terjadi di suatu bagian dunia ini tepatnya di dunia
bagian Barat lebih khusus lagi di Yunani, lokasi yang konon di
sanalah pertama-tama orang menggunakan akal secra serius6, dan
ternyata akal dan hati itu saling berkompetisi, saling mengalahkan
dan saling berdamai, kemudian saling berkompetisi lagi kemudian
mencapai kesepakatan atau komprom baru lagi dengan gaungnya
telah meluas ke dunia Barat yang lain7. Dengan demikian fakta
bahwa akal dan hati dapat saling bersaing maupun berpadu itu
memang dapat dilihat dari catatan sejarah yang telah terjadi secara
berulang.
Dalam bermacam tradisi agama dan kepercayaan manusia di
atas dunia ini dapat ditemukan berbagai istilah untuk menyebut
kepada Yang Mutlak itu, ada yang menyebutnya sebagai Sang Illahi,
Satu Yang Besar, Penguasa di Atas/Tertinggi, Tuhan, Allah, God,
Ellohim, Sang Maha Awal-akhir, dan lain sebagainya. Namun tentu
ada juga tradisi dan filosofi lain yang dalam suatu periode sejarah
tertentu mengenal dan kemudian merumuskan sesuatu Yang
Mutlak itu dari sisi ‘hukum-hukum’ dari Sang Mutlak, ‘anugerah’

6 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Chapra, edisi

revisi, cet.-19 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 1.


7 Tafsir, Filsafat Umum, h. 47.

136
dari Sang Mutlak,bahkan ciptaan dari Sang Mutlak itu sendiri
(Alam).
Oleh karena tradisi-tradisi filsafat, agama dan kepercayaan ini
lahir dan berkembang bahkan mungkin mengalami pasang surut
sesuai berjalannya zaman, dengan sendirinya terdapat banyak versi
lingkup bahasan atau isi kajian dalam suatu tradisi agama dan
kepercayaan terhadap sesuatu Yang Mutlak itu, yang tentu dilatar-
belakangi sejarahnya masing-masing. Mungkin juga ada sebagian
dari filsafat, agama dan kepercayaan itu yang dalam sejarah
perkembangannya telah mengalami pergeseran atau perkembangan
pemahaman kepada Yang Mutlak itu, baik dari isi (apa yang
dipahaminya) maupun dari segi bagaimana cara memahaminya.
Konfusianisme (-Klasik) tentu saja memiliki konsep tentang
sesuatu Yang Mutlak itu. Kalau kita menelaah kitab-kitab klasik
Konfusianisme akan kita temui sebutan untuk Yang Mutlak yakni
istilah Shàngdì (上帝) dan istilah Tiān (天). Kemunculan sebutan
Shàngdì (上帝) dalam sejarah rohani dan filsafat Tiongkok sudah
ada pada zaman Dinasti Shāng (商, 1766 SM--1122 SM). Shàngdì
(上帝) memiliki konotasi kreator yang relatif antropomorfik,
personal (kalaupun ada yang merasa kurang tepat kata personel,
mungkin lebih tepat digunakan semi-personel). Dalam KIK
Khonghucu frasa itu telah diterjemahkan sebagai: “sesuatu atau
penguasa tertinggi di atas’; sebagai sebutan untuk Tuhan Yang
Mahabesar di tempat Yang Mahatinggi; Khalik Semesta Alam (langit
dan bumi); Tuhan Yang Mahakuasa”8.
Tiān (天) salah satu konsep pokok dalam Konfusianisme
Klasik (atau sebutlah Konfusianisme saja) yang marak pada zaman
Dinasti Zhōu (周, 1122 SM--255 SM), suatu dinasti lanjutan setelah
kurun Dinasti Shāng (商). Pada dasarnya sebutan Tiān (天) ini lebih
berkonotasi Tuhan yang kurang atau non-personal relatif dibanding
sebutan Shàngdì (上帝). Profesor Gong, seorang cendikiawan
Amerika kelahiran Taiwan, mengatakan bahwa aksara Tiān (天)

8 Tanuwibowo dan Tjhie dkk., Kamus Istilah Keagamaan Khonghucu, h. 568.

137
dalan Konfusianisme memiliki arti fisik sekaligus juga arti teologis9.
Profesor Yu-lan Fung, seorang filsuf kontemporer Tiongkok, lebih
jauh lagi telah memberikan lima pengertian Tiān yang eksis dalam
karya-karya tulis Tiongkok, yakni (secara singkat):
1. Tiān dalam arti fisik yakni langit sebagai lawan dari bumi,
2. Tiān sebagai penguasa/pemimpin/pencipta yang bersifat
antropomorfik,
3. Tiān dalam makna fatalis terkait dengan aksara 命 (Mìng
takdir, karunia, titah),
4. Tiān naturalistik yang sama dengan alam raya, dan
5. Tiān yang bermakna etis yakni sebagai asas/prinsip awal
tertinggi alam semesta10.
Profesor Tanggok dalam karya beliau yang menjadi bacaan
penting di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa
sebutan Tiān (天) dan Shàngdì (上帝) banyak dijumpai dalam kitab
Shījīng (詩經 kitab Sanjak), dengan demikian orang Tionghoa sudah
mengenal konsep teistik melalui dua sebutan itu yang telah ada
lama sebelum masa Konfusius11. Profesor Tanggok melalui studi-
studinya juga telah mendapati bahwa dalam kitab Shījīng (詩經
kitab Sanjak) dan kitab Shūjīng (書經 kitab Dokumentasi Sejarah)
sebutan Tiān (天) muncul 85 kali dan sebutan Shàngdì (上帝)
muncul 336 kali12.
Adapun Deroh Matakin sebagai lembaga tertinggi rohaniwan
agama Khonghucu Indonesia telah menerjemahkan/menafsirkan
aksara Tiān (天) ini melalui Kamus Istilah Keagamaan Khonghucu
(KIK Khonghucu)13 dalam dua makna yakni: 1 sebutan untuk Tuhan

9 Jeh-Tween Gong, Confucianism: The Greatest Religion of Mankind (1997)

dimuat dalam buku kenangan perayaan hari lahir Nabi Kongzi ke-2553 (Jakarta:
Matakin bagian Penerbitan, 2006), h. 23.
10 Yu-lan Fung, A History of Chinese Philosophy (selanjutnya akan disingkat A

History) Vol. I: The Period of Philosophers, 2nd-ed. Trans. by Derk Bodde (Princeton:
Princeton University Press, 1952), h. 31.
11 M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di
Indonesia (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h. 44.
12 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu, h. 44.
13 Tjhie Tjay Ing dkk., Kamus Istilah Keagamaan (KIK) Khonghucu dalam

Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha Khonghucu),

138
YME, khalik semesta alam dan segenap mahkluk yang diyakini umat
Khonghucu (ini makna teologi); 2 langit (ini makna fisikal).
Beberapa kutipan ayat suci berikut ini penulis sampaikan
untuk lebih dapat memperlihatkan aspek transendensi dalam
Konfusianisme Klasik:
"Tuhan Yang Maha Tinggi (Shàngdì) telah memberikan kesadaran moral
bahkan pada rakyat di bawah ini…"14.
"Begituah kalau Tiān hendak menjadikan seseorang menjadi besar ...15".
"Tiān Yang Maha Esa melindungi rakyat yang di bawah, ada diantaranya
yang dijadikan pemimpin ada yang dijadikan guru agar mereka dapat
membantu Shàngdì ….16"
. "Demikianlah Tiān Yang Maha Esa menjadikan segenap wujud, masing
masing dibantu sesuai sifatnya, kepada yang bersemi dibantu tumbuh
kepada yang condong dibantu roboh17".
" Shàngdì Tuhan Yang maha Tinngi tidak mengaruniakan hal yang sama
kepada seseorang, kepada yang berbuat baik akan diturunkan beratus
berkah, dan kepada yang berbuat tidak baik akan diturunkan beratus
kesengsaraan”18.
Sedikit contoh ayat yang disampaikan di atas itu
memperlihatkan Shàngdì atau Tiān yang aktif berkiprah,
mengarahkan dan diyakini sebagai memberikan respon atas
perbuatan dan tindakan manusia. Terlepas dari kekhasan
Konfusianisme klasik dengan idenya tentang Tiān (天) dan Shàngdì
(上帝) yang tentu memiliki persamaan dan perbedaan dengan
Tuhan dalam agama Timur-Tengah, namun secara umum Tiān (天)
dan Shàngdì (上帝) yang dipahami oleh Konfusianisme klasik
sangat jelas terlihat adalah bersifat antropomorfik personel/semi
personel dan transenden. Kalau kita perhatikan makna dari Tiān

Pimred: Choiril Fuad Yusuf (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Keagamaan Kementerian Agama RI, 2014), h. 581.
14 Lihat Kitab Shūjīng書經 IV.III.II:2 (Solo, Matakin Bagian Penerbitan, 2004),

h. 71.
15 Lihat Kitab Sìshū (四書 Kitab Yang Empat) bagian Mèngzĭ (孟子) VIB:15.2,

versi Dwilingual dengan Transliterasi H{nyŭ Pīnyīn oleh Team P3K Deroh Matakin
(Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI,
2013), h. 844.
16 Lihat Kitab Shūjīng書經 V.IA:7 (Solo, Matakin Bgn. Penerbitan, 2004), h. 121.
17 Kitab Sìshū (四書) bagian Zhōngyōng (中庸) XVI:3, h. 55.
18 Lihat Kitab Shūjīng書經 IV.IV.IV:8 (Solo, Matakin Bagian. Penerbitan, 2004),

h. 77.

139
dan Shàngdì itu, akan terkesan dua hal: pertama Ia bisa diresapi
sebagai kreator yang personal/antropomorfik dan kedua Ia relatif
berjarak dari manusia, terkesan jauh dari manusia yang lemah dan
terbatas, akan terasa bahwa keduanya kontras dengan manusia.
Pengertian semacam ini membawa kepada sifat Tiān dan Shàngdì
yang transenden.
Kemampuan manusia zaman klasik dalam merumuskan Tiān
(天) dan Shàngdì (上帝) ini menurut Arif boleh disebut sebagai
kesadaran transendensi, dimana manusia menyadari bahwa
keberadaan mereka di dunia ini bukan atas kemauannya sendiri.
Keyakinan yang begitu juga membuat manusia tidak rapuh dan
tidak mudah putus asa19.
Kemudian, dalam persoalan hubungan antara Tiān (天) atau
Shàngdì (上帝)20 dengan manusia, dalam Konfusianisme dikenal
pula adanya konsep penting lainnya, yakni Xìng (性, sifat, alamiah).
Oleh Deroh Matakin Xìng telah diterjemahkan sebagai “…watak
sejati atau sifat asli, yakni sifat-sifat bajik yang dikaruniakan Tuhan
YME sejak lahir kepada manusia, meliputi cinta kasih
(kemanusiaan), kebenaran, kesusilaan, dan kebijaksanaan…”21.
Dengan kata lain Xìng itu adalah pemberian atau anugerah Tuhan
kepada dan melekat dalam diri manusia. Dengan adanya ‘legislasi’
yang demikian dari Tiān kepada manusia maka Tiān yang demikian
ini kesannya terasa menjadi dekat dengan kemanusiaan, bahkan
sangat dekat dengan manusia karena dengan adanya Xìng yang
merupakan karunia Tiān, maka manusia juga merupakan bagian
dari urusan dan kepentingan Tiān. Xìng inilah faktor/sifat imanen
Tiān dalam Konfusianisme.
Kemudian dalam agama Khonghucu Tiān dipahami dan
diimani juga sebagai tidak berbicara. Umat Khonghucu memahami

19 Oesman Arif, Membangun Logika Baru dan Pemikiran Moderen Cet-1


(Klaten: Penaloza Publisher, 2012), h. 29.
20 Untuk bahasan yang lebih lanjut tentang Tiān (天) dan Shàngdì (上帝) lihat

misalnya tulisan Profesor Lee T. Oei yang lain: Tuhan YME dalam kitab-kitab Bahari
Yang Mendasari Agama Khonghucu, dimuat dalam buku Seri Genta Suci Konfusiani
(SGSK) No.31 (Solo: Matakin, 2008).
21 Tanuwibowo dan Tjhie dkk., Kamus Istilah Keagamaan Khonghucu, h.

597--598.

140
dan merasakan kehadiran Tuhan itu tidak melalui kata-kata Tuhan
namun dapat meresapi adanya Tuhan melalui alam semesta, melalui
hukum-hukum Tuhan di alam semesta. Dalam kitab Lúnyŭ (論語)
dikatakan “…Berbicaralah Tiān Yang Maha Esa? Empat musim
beredar dan segenap makluk tumbuh. Berbicarakah Tiān Yang
Maha Esa?...”22. Tiān diselami dan dipahami umat Khonghucu
melalui kiprah, kerja atau hukum alam yang beredar tertib, konstan,
abadi sejak dahulu sampai sekarang. Pandangan agama Khonghucu
tentang keberadaan Tuhan melalui alam ini penulis lihat memiliki
kemiripan dengan bacaan menarik yang penulis temukan sendiri,
yakni karya Profesor Kautsar Azhari Noer tentang pandangan Ibn
al-’Arabî (seorang Sufi masyur dari Andalusia Spanyol, 1165M--
1240M)23. Suatu karya ilmiah yang isinya antara lain membicarakan
hubungan Tuhan dengan alam. Di sana disampaikan bahwa alam
adalah bayangan Tuhan walau tetap jelas ketidak-setaraan antara
Tuhan dan alam, Tuhan itu lebih tinggi dari alam. Tuhan dalam
pandangan Ibn al-’Arabî yang demikian itu menurut Profesor
Kautsar memiliki sifat imanen dan transenden sekaligus24 . Inilah
sedikit kemiripan sifat Tuhan dalam Sufisme Islam dengan sifat
Tuhan dalam Agama Khonghucu yang saat itu penulis sempat lihat
secara sepintas dalam karya menarik Profesor Kautsar tersebut.
Uraian singkat dimensi transendensi-imanensi dalam
Konfusianisme sebagaimana disampaikan di atas telah dikaji luas
oleh para cendekiawan yang mendalami agama dan filsafat
Tiongkok terkhususnya yang mendalami Konfusianisme. Dimensi
itu tentu dengan sesuai dengan kekhasan Konfusianisme sendiri,
artinya ia tentu memiliki perbedaan pemahaman dengan tradisi dan
agama yang lain, misalnya tentu dengan agama Islam. Hal ini
didukung oleh pemahaman Profesor Xinzhong Yao bahwa “…oleh
karena terdapat lebih dari satu jenis agama di dunia ini, maka
perbedaan pengertian terhadap transendensi, imanensi, kehidupan

22 Lihat Kitab Lúnyŭ (論語) XVII:19.3 , versi Dwilingual dengan Transliterasi


H{nyŭ Pīnyīn oleh Team P3K Deroh Matakin (Jakarta: Matakin dan diperbanyak
oleh Bimas Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2013), h. 305
23 Kautsar, Ahzari Noer, Ibn al-’Arabî, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan,

Cet-1 (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 17--24


24 Kautsar, Ibn Al’-Arabi, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 222--223.

141
yang kekal, cara pencapaian keabadian, semuanya itu berbeda
karena adanya nilai-nilai religius yang berbeda, apakah itu pada
agama teistik, agama humanistik, ataupun pada agama
naturalistik…”25.

IV.D. Transendensi-Imanensi Lǐ-Qì (理-氣) Zhū Xī.


Telah disampaikan di bagian bab sebelumnya bahwa
perkembangan lanjut Konfusianisme sejak zaman dinasti Dinasti
Hàn (漢朝, 206 SM--220 M) yang oleh karena ditempa dan ditantang
oleh perkembangan agama dan filsafat Buddha (佛) serta Dào (道),
maka Konfusianisme lalu mengarah ke pembentukan suatu aliran
pemikiran yang dikenal sebagai Neo-Konfusianisme. Di dalam aliran
pemikiran Neo-Konfusianisme ini sesuatu Yang Mutlak itu tentu
tetap eksis, namun oleh karena watak Konfusianisme sejak zaman
dulu selalu berhubungan erat atau berorientasi pada ‘dunia-
kekinian this worldly26’, termasuk watak para filsuf Neo-Konfusian
yang rasional, maka konsep yang Mutlak itu telah mengalami
perumusan dan interprestasi yang baru pula. Kalau pada
Konfusianisme (-klasik) apalagi pada zaman dinasti kuno Xià (夏),
Shāng (商) dan Zhōu (周) ide dan keberadaan Tiān (天) atau
Shàngdì (上帝) itu sebagai kreator yang bernuansa antropomorfik27,
semi-personel atau personel, dimana Tiān (天) atau Shàngdì (上帝)
dipahami sebagai aktif berkiprah, sebagai pengarah alam semesta
termasuk manusia, sebagai pemberi berkah dan hukuman kepada
manusia, maka dalam zaman pembentukan Neo-Konfusianisme
pemikiran dan pemahaman Tiān (天) atau Shàngdì (上帝) itu telah
berubah dan mengalami pemaknaan dan aplikasi yang baru,
termasuk nama yang baru pula. Penulis melihat bahwa Tiān (天)
atau Shàngdì (上帝) yang eksis zaman kuno itu lalu mengalami
pergeseran arti dan makna. Persoalan yang lebih banyak
dipercakapkan pada zaman Neo-Konfusianisme adalah persoalan

25 Xinzhong Yao, An Introduction to Confucianism (New York: Cambridge


University Press, 2000), h. 44.
26 Lasiyo, Pemikiran Filsafat Timur: Kontribusinya Bagi Agama Khonghucu di

Indonesia Cet.-2 (Yogyakarta: Lintang Pustaka Utama, 2017), h. 9


27 Xinzhong Yao, An Introduction to Confucianism, h. 142--143

142
‘Hukum Tiān’ bukan Tiān itu sendiri. Dalam hal ini para filsuf dan
agamawan Neo-Konfusianisme lebih suka membahas apa yang
disebut asas/prinsip, hukum, atau ‘pola keteraturan jagad raya’,
walau dalam berbagai skala tetap saja dapat terasakan dan dinilai
bahwa asas/prinsip atau pola itu merupakan produk atau cara
berkiprahnya Tiān. Persoalan Neo-Konfusianisme memang tidak
hanya etika tapi juga kosmogoni yang mana termasuk dalam bidang
metafisika. Di sana pemahaman dan penamaan Tiān mengalami
transformasi. Littlejohn mengutip Zhū Xī bahwa: “…Tiān itu
sederhananya adalah bagaimana kita harus bertindak. Tiān itu
adalah Lǐ-yang-nyata. Kemanusiaan, kebenaran, kesusilaan dan
kebijakanaan semua terkandung di dalamnya...”28. Di sini kita
menemukan dihubungkannya Tiān dengan Lǐ (理). Meskipun dalam
periode Neo-Konfusianisme ini ada kecenderungan untuk lebih
membicarakan hukum Tiān dari pada Tiān itu sendiri Namun
Profesor Lasiyo menyatakan bahwa dalam periode Neo-
Konfusianisme itulah justru persoalan tentang hukum Tiān itu
mendapatkan tempat yang lebih utama untuk dibahas dan dikaji
secara panjang-lebar dan detil relatif bila dibandingkan dengan
pada periode Konfusianisme klasik29.
Dari penyajian beberapa pokok pengertian dan hubungan
konsep-konsep Lǐ (理), Qì (氣) dan Tàijí (太極) oleh Zhū Xī termasuk
pendahulunya dalam bab II dan III, maka sekarang kita akan
membicarakan persoalan aspek transendensi-imanensi dalam
konsep-konsep itu. Akan dilihat hal itu baik dari pengertian kamus
serta dari pandangan empat orang ahli/peneliti.
Dalam kajian para ahli agama dan filsafat Tionghoa
moderen, konsep Lǐ (理) dalan Neo-Konfusianisme telah dikaitkan
dan dinilai memiliki aspek transendensi dan atau imanansi30. Dalam
maksud menelaah aspek itu maka akan dilihat pada hubungan
antara term Lǐ (理) dengan term penting lain, yakni terutama

28 Kutipan perkataan Zhū Xī dalam buku Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類) terjemahan


Ronnie L. Littlejohn dalam Confucianism: An Introduction (New York: I. B. Tauris &
Co. Ltd., 2011), hal. 141.
29 Lasiyo, Pemikiran Filsafat Timur, h. 44.
30 Sebagai contoh misal dapat dilihat pada buku Chan Source Book, h. 634 dan

753; atau juga misalnya buku Profesor Fung A Short History, h. 298.

