Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Pembelajaran Qur’an Hadits

Pendekatan dalam Memahami Hadits :


Tekstualitas dan Kontekstualitas Hadits
Pendekatan Bahasa

Dosen Pengampu :
Hj. Sayyidah Nor Hasanah Yasir, S.Pd.I., M.Pd

Disusun Oleh:

Dea Sagita Pratiwi (11811101)

KELAS : C

SEMESTER : 6 (enam)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONTIANAK
2021 M /1443 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya
serta menganugerahkan tetesan ilmu, kesehatan, dan kekuatan sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah Pembelajaran Qur’an Hadits ini dengan judul “Pembelajaran Qur’an
Hadits Pendekatan dalam Memahami Hadits : Tekstualitas dan Kontekstualitas Hadits,
Pendekatan Bahasa”. Shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi besar Nabi
Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang
penuh pengetahuan dan teknologi seperti yang saat ini kita rasakan.
Dan kami juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Hj. Sayyidah Nor Hasanah Yasir,
S.Pd.I., M.Pd., selaku dosen pengampu mata kuliah Pembelajaran Qur’an Hadits yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada sata untuk menyusun makalah tentang materi
“Pembelajaran Qur’an Hadits Pendekatan dalam Memahami Hadits : Tekstualitas dan
Kontekstualitas Hadits, Pendekatan Bahasa” sebagai tugas perkuliahan.
Saya sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengalaman
bagi saya dan pembaca. Sebagai penyusun, saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan
dalam penyusunan makalah ini baik dari penulisan, keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman kami. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pontianak, 5 Juli 2021


Penulis

Dea Sagita Pratiwi

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan Makalah .......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendekatan dalam Memahami Hadits Tekstual dan Kontekstual 3
B. Pendekatan dalam Memahami Hadits (Pendekatan Bahasa) ...... 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 9
B. Saran ........................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kajian teks-teks keagamaan, dewasa ini sesungguhnya tidak bisa berdiri sendiri,
melainkan perlu melibatkan disipilin ilmu lain, sebab problem sosial keagamaan semakin
kompleks, sementara Islam yang bersumber dari ajaran al-Qur’an dan hadis harus juga
berdialog dengan realitas dan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, paradigma
interkoneksi keilmuan menjadi sebuah keniscayaan sejarah, sehingga analisis dan
kesimpulan yang diambil dari teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadis) bisa lebih dialektis
dan komprehensif, serta akomodatif terhadap perkembangan masyarakat.
Bahkan hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang herupa kritik terhadap
otentisitasnya, maupun metode pemahamannya, termasuk berkembang mulai dari yang
tekstualis hingga kontekstualis, dari yang bersifat dogmatis hingga yang kritis, dari yang
model literal hingga yang liberal. Apapun ragam dan model pendekatan dalam
memahami hadis, hal itu merupakan apresiasi dan interaksi mereka dengan hadis sebagai
sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan tawaran baru dari berbagai
sumber, bagaimana cara memahami hadis (filth al-hadits) dengan pendekatan bahasa.
Tujuan dari pembahasan ini agar pemaknaan kita terhadap hadis tidak mengalami
stagnasi dan rigid (kaku). Pada dasarnya permasalahan hadits baik secara tekstual atau
kontekstual adalah menyangkut masalah ketepatan dalam memahaminya sehingga hadits
tersebut dapat diamalkan sesuai dengan diharapkan oleh Nabi Muhammad saw. sesuai
dengan perintah Allah swt.
Pendekatan bahasa dalam studi hadis adalah pemaknaan teks matan hadis dengan
mempertimbangkan unsur kebahasaan yang meliputi fonologi, morfologi sintaksis
maupun semantik. Pasca kodifikasi hadis berkembang dengan pesat, muncul berbagai
persoalan apakah hadis yang dituliskan dan dibukukan itu benar-benar hafalan yang
berasal dari Nabi, atau merupakan hafalan yang keliru dan sengaja dibuat-buat untuk
maksud tertentu. Disamping itu juga timbul pertanyaan apakah hafalan itu redaksinya
persis seperti yang diucapkan Nabi atau hanya maksud dan maknanya saja. Kalau itu
riwayah bil makna, apakah benar maksudnya sama seperti yang dimaksud oleh Nabi.
Pesoalan kedua adalah didapatinya beberapa kata dalam matan hadis yang terasa asing,
terlebih bagi penafsir non-arab dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang
muncul. Oleh karena itu untuk menjaga otentisitas sebuah hadis, pendekatan bahasa
dalam studi hadis adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi perlu diingat mengingat
probabilitas zaman dan dinamisasi peradaban yang sangat kompleks maka pendekatan
interdisipliner dalam studi hadis saat ini juga mutlak diperlukan.

