Anda di halaman 1dari 14

TIPOLOGI PEMAHAMAN HADIS NABI

NORMATIF (TEKSTUAL) DAN HISTORIS


(KONTEKSTUAL)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah.

MA’ANIL HADIS

Dosen Pengampu: Dede Komarudin, S.Ud, M.Ag

Disusun Oleh:
Derry Herdiansyah : 19.01.1050

ILMU QURAN DAN TAFSIR (IAT)


INSTITUT AGAMA ISLAM
PERSIS BANDUNG (IAIPI)
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Tipologi Pemahaman
Hadis Nabi Normatif (tekstual) dan Historis (kontekstual) “ ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak/ibu, selaku guru/dosen bidang


studi/mata kuliah Ma’anil Hadis yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga kita semua senntiasa berada dalam berkah dan lindugan Allah Subhanhu wata’ala.

Bandung, 21 Maret 2023

Derry Herdiansah
NIM : 19.01.1050

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis adalah kabar atau berita yang bersandar pada perkataan dan perbuatan
Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. Pada penerapannya di kehidupan sehari – hari umat baik hal
yang sederhana maupun rumit, ia berperan sebagai sumber hukum Islam yang
kedua setelah Alquran. Disamping itu hadis juga berperan sebagai penafsiran
kontekstual dan situasional atas Quran, dimana ayat – ayat suci Alquran perlu
perincian dan penjelasan yang mendalam atas makna yang terkandung
didalamnya, semata – mata agar mudah dipahami oleh umat islam.

Pengamalan syariat yang tersurat dalam Quran tentunya tidak bisa atas dasar
nalar pikiran apalagi hawa nafsu. Maka disini hadis tampil sebagai pedoman
perincian dan penjelasan dalam tata cara mengamalkan ayat – ayat Quran, karena
yang paling paham akan Quran tentunya hanya Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.

Tidak sedikit dari umat yang keliru dalam hal memahami hadis baik itu
secara tekstual isi kandungan hadis apalagi memahami secara kontekstual (diluar
teks yang tertulis). Alih – alih ingin memperbaiki umat malah memperkeruh
keadaan. Yang dirugikan disini adalah wajah Islam itu sendiri dan kaum muslimin
pada umumnya karena tidak mencerminkan islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Maka dari sini perlu dipaparkan secara jelas bagaimana cara memahami
hadis dengan lebih dalam lagi, agar tidak salah paham apalagi gagal paham dalam
memahami sebuah hadis baik secara memhami tekstualnya, maupun lebih dari itu
yaitu secara kontekstual.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dengan latar belakang yang telah terurai diatas, maka kami
rumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah itu pemahaman hadis normatif (tekstual) dan pemahaman hadis historis
(kontekstual)?

2. Bagaimanakah pemahaman hadis normatif (tekstual) dan pemahaman hadis


historis (kontekstual)??

3. Kapan pemahaman hadis normatif (tekstual) dan pemahaman hadis historis


(kontekstual) dapat digunakan?

2
C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah itu pemahaman hadis normatif (tekstual) dan


pemahaman hadis historis (kontekstual).

2. Untuk mengetahui bagaimanakah pemahaman hadis normatif (tekstual) dan


pemahaman hadis historis (kontekstual).

3. Untuk mengetahui kapan pemahaman hadis normatif (tekstual) dan pemahaman


hadis historis (kontekstual) dapat digunakan.

D. Manfaat

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi Akademisi
Makalah ini diharapkan agar dapat memberikan tambahan pengetahuan
tentang ma’anil hadis terkhusus tentang tipologi pemahaman hadis tekstual dan
kontekstual.
2. Bagi Mahasiswa
Makalah ini diharapkan agar dapat menjadi pedoman bagi mahasiswa untuk
mengetahui pemahaman tipologi hadis tekstual dan kontekstual.
3. Bagi Pembaca
Makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk lebih memahami
penulisan hadis secara normatif (tekstual) dan historis (kontekstual).