143
term ‘tenaga kebendaan/material’ (氣, Qì material force) serta
konsep ‘Maha Kutub/Mutlak Besar’ (太極, Tàijí, Great Ultimate,
Supreme Ultimate). Kemudian perlu dingatkan kembali bahwa skop
tesis ini dibatasi dalam tema kosmogoni Neo-Konfusianisme.
Sebenarnya terdapat bidang lain yang berhubungan dengan etika
Neo-Konfusianisme, namun karena ia di luar skop pembahasan tesis
ini maka tentu tidak dibicarakan. Tetapi kalaupun nanti soal etika
muncul atau disinggung sedikit seperlunya maka itu adalah dalam
rangka penegasan, pembedaan atau dalam maksud memperjelas
topik kosmogoni.

1. Dinilai Menurut Definisi Kamus.


Di bagian depan telah disampaikan penjelasan kata
Transenden oleh KBBI yang mana memiliki dua makna yakni: (1) di
luar segala kesanggupan manusia; luar biasa; (2) utama. Definisi
pertama sesungguhnya menunjuk pada karekteristik keluar-biasaan
Lǐ (理 asas/prinsip) yang menurut Profesor Mou: “…Asas/prinsip
itu adalah puncak dari alam-semesta yang bersifat abstrak, statis,
kekal dan transenden…”31. Pernyataan ini adalah penilaian langsung
yang menunjuk bahwa Lǐ (理) adalah sesuatu yang transenden.
kemudian Lǐ (理) juga bermakna ‘utama’ karena merupakan
puncak alam semesta. Kekekalan Lǐ (理) juga menunjukkan suatu
‘keluar-biasaan’. Semua ini menunjukkan sifat Lǐ (理) yang
transenden. Sedangkan kalau diukur dari kondisi atau posisi
manusia, sifat-sifat demikian tentu saja juga di luar kemampuan
atau kesanggupan manusia, melampaui batas manusia biasa, ini
juga terkait dengan transenden.
Dalam pemahaman Lǐ (理) dari Zhū Xī Profesor Chan telah
menyarikan bahwa Lǐ (理) itu: “…tidak berbadan, tunggal, kekal
dan tak berubah, seragam, merupakan sari segala sesuatu, tidak
dapat dimusnahkan, merupakan alasan/sebab penciptaan, serta
senantiasa baik…”32, hal ini menegaskan lebih lanjut mengenai
ketransendenan Lǐ (理). Sifatnya yang abadi, tetap serta senantiasa
baik merupakan ciri-ciri sesuatu yang di luar kemampuan dan

31 Mou, Chinese Philosophy A-Z, h. 85.


32 Chan, Life and Thought, h. 111-112.

144
pemikiran manusia yang hanya: ‘bisa baik dan bisa buruk’.
Pernyataan Zhū Xī juga membawa pada suatu pemahaman
bahwa asas/prinsip itu adalah sesuatu yang transenden dilihat
dalam arti asas/prinsip adalah suatu entitas yang disebut mistis
karena abstrak dan diyakini serta dimengertikan sebagai sumber
segala yang ada. Namun karena kehadiran asas/prinsip (Lǐ 理)
membutuhkan adanya tenaga kebendaan/material (Qì 氣) supaya
eksis, maka kita bisa menilai adanya sifat imanen dalam hal ini,
khususnya dalam term tenaga kebendaan/material, dengan kata
lain kedua sifat transenden dan imanen itu eksis dalam asas/prinsip
dan tenaga kebendaan/material.
Sifat dan karakteristik Lĭ (理) yang disampaikan Zhū Xī ini
sepintas dilihat sebagai hukum alam atau aturan alam yang sangat
mandiri, namun sesunggunya lebih dari sekedar hukum alam,
termasuk misalnya hukum-hukum fisika, kimia dan biologi yang
kebanyakan darinya bisa dibuktikan secara empirik dan logika,
lebih dari itu Lǐ (理) dapat dirasakan atau dinilai sebagai suatu
entitas yang luar biasa. Bagaimana alam semesta yang begitu luas
dan besar diperhadapkan dengan manusia yang hanya menempati
ruang yang sempit dan memiliki fisik yang relatif kecil terhadap
alam semesta. Maka manusia akan terasa inferior di hadapan alam
dengan hukum-hukumnya yang superior. Lĭ (理) ini adalah simbol
pemahaman kepada yang Mutlak oleh para Neo-Konfusian.
Hal ini akan lebih kentara jika dilihat pula dari makna kata
transendental dari KBBI yang menyatakan antara lain dapat
bermakna gaib dan abstrak. Kenyataan sesungguhnya hukum alam
ini masih belum dapat dipahami dengan lengkap oleh manusia,
bahkan dengan telah lahirnya berbagai ilmu pengetahuan dan
teknologi yang membantu kehidupan manusia, namun masih
terdapat banyak hal yang belum dapat dijawab oleh iptek, maka Lĭ
(理) asas/prinsip, hukum atau tata-aturan dari Yang Mutlak itu
adalah juga suatu yang gaib, tidak terlihat, tersembunyi, termasuk
sebab-sebabnya, banyak yang belum mampu dikenali atau
diketahui dengan pasti oleh manusia. Berbagai peristiwa alam,
gempa yang terjadi di luar alat detektor atau prakiraan ilmu
pengetahuan, kemalangan, keberuntungan, kecelakaan yang dialami
manusia, kelahiran bayi yang kurang sempurna walaupun

145
orangtuanya telah berusaha menghindari faktor-faktor pemicu, dan
berbagai hal lainnya, semuanya memperlihatkan bahwa ada suatu
faktor atau kekuatan transendental yang bersifat gaib yang
menaungi alam ini, menaungi kehidupan manusia di alam semesta
ini, melampaui segenap makhluk di alam raya ini. Begitulah kaum
Neo-Konfusianis menyadari kehadiran Yang Mutlak itu.
KBBI menjelaskan bahwa imanen bermakna berada dalam
kesadaran atau dalam akal budi (pikiran). Lǐxué (理學) adalah salah
satu istilah asli atau nama pribumi bagi Neo-Konfusianisme, dalam
pandangan para ahli filsafat dan agama kHonghucu Lǐxué adalah
suatu paham yang berusaha melihat prinsip-asas/prinsip atau
hukum-hukum abstrak dari Yang Mutlak itu dari kacamata logis,
sesuai hukum alamiah. Salah satu makna Lǐ (理) disamping makna
asas/prinsip (principle), tata-tertib/keteraturan(order), pola/
susunan (pattern), sebab/alasan (reason) yang sudah disampaikan
dalam bagian III.B adalah juga ‘logis’
Profesor Bo Mou telah memberikan memberikan definisi
spesifik dan singkat untuk Qì (氣) sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, bahwa Qì (氣) adalah: “…Tenaga kebendaan/material
yang dinamis, tidak tetap (transient), khusus dan imanen…”33. Ini
juga merupakan pernyataan langsung mengenai Qì (氣) dari
seorang pakar yang memahami konsep Neo-Konfusianisme.
Memahami imanensi dalam aksara Lǐ (理) tentu dapat kita temui
pada sifat/karakter Lǐ (理) yang oleh Zhū Xī dan kedua gurunya
dikatakan tidak terlepas dari Qì (氣). Sedangkan pemahaman Qì
(氣) oleh Zhū Xī telah disarikan Profesor Chan bahwa: “…Qì (氣) itu
ragawi, banyak, bersifat sementara dan dapat berubah, berbeda-
beda dalam segala sesuatu, merupakan sisi badaniah segala sesuatu,
dapat rusak, sebagai sarana dan bahan penciptaan, serta terlibat
dalam kebaikan maupun keburukan…”34. Qì (氣) diperlukan untuk
menjelaskan bentuk fisik, individualitas tiap benda/hal, serta
perubahan bentuk tiap benda/hal. Lǐ (理) oleh karena menyatu
dengan Qì (氣) maka berarti disamping Lǐ (理) memiliki sifat
transenden juga memiliki sifat imanen sebagaimana karakteristik Qì

33 Mou, Chinese Philosophy A-Z, h. 85.


34 Chan, Life and Thought, h. 112.

146
(氣). Artinya sifat-sifat Lǐ (理) ini jika dilihat pada sifat
manisfestasinya yakni melihat pada Qì (氣) akan lebih mampu
diselami oleh pikiran, oleh akal budi manusia dan dapat dilihat
dalam kesadaran manusia yang lemah. Mengapa? karena dapat
termanifestasi dalam alam benda-benda/hal-hal atau dalam alam
kasat mata yang kesemuanya dapat dirasakan atau ditanggapi
dengan indera manusia.
Suatu fakta yang perlu diungkap ulang adalah bagaimana
Zhū Xī telah menyamakan Lǐ (理) dengan Xìng (性 watak
sejati/sifat aseli) yang dalam diri manusia menjelma sebagai empat
kebajikan: kemanusiaan/cinta kasih (Rén 仁), kebenaran (Yì 義),
kesusilaan (Lĭ 禮), dan kebijaksanaan (Zhì 智); sedangkan oleh
Mèngzĭ (孟子) dijelaskan bahwa dalam hati-pikiran manusia itu
terdapat empat permulaan (Sìduān 四端) bagi empat kebajikan35.
Dengan demikian Lǐ (理) yang hadir dalam diri manusia ini tentu
terkait dengan kemanusiaan manusia, maka sifat yang imanen jelas
terlihat di sini.
Dengan demikian, jika kita menilai Lǐ (理) berdasarkan
definisi imanen dan transenden dalam kamus, dengan meninjau
hubungan Lǐ (理) dengan Qì (氣) dalam beberapa uraian di atas,
terlihat jelas bahwa disamping Lǐ (理) bersifat transenden juga
bersifat imanen. Aspek imanensi dan transendensi keduanya
berlaku bagi Lǐ (理) .
2. Menurut Fung Yu-lan.
Profesor Fung Yu-lan (1895M--1990 M, seorang filsuf
Tiongkok kontempoter), melihat begitu pentingnya peranan Neo-
Konfusianisme dalam sejarah filsafat dan kehidupan spirirtual
orang Tionghoa sehingga beliau telah menyediakan empat bab
berturut-turut untuk membahas tentang paham pemikiran ini
dalam karya berbahasa Inggrisnya A Short History of Chinese

35 Lihat penjelasan mengenai empat permulaan kebajikan atau empat benih

kebajikan (Sìduān 四端) pada bagian Kitab Mèngzĭ IIA:6.4-5 dalam Kitab Sìshū (四
書 Kitab Yang Empat), versi Dwilingual dengan Transliterasi H{nyŭ Pīnyīn oleh
Team P3K Deroh Matakin (Jakarta: Matakin dan diperbanyak oleh Bimas
Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2013), h. 503.

147
Philosophy36. Dalam bab 25 Profesor Fung menulis bagian inti Neo-
Konfusianisme dimana dalam bab itu terbahas peran dan
sumbangsih Zhū Xī di bawah judul bab: “Neo Konfusianisme, Mazhab
Gagasan-gagasan Platonik”. Judul Mazhab Gagasan/Ide Platonik
untuk bab itu adalah penamaan sekaligus penilaian yang telah
diberikan Profesor Fung pada mazhab/studi/sekolah asas/prinsip
(Lǐxué 理學). Dengan demikian Profesor Fung telah melihat ada
korelasi antara Lǐ/asas/prinsip dengan ‘ide’ Plato. Profesor Fung
dengan melihat Tàijí (太極) Zhū Xī sebagai: “…yang paling tinggi,
yang paling mistis, paling muskil, melampaui (surpassing) segala
sesuatu…37” maka beliau mengatakan bahwa posisi Tàijí (太極)
dalam sistem Zhū Xī berhubungan erat dengan gagasan Plato
tentang ‘Yang Baik’ dan gagasan Aristoteles tentang ‘Tuhan’. Hal ini
dapat dilihat juga pada lima makna aksara Tiān (天) yang
dikemukakan oleh Profesor Fung, sebagaimana disampaikan pada
bagian awal38. Dapat kita lihat bahwa aksara Tiān (天) yang relatif
lebih antropomorfik transenden pada zaman Konfusianisme
(-klasik) telah dikaitkan bahkan diidentikkan oleh Profesor Fung
dengan Lǐ (理) Neo-Konfusianisme, kemudian telah dikaitkan pula
dengan pemikiran Plato dan Aristoteles. Ini merupakan indikasi
transendensi Lǐ (理) dan Tàijí (太極). Namun Kenyataan lain yang
ditegaskan oleh Profesor Fung bahwa Zhū Xī mengartikan Tàijí (太
極) bukan saja merupakan ringkasan/jumlah Lǐ (理) alam semesta
secara keseluruhan tapi sekaligus juga imanen dalam contoh
masing-masing kategori sesuatu yang bersifat individu, setiap
sesuatu yang partikulir memiliki Lǐ (理) di dalamnya secara inheren
dari kategori sesuatu yang partikulir itu, sekaligus juga Tàijí (太極)
hadir di dalamnya secara inheren39. Dengan demikian Lǐ (理) atau

36 Lihat karya Prof. Fung itu pada bab 23 s/d bab 26 pada halaman 266 s/d

318 yakni untuk Edisi 1948 (cetakan ke-10, 1966) oleh The Macmillan Publishing
Co. Inc.); sedangkan pada edisi terjemahan bahasa Indonesianya, cetakan-1, 2007,
Penerbit Pustaka Pelajar, dapat ditemukan pada halaman 347 s/d 411.
37 Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) 49, sebagaimana dikutib

Fung dalam A Short History, h. 298.


38 Fung, A. History, h. 3.
39 Fung, A Short History , h. 298

148
Tàijí (太極) itu transenden sekaligus juga imanen. Profesor Fung
dengan juga memperhatikan pernyataan Zhū Xī bahwa “…Lǐ (理)
tidak dapat dilihat, dan menjelma ke dalam kita hanya jika ada
gerakan Yáng (陽) dan kepasifan Yīn (陰). Lǐ (理) berdiam di atas
Yīn dan Yáng bagaikan manusia menunggang kuda…”40, juga dalam
kesimpulannya bahwa “…begitu juga Tàijí (太極) yang bersifat:
tidak digerakkan namun sekaligus sebagai penggerak bagi seluruh
yang ada, sehingga ia bagaikan Tuhan dalam filsafat Aritoteles …”41.
Hal ini lebih memperlihatkan imanensi transendensi Tàijí dan Lǐ.
Kemudian, untuk melengkapi pemahaman atau interprestasi
transendensi-imanensi Neo Konfusianisme dari Profesor Fung,
penulis tambahkan pula satu pandangan beliau dalam suatu tulisan
beliau pada kesempatan yang lebih kontemporer. Penulis
meringkaskan tulisan Profesor Fung takkala beliau diundang
sebagai pembicara utama pada Konferensi Internasional tentang
Zhū Xī yang diadakan pada tanggal 06--15 Juli 1982 di Honolulu
Hawaii USA. Konferensi itu kemudian menerbitkan sebuah buku
berjudul Chu Hsi and Neo-Confucianism oleh penerbit University of
Hawaii Press 1986 dengan editornya Profesor Wing-tsit Chan.
Pandangan Profesor Fung ditempatkan pada bagian pembuka buku
itu, hal ini memperlihatkan bahwa pandangan beliau ini signifikan,
perlu dan diakui. Apa yang ditulis Profesor Fung lebih pada
bahasan atau persoalan etika (kemanusiaan), namun inti
pernyataan beliau pada hemat penulis juga dapat diaplikasikan
pada persoalan kosmogoni. Isi tulisan beliau penulis sampaikan di
paragraf berikut.
Persoalan transendensi-imanensi Neo-Konfusianisme,
sebagaimana dipahami Profesor Fung, cenderung atau dapat dilihat
sebagai permasalahan ‘universalitas (kesemestaan) dan
partikularitas (kekhususan)’ serta juga permasalahan ‘subjektifitas
dan objektifitas’42. Beliau melihat bahwa di alam semesta ini selalu

40 Zhūzi Quánshū (朱子全書, Karya Lengkap Zhū) 49, dikutib Fung dalam A
Short History, h. 300.
41 Pernyataan Fung dalam A Short History, h. 300; utk sifat Tàijí diambil dari

Zhūzi Quánshū 49.


42 Yu-Lan Fung, A General Statement on Neo-Confucianism (selanjutnya

disingkat General Statement), di dalam buku: Chu Hsi and Neo-Confucianism, editor

149
ada dua pasang hal yang kontradiksi (termasuk pada manusia) oleh
karenanya disebut juga dua hal yang berseberangan, hal yang
kontradisksi ini penting karena berlaku atau terjadi umum kepada
segala sesuatu di alam semesta. Kontradiksi yang pertama: segala
sesuatu di alam semesta (universal) baik itu besar maupun kecil
adalah sebagai suatu individu, termasuk di dalamnya manusia.
Beliau mengatakan bahwa tiap individu mesti memiliki sifat, karena
tidak ada yang tanpa sifat (quality). Individu itu khusus, tapi sifat
lainnya adalah universal yang inheren di dalamnya. Inilah
kontradiksi antara kesemestaan dan kekhususan. Kemudian
kontradiksi yang kedua adalah sebagai berikut: saat menjadi
individu, maka sang individu akan memandang dirinya sebagai
subjek dan memandang berbagai yang lainnya sebagai objek, inilah
kontradiksi antara subjektivitas dan objektivitas.
Bagi Profesor Fung kedua jenis kontradiksi ini adalah
konsekwensi dari kenyataan yang sama bahwa ‘individu adalah
individu’. Kenyataan ini umum/berlaku bagi semua orang43. Apa
yang aneh bagi manusia adalah dia menyadari itu. Dalam hal ini
contoh yang paling tepat adalah para filsuf. Profesor Fung lanjut
menyatakan: dalam filsafat, ada tiga cara pendekatan terhadap fakta
di atas: ontologi, epistemologi dan etika44. Menurut Fung, Plato
menggunakan pendekatan ontologi dengan memperkenalkan istilah
‘ide’ untuk menjelaskan apa yang ‘standar’ dan apa yang ‘imitasi’
dari sebuah lingkaran (circle). Dengan itu Plato membuat kejelasan
pada yang ‘semesta’ dan apa yang ‘khusus’45. Kant lain lagi, Fung
mengingatkan bahwa Kant memulainya dengan meninjau
‘subyektivitas’ dan ‘objektivitas’. Menurut Kant bahwa subyek bisa
mengenal obyek hanya melalui bentuk dan kategori subyeknya
sendiri. Namun yang diketahui melalui ‘bentuk’ dan ‘kategori’ itu
hanya ‘fenomena’ bukan ‘numena’. Kant membuat kontradiksi
antara subjektivitas dan obyektivitas itu menjadi lebih jelas lagi.
Bagi Kant terdapat sesuatu yang menyerupai cahaya yang dengan

juga oleh: Wing-tsit Chan, (Honolulu Hawai: University of Hawaii Press, 1986), h.
21--25.
43 Fung, General Statement, h. 21--22.
44 Fung, General Statement, h. 22.
45 Fung, General Statement, h. 22.

