Anda di halaman 1dari 20

MEMAHAMI KONSEP ILMU DALAM ISLAM

(Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi mata kuliah Pendidikan Kampus
Bertauhid)
Semester 3 Kelas 3D
Dosen pengampu : Rendi Ramdhani, M.Pd

Disusun oleh :
Kelompok 1

Adjie Ramdani F.2010082


Dhea Amalia Novia F.2010148
Desti Agustin F.2010216
Rima Nuraisyah. F.2010414
Siti Nuraisyah F. 2010053

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR
2020 M /1442 H

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat sehat wal`afiyat, nikmat iman, nikmat Islam kepada kita
semua. Berkat rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Memahami Konsep Ilmu dalam Islam “ tujuan dari penulisan makalah ini
yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Pendidikan Kampus Bertauhid“ yang
telah di berikan oleh dosen kami, yaitu Bpk Rendi Ramdhani, M.Pd
Sholawat berangkaikan salam, semoga senantiasa selalu tercurah limpahkan
kepada junjungan kita, yakni Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang-benderang
seperti saat ini.
Dalam menyusun makalah ini,kami banyak mendapat hambatan. Akan tetapi
dengan bantuan dari berbagai pihak, hambatan tersebut bisa teratasi. Oleh karena
itu, kami mengucapkan Terimakasi kepada:

1. Bapak Rendi Ramdhani M.Pd. selaku dosen pengampu


mata kuliah Pendidikan Kmpus Bertauhid yang telah
membimbing kami hingga saat ini.
2. Para penulis dan penerbit referensi yang kami kutip
sehingga makalah ini dapat terselesaikan .

Dalam makalah ini kami akui masih jauh dari kata sempurna. Oleh karna itu
kami harap para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun agar kami bisa memperbaiki untuk makaslah selanjutnya.

Bogor, 27 September, 2021

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN.........................................................................1
A. Latar Belakang Masalah......................................................................1
B. Identifikasi Masalah ...........................................................................2
C. Pembatasan Masalah ..........................................................................2
D. Rumusan dan tujuan Masalah ............................................................2
E. Manfaat Penulisan Makalah................................................................2
F. Metode Penulisan Makalah ................................................................3
G. Sistematika Penulisan Makalah..........................................................3
BAB II: PEMBAHASAN.........................................................................4

A. Pengertian Konsep Ilmu


B. Apa Pengertian Konsep Ilmu dalam Islam
C. Bagaimana Pengaruhnya Konsep Ilmu dalam Islam
D. Apa Peran Ilmu dalam Islam

BAB III: PENUTUP.............................................................................22


A. Kesimpulan.....................................................................................22
B. Saran...............................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................23

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ilmu sebagaimana akan kita uraikan nanti, merupakan system
pemaknaan akan realitas dan kebenaran, bersumber pada wahyu yang
didukung oleh rasio dan intuisi. Dengan proses nadzar dan fikr, rasio akan
dapat berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat,
berargumentasi, membuat analogi, membuat keputusan, serta menarik
kesimpulan. Dalam worldview Islam, ilmu berkaitan erat dengan iman,
‘aql, qalb, dan taqwah. Tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang
terhimpun secara sistematis, tetapi ilmu juga merupakan suatu
metodologi. Dimana metodologi yang haq tentu tidak akan bertentangan
dengan yang haq
Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme
menyebabkan umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu
pengetahuan Baratsecara buta. Sikap ini tentu saja Kecenderungan
menyebabkan kebingungan (confusition) yang berlanjut pada hilangnya
identitas. Maka, upaya menggali dan mengembangkan konsep ilmu dalam
al-Qur‘an dapat dijadikan landasan bagi upaya merumuskan kerangka
integrasi ilmu pengetahuan yang genuine

B. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat di identifikasikan
beberapa masalah, diantaranya yaitu:
1. Memahami pentingnya Konsep Ilmu dalam Islam
2. Memahami hubungan Konsep Ilmu dengan Islam
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dalam makalah ini membatasi
pembahasan makalah hanya pada materi tentang Memahami Konsep Ilmu dalam
Islam
D. Rumusan Masalah dan Tujuan Perumusan Makalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
Apa Pengertian dari Konsep Ilmu dalam Islam?
Bagaimana Pengaruhnya Konsep ilmu dengan Islam?
E. Manfaat Penulisan Makalah
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami
tentang
Memahami Konsep Ilmu dalam Islam
F. Metode Penulisan Makalah
Metode penulisan yang penyusun pilih adalah metode kajian pustaka
yang berarti mempelajari materi dengan mengumpulkan data yang bersumber
dari buku, jurnal, serta informasi yang berasal dari internet
G. Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini terdiri dari 3 bab. Materi buku ini disusun dengan sistematika
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yang didalamnya terdapat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penulisan makalah, manfaat penulisan makalah, metode penulisan makalah,
serta sistematika penulisan makalah.
BAB II yang terdiri dari pembahasan materi yaitu mengenai memahami
motivasi dalam manajemen.
BAB III Penutup berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konsep Ilmu

