Islam
Anggota:
b. Matan
Matan ialah redaksi hadits.
Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits adalah sebagai berikut:
i. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan.
ii. Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang
melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Qur'an (apakah ada yang bertolak
belakang atau tidak).
c. Rawi
Rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaiannya.
Posisi Nabi dan Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sampai ia berwudhu” (HR. Bukhari dari
Abu Hurairah)
Hadits diatas mentaqrir dari surat Al-Maidah ayat 6 mengenai keharusan berwudhu ketika hendak mendirikan shalat
yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al-Maidah: 6)
“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari
pergelangan tangan.”
Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan memotong tangannya. Ayat ini masih
bersifat umum, kemudian Nabi SAW memberikan batasan bahwa yang dipotong dari pergelangan tangan.
c) Bayan at Tasyri (memberi kepastian hukum Islam yang tidak ada di Al-Qur’an)
“Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud).
Menurut para ulama yang menerima adanya nasakh hadis terhadap Al- Qur’an, hadis di atas menasakh
kewajiban berwasiat kepada ahli waris, yang dalam ayat di atas dinyatakan wajib. Dengan demikian,
seseorang yang akan meninggal dunia tidak wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli
warisnya, karena ahli waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal tersebut.
SANAD & MATAN
Secara istilah para ahli hadits, menurut
SANAD SECARA Syaikh Manna’ Al-Qathan, sanad
adalah:
BAHASA ”Jalan yang menyampaikan kepada
matan.”
Sanad secara bahasa berarti al-
Yaitu rangkaian rijal (perawi) yang
Mu’tamad yaitu “yang bisa dijadikan menyampaikan kepada matan.
pegangan.” Atau dapat juga diartikan Dinamakan dengan sanad karena para
“sesuatu yang terangkat (tinggi) dari Hafizh (ahli hadits) bersandar
tanah. kepadanya dalam menentukan shahih
dan dha’if-nya suatu hadits.
Kritik Sanad
yang sanadnya tersambung, yang disampaikan \seorang yang ditelusuri melalui 5 syarat:
yang adil serta dabit kepada orang yang adl serta dabit
‘illah”.
Ittisal al-sanad yakni setiap rawi dari sanad
atasnya.
‘Adl yakni rawi yang memiliki konsisten
dalam bertaqwa dan menghindari berbagai
dosa. Terdapat kesimpangsiuran dalam
merumuskan kriteria rawi yang ‘Adl, sebab
‘Adl
sulit sekali menemukan rawi yang benar-
benar semasa hidupnya disibukkan dengan
taat kepada Allah tanpa ada dosa. Ibn
Hibbón menyatakan bahwa rawi ‘Adl adalah
rawi yang mayoritas perilaku selama
hidupnya menunjukkan ketaatan kepada
Allah.
hafal sebuah hadis dan tertancap di dalam
Dabit
ketika menerima, menyampaikan, dan jeda
Daya hafal ini dapat dimuat dalam dibandingkan, ditashih, dan dirujuk dari
gurunya.
dua hal”
Syaz adalah sebuah hadis yang
syaz’
riwayat yang lebih iqqah lainnya. Untuk
menimbang sebuah hadis dinilai sahih
ataukah tidak tergantung dengan adanya
syaz atau tidaknya dalam hadis tersebut.
Karena sebuah hadis tidak bisa dikatakan
sahih ketika tidak mengandung syaz.
‘illah di sini bukan cacar dalam hadis yang bisa
dicari tahu dengna mudah oleh peneliti, disebut
ta’n atau jarh, contohnya rawi pembohong,
tetapi cacat tersembunyi ‘illat qadihah) yang
Secara istilah menurut Muhammad Ibn Husayn Ibn Hasan al-Jizani bahwa ijtihad
adalah mengerahkan semua pemikiran dalam mengkaji dalil shar’iyyah untuk
menentukan beberapa hukum syari’at.
Dasar Ijtihad
Menurut Alqur’an terdapat dalam QS An-Nisa’; Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam
105 yang artinya: Abu Dawud yang artinya:
”Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu ”Apabila seorang hakim (akan) menetapkan hukum lalu ia
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara berijtihad, dan ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, pahala, dan ijtihadnya itu salah, maka ia mendapat satu
dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak pahala” (HR. Abu Dawud).
1. Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia harus mengamalkan
hasil ijtihadnya sendiri.
2. Fardu ‘ain juga untuk menjawab permasalahan yang belum ada hukumnya. Dan bila tidak
dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut, dan
habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
3. Fardu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis
waktunya, atau ada lagi mujtahid yang lain yang telah memenuhi syarat.
4. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun
tidak.
5. Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qath’i karena bertentangan
dengan syara’.
Lapangan Ijtihad
1. Hukum yang dibawa oleh nas qath’i, baik kedudukannya maupun pengertiannya, atau di bawa oleh
Hadis mutawatir.
2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh suatu nas dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama,
tetapi telah disepakati (diijma’kan).
1. Mengetahui bahasa arab dengan segala seginya, sehingga memungkinkan dia menguasai
pengertian susunan katakatanya.
2. Mengetahui Al-Qur’an, dalam hal ini adalah hukum-hukum yang dibawa oleh Al-Qur’an beserta
ayat-ayatnya dan mengetahui cara pengambilan hukum dari ayat tersebut.
3. Mengetahui Hadis - Hadis Nabi saw, yaitu yang berhubungan dengan hukum-hukum syariah.
4. Mengetahui segi-segi pemakaian qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, serta
mengetahui fakta-fakta yang ada nas nya dan yang tidak ada nasnyaMengetahui segi-segi
pemakaian qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, serta mengetahui fakta-fakta yang
ada nas nya dan yang tidak ada nasnya.
5. Mampu menghadapi nas-nas yang berlawanan.
Tingkatan Ijtihad
Jenis-jenis mujtahid
1. Mujtahid Mutlak (Mujtahid Fi al-syar’i)
2. Mujtahid madzhab (Mujtahid fi al-madzhab atau fatwa mujtahid)
3. Mujtahid fi al-Masail atau ijtihad parsial (dalam cabangcabang
tertentu)
4. Mujtahid Muqqayad
Penerapan Ijtihad
Secara umum pola ijtihad dapat dibagi ke dalam tiga pola, yaitu:
1. Pola Bayani (kajian semantik)
2. Pola Ta’lili
3. Pola Istislahi