150
itu manusia akan melihat sekilas numena. Cahaya itu adalah
perilaku moral manusia. Ia bersifat moral karena mewakili hukum
universal. Walau dengan penyimpulan logis melalui akumulasi
perilaku moral manusia akan dapat melengkapi pengetahuannya
tentang numena atau keseluruhan pengalamnnya, namun Kant
tidak menerima kesimpulan itu dan menyatakan numena itu
sebagai “sisi sana”. Apa yang manusia perlu tahu adalah “sisi sini”.
Bagi Kant sisi sana itu di luar jangkauan manusia46.
Kaum Neo-Konfusian lain lagi, Fung berpendapat, Neo-
Konfusian mendekati persoalan ini dari sisi etika, tapi tidak
mengabaikan ontologi, karena ontologi mampu melihat
universalitas dan partikularitas. Namun para filsuf Neo-
Konfusianisme tidak berhenti pada pendekatan ontologi yang
melihat kontradiksi universalitas dan partikularitas itu, namun
berusaha mencapai persatuan dari keduanya. Pandangan kaum
Neo-Konfusian juga sama: melalui akumulasi perilaku moral.
Karena para Neo-Konfusian yakin bahwa yang universal itu inheren
dalam yang khusus, yang khusus itu bukanlah sesuatu yang selalu
tidak sempurna atau hanya merupakan tiruan yang universal, tapi
lebih merupakan realisasi dari yang universal. Realisasi itu bisa saja
tidak sempurna tapi tanpa yang khusus maka yang universal juga
tidak dapat eksis terus47.
Dari pernyatan-pernyataan Profesor Fung yang
membandingkan cara pendekatan Plato, Kant dan Neo-Konfusian,
dapat kita tarik ke pemahaman persoalan kosmogoni dalam
konsep-konsep Neo Konfusianisme, relatif dilihat atau dibedakan
dari pendekatan Plato dan Kant, bahwa apa yang universal atau
transenden maupun hal yang partikular atau imanen adalah hal
yang eksis pada alam semesta (universal) dan termasuk pada
pemenuhan kemanusiaan manusia (partikulier), maka penulis
berpikir bahwa di mata Profesor Fung aspek imanensi dan
transendensi berlaku juga pada kosmogoni Neo-Konfusianisme.
Dari berbagai karakteristik penjelasan Zhū Xī untuk Tàijí (太極), Lǐ
(理) dan Qì (氣), maka kita bisa melihat bahwa oleh adanya Tàijí (太
極) yang adalah totalitas dan puncak Lǐ (理) maka di suatu sisi Lǐ

46 Fung, General Statement, h. 22-23.


47 Fung, General Statement, h. 23--24.

151
(理) adalah universal dan transenden, sedangkan di sisi lain oleh
adanya Qì (氣) yang adalah ejawantah Lǐ (理) maka Lǐ (理) adalah
juga adalah sesuatu yang imanen.
3. Menurut Wing-tsit Chan.
Profesor Wing-tsit Chan juga adalah seorang filsuf
kontemporer yang sangat mendalami Neo-Konfusianisme, terutama
perhatiannya pada pemikiran dan karya-karya Zhū Xī. Beberapa
pandangan Profesor Chan mengenai transendensi-imanensi Neo-
Konfusianisme dapat disarikan dalam dua paragraf berikut ini.
Banyak diskusi telah berlangsung mengenai pertanyaan
apakah Zhū Xī adalah seorang dualis atau monis? Tidak ada yang
bisa meragukan bahwa asas/prinsip itu bersifat universal, bahwa
ada perbedaan antara apa ‘’yang ada sebelum berbentuk fisik dan
karena itu tanpa itu’ dengan ‘yang ada setelah berbentuk fisik dan
karena itu ada bersamanya’. Demikian juga bahwa asas/prinsip dan
tenaga kebendaan/material itu berbeda dalam banyak hal48. Dalam
melihat sifat dualis atau monisnya Zhū Xī ini, Profesor Chan
menyatakan bahwa, sebagaimana terkesan, Chéng Hào (程顥)
cenderung lebih menyukai pandangan monistik sementara Chéng Yí
(程頤) cenderung lebih menyukai pandangan dualistik, tapi juga
nampak bahwa apapun dualisme yang ada, sifatnya tidak begitu
kentara. Apa yang Zhū Xī lakukan adalah menyelaraskan dua
kecenderungan kedua gurunya (kedua saudara Chéng) itu. Dalam
sistemnya, asas/prinsip tidak saja hanya memiliki prioritas logis.
Asas/prinsip benar-benar ada sebelum berbentuk fisik (-dan tanpa
itu) karena itu adalah asas/prinsip keberadaan. Tapi asas/prinsip
bukan sesuatu di luar tenaga kebendaan/material. Inilah alasan
mengapa Zhū Xī mengatakan bahwa asas/prinsip tersebut tidak
pernah terpisah dari tenaga kebendaan/material. Dengan demikian
asas/prinsip itu bersifat imanen dan transenden. Dengan kata lain,
Zhū Xī bukanlah seorang monis maupun dualis, atau dia adalah
seorang monis dan dualis. Seseorang dapat mengatakan bahwa
sehubungan dengan realitas tertinggi, dia adalah seorang monis
namun sehubungan dengan fenomena dia adalah seorang dualis.
Tapi karena asas/prinsip dan tenaga kebendaan/material tidak

48 Chan, Source Book, h. 634.

152
pernah terpisah, mereka tidak hadir/ada secara independen satu
sama lain, apalagi berlawanan. Faktanya adalah bahwa
pertentangan antara monisme dan dualisme tidak berlaku bagi
filsafat Zhū Xī 49. Dengan pernyataan dalam paragraf ini telihat
Profesor Chan menilai haluan berpikir Zhū Xī dari pada
karakteristik Lǐ (理) dan Qì (氣) dengan merelatifkan status Zhū Xī
sebagai monis maupun dualis, dengan demikian penulis menangkap
bahwa konsep Lǐ (理) dan Qì (氣) Zhū Xī sebagaimana yang
dipahami Profesor Chan adalah transenden sekaligus imanen.
Pandangan lain Profesor Wing-tsit Chan tentang
transendensi-imanensi Neo-Konfusianimse penulis ringkaskan
sebagai berikut: beliau setuju dengan pemahaman Needham bahwa
filsafat Neo-Konfusianisme terutama yang disampaikan oleh Zhū Xī
pada dasarnya itu bersifat organik, yang menyamakan asas/prinsip
dengan ‘organisasi’50. Bahwa semua benda/hal di alam semesta ini
saling berhubungan satu dengan yang lain serta bahwa hubungan
itu mengikuti suatu prinsip umum tertentu, segala hal/benda
tertata dalam berbagai tingkatan masing-masingnya, dan bahwa
seperangkat hubungan itu adalah ‘perubahan’ sebagaimana inti dari
kitab Perubahan (易經 Yìjīng), serta bahwa Dào (道) sebagai prinsip
semua keberadaan (hal dan benda) pada dasarnya merupakan
asas/prinsip hubungan itu. Namun, Profesor Chan juga memiliki
beberapa keraguan tentang pengamatan Needham yang juga
menilai ada kesamaan yang mencolok antara pandangan organisme
Neo-Konfusianimse dan Whitehead. Dia berpendapat bahwa dunia
dalam filsafat Zhū Xī adalah tidak sekadar organisme, karena
prinsipnya juga bersifat metafisik. Perbedaan lain bahwa Tuhan
pada pemikiran Whitehead yang ‘tidak logis’ dalam arti tidak
terdapat dalam pembahasan asas/prinsip Neo-Konfusianisme yang
sifatnya konkrit51. Terhadap penilaian Profesor Chan ini penulis
boleh mengartikan bahwa persoalan transendensi-imanensi
memang tidak mudah untuk diterapkan begitu saja pada Neo-
Konfusianisme, ada perbedaan antara filsafat proses Whitehead dan

49 Chan, Sourcebook, h. 634--635.


50 Antara lain Profesor Chan mengacu dari tulisan Needam dalam Science and
Civilisation in China.
51 Chan, Sourcebook, h. 636-637.

153
pandangan Needam dengan konsep Lǐ (理) Zhū Xī .
4. Menurut Du Yol Choi.
Du Yol Choi, dalam disertasi doktornya yang khusus
menelaah persoalan imanensi-transendensi dalam Neo-
Konfusianisme52, mengingatkan bahwa “di samping adanya
perbantahan soal status Konfusianisme yang dikatakan bukan
‘agama teistik yang penuh/baku’, namun faktanya tetaplah terdapat
aspek teistik dalam Konfusianisme klasik. Walaupun
kecederungannya adalah rasional dan mengedepankan ‘dunia yang
ini’. Hal ini dapat dilihat atau katakanlah ditandai tetap adanya
elemen supranatural di dalamnya”53. Pernyataan tersebut
disampaikan Choi setelah sebelumnya beliau telah menyinggung
juga tentang lima makna konsep Tiān dari Profesor Fung54,
sebagaimana yang telah penulis sampaikan di bagian depan.
Sementara itu perlu diingatkan lagi bahwa di bagian depan penulis
telah menyampaikan bahwa dalam Konfusianisme klasik Tiān (天)
itu hal yang transenden, sedangkan Xìng (性) itu hal yang imanen.
Kemudian untuk kasus Neo-Konfusianisme Choi lanjut
menyatakan bahwa pandangan Zhū Xī mengenai: ‘asas/prinsip dan
tenaga kebendaan/material tentu merupakan dua entitas yang
berbeda. Tapi ditinjau dari sudut pandang benda-benda (things)
kedua entitas itu melebur satu dengan yang lain dan tidak dapat
dipisahkan masing-masing pada tempat yang berbeda. Namun, ini
juga tidak menghancurkan fakta bahwa kedua entitas masing-
masing merupakan entitas tersendiri’, ini adalah ide yang
merupakan pendirian pokok Neo-Konfusianisme dalam
menyediakan ruang untuk transendensi-imanensi55. Dalam karya-
karya dan pandangan Zhū Xī, aspek imanensi dan transendensi itu
tertangani secara implisit/tersirat dengan cara-cara yang lebih

52 Du Yol Choi, Transcendence And Immanence In Paul Tillich's Theology And

Chu Hsi's Neo-Confucian Philosophy (Selanjutnya akan disingkat Tillich and Chu Hsi),
Disertasi Phd. pada Drew University (Madison New Jersey: Bell & Howell
Information and Learning Company, 2000).
53 Choi, Tillich and Chu Hsi, h.75.
54 Fung, A History, h. 31.
55 Choi, Tillich and Chu Hsi, h. 79.

154
canggih56, tentu canggih di sini menurut penulis adalah dalam
pengertian relatif melebihi terhadap para guru-guru atau para
pendahulunya.
Oleh karena Zhū Xī berpendapat bahwa setiap sesuatu
individu memiliki Tàijí (太極) dan alam semesta juga memiliki Tàijí
(太極) yang sama. Tàijí (太極) yang di alam semesta itu sebagai Lǐ
(理), Ia adalah satu, sedangkan manifestasinya banyak. Lǐ (理) yang
termanifestasi itu tidaklah cacat atau hanya terpenuhi sebagian, tapi
lebih-lebih sebagai perwujudan Tàijí (太極) seutuhnya. Sekalipun
demikian proses perwujudan ini tidak saja membutuhkan Lǐ (理)
tapi juga Qì (氣). Maka realitas tiap segala sesuatu individu terletak
pada ketidak-saling bebasnya Lǐ (理) dan Qì (氣). Dalam
pemahaman yang demikian ini maka Tàijí (太極), Lǐ (理) dan Qì (氣)
adalah transenden maupun imanen57. Terakhir Choi juga
berpendapat bahwa Zhū Xī telah berusaha menyajikan aspek
transendensi dan imanensi ini dalam kondisi yang non-dualistic.
Kalau begitu Penulis menilai bahwa Choi melihat konsep-konsep
kosmologi Zhū Xī itu adalah imanen sekaligus transenden, namun
mengingatkan adanya kecendrungan ‘kesatuan’ antara Tàijí (太極),
Lǐ (理) dan Qì (氣). Hemat penulis, dalam hal ini Choi ingin
menyampaikan bahwa di sana berlaku apa yang disebut
‘transendensi yang imanen’ (immanent transcendence).
5. Menurut Donald. N. Blakeley
Profesor Donald N. Blakeley, seorang ahli filsafat dari
California State Universitas Fresno, dalam suatu karya tentang
transendensi-imanensi Zhū Xī58, mengatakan bahwa Lǐ (理) itu
suatu ide yang dialektis, demikian juga mengklarifikasikan dan
menilainya juga merupakan pekerjaan yang dialektis…”59. Beliau
memberikan usulan analisanya tentang Lǐ (理) dan Tàijí (太極)
dalam apa yang dinamakannya ‘profil I--IV dan A--D’. Pertama

56 Choi, Tillich and Chu Hsi, h. 83


57 Choi, Tillich and Chu Hsi, h. 115.
58 Donald N. Blekeley, The Lure of Transcendent of Zhu Xi (selanjutnya: The

Lure), dalam jurnal History of Philosophy Quarterly, Vol. 25 No. 3, July 2004, h. 223-
240.
59 Blekeley, The Lure, h. 236.

155
penulis sarikan profil I--IV beliau sebagai berikut60:
I. Lǐ (理) itu satu dalam arti ia adalah prinsip ultimit yang berada
di dalam segala sesuatu sekaligus menyatukan segala sesuatu.
Bahkan Wújí (無極) aspek Tàijí (太極) yang bersifat: tidak
nampak, perkasa, misterius, dan tidak dapat ditentukan,
dikatakan mengandung juga semua Lǐ (理) (sebelum langit dan
bumi) dalam kondisi diam (laten, potensial, permulaan).
II. Namun karena apa yang kemudian terjadi dan eksis itu
bermacam-macam dan berbeda, muncul dalam pola atau jenis
organisasi yang lebih spesifik, maka Lǐ (理) dalam kosmos yang
teratur dan dinamis, dari yang terkecil sampai yang terbesar,
dari yang umum sampai yang khusus, adalah meliputi semua
tingkat spesifikasi dan penggambaran.
III. Semua benda individu juga memiliki Lǐ (理). Dalam hal menjadi
apa saja benda itu, maka Lǐ (理)-nya spesifik atau unik
sebagaimana adanya benda itu. Benda ini mewujudkan Lǐ-nya
sendiri dalam konteks cirinya yang berubah dan yang berada
dalam konteks keteraturan transformasi dan stabilitas yang
lebih luas.
IV. Lǐ (理) yang satu itu terdapat pula secara penuh dalam tiap
benda-benda yang khusus. Setiap bagian-bagian itu juga
meliputi keseluruhannya (yang satu itu). Keseluruhan/satu itu
terdapat pada bagian-bagian, dan bagian-bagian ini juga
mencakup yang satu/menyeluruh.
Terkait dengan fungsi Lǐ (理) Blakeley menyatakan profil A--D
sebagai berikut61:
A. Suatu acuan deskriptif (kasusnya apa) yang menjelaskan
bahwa benda/hal adalah oleh alam, dan ia merupakan subyek
pengetahuan.
B. Suatu acuan yang mungkin berpotensi yang menjelaskan apa
yang dapat menjadi ciri-ciri (identitas apa) dan pengertiannya.
C. Suatu acuan yang preskriktif (normatif, harusnya bagaimana)
tentang harus menjadi apa suatu benda/hal, yang menyediakan

60 Blekeley, The Lure, h. 234.


61 Blekeley, The Lure, h. 235--236.

156
informasi tentang kebenaran, ketepatan dan keasliannya.
D. Suatu acuan bagi suatu standar atau model yang ideal yang
menjelaskan akan menjadi apa suatu benda/hal jika ia
dikembangkan (dilengkapi, disempurnakan, dinyatakan) sesuai
dengan sifat alamiahnya sebagai suatu yang tumbuh.
Dengan profil I--IV dan A--D ini Blakeley mengatakan bahwa
kalaupun pada Lǐ (理) dan Tàijí (太極) berlaku kedua profil ini,
maka kedua konsep ini tidaklah sesimpel terbatas pada seluk-beluk
kondisi nyata yang ada saat ini untuk menyebutnya imanen. Tapi,
seluk beluknya itu juga tidak dapat dikatakan tanpa unsur-unsur
transenden. Maka mereka equiprimordial (eksis bersama-sama
sebagai sama-sama fundamental), keduanya utama, dan keduanya
selalu ada. Lǐ (理) dan Tàijí (太極) selalu tetap dan terdapat dalam
segalanya serta juga menjelaskan segalanya. Mereka termasuk
individu dan terpisah, keseluruhan dan saling berhubungan, suatu
pengertian tentang benar dan penuh/lengkap, demikian juga
mengandung arti kebaruan, kesegaran, keunikan kondisi atau
kejadian tertentu yang nyata yang mewujud, yang dengan begitu
setiap aspek-aspek ini memerlukan pengakuan yang pantas.
Kesimpulan yang dapat penulis tarik dari ulasan Blakeley di
atas adalah bahwa Lǐ (理) Neo-Konfusianisme tidak dapat
digolongkan dengan serta-merta sebagai memiliki sifat imanen dan
transenden yang ‘murni’ (yakni strict Immanence-Trancendence)
atau sama persis dengan semangat Imanensi-transendensi dalam
agama-agama Barat. Namun memiliki kekhasan tersendiri, sulit
untuk mendefinisikannya, karena sifat imanen dan transenden
dalam dua terminologi Neo Konfusianisme (Lǐ 理 dan Qì 氣) itu
memiliki karakteristik ‘selalu hadir secara bersamaan’ dalam
fenomena alam/kosmos maupun dalam ranah etika (bidang
hubungan antar manusia).

IV.E. Transendensi-Imanensi Lǐ-Qì (理-氣) Zhū Xī dalam


Pandangan Pribadi Penulis Sebagai Umat Khonghucu
Indonesia.
Penulis adalah umat Khonghucu Indonesia yang telah
mengikuti bimbingan agama Khonghucu melalui Matakin (Majelis

157
Tinggi Agama Khonghucu Indonesia), lebih tepat lagi melalui
lembaga rohaniwannya yakni Dewan Rohaniwan (Deroh) Matakin.
Selama mengikuti pelajaran agama Khonghucu serta berbagai
aktifitas yang ada di lingkungan masyarakat Khonghucu di tanah
air, baik di daerah kelahiran penulis di provinsi Sulawesi Utara, di
kota Solo sebagai lokasi pusat Dewan Rohaniwan maupun di Jakarta
sebagai lokasi pusat organisasi Dewan Pengurus (DP) Matakin
sekaligus tempat domisili penulis selama belasan tahun belakangan
ini, penulis telah mendapatkan cukup banyak informasi tentang
perkembangan agama Khonghucu Indonesia di tanah air, termasuk
informasi dan pengertian tentang Neo-Konfusianisme. Penulis
dalam kiprah sebagai rohaniwan madya agama Khonghucu
Indonesia yang secara otomatis menjadi anggota biasa Dewan
Rohaniwan Matakin juga pernah ditunjuk pimpinan Matakin untuk
menjadi staf kecil membantu menangani bidang tertentu di Dewan
Pengurus (DP) serta juga menjadi staf kecil membantu bidang
peribadahan di Dewan Rohaniwan (Deroh) Matakin.
Sejauh pengamatan penulis dalam mengikuti perkembangan
organisasi Matakin selama beberapa dekade belakangan ini, oleh
berbagai sebab, terlihat bahwa Matakin memang belum sempat
mengadakan studi-studi yang mendalam tentang Neo-
Konfusianisme, dan dengan demikian lembaga dan umat
Khonghucu Indonesia belum mendapatkan pengaruh signifikan dari
pemikiran-pemikiran dan keberadaan Neo-Konfusianisme, dalam
arti bahwa segenap aspek-aspek keimanan maupun praktek
keberagamaan yang dijalani (oleh penulis dan rekan-rekan seiman)
masih kuat atau lebih mengacu pada Konfusianisme klasik (atau
sebut saja Konfusianisme). Misalnya sebutan yang digunakan
selama ini kepada Yang Mutlak dalam agama Khonghucu Indonesia
yakni kepada Tuhan sebagai kreator yang bersifat antropomorfik
dan semi-personel atau personel, dengan sebutan umumnya: Tiān
(天) atau Shàngdì (上帝). Pada beberapa tahun belakangan ini,
bersamaan dengan telah diterjemahkannnya juga kitab Sanjak
(kitab Shījīng), kitab Sejarah Suci (kitab Shūjīng) dan kitab Catatan
Kesusilaan (kitab Lĭjì), maka sebutan untuk Tuhan dalam agama
Khonghucu Indonesia telah menjadi lebih bervariasi lagi dengan
misalnya marak dipakainya juga istilah Huángtiān (皇天) dan

158
Huángtiān Shàngdì (皇天上帝).
Dewan Rohaniwan Matakin sebagai lembaga tertinggi yang
mengurus pembinaan kerohanian rohaniwan dan umat Khonghucu
Indonesia pada beberapa dekade belakangan ini kelihatan lebih
memusatkan perhatian utama pada usaha-usaha penerjemahan
kitab-kitab suci Agama Khonghucu ke dalam bahasa Indonesia di
samping tentu bacaan-bacaan kontemporer baik terjemahan
maupun hasil pemikiran para intelek dan para rohaniwan Matakin.
Dari ke-sembilan jenis kitab suci standart (empat dari kitab Sìshū 四
書 dan lima dari kitab Wŭjīng 五經, di luar satu kitab pelengkap
yakni kitab Xiàojīng 孝經) Dewan Rohaniwan Matakin telah
menerjemahkan delapan di antaranya. Adapun kitab terakhir yang
masih dalam tahap akhir penerjemahan dan masih belum selesai
sepenuhnya sehingga belum dapat diterbitkan adalah kitab Musim
Semi dan Rontok (Chūnqiūjīng 春秋經). Beberapa penggalan naskah
draf kitab Chūnqiūjīng memang telah dimuat pada buku SGSK
terbitan Dewan Rohaniwan Matakin, namun versi resminya dalam
bentuk terbitan lengkap dan resmi belum ada. Dengan
berpulangnya ketua Deroh Matakin bapak D{xuéshī Tjhie Tjay Ing
almarhum (tokoh atau personel yang berada di belakang tugas-
tugas penerjemahan dan penafsiran utama kitab-kitab suci agama
Khonghucu Indonesia selama ini) pada bulan Maret 2015, maka
penyelesaian penerjemahan kitab Chūnqiūjīng yang belum rampung
itu (dalam masa tesis ini ditulis) masih akan menunggu
pembentukan tim penerjemah yang akan melanjutkan tugas
almarhum bapak D{xuéshī Tjhie Tjay Ing yang belum dapat
terselesaikan itu.
Dalam era reformasi ini keberadaan lembaga Matakin
semakin tertantang dengan semakin sering dilibatkannya Matakin
baik oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan
(non-pemerintahan) lain. Maka perhatian dalam pembinaan umat
internal dan penggalian kitab-kitab Konfusianisme dan kitab-kitab
Neo-Konfusianisme tentu sedikit terabaikan dan masih menjadi ‘PR’
yang harus direalisasikan pada saat mendatang.
Pernyataan keimanan umat Khonghucu Indonesia dalam
bentuk doktrin tertulis yang dirumuskan Deroh Matakin tertuang
dalam ‘Delapan Pengakuan Iman (Bā Chéng Zhēnguī 八誠箴規)’