Secara etimologis, kata ‘ilmu berasal dari bahasa Arab al-‘ilmi yang berarti
mengetahui hakekat sesuatu dengan sebenar-benarnya.9 Badr al-Din al-‘Aini
mendefinisikan, bahwa ilmu secara bahasa merupakan bentuk masdar dari
pecahan kata kerja ‘alima yang berarti tahu; meskipun demikian, tambahnya,
kata ilmu berbeda dengan kata ma’rifah. Kata ma’rifah memiliki makna yang
lebih sempit dan spesifik, sementara ilmu mempunyai makna yang lebih
umum
Tidak sedikit upaya yang telah dilakukan para pemikir Muslim terdahulu
untuk mendefinisikan kata ilmu. berbagai definisi telah dikemukakan oleh
para ahli teolog dan ahli hukum, filsuf dan
linguists.11 Yang pertama menurut al-Raghip al-Ishfahani (443/ 1060).12
Dalam Mufradat Alfaz al-Qur’annya, ilmu didefinisikan sebagai “Persepsi
akan realitas sesuatu” (al-ilmuidrak al-shay’ bihaqiqatihi) 13 Ini berarti bahwa
hanya memahami kualitas (misalnya bentuk, ukuran, berat, volume, warna,
dan properti lainnya) dari suatu hal bukan merupakan ilmu. Definisi ini
didasari pandangan filosofis bahwa setiap substansi terdiri dari esensi dan
eksistensi. Esensi adalah sesuatu yang menjadikan sesuatu itu, sesuatu itu akan
tetap dan sama sebelum, selama, maupun setelah perubahan. Artinya, ilmu
adalah semua yang berkenaan dengan realitas abadi itu.
Definisi kedua diajukan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505/1111)15
yang menggambarkan ilmu sebagai “pengetahuan akan sesuatu sebagaimana
adanya” (ma‘rifat al-shay’ ‘ala mahuwa bihi) 16: Pada definisi ini, untuk
mengetahui sesuatu adalah dengan mengenali sesuatu sebagaimana ia.
Artinya, ilmu adalah pengakuan, merupakan keadaan pikiran-yaitu, suatu
kondisi dimana sebuah objek tidak lagi asing bagi seseorang sejak objek itu
diakui oleh pikiran seseorang. Pemaknaan ini tentu tidak seperti istilah idrak
(digunakan dalam definisi al-Ishfahani) yang tidak hanya menyiratkan
aktivitas olah fikir atau perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi juga
menunjukkan bahwa pengetahuan datang ke dalam pikiran seseorang dari luar,
dalam definisi Imam al-Ghazali istilah ma’rifah menyiratkan fakta bahwa ilmu
selalu merupakan jenis penemuan makna pada diri subjek akan suatu objek.
Pada pemaknaan ini;firasat, dugaan, ilusi, halusinasi, mitos, dan sejenisnya
tidak bisa dikatakan sebagai ilmu

