Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH ULUMUL HADITS

Mampu Memahami subtansi dari matan \redeaksi hadits

DOSEN PENGAMPU:

AHMAD IDHOFI,S.Pd.I.,M.Pd.

Disusun Oleh:

Hardika saputra

Saipul hamdilah

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

INSTITUT UMMUL QURO AL-ISLAMI BOGOR

2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang melimpahkan
rahmat serta inayah-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan penulisan makalah Ulumul
Hadits berjudul Mampu memahami subtansi dari matan \ redaksi ini,dan tidak lupa kami
ucapkan terimaksih kepada teman teman yang berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini. Hal
ini dengan tujuan untuk membantu para mahaiswa untuk mengetahui, memahami, bahkan
menerapkannya.
Namun demikian dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan
kritik dari berbagai pihak sangat diharapkan.
Semoga yang tersaji dapat memberikan bantuan kepada para mahasiswa dalam
menyelenggarakan proses belajar mengajar di kampus, aamiin

Bogor,28 juni 2021

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................1
DAFTAR ISI.......................................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................3
A. Latar Belakang.............................................................................................................3
B. Rumusan Masalah........................................................................................................3
C. Tujuan Masalah............................................................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN.....................................................................................................4
A. Pemahaman hadits secara tekstual...............................................................................4
B. Pemahaman hadits secara kontekstual.........................................................................5

BAB 3 PENUTUP...............................................................................................................10
A. Kesimpulan................................................................................................................10
Daftar Pustaka......................................................................................................................11

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai umat islam wajib hukumnya berpedoman kepada Al-Qur'an dan juga Al-Hadits,
dikarenakan Al-Qur’an maupun Al-hadits termasuk wahyu Allah. Semua yang dikatakan oleh
Nabi Muhammad ialah suatu kebenaran, tidak ada satupun ucapan Nabi yang berdusta. Allah
SWT selalu menjaga Nabi baik lisannya maupun perilakunya. Tidak heran jika Nabi dijadikan
suru tauladan. Akhlaknya Nabi tercermin pada kitab yang mulia yang sampai sekarang tetap
terjaga yaitu Al-Qur’an.
Seperti diketahui, Al-Qur'an sendiri diterima secara mutawatir, sedangkan Hadits Nabi,
periwayatannya ada yang secara mutawatir dan ada juga yang secara ahad. Para pakar ilmu
hadits sangat memperhatikan sanad dan matannya. Sanad dan matan merupakan bagian yang
tidak bisa saling dipisahkan.
Hadits tanpa adanya sanad yang tersambung, tidak akan bisa diterima, begitu sebaliknya, hadits
tanpa adanya matan yang jelas, juga tidak bisa dijadikan hujjah. Maka dari itu begitu pentingnya
untuk mengetahu sebuah hadits Rasulullah SAW melalui penelitian perawi-perawi hadits, yang
dimulai dari sahabat, para tabiin dan tabaqat sesudahnya. Berangkat dari problematika-
problematika diatas, perlunya di bahas mengenai hadits-hadits shaih, hasan, dhaif. Agar bisa
membedakan hadits yang maqbul dan mardud.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa tujuan kita memahami subtansi dari matan ?
2. bagai mana caranya memahami redeaksi hadits?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pemahaman hadits secara tekstual
2. Untuk mengetahui pemahaman hadits secara kontekstual