159
serta ‘Kalimat/Dekrit Pengakuan Iman (Chéngxìn Zhǐ 誠亯旨)”. Bā
Chéng Zhēnguī diucapkan pada setiap kali selesai doa pembukaan
dalam kebaktian mingguan oleh semua umat Khonghucu yang hadir
dalam kebaktian, sedangkan Chéngxìn Zhǐ adalah semacam ‘kalimat
syahadat’ yang diucapkan hanya ketika umat menerima peneguhan
iman dalam ritual (lìyuàn 立 願), baik itu lìyuàn umat maupun lìyuàn
pernikahan. Di sana, dalam delapan butir keimanan itu dengan jelas
telah digariskan atau ditetapkan poin-poin keimanan umat agama
Khonghucu Indonesia, yang berisikan kewajiban hubungan antara
umat dengan Tuhan (vertikal) maupun antara umat dengan sesama
umat serta umat dengan masyarakat luas lainnya (horizontal).
Butir pertama dan butir keempat delapan pengakuan iman itu
adalah berhubungan dengan kewajiban vertikal umat yakni iman
percaya kepada Huángtiān (Tuhan YME) dan iman keberadaan
adaanya para roh (Guǐshén 鬼神). Bunyi pengakuan iman butir
pertama itu lengkapnya adalah Chéng Xìn Huángtiān (誠 亯皇天
sepenuh iman percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa). Tuhan yang
diimani dan disebarkan oleh umat dan lembaga agama Khonghucu
Indonesia adalah Tuhan yang antropomorfik dan personel adalah
Tuhan yang transenden sebagaimana keyakinan rakyat Tiongkok
pada zaman kuno yakni zaman Dinasti Xià, Shāng dan Zhōu (夏商
周). Huángtiān atau singkatnya Tiān sebagai sesuatu Yang Mutlak
yang diimani umat Khonghucu Indonesia telah menjadi acuan
perilaku dan sekaligus sumber moral dan kekuatan iman dalam
usaha umat Khonghucu Indonesia melaksanakan perbuatan yang
berkebajikan.
Sementara itu Lǐ (理) Neo-Konfusianisme belum begitu
dikenal oleh umat Khonghucu Indonesia. Namun mungkin hanya
oleh sebagian kalangan saja kalau tidak ingin disebut segelintir
umat dan atau rohaniwan yang sering membaca buletin SGSK
terbitan Deroh Matakin. Karena Sumber bacaan utama umat
Khonghucu Indonesia tentang konsep Lǐ (理) Neo-Konfusianisme
sejauh pengamatan penulis selama ini satu-satunya memang ada
pada buletin SGSK itu. Dalam beberapa edisi terbitan SGSK,
terutama yang terbit dalam era pertengahan tahun sembilan
puluhan sampai kira-kira 2009M, di situlah tulisan Profesor Lee T.
Oei (mahaguru Filsafat dari Fordham University USA, kelahiran kota

160
Semarang) tentang doktrin-doktrin Neo-Konfusianisme di muat.
Perkara apakah para umat Khonghucu dapat memahami dengan
baik konsep-konsep Neo-Konfusianisme dalam tulisan-tulisan
dalam SGSK sehubungan dengan Neo-Konfusianisme itu tentu
belum dapat diukur, karena sampai saat ini dalam sepengetahuan
penulis Matakin belum pernah mengadakan seminar, dialog atau
pelatihan dan bahkan diskusi dengan topik resmi mengenai Neo
Konfusianisme ini. Sehingga dengan demikian dapat diambil
kesimpulan bahwa paham Neo-Konfusianisme belum luas dikenal
apalagi dikaji atau bahkan dilaksanakan oleh umat dan pengurus
lembaga Matakin. Kasarnya keimanan dan praktek keimanan umat
Khonghucu Indonesia masih belum mendapatkan pengaruh
signifikan dari doktrin-doktrin Neo-Konfusianisme.
Penulis memang pernah mendapatkan informasi melalui
pembicaraan dengan seorang cendikiawan yang menjadi Wakil
Ketua Umum DP Matakin saat ini, bapak Bratayana Ongkowijaya,
SE., XDS., bahwa pada suatu periode tertentu (sekitar di bawah
tahun 2004M), seorang tokoh cendikiawan Matakin yang juga
sekaligus seorang rohaniwan Matakin kelahiran kota Malang yakni
bapak almarhum Ws. H. Ongkowijaya, MBA. waktu itu pernah
mempelajari dan mendalami doktrin-doktrin Neo-Konfusianisme
dan pernah mendiskusikannya dengan beberapa rekan seiman di
kota kelahirannya (dan mungkin juga sampai ke kota Surabaya,
Tangerang dan Jakarta). Namun gaungnya oleh penulis terlihat
belum meluas. Mungkin juga karena pada 29 Oktober 2004
almarhum Ws. H. Ongkowijaya, MBA. telah begitu cepat
meninggalkan dunia, meninggalkan organisasi dan para handai-
tolan yang dicintainya, dipicu oleh kegagalan operasi terhadap
sejenis penyakit pada bagian usus almarhum62. Dengan demikian
aktifitas studi neo-Konfusianisme dalam komunitas Matakin
menjadi terputus dan belum ada tanda-tanda muncul pihak lain
yang dapat melanjutkan kembali studi itu.
Dalam latar kondisi organisasi Matakin dan kondisi keumatan
agama Khonghucu Indonesia yang seperti inilah penulis menjalani
dan mendapatkan pemahaman tentang Neo Konfusianisme terkait
konsep utamanya Lǐ (理) . Penulis telah membaca mungkin hampir

62Tanya-jawab pribadi penulis dengan bapak Bratayana Ongkowijaya, SE., XDS.

161
semua karya karya Profesor Lee T. Oei yang dimuat dalam buku
SGSK terbitan Deroh Matakin (tentu sejauh yang penulis miliki).
Penulis menyadari bahwa sejauh pengamatan dan pengetahuan
pribadi, mungkin penulis adalah salah satu dari segelintir aktifis
organisasi Matakin yang di era belakangan ini telah kembali
mengadakan studi ilmiah tentang konsep Lǐ (理) Neo
Konfusianisme, yakni melalui penelitian pustaka tesis ini. Sampai
saat ini penulis belum mendapatkan info bahwa ada saudara seiman
lain yang telah juga melakukan studi atau penelitian tentang topik
Neo-Konfusianisme.
Dalam bersentuhan dengan informasi Neo-Konfusianisme
melalui tulisan-tulisan Profesor Lee T. Oei, awalnya penulis merasa
kurang paham membaca topik tersebut, pertama karena
sebagaimana disampaikan di atas, lembaga dan keumatan
Khonghucu Indonesia masih mengacu pada doktrin dan keimanan
Konfusianisme klasik sehingga pemikiran Neo-Konfusianisme
awalnya masih terasa asing bagi penulis. Fakta lain adalah bahwa
ketika membaca tulisan Profesor Lee T. Oei, tulisan itu disajikan
dalam bahasa Indonesia yang kurang baku yang juga disertai
dengan pemakaian-pemakaian term-term dalam bahasa Melayu dan
bahasa Sansekerta yang membuat tulisan itu menjadi lebih ‘lain’
dan juga membuat isi tulisannya itu lebih sulit dimengerti. Dari
sanalah penulis menjadi penasaran, tertarik, dan akhirnya dalam
waktu sekarang ini memiliki kesempatan untuk melakukan kajian
tentang konsep Lǐ (理) Neo-Konfusianisme.
Satu fakta yang perlu penulis sampaikan adalah bahwa karya
tulisan Profesor Lee T. Oei yang dimuat dalam SGSK ternyata
sebagian besar adalah terjemahan karya tulis Profesor Wing-tsit
Chan. Hal yang penulis baru sadari ketika dalam kegiatan
pengumpulan pustaka untuk bahan studi atau penelitian tesis ini
penulis harus mencari dan melengkapi bahan-bahan bacaan dari
berbagai sumber, dan kemudian akhirnya menemui beberapa
sumber-sumber asli (buku sumbernya berbahasa Inggris) dari
tulisan Profesor Lee T. Oei yang menjadi bahan asal terjemahan
beliau tersebut.
Setelah penulis mengadakan studi dalam kemampuan dan
kapasitas penulis apa adanya, dengan dilatari posisi penulis sebagai

162
umat dan sekaligus rohaniwan madya Khonghucu Indonesia maka
berikut penulis menyampaikan pemahaman transendensi-imanensi
konsep Lǐ-Qì Zhū Xī yang akan disarikan dalam point-point berikut
ini:
1. Dari pemahaman beberapa pustaka baik dari bahan sekunder
maupun primer, penulis menilai dan merasakan bahwa Lǐ (理)
Neo Konfusianisme terutama yang dibawakan oleh eksponen
utamanya Zhū Xī yang hidup pada kurun Dinasti Sòng Utara (北
宋, 960 M--1126 M), merupakan kelanjutan dari paham Tiān
(天) dan Shàngdì (上帝) yang dipahami oleh Konfusianisme
klasik yang eksis pada zaman kuno tiga Dinasti Xià, Shāng dan
Zhōu (夏商周).
2. Meskipun Lǐ (理) dalam Neo-Konfusianisme oleh Zhū Xī dan
para pendahulunya lebih condong dan lebih pada sifat dan
hukum dari Tiān (天) dan Shàngdì (上帝), tidak lagi kepada
Tiān (天) dan Shàngdì (上帝) itu sendiri, dengan kata lain: yang
dibicarakan, diagungkan dan dipahami dalam Neo-
Konfusianisme adalah ‘Hukum Tuhan’ bukan ‘Tuhan sendiri’
sedemikian rupa sehingga juga sifat antropomorfik dan sifat
semi-personal atau personel Tuhan dalam Konfusianisme
klasik menjadi relatif lebih kabur, namun nuansa teistik itu
tetap terasakan dalam Neo-Konfusian Zhū Xī dan para
pendahulunya. Misalnya dan terutama dengan dikaitkan atau
disamakannya Lǐ (理) dengan Tiān (天) dan Shén (神) oleh
Chéng Hào (guru Zhū Xī dimana 天 dan 神 keduanya bermakna
Tuhan atau divinity: lihat bahasan pada bab II); dan misalnya
disamakannya Lǐ (理) dengan zhǔzǎi (主宰 pengarah) oleh Zhū
Xī (lihat bahasan pada Bab III.H). Di sini terlihat bahwa Hukum
Tuhan yang dibicarakan dalam Neo-Konfusianisme itu dalam
beberapa hal tetap dihubungkan, dikembalikan bahkan
disamakan dengan Tiān (天) sendiri.
3. Demikian pula walaupun dalam tesis ini skop tentang moralitas
belum terbahas (sebagaiamana pada skop batasan masalah),
namun beberapa kaitan kosmologi dengan moralitas yang telah
sedikit disinggung pada bab II dan Bab III sebelumnya telah
memperlihatkan bahwa konsep klasik Konfusianisme yang

163
dibawakan oleh Nabi Kŏngzĭ dan Mèngzĭ yakni Rén (仁 cinta
kasih/kemanusiaan) dan Xìng (性 watak sejati/sifat asli) yang
juga menjadi kajian luas oleh para Neo-Konfusian, konsep-
konsep ini tetap adalah bagian imanensi dalam keimanan
Konfusianisme.
4. Dengan demikian penulis juga berkesimpulan bahwa konsep
Lǐ-Qì Neo-Konfusianisme yang dibawakan oleh Zhū Xī dan
beberapa pendahulunya tetap merupakan suatu representasi
dari keberadaan Tuhan atas alam semesta ini. Lǐ (理) baik
ditinjau mandiri maupun bersama sama dengan konsep
sekunder Qì (氣) adalah transenden sekaligus imanen.
Sedangkan Rén (仁 cinta kasih/kemanusiaan) dan Xìng (性
watak sejati/sifat asli) yang merupakan representasi karunia
Tuhan atas manusia jelas menunjukkan aspek imanen pada
Neo-Konfusianisme Zhū Xī.
5. Penulis juga tiba pada pemahaman yang lain bahwa Zhū Xī
tidak saja adalah seorang filsuf utama Neo-Konfusianisme,
sebagaimana selalu beliau dilabeli, namun dari segenap kiprah
dan kehidupan religius beliau sebagaimana yang disampaikan
dalam bab III terutama pada kiprah beliau melakukan riset
kemudian menyusun kitab upacara/ritual, maka beliau pada
dasarnya juga merupakan seorang agamawan Neo-
Konfusianisme.

164
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.A. Kesimpulan.
Neo-Konfusianisme adalah istilah yang mengacu pada
gerakan pembaharuan pemikiran Konfusianisme. Gerakan ini
memiliki akar pada zaman Dinasti Táng (唐, 618 M--906 M),
mengalami kematangan pada zaman Dinasti Sòng (宋, 960 M--1279
M) dan Dinasti Míng (明, 1368 M--1644 M), menyebar ke beberapa
negara, dan sebetulnya tetap eksis sampai sekarang. Neo-
Konfusianisme lahir karena ingin mengambil atau kembali kepada
inti ajaran kuno milik sendiri dan menjadikannya sebagai dasar
keyakinan dan dasar tindakan seseorang yang mengacu pada Dào
(道 jalan suci, atau hukum) para raja-nabi zaman kuno.
Perkembangan Neo-Konfusianisme itu juga timbul karena
tantangan perkembangan agama dan filsafat Buddhisme dan
Daoisme, maka kemudian dapat dilihat ia juga adalah gerakan yang
ingin supaya Konfusianisme (-klasik) yang pada umumnya lebih
berlandaskan pada humanisme/kemanusiaan kemudian boleh
mengembangkan landasan metafisika yang benihnya telah ada
dalam kitab Yìjīng (易經) dan Lǐjì (禮記) tapi belum diangkat dan
dikembangkan lebih intens. Ciri lainnya adalah kecenderungannya
mengagungkan akal, itulah sebabnya satu sayap utama Neo-
Konfusianisme (pemikiran Zhū Xī) dikenal sebagai sayap rasional.
Zhū Xī tentu bukan penemu konsep Lǐ (理), beliau adalah
peramu, pelengkap yang telah berhasil membangun filsafat konsep
Lǐ (理) dari para pendahulunya menjadikan Neo-Konfusianisme
suatu sistem filsafat yang lengkap dan sistematis. Lǐ (理) menjadi
tema sentral dalam Neo-Konfusianisme, sedemikian sentralnya
sehingga juga telah menjadi alternatif nama aliran pemikiran itu
yakni: Lǐxué (理學). Penulis menyimpulkan, konsep Lǐ (理) Zhū
mengacu kepada:
1. Semangat kebijaksanaan kuno para raja-nabi purba,
2. Egalitarian pendidikan bagi semua dan semangat humanisme
Konfusius,

165
3. Kebaikan watak sejati/sitat asli manusia dari Mensius,
4. Menggunakan pemahaman metafisika dan etika dari senior se-
dinastinya: Zhōu Dūnyí (周敦頤), Zhāng Zài (張載), Chéng Hào
(程顥) dan Chéng Yí (程頤).
Dari Zhōu Dūnyí, Zhū Xī mewarisi penjelasan konsep Tàijí (太
極) sebagai sesuatu yang primordial yang menjadi awal segala
sesuatu. Zhū Xī memahami bahwa hanya ada satu Tàijí (太極),
namun masing-masing benda nyata telah dianugerahi pula dengan
Tàijí (太極) di dalamnya. Tàijí (太極) memiliki prinsip aktivitas dan
prinsip ketenangan. Dari aktifitaslah Yángqì (陽氣) dihasilkan dan
dari ketenanganlah Yīnqì (陰氣) dihasilkan. Zhū juga memiliki
kesimpulan bahwa jumlah semua Lǐ (理) di alam semesta ini adalah
sama dengan Tàijí (太極). Beliau juga menyamakan Tàijí (太極)
dengan Lǐ (理). Namun, kalau Zhōu melihat Tàijí (太極) sebagai
keadaan dasar (yang abstrak) maupun juga keadaan total (fisikal)
alam semesta, tapi Tàijí (太極) bagi Zhū Xī adalah non fisik, abstrak
(serta transenden). Zhu Xi berpendapat Tàijí (太極) adalah prinsip
‘langit dan bumi serta segala sesuatu (Tiāndì W{nwù 天地萬物,
alam semesta dan segala isinya)’. Sebelum langit dan bumi ada telah
ada dengan pasti asas/prinsip, dan dalam kosmogoni Zhū Xī
asas/prinsip yang universal dan abadi ini tidak lain dari Tàijí (太極)
(lihat bab III).
Walaupun Zhū Xī menggunakan Tàijí (太極) Zhōu yang terkait
erat dengan istilah Wújí (無極) namun Zhū Xī memahami dan
dengan intens menjelaskan bahwa maksud Wújí (無極) Zhōu
bukanlah kekosongan atau sunyata, namun semata-mata hanya
mencerminkan sifat Tiān yang ‘tidak bersuara tidak berbau (無聲無
臭wúshēng wúxiù)’ sebagaimana penjelasan dalam kitab Zhōngyōng
(中庸) XXXII.
Bila Zhāng Zài memahami Qì (氣) disamping memiliki
pengertian Tàixū (太虛 kekosongan besar) yang abstrak/metafisik
sebagai kondisi pasif Qì (氣), namun juga memiliki pengertian Tàihé
(太和 keharmonisan agung) yang konkrit/fisikal sebagai kondisi
aktif Qì (氣), namun Zhū Xī berpendapat bahwa Qì (氣) itu sebagai
konkrit saja.

