(Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi mata kuliah Pendidikan Kampus
Bertauhid)
Semester 3 Kelas 3D
Dosen pengampu : Rendi Ramdhani, M.Pd
Disusun oleh :
Kelompok 1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat sehat wal`afiyat, nikmat iman, nikmat Islam kepada kita
semua. Berkat rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Memahami Konsep Ilmu dalam Islam “ tujuan dari penulisan makalah ini
yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Pendidikan Kampus Bertauhid“ yang
telah di berikan oleh dosen kami, yaitu Bpk Rendi Ramdhani, M.Pd
Sholawat berangkaikan salam, semoga senantiasa selalu tercurah limpahkan
kepada junjungan kita, yakni Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang-benderang
seperti saat ini.
Dalam menyusun makalah ini,kami banyak mendapat hambatan. Akan tetapi
dengan bantuan dari berbagai pihak, hambatan tersebut bisa teratasi. Oleh karena
itu, kami mengucapkan Terimakasi kepada:
Dalam makalah ini kami akui masih jauh dari kata sempurna. Oleh karna itu
kami harap para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun agar kami bisa memperbaiki untuk makaslah selanjutnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN.........................................................................1
A. Latar Belakang Masalah......................................................................1
B. Identifikasi Masalah ...........................................................................2
C. Pembatasan Masalah ..........................................................................2
D. Rumusan dan tujuan Masalah ............................................................2
E. Manfaat Penulisan Makalah................................................................2
F. Metode Penulisan Makalah ................................................................3
G. Sistematika Penulisan Makalah..........................................................3
BAB II: PEMBAHASAN.........................................................................4
BAB I
PENDAHULUAN
B. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat di identifikasikan
beberapa masalah, diantaranya yaitu:
1. Memahami pentingnya Konsep Ilmu dalam Islam
2. Memahami hubungan Konsep Ilmu dengan Islam
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dalam makalah ini membatasi
pembahasan makalah hanya pada materi tentang Memahami Konsep Ilmu dalam
Islam
D. Rumusan Masalah dan Tujuan Perumusan Makalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
Apa Pengertian dari Konsep Ilmu dalam Islam?
Bagaimana Pengaruhnya Konsep ilmu dengan Islam?
E. Manfaat Penulisan Makalah
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami
tentang
Memahami Konsep Ilmu dalam Islam
F. Metode Penulisan Makalah
Metode penulisan yang penyusun pilih adalah metode kajian pustaka
yang berarti mempelajari materi dengan mengumpulkan data yang bersumber
dari buku, jurnal, serta informasi yang berasal dari internet
G. Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini terdiri dari 3 bab. Materi buku ini disusun dengan sistematika
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yang didalamnya terdapat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penulisan makalah, manfaat penulisan makalah, metode penulisan makalah,
serta sistematika penulisan makalah.
BAB II yang terdiri dari pembahasan materi yaitu mengenai memahami
motivasi dalam manajemen.
BAB III Penutup berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologis, kata ‘ilmu berasal dari bahasa Arab al-‘ilmi yang berarti
mengetahui hakekat sesuatu dengan sebenar-benarnya.9 Badr al-Din al-‘Aini
mendefinisikan, bahwa ilmu secara bahasa merupakan bentuk masdar dari
pecahan kata kerja ‘alima yang berarti tahu; meskipun demikian, tambahnya,
kata ilmu berbeda dengan kata ma’rifah. Kata ma’rifah memiliki makna yang
lebih sempit dan spesifik, sementara ilmu mempunyai makna yang lebih
umum
Tidak sedikit upaya yang telah dilakukan para pemikir Muslim terdahulu
untuk mendefinisikan kata ilmu. berbagai definisi telah dikemukakan oleh
para ahli teolog dan ahli hukum, filsuf dan
linguists.11 Yang pertama menurut al-Raghip al-Ishfahani (443/ 1060).12
Dalam Mufradat Alfaz al-Qur’annya, ilmu didefinisikan sebagai “Persepsi
akan realitas sesuatu” (al-ilmuidrak al-shay’ bihaqiqatihi) 13 Ini berarti bahwa
hanya memahami kualitas (misalnya bentuk, ukuran, berat, volume, warna,
dan properti lainnya) dari suatu hal bukan merupakan ilmu. Definisi ini
didasari pandangan filosofis bahwa setiap substansi terdiri dari esensi dan
eksistensi. Esensi adalah sesuatu yang menjadikan sesuatu itu, sesuatu itu akan
tetap dan sama sebelum, selama, maupun setelah perubahan. Artinya, ilmu
adalah semua yang berkenaan dengan realitas abadi itu.