3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pemahaman Hadis secara Tekstual
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tekstual mengandung makna naskah yang berupa.
a. Kata-kata asli dari pengarang
b. Kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan
c. Bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan lain lain.
Berdasarkan asal kata tekstual di atas, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan
pemahaman hadis secara tekstual adalah memahami hadis berdasarkan makna lahiriah, asli, atau
sesuai dengan arti secara bahasa.
Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang tersurat pada redaksi (matan) hadis dipahami sesuai
dengan makna lughawi-nya, sehingga langsung dapat dipahami oleh pembaca. Cakupan makna
dan kandungan pesan yang ingin disampaikan oleh hadis dapat ditangkap oleh pembaca hanya
dengan membaca teks (kata-kata) yang terdapat di dalamnya. Karena makna-makna tersebut
telah dikenal dan dipahami secara umum dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa pemahaman hadis dengan cara seperti ini dapat dikategorikan sebagai salah
satu pendekatan pemahaman hadis yang paling sederhana dan mendasar. Karena hanya dengan
membaca lafaz hadis dan memahami makna lughawi-nya pembaca dapat menarik pemahaman
dan gagasan ide yang dimiliki hadis.
Bila diklasifikasikan menurut bentuk matan-nya, maka hadis-hadis yang dapat dipahami dengan
pendekatan ini adalah hadis-hadis yang bersifat jawȃmi' al-kalȃm yaitu ungkapan yang singkat
namun mengandung makna yang padat. Di antara contoh hadis tersebut ialah hadis yang
menjelaskan tentang “perang itu adalah siasat”, seperti berikut:
- ‫ال َس َّمى النَّبِ ُّى‬َ َ‫ ق‬- ‫ رضى هللا عنه‬- َ‫َح َّدثَنَا َأبُو بَ ْك ِر بْنُ َأصْ َر َم َأ ْخبَ َرنَا َع ْب ُد هَّللا ِ َأ ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر ع َْن هَ َّم ِام ْب ِن ُمنَبِّ ٍه ع َْن َأبِى هُ َر ْي َرة‬
ً
2 ‫ب ُخ ْد َعة‬ ْ
َ ْ‫ ال َحر‬- ‫]صلى هللا عليه وسلم‬
Artinya:"Abu Bakar bin Ashram telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah telah
mengkabarkan kepada kami, Ma’mar telah mengkabarkan kepada kami dari Hammam bin
Munabbih dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw. berkata:”Perang itu adalah siasat".

Pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap
perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal serta tidak
terikat oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja
pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama saja dengan menyatakan takluk kepada
lawan tanpa syarat.

2. Pemahaman Hadis secara Kontekstual


Sebagaimana halnya al-Quran yang ayat-ayatnya turun dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa
(baik berupa kasus atau pernyataan sahabat) atau situasi tertentu yang lazim disebut dengan
asbȃb al-nuzȗl, begitu juga halnya dengan hadis-hadis Rasulullah Saw. Di antaranya ada yang
muncul dengan dilatar- belakangi oleh suatu peristiwa atau situasi tertentu yang lazim disebut
asbab wurȗd al-hadȋs, yang dalam tulisan ini disebut dengan konteks.
Memahami hadis dengan pendekatan tekstual ternyata tak selamanya mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang muncul di tengah masyarakat, sehingga memunculkan kesan bahwa
sebagian hadis Rasulullah Saw. terkesan tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan dan
tak mampu mewakili pesan yang dimaksud oleh Rasulullah Saw.
Pemahaman hadis dengan menggunakan pendekatan kontekstual yang dimaksud di sini adalah
memahami hadis-hadis Rasulullah Saw. dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya
dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut atau dengan
perkataan lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.
Dari pengertian di atas, ada dua cara yang dapat digunakan dalam memahami hadis dengan
pendekatan kontekstual, yaitu:

a. Analisis terhadap kata-kata yang terdapat dalam teks


Dalam kaitannya dengan hadis, maka konteks di sini berarti bagian kalimat hadis yang dapat
menambah dan mendukung kejelasan makna. Dengan menganalisa dan memahami lebih dalam
kata demi kata dalam matan hadis tersebut akan membantu untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih jelas.

b. Situasi yang ada hubungannya dengan kejadian


Dalam istilah hadis, situasi yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis disebut dengan asbab
wurȗd al-hadȋs yang disebut juga dengan konteks. Dengan demikian, memahami hadis Rasul
yang muncul lebih kurang 14 abad yang silam tidak bisa dicukupkan hanya dengan memahami
teks atau redaksi hadis dari sudut gramatika bahasa saja. Akan tetapi lebih jauh harus disertai
dengan kajian tentang keterkaitannya dengan situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis
tersebut (asbab al-wurȗd) secara khusus atau dengan memperhatikan konteksnya secara umum.

