Anda di halaman 1dari 24

Memahami Sumber Ajaran

Islam
Anggota:

Eka Suciati R. (A03219014)


Sheila Budi T. (A93219121)
Zydan Achmad (A93219124)
HADITS
Pengertian Hadits

Dari Segi Bahasa Menurut Istilah

“Yang baru” “(Hadits) ialah segala sesuatu yang


disandarkan kepada Nabi Muhammad
“Yang dekat” saw baik berupa perkataan, perbuatan,
pernyataan (taqrir), dan sebagainya.”
“Berita”
Struktur Hadits
a. Sanad
Sanad adalah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang
mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran
keaslian suatu riwayat.

b. Matan
Matan ialah redaksi hadits.
Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits adalah sebagai berikut:
i. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan.
ii. Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang
melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Qur'an (apakah ada yang bertolak
belakang atau tidak).

c. Rawi
Rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaiannya.
Posisi Nabi dan Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an

Posisi Nabi Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an


Posisi Nabi bisa sebagai pensyarah al-
● Bayan at Taqrir, yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah
Qur’an (menjelaskan atau menerangkan
al-Qur’an), pembuat hukum (legislator), diterangkan di dalam Al Qur'an.
dan teladan masyarakat Muslim yang ● Bayan al Tafsir, memberikan tafsiran (perincian) terhadap isi Al
wajib dipatuhi oleh masyarakat.
Quran yang masih bersifat umum (mujmal) serta memberikan
batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat mutlak
(taqyid).
● Bayan at Tasyri' adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-
ajaran yang tidak didapati dalam Al Qur'an.
● Bayan Nasakh, yaitu menghapus ayat Al Quran, tetapi
keberadaannya diperdebatkan oleh para ulama.
Contoh Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
a) Bayan at Taqrir (memperjelas isi Al-Qur’an)

“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sampai ia berwudhu” (HR. Bukhari dari
Abu Hurairah)

Hadits diatas mentaqrir dari surat Al-Maidah ayat 6 mengenai keharusan berwudhu ketika hendak mendirikan shalat
yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al-Maidah: 6)

b) Bayan at Tafsir (menafsirkan isi Al-Qur'an)

“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari
pergelangan tangan.”

Hadist diatas menafsirkan surat Al-Maidah ayat 38:


“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah” (QS. Al-Maidah: 38)

Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan memotong tangannya. Ayat ini masih
bersifat umum, kemudian Nabi SAW memberikan batasan bahwa yang dipotong dari pergelangan tangan.
c) Bayan at Tasyri (memberi kepastian hukum Islam yang tidak ada di Al-Qur’an)

Hadist mengenai zakat fitrah:


“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma
atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.” (HR. Muslim)

d) Bayan Nasakh (mengganti ketentuan terdahulu)

“Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud).

Hadis tersebut me-nasakh ketentuan dalam QS. Al-Baqarah ayat 180:


“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia
meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik,
(sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 180)

Menurut para ulama yang menerima adanya nasakh hadis terhadap Al- Qur’an, hadis di atas menasakh
kewajiban berwasiat kepada ahli waris, yang dalam ayat di atas dinyatakan wajib. Dengan demikian,
seseorang yang akan meninggal dunia tidak wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli
warisnya, karena ahli waris itu akan mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal tersebut.
SANAD & MATAN
Secara istilah para ahli hadits, menurut
SANAD SECARA Syaikh Manna’ Al-Qathan, sanad
adalah:
BAHASA ”Jalan yang menyampaikan kepada
matan.”
Sanad secara bahasa berarti al-
Yaitu rangkaian rijal (perawi) yang
Mu’tamad yaitu “yang bisa dijadikan menyampaikan kepada matan.
pegangan.” Atau dapat juga diartikan Dinamakan dengan sanad karena para
“sesuatu yang terangkat (tinggi) dari Hafizh (ahli hadits) bersandar
tanah. kepadanya dalam menentukan shahih
dan dha’if-nya suatu hadits.
Kritik Sanad

● Syuhudi Ismail4 menukil salah satu ahli hadis yang


● Dari pengertian tersebut, diketahui bahwa
merumuskan kaidah kesahihan hadis, yakni Abu ‘Amr
muhaddisin bersepakat penilaian kesahihan
‘Usman ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-Salah (w. 643 H).

Beliau menjelaskan bahwa hadis sahih ialah ‘’hadis


hadis dapat dilakukan melalui kritik sanad

yang sanadnya tersambung, yang disampaikan \seorang yang ditelusuri melalui 5 syarat:

yang adil serta dabit kepada orang yang adl serta dabit

lain dan seterusnya, serta tidak memuat syaz dan

‘illah”.
Ittisal al-sanad yakni setiap rawi dari sanad

sebuah hadis harus menerima suatu hadis dari

gurunya yang merupakan rawi di atasnya

Ittisal al-sanad dalam urutan sanad. Metode dalam menerima

hadis yang paling mu’tabar adalah dengan

mendengar secara langsung dari rawi di

atasnya.
‘Adl yakni rawi yang memiliki konsisten
dalam bertaqwa dan menghindari berbagai
dosa. Terdapat kesimpangsiuran dalam
merumuskan kriteria rawi yang ‘Adl, sebab

‘Adl
sulit sekali menemukan rawi yang benar-
benar semasa hidupnya disibukkan dengan
taat kepada Allah tanpa ada dosa. Ibn
Hibbón menyatakan bahwa rawi ‘Adl adalah
rawi yang mayoritas perilaku selama
hidupnya menunjukkan ketaatan kepada
Allah.
hafal sebuah hadis dan tertancap di dalam

hatinya. Sehingga ia mampu

mengungkapkan sebuah hadis beserta

maknanya tanpa bantuan tulisan. Sekiranya

ia mampu memahami dan hafal sebuah hadis

Dabit
ketika menerima, menyampaikan, dan jeda

waktu diantara keduanya.