Definisi kedua diajukan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505/1111)15
yang menggambarkan ilmu sebagai “pengetahuan akan sesuatu sebagaimana
adanya” (ma‘rifat al-shay’ ‘ala mahuwa bihi) 16: Pada definisi ini, untuk
mengetahui sesuatu adalah dengan mengenali sesuatu sebagaimana ia.
Artinya, ilmu adalah pengakuan, merupakan keadaan pikiran-yaitu, suatu
kondisi dimana sebuah objek tidak lagi asing bagi seseorang sejak objek itu
diakui oleh pikiran seseorang. Pemaknaan ini tentu tidak seperti istilah idrak
(digunakan dalam definisi al-Ishfahani) yang tidak hanya menyiratkan
aktivitas olah fikir atau perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi juga
menunjukkan bahwa pengetahuan datang ke dalam pikiran seseorang dari luar,
dalam definisi Imam al-Ghazali istilah ma’rifah menyiratkan fakta bahwa ilmu
selalu merupakan jenis penemuan makna pada diri subjek akan suatu objek.
Pada pemaknaan ini;firasat, dugaan, ilusi, halusinasi, mitos, dan sejenisnya
tidak bisa dikatakan sebagai ilmu
19
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, 140-141.
20
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena…, 151-154.
21
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and The Philosophy..., 12-13.
22
Adi Setia, “Epistemologi Islam menurut al-Attas, Satu Uraian Ringkas”, dalam
Islamia, Tahun 1 No. 6, September 2005, 54.
23
Ibid.
disebut dengan tajribi (eksperimen atau observasi) bagi objek-
objek fisik (mah}su>sa>t).24 Metode observasi ini biasanya mengguna-
kan sumber pengetahuan panca indra. Namun, terkadang indra
tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan. Demikian pula
pikiran, sebagai aspek intelek manusia, ia merupakan saluran
penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan mengenai
sesuatu yang jelas, yaitu perkara-perkara yang bisa dipahami dan
dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa dicerap dengan
indra. Akal bukan hanya rasio, ia adalah mental logika.25
Sedangkan metode ketiga adalah intuisi atau yang disebut tidak
melalui perantara, sehingga disebut dengan muka>s yafah
langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasia-rahasia
dari realitas yang ada. Dalam hal ini, para filsuf dan sufi menyebut
metode ini dengan ‘ilm hu} du>r}i. Di sini objek yang diteliti dikatakan
hadir dalam diri atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan
antara subjek dan objek.26 Metode ini dipengaruhi oleh pemikiran
cendekiawan sufi. Iqbal menganggap bahwa intuisi sebagai
pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan pikiran,
yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi.
Menurut al-Attas, meskipun pengalaman intuitif ini tidak bisa
dikomunikasikan, tetapi pemahaman mengenai kandungan- nya
atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bisa ditrans-
formasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah
adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam
penemuan-penemuan mereka dan yang tertinggi dialami oleh para
nabi. Menurut Iqbal, dari intuisi mengenai sesuatu yang ada di
luar dirinya, akhirnya bisa mengalami intuisi mengenai Allah.
Sebuah pandangan yang disepakati oleh al-Attas karena
kesesuaiannya dengan hadis Nabi SAW, “Siapa yang mengenal
dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya”.27
E. Hubungan Sains, Filsafat, dan Agama
Banyak sumber yang bisa dibaca untuk menelusuri hubung- an antara
sains, filsafat, dan agama. Bahkan, saat ini sedang marak
24
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu..., 132.
25
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik..., 159.
26
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu..., 54.
27
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik..., 160.