B. Pengertian Konsep Ilmu dalam Islam


Ilmu dalam Islam adalah memiiki makna universal. Yakni wahyu Allah yang
mengandung kebenaran absolut. Selain itu juga mengakui dan menganggap
penting pengetahuan yang didapat melalui proses indera, akal, dan empiris
untuk memahami realitas di alam semesta.d alam Islam, ilmu pengetahuan
memiliki landasan yang kokoh melalui al-Qur'ān dan Sunnah; bersumber dari
alam fisik dan alam metafisik; diperoleh melalui indra, akal, dan hati/intuitif.
Cakupan ilmunya sangat luas, tidak hanya menyangkut persoalan-persoalan
duniawi, namun juga terkait dengan permasalahan ukhrāwi.
Konsep klasifikasi ilmu yang telah dikemukakan baik oleh Imam al-Baqillani,
Ibnu Jawziy maupun al-Ghazali diatas dapat dinilai sebagai pendapat yang
saling menguatkan dan melengkapi. Kesemua pandangan tersebut sangat erat
kaitannya dengan pandangan hidup Islam (worldview Islam), dan sejalan
dengan epistemologi Islam. Ini tentu secara tegas berbeda dengan Barat, yang
tidak melibatkan Tuhan dalam kelahiran, proses dan arah pengembangan
ilmunya. Ilmu yang dikonsepsikan insan bertauhidy tentunya akan melahirkan
hasil maupun karya yang sejalan dengan fitrahnya sebagai manusia. Sebagai
contoh; peneliti biologi yang bertauhidi tentunya tidak akan membenarkan
teori evolusi sebagaimana dirumuskan oleh Darwin. Dan satu hal terpenting,
berbeda dengan peradaban lain, dalam Islam memperoleh Ilmu adalah upaya
sesempurna mungkin untuk memanfaatkan potensi diri. Hal tersebut
dilakukan demi mendapatkan derajat yang tinggi dihadapan Sang Khaliq.
Berangkat dari keterbatasan potensi yang dimiliki rasio. Dalam proses
pencariannya dibutuhkan pembatasan-pembatasan yang berkaitan dengan ilmu itu
sendiri. Pembatasan-pembatasan ini kita sebut sebagai klasifikasi ilmu.
Pengklasifikasin ini bisa berdasarkan sifat absoluditasnya ilmu, objek yang
diteliti, metode ilmu itu dihasilkan ataupun subjek dari objek ilmu itu sendiri.
Menurut Imam al-Baqillani ilmu makhluk (yakni pengetahuan manusia) itu ada
dua jenis; Pengetahuan yang bersifat pasti dan pengetahuan yang diperoleh
melalui nalar akal. Pengetahuan yang bersifat pasti itu adalah pengetahuan
inderawi, pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan pengetahuan
khabar/laporan mutawatir1 lebih lanjut Imam Ibnu Jawziy mengklasifikasikan
ilmu dalam tiga macam. Ilmu pasti yang diperoleh secara a prioriy atau intuitif
maupun secara diskursif, Ilmu yang didapat melalui panca indera, dan Ilmu yang
diperoleh lewat berita, secara mutawatir maupun perorangan.2
Abu Hamid Al-Ghazali membagi ilmu menjadi empat sistem klasifikasi yang
berbeda: pertama, berdasarkan pembedaan antara intelek teoretis dan intelek
praktis,3 yang umumnya diterapkan pada ilmu-ilmu agama, bukan filosofis.
Kedua, pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan huduri4 dan pengetahuan
husuli5 yang didasarkan atas perbedaan tentang cara-cara mengetahui.
Pengetahuan huduri terbebas dari kesalahan dan keraguan, yang memberikan
kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual. Ketiga, pembagian
atas ilmu-ilmu agama (syari‘ah) dan intelektual (‘aqli,yah, gayr al-syari‘ah), yang
didasarkan atas pembedaan sumber wahyu dan sumber akal. Keempat, pembagian
ilmuilmu menjadi fardlu ain dan fardlu kifayah, didasarkan atas perbedaan hukum
keharusan dalam pencarian ilmu.6
1 (Kitâb al-Tamhîd, hlm. 26-31)
2 (Kitâb Akhbâr al-Shifât, hlm. 6-7
3 Lihat Mizan al-’amal, p. 36-37, 112-113; lihat juga Maqasid al-Falasifah, ed. Sulaiman Dunya,
(Kairo:, 1061), p. 134.
4 Pengetahuan yang dihadirkan antara lain terdiri dari pengetahuan Kenabian yang berasal dari
Wahyu, dan pengetahuan para wali, yang berasal dari inspirasi (ilham), dan pengetahuan dari yang