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tipologi Pemahaman Hadits Tekstual dan Kontekstual

Secara garis besar ada dua tipologi pemahaman ulama atas hadis:

1. Pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan proses sejarah yang


melahirkannya yaitu Normatif -.Tipologi ini dapat disebut Tekstualis. Atau
menurut suryadi tekstualis adalah sebuah istilah yang dinisbatkan pada ulama
yang dalam memmahami hadis cenderung memfokuskan pada data riwayat
dengan menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa dengan pola pikir
episteme bayani. Eksesnya,pemikiran-pemikiran ulama ulama terdahulu
difahami sebagai sesuatu yang final dan dogmatis.

2. Pemahaman kritis dengan memepertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud)


hadis. Tentu saja mereka memahami hadis secara kontekstual. Kata
“kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengandung dua arti: 1. bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat
mendukung atau menambah kejelasan makna; 2. situasi yang ada hubungan
dengan suatu kejadian[2]. Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas
istilah dalam kajian pemahaman Hadis. Dalam bahasa Arab digunakan istilah
‘alaqoh, qarinah,syiyaq al-kalam, dan qarain al-ahwal.

Berkaitan dengan pemahaman dengan pendekatan kontekstual, para sahabat Nabi


sudah mulai melakukannya, bahkan ketika Nabi masih hidup. Apa yang dilakukan oleh
sebagian sahabat terhadap hadis “jangan kamu shalat Ashar, kecuali di perkampungan
Bani Quraidhah” (di dalam peperangan Al Ahzab). merupakan sebuah contoh yang
cukup layak. Sebagian sahabat tersebut memahami hadis tersebut secara kontekstual
dengan menangkap maksud dan tujuan Nabi, sehingga mereka tetap melakukan shalat
Ashar pada waktunya di dalam perjalanan. Sedang sebagian lagi yang memahami secara
tesktual shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah–meski hari telah gelap.
pendekatan tekstual yang dilakukan oleh sebagian sahabat haruslah diakui masih dalam
tahap sederhana.

Contoh lain ketika Nabi bersabda” Orang yang paling cepat menyusulku adalah orang
yang paling panjang tangannya di antara kalian” mendengar ucapan rosul ini, para istri
beliau ada yang memahaminya secara hakiki, yaitu tangan yang panjang. Melihat
fenomena ini Aisyah berkomentar, bahwa mereka (para isteri Nabi yang lain) saling
memanjangkan tangannya guna mengetahui siapa diantara mereka yang paling panjang
tangannya guna mengetahui siapa diantara mereka yang cepat menyusul rasul. Padahal
Rasul tidak bermaksud demikian. “Panjang tangan” yang dimaksud adalah dalam makna
kiasan, yakni orang yang tinggi etos kerjanya(Banyak melakukan kebaikan). Dalam hal
ini ternyata isteri Nabi yang paling pertama menyusul adalah Zainab binti Jahsy, seorang
wanita yang kreatif, banyak berkarya dan suka bersedekah.

4
Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti memahami hadis
berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan,
dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi s.a.w hendaknya tidak
ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriah tanpa mengkaitkannya
dengan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sini kelihatannya konteks historis
merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah pendekatan kontekstual, namun
konteks redaksional juga tak dapat diabaikan. Yang terakhir ini tak kalah pentingnya
dalam rangka membatasi dan mengangkap makna yang lebih luas (makna filosofis)
sehingga hadis tetap menjadi komunikatif.

B. Dasar-Dasar Tekstualisasi dan Kontekstualisasi

Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi menjadi sebuah keniscayaan. Menurut


M. Sa’ad alasan alasan tersebut adalah;

1. Masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad s.a.w,bukan sama sekali kosong


dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran nas-
nas yang menyebabakan sebagianya bersifat tipikal. Misalnya pranata dzihar
“‫( ”انت علي كظهر أمي‬bagiku engkau bak punggung ibuku). yang ungkapan tersebut
hanya berlaku bagi konteks budaya Arab, jika ditransfer dalam budaya
keindonesiaan maka jelas maknanya beda.

2. Dalam keputusan Nabi sendiri telah memeberikan gambaran hukum yang


berbeda dengan alasan “situasi dan kondisi”.Misalnya tentang ziarah
kubur,yang semula dilarang karena kehawatiran terjebak kepada kekufuran dan
setelah dipandang masyarakat cukup mengerti akhirnya diperbolehkan.

