Anda di halaman 1dari 20

HADIS DARI SISI KUANTITASNYA

Makalah Disusum Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadis


Dosen Pengampu : Khafid Abadi, M.H.I

Disusun oleh :

Gus Maula Nadhief Rosyid (1221095)


Ulumul Hadis C

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI PEKALONGAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam diskursus pengetahuan Islam, Al-Quran dan hadis merupakan


sumber tekstual yang paling utama.1 Pada mulanya kedua sumber ajaran
tersebut bukanlah berupa teks, melainkan hanya berupa “lisan” perkataan atau
amalan saja, yang selanjutnya secara bertahap dengan perjalanan sejarah yang
cukup kompleks dan alur yang sangat berliku, kemudian pada akhirnya
menjadi sebuah korpus teks yang tertulis dan disucikan. Hal ini sebagai
konsekwensi dari tradisi Islam yang dalam jangka waktu lama telah
menciptakan pola pengkultusan dari sebuah tradisi lisan dan kultus personal
(nabi Muhammad) kepada bentuk tradisi tulis atau teks yang selanjutnya teks
tersebut menjadi pemangku sekaligus pengganti otoritas (personal) dalam
ajaran-ajaran Islam selanjutnya. Meskipun pada dasarnya al-Quran dan hadis
sebagai sumber ajaran berawal dari tradisi lisan yang sama yakni lisan nabi
Muhammad kepada para sahabat yang dalam hal ini keduanya didengarkan,
dihafalkan dan dituliskan, akan tetapi dari segi periwayatan selanjutnya
keduanya sangat berbeda. Al-Quran berkembang dalam tradisi lisan (hafalan)
dan teks (catatan) yang mutawatir dengan pola kodifikasi yang berlangsung
secara sangat ketat sejak diucapkan oleh nabi sampai wafatnya, hingga pada
akhirnya menjadi mushaf resmi di masa Ustman bin Affan. Maka dari sisi
tersebut Al-Quran menjadi korpus tekstual yang keotentikannya terjamin
secara penuh (qathi).2 Berbeda dengan hadis yang periwayatannya.

1
MM. Azami, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Lentera, 1995), terjm. Meth Kieraha,. 49.5M. Syuhudi
Ismail, Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994). 75.6M. Syuhudi Ismail,
Hadits Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal Dan Lokal,( Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 89
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan rumusan
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana cara memahami hadis sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dari
sisi kuantitas?
b. Bagaimana memahami macam-macam Hadis dari sisi kuantitas?
c. Bagaimana prinsip dasar Hadis?
C. Tujuan Pembahasan
Makalah tersebut disusun guna ;
a. Mengetahui cara memahami hadis sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dari
sisi kuantitas
b. Mengetahui macam-macam Hadis dari sisi kuantitasnya
c. Mengetahui prinsip dasar Hadis
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hadis dari sisi kuantitasnya
Dalam menransmisikan hadis, Nabi Muhammad Saw. terkadang berhadapan
langsung dengan sahabat yang jumlahnya sangat banyak karena pada saat itu nabi
sedang memberikan khutbah di hadapan kaum Muslimin, kadang hanya beberapa
sahabat, bahkan juga bisa terjadi hanya satu atau dua orang sahabat saja. Demikian itu
terus terjadi dari sahabat ke tabi’in sampai pada generasi yang menghimpun hadis
dalam berbagai kitab. Dan sudah barang tentu informasi yang dibawa oleh banyak
rawi lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan informasi yang dibawa oleh satu
atau dua orang rawi saja. Dari sinilah, para ahli hadis membagi hadis menurut jumlah
rawinya.

a. Hadis Mutawatir.

Kata Mutawatir secara etimologi berarti Muttabi’ atau yang artinya yang
datang beturut-turut dan tidak ada jarak. Sedangkan secara terminologi hadis
mutawatir adalah, “Hadis mutawatir adalah hadis yang merupakan tanggapan
pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan
mustahil mereka
Menurut Khatib al-Bagdadi, hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diriwayatkan
oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil
bersepakat untuk berdusta. Dan sebelum al-Bagdadi menurut imam Syafi’i, ia telah
mengemukakan istilah hadis mutawatir dengan istilah khabar al-‘ammah. Ada ulama
yang menerangkan hadis mutawatir dengan jelas dan terperinci yaitu Ibnu Hajar al-
Asqalani. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis mutawatir yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil melakukan kesepakatan untuk
berdusta. Mereka itulah yang meriwayatkan hadis dari awal hingga akhir sanad.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang ketentuan batas minimal
berapa jumlah rawi pada hadis mutawatir. 3