tinggi (al-’ilm al-laduni). Lihat: Lihat al-Risalat al-Laduniyah, p. 365; lihat juga The Marvels of The Heart
dalam R.J. McCarthy, Op.Cit., par.44-46, p. 378.
5 Al-Ghazali mengidentifikasi ilmu yang demikian ini dengan ‘pengetahuan inferensial’ atau
‘pengetahuan hasil kesimpulan. Lebih lanjut lihat: Lihat al-Risalat al-Laduniyah, p. 362.
6 Istilah fardh ‘ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap Muslim/
Muslimah. Sebaliknya, fard kifayah dimaksudkan kepada hal-hal yang merupakan perintah Ilahi, yang
sifatnya mengikat semua anggota komunitas Muslim sebagai suatu kesatuan, dan tidak harus mengikat
“Ilmu nonagama” masih bisa diklasifikasikan kepada ilmu yang terpuji
(mahmud), dibolehkan (mubah) dan tercela (madzmum). Sebagai contoh: ilmu
sejarah bisa dikategorikan ilmu mubah; sihir dikategorikan “ilmu” tercela. Ilmu-
ilmu terpuji, yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikategorikan
wajib kifayah.
Misalnya; Ilmu tentang obat, matematika, politik dan kerajinankerajinan yang
diperlukan oleh masyarakat. Al-Ghazali mengklasifikasikan “ilmu agama” dalam
dua kelompok: terpuji (mahmud) dan tercela (madzmum). Yang dimaksud dengan
“ilmu agama tercela” adalah ilmu yang tampaknya diarahkan kepada syariah, tapi
nyatanya menyimpang dari ajaran-ajarannya. Sedangkan “ilmu agama terpuji”
dan dikategorikan wajib kifayah, dibagi dalam empat kelompok: pertama; Ilmu
Ushul (dasar-dasar; yaitu: Al-Quran, AlSunnah, ijma’ atau konsensus dan tradisi
[kebiasaan] para sahabat Nabi). Kedua; Furu`(masalah-masalah sekunder atau
cabang; yaitu: masalah-masalah fiqih, etika, dan pengalaman mistik. Ketiga;
Studistudi pengantar (qaidah, sharaf, bahasa Arab, dan lain-lain). Keempat;
Studi-studi pelengkap (membaca dan menerjemahkan Al-Quran, mempelajari
prinsip-prinsip fiqih, `ilm al—rijal atau penyelidikan biografi para perawi hadis-
hadis, dan lainlain). Dalam hal ini, AlGhazali memandang ilmu yang tercakup di
dalam empat kelompok di atas sebagai wajib kifayah.
Konsep klasifikasi ilmu yang telah dikemukakan baik oleh Imam al-Baqillani,
Ibnu Jawziy maupun al-Ghazali diatas dapat dinilai sebagai pendapat yang saling
menguatkan dan melengkapi. Kesemua pandangan tersebut sangat erat kaitannya
dengan pandangan hidup Islam (worldview Islam), dan sejalan dengan
epistemologi Islam. Ini tentu secara tegas berbeda dengan Barat, yang tidak
melibatkan Tuhan dalam kelahiran, proses dan arah pengembangan ilmunya. Ilmu
yang dikonsepsikan insan bertauhidy tentunya akan melahirkan hasil maupun
karya yang sejalan dengan fitrahnya sebagai manusia. Sebagai contoh; peneliti
biologi yang bertauhidi tentunya tidak akan membenarkan teori evolusi
sebagaimana dirumuskan oleh Darwin. Dan satu hal terpenting, berbeda dengan
setiap anggota dari komunitas itu. Jadi, ia lebih bersifat kolektif. Orang pertama yang mempopulerkan
isitlah fard kifayah. Beliau mendefinisikan istilah tersebut sebagai kewajiban yang jika sudah dikerjakan
oleh sejumlah kaum Muslim, maka kaum Muslim lain yang tidak menjalankannya tidak berdosa . Lihat
A. Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad, 1970), p. 39.
peradaban lain, dalam Islam memperoleh Ilmu adalah upaya sesempurna mungkin
untuk memanfaatkan potensi diri.7 Hal tersebut dilakukan demi mendapatkan
derajat yang tinggi dihadapan Sang Khaliq.8
C. Kedudukan Ilmu Dalam Islam
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran
islam , hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang memandang
orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia disamping hadis-hadis
nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut
ilmu.