166
Dari Chéng Hào (程顥) dan terutama Chéng Yí (程頤) Zhū Xī
mewarisi pengertian bahwa Lǐ (理) adalah asas tertinggi sebagai
sumber dari segala sesuatu dengan sifatnya yang tunggal sekaligus
banyak. Dalam sifatnya yang banyak itulah Lǐ (理) ketemu dan
sekaligus adalah satu dengan konsep Qì (氣). Lǐ (理) dan Qì (氣)
adalah dua entitas yang berbeda namun tiada Lǐ (理) yang tanpa Qì
(氣) dan sebaliknya tiada Qì (氣) yang tanpa Lǐ (理).
Maka berikut ini penulis simpulkan beberapa pemahaman
utama Lǐ (理), Qì (氣) dan Tàijí (太極) menurut pandangan Zhū Xī:
1. Lǐ (理) adalah asal alam semesta dari mana segala sesuatu
datang. Ringkasan segenap ciptaan dan alam semesta ini ketika
ditinjau secara keseluruhan tidak lain adalah Lǐ (理). Lǐ (理)
mengacu pada Dào (道) yang metafisik (sebelum fisik).
2. Jika terdapat sesuatu maka terdapatlah Lǐ (理). Maka, walau
sesuatu belum nyata di alam atau sesuatu telah rusak/layu tapi
ia tetap memiliki Lǐ (理 asas/prinsip).
3. Hanya ada satu Lǐ (理), namun sekaligus juga Lǐ (理) adalah
banyak karena terdapat dalam semua ciptaan. Pembeda
utamanya adalah pada Qì (氣).
4. Qì (氣) sifatnya konkrit/fisikal dan menjadi bentuk/fisik
manusia/benda/hal. Qì teranugerahkan ke dalam diri manusia
atau benda/hal dengan cara dan komposisi berbeda-beda,
sedemikian sehingga penganugerahan itu kokoh atau lengkap
dan seimbang pada sebagian manusia dan benda/hal tapi juga
rapuh, tidak lengkap dan tak seimbang pada sebagian manusia
dan benda/hal yang lainnya. Maka, di alam semesta ini tidak
ada satupun manusia dan benda/hal yang serupa persis.
5. Meski Lǐ (理) dan Qì (氣) dua entitas yang berbeda namun
mereka tidak dapat dipikirkan untuk dapat terpisah dalam dua
tempat yang berbeda. Qì (氣) menjadi bentuk segala sesuatu, Lǐ
(理) menjadi asas/prinsip dan sifat segala sesuatu. Keduanya
eksis menyatu dalam segala sesuatu.
6. Secara logis Lǐ (理) itu hadir mendahului Qì (氣) namun bukan
dalam pengertian tempo/waktu.
7. Bagi Zhū Xī, Tàijí (太極) itu dapat disingkat dalam satu aksara

167
saja yakni aksara Lǐ (理).
8. Kondisi dasar dari pembentukan alam semesta menurut
kosmogoni Neo-Konfusianisme adalah ‘kondisi keberadaan’
(state of existence/state of being). Menurut Zhū Xī kondisi dasar
itu adalah Tàijí (太極). Tàijí itu non fisik, abstrak. Sedangkan
yang konkrit dan fisikal itu Qì (氣).
Hal lain yang penulis dapat simpulkan adalah mengenai
pribadi dan kerohanian Zhū Xī, pertama: bahwa konsep Lǐ (理) Zhū
Xī masih terkait dengan konsep zaman kuno Tiān (天) atau Shàngdì
(上帝), dan kedua: bahwa dari segenap kiprah Zhū Xī sebagaimana
yang disampaikan dalam bab III terutama pada kiprah beliau
melakukan riset dan menulis kitab upacara/ritual, memimpin doa-
doa bersama dengan keyakinanya akan keberadaan para roh, serta
memberikan saran kepada kaisar terkait kewajiban kaisar
bersembahyang kepada Tiān (天), maka sebenarnya tidak saja Zhū
Xī adalah seorang filsuf utama Neo-Konfusianisme sebagaimana
dunia pengkaji Neo-Konfusianisme (terutama dunia Barat) biasanya
menggolongkan beliau dalam buku-buku-buku teks standar, namun
penulis berkesimpulan Zhū Xī pada dasarnya juga merupakan
seorang agamawan Neo-Konfusianisme.
Selanjutnya penulis meringkaskan imanensi dan
transendensi Lǐ-Qì Zhū Xī:
1. Lǐ (理) Neo-Konfusianisme diasosiasikan dan diidentikkan
dengan Tàijí (太極) yang mengandung pengertian: tidak
terbatas, tunggal, umum, kekal, pasif, abstrak, sebelum bentuk
fisik dan disebut Dào (道 hukum atau jalan suci) sebagai dasar
dari segala sesuatu diciptakan dan maka ‘tanpa bentuk
itu/metafisikal’, tidak terlihat, tidak berbadan, sehingga dapat
dimengerti sebagai transenden. Tapi Lǐ (理) Neo-
Konfusianisme selalu akan terhubungkan dengan Qì (氣) yang
mengandung pengertian: selalu ada dan terbatas pada suatu
objek tertentu, banyak, konkrit, khusus, sementara, aktif,
sesudah bentuk fisik dan disebut instrumen/bahan (qì 器)
untuk penciptaan maka selalu ‘bersama dengan bentuk itu’,
dengan demikian ia dapat dimengerti sebagai imanen.

168
2. Profesor Fung telah membandingkan Lǐ (理) Zhū Xī dengan
‘yang baik’ dalam filsafat Plato dan ‘Tuhan’ dalam filsafat
Aristoteles lalu menilai adanya kompatibilitas di antara
keduanya. Beliau menyimpulkan Lǐ Neo-Konfusianisme imanen
sekaligus transenden dalam kekhasannya yang ‘Neo-
Konfusianisme’.
3. Profesor Chan memberikan dua catatan untuk Lǐ (理), pertama
dengan melihat bahwa pemikiran Zhū Xī sebagai bukan dualis
bukan monis, dengan demikian beliau juga menilai Lǐ (理)
bersifat imanen sekaligus transenden. Pemikiran kedua
Profesor Chan melihat adalah adanya kompatibilitas Lǐ (理) Zhū
Xī dengan filsafat proses Whitehead, namun dengan catatan
bahwa Lǐ (理) juga sekaligus metafisikal. Namun Chan juga
menyatakan bahwa tidak mudah dan sederhana untuk menilai
Lǐ (理) Neo-Konfusianisme.
4. Doktor Du Yol Choi, dalam analisanya telah membandingkan
imanensi-transendensi Lǐ-Qì Zhū Xī dengan imanensi-
transendensi teolog Paul Tillich, lalu tiba pada kesimpulan
bahwa Lǐ-Qì Zhū Xī memiliki elemen imanensi-transendensi
dalam kondisi yang ‘non-dualistic’ dan menekankan ‘kesatuan’
antara Tàijí (太極), Lǐ (理) dan Qì. Penulis mengartikan
‘kesatuan’ status Lǐ-Qì Zhū Xī oleh Choi adalah sebagai imanen-
transenden dalam ‘rasa’ atau dalam kecenderungan yang
dominan kepada aspek imanen.
5. Profesor Blakeley menurut penulis adalah ahli yang menelaah
status imanensi-transendensi Lǐ (理) Neo-Konfusianisme yang
paling dalam dan paling lengkap. Dengan membaca profil I—IV
dan A—D buatan Profesor Blakeley kita dapat melihat apa yang
disampaikan beliau bahwa adalah tidak simpel dan mudah
untuk serta-merta menilai Lǐ (理) Zhū Xī sebagai imananen
atau sebagai transenden. Dalam analisanya beliau membuka
kesempatan untuk menunggu adanya suatu istilah atau
penamaan baru untuk menilai status Lǐ (理) Zhū Xī, istilah yang
dapat merangkum berlakunya transendensi-imansensi yang
tidak saja ‘kompatibel’ tapi juga mencakup ‘kesatuan’ antara
Tàijí, Lǐ dan Qì.

169
6. Terhadap segenap penilaian dari para ahli tersebut penulis
telah mencoba memberikan analisa dan kesimpulan sendiri
tentang transendensi-imanesi, yakni bahwa, pertama: Manusia
dalam pandangan Neo-Konfusianisme (juga Konfusianisme)
adalah sebagai pusat alam semesta, dan dalam rasionalisme
Neo-Konfusianisme akal pemikiran manusia dipandang sangat
penting untuk memahami kemanusiaannya serta alam semesta,
termasuk tentu dalam memahami kepada yang abstrak, yang
metafisik, yang ada di balik alam semesta yang nyata ini Lǐ (理).
Walaupun demikian Neo-Konfusianisme yang dibawakan oleh
Zhū Xī tetap merupakan kelanjutan dari paham dan kiprah Tiān
(天) atau Shàngdì (上帝) yang dipahami pada zaman dinasti-
dinasti kuno di Tiongkok. Kedua: nuansa teistis itu tetap
terasakan dalam Neo-Konfusianisme Zhū Xī. Apalagi jika dilihat
bahwa sebelumnya Lǐ (理) telah disamakan dengan Tiān (天)
dan Shén (神) oleh guru Zhū Xī (dimana 天 dan 神 keduanya
bermakna Tuhan atau divinity: lihat bahasan pada bab II); serta
misalnya disamakannya Lǐ (理) dengan zhǔzǎi (主宰 pengarah)
oleh Zhū Xī (lihat bahasan pada Bab III.H). Di sini terlihat
bahwa Hukum Tuhan yang dibicarakan dalam Neo-
Konfusianisme oleh Zhū Xī itu dalam beberapa hal tetap
dihubungkan, dikembalikan bahkan disamakan dengan Tuhan
sendiri; dan ketiga: konsep Lǐ-Qì Neo Konfusianisme yang
dibawakan oleh Zhū Xī dan beberapa pendahulunya tetap
merupakan suatu representasi dari keberadaan Tuhan atas
alam semesta ini. Dengan demikian Lǐ (理) itu baik ditinjau
mandiri maupun bersama sama dengan konsep sekunder Qì
(氣) adalah transenden sekaligus imanen, adapun kalau kita
luaskan scope tinjauan kita akan kita lihat perbandingannya
bahwa Rén (仁 cinta kasih/kemanusiaan) dan Xìng (性 watak
sejati/sifat asli) jelas menunjukkan aspek imanensi pada Neo-
Konfusianisme Zhū Xī.

170
V.B. Saran
1. Kepada para peneliti secara umum: Skop Lǐ (理) Neo-
Konfusianisme tidak hanya kosmologi dan atau metafisika,
namun meliputi juga bagian yang penting lainnya yakni etika
yang belum terbahas dalam tesis ini. Maka disarankan pada
penelitian selanjutnya perlu untuk melengkapi bahasan tentang
Lǐ (理) Neo-Konfusianisme yang meninjau pula persoalan etika.
2. Untuk para kosmolog: Beberapa ahli menyatakan kosmogoni
Neo-Konfusianisme dengan wataknya yang organik (proses)
relatif lebih paralel dengan kosmologi moderen, maka dengan
penggalian yang lebih intens pada pemikiran kosmogoni Neo-
Konfusianisme kemungkinan akan mampu mengungkapkan
beberapa tabir alam semesta atau hal-hal terkait yang mungkin
belum dipahami secara penuh oleh ilmu pengetahuan moderen.
Penggalian kosmogoni Neo-Konfusianisme yang dibarengi atau
disertai dengan ilmu-ilmu kosmologi modern, termasuk
misalnya juga ilmu Mekanika Kwantum perlu diadakan.
3. Kepada Matakin dan umat Khonghucu: perlu menggali lebih
dalam konsep kosmologi dan etika yang eksis dalam Neo-
Konfusianisme sebagai salah satu cara untuk lebih mendalami
keimanan agama Khonghucu dengan cara dan sekaligus
menggali pengetahuan yang luas tentang Neo-Konfusianisme
yang selama ini belum terpikirkan dan tergali secara serius
oleh Matakin.

171
172
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos


Wacana Ilmu, 1999.
Alexander C. Simpskin dan Annellen Simpskin. Simple Confucianism:
Tuntunan Hidup Luhur, terj. oleh Frans Kowa. Jakarta: Buana
Ilmu Populer, 2000.
Arif, Oesman. Membangun Logika Baru dan Pemikiran Moderen, Cet-
1. Klaten: Penaloza Publisher, 2012.
Arif, Oesman. Penyelenggaraan Negara Menurut Filsafat Xunzi,
Disertasi S3 Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta, 2007.
Azhari Noer, Kautsar. Ibn al-‘Arabî, Wahdat al-Wujud dalam
Perdebatan, Cet-1 (Jakarta: Paramadina), 1995.
Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, versi elektronik offline V 0.2.0 Beta
(20) 2016 (database berdasarkan KBBI versi V), Update
terahkir tanggal 09 Oktober 2017.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996.
Bakker, Anton dan Zubair, Achmad Charris. Metodologi Penelitian
Filsafat Cet-16. Jogyakarta: Kanisius, 1990.
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat Cet-25. Yogyakarta: Kanisius.
1998
Berthrong John H. and Berthrong Evelyn M. Confucianism: A Short
Introduction. Oxford: Oneworld Oxford, 2004. (Edisi
elektronik PDF).
Blekeley, Donald N. The Lure of Transcendent of Zhu Xi, in Journal of
History of Philosophy Quarterly, h. 223-240, Vol. 25 No. 3,
2004.
Cáo, Xiānzhuó (曹先擢) dkk. Xi{nd{i H{nyǔ Cídiǎn (現代漢語詞典

173
Kamus Bahasa Tionghoa Moderen), edisi ke-5. Beijing:
Shāngwù Yìnshūguǎn (商務印書館), 2007.
Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta, 2009.
Chan, Wing-tsit (ed.). A Source Book of Chinese Philosophy.
Princeton: Princeton University Press, 1963. (Edisi elektronik
PDF).
Chan, Wing-tsit (ed.). Zhū Xī and Neo-Confucianism. Hawaii:
University of Hawaii Press, 1986. (Edisi elektronik PDF).
Chan, Wing-tsit. Chu Hsi – Life and Thought, Hong Kong: The Chinese
University Press, 1987.
Chan, Wing-tsit. The Evolution of the Neo-Confucian Concept Lǐ as
Principle in the Tsing Hua Journal of Chinese Studies n.s 4/2.
Beijing: Tsing Hua University, 1964, h. 123--149.
Chéng, Hào (程顥) and Chéng, Yí (程頤). 二程集 (Èr Chéng Jí,
Complete Works of the Two Chengs. Korektor/inspeksi oleh
Wáng Xiàoyú (王孝魚點校). Beijing: 中華書局 Zhōnghuá
Shūjú, 1980; (Edisi elektronik scan PDF).
Chiu, Hansheng (丘漢生). “Zhu Xi’s Doctrine of Principle” in the book
of “Zhū Xī and Neo-Confucianism, by Wing-tsit Chan (陳榮捷)
as editor. Honolulu: University of Hawaii Press, 1986, h. 116-
137.
Choi, Du Yol. “Transcendence and Immanence in Paul Tillich's
Theology and Chu Hsi's Neo-Confucian Philosophy”. Phd.
Disertation on Drew University. Madison New Jersey: Bell &
Howell Information and Learning Company, 2000.
Chu, Hsi dan Lü, Tsu-ch’ien, 1967, Reflections on Things at Hand
(Chin-ssu Lu): The Neo-Confucian Anthology, trans. by Wing-
tsit Chan. New York: Columbia University Press, 1967.
Emzir. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Fung, Yu-Lan, A General Statement on Neo-Confucianism, di dalam

174
buku: Chu Hsi and Neo-Confucianism, h. 21--25, editor: Wing-
tsit Chan. Honolulu Hawai: University of Hawaii Press, 1986.
(Edisi elektronik PDF).
Fung, Yu-lan. A Short History of Chinese Philosophy, Vol. 2. New
York: Macmilan Publishing Co. Inc., 1948. (Edisi elektronik
PDF jenis scan)
Fung, Yu-lan. A History of Chinese Philosophy, Vol. I: The Period of
Philosophers, 2nd-ed. Trans. by Derk Bodde. Princeton:
Princeton University Press, 1952.
Gong, Jeh-Tween. Confucianism: The Greatest Religion of Mankind
(1997), dimuat dalam buku kenangan perayaan hari lahir
Nabi Kongzi ke-2553. Jakarta: Matakin bagian Penerbitan,
2006.
Huang, Paolos. Confronting Confucian Understandings of the
Christian Doctrine of Salvation. Helsinki: Department of
Systematic Theology, University of Helsinki, 2006.
Huang, Yong, Cheng Hao (Cheng Mingdao, 1032—1085), dalam
journal from website http://www.iep.utm.edu/chenghao/;
diakses 10 Maret 2017.
Huang, Yong. Theology of Creativity:Neo-Confucian and (Neo-)
Christian(?), in the Christian Study Centre on Chinese Religion
and Culture, Ching Feng n.s. 12, 2013, h. 43--55.
Iskandar. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial, Cetakan ke-5,
Jakarta: Referensi, 2013.
KBBI Ofline Ver. 1.2. sumber: http://ebsoft.web.id/, dengan sumber
database dari http://pusatbahasa.diknas go.id/kbbi.
Kim, Youngmin. Luo Qinshun (1465-1547) and His Intellectual
Context, T2oung Pao LXXXIX, Brill, Leiden: Bryn Mawr College
© , 2003, h. 367--440.
Koller, John M. Filsafat Asia, cet-1. Penerjemah Sermada, Donatus.
Maumere-Flores: Ledaredo, 2010.
Krummel, John W. Transcendent or Immanent? Significance and

175
History of Li in Confucianism. (Journal of Chinese Philosophy
37:3 (September 2010), h. 417--437.
Kusumohamidjojo, B. Sejarah Filsafat Tiongkok, cet-1. Jogyakarta:
Jalasutra, 2010.
Lai, Karyn L. An Introduction to Chinese Philosophy, eBook-ed.
Cambridge: Cambridge University Press, 2008. (Edisi
elektronik PDF).
Lasiyo. Pemikiran Filsafat Konfusianisme Klasik: Kontribusinya Bagi
Agama Khonghucu di Indonesia Cet.-1. Yogyakarta: Lintang
Pustaka Utama, 2017.
Levi, Nicolas. The Impact of Confucianism in South Korea and Japan,
PL ISSN 0860-6102 No. 26. Poland: Acta Asiatica
Varsovienesia, 2013, h. 7--15.
Liáng, Lìjī (梁立基) dkk. Kamus Praktis Tionghoa-Indonesia,
Indonesia-Tionghoa, (印度尼西亞語-漢語漢語-印度尼西亞語
實用詞典) Cetakan ke-1. Oleh team Universitas Peking, Edisi
Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 2001.
Littlejohn, Ronnie L. Confucianism: An Introduction. New York: I. B.
Tauris & Co. Ltd., 2011. (Edisi elektronik PDF).
Liu, Jeeloo. The Status Of Cosmic Principle (Lǐ ) in Neo-confucian
Metaphysics, dalam Journal of Chinese Philosophy 32:3,
September 2005, h. 391--407.
Maciocia, Gionanni (Mǎ W{nlǐ 馬萬里), Note on The Translation of
Chinese Terms; Chinese Medicine Articles Published online in
Giovanni own Website: http://www.giovanni-
maciocia.com/pdf/terminology.pdf; accesed on December
2017.
Mayer, Christian. Cheng Yi as Ritualist, in Journal Institute of Chinese
Literature and Philosophy, Academia Sinica, November 25,
2002, edited and republished in Oriens Extremus Journal No.
47, Hamburg: 2007, h. 211--230.
Mou, Bo. Chinese Philosophy A-Z. Edinburg: Edinburg University
Press Ltd., 2009.