B. Rumusan Masalah

1
1. Bagaimana pendekatan dalam memahami hadits tekstual dan kontekstual ?
2. Bagaimana pendekatan dalam memahami hadits secara bahasa ?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pendekatan dalam memahami hadits tekstual dan kontekstual
2. Untuk mengetahui pendekatan dalam memahami hadits secara bahasa

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendekatan dalam Memahami Hadits Tekstual dan Kontekstual


Memahami hadis adalah sesuatu pekerjaan yang rumit karena dibutuhkan analisis
yang cermat bagaimana bisa memahami makna tekstual dan kontekstualnya atau apa
yang dimaksudkan dari hadis tersebut, baik itu perkataan atau perbuatan atau ketetapan
yag dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pada dasarnya permasalahan hadits baik secara tekstual atau kontekstual adalah
menyangkut masalah ketepatan dalam memahaminya sehingga hadits tersebut dapat
diamalkan sesuai dengan diharapkan oleh Nabi Muhammad saw. sesuai dengan perintah
Allah swt. Untuk lebih jelasnya, sebagai berikut :
1. Pemahaman Hadits secara Tekstual
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tekstual mengandung makna naskah
yang berupa1 :
a. Kata-kata asli dari pengarang
b. Kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan
c. Bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan lain lain.
Berdasarkan asal kata tekstual di atas, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud
dengan pemahaman hadis secara tekstual adalah memahami hadis berdasarkan makna
lahiriah, asli, atau sesuai dengan arti secara bahasa.
Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang tersurat pada redaksi (matan) hadis
dipahami sesuai dengan makna lughawi-nya, sehingga langsung dapat dipahami oleh
pembaca. Cakupan makna dan kandungan pesan yang ingin disampaikan oleh hadis
dapat ditangkap oleh pembaca hanya dengan membaca teks (kata-kata) yang terdapat
di dalamnya. Karena makna-makna tersebut telah dikenal dan dipahami secara umum
dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, pemahaman hadis dengan cara seperti
ini dapat dikategorikan sebagai salah satu pendekatan pemahaman hadis yang paling
sederhana dan mendasar. Karena hanya dengan membaca lafaz hadis dan memahami
makna lughawi-nya pembaca dapat menarik pemahaman dan gagasan ide yang
dimiliki hadis.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, pemahaman hadits secara tekstual adalah
pengambilan informasi atau pesan sesuai dengan intensitas informasi yang tersurat
pada teks hadits. Contoh hadits dengan cara pemahaman tekstual, sebagai berikut :
‫سم ْعتُ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول ال يقبل الله صالة‬
ِ ‫عن أنس بن مالك قال‬
)‫بغير طهور وال صدقة ِمن غلو ٍل (رواه ابن ماجه‬

1
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2013)