2. dabit kitab, yakni tulisan milik perawi


“Dabit yakni perawi disyaratkan
yang memuat hafalan sebuah hadis dengan
memiliki daya hafal yang tinggi. syarat tulisannya tersebut telah

Daya hafal ini dapat dimuat dalam dibandingkan, ditashih, dan dirujuk dari

gurunya.
dua hal”
Syaz adalah sebuah hadis yang

Terhindar dari disampaikan periwayat yang memiliki


sifat iqqah tetapi bertentangan oleh

syaz’
riwayat yang lebih iqqah lainnya. Untuk
menimbang sebuah hadis dinilai sahih
ataukah tidak tergantung dengan adanya
syaz atau tidaknya dalam hadis tersebut.
Karena sebuah hadis tidak bisa dikatakan
sahih ketika tidak mengandung syaz.
‘illah di sini bukan cacar dalam hadis yang bisa
dicari tahu dengna mudah oleh peneliti, disebut
ta’n atau jarh, contohnya rawi pembohong,
tetapi cacat tersembunyi ‘illat qadihah) yang

Tidak ada’illah memerlukan ketelitian peneliti. Bahkan ‘Abdal-


Rahman al-Mahdi berpandangan (w. 194 H),
dibutuhkan intuisi guna mencari tahu cacat
‘illah adalah adanya sebuah cacat atau
terembunyi (‘illah) itu. Ahli hadis
kerancuan yang berindikasi kepada rusaknya
berpandanganm ‘illah bisa terdapat dalam
kualitas hadis sehingga hadis menjadi tidak sahih
sanad, matan maupun kedua-duanya.
IJTIHAD
Definisi Ijtihad

Secara bahasa berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihaadan artinya pengerahan


segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit (bersungguh-sungguh).

Secara istilah menurut Muhammad Ibn Husayn Ibn Hasan al-Jizani bahwa ijtihad
adalah mengerahkan semua pemikiran dalam mengkaji dalil shar’iyyah untuk
menentukan beberapa hukum syari’at.
Dasar Ijtihad

Menurut Alqur’an terdapat dalam QS An-Nisa’; Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam
105 yang artinya: Abu Dawud yang artinya:

”Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu ”Apabila seorang hakim (akan) menetapkan hukum lalu ia

dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara berijtihad, dan ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua

manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, pahala, dan ijtihadnya itu salah, maka ia mendapat satu

dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak pahala” (HR. Abu Dawud).

bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”

(QS. An-Nisa’: 105)


Hukum Ijtihad

1. Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia harus mengamalkan
hasil ijtihadnya sendiri.
2. Fardu ‘ain juga untuk menjawab permasalahan yang belum ada hukumnya. Dan bila tidak
dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut, dan
habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
3. Fardu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis
waktunya, atau ada lagi mujtahid yang lain yang telah memenuhi syarat.
4. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun
tidak.
5. Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qath’i karena bertentangan
dengan syara’.
Lapangan Ijtihad

Yang dilarang menjadi lapangan ijtihad:

1. Hukum yang dibawa oleh nas qath’i, baik kedudukannya maupun pengertiannya, atau di bawa oleh
Hadis mutawatir.
2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh suatu nas dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama,
tetapi telah disepakati (diijma’kan).

Lapangan yang dapat menjadi objek ijtihad:

3. Lapangan yang dibawa oleh nas yang zanni.


4. Lapangan yang dibawa oleh nas qath’i kedudukannya, tetapi zanni pengertiannya.
5. Lapangan yan dibawa oleh nas yang zanni kedudukannya, tetapi qath’i pengertiannya.
6. Lapangan yang tidak ada nas nya atau tidak diijma’kan dan tidak pula diketahui dengan pasti.
Macam-Macam Ijtihad

Ijtihad Fardi Ijtihad Jama’i


Syarat-Syarat Ijtihad

1. Mengetahui bahasa arab dengan segala seginya, sehingga memungkinkan dia menguasai
pengertian susunan katakatanya.
2. Mengetahui Al-Qur’an, dalam hal ini adalah hukum-hukum yang dibawa oleh Al-Qur’an beserta
ayat-ayatnya dan mengetahui cara pengambilan hukum dari ayat tersebut.
3. Mengetahui Hadis - Hadis Nabi saw, yaitu yang berhubungan dengan hukum-hukum syariah.
4. Mengetahui segi-segi pemakaian qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, serta
mengetahui fakta-fakta yang ada nas nya dan yang tidak ada nasnyaMengetahui segi-segi
pemakaian qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, serta mengetahui fakta-fakta yang
ada nas nya dan yang tidak ada nasnya.
5. Mampu menghadapi nas-nas yang berlawanan.
Tingkatan Ijtihad

Jenis-jenis mujtahid
1. Mujtahid Mutlak (Mujtahid Fi al-syar’i)
2. Mujtahid madzhab (Mujtahid fi al-madzhab atau fatwa mujtahid)
3. Mujtahid fi al-Masail atau ijtihad parsial (dalam cabangcabang
tertentu)
4. Mujtahid Muqqayad
Penerapan Ijtihad

Secara umum pola ijtihad dapat dibagi ke dalam tiga pola, yaitu:
1. Pola Bayani (kajian semantik)
2. Pola Ta’lili
3. Pola Istislahi

Anda mungkin juga menyukai