26
Lihat: QS al-Haj: 54, QS Saba’: 6, Ilmu dalam worldview Islam tidaklah bertentangandengan Iman., Lihat:
QS al-Rum : 56, QS al-Mujadalah: 11, QS al-‘Alaq: 1.
27
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for An Islamic Philosophy of Education, ISTAC, Kuala Lumpur:
1991, h. 14.
28
82: )أفَال یتَّد بروَن الُقرآَن ولْو كاَن مْن عنِد غیِر اللِھ َلَو جدوْا فیِھ اختَالفًا كثیرًا( النساء
َو إلى، وِإلى الجباِل كْیَف ُ نصبْت، وإلى َّ السماء كْیَف ُ رفعْت، َأفال ینظروَن إلى اإلبِل كیَف ُ خلقْت
29 1
اَأْلرِض كیَف
(20-17: )الغاشیة. ُُس ِط َح ْت
30
Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa proses akal di sini meliputi nalar (nadzar) dan
alur fikir (fikr). Dengan proses tersebut akal akan dapat berartikulasi, menyusun
proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat analogi, membuat
keputusan, serta menarik kesimpulan. Lihat uraian penjelasannya di Imam
Fakhruddin Ar-Razi, Muhashal Al-Afkar AlMutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin, Al-
Mathba’ah Al-Husayniyyah, Kairo, h. 23, 30.
31
Indera eksternal adalah indera peraba (touch), indera perasa (taste), indera
pencium (smell), indera pendengaran (hearing), dan indera penglihatan (sight).
Sedangkan Indera internal yang dikenal dengan indera bersama (common sense)
atau al-hiss al-musytarak, antara lain adalah representasi (representation) atau
khayal, estimiasi (estimation) atau wahm, rekoleksi (recollection) atau dzakirah,
dan imaginasi (imagination). Lihat lebih jelasnya di Syed Muhammad Naquib Al-
Attas, A Commentary on The Hujjat Al-Siddiq of Nur Al-Din AlRaniri, The
Ministry of Culture, Malaysia: 1986, h. 31.
benar dan otoritatif (authoritative true reports). Di sini, khabar tersebut di bagi
menjadi dua, yakni mutlak (absolute authority) yang meliputi otoritas ketuhanan
yang berasal dari Al-Qur’an dan otoritas kenabian yang berasal dari Rasulullah.
Sedangkan yang nisbi (relative authority) meliputi kesepakatan ulama dan khabar
dari orang terpercaya secara umum. (3) Akal yang sehat (sound reason). (4),
Ilham (intuition).9
Dengan demikian ilmu dari Allah yang sampai pada manusia melalui empat jalan
di atas, ditanggapi oleh akal sebagai realitas ruhani dalam kalbu manusia
9 Di sini, dapat dipahami bahwa dengan intuisi seseorang dapat menangkap pesanpesan ghaib,
isyarat-isyarat Ilahi, memperoleh ilham, kasf, dan lain sebagainya. Lihat di Syamsuddin Arif, Orientalisme
dan Diabolisme Pemikiran, cetakan pertama, Gema Insani Press, Jakarta: 2008, h. 206.
sekaligus yang mengendalikan proses kognitif manusia. Melalui kalbu, jiwa
rasional (an-nafsu an-natiqah) bisa membedakan antara kebenaran (al-haq) dari
kesalahan (albathil).10 Akal dalam arti kata ratio atau reason tidak berlawanan
dengan intuisi (wijdan).11 Artinya, dalam hal ini, akal dan intuisi saling berkaitan
dan bersatu melalui intelek (intellect).12
1. Perbedaan yang jelas antara orang yang berilmu dengan orang yang
tidak berilmu.
10 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for An
Islamic Philosophy of Education, ISTAC, Kuala Lumpur: 1991, h. 14.
11 Reason yang diterjemahkan sebagai “nalar” adalah bagian dari akal (‘aql dalam bahasa Arab)
pada tingkatan rendahnya dimiliki oleh semua manusia normal, yakni akal diskurtif yang bekerja
mengikuti langkah logis. Pada tingkatan lebih tinggi, akal memiliki kemampuan yang lebih tinggi dan
bekerja dengan cara yang berbeda. (akal ini biasa dikenal dengan intellect dalam bahasa Inggris). Dengan
demikian, kata akal di sini mencakup kedua makna tersebut sekaligus.