3
Mahmud Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Keshahihan Hadits,( Bandung: CV Pustaka Setia,
1998), 17.2Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-
Fikr,
1989), 46.3 Arifuddin Ahmad, paradigma Baru Memahami Hadits Nabi,( Jakarta: Insan Gemerlang).
Menurut Abu Gayyib adalah sekurang-kurangnya ada 4 orang pada tiap
tabaqah (tingkatan) rawinya. Imam Syafi’i mengemukakan paling sedikit (minimal) 5
orang pada tiap habaqah. Ada juga ulama lain yang menentukan paling sedikit 20
orang pada tiap habaqah. Ada juga pendapat yang keras dari sebagian ulama’ bahwa
mereka menentukan hadis mutawatir harus memenuhi syarat 40 rawi pada tiap-tiap
habaqah (tingkatan). Jika hadis mutawatir syarat-syaratnya sangat ketat. Namun
menurut Ibnu alah, hadis mutawatir tetap ada namun jumlahnya tidak banyak. Hadis
mutawatir terbagi menjadi dua macam; pertama, mutawatir lafdzi, kedua, mutawatir
ma’na. Mutawatir lafdzi yaitu hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh rawi yang
banyak dan mencapai syarat-syarat mutawatir dengan redaksi dan makna hadis yang
sama antara riwayat satu dan riwayat yang lain. Sedangkan mutawatir ma’na yaitu
hadis yang mempunyai tingkat derajat mutawatir namun susunan redaksinya berbeda
antara yang diriwayatkan satu rawi dengan rawi yang lain, namun isi kandungan
maknanya sama.

Menurut pendapat para ulama ahli hadis, bahwa tidak boleh ada keraguan sedikit
pun dalam memakai hadis mutawatir. Hadis mutawatir harus diyakini dan dipercayai
dengan sepenuh hati. Hal ini sama halnya dengan pengetahuan kita tentang adanya
udara, angin, panas, dingin, air, api dan jiwa, yang tanpa membutuhkan penelitian
ulang kita sudah percaya akan keberadaannya. Jadi, dengan kata lain nahwa hukum
hadis mutawatir adalah bersifat qat’i (pasti).

b. Hadis Ahad.

Yang dimaksud hadis ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, tiga
orang atau lebih namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Artinya, pada tiap tiap
tabaqah (tingkatan), jumlah rawi hadis ahad bisa hanya terdiri dari satu rawi, dua,
atau tiga rawi saja dan tidak mencapai derajat mutawatir.

Di kalangan para ulama’ ahli hadis terjadi perbedaan pendapat mengenai


kedudukan hadis ahad untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama’
ahli hadis berkeyakinan bahwa hadis ahad tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk
masalah akidah. Sebab, menurut mereka, hadis ahad bukanlah qat’i as-Subut (pasti
ketetapannya). Namun menurut para ahli hadis yang lain dan mayoritas ulama, bahwa
hadis ahad wajib diamalkan jika telah memenuhi syarat kesahihan hadis yang telah
disepakati.4

Hadis ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis
garib.

1) Hadis Masyhur.

Definisi hadis masyhur adalah, "Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau
lebih, namun belum mencapai derajat mutawatir." Dari definisi tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw.
oleh beberapa orang sahabat namun tidak mencapai tingkat mutawatir. bisa jadi, pada
thabaqah (tingkatan) tabiin atau setelahnya hadis itu diriwayatkan secara mutawatir.
Tetapi, ini tidak terjadi pada setiap thabaqah.
Dari segi tingkatannya, hadis masyhur adalah termasuk paling tinggi, sebab rawi
hadis masyhur ini yang paling dekat untuk mencapai derajat mutawatir. Hanya saja,
ada pada salah satu tingkatan rawinya tidak mencapai derajat mutawatir.

2) Hadis Aziz.

Definisi hadis azrz adalah: “Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang pada satu
habaqah. Kemudian pada habaqah selanjutnya banyak rawi yang meriwayatkannya.”
Dari definisi tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan hadis aziz yaitu
hadis yang pada salah satu atau setiap thabaqah (tingkatan) rawinya hanya dijumpai
dua rawi saja. Suatu hadis yang dikatagorikan sebagai hadis aziz yaitu: • Pada tiap-
tiap thabaqah (tingkatan) hanya terdapat dua rawi saja.

Suatu hadis yang dikatagorikan sebagai hadis aziz yaitu: • Pada tiap-tiap
thabaqah (tingkatan) hanya terdapat dua rawi saja. • Pada salah satu thabaqah
(tingkatan) hanya terdapat dua rawi, meskipun thabaqah yang lainnya lebih dari tiga
rawi.
5

4
Hasby Ash-Shaddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, ( Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), 175.16Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari, ( Jakarta:Pustaka Azzam, 2003), jilid 3, 279
5
MM. Azami, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Lentera, 1995),
3) Hadis Garib.