Didalam Al qur’an , kata ilmu dan kata-kata jadianya di gunakan


lebih dari 780 kali, ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin
dari al-Qur’an sangat kental dengan nuansa-nuansa yang berkaitan dengan
ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama Islam sebagamana
dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani sebagai berikut; Salah satu ciri
yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya
terhadap masalah ilmu (sains), Al quran dan Al-sunah mengajak kaum
muslim untuk mencari dan

1 Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004),


hal 62.
2 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu Edisi Kedua, (Yogyakarta,
Liberty, 1991), hal 86.
3 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 2001), hal 1. -Desember 2018
mendapatkan Ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat tinggi. Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an
yang artinya: “Allah meninggikan beberapa derajat (tingkatan) orang-
7 Fakhruddin ar-Razi, Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir Wa Mafatih al-Ghaib, (dalam penafsiran
surat al-Baqarah: 62)
8 Lihat: Lihat; QS al-Mujadalah : 11, íóÑúÝóÚö Çááøóåõ ÇáøóÐöíäó ÂãóäõæÇ ãöäßõãú
æóÇáøóÐöíäó ÃõæÊõæÇ ÇáúÚöáúãó ÏóÑóÌóÇÊò
orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi
ilmu pengetahuan) dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Ayat di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman
dan berilmu akan menjadi memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan
yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong untuk menuntut Ilmu, dan
Ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar betapa kecilnya
manusia dihadapan Allah, sehingga akan tumbuh rasa kepada Allah bila
melakukan hal-hal yang dilarangnya.
Disamping ayat Qur’an yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu
sangat istimewa, al-Qur’an juga mendorong umat Islam untuk berdo’a agar
ditambahi ilmu, dan katakanlah, tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu
penggetahuan. dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu
wahana menambah ilmu ,menjadi sangat penting,dan islam telah sejak awal
menekeankan pentingnya membaca , sebagaimana terlihat dari firman Allah
yang pertama diturunkan yaitu surat Al-Alaq yang artinya:
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S. Al-Alaq: 1-
5)
Ayat-ayat trersebut, jelas merupakan sumber motivasi bagi umat
Islam untuk tidak pernah berhenti menuntut ilmu, untuk terus
membaca, sehingga posisi yang tinggi dihadapan Allah akan tetap
terjaga, yang berarti juga rasa takut kepada Allah akan menjiwai seluruh
aktivitas kehidupan manusia untuk melakukan amal shaleh, dengan
demikian nampak bahwa keimanan yang dibarengi denga ilmu akan
membuahkan amal ,sehingga Nurcholis Madjd menyebutkan bahwa
keimanan dan amal perbuatan membentuk segi tiga pola hidup yang kukuh
ini seolah menengahi antara iman dan amal.
Di samping ayat-ayat al-Qur’an, banyak juga hadist yang memberikan
dorongan kuat untuk menuntut Ilmu antara lain hadis berikut:
Artinya: “Carilah ilmu walai sampai ke negri Cina ,karena sesungguhnya
menuntut ilmu itu wajib bagisetuap muslim’”(hadis riwayat
Baihaqi).
Carilah ilmu walau sampai ke negeri cina, karena sesungguhnya
menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Artinya:“sesungguhnya Malaikat akan meletakan sayapnya bagi penuntut
ilmu karena rela atas apa yang dia tuntut “(hadist riwayat Ibnu Abdil Bar).
Dari hadist tersebut di atas , semakin jelas komitmen ajaran Islam
pada ilmu, dimana menuntut ilmu menduduki posisi fardhu (wajib) bagi
umat islam tanpa mengenal batas wilayah. Oleh kerena itu ilmu
menempatkan posisi yang sangat urgen dalam Islam.
D. Sumber Ilmu dan Cara Memperolehnya

Sudah disinggung di awal, bahwa objek ilmu dalam Islam tidak


hanya terbatas pada kajian fisik empiris saja, yang hal ini tentunya
berbeda dengan epistemologi Barat Modern. Hal ini berimplikasi
pada sumber atau saluran dari ilmu dalam Islam yang mempunyai
perbedaan signifikan dengan epistemologi Barat. Jikalau Barat hanya
mengakui indra dan rasio, spekulasi filosofis dalam epistemologinya,
maka dalam pandangan filsuf Muslim, ilmu yang datang dari Tuhan
dapat diperoleh melalui 3 cara: indra yang sehat, laporan yang benar,
dan intelek.

Pertama, indra yang sehat (h}awa>s sali>mah) terdiri dari dua


bagian, yaitu panca indra eksternal dan internal. Panca indra eksternal
terdiri dari peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran
(hearing), dan penglihatan (sight). Sedangkan panca indra internal adalah
akal sehat (common sense/ al-h}iss al-musytarak), indra representatif (al-
khayal> iyyah), indra estimatif (al-wahmiyyah), indra retentif rekolektif
(al-h}a>fiz}ah al-s}a>diq), dan indra imajinatif (al-mutakhayyilah). 20
Kedua, laporan yang benar (al-khabar al-s}a>diq) berdasarkan
otoritas yang terbagi menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu yang
dibawa oleh Nabi SAW berdasarkan wahyu dari al-Qur’an dan
Hadis Rasulullah SAW.21 Contoh dari otoritas mutlak adalah
seperti otoritas ketuhanan, al-Qur’an, otoritas kenabian, serta otoritas
nisbi, yaitu kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang-orang
yang terpercaya secara umum.22 Ketiga, intelek, yang terdiri dari
dua bagian, yaitu akal sehat (sound reason/ ratio), dan ilham
(intuition).23 Sebagai penjelasan bahwa Islam tidak pernah
mengecilkan peranan indra, yang dasarnya merupakan saluran
yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan
mengenai realitas empiris. Dalam hal ini metode yang
bersangkutan dengan indra