3
Artinya : Dari Anas bin Malik berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah shalat seseorang itu diterima oleh Allah jika tanpa bersuci, dan
tidak diterima pula sedekah dari ghulul (harta haram)2”
Dengan membaca apa yang tersurat dalam hadits di atas, seseorang dapat
memahaminya secara langsung, tanpa adanya informasi-informasi pendukung lainnya
diluar teks hadits tersebut. Dalam hadits di atas sangat jelas gamblang dijelaskan
bahwa orang yang shalat tanpa bersuci, maka salatnya tidak akan diterima oleh Allah.
Begitu juga dengan harta sedekah yang didapat dari harta haram (hasil mencuri) juga
tidak akan diterima oleh Allah. Oleh karena itu hadits di atas sudah dapat dipahami
oleh pembaca dengan cara tekstual.
2. Pemahaman Hadits secara Kontekstual
Sebagaimana halnya al-Quran yang ayat-ayatnya turun dilatarbelakangi oleh
suatu peristiwa (baik berupa kasus atau pernyataan sahabat) atau situasi tertentu yang
lazim disebut dengan asbab al-nuzul, begitu juga halnya dengan hadits-hadits
Rasulullah Saw. Diantaranya ada yang muncul dengan dilatarbelakangi oleh suatu
peristiwa atau situasi tertentu yang lazim disebut asbab wurud al-hadits, yang dalam
tulisan ini disebut dengan konteks.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, pemahaman hadits secara kontekstual adalah
pengambilan informasi atau pesan yang tidak hanya cukup dengan apa yang tersurat
pada teks hadits saja, sehingga perlu dilakukan penggalian informasi dan pesan
pendukung lain dari luar teks tersebut sehingga dapat menyempurnakan informasi atau
pesan yang diharapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Contoh hadits dengan cara
pemahaman kontekstual, sebagai berikut :
‫ي بن حاتم رضي الله‬ َّ ‫ سمعتُ ع ِد‬:‫ سمعتُ عبد الله بن معقل قال‬:‫عن أبي اسحاق قال‬
ِ ّ ‫قوا النَّار ول ْو بِش‬
ٍ‫ِق ت ْمرة‬ ْ َّ ‫ ات‬:‫ سمعتُ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول‬:‫عنه قال‬
)‫(رواه البخاري‬
Artinya : Dari Abu Ishaq, dia berkata: Aku mendengar Abdullah bin Ma’qil berkata:
Aku mendengar Adil bin Hatim RA berkata: Aku mendengar Rasulullah
SAW bersabda: “Berlindunglah (peliharalah dirimu) dari api neraka
meskipun dengan separuh kurma3”
Hadits di atas tidak dapat dipahami secara tekstual apa adanya karena tidaklah
mungkin separuh kurma dapat melindungi seorang hamba dari panasnya api neraka.
Oleh karena itu hadits di atas hendaknya dapat dipahami secara kontekstual, yaitu
melihat sisi historisnya atau asbabul wurudnya atau dengan melihat hadits lain yang
dapat membantu untuk memahami hadits tersebut. Di dalam syarh fathul bari
dijelaskan bahwa latar belakang hadits yaitu:

2
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terj.Mahyuddin Syaf, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1978)
3
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ As-Shahih, Juz.1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah,
1980)

4
‫دي‬ْ ‫دخلت امرأة ٌ معها ابنتان لها تسأل فل ْم ت ِج ْد عن‬
ْ ْ
:‫قالت‬ ‫عن عائشة رضي الله عنها‬
ْ
‫فخرجت‬ ْ ‫ ث ّم ق‬،‫ش ْيئًا غير تمر ٍة فأعْط ْيتُها إيّاها فقسمتْها بين ابنتيها ولم تأ ْ ُك ْل منها‬
‫امت‬
‫ م ِن ا ْبت ُ ِلي ِمن هذه البنات بشيء‬:‫برتُه فقال‬ ْ ‫فدخل النبي صلّى الله عليه وسلّم علينا‬
ْ ‫فأخ‬
)‫النار (رواه البخاري‬ ِ ‫ُك َّن له ِستْ ًرا ِمن‬
Artinya : Dari Aisyah ra, dia berkata: “Seorang wanita masuk bersama kedua orang
anaknya untuk meminta-minta. Namun ia tidak mendapatkan sesuatu
padaku selain satu buah kurma, dan aku memberikan kepadanya. Lalu dia
membagi kurma itu untuk kedua anaknya dan ia sendiri tidak memakannya.
Kemudian ia berdiri dan keluar (pergi). Lalu Nabi SAW masuk, maka aku
memberitahukan kepada beliau. Beliau bersabda: “Barangsiapa diuji dengan
anak-anak perempuan ini, niscaya (separuh kurma) itu akan menjadi
penghalang baginya dari api neraka”
Jadi, hadits di atas merupakan informasi pendukung untuk memahami hadits
yang sebelumnya. Dengan demikian yang dimaksud adalah berkah dari sedekah
separuh buah kurma yang dilakukan oleh Aisyah kepada para pengemis disaat ia tidak
memiliki apa-apa kecuali satu buah kurma, dapat menghindarkannya dari api neraka4.