176
Nasuhi, Hamid, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis
dan Disertasi) Cet.-1. Ciputat: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2007.
Neo-Confucian Philosophy Artikel diakses tanggal 28 Juni 2017 dari
Encyclopedia of Philosophy http://www.iep.utm.edu/neo-
conf/.
Oei, Lee T. Chu Hsi dan Anwiksika Agama Konfuciani, dalam Seri
Genta Suci Konfuciani (SGSK) 29/2006. Solo: Matakin Bagian
Penerbitan, 2006.
Oei, Lee T. Tuhan YME dalam Kitab-kitab Bahari Yang Mendasari
Agama Khonghucu, dalam Seri Genta Suci Konfusiani (SGSK).
Solo: Matakin Bagian Penerbitan, 2008.
Offline English Dictionary, Livio3, ver. 3.2.1, Offline Android
Aplication Dictionary, with database from english wiktionary.
Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Pereboom, Derk. Kant Transcendental Arguments, published in
2013, dalam artikel internet: www.plato.stanford.edu. Diakses
25 Setember 2017.
Rainey, Lee Dian. Confucius and Confucianism 1-st ed. Chichester:
John Wiley & Sons, Ltd., Publication, 2010. (Edisi elektronik
PDF).
Shuōwén Zìdiǎn (說文字典) Kamus versi Elektronik; produksi;
Shuōwén Zìdiǎn Gōngzuò Shìnèi (說文字典工作室內) Ver 3+.
Sidorof, Kiril. Dictionary of Philosophical Terms, Offline Android
Aplication Dictionary, ver. 6.4.0.
Supriyanto, Stefanus. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013.
Suriasumatri, S. J. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Takanashi, Yoshio. Emerson And Neo-Confucianism, Crossing Paths
over the Pacific. New York: Palgrave Macmillan, 2014.
Tanggok, M. Ikhsan. Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di

177
Indonesia. Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005.
Taniputra, Ivan. History of China, cet-1. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2008.
Tanuwibowo B. S., & Tjhie, Tjay Ing, dkk. Kamus Istilah Keagamaan
Khonghucu, dalam Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu), Cet-1. ISBN 978-602-
8766-97-5. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2014.
Taylor, Rodney L., and Choy, Howard Y.F. (Cài Yuánfēng 蔡元豐),
The Illustrated Encyclopedia of Confucianism, 1st-Ed. New
York: The Rosen Publishing Group, Inc., 2005. (Edisi
elektronik PDF).
Theobald, Ulrich (田孙利), Persons in Chinese History - Zhang Shi 張
栻- Lü Zuqian 呂祖謙, in online Encyclopaedia on Chinese
History, Literature and Art; diakses Januari 2018 dari
http://www.chinaknowledge.de/ History/Song/
Tjhie, Tjay Ing dkk. Kitab Suci Yak King (Yìjīng 易經 dilengkapi
dengan Sepuluh Sayap (十翼Shíyì ). Solo: Matakin Bagian
Penerbitan, 1985.
Tjhie, Tjay Ing. Kitab Suci Su King (Kitab Dokumen Sejarah Suci
Agama Khonghucu書經 Shūjīng. Solo: Matakin Bagian
Penerbitan, 2004.
Tjhie, Tjay Ing. Shījīng 詩 經 Si King Kitab Sanjak (Kitab Suci I
Wujing). Jakarta: Matakin Pelita Kebajikan, 2010.
Tjhie, Tjay Ing. Artikel: Pokok-pokok Ajaran Moral dan Etika
Konfusiani, dalam Buku Mengenang 50 tahun Mengemban
Firman Sebagai Xueshi. Solo: Matakin. 2013.
Tjhie, Tjay Ing. Kitab Lĭjì (禮記Catatan Kesusilaan). Jakarta: Matakin
Pelita Kebajikan, 2005.
Tjhie, Tjay Ing. Kitab Sìshū (四書 Kitab Yang Empat), versi
Dwilingual dengan Transliterasi H{nyŭ Pīnyīn oleh Team P3K
Deroh Matakin. Jakarta: Matakin, diperbanyak oleh Bimas

178
Khonghucu PKUB Kemenag RI, 2013.
Tu, Weiming. Jalan Sutera: Dialog Peradaban, terjemahan oleh Ali
Nur Zaman. Jakarta: Mizan, 2010.
Wen, Haiming. Chinese Philosophy: Chinese Political Philosophy,
Metaphysics, Epistemology and Comparative Philosophy, 1st-
edition, Beijing: China Intercontinenal Press, 2010.
Yao, Xinzhong. An Introduction to Confucianism. New York:
Cambridge University Press, 2000. (Edisi elektronik PDF).
Yǐnwénzi 尹文子dari situs baike.baidu.com/item/尹文子; diakses
Januari 2018.
Yuksel, Diana. Moral Norms and Physical Necessity dalam Acta
Orientalia Vilnensia ISSN 1648–2662. 8.2 (2007), h. 93--102 .
Zhū, Xī 宋朱dan Lǚ, Zǔqiān呂祖謙 . Jìnsīlù 近思錄 (1177), dalam
serial Guóxué Jīngdiǎn 國學經典. Anotasi dan Komen oleh Chá
Hóngdé 查洪德. Zhèngzhōu: Zhōngzhōu Gǔjí Chūbǎnshè 中州
古籍出版社, 2016.
Zhū, Xī 朱熹. Zhūzǐ Wénjí朱子文集 (1169). Dikompilasi Zhū Zài 朱在.
Shanghai: Sh{nghǎi Zhōnghuá Shūjú 上海中華書局, 1936.
Zhū, Xī朱熹. Zhūzǐ Yǔlèi朱子語類 (1270), dikompilasi Lí Jìngdé 黎靖
德, korektor Wáng Xīngxián 王星賢. Beijing: Běijīng Zhōnghuá
Shūjú 北京中華書局, 1988. (Edisi elektronik scan PDF).

179
180
DAFTAR ISTILAH

Báilùdòng Shūyuàn (白鹿洞書院) Akademi Gua Rusa Putih; nama


sekolah yang dibangun Zhū Xī di kota Lúshān (廬山); Pada
tahun 1180M Zhū Xī mengundang rekan sekaligus tokoh yang
berlawanan pemikiran dengannya, Lù Xiàngshān (陸象山),
untuk bersama-sama memberikan ceramah tentang
moral/kebajikan Konfusian kepada masyarakat di sana, suatu
ceramah yang termasyur zaman itu.
Běisòng Cháo (北宋朝, 960 M--1126 M) Dinasti Sòng Utara;
menunjuk pada Dinasti Sòng era sebelum terjadi penyerbuan
oleh kaum Jīn (金) dengan ibukotanya di Biànjīng (汴京,
sekarang Kāifēng); suatu zaman tatkala lima orang Filsuf-
agamawan Neo-Konfusianisme sebelum Zhū Xī hidup dan
berkiprah.
Chán (禪) meditasi; menjadi sebutan bagi Buddhisme aliran
Mahayana yang berkembang di Tiongkok pada abad ke-6
Masehi lalu menjadi dominan saat Dinasti Táng (唐朝, 618M--
906 M) dan Dinasti Sòng (宋朝, 960 M--1279 M), menjadi
salah satu pemikiran yang sedikit banyak mempengaruhi
gerakan Neo-Konfusianisme.
chéngyì (誠意) mengimankan (mentuluskan) tekad; memiliki dua
makna: 1 pemikiran yang beriman atau tekad yang penuh
iman, suatu kemauan yang pasti, menghayati apa yang
terkandung dalam niat (sesuai kitab Mèngzĭ IV.B:14); 2 jujur
dan tidak mendustai diri sendiri untuk senantiasa menyukai
kebaikan dan membenci keburukan (sesuai kitab Dàxué VI:1);
(KIK Khonghucu).
Chéng-Zhū Lĭxué (程朱理學) Studi/sekolah prinsip oleh Chéng dan
Zhū; nama alternatif aliran pemikiran Neo-Konfusianisme atau
Lĭxué (理學) yang matang pada zaman Nánsòng Cháo (南宋朝,
1127 M--1279M= Dinasti Sòng Selatan).

181
Chosun (朝鮮) Dinasti Joseon (1392M--1919M ); nama suatu
dinasti kuno di negara Korea dengan penerapan ideologi
Konfusian terpanjang di Asia.
Chūnqiūjīng (春秋經) kitab Catatan Sejarah Zaman Chūnqiū (春秋,
zaman musim semi dan musim gugur, 722 SM--481 SM); kitab
yang ditulis oleh Nabi Kŏngzĭ (baca kitab Mèngzĭ IIIB:9.8)
sebagai salah satu kitab suci yang tergabung dalam kitab
Wŭjīng (五經); disebut juga kitab Kilien atau kitab Línjīng (麟
經); betapa pentingnya kitab ini maka kemudian beberapa ahli
menulis kitab tafsirnya; (KIK Khonghucu).
Daigaku (大學) ajaran besar (pelajaran agung); bunyi bahasa
Jepang untuk kitab Konfusianisme 大學(Dàxué); dapat
bermakna pula ‘pelajaran bagi orang dewasa’ serta juga
bemakna ‘universitas’ secara umum.
dào (道) jalan suci; sebagai prinsip atau hukum keselarasan alam
yang terdiri atas satu Yīn (陰) dan satu Yáng (陽), dalam
kaitannya dengan moralitas/kebajikan Dào merupakan
jalan/prinsip atau perilaku yang difirmankan Tuhan bagi
hidup manusia sebagaimana yang dibimbingkan agama, yakni
hidup selaras mengikuti watak sejati (shuàixìng 率性)
mengendalikan diri (kèjĭ 克己) untuk mencapai sempurnanya
kebaikan dan menjadi insan yang dapat dipercaya (baca kitab
/Yìjīng Babaran Agung A.V:24 dan kitab Zhōngyōng Utama:1).
(KIK Khonghucu). Dalam pemahaman kosmogoni Neo-
Konfusianisme terutama oleh kedua bersaudara Chéng Hào
dan Chéng Yí Dào dengan mengacu dari kitab Yìjīng (易經)
khususnya pada bagian Dàzhuàn (大傳, misalnya bab
(A).B:78) Dào dimaknai sebagai xíng ér shàng (形而上
metafisik) yang tidak lain adalah Lǐ (理) yang dipahami
sebagai dasar/akar penciptaan segala benda-hal di alam
semesta ini.

182
dào wènxué (道問學) ‘menjalani sifat suka bertanya dan belajar’;
frasa berasal dari kitab Zhōngyōng (中庸) XXVI:6 yang
menjadi pegangan utama Neo-Konfusian sayap rasionalisme
terutama yang digemakan oleh tokoh sayap ini: Zhū Xī (朱熹).
dàolĭ ( 道理) 1 jalan suci/hukum alam sebagai hakikat spesifik yang
dimiliki oleh setiap hal/benda di dunia ini yang jika dipahami
dengan sedalam-dalamnya maka manusia akan mencapai
kesempurnaan (baca kitab Dàxué V); 2 sifat rasional atau
masuk akal; 3 alasan, argumentasi; (KIK Khonghucu).
D{otǒng (道統) Pewarisan Tradisi Jalan Suci Konfusianisme; suatu
konsep kunci dalam pengembangan Neo-Konfusianisme,
memiliki arti tradisi atau suksesi Dào (Jalan Suci), mengacu
pada sistem transmisi ajaran Konfusianisme. Di sana Dào
dianggap sebagai bagian sentral dari tradisi sejak awal yang
telah diwariskan sepanjang sejarah, meskipun tidak harus
melalui setiap generasi. Dalam arti, istilah itu menunjukkan
tidak hanya ajaran-ajaran dirinya, tetapi juga Jalan yang
ditransmisikan oleh orang-orang bijak zaman dahulu jauh
sebelum Konfusius. Namun di sana diasumsikan bahwa ajaran
Konfusian adalah ekspresi yang paling jelas dan paling otentik
untuk Jalan para raja-bijak kuno — Jalan yang tidak lain
adalah kebenaran atau Absolut. Konsep ini pertama kali
muncul di kitab Lúnyŭ (論語), oleh Mencius digambarkan
garis silsilah ajaran raja-bijak ini dalam jangka waktu 500
tahun, dan mulai dikemukakan lagi oleh Neo-Konfusian Hán
Yù (韓愈). Konsep Pewarisan Tradisi Jalan Suci Konfusianisme
adalah konstruksi silsilah dengan sadar diadakan untuk
menciptakan filosofi Neo-Konfusianisme yang menurut Zhū Xī
(朱熹) layak untuk mewakili tradisi Konfusianisme;
susunannya meliputi sejak Nabi Purba Fú Xī (伏羲), Shén Nóng
(神農), Huángdì (黃帝), Yáo (堯), Shùn (舜) , Yŭ (禹), Chéng
Tāng (成湯), Wén Wáng (文王), Wŭ Wáng (武王), Zhōu Gōng(

183
周公), Kǒngzi (孔子), Yánzĭ (顏子), Zēngzĭ (曾子) Zĭ Sī ( 子思),
Mèngzi (孟子), Zhōu Dūnyí (周敦頤), Chéng Hào (顥) dan
Chéng Yí (程頤) sampai kepada Zhū Xī ( 朱熹); (Taylor and
Choy, The Illustrated Encyclopedia of Confucianism).
Dàoxué (道學) studi atau sekolah mengenai Dào (jalan suci); nama
alternatif bagi Lĭxué (理學) yang biasanya digunakan oleh
pemerintah Tiongkok kuno, di dunia Barat bentuk pemikiran
itu lebih dikenal dengan sebutan Neo-Konfusianisme.
Dàoxuéjiā (道學家) sebutan bagi kaum atau penganut yang
mempelajari/mendalami jalan suci (Dào 道) agama
Khonghucu yang telah mengalami revitalisasi pada zaman
Dinasti Sòng (宋朝, 960M--1279M) dan Míng (明朝), tokoh-
tokoh utamanya antara lain: Zhōu Dūnyí (周敦頤, 1017M--
1073M), Shào Yōng (邵雍, 1011M--1077M), Zhāng Zāi (張栽,
1020M--1077M), Chéng Hào (程顥, 1032M--1085M), Chéng
Yì (程頤, 1033M--1107M), Lù Xiàngshān (陸象山, 1139M--
1193M), Zhū Xī (朱熹, 1130M--1200M), dan Wáng Yángmíng
(王陽明, 1472M--1529M), oleh orang Barat mereka disebut
kaum Neo-Confucian, dan karena tokoh-tokoh ini hidup pada
zaman dua Dinasti Sòng dan Míng maka mereka disebut juga
Song-Ming Neo-Confucian; (KIK Khonghucu).
Dàxué (大學) 1 Kitab Ajaran Besar; nama salah satu kitab suci yang
tergabung dalam kitab Sìshū (四書, empat kitab yang
utama/pokok dalam agama Khonghucu), di dalamnya
terkandung tuntutan atau ajaran bahwa membina diri adalah
tugas pokok manusia 2 juga bermakna universitas; (KIK
Khonghucu).
Dàzhuàn (大傳) 1 Makalah Besar sebagai bagian dari kitab
Kesusilaan (Lĭjì 禮記) yang berisi tata cara persembahyangan
dan penghormatan di lingkungan kerajaan, kewenangan untuk
menentukan ukuran berat, penanggalan, dan hierarki

184
generasi; (baca kitab Lĭjì XIV); 2 Babaran Agung sebagai salah
satu dari Sepuluh Sayap (Shíyì 十翼) kitab Yìjīng yang ditulis
oleh Nabi Kŏngzĭ, menjadi salah satu acuan utama bagi
pemikiran para filsuf-agamawan Neo-Konfusianisme, berisi
penjelasan dan uraian berbagai hal terkait penafsiran makna
ayat-ayat kitab Yìjīng atau seluruh jalinan sistem yang ada
dalam kitab itu; dikenal juga dengan sebutan Xìcízhuan (繫辭
傳); (baca kitab Yìjīng Babaran Agung A dan B); (KIK
Khonghucu).
Dōngnán Sānxián (東南三賢) Tiga Bijak dari Tenggara (Three
Worthies of the Southeast); julukan bagi tiga serangkai zaman
Dinasti Sòng Selatan (南宋朝 Nánsòng Cháo, 1127 M--1279M)
penganut paham Tiānlǐ (天理, prinsip/hukum Tiān), Lǐ (理,
asas/prinsip), atau Lǐxué (理學, aliran/sekolah asas/prinsip);
yakni: Zhū Xī (朱熹, 1130M--1200M) alias Yuán Huì (元晦), Lü
Zuqian 呂祖謙 (1137M--1181M) alias Lǚ Bógōng 呂伯恭), dan
Zhāng Shì (張栻, 1133M--1180M) alias Zhāng Jìngfū (張敬夫).
Èrchéng (二 程) dua bersaudara Chéng; yakni Chéng Hào (程顥,
1032 M--1085M) dan adiknya Chéng Yí (程頤, 1033 M--M
1107), dua tokoh filsuf-agamawan Neo-Konfusianisme yang
lahir sebelum era Zhū Xī dan yang telah mengembangkan
konsep tentang Lǐ (理 asas/prinsip).
géwù (格 物) meneliti hakikat setiap perkara/segala sesuatu;
tahap pertama (dari total empat tahap) dalam usaha manusia
membina diri, yakni dengan cara mempelajari berbagai kitab
dan berbagai kejadian, sebelum melanjutkan dengan tahapan
lainnya: ‘mencukupkan pengetahuan (zhìzhī 致知),
‘mengimankan/ mentuluskan tekad (chéngyì 誠意)’ dan
meluruskan hati-pikiran (zhèngxīn 正心)’; metode ini juga
menjadi kajian dan cara pembinaan diri kaum Neo-Confucian
(Dàoxuéjiā 道學家); (KIK Khonghucu).

185
Huī Gōng (徽公) Pangerah Huī; gelar yang diberikan kaisar Dinasti
Sòng Selatan (南宋朝Nánsòng Cháo) kepada Zhū Xī pada
tahun 1230M.
jídàchéng (集大成) ‘yang lengkap, besar dan sempurna’; julukan
penghargaan yang diberikan Mèngzĭ (孟子) kepada Nabi
Kŏngzĭ (孔子); julukan yang juga akhirnya telah diberikan
para cendikiawan Tiongkok kepada Zhū Xī (朱熹).
Jīncháo (金朝, 1111M--1224M) kerajaan Jīn; nama kerajaan yang
berasal dari utara Tiongkok yang berhasil menyerbu dan
mengambil sebagaian wilayah Dinasti Sòng (宋朝). Pada
tahun 1234M, Dinasti Jīn ini belakangan ditumbangkan dan
ditaklukkan oleh bangsa Mongol.
jìngzuò (靜坐) duduk diam; salah satu metode pembinaan diri
(sejenis meditasi) dalam aliran pemikiran Neo-Konfusianisme.
Jìnshì (進士) sarjana lanjutan; gelar untuk beberapa lulusan yang
berhasil dalam ujian tingkat kerajaan (nasional) yang
diadakan tiga tahun sekali di ibukota kerajaan pada masa
dinasti-dinasti Tiongkok. Para filsuf-agamawan Neo-
Konfusianisme kebanyakan adalah sarjana lanjutan ini.
Jìnsīlù (近思錄) Catatan Tentang Apa-apa yang Dekat; nama suatu
karya himpunan tulisan pemikiran Neo-Konfusianisme yang
disusun bersama Zhū Xī (宋朱) dan Lǚ Zǔqiān (呂祖謙) pada
zaman Sòng Selatan (南宋 1127M--1279M); disusun pada
1175 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1177M, terdiri
dari 14 jilid; risalah Neo-Konfusianisme pertama yang
merupakan rangkuman pemikiran para filsuf sebelum Zhū Xī.
Yakni: Zhōu Dūnyí (周敦頤), Zhāng Zài (張 載) dan kedua
bersaudara Chéng; yakni Chéng Hào (程顥) dan adiknya Chéng
Yí (程), karya yang disuusun dengan kata-kata sederhana
dengan maksud supaya dapat digunakan sebagai pedoman
sehari-hari (yang mudah) bagi perkembangan pemikiran Neo-

186
Konfusianisme.
Lǐ (理) asas/prinsip; diterjemahkan juga dalam banyak istilah,
seperti: tata-tertib/keteraturan (order), pola/susunan
(pattern), dan sebab/alasan (reason) sebagaimana dalam
karya Wing-tsit Chan: Chu Hsi and Neo-Confucianism; serta
juga sebagai: pertalian/hubungan (coherence), hukum/dalil
(law), bentuk/kondisi (form) dari karya Krummel: Li…Its
Significance and History); sebagai asas/prinsip puncak dari
alam-semesta yang bersifat abstrak, statis, kekal, universal
dan transenden (Bo Mou. Chinese Philosophy A-Z ); namun,
terkait dengan hubungan tak terpisahkan Lǐ (理) dengan Qì (氣
); Profesor Chan berpendapat bahwa Lĭ (理) itu bersifak baik
transenden maupun imanen. (Chan, Chinese Philosophy);
Aksara 理(Lĭ) ini telah mengalami evolusi dari makna awalnya
sebagai kata yang bermakna mengatur atau mengasah batu
permata serta juga pola barik-barik batu permata, lalu lama-
kelamaan dipakai sebagai kata yang menjelaskan alasan
mengapa dan bagaimana suatu benda-hal eksis di alam
semesta, sekaligus menjadi bermakna dan berarti asas/prinsip
dan sumber awal bagi keberadaan segenap benda-hal yang
ada di alam semesta.
liăngyí (兩儀) 1 terminologi penting dalam kitab Yìjīng terkait
penciptaan alam semesta, secara filosofis bermakna dua unsur
atau dua prinsip (yakni positif dan negatif yīn yáng  陰陽)
yang saling berkaitan dan bergerak terus menerus dalam
pembentukan dan perjalanan alam semesta; 2 hasil dan
perwujudan dari Tuhan Yang Maha Tiada Kutub (Wújí 無極)
dan Tuhan Yang Mahakutub (Tàijí 太極), sebagai Mahaawal
dengan hukum (Lĭ 理) dan kebajikan-Nya (dé 德) yang
berprinsip positif dan negatif; (baca kata pengantar kitab Yak
King/Yìjīng halaman xii, dan kitab Yak King/Yìjīng Babaran
Agung A.XI:70 sebagaimana dikutib dalam KIK Khonghucu).