19
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, 140-141.
20
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena…, 151-154.
21
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and The Philosophy..., 12-13.
22
Adi Setia, “Epistemologi Islam menurut al-Attas, Satu Uraian Ringkas”, dalam
Islamia, Tahun 1 No. 6, September 2005, 54.
23
Ibid.
disebut dengan tajribi (eksperimen atau observasi) bagi objek-
objek fisik (mah}su>sa>t).24 Metode observasi ini biasanya mengguna-
kan sumber pengetahuan panca indra. Namun, terkadang indra
tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan. Demikian pula
pikiran, sebagai aspek intelek manusia, ia merupakan saluran
penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan mengenai
sesuatu yang jelas, yaitu perkara-perkara yang bisa dipahami dan
dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa dicerap dengan
indra. Akal bukan hanya rasio, ia adalah mental logika.25
Sedangkan metode ketiga adalah intuisi atau yang disebut tidak
melalui perantara, sehingga disebut dengan muka>s yafah
langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasia-rahasia
dari realitas yang ada. Dalam hal ini, para filsuf dan sufi menyebut

metode ini dengan ‘ilm hu} du>r}i. Di sini objek yang diteliti dikatakan

hadir dalam diri atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan
antara subjek dan objek.26 Metode ini dipengaruhi oleh pemikiran
cendekiawan sufi. Iqbal menganggap bahwa intuisi sebagai
pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan pikiran,
yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi.
Menurut al-Attas, meskipun pengalaman intuitif ini tidak bisa
dikomunikasikan, tetapi pemahaman mengenai kandungan- nya
atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bisa ditrans-
formasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah
adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam
penemuan-penemuan mereka dan yang tertinggi dialami oleh para
nabi. Menurut Iqbal, dari intuisi mengenai sesuatu yang ada di
luar dirinya, akhirnya bisa mengalami intuisi mengenai Allah.
Sebuah pandangan yang disepakati oleh al-Attas karena
kesesuaiannya dengan hadis Nabi SAW, “Siapa yang mengenal
dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya”.27
E. Hubungan Sains, Filsafat, dan Agama
Banyak sumber yang bisa dibaca untuk menelusuri hubung- an antara
sains, filsafat, dan agama. Bahkan, saat ini sedang marak
24
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu..., 132.
25
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik..., 159.
26
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu..., 54.
27
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik..., 160.

F. Sumber Ilmu dan Metode Memperoleh Ilmu


Sumber ilmu adalah bahasan fundamental dalam bahasan epistemology. Dari
mana kita mendapatkan pengetahuan? Adakah suatu sumber ilmu? Dalam hal ini,
tidak sedikit ditemukan ayatayat dalam al-Quran yang mengisyaratkan bahwa
realitas (tampak maupun tidak) bisa menjadi sumber ilmu. Walau dalam
kedudukannya, realitas sebagai sumber ilmu berada setelah Allah dan wahyu. 28
Dalam surat al-ghasiyah misalnya,29 terdapat isyarat bahwa realitas fisik, jika
diteliti akan menyampaikan informasi yang bisa dikembangkan jadi sebuah ilmu
bagi penelitinya. Atau dengan kata lain, ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa
dalam proses pencapaian ilmu dibutuhkan proses penalaran yang melibatkan
rasio.30 Senada dengan hal ini, Imam al-Bazdawiy menyatakan (cara manusia
mengetahui sesuatu itu) ada tiga; Perspektif indera, reportase (khabar) dan
Pembuktian (akal/rasio).
Al-Attas menyatakan ilmu dapat diperoleh melalui empat jalan. (1), Panca indera
yang sehat (sound senses). Panca indera kemudian dibagi menjadi dua, yakni
eksternal dan internal.31 (2), Khabar yang