3. Peran sahabat sebgai pewaris Nabi-yang paling dekat sekaligus memahami dan
menghayati hadis Nabi dengan risalah yang diembannya-telah mencontohkan
kontekstualisasi nash(teks).Misalnya Umar bin Khattab pernah menyatakan
bahwa hukum talak tiga dalam sekali ucap yang asalnya jatuh satu talak menjadi
jatuh tiga talak.

4. Implementasi pemahaman terhadap nash(teks)secara tekstual sering kali tidak


sejalan dengan kemashlahatan yang justru menjadi reason d”etre kehadiran
islam itu sendiri.

5. Pemahaman tekstual secara membabi buta berarti mengingkari adanya hukum


perubahan dan keanekaragaman yang justru diintroduksi oleh nash itu sendiri.

6. Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal


nash berguna untuk mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas
perubahan ketika dilakukan perumusan legal spessifik yang baru.

5
7. Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkan pada
upaya pemahaman teks-teks islam secara kontekstual.sebagai tradmark islam-al
islamu din al- aqli wa al-fikru(islam itu agama rasional dan intelaktual).

8. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks islam mengandung makna bahwa


masyarakat dimana dan kapan saja selalu dipandang positif optimis oleh islam
yang di buktikan dengan sikap khasnya yang akomodatif terhadap pranata sosial
yang ada(mashlahat),yang terumks-tekuskan dalam kaidah “al ‘aadatu
Muhkamatun.(tradisi itu dipandang legal).

9. Keyakinan bahwa teks-teks islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang
berlaku sepanjang masa,mengandung makna bahwa didalam teks yang terbatas
tesebut memiliki dinamika internal yang sangat kaya,yang harus terus menerus
dilakukaneksternalisasi melalui interprestasi yang tepat.

C. Batas-Batas Tekstualisasi Dan Kontekstualisasi

Batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu:

1. Dalam ibadah mahdhoh (murni). Yaitu jika ada penambahan dan pengurangan
untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi, maka hal tersebut adalah bid’ah.

2. Bidang diluar ibadah murni. Yaitu kontekstualisasi dilakukan dengan tetap


berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik
baru yang menggantikan legal spesifik lamanya).

Sedangkan menurut Suryadi (makalah Dr. Nurun Najwah, M.Ag.2005) batasan


batasan Tekstual (normative) meliputi:

1. Ide moral /ide dasar/tujuan dibalik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna
yang tersirat dari balik teks yang sifatnya universal,lintas ruang waktu
danintersubyektif.

2. Bersifat absolute, prinsipil, universal, fundamental.

3. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, mu’asyaroh bil ma’ruf.

4. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal. Artinya segala
sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapanpun dan dimanapun tanpa
terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya
“shalat”dimensi tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk
melakukannya (berkomunikasi, menyembah dan beribadah) dalam kondisi
apapun selama hayatnya. Namun memasuki ranah “ bagaimana cara muslim
melakuakan shalat, sangat bergantung pada konteks sipelakunya.Maka tak heran
banyak khilafiyyat pada tataran praktisnya.

6
Adapun batasan-batasan kontekstual ( historis ) mencakup:

1. Menyangkut bentuk atau sarana yang tertuang secar tekstual.Dalam hal ini tidak
seseorang untuk mengikuti secara saklek(apa adanya. Sehingga bila ingin
mengikuti Nabi tidak harus berbahasa Arab, memberi nama arabisme berpakaian
gamis ala timur tengah dan sebagainya.karena itu produk budaya yang tentu
secara dzahir antara setiap wilayah bebeda.

2. Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk individu dan bioligis. Jika
rasulu llah makan hanya menggunakan tiga jari, maka kita tidak harus mengikuti
dengan tiga jari, karena kontek yang dimakan rasulullah kurma atau roti,
sedangkan bila kita makan nasi dan sayur asem harus tiga jari betapa malah tidak
efektifnya. Ide dasar yang dapat kita runut pada diri Nabi dalam konteks ini
adalah bagaimana makan makanan yang halal dan baik, tidak berlebihandan
denagn akhlak yang baik juga.

3. Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk sosial, bagaimana manusia


berhubungan dengan sesama.alam sektar, binatang adalah wilayah kontekstual.
Sebagaimana riwayat hadis Nabi” Antum a’lamu bi umuri dunyakum. Ide dasar
yang kita sandarkan pada Nabi adalah tidak melanggar tatanan dalam rangka
menjaga jiwa, kehormatan, keadilan dan persamaan serta stabilitas secara umum
sebagai wujud ketundukan pada sang pencipta.

4. Terkait masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dimana kondisi


sosial , politik, ekonomi dan budaya yang sedemikian kompleks. Maka kondisi
pada zaman Nabi tidak bisa di jadikan parameter.

Untuk memahami hadis dengan tekstual ataupun kontekstual kita bisa melihat dari
sisi matan hadis, yang mana ungkapan matan hadis mempunyai beberapa corak atau
model.

D. Corak – Corak Hadis

1. Jawami’ al kalim (ungkapan singkat namun padat maknanya).

Contoh:

‫ا ْلح ْربُ ُخدْعـــــــــــة‬

Artinya : perang itu siasat( hadis riwayat al-Bukhori,Muslim dan lain-lain, dari
jabir bin ‘Abdullah).pemahaman terhadap hadis tersebut sejalan dengan
teksnya,yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat.

‫و ُك ُّل ُمسْـــ ِك ٍر حـــرا ٌم ُك ُّل ُمسْـــ ِك ٍر خ ْم ٌر‬

7
Artinya : Setiap minuman yang memabukkan adalah khomr dan setiap
(minuman) yang memabukkan adalah haram.(Hadis riwayat Al-
Bukhori,Muslim dan lain-lain dari ibnu ‘Umar dengan lafal dari riwayat
muslim.Hadis tersebut secar tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman
khomar tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dalam hubungannya kebijaksanaan
dakwah,dispensasi kepada orang orang tertentu diperbolehkan.

2. Bahasa tamsil.(perumpamaan)

contoh:

‫الدُّ ْنيا سِجْ نُ اْل ُمؤْ ِم ِن وجنَّةُ اْلكا ِف ِر‬

Artinya: dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir.
(Hadis riwayat Muslim, al-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal, dari
Abu Hurairah). Pemahaman yang lebih tepat terhadap petunjuk hadis di atas
adalah pemahaman secara kontekstual,bahwa kata penjara dalam hadis itu
memberi petunjuk adanya perintah berupa kewajiban dan anjuran,disamping ada
larangan berupa hukum haram dan makruh. Ibarat penghuni penjara maka
dibatasi hidupnya oleh berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir, dunia ini
adalah surga, sebab dalam menempuh hidup, dia bebas dari perintah dan larangan.

3. Ungkapan Simbolik

ِ ‫ْال ُمؤْ ِمنُ يأ ْ ُك ُل فِ ْي ِمعًى و‬


ُ ‫اح ٍد واْلكا‬
‫ِفر يأ ُك ُل فِ ْي سبْع ِة أ ْمعـــاء‬

Artinya: Orang yang beriman itu makan dengan satu usus(perut), sedang orang
kafir makan dengan tujuh usus.(Hadis riwayat al-Bukhori, al-Turmudzi, dan
ahmad, dari ibnu Umar.

Secara tekstual hadis tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda
dengan usus orang kafir . padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan
anatomi tubuh manusia tidak disebabakan oleh perbedaan iman. Dengan
demikian, pernyataan hadis itu merupakan ungkapan simbolik. Itu harus
dipahami secara kontekstual.yaitu menunjukkan perbedaan sikap atau
pandangan dalam menghadapi nikmat Allah. Orang mukmin memandang
makan bukan tujuan hidup sedang orang kafir memandang makan adalah
sebagian dari tujuan hidup. (Syuhudi ismail,1994:17).

4. Bahasa Percakapan (Dialog).

Seperti empat macam matan hadis yang menjelaskan amal-amal yang lebih
utama atau lebih baik itu ternyata banyak.(Syuhudi ismail:1994:18–20).