Mengkaji asbȃb al-wurȗd dalam memahami hadis sangat membantu untuk memperoleh makna
yang lebih representative, sehingga kesalahpahaman terhadap hadis Nabi Saw. dapat
dihindarkan. Sekaligus dapat dijadikan pisau analisis untuk menentukan apakah hadis tersebut
bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, nasakh atau mansȗkh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa menggunakan asbȃb al-wurȗd sebagai pisau analisis dalam
memahami hadis Rasulullah Saw. mampu menyibak tabir rahasia dari makna sebuah hadis,
sehingga kekhawatiran terhadap penilaian bahwa adanya hadis Nabi Saw. yang tidak up to date
dapat dihindari. Inilah di antara pentingnya fungsi asbȃb al-wurȗd dalam kajian hadis ini.

Akan tetapi fakta yang tak dapat dipungkiri adalah di samping banyaknya hadis yang memiliki
asbȃb al-wurȗd yang jelas, juga terdapat hadis yang tidak memiliki latar historis yang khusus.
Oleh karena itu, untuk memahami hadis kategori kedua ini Said Agil Husin al-Munawar
menawarkan untuk menganalisis pemahaman hadis dengan menggunakan pendekatan historis,
sosiologis, antropologis bahkan pendekatan psikologis.

Pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau
gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis
kultural yang mengitarinya. Adapun pendekatan sosiologis adalah memahami hadis Rasulullah
Saw. dengan mengkaji kondisi dan situasi masyarakat saat munculnya hadis tersebut.
Sedangkan pendekatan antropologis yaitu dengan memperhatikan terbentuknya hadis pada
tataran nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. Pedekatan selanjutnya adalah
pendekatan psikologis, dimana dengan pendekatan ini memahami hadis Rasulullah Saw. dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan psikis Nabi Saw. dan masyarakat,
khususnya sahabat yang dihadapi Nabi Saw. yang turut melatarbelakangi munculnya hadis.

Aplikasi pemahaman hadis dengan pendekatan historis-sosiologis-antropologis adalah seperti


hadis berikut:
‫صلَّى‬ َ ‫ار فَ َجا َء النَّبِ ُّي‬
ِ ‫ص‬َ ‫ت َر ُج ٍل ِم ْن اَأْل ْن‬ ِ ‫ال ُكنَّا فِي بَ ْي‬ َ َ‫س ق‬ ٍ َ‫ي ع َْن َأن‬ ِ ‫َح َّدثَنَا َو ِكي ٌع َح َّدثَنَا اَأْل ْع َمشُ ع َْن َس ْه ِل َأبِي اَأْل َس ِد ع َْن بُ َكي ٍْر ْال َجز‬
ِّ ‫َر‬
‫ك َما ِإ َذا ا ْستُرْ ِح ُموا َر ِح ُموا َوِإ َذا‬ َ ِ‫ق َولَ ُك ْم ِم ْث ُل َذل‬ ٍ ‫ب فَقَا َل اَأْلِئ َّمةُ ِم ْن قُ َر ْي‬
ٌّ ‫ش َولَهُ ْم َعلَ ْي ُك ْم َح‬ ِ ‫ضا َد ِة ْالبَا‬
َ ‫هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َحتَّى َوقَفَ فََأ َخ َذ بِ ِع‬
َ‫اس َأجْ َم ِعين‬
ِ َّ‫][ َح َك ُموا َع َدلُوا َوِإ َذا عَاهَدُوا َوفَّوْ ا فَ َم ْن لَ ْم يَ ْف َعلْ َذلِكَ ِم ْنهُ ْم فَ َعلَ ْي ِه لَ ْعنَةُ هَّللا ِ َو ْال َماَل ِئ َك ِة َوالن‬