12 Al-Attas, Prolegomena..., h. 119.
2. Hanya orang-orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran ( Q.S
39 : 9 )
3. Hanya orang yang berilmu yang mempu memahami hakikat sesuatu
yang disampaikan Allah melalui perumpamaan-perumpamaan ( Q.S
29 : 43 )
4. Allah memerintahkan agar manusia berdo’a agar ilmunya bertambah.
5. Orang yang mencari ilmu berjalan dijalan Allah, telah melakukan
ibadah. Pentingnya ilmu menurut agama Islam, dorongan serta
kewajiban mencari dan menuntut ilmu seperti disebutkan diatas, telah
menjadikan dunia Islam pada suatu masa di zaman lampau menjadi
pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan.
Di masa yang akan datang kejayaan yang telah ada itu, Insyaallah akan
datang kembali kalau pemeluk agama Islam menyadari makna firman
allah : “kalian adalah umat terbaik yang yang dilahirkan untuk manusia,
mempelajari dan mengamalkan agama Islam secara menyeluruh.
Manfaat mempelajari ilmu bagi kehidupan kita, yaitu :
1. Akan mendapatkan pahala secara terus menerus bagi yang
mengajarkannya.
2. Ilmu memberikan kepada yang memiliki pengetahuan untuk
membedakan apa yang terlarang dan yang tidak, menerangi jalan
kesurga, kawan diwaktu sepi dan teman ketika kita kehilangan sahabat.
3. Ilmu memimpin kita kepada kebahagiaan, menghibur kita dalam duka,
perhiasan dalam pergaulan, perisai terhadap musuh.
4. Hamba Allah mencapai kebaikan, memperolah kedudukan yang mulia,
dapat berhubungan dengan raja-raja di dunia, kebahagiaan akhirat.
Mencari ilmu sampai kenegeri cina, peribahasa diatas mengandung arti bahwa
ilmu yang dituntut yang dicari tidak hanya ilmu agama tetapi semua ilmu yang
bermanfaat bagi hidup dan kehidupan di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Seperti dalam sabda Nabi SAW :
“ barang siapa yang menginginkan kebaikan di dunia hendaklah ia mencari
ilmu, barang siapa yang menginginkan kebaikan di akhirat hendaklah ia
mencari ilmu dan barang siapa yang menginginkan kedua-duanya hendaklah ia
mencari ilmu.” . Sebab kebaikan kehidupan dunia dan di akhirat hanya dapat
dicapai dengan ilmu.
Dr. Syamsuddin Arif mengatakan sumber ilmu dalam Islam ada;
persepsi indera (idrak al-hawas), proses akal sehat (ta’aqqul), intuisi sehat
(qalb) dan khabar shadiq. Persepsi inderawi meliputi yang lima (indera
pendengar, pelihat, perasa, penyium, penyentuh), daya ingat atau memori ,
penggambaran dan estimasi. Proses akal mencakup nalar dan alur pikir.
Dengan alur pikir kita bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan
pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik
kesimpulan.
Selanjutnya dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-
pesan isyarat ilahi, fath, ilham, kasyf dan sebagainya. Sumber lain yang tak
kalah pentingnya adalah khabar shadiq, yang berasal dari dan bersandar pada
otoritas. Sumber khabar shadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu
(Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan
diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai ke akhir
zaman.16 Dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu yang primer
karena ia berkaitan
langsung dengan realitas absolute, yaitu Allah SWT. Bahkan penggalian ilmu
pengetahuan dapat ditemukan di dalam wahyu. Hal ini berbeda dengan Barat
yang menolak sama sekali wahyu sebagai sumber ilmu. Wahyu tidak dapat
diverifikasi secara ilmiah. Dalam konteks epistemologi, sebenarnya konsepsi
Islam lebih komprehensif daripada Barat yang membatasi pada ranah empirik
saja.17 dengan ‘irfan> i atau dzauqi. Metode ini adalah langsung dari
Tuhan.