187
Lĭjì (禮記) Catatan Kesusilaan; kitab suci Khonghucu bagian dari
kitab Lĭjìng (禮經), sebagai sub-bagian kitab Wŭjīng (五經,
‘Kitab Yang Lima‘, sebagai kitab yang mendasari agama
Khonghucu), terutama berisikan tentang tata kesusilaan, tata
agama, tata peribadatan, dan tata pemerintahan dinasti kuno
Tiongkok.
lĭxué (理學/理学) 1 ilmu yang mempelajari Lĭ (理
asas/prinsip/hukum) dalam filsafat dan agama Khonghucu
yang dikembangkan oleh para tokoh Neo-Confucian (Dàoxuéjiā
道學家) terutama dari aliran rasional; 2 aliran rasional dari
kaum Dàoxuéjiā (道學家) yang didirikan oleh Chéng Yì (程頤
1033--1107) dan Zhū Xī (朱熹, 1130--1200) dari Dinasti Sòng
(宋朝), paham mereka ini dikenal pula sebagai aliran Chéng-
Zhū lĭxué (程朱理學); (KIK Khonghucu).
Lúnyŭ (論語) nama salah satu kitab suci Konfusianisme, terdiri dari
20 jilid; oleh Zhū Xī (朱熹) digabung dengan tiga kitab lainnya
lalu gabungan itu kemudian disebut kitab Sìshū (四書);
terkandung kumpulan ajaran, kehidupan sehari-hari serta
percakapan Nabi Kŏngzĭ dengan para muridnya; oleh Matakin
diterjemahkan sebagai Sabda Suci; (KIK Khonghucu).
Mèngzĭ (孟子) memiliki dua makna: 1 nama seorang penganut
utama sekaligus penegak ajaran Nabi Kŏngzĭ pada zamannya,
sekaligus salah satu dari sìpèi (四配, empat pendamping Nabi
Kŏngzĭ); beliau bernama asli Mèng Kē (孟軻, 371 SM--289 SM)
dan bergelar wakil nabi atau Yàshèng (亞聖) 2 Kitab Mèngzĭ,
sebagai bagian ‘kitab yang pokok’ dalam jajaran kitab agama
Khonghucu, berisi tulisan Mèngzĭ yang menerangkan sekaligus
menegakkan kembali ajaran Nabi Kŏngzĭ, serta juga
percakana-percakapan beliau dengan murid-muridnya serta
dengan raja-raja/orang yang sezaman dengannya; (KIK
Khonghucu).

188
Nánsòng Cháo (南宋朝, 1127 M--1279M) Dinasti Sòng Selatan;
Dinasti Sòng setelah Tiongkok kehilangan kontrol atas
sebagian Tiongkok bagian utara yang direbut oleh Dinasti Jīn (
金朝 Jīncháo, 1111M--1224M) sehingga ibukota dipindah ke
Lín-ān (臨安; sekarang Hángzhōu), zaman itulah Zhū Xī (朱熹,
1130M--1200M) hidup dan berkiprah mengembangkan Lĭxué.
Qì (氣) ‘tenaga kebendaan/material’ (material force, ada textbook
lain yang menerjemahkannya sebagai psychophysical energy);
semacam tenaga-kebendaan menyerupai napas/udara yang
vital yang merupakan bahan yang amat penting bagi segala
sesuatu; ia dapat bersifat/berada dalam kondisi ringan (yakni
sampai berbentuk spirit/roh) ataupun dapat bersifat/berada
dalam kondisi padat (yaitu benda material); sifat tenaga
kebendaan/material ini dinamis, tidak tetap (transient),
khusus/partikuler serta imanen; (Bo Mou, Chinese
Philosophy A-Z); dalam pemikiran Neo-Konfusianisme Qì (氣)
itu bervariasi maknanya dari abstrak sampai dengan nyata.
rén-yì- lǐ- zhì (仁-義-禮-智) cinta kasih (rén 仁), kebenaran (yì 義),
kesusilaan (lĭ 禮), dan kebijaksanaan (zhì 智); sebagai ‘empat
kebajikan kodrati’ karunia Tuhan bagi tiap manusia yang
wajib untuk diamal-kembangkan dalam perilaku dan
kehidupan (baca kitab Mèngzĭ jilid VIIA); disebut juga sìdé (四
德empat kebajikan).
rényù (人欲) keinginan manusia; yù (keinginan) tidak dilihat
sebagai ‘masalah’ pada sebagian besar tradisi Konfusianisme.
Keinginan manusia tidak pernah diidentifikasi sebagai sumber
kejahatan. Ini menjadi masalah hanya jika keinginan
dipuaskan secara berlebihan. Berlebihan yang seperti itu
digambarkan oleh sebagian besar Neo-Konfusian sebagai
keinginan egois — keinginan yang dimotivasi bukan oleh
kebaikan moral, tetapi akuisisi pribadi; Zhū Xī membedakan
yù (keinginan) dari rényù (keinginan-manusia), bahwa yù

189
sebagai tuntutan material yang tepat untuk kebutuhan dasar
dalam kehidupan manusia dan rényù sebagai pemborosan;
Minum untuk memuaskan dahaga seseorang adalah keinginan
yang sangat diperlukan untuk hidup dan menyesuaikan
dengan Tiānlǐ (天理, asas/prinsip Surgawi atau hukum
Tuhan), sedangkan pencarian kelezatan adalah keinginan
manusia yang berlebihan; Melestarikan asas/prinsip Tiān
dengan membebaskan individu dari keinginan-manusia (cún
Tiānlǐ miè rényù 存天理滅人欲) adalah salah satu slogan
masyur Neo-Konfusianisme; (Taylor and Choy, The Illustrated
Encyclopedia of Confucianism).
Rújiā (儒家) istilah alternatif bagi aliran pemikiran Konfusianisme
(atau kaum literati/ cendekiawan) yang telah berkomitmen
pada tradisi Rú, sebagai aliran pemikiran atau studi yang
berusaha untuk membuat jalan/cara raja bijak kuno berlaku
lagi di dunia masa kini melalui visinya pada harmoni, aturan
kepatutan, nilai ritual, upacara keagamaan, liturgi, serta
kebajikan dan metode pemerintahan yang berdasarkan
kemanusiaan; (Yao Xinzhong).
Sāncái (三才) ‘tiga kekuatan alam semesta’ yakni: Tiān (天 Tuhan,
sorga), dì (地bumi atau alam semesta), dan rén (人manusia);
Ia diartikan ‘tiga hakikat atau tiga kekuatan’, sebagai tiga
unsur atau dimensi dalam teologi agama Khonghucu (Rújiào
儒教), yakni terdiri atas: Tuhan (Tiān 天), bumi/alam semesta
(dì 地) dan manusia (rén 人) sebagaimana terjelaskan dalam
kitab Yìjīng Babaran Agung (Dàzhuàn 大傳) A.II:12 dan
Babaran Agung B.X:63; (Lihat KIK Khonghucu); Ketiga
kekuatan ini bekerja sama dalam kosmos yang dapat disebut
sebagai organik . . . Tiān menghasilkan mereka, dì memberi
makan (menghidupi) dan manusia menyempurnakan.
(Kutipan dari Xinzhong Yao dari kitab Chūnqiū Fánlù Yìzhèng
(春秋繁露義證).

190
Shàngdì (上帝) ‘penguasa tertinggi di atas’; sebutan untuk Tuhan
Yang Mahabesar di tempat Yang Mahatinggi; Khalik Semesta
Alam (langit dan bumi); Tuhan Yang Mahakuasa (baca kitab
Lĭjì III.II:2.17 atau kitab Shūjīng V.IA:6-7 dan Shūjīng
V.IA:10); (Lihat KIK Khonghucu). Shàngdì dianggap sebagai
Tuhan surgawi dari Dinasti Shāng (商朝1766 SM--1122 SM).
Nama itu sendiri berarti penguasa, atau Tuhan di atas, atau
Tuhan yang Tinggi. Istilah yang dipakai untuk mengacu pada
suatu kekuatan transendental di alam ini, kepada siapa
penguasa Dinasti Shāng menyampaikan pujian dan
mempersembahkan pengorbanan dan berbagai ritual dan
upacara lainnya; (Taylor and Choy, The Illustrated
Encyclopedia of Confucianism).
Shījīng (詩經) Kitab Sanjak; salah satu dari kitab Wŭjīng (五經,
kitab yang mendasari dalam agama Khonghucu), berisi
kumpulan sanjak atau teks nyanyian-nyanyian purba (abad 16
SM--7 SM), disebut juga kitab Kuncup Bunga (Pājīng 葩經);
(KIK Khonghucu).
Shinto (神道) ‘jalan suci para roh’; istilah untuk agama agama asli
bangsa Jepang.
Shíyì (十翼) Sepuluh Sayap, Ten Wings; dokumen komentar atau
tafsir kitab Perubahan (Yìjīng 易經) yang terdiri atas sepuluh
bagian, sebagai hasil rumusan atas wahyu yang turun kepada
Nabi Kŏngzĭ melalui ibundanya, berisi uraian yang
menjelaskan segala sesuatu tentang kitab Yìjīng, terdiri dari:
dua buah dokumen ‘Sabda’ (Tuànzhuàn 彖傳 A dan B), dua
buah dokumen ‘Babaran Peta’ (Xiàngzhuàn 象傳 A dan B), dua
buah dokumen ‘Babaran Agung’ (Dàzhuàn 大傳 atau Xìcízhuan
繫辭傳 A dan B), satu dokumen ‘Babaran Rohani’ (Wényán 文
言), satu dokumen ‘Pembahasan Berbagai Heksagram’
(Shuōguà 說卦), satu dokumen ‘Susunan Berbagai Heksagram’

191
(Xùguà 序卦), dan satu dokumen ‘Paduan Berbagai
Heksagram’ (Záguà 雜卦); (KIK Khonghucu).
Shūjīng (書經) Kitab Dokumentasi Sejarah Suci; kitab yang berisi
teks-teks yang berkenaan dengan sabda, peraturan, nasihat,
dan maklumat para raja dan nabi, yang meliputi zaman
Raja/Nabi Táng Yáo (唐堯 2356 SM--2255 SM) dan Yú Shún (
虞舜, memerintah 2255 SM--2205 SM) sampai ke zaman Raja
Muda Qín Mù Gōng (秦穆公, 659 SM--621 SM), sebagai salah
satu bagian dari kitab Wŭjīng (五經, kitab yang mendasari
dalam agama Khonghucu); disebut juga kitab Tarikh (Zàijīng
載經) atau kitab Shàngshū (尚書); (KIK Khonghucu).
Shuōguà (說卦) Pembahasan Berbagai Heksagram; salah satu
bagian dari Sepuluh Sayap (Shíyì 十翼) kitab Yìjīng, ditulis
oleh Nabi Kŏngzĭ, membahas hubungan berbagai guà
(heksagram) yang terdapat dalam kitab tersebut; (KIK
Khonghucu).
sìduān (四端) ‘empat permulaaan atau empat benih’; karunia
Tuhan kepada manusia berupa perasaan-perasaan yang
menjadi permulaan atau benih-benih watak sejati; oleh
Mèngzĭ dijelaskan terdiri atas perasaan berbelas kasih (cèyĭn
zhī xīn 惻隱之心) sebagai benih cinta kasih (atau kemanusiaan
rén 仁), perasaan malu dan tidak suka (xiūwù zhī xīn 羞惡之心
) sebagai benih kebenaran (yì 義), perasaan rendah hati dan
mau mengalah (círàng zhī xīn 辭讓之心) sebagai benih
kesusilaan (lĭ 禮), dan perasaan membenarkan dan
menyalahkan (shìfēi zhī xīn是非之心) sebagai benih
kebijaksanaan (zhì 智); (baca kitab Mèngzĭ IIA:6.1-7); (KIK
Khonghucu).
silhak (實學) aliran nyata; sebutan dalam bahasa Korea untuk
shíxué (實學) yaitu aliran praktis (practical learning) yang

192
diprakarsai oleh tokoh utilitarianis Chén Liàng (陳亮, 1143M--
1194M).
sìxiàng (sё siàng 四象) empat fenomena atau empat peta dasar;
dalam pengertian filosofi ia terkait dengan pembentukan alam
semesta sebagai hasil interaksi/perputaran liăngyí (2
unsur/prinsip), terdiri dari positif tua ++, positif muda +-,
negatif muda -+, dan negatif tua --, ia menjadi peta pokok atau
bahan penyusun keseluruhan 64 buah heksagram pada kitab
Yìjīng (易經), dalam pengertian keimanan ia melambangkan
sifat Tuhan dengan empat sifat kebajikan yuán, hēng, lì, zhēn (
元, 亨, 利, 貞); (baca kitab Yìjīng heksagram urutan ke-1
sebagaimana dikutib dalam KIK Khonghucu).
Sòngcháo (宋朝) Dinasti Sòng (960M--1279M); nama salah satu
dinasti besar dalam sejarah perkembangan Agama Khonghucu
di Tiongkok, pada zaman inilah agama Khonghucu mengalami
revitalisasi dengan mengkristalnya paham Neo-Konfusianisme
oleh kaum Dàoxuéjiā (道學家).
Sòng-Míng Lǐxué (宋明理學) Neo-Konfusianisme zaman Dinasti
Sòng dan Míng; salah satu alternatif sebutan bagi pemikiran
Lǐxué (理 學) yang menyangkut masa pembentukan dan masa
puncak perkebangannya pada Dinasti Sòng dan Míng (宋明朝
時代).
Songnihak (性理學) pengkajian tentang sifat manusia dan
asas/prinsip; sebutan dalam bahasa Korea untuk Xìnglǐxué (
性理學).
Tàijí (太極) Maha Kutub/Mutlak Besar (Great Ultimate, Supreme
Ultimate); lambang Tiān (天, Tuhan Yang Maha Esa) Yang
Mahaada, serta yang menjadi mula dan berpulangnya seluruh
alam dan segenap makhluk. (KIK Khonghucu); Suatu konsep
yang kuno yang menunjuk pada Yang Mutlak dalam
Konfusianisme yang telah ada sebelum zaman Neo-

193
Konfusianisme. Konsep itu terdapat misalnya dalam ‘Sepuluh
Sayap’ kitab Perubahan (Yìjīng) bagian Babaran Agung (大傳
Dàzhuàn).
Tàijítú Shuō (太極圖說 ) penjelasan diagram Tàijí; nama sebuah
artikel pendek oleh Zhōu Dūnyí (周敦頤, 1017 M--1073 M)
dari Dinasti Sòng Utara (北宋朝 Běisòng Cháo, 960--1127M),
merupakan penjelasan yang terperinci untuk Tàijítú (太極圖
diagram Tàijí) yang digambar oleh Zhōu sebagai kerangka
kerja untuk metafisika Neo-Konfusianisme; penjelasan ini
menerangkan asal-usul alam semesta dan moralitas dalam
peristilahan-peristilahan: Tàijí (太極) dan Wújí (無極 Non-
Being Ultimate), Yáng (陽), Yīn (陰), liăngyí (兩儀) wǔxíng (五
行 lima unsur: air, api, kayu, logam tanah), Qián (乾) dan kūn
(坤). Versi yang masih ada ditemukan dalam Zhōu Liánxī Jí (周
濂溪集, Kumpulan Karya Zhōu Liánxī) dan Zhōuzi Quánshū (
周子全書, Karya Lengkap Master Zhōu) yang diedit dan
dikomentari oleh Zhū Xī (朱熹). Bersama dengan komentar
Zhū Xī (朱熹) karya ini telah menjadi landasan teori bagi
Chéng-Zhū Lĭxué (程朱理學aliran/sekolah asas/prinsip Chéng-
Zhū); (Taylor dan Choy, The Illustrated Encyclopedia of
confucianism).
Tàixū (太虛) kekosongan besar (Great Emptiness); konsep Zhāng
Zài (張載) yang dikaitkan dengan kondisi Qì (氣) sebelum
terjadinya proses konsolidasi penjadian alam semesta, dan
dipahami sebagai substansi (tǐ體) kosmogoni.
Tiān (天) 1 sebutan untuk Tuhan YME, khalik semesta alam dan
segenap mahkluk yang diyakini umat Khonghucu; 2 langit;
(KIK Khonghucu). Tiān bermakna sumber segala ciptaan yang
awalnya muncul pada saat Dinasti Zhōu (1122 SM--255 SM)
dan dipahami menyediakan legitimasi bagi kekuasaan kaisar
dengan istilah Tiānmìng (天命 perintah, kehendak, atau

194
mandat Tiān). Tetapi lama kelamaan Tiān semakin dipahami
sebagai kekuatan moral bahkan bermakna alam itu sediri; (Bo
Mou. Chinese Philosophy A-Z ); kecenderungan itu memuncak
pada zaman Neo-Konfuianisme.
Tiāndì (天地) secara harafiah bermakna: langit dan bumi; namun
frasa ini bermakna lebih dalam yakni 1 alam semesta; 2
Tuhan dan segenap benda dan makhluk ciptaan-Nya. (KIK
Khonghucu).
Tiānlǐ (天理) asas/prinsip Tiān atau hukum Tiān; istilah yang juga
disingkat sebagai Lǐ (理) saja, merupakan konsep utama Neo-
Konfusianisme; dilihat sebagai prinsip tata-tertib mutlak
untuk semua hal/benda. Ia hadir dalam makrokosmos dan
mikrokosmos, di alam semesta maupun di dalam diri
individu/manusia. Terdapat perbedaan pemahaman mengenai
lokasinya di dalam diri manusia pada pemikiran dua sayap
Neo-Konfusianisme. Sayap Rasional (The School of Principle)
berpendapat kehadirannya di dalan watak/sifat manusia (xìng
性), sedangkan Sayap Idealis (The School of Heart-Mind)
berpendapat ia berasa dalam hati-pikiran (xīn心) manusia.
Terlepas dari itu, masalah penting adalah bahwa Tiān (天)
hadir dalam dunia atau di seluruh alam semesta. Pada konsep
ini, ada kesepakatan umum di kalangan para Neo-Konfusian
yakni dalam mengidentifikasikan Tiān (天) sebagai Yang-
Mutlak (Absolute). Sejauh Tiān (天) adalah Yang Mutlak, baik
Tiān (天) dalam citra sebagai imanen maupun citra
transenden, Ia tetap merupakan kunci bagi pemahaman
religius tradisi Konfusianisme secara keseluruhan; (Taylor
and Choy, The Illustrated Encyclopedia of Confucianism).
Tiānmìng (天命) ‘firman atau takdir dari Tuhan’; sebutan religius
yang bermakna perintah, kehendak, atau mandat Tuhan YME,
yang dalam diri manusia mewujud sebagai benih-benih
kebajikan atau watak sejati yang menjadi kekuatan sekaligus

195
kewajiban bagi manusia untuk mengembangkan dan
mengamalkannya; (KIK Khonghucu).
Tiānzhǔ (天主) Tuhan yang Kudus; sebutan menyangkut pada
keyakinan umat katolik untuk Bapak Allah, yang oleh Matteo
Ricci (1552M--1610M ) diyakini identik dengan Tiān (天
Heaven, Tuhan) atau Shàngdì (上帝) Konfusianisme.
tiānzĭ (天子) putra Tuhan; predikat atau sebutan yang sering
muncul dalam kitab-kitab suci Konfusian yang dilekatkan
kepada raja/kaisar (huángdì 皇帝) Tiongkok zaman kuno yang
diyakini mendapatkan mandat dari Tuhan YME.
Tohak (道學) studi tentang to/jalan suci; bunyi dalam bahasa Korea
untuk bahasa Tionghoa Dàoxué (道學)
wa (和) harmoni; bunyi dalam dalam bahasa jepang untuk bahasa
Tionghoa hé (和), merupakan ciri-ciri ajaran Khonghucu yang
menjadi paham dominan di Jepang.
wŭ tiānxī (五天錫) lima wahyu; wahyu-wahyu yang menyertai
sejarah perkembangan agama Khonghucu terutama berkaitan
dengan kitab Yìjīng (易經), diimani diturunkan Tuhan kepada
beberapa orang nabi atau raja suci, yakni (1) wahyu Peta
Bengawan (Hétú 河圖) 30 abad SM diterima oleh Nabi Fú Xī (
伏羲), (2) wahyu kitab Sungai Luò (Luòshū 洛書) atau wahyu
Jajaran Pegunungan (Liánshān 連山) 23 abad SM diterima oleh
Nabi Xià Yŭ (夏禹) didampingi Nabi Yì ( 益), (3) wahyu Pulang
Kepada Yang Gaib (Guīcáng 歸藏) 18 abad SM diterima oleh
Nabi Shàng Tāng (商湯) didampingi Nabi Yī Yĭn(伊尹), (4)
wahyu kitab Merah (Dānshū 丹書) 12 abad SM diterima oleh
Nabi Zhōu Wénwáng (周文王) dan dilanjutkan putera ke-
empatnya Zhōu Gōng Dàn (周公旦), (5) wahyu kitab Kumala
(Yùshū 玉書) 5 abad SM yang awalnya diterima oleh ibunda
Nabi Kŏngzĭ (Yán Zhēngzài顏徵在) dan kemudian digunakan

196
Nabi Kŏngzĭ untuk menulis Sepuluh Sayap (Shíyì 十翼); (KIK
Khonghucu).
Wújí (無極) ‘Maha Tanpa Kutub/Kosong’; melambangkan Tiān
(Tuhan Yang Maha Esa) dalam sifat hakikat-Nya yang di luar
jangkauan kemampuan pengertian dan pemikiran manusia,
hanya dapat dihayati dalam keyakinan/iman, tetapi arti Maha
Tanpa Kutub ini sekaligus juga Mahakutub (Tàijí 太極) atau
Tiān (天, Tuhan Yang Maha Esa) dalam sifatnya yang ada);
(KIK Khonghucu). Oleh Zhū Xī (朱熹) dalam memahami karya
Zhōu Dūnyí (周敦頤) Tàijítú Shuō (太極圖說), Wújí ini
dipahami bukan sebagai kekosongan atau sunyata
sebagaimana dalam Taoisme dan Buddhisme, namun hanya
merupakan representasi sifat Tiān yang ‘tidak bersuara dan
tidak berbau (無聲無臭wúshēng wúxiù)’, sebagaimana
penjelasan yang ada dalam kitab Zhōngyōng (中庸XXXII:6).
wǔxíng (五行) lima unsur; elemen-elemen yang eksis di alam
semesta atau dalam kehidupan yang terdiri atas shuĭ (水 air),
huŏ (火 api), mù (木 kayu), jīn (金 logam), dan tŭ (土 tanah);
(baca kitab Shūjīng V.IV.III:5); lima unsur ini sebenarnya
adalah nama sebuah teori yang sering dikaitkan dengan yīn-
yáng (陰陽); teori ini adalah upaya untuk memahami susunan
dan fungsi kosmos dengan menjelaskannya melalui sejumlah
kecil inti atau elemen dasar; Lima unsur ini bukan unsur
materi fisik, melainkan simbol atau modalitas untuk
sekumpulan korespondensi di antara berbagai hal, dan lebih
berfungsi sebagai metafora metafisik daripada sebagai hal-hal
konkret; (Taylor dan Choy, The Illustrated Encyclopedia of
confucianism).
wǔxué bóshì (武學博士) profesor pada akademi militer kerajaan;
suatu jabatan zaman kuno yang juga telah dianugerahkan
kaisar kepada Zhū Xī pada tahun 1163M.