Artinya:" Waki’ telah menceritakan kepada kami, A'masy telah menceritakan kepada kami dari
Sahl Abi al-Asad dari Bukair al-Jazariy dari Anas berkata:”kami berada di rumah salah seorang
Anshar, lalu Nabi Saw. datang, kemudian berdiri membelakangi pintu lalu bersabda:"Pemimpin
itu dari suku Quraisy, dan mereka mempunyai hak atas kamu sekalian dan kamu juga
mempunyai hak atas mereka. Dalam beberapa hal mereka dituntut untuk berlaku santun, maka
mereka berlaku santun. Jika mereka berjanji, mereka tepati. Kalau ada dari kalangan mereka
yang tidak berlaku demikian, maka orang itu akan memperoleh laknat dari Allah, malaikat dan
umat manusia seluruhnya".

Ibnu Hajar al-'Asqalaniy telah membahas hadis tersebut secara panjang lebar. Dikatakan bahwa
tidak ada seorang ulama pun kecuali dari kalangan Mu'tazilah dan Khawarij yang membolehkan
jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Dalam sejarah
memang telah ada para penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah, padahal mereka
bukanlah dari suku Quraisy. Menurut pandangan ulama, sebutan khalifah tersebut tidak dapat
diartikan sebagai kepala negara (al-imȃmah al-'uzhma).

Menurut al-Qurthubiy, kepala negara disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu
saat orang yang bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi
kepala negara.
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas dan semakna dengannya dalam sejarah telah
menjadi pendapat umum ulama, dan karenanya telah menjadi pegangan para penguasa dan umat
Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut dikemukakan oleh
Nabi Saw. dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan berlaku secara universal.

Apabila kandungan di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi Saw., maka dapatlah dikatakan
bahwa pada saat hadis itu dinyatakan, Nabi Saw. berada dalam fungsinya sebagai kepala negara
atau pemimpin masyarakat. Yang menjadi indikasi (qarinah) antara lain adalah ketetapan yang
bersifat primordial. Yakni sangat mengutamakan orang suku Quraisy. Hal ini tidak sejalan
dengan petunjuk al-Qur'an misalnya yang menyatakan bahwa orang yang paling utama
dihadapan Allah Swt. adalah orang yang paling bertaqwa.
Jadi, hadis ini dikemukakan Nabi Saw. sebagai ajaran yang bersifat temporal.
Pemahaman hadis seperti ini lebih kontekstual, akomodatif dan dinilai lebih komunikatif dengan
perkembangan zaman. Karena memahami hadis Rasulullah Saw. dengan pendekatan sosiologis,
antropologis dan psikologis terkesan lebih lentur dan elastis. Akan tetapi, tentu dengan tujuan
tetap mempertahankan ruh, semangat, dan nilai yang terkandung di dalam hadis tersebut. Seluruh
ijtihad para ulama ini adalah dengan satu tujuan yaitu untuk menjaga keorisinilan hadis Nabi
Saw. terutama dari sudut pemahamannya dan agar tujuan syari'at (maqȃshid al-syarȋ'ah) sebagai
rahmatan lil 'ȃlamȋn dapat dicapai.