8
5. Ungkapan analogi

Seperti sebuah matan hadis yang menjelaskan bahwa menyalurkan hasrat seksual
( kepada wanita yang halal ) adalah sedekah. Atas pernyataan Nabi itu, para
sahabat bertanya “Apakah menyalurkan hasrat seksual kami (kepada isteri-isteri
kami) mendapat pahala ?” Nabi menjawab : Bagaiamanakah pendapatmu
sekiranya hasrat seksual (seseorang ) disalurkannya di jalan haram, apakah (dia)
menanggung dosa? Maka demikianlah, bila hasrat seksual disalurakn kejalan
yang halal,dia mendapat pahala. (Hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar).

Analoginya kalau penyaluran hasrat seksual secara haram adalah perbuatan dosa,
maka penyaluran hasrat seksual merupakan perbuatan yang diberi pahala.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemahaman dan penerapan hadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang
bersangkutan dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya
latar belakang terjadinya yaitu sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits yang
bersangkutan.

Sedangkan penerapan dan pemahaman hadits secara kontekstual dilakukan


bila “dibalik” teks suatu hadis, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis
yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagai mana maknanya yang
tekstual (tersurat).

Dapat disimpulakan bahwa pemahaman hadis secar tekstual adalah


pengambilan informasi atau pesan sesuai dengan intensitas informasi yang tesurat
pada teks hadits. Sedangkan pemahaman kontekstual adalah pengambilan informasi
atau pesan yang tidak hanya cukup dengan apa yang tersurat pada teks hadits saja,
sehingga perlu dilakukan penggalian informasi dan pesan pendukung lain dari luar
teks tersebut sehingga dapat menyempurnakan informasi atau pesan yang
diharapkan oleh sang mutakallim (Nabi Muhammad ‫)ﷺ‬.

Sebuah hadits dipahami secara tekstual karena pada dasarnya secara jelas dan
gamblang teks atau redaksinya sudah menginformasikan pesan dan informasi yang
dimaksud oleh Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬secara gamblang. Dalam memahami hadits yang
seperti ini tidak membutuhkan usaha keras seperti penggalian informasi pendukung
lain di luar teks hadits tersebut, karena seluruh makna dan pesannya sudah
dicermikan oleh redaksinya.

Di sisi lain ada juga hadits-hadits yang menuntut untuk dipahami secara
kontekstual, hal ini dikarenakan hadits tersebut tidak dapat dipahami dan diamalkan
dengan baik jika dipahami secara tekstual saja. Oleh karena itu membutuhkan
banyak informasi dan pendukung lain di luar redaksi hadits tersebut untuk
memahami dan kemudian dapat diamalkan dengan baik dan tepat.

Pada dasarnya permasalahan pemahaman hadits baik secara tekstual atau


kontekstual adalah menyangkut masalah ketepatan dalam memahaminya sehingga
hadits tersebut dapat diamalakan sesuai dengan yang diharapkan oleh Nabi sesuai
dengan perintah Allah, dan bukan merupakan keinginan pribadi maupun emosi saja
apakah suatu hadits hendak dipahami secara tekstual atau kontekstual.

10
Dengan demikian berarti ada hadis yang harus difahami secara tekstual saja.
disisi lain ada juga hadis yang kandungan petunjuknya mengarahkan pada
pemahaman kontekstual, serta ada pula yang dapat difahami secara tekstual dan
kontekstual sekaligus. Melihat bahwa Nabi sangat memeperhatikan situasi sosial
budaya yang menjadi sasaran ucapan Nabi, maka sudah seharusnya pendekatan
kontekstual atas hadis Nabi terus dikembangkan. Tetapi, ini hanya terhadap sebagian
hadis-hadis Nabi yang difahami sebara tekstual terasa tidak komunikatif lagi dengan
zaman.

B. Daftar Pustaka

[1] Suryadi,Rekonstruksi Metodologisk pemahamn Hadis 2001

[2] Debdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta, Balai Pustaka, 1998

[3] Imam Basyari Anwar,Menolak yang perlu Ditolak1987:hal216 )

[4] M. Sa’ad Ibrahim, Orisinalitas dan perubahan dalam ajaran islam,Jurnal At


tahrir 2004:168–169)

[5] Ibid

[6] H.M. syuhudi Islam, Hadis Nabi yang Tekstual dan kontekstual, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang,1994).

11
12
13

Anda mungkin juga menyukai