Kelompok 5
Studi Hadits
Nama Kelompok:
Dian Novitasari
1 (H71219021)
Fiqih Fallahian
2 (H91219045)
" َمنْ أَ َتي: "عنْ أَ ِبي َت ِم ْي َم ِة اله َُج ْيمِي َعنْ أَ ِبي ه َُري َْر َة َع ِن ال َّن ِبيِّ ص م َقا َل َ "ح ِكي ِْم األَ ْث َر ِم ِ َماأَ ْخ َر َج ُه ال ِّترْ ِم ْي ِذيْ ِمنْ َط ِري
َ ْق
" َحائِضا ً أَ ْو ِامْ َرأ ًة فِي ُدب ُِر َها أَ ْو َكا ُه َنا َف َق ْد َك َف َر ِب َما أَ ْن َز َل َعلَى م َُح ِّم ٍد
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-
Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita
haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah
mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw.
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui
hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al- atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh
Nabi Muhammad dari segi sanad karena di dalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab
didhaifkan pula oleh para ulama hadits”.Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam
kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim al- Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang yang
bermuka dua.
Tingkat Kedhaifan Hadits
1. Hadits dhaif yang memiliki tingkat kedhaifan rendah seperti sanad
hadits yang terputus atau majhul, maka hadits dhaif tersebut dapat
naik ke tingkat yang lebih tinggi menjadi hadits hasan li ghoiri. Hal ini
terjadi jika terdapat hadits riwayat lain yang menguatkan hadits
dhaif.
2. Hadits dhaif yang memiliki tingkat kedhaifan tinggi, maka hadits dhaif
tidak dapat naik ke tingkat yang lebih tinggi meskipun ada hadits
riwayat lain yang menguatkan hadits dhaif tersebut. Hal ini terjadi
karena dalam meriwayatkan hadits terdapat perawi yang tidak
dhabith, dianggap berdusta, ataupun berdusta.
02
Macam-Macam
Hadits Dhaif
Disebabkan keterputusan sanad
1. Hadist Muallaq : hadist yang terputus sanadnya di awal, baik
terputus satu rawi atau lebih secara berurutan
2. Hadist Mursal : hadist yang terputus sanadnya di akhir setelah
tabi’in.
- Mursal Jaly : hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari
gurunya, tetapi ia tidak semasa dengannya
- Mursal Shahaby : pemberitaan sahabat yang disandarkan
kepada nabi Muhammad SAW tetapi ia tidak
mendengar/melihat sendiri apa yang ia beritakan
- Mursal Khafi : meriwayatkan hadist dari orang yang pernah ia temui atau
sezaman, akan tetapi riwayat (hadist) tersebut tidak pernah ia dengar
darinya.
3. Hadist Munqoti’ : Hadist yang sanadnya tidak sambung dengan cara
terputusnya sanad dimanapun posisinya
4. Hadist Mu’dhol : hadist yang terputus sanadnya dua rawi atau lebih secara
berurutan.
Disebabkan Cacat pada Rawi/Matan
1. Hadist Maudhu’ : hadist palsu yang disandarkan kepada
nabi Muhammad SAW dari perawi yang pendusta baik
disengaja maupun tidak.
2. Hadist Matruk : hadist yang diriwayatkan oleh perawi
yang dituduh berdusta.
3. Hadist Munkar : Hadist yang diriwayatkan oleh rawi
dhaif, dimana bertentangan dengan Hadust yang
diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat (terpercaya dan
jujur).
4. Hadist Mu’allal: Hadist yang terdapat cacat secara
signifikan, dimana dapat menghilangkan keshahian hadist
tersebut.
5. Hadist Mudraj : Hadist yang matannya dirubah/disisipi
lafadz lain yang sebenarnya bukan bagian dari hadist
tersebut.
Disebabkan Cacat pada Rawi/Matan
Sebagian ulama ada yang memberi keringanan dalam menyebutkan hadits dho’if asalkan memenuhi
tiga syarat:
1. Dho’if-nya tidak terlalu dho’if.
2. Hadits dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits pokok) dari hadits shahih, artinya ia berada di
bawah kandungan hadits shahih.
3. Tidak boleh diyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya.
Dari sini, berarti jika haditsnya sangat dhoif (seperti haditsnya diriwayatkan oleh seorang pendusta),
maka tidak boleh diriwayatkan selamanya kecuali jika ingin dijelaskan kedhoifannya. Jika hadits
tersebut tidak memiliki pendukung yang kuat dari hadits shahih, maka hadits tersebut juga tidak
boleh diriwayatkan. Misalnya hadits yang memiliki pendukung dari hadits yang shahih: Kita
meriwayatkan hadits tentang keutamaan shalat Jama’ah, namun haditsnya dhoif. Maka tidak mengapa
menyebut hadits tersebut untuk memotivasi yang lain dalam shalat jama’ah karena saat itu tidak ada
bahaya meriwayatkannya. Karena jika hadits tersebut dho’if, maka ia sudah memiliki penguat dari
hadits shahih. Hanya saja hadits dho’if tersebut sebagai motivator. Namun yang jadi pegangan
sebenarnya adalah hadits shahih.
3. Penjelasan Apik dari Ibnu Taimiyah
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada satu pun ulama yang mengatakan
bolehnya menjadikan sesuatu yang wajib atau sunnah berdasarkan hadits dho’if.
Barangsiapa menyatakan bolehnya hal itu, maka sungguh ia telah menyelisihi ijma’
(kesepakatan para ulama). Hal ini sama halnya ketika kita tidak boleh mengharamkan
sesuatu (dalam masalah hukum) kecuali berdasarkan dalil syar’i (yang shahih).
Sebagian ulama bersikap bahwa hadits dho’if tidak boleh digunakan secara mutlak
kecuali jika ingin dijelaskan dho’ifnya. Pendapat ini tidak diragukan lagi lebih hati-hati
dan lebih selamat. Untuk memotivasi pada kebaikan dan mengancam suatu perbuatan
yang jelek sebenarnya sudah cukup dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Syarat Diterimanya Hadits
Secara teoritis, kevalidan hadits dibagi menjadi 2, yaitu maqbul (diterima) dan mardud
(ditolak). Kualitas hadits menggunakan kriteria hadits shahih, hasan, dan dhaif. Hadits
shahih dan hadits hasan diterima sebagai hadits, sedangkan hadits dhaif ditolak. Jika
ingin diterima syaratnya harus terdapat syahid (saksi) dan mutabi. Maka dari itu,
derajatnya akan naik menjadi hasan lighairihi (Soetari, 2015). Adapun syarat-syarat
diterimanya hadits, sebagai berikut:
1. Rawinya adil
2. Rawinya dhabith
3. Sanadnya bersambung
4. Padanya tidak terdapat suatu kerancuan
5. Padanya tidak terdapat “illat yang merusak
THANK
YOU!