26
Lihat: QS al-Haj: 54, QS Saba’: 6, Ilmu dalam worldview Islam tidaklah bertentangandengan Iman., Lihat:
QS al-Rum : 56, QS al-Mujadalah: 11, QS al-‘Alaq: 1.
27
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for An Islamic Philosophy of Education, ISTAC, Kuala Lumpur:
1991, h. 14.
28
82: ‫)أفَال یتَّد بروَن الُقرآَن ولْو كاَن مْن عنِد غیِر اللِھ َلَو جدوْا فیِھ اختَالفًا كثیرًا( النساء‬
‫ َو إلى‬، ‫ وِإلى الجباِل كْیَف ُ نصبْت‬، ‫ وإلى َّ السماء كْیَف ُ رفعْت‬، ‫َأفال ینظروَن إلى اإلبِل كیَف ُ خلقْت‬
29 1
‫اَأْلرِض كیَف‬
(20-17: ‫)الغاشیة‬. ‫ُُس ِط َح ْت‬
30
Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa proses akal di sini meliputi nalar (nadzar) dan
alur fikir (fikr). Dengan proses tersebut akal akan dapat berartikulasi, menyusun
proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat analogi, membuat
keputusan, serta menarik kesimpulan. Lihat uraian penjelasannya di Imam
Fakhruddin Ar-Razi, Muhashal Al-Afkar AlMutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin, Al-
Mathba’ah Al-Husayniyyah, Kairo, h. 23, 30.
31
Indera eksternal adalah indera peraba (touch), indera perasa (taste), indera
pencium (smell), indera pendengaran (hearing), dan indera penglihatan (sight).
Sedangkan Indera internal yang dikenal dengan indera bersama (common sense)
atau al-hiss al-musytarak, antara lain adalah representasi (representation) atau
khayal, estimiasi (estimation) atau wahm, rekoleksi (recollection) atau dzakirah,
dan imaginasi (imagination). Lihat lebih jelasnya di Syed Muhammad Naquib Al-
Attas, A Commentary on The Hujjat Al-Siddiq of Nur Al-Din AlRaniri, The
Ministry of Culture, Malaysia: 1986, h. 31.
benar dan otoritatif (authoritative true reports). Di sini, khabar tersebut di bagi
menjadi dua, yakni mutlak (absolute authority) yang meliputi otoritas ketuhanan
yang berasal dari Al-Qur’an dan otoritas kenabian yang berasal dari Rasulullah.
Sedangkan yang nisbi (relative authority) meliputi kesepakatan ulama dan khabar
dari orang terpercaya secara umum. (3) Akal yang sehat (sound reason). (4),
Ilham (intuition).9
Dengan demikian ilmu dari Allah yang sampai pada manusia melalui empat jalan
di atas, ditanggapi oleh akal sebagai realitas ruhani dalam kalbu manusia

9 Di sini, dapat dipahami bahwa dengan intuisi seseorang dapat menangkap pesanpesan ghaib,
isyarat-isyarat Ilahi, memperoleh ilham, kasf, dan lain sebagainya. Lihat di Syamsuddin Arif, Orientalisme
dan Diabolisme Pemikiran, cetakan pertama, Gema Insani Press, Jakarta: 2008, h. 206.
sekaligus yang mengendalikan proses kognitif manusia. Melalui kalbu, jiwa
rasional (an-nafsu an-natiqah) bisa membedakan antara kebenaran (al-haq) dari
kesalahan (albathil).10 Akal dalam arti kata ratio atau reason tidak berlawanan
dengan intuisi (wijdan).11 Artinya, dalam hal ini, akal dan intuisi saling berkaitan
dan bersatu melalui intelek (intellect).12

Di sini, dapat dipahami bahwa dengan intuisi seseorang dapat menangkap


pesanpesan ghaib, isyarat-isyarat Ilahi, memperoleh ilham, kasf, dan lain
sebagainya. Lihat di Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran,
cetakan pertama, Gema Insani Press, Jakarta: 2008, h. 206.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Framework for An Islamic Philosophy of Education, ISTAC, Kuala Lumpur:
1991, h. 14.
Reason yang diterjemahkan sebagai “nalar” adalah bagian dari akal (‘aql
dalam bahasa Arab) pada tingkatan rendahnya dimiliki oleh semua manusia
normal, yakni akal diskurtif yang bekerja mengikuti langkah logis. Pada tingkatan
lebih tinggi, akal memiliki kemampuan yang lebih tinggi dan bekerja dengan cara
yang berbeda. (akal ini biasa dikenal dengan intellect dalam bahasa Inggris).
Dengan demikian, kata akal di sini mencakup kedua makna tersebut sekaligus.
Al-Attas, Prolegomena..., h. 119.