B. Pendekatan dalam Memahami Hadits (Pendekatan Bahasa)


Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu
bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami suatu kajian. Pendekatan juga
dapat didefinisikan sebagai serangkaian asumsi yang mendasari cara seseorang dalam
membaca, memahami, menjelaskan suatu fakta, teks, realitas maupun fenomena yang
ada. Pendekatan penafsiaran teks keagamaan akan sangat mempengaruhi corak taftsir
yang dihasilkan. Terdapat banyak pendekatan yang dapat digunakan oleh pensyarah
hadis. Salah satu pendekatan terpenting adalah pendekatan lingustik atau bahasa.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh
para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri.5 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa diartikan
sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.6 Bahasa
tersusun atas unsur bahasa yang meliputi fonologi (al-aswat) morfologi (as-sharf) dan
sintaksis (an-nahwu) ketiga unsur tersebut merupakan komponen terpenting dalam kajian
kebahasaan. Akan tetapi untuk membedakan antara makna hakiki dan makna majazi
sebuah bahasa diperlukan kajian semantik atau dalam bahasa Arab disebut ‘Ilm ad-

4
Ibnu Hajar Al-Asqalni, Fathul Bari Syarh Ash-Shahih Al-Bukhari, Terj. Gazirah Abdi Ummah, Jilid 8, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2002)
5
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm.32.
6
Tim Redaksi, Op.Cit, hlm.116

5
Dalalah. Dalam Ilmu semantik suatu kata tidak memiliki makna kecuali meletakannya di
dalam konteks (as-siyaq) .
Konteks bahasa atau dalam semantik Arab dikenal istilah adalah as-siyaq al-
lughawi, yaitu pemaknaan suatu kata dalam suatu kalimat dengan mempertimbangkan
kedudukan kata dalam stuktur kalimat serta kata lain yang melekat pada kalimat tersebut.
contoh kata al kitab pada tiga kalimat dibawah ini meskipun sama akan tetapi memiliki
makna yang berbeda.
1. Orang-orang muslim itu membaca al-kitab di masjid
2. Orang-orang nasrani itu membaca al-kitab di gereja
3. Orang-orang itu (mahasiswa) membaca al-kitab di perpustakaan
Jika kita perhatikan tiga kalimat di atas sama-sama terdapat kata al-kitab, dalam
setiap kalimatnya, lantas apakah makna al-kitab antara kalimat pertama sama dengan al-
kitab pada kalimat berikutnya. Dari mana kita mengetahui makna al-kitab yang dimaksud
tiap-tiap kalimat. Hanya dengan melihat konteks bahasa kita dapat mengetahui nya.
1) al-Kitab pada kalimat pertama boleh jadi dapat dimaknai sebagai kitab Al-quran.
Karena pada umumnya orang orang Islam membaca al-Quran di masjid.
2) al-Kitab pada kalimat kedua boleh jadi dapat dimaknai sebagai kitab Injil. Karena
pada umumnya orang nasrani membaca kitab inji.
3) al-Kitab pada kalimat ketiga dapat dimaknai sebagai kitab buku umum karena pada
umumnya para mahasiswa membaca buku umum di perpustakaan.
Penjelasan di atas adalah contoh sederhana bagaimana kompleksitas pemakanaan
sebuah kata dalam sebuah bahasa. Makna kata dalam suatu kalimat sangat ditentukan
oleh bagaimana stuktur kalimat yang terdiri dari fonologi, morfologi dan sintaksis
dibangun. Keberagaman kata yang membangun kalimat, juga sejarah tentang kemunculan
atau perubahan makna suatu kata akan sangat menetukan arti dari pesan yang ingin
disampaikan melalui bahasa.
Pendekatan bahasa dalam memahami hadis juga dilakukan apabila dalam sebuah
matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (balaghah) yang memungkinkan
mengandung pengertian majazi (metaforis) sehingga berbeda dengan pengertian hakiki.
Pendekatan bahasa ini meliputi beberapa aspek yakni:
Pertama, pemahaman terhadap makna sukar. Banyak hadis Nabi yang
diriwayatkan dengan riwayat bi al-ma’na, bukan dengan riwayat bi lafzhi. Nuansa bahasa
tidak lagi hanya menggambarkan keadaan di masa Rasulullah, karena gaya bahasa yang
dijadikan tolak ukur untuk memahami hadis cukup panjang. Contoh, sebuah hadis yang
membahas tentang khulafaur rasyidin menyebutkan nasehat Rasulullah ketika suatu saat
Rasul telah meninggal dan terjadi perselisihan di antara umat, maka umat supaya
berpegang teguh kepada khulafaur Rasyidin. Persoalannya, siapa yang dimaksud dengan
khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, ataukah Ali bin
Abi Thalib, apabila yang dimaksud adalah para sahabat Rasul tersebut maka tidak
mungkin umat dapat berpegang teguh pada para sahabat tersebut karena jarak yang