Pendekatan pemahaman hadis secara kontekstual seperti ini sebenarnya sudah lama diterapkan
oleh Imam al-Syafi'iy dalam menjelaskan hadis-hadis mukhtalif. Menurutnya faktor penyebab
timbulnya penilaian suatu hadis bertentangan dengan lainnya adalah karena tidak mengetahui
asbȃb al-wurȗd suatu hadis, atau dengan kata lain karena tidak memperhatikan konteksnya..
Dengan demikian, jelaslah bahwa memahami hadis dengan memperhatikan konteksnya tidak
saja dapat mengantarkan penemuan maksud hadis yang lebih representatif melainkan juga
menemukan pengompromian atau penyelesaian hadis yang dinilai kontradiksi, sehingga hadis
dapat dipahami sesuai dengan perkembangan zaman.
Sebagai seorang pemerhati dan juga termasuk salah seorang ahli hadis, Yusuf al-Qaradhawiy
turut menawarkan cara untuk memahami hadis selain yang telah dipaparkan di atas. Menurutnya,
untuk memahami hadis dengan baik adalah dengan cara.
a. Memahami sunnah dengan isyarat atau petunjuk al-Quran
b. Mengimpun hadis-hadis setema
c. Kompromi atau tarjih terhadap hadis-hadis kontradiktif
d. Memahami hadis dengan situasi dan kondisi serta tujuannya
e. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap
f. Membedakan hakikat dan majazi
g. Membedakan antara yang nyata dan yang ghaib
h. Memastikan makna kata-kata dalam hadis
Langkah-langkah dalam memahami hadis yang diterapkan oleh Yusuf al-Qaradhawiy ini juga
dipakai oleh ulama lain seperti Muhammad al-Gazaliy yang beliau tuangkan dalam bukunya
Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Judul asli: al-
Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadȋs, penerjemah: Muhammad al-Baqir).

Adapun pendekatan lain yang tak kalah pentingnya dalam memahami hadis, terutama hadis-
hadis ahkam (hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum syari'at) adalah pendekatan kaidah
ushul, yaitu memahami hadis-hadis Rasulullah Saw. dengan memperhatikan dan mempedomani
ketentuan atau kaidah-kaidah ushul terkait yang telah dirumuskan oleh para ulama. Hal ini perlu
mendapat perhatian, karena untuk memahami maksud suatu hadis atau untuk dapat meng-
istinbath-kan hukum-hukum yang dikandungnya dengan baik, erat kaitannya dengan kajian ilmu
ushul.

Pendekatan dengan memperhatikan kaidah ushul ini telah dipraktekkan oleh Imam al-Syafi'iy
dalam menyelesaikan permasalahan pemahaman hadis-hadis mukhtalif.
Usaha memahami hadis Nabi Saw. ternyata menghembuskan angin segar di kalangan ulama,
karena mereka laksana mendapatkan ilham dan sekaligus telah membuka wacana pemikiran bagi
intelektual muslim hingga abad ini. Berbagai upaya dan ijtihad dilakukan untuk memahami hadis
dengan baik dan menghasilkan pemahaman yang benar. Semua usaha tersebut dilakukan dengan
tujuan untuk menjaga keorisinilan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam dan panduan
dalam kehidupan

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan asal kata tekstual di atas, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan
pemahaman hadis secara tekstual adalah memahami hadis berdasarkan makna lahiriah, asli, atau
sesuai dengan arti secara bahasa.
Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang tersurat pada redaksi (matan) hadis dipahami sesuai
dengan makna lughawi-nya, sehingga langsung dapat dipahami oleh pembaca.

Sebagaimana halnya al-Quran yang ayat-ayatnya turun dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa
(baik berupa kasus atau pernyataan sahabat) atau situasi tertentu yang lazim disebut dengan
asbȃb al-nuzȗl, begitu juga halnya dengan hadis-hadis Rasulullah Saw. Di antaranya ada yang
muncul dengan dilatar- belakangi oleh suatu peristiwa atau situasi tertentu yang lazim disebut
asbab wurȗd al-hadȋs, yang dalam tulisan ini disebut dengan konteks.

DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2001M), h.916
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismȃ’ȋl al-Bukhȃriy, Op. Cit., h. 579. Kitab: Al-Jihȃd, Bab: al-Harb Khad’ah,
Hadis no. 3029

Syuhudi Ismail, Op.Cit., h. 11

istilah konteks mengandung arti: 1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau
menambah kejelasan makna, 2) situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Lihat: Tim
Penyusun, Kamus Besar, Op.Cit., h. 458

Maizudin, Kajian Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu ke Islaman, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang, 2001), h. 115

Edi Safri, Op.Cit, h. 103

Anda mungkin juga menyukai