G. Pentingnya Kita Mempelajari Ilmu

Betapa pentingnya kita kita mempelajari dan memahami ilmu, yaitu :

1. Perbedaan yang jelas antara orang yang berilmu dengan orang yang
tidak berilmu.

10 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for An
Islamic Philosophy of Education, ISTAC, Kuala Lumpur: 1991, h. 14.
11 Reason yang diterjemahkan sebagai “nalar” adalah bagian dari akal (‘aql dalam bahasa Arab)
pada tingkatan rendahnya dimiliki oleh semua manusia normal, yakni akal diskurtif yang bekerja
mengikuti langkah logis. Pada tingkatan lebih tinggi, akal memiliki kemampuan yang lebih tinggi dan
bekerja dengan cara yang berbeda. (akal ini biasa dikenal dengan intellect dalam bahasa Inggris). Dengan
demikian, kata akal di sini mencakup kedua makna tersebut sekaligus.
12 Al-Attas, Prolegomena..., h. 119.
2. Hanya orang-orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran ( Q.S
39 : 9 )
3. Hanya orang yang berilmu yang mempu memahami hakikat sesuatu
yang disampaikan Allah melalui perumpamaan-perumpamaan ( Q.S
29 : 43 )
4. Allah memerintahkan agar manusia berdo’a agar ilmunya bertambah.
5. Orang yang mencari ilmu berjalan dijalan Allah, telah melakukan
ibadah. Pentingnya ilmu menurut agama Islam, dorongan serta
kewajiban mencari dan menuntut ilmu seperti disebutkan diatas, telah
menjadikan dunia Islam pada suatu masa di zaman lampau menjadi
pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan.
Di masa yang akan datang kejayaan yang telah ada itu, Insyaallah akan
datang kembali kalau pemeluk agama Islam menyadari makna firman
allah : “kalian adalah umat terbaik yang yang dilahirkan untuk manusia,
mempelajari dan mengamalkan agama Islam secara menyeluruh.
Manfaat mempelajari ilmu bagi kehidupan kita, yaitu :
1. Akan mendapatkan pahala secara terus menerus bagi yang
mengajarkannya.
2. Ilmu memberikan kepada yang memiliki pengetahuan untuk
membedakan apa yang terlarang dan yang tidak, menerangi jalan
kesurga, kawan diwaktu sepi dan teman ketika kita kehilangan sahabat.
3. Ilmu memimpin kita kepada kebahagiaan, menghibur kita dalam duka,
perhiasan dalam pergaulan, perisai terhadap musuh.
4. Hamba Allah mencapai kebaikan, memperolah kedudukan yang mulia,
dapat berhubungan dengan raja-raja di dunia, kebahagiaan akhirat.
Mencari ilmu sampai kenegeri cina, peribahasa diatas mengandung arti bahwa
ilmu yang dituntut yang dicari tidak hanya ilmu agama tetapi semua ilmu yang
bermanfaat bagi hidup dan kehidupan di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Seperti dalam sabda Nabi SAW :
“ barang siapa yang menginginkan kebaikan di dunia hendaklah ia mencari
ilmu, barang siapa yang menginginkan kebaikan di akhirat hendaklah ia
mencari ilmu dan barang siapa yang menginginkan kedua-duanya hendaklah ia
mencari ilmu.” . Sebab kebaikan kehidupan dunia dan di akhirat hanya dapat
dicapai dengan ilmu.
Dr. Syamsuddin Arif mengatakan sumber ilmu dalam Islam ada;
persepsi indera (idrak al-hawas), proses akal sehat (ta’aqqul), intuisi sehat
(qalb) dan khabar shadiq. Persepsi inderawi meliputi yang lima (indera
pendengar, pelihat, perasa, penyium, penyentuh), daya ingat atau memori ,
penggambaran dan estimasi. Proses akal mencakup nalar dan alur pikir.
Dengan alur pikir kita bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan
pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik
kesimpulan.
Selanjutnya dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-
pesan isyarat ilahi, fath, ilham, kasyf dan sebagainya. Sumber lain yang tak
kalah pentingnya adalah khabar shadiq, yang berasal dari dan bersandar pada
otoritas. Sumber khabar shadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu
(Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan
diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai ke akhir
zaman.16 Dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu yang primer
karena ia berkaitan
langsung dengan realitas absolute, yaitu Allah SWT. Bahkan penggalian ilmu
pengetahuan dapat ditemukan di dalam wahyu. Hal ini berbeda dengan Barat
yang menolak sama sekali wahyu sebagai sumber ilmu. Wahyu tidak dapat
diverifikasi secara ilmiah. Dalam konteks epistemologi, sebenarnya konsepsi
Islam lebih komprehensif daripada Barat yang membatasi pada ranah empirik
saja.17 dengan ‘irfan> i atau dzauqi. Metode ini adalah langsung dari
Tuhan.

16 Syamsuddin Arif, Prinsip-Prinsip Epistemologi Islam.pdf dalam academia.edu.documents hal 3.


17 Miska M. Amien, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam,(UI Press, 1983), hal 13.

Anda mungkin juga menyukai