6
berabad-abad antara kehidupan para sahabat dengan umat saat ini sangat jauh. Redaksi
persis hadis bukanlah khulafa al-Rasyidun tetapi ungkapan lain yang ide pokoknya
“orang-orang yang berpikiran cemerlang dan amat setia kepada Rasulullah”. Menurut
bahasa, arti khulafaur Rasyidun orang-orang sepeninggal Rasulullah yang cerdas dan
setia.
Kedua, Ilmu Ghārib al-Hadīs (kajian yang membahas kata asing dalam hadits).
Sudah umum untuk diketahui bahwa hadis menggunakan bahasa Arab, maka dalam
memahami hadis terlebih dahulu harus memahami katakata sukar. Bagi para sahabat,
hadis yang disampaikan oleh Rasulullah tidak ada yang sukar dari segi bahasa. Para
sahabat yang terdiri dari berbagai kabilah terkadang menggunakan dialek yang berbeda-
beda, namun Rasulullah dapat menyesuaikan hal itu. Ketika sampai pada pada beberapa
generasi, istilah-istilah tersebut menjadi terasa asing, terlebih lagi tidak semua pemerhati
hadis menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibunya.7 Di antara permasalahan dalam
memahami hadis adalah informasi yang terkandung tidak dapat diterima oleh akal.
Seperti hadis yang meyebutkan bahwa “penyakit demam itu berasal dari Jahanam, maka
dinginkanlah dengan air”. Yusuf Qardhawi8 menyatakan bahwa panas didunia ini tidak
ada sangkut pautnya dengan api neraka, karena panas dunia bersifat fisik, sementara
panas neraka Jahanam termasuk bagian dari alam Gaib. Perlu adanya pemahaman majazi
terhadap hadis tersebut.
Ketiga, tema haqiqi dan majazi. Ketika memahami hadis, setelah tidak ada kata-
kata sukar maka selanjutnya adalah mencari kiasan pada teks hadis tersebut. Misalnya
hadis yang berbunyi tentang “keberadaan surga pada bayang-banyang pedang”. Kalimat
ini akan kesulitan dipahami apabila dimaknai secara harfiah, pemahaman yang kurang
tepat adalah dengan makna kiasan. Hadis tersebut menjelaskan akan etos bekerja keras
untuk meraih segala sesuatu yang diinginkan, termasuk umat Islam yang menginginkan
kebahagiaan di akhirat maka sudah menjadi kewajiban baginya untuk bersungguh
sungguh beribadah, berbuat baik, dan lain sebagainya9.
Kajian terhadap pemaknaan hadis terus berkembang, seperti pemahaman secara
tekstual dan kontekstual. Pemikir muslim kontemporer juga mengemukakan dan
menawarkan beberapa metodologi baru untuk memahami hadis, seperti pendekatan
sosiologis, historis, dan antropologis, pendekatan induktif,10 hermeneutika, dan lain
sebagainya. Pada umumnya pendekatan bahasa digunakan sebagai langkah awal dalam
pengamatan sebuah hadis baik secara tekstual dan kontekstual.
Dalam memahami hadis Nabi saw. dengan menggunakan pendekatan bahasa,
maka yang perlu dilakukan adalah memahami kata-kata sukar yang terdapat dalam hadis,
jika telah dapat dipahami, maka langkah selanjutnya adalah menguraikan makna kalimat
atau ungkapan dalam hadis tersebut. Setelah itu, baru dapat ditarik kesimpulan makna