197
Xīmíng (西銘) ‘Prasasti Sebelah Barat’; dokumen karya Zhāng Zài
(張載1020M--1077M) yang sangat dikagumi Zhū Xī, dan
menjadi salah satu dasar falsafah Zhū di bidang moralitas;
Mungkin sebagai tulisan paling terkenal dari seorang Neo-
Konfusian Dinasti Sòng (宋朝); dokumen itu pada mulanya
merupakan bagian dari dokunen induknya Zhèngméng (正蒙,
atau Mengoreksi Kebodohan Pemuda). Awalnya ditulis oleh
Zhāng di jendela barat ruang kuliahnya dan diberi judul
Dìngán (訂頑"Mengoreksi kebodohan), kemudian nama
dokumen ini dikorekasi oleh oleh Chéng Yí (程頤). ‘Prasasti
Barat’ menjadi teks independen ketika Zhū Xī (朱熹) menulis
komentarnya. Baik Chéng Yí maupun Zhū Xī (朱熹) memiliki
minat dan penghargaan yang besar pada karya ini. Chéng
bahkan menggambarkannya sebagai tulisan paling murni
sejak Dinasti Hàn; (Taylor dan Choy, The Illustrated
Encyclopedia of confucianism).
Xīmíng Jiěyì (西銘解義) penjelasan atas karya berjudul Xīmíng
(‘Prasasti Sebelah Barat’ buah karya Zhāng Zài 張載), ditulis
Pada tahun 1172M oleh Zhū Xī (朱熹).
xīn (心) hati-pikiran atau pikiran-hati; istilah kunci dalam
Konfusianisme. Konfusianis pertama yang sangat
mementingkan hati-pikiran adalah Mèngzĭ (孟子Mencius,
371SM--289SM). Mencius berpendapat bahwa perasaan yang
peduli dan berbelas kasih, perasaan malu dan tidak suka,
perasaan mengalah dan sederhana, dan perasaan
membenarkan dan menyalahkan sebagai sìduān (四端‘empat
permulaaan atau empat benih’) dari moralitas/kebajikan
dalam sifat manusia. Jadi Mencius telah mendefinisikan hati-
pikiran itu sebagai ‘hati-pikiran yang berperikemanusiaan
(rénxīn 仁心)’, dan menunjukkan bahwa xīn adalah organ sī (
思pemikiran), sebagai tuan bagi organ perasaan. Sementara

198
seseorang yang mengikuti pikiran-hati adalah manusia
paripurna (jūnzĭ 君子 susilawan), orang yang mengikuti organ
perasaan adalah xiăorén (小人manusia yang berjiwa kerdil).
Neo-Konfusianis Shào Yōng (邵雍, 1011M--1077M)
menyamakan xīn (心) sebagai Tàijí (太極 ‘Maha
Kutub/Mutlak Besar, Great Ultimate), karena itu adalah
sumber (yang menurunkan) segalanya. Zhāng Zāi (張栽,
1020M--1077M), mengedepankan teori bahwa pikiran hati
adalah kesatuan dari xìng (性 watak sejati sifat alamiah) dan
qíng (情emosi atau perasaan). Lù Xiàngshān (陸象山, 1139M--
1193M), Zhū Xī (朱熹, 1130M--1200M) mewarisi teori Zhāng
dan menjelaskan bahwa pikiran hati meliputi sifat yang tidak
bergerak dan perasaan yang tergerak. Saingan Zhū: Lù
Xiàngshān (陸象山, 1139M--1193M) telah mengidentifikasi
xīn (心) dengan Lǐ (理 asas/prinsip) dan menganggap hati-
pikiran sebagai anugerah Tiān (天Tuhan, surga) kepada
semua orang. Ajaran ini meletakkan dasar bagi pemikiran
Xīnxué (心 學 aliran/sekolah hati-pikiran); (Taylor dan Choy,
The Illustrated Encyclopedia of confucianism). Hati-pikiran juga
mengacu pada alat yang memiliki kemampuan yang
berhubungan dengan kemampuan untuk memotivasi dan
menuntun manusia yang merupakan paduan atau campuran
emosi (perasaan) dan pikiran (rasionalitas); (Bo Mou. Chinese
Philosophy A-Z ).
xìng běn shàn (性本善) watak sejati (sifat asli) itu baik; sebagai
salah satu pandangan filsafat dan religi Konfusianisme,
menjadi paham atau teori utama Mèngzĭ (孟子, 372 SM--479
SM) yang kemudian menjadi paham mainstream
Konfusianisme, paham yang juga dianut oleh hampir semua
filsuf-agamawan Neo-Konfusian.
xíng ér shàng (形而上) ‘sebelum bentuk fisik’ atau metafisikal;

199
istilah yang dipakai untuk asas/prinsip yang mengacu pada
Dào (道) yang dan merupakan dasar/akar dari segala yang
diciptakan; frasa ini awalnya terdapat dalam dalam kitab
Yìjīng (易經) terkhususnya dalam bagian Babaran Agung
(Dàzhuàn 大傳) (A).B:78.
xíng ér xià (形而下) ‘setelah berbentuk’ atau fisikal; istilah yang
dipakai untuk objek material sesudah berbentuk fisik;
menurut kitab Yìjīng inilah instrumen/alat atau materi (qì 器)
sebagai sumber semua benda/hal dihasilkan; frasa ini awalnya
terdapat dalam kitab Yìjīng (易經) terkhususnya dalam bagian
Babaran Agung (Dàzhuàn 大傳) (A).B:78.
xìng jí lǐ (性即理) ‘asas/prinsip sama dengan watak sejati/sifat
asli’; suatu doktrin utama Zhū Xī menyangkut hubungan
asas/prinsip dengan moralitas manusia, menjadi salah saatu
doktrin utama dalam Neo-Konfusianisme sayap rasionalisme.
Xuánxué (玄學) Mysterious Learning pembelajaran/studi misterius;
suatu term terkait gerakan Daoisme filosofis di abad ke dua
sampai ke enam Masehi, yang kadang-kadang disebut Neo-
Daoisme; Dibawakan oleh para filsufnya antara lain: Wáng Bì
(王弼) Dan Guō Xiàng (郭象) dengan kecenderungan
mendekatkan atau menggabungkan pemikiran Daoisme
dengan pemikiran Konfusianisme; (Taylor dan Choy, The
Illustrated Encyclopedia of confucianism).
Yìjīng (易經) Kitab Perubahan/Kejadian dan Peristiwa Alam
Semesta; sebagai salah satu kitab suci yang tergabung dalam
kitab Wŭjīng (五經, kitab yang mendasari agama Khonghucu),
mengandung penjelasan tentang delapan trigram (bāguà 八卦
) dan kombinasinya yakni 64 heksagram (liùshísì guà 六十四
卦), dikenal pula dengan sebutan kitab Xījīng (羲經).
Yīncháo (殷朝) Dinasti Yīn (1766 SM--1122 SM); salah satu dinasti
besar dalam sejarah Agama Khonghucu di Tiongkok yang

200
didirikan oleh Nabi Chéng Tāng ( 成湯); nama lain dari Dinasti
Shàng (商朝); dalam dinasti ini muncul suatu konsep untuk
sesuatu yang Mutlak dalam Agama Khonghucu yakni Tuhan
Yang Maha Tinggi (Shàngdì 上帝).
yǒuji{o wúlèi (有教無類 ) ‘ada pendidikan tiada perbedaan’ atau
‘dalam pendidikan tak ada diskriminasi’; sebagai hal yang
dicitakan Nabi Kŏngzĭ terkait dunia pendidikan bahwa
pendidikan itu harus dapat dinikmati oleh semua orang, oleh
PBB (United Nation) semangat ini diadopsi dengan semboyan
yang populer ‘education for all’ .
Yóuxī (尤溪) nama kapubaten tempat kelahiran Zhū Xī (朱熹) yang
berada di propinsi Fújiàn (福建) Tiongkok Tenggara.
zh{nbǔ (占卜) bentuk kegiatan berkomunikasi dan memohon
petunjuk kepada Tuhan dan atau kepada para roh suci
(shénmíng 神明) sesuai tuntunan kitab Yìjīng (易經) dengan
heksagram-heksagramnya, biasanya dilakukan di hadapan
altar atau ruang sembahyang yang wajib didahului dengan
persiapan hati dan dengan berpantang atau bersuci diri paling
tidak selama satu atau bisa juga beberapa hari, metode yang
dipakai adalah dengan mengkaji arti guratan atau retakan
batok kura-kura (guījiă 龜甲) yang sebelumnya ditusuk logam
panas; (KIK Khonghucu).
Zhànguó Cè (戰國策) teks Tionghoa kuno yang berisi pemaparan
tentang strategi dan peperangan politik selama periode
negara-negara berperang (zhàn-guó shídài 戰國時代), suatu
buku yang menggambarkan strategi dan pandangan politik
Sekolah Diplomasi pada zaman itu.
zhèngxīn (正心) meluruskan hati-pikiran;
menempatkan/meluruskan/ mengoreksi hati-pikiran secara
tepat’; sebagai salah satu tahapan pembinaan diri sesuai yang
dibimbingkan di dalam kitab Dàxué (大學), untuk mencapai

201
ke arah itu wajib pula diawali beberapa langkah awal antara
lain ‘meneliti hakikat tiap perkara’ (géwù 格物),
‘mencukupkan pengetahuan’ (zhìzhī 致知), dan
‘mengimankan/mentuluskan tekad’ (chéngyì 誠意);(KIK
Khonghucu).
zhìzhī (致知) mencukupkan pengetahuan’; sebagai tahap kedua
(dari total empat tahap) dalam pembinaan diri manusia
(setelah ia mampu melewati tahap awal yakni ‘meneliti
hakekat setiap perkara géwù (格物)’; melakukan
‘mencukupkan pengetahuan’ ini ditempuh dengan cara
memperdalam dan memperluas pengetahuan, sebelum
memasuki tahapan lanjutannya yakni
‘mengimankan/mentuluskan tekad (chéngyì 誠意)’ dan
‘meluruskan hati-pikiran (zhèngxīn 正心)’; ‘mencukupkan
pengetahuan’ ini juga menjadi salah satu metode pembinaan
diri kaum Neo-Konfusian aliran rasional Chéng-Zhū Lĭxué (程
朱理學); (KIK Khonghucu).
Zhōulĭ (周禮) Kitab Kesusilaan Dinasti Zhōu (周朝); sebagai kitab
suci yang berisi tata kesusilaan dan tata negara Dinasti Zhōu
(周朝, 1122 SM--255 SM) sebagai bagian dari kitab Lĭjīng (禮
經), ditulis terutama oleh Nabi Zhōu Gōng Dàn (周公旦).
Zhōucháo (周朝) Dinasti Zhōu, 1122 SM--255 SM; satu dinasti
urutan ketiga dalam sejarah panjang Agama dan Filsafat
Tiongkok, sebagai dinasti Tiongkok dengan kurun masa yang
terpanjang, saat itu hidup banyak nabi-nabi besar agama
Khonghucu selain Nabi Kŏngzĭ, antara lain: Nabi Wén W|ng
(文王) dan Nabi Zhōu Gōng (周公); (KIK Khonghucu).
Zhū Xī (朱熹) nama tokoh terpenting kaum Dàoxuéjiā (道學家 yang
oleh orang Barat dinamakan kaum Neo-Confucian) beraliran
rasionalisme (lĭxué 理學) dari zaman Dinasti Sòng Selatan (南
宋朝, Nánsòng Cháo 1127 M--1279M), belau hidup pada

202
tahun 1130M—1200M, nama aliasnya Yuán Huì (元晦); (KIK
Khonghucu).
Zhūzi Quánshū (朱子全書) Karya Lengkap Mahaguru Zhū;
kumpulan pemikiran Zhū Xī (朱熹) yang dikompilasi oleh Lǐ
Guāngdì (李光地 ) dan Xióng Cìlǚ (熊賜履); Karya ini disusun
pada zaman Dinasti Qīng (清朝, 1644M--1911M) pada tahun
1714M atas perintah penguasa dinasti tersebut.
Zhūzi Xíngzhuàng (朱子行狀, kadang disingkat Xíngzhuàng 行狀
saja); judul buku yang otentik dan terdini sebagai sumber
primer riwayat kehidupan Zhū Xī (朱熹, 1130M--1200M),
ditulis murid terkasih sekaligus menantu Zhū: Huáng Gàn (黃
榦, 1152M--1221M).
Zhūzǐ Yǔlèi (朱子語類) Percakapan Mahaguru Zhū Yang Tergolong-
golongkan; Kumpulan tulisan-tulisan Zhū Xī (朱熹) yang
terdiri dalam 140 bab/gulungan yang dihimpun para murid
Zhū; Karya ini pertama kali dikompilasi sejak tahun 1263M
oleh Lí Jìngdé (黎靖德) dan terbit tahun 1270M di zaman
Dinasti Sòng (宋朝).
zūn déxìng (尊德性) ‘memuliakan kebajikan dan watak sejati’;
frasa yang berasal dari kitab Zhōngyōng (中庸) XXVI:6 yang
menjadi pegangan utama konsep pemikiran filsuf-agamawan
Neo-Konfusian sayap idealisme: Lù Xiàngshān.
Zuŏzhuàn ( 左傳) tafsir Zuŏ; merupakan adalah kitab tafsir atas
kitab Chūnqiūjīng (春秋經) yang ditulis oleh Zuŏ Qiūmíng (左
丘明) seorang murid sekaligus sahabat Nabi Kŏngzĭ, yang juga
penulis kitab catatan sejarah untuk berbagai wilayah Dinasti
Zhōu (周朝) yang dinamai kitab Guóyŭ (國語); merupakan
tafsir yang paling serasi dengan kitab Chūnqiūjīng (春秋經), di
dalamnya berisi penilaian dan cerita-cerita yang lebih luas
dari kitab Chūnqiūjīng sendiri; (KIK Khonghucu).

203
Biodata Penulis

Penulis: Vekky Mongkareng, lahir di kota Amurang


kabupaten Minahasa Selatan provinsi Sulawesi Utara pada 11 Juni
1969 (27/4/2520 Kǒngzilì). Tamat Sekolah Dasar di SDRK Mater
Dei Amurang pada 1982, SMP Katolik Aquino Amurang pada 1985,
SMA Katolik Aquino Amurang pada 1988. Penulis melanjutkan studi
di Fakultas Teknik Sipil Jurusan Struktur dan Geoteknik Universitas
Sam Ratulangi Manado, Ibukota Provinsi Sulawesi Utara, dan selesai
di awal 1999. Penulis kemudian aktif berkebaktian di Makin
(Majelis Agama Khonghucu Indonesia) Amurang dan di-lìyuàn
sebagai Ji{oshēng (rohaniwan muda Agama Khonghucu) di Makin
Manado pada November 1999.
Penulis hijrah ke ibukota Jakarta pada Februari 2001 dan
langsung bekerja di suatu perusahan developer Real Estate Duta
Pertiwi Tbk. Group (kini: Sinarmasland) hingga Maret 2015. Pada
April 2015 hingga kini penulis bekerja di PT. Galuh Citarum sebuah
developer Real Estate yang juga berkantor pusat di Jakarta.
Dalam pada itu, pada Desember 2008 penulis di-lìyuàn
sebagai Wénshì (rohaniwan madya Agama Khonghucu) di Makin
Jakarta Pusat. Selama berada di Jakarta penulis juga berkiprah di
Makin Jakarta Barat, Makin Jakarta Timur (Kǒngmi{o TMII),
Matakin Pusat dan Matakin Prov. DKI Jakarta, dengan tugas-tugas
pada bidang peribadahan.
Pada tahun 2012 atas beasiswa Kemenag RI melalui Matakin
penulis berkesempatan melanjutkan studi ke Prodi Magister
Perbandingan Agama Konsentrasi Agama Khonghucu di Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis dan istri serta dua orang anak sekarang ini tinggal di
kelurahan Kembangan Utara Kodya Jakarta Barat, dan dapat
dihubungi melalui kontak email: vlinchangqi@gmail.com.

204
Zhū Xī (朱熹, 1130 M--M 1200 M): eksponen terpenting gerakan Neo-
Konfusiansme khususnya dalam sayap rasionalnya. Peran beliau tidak
terbatas pada keberhasilannya memadukan konsep-konsep filsafat
dan agama seperti Tiān (天), xìng (性) dan rén (仁) Konfusius dan
Mencius dengan konsep-konsep penting para filsuf Neo-Konfusian
zaman Dinasti Sòng Utara (yakni: konsep Tàijí 太極 Zhōu Dūnyí,
konsep Qì 氣 Zhāng Zài, dan konsep Lǐ 理 Chéng Hào 程顥 dan Chéng
Yí 程頤) menjadi satu sistem filsafat dan agama yang solid. Zhū Xī
juga berhasil membawa kajian Lǐ (=hukum, asas/prinsip, pola
keteraturan kosmik) menjadi pemikiran utama Neo-Konfusianisme.
Pemikiran yang juga meluas ke beberapa negara lain.
Dalam buku ini akan diutarakan pemikiran kosmogoni Zhū Xī yang
memandang Tàijí (太極) Zhōu sebagai abstrak saja dan diidentikkan
dengan Lǐ (理) Chéng bersaudara. Zhū juga tetap memahami bahwa
Lǐ (理) adalah asal-mula alam semesta. Namun beliau lanjut
berpendapat bahwa ringkasan segenap ciptaan dan alam semesta ini
tidak lain daripada Lǐ (理). Jika terdapat sesuatu maka terdapatlah Lǐ
(理). Hanya ada satu Lǐ (理), namun sekaligus juga Lǐ (理) itu banyak.
Perbedaan utama segenap ciptaan ada pada Qì (氣). Namun Qì (氣)
Zhū Xī berbeda dengan Qì (氣) Zhāng Zài. Menurut Zhū, Qì (氣)
sifatnya individual, konkrit/fisikal dan menjadi bentuk (fisik) segala
sesuatu (hal/manusia/benda); sedangkan Lǐ (理) itu abstrak, universal
(satu) sekaligus individual (banyak) dan menjadi asas atau hukum
(metafisik) segala sesuatu. Meski Lǐ (理) dan Qì (氣) dua entitas yang
berbeda namun mereka tidak mungkin dan tidak dapat dipandang
sebagai terpisah. Keduanya eksis menyatu dalam segala sesuatu. Zhū
Xī juga berpendapat bahwa secara logis Lǐ (理) mendahului Qì (氣),
namun bukan dalam pengertian tempo/waktu.

205

Anda mungkin juga menyukai