7
Muhammad Zuhri, Telaah Matan Hadis (Sebuah Tawaran Metodologis), (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 56-57.
8
Muhammad Zuhri, Hadis Nabi (Telaah Historis dan Metodologis), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 136.
9
Muhammad Zuhri, Op. Cit., hlm. 59-60.
10
Ibid, hlm. 64-83

7
dari hadis tersebut.11 Berikut ini adalah contoh aplikasi pendekatan bahasa dalam studi
hadis :
ٌ‫صيا ُم ُجنَّة‬ّ ِ ‫ " ال‬: ‫سول اللَّ ِه صلَّى اللَّه ُ عل ْي ِه وسلَّم قال‬ ُ ‫ضي اللَّهُ ع ْنهُ أ َّن ر‬ ِ ‫ع ْن أ ِبي ُهريْرة ر‬
‫ث وال ي ْجه ْل و ِإ ْن ْام ُر ٌؤ قاتلهُ أ ْو شاتمهُ ف ْليقُ ْل ِإ ِنّي صا ِئ ٌم م َّرتي ِْن و َّالذِي ن ْفسِي ِبي ِد ِه‬ ْ ُ‫فال ي ْرف‬
ُ‫ْك يتْ ُركُ طعامهُ وشرابهُ وش ْهوته‬ ِ ‫يح ْال ِمس‬ ِ ‫ب ِع ْند اللَّ ِه تعالى ِم ْن ِر‬ ُ ‫طي‬ْ ‫صائِ ِم أ‬َّ ‫وف ف ِم ال‬ُ ُ‫ل ُخل‬
4981 ‫صيا ُم ِلي وأنا أ ْج ِزي ِب ِه و ْالحسنةُ ِبع ْش ِر أ ْمثا ِلها " رواه البخاري‬ ّ ِ ‫ ال‬، ‫ِم ْن أ ْج ِلي‬
4414 ‫ومسلم‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah ibn Maslamah dari Malik dari Abi
al-Sanad dari A’raj dari Abu Huraiyrah bahwa Rasulullah saw. bersabda: ”Puasa
itu merupakan perisai/pelindung. Oleh karena itu (siapa yang berpuasa)
janganlah berbuat rafas (berkata kotor) dan bertindak bodoh. Jika seseorang
hendak membunuhnya atau mengolok-olok, maka katakanlah “Saya sedang
menjalankan puasa”, diucapkan sebanyak dua kali. Demi Tuhan yang Menguasai
jiwaku, sesungguhnya aroma mulut orang yang berpuasa itu lebih harum
menurut Allah dibanding aroma minyak kasturi. Ia telah meninggalkan
makanan, minuman dan nafsu syahwatnya demi Aku (Allah). Puasa itu untukKu
dan Aku sendiri yang akan akan memberikan balasannya. Sedangkan kebaikan
(selain puasa) akan dibalas sepuluh kali lipat”
Dalam hadis di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw. menyamakan puasa
dengan perisai. Untuk memahami hadis ini, maka kita dapat melakukan pendekatan
bahasa. Kata “ٌ‫“ ُجنَّة‬dalam hadis diartikan sebagai perisai. Sedangkan perisai, yang kita
kenal merupakan suatu alat yang biasa dipakai untuk melindungi diri.
Jadi dalam hadis ini makna kata ٌ‫ ُجنَّة‬bukanlah makna hakiki, melainkan makna
metaforis. Salah satu hikmah puasa diantaranya merupakan tarbiyah bagi iradah
(kemauan), jihad bagi jiwa, pembiasaan kesabaran serta penahan diri dari hal-hal yang
yang dilarang oleh Allah swt.12 Ketika seseorang berpuasa, maka dia berusaha untuk
menghindari hal-hal yang dapat merusak amalan puasanya dan hal-hal lain yang tidak
disukai Allah swt. (maksiat). Oleh karena itu wajar Rasulullah saw. dalam hadisnya
menyamakan puasa dengan perisai, karena puasa merupakan penghalang bagi seseorang
untuk melakukan segala sesuatu yang diingininya dan merupakan pelindung bagi orang
tersebut baik dari hal-hal maksiat dan dosa di dunia ataupun dari api neraka di akhirat.

11
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad
Syuhudi Ismail, hlm.3.
12
Yusuf Qardawi, Fiqh al-Siam, terj. Ma’ruf Abdul Jalil Th. I. Wahid Ahmadi dan Jasiman, Fiqhi Puasa (Cet.8;
Surakarta: Era Intermedia, 2009), h.23

8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Memahami hadis adalah sesuatu pekerjaan yang rumit karena dibutuhkan analisis
yang cermat bagaimana bisa memahami makna tekstual dan kontekstualnya atau apa
yang dimaksudkan dari hadis tersebut, baik itu perkataan atau perbuatan atau ketetapan
yag dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pendekatan dalam memahami hadis secara tekstual adalah pengambilan informasi
atau pesan sesuai dengan intensitas informasi yang tersurat pada teks hadits, sedangkan
secara kontekstual adalah pengambilan informasi atau pesan yang tidak hanya cukup
dengan apa yang tersurat pada teks hadits saja, sehingga perlu dilakukan penggalian
informasi dan pesan pendukung lain dari luar teks tersebut sehingga dapat
menyempurnakan informasi atau pesan yang diharapkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Pendekatan bahasa dalam memahami hadis juga dilakukan apabila dalam sebuah
matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (balaghah) yang memungkinkan
mengandung pengertian majazi (metaforis) sehingga berbeda dengan pengertian hakiki.
Dalam memahami hadis Nabi saw. dengan menggunakan pendekatan bahasa, maka yang
perlu dilakukan adalah memahami kata-kata sukar yang terdapat dalam hadis, jika telah
dapat dipahami, maka langkah selanjutnya adalah menguraikan makna kalimat atau
ungkapan dalam hadis tersebut. setelah itu, baru dapat ditarik kesimpulan makna dari
hadis tersebut

B. SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari adanya kekurangan yang
disebabkan masih dangkalnya wawasan penulis. Oleh sebab ini saran dan masukan yang
membnagun demi kebaikan malah ini sangat penulis harapkan sehingga dapat mnejadi
bahan pertimbangan dan bekal membuat makalah menjadi lebih baik.

9
Daftar Pustaka

Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.


Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ As-Shahih, Juz.1, Kairo: Al Mathba’ah
As-Salafiyah, 1980
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terj.Mahyuddin Syaf, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1978
Ibnu Hajar Al-Asqalni, Fathul Bari Syarh Ash-Shahih Al-Bukhari, Terj. Gazirah Abdi Ummah,
Jilid 8, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2013
Muh Zuhri, Hadis Nabi (Telaah Historis dan Metodologis), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997
Muhammad Zuhri, Telaah Matan Hadis (Sebuah Tawaran Metodologis), Yogyakarta: LESFI,
2003.
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr.
Muhammad Syuhudi Ismail, hlm.3.
Yusuf Qardawi, Fiqh al-Siam, terj. Ma’ruf Abdul Jalil Th. I. Wahid Ahmadi dan Jasiman, Fiqhi
Puasa,Surakarta: Era Intermedia, 2009.

10

Anda mungkin juga menyukai