Secara etimologi kata garib dari garaba - yagribu yang artinya menyendiri, asing,
atau terpisah. Sedangkan secara terminologi hadis garib adalah: “Hadis yang
diriwayatkan oleh seorang rawi, di manapun tempat sanad itu terjadi.” Dari definisi
tersebut di atas, dapat katakan bahwa yang dimaksud dengan hadis garib yaitu hadis
yang diriwayatkan oleh hanya seorang rawi saja, baik dalam seluruh tingkatan sanad
atau pada salah satu tingkatan sanadnya. Adapun yang dimaksud dengan sanad
menyendiri pada suatu hadis yaitu rawi yang meriwayatkan hadis secara sendirian
tanpa ada rawi yang lain. Hadis garib juga biasa disebut hadis fardun yang artinya
sendirian. Ibnu Hajar menganggap bahwa antara garib dan fardun adalah sinonim,
baik secara bahasa maupun secara istilah. Akan tetapi, kebanyakan para ahli hadis
membedakan antara garib dan fardun, yakni istilah fardun merujuk kepada garib
mutlak, sedangkan istilah garib dipakai pada garib nisbi. Hal ini sesuai dengan
pengklasifisian hadis garib yang memang dibagi menjadi dua bagian, yaitu: a) Hadis
Garib Mutlak (fardun). Hadis Garib Mutlak (fardun) adalah hadis yang ke-gariban-
nya terletak pada asal sanad. Maksudnya, hadis pada saat disampaikan oleh Rasul
saw. hanya diterima oleh satu orang sahabat. b) Hadis Garib Nisbi. Yang termasuk
sebagai hadis garib nisbi yaitu apabila kegariban terjadi pada pertengahan sanadnya,
bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari
satu orang rawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua rawi itu hadis ini
diriwayatkan oleh satu orang rawi saja yang mengambil dari para rawi tersebut.
6

6
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Ciputat: Mutiara Sumber Widya, 2001),
mujtahid muqallid dengan menggunakan kaidah dan ushul para pemimpin
mazhab mereka.
Sementara kata muamalah berasal dari kata ‘âmala yang berarti berurusan
(dagang), bergaul dengannya. Dalam muâmalah ini harus ada interaksi antara dua
pihak. Untuk itu, setiap interaksi antara dua pihak disebut sebagai muamalah.
Muâmalat juga diartikan sebagai hukum syar’i yang mengatur hubungan kepentingan
individu dengan lainnya.7
Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas,
sebagaimana yang dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa, yaitu peraturan-
peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk
menjaga kepentingan manusia”. Namun belakangan ini pengertian muamalah lebih
banyak dipahami sebagai aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia (habl min Allah) dalam memperoleh dan mengembangkan harta
benda atau lebih tepatnya dapat dikatakan sebagai aturan Islam tentang kegiatan
ekonomi yang dilakukan manusia (Fikih Muamalah Maliyah). Fikih muamalah
menurut Musthafa Ahmad Zarqa dalam Ghufron Ajib adalah hukum-hukum yang
berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan sesama manusia dalam urusan
kebendaan, hak-hak kebendaan serta penyelesaian perselisihan di antara mereka.
Dapat dilihat di sini bahwa fikih muamalah dapat dipahami sebagai hukum
perdata Islam tetapi terbatas pada hukum kebendaan dan hukum perikatan. Dengan
demikian Fikih Muamalah adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syari’ah
yang terkait dengan hubungan antarmanusia dari dalilnya yang terperinci.
Fikih Muamalah menurut Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat
keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik. Sementara menurut Rasyid
Ridha Fikih Muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat
dengan cara-cara yang ditentukan. Pengertian Fikih Muamalah ini lebih sempit
karena mencakup interaksi dan transaksi muamalah yang terkait dengan harta benda.
Hal ini untuk membedakan pengertian Fikih Muamalah yang mencakup segala
bentuk interaksi manusia dalam masalah keduniaan.
Fikih muamalah Maliyah dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang
kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat mengenai perilaku

7
Nurfaizal, Prinsip-Prinsip Muamalah Dan Inplementasinya Dalam Hukum Perbankan
Indonesia, HUKUM ISLAM, Vol. XIII No. 1 Tahun 2013, ha. 194
manusia dalam kehidupanya berhubungan dengan pengelolaan harta, perputaran
uang, mencari rizki, seperti jual beli, perdagangan dll. Urgensinya agar dapat
melakukan praktik muamalah sesuai ketentuan syariat, apalagi dalam dunia
transaksional pada zaman sekarang yang dinamis, disitulah pentingnya memahami
muamalah maliyah.8
2. Posisi Fikih Muamalah dalam Kajian Keislaman
Pada dasarnya, Islam diturunkan ke dunia ditahbiskan sebagai rahmat bagi
semesta alam9sebagaimana juga ketika Allah menunjuk manusia menjadi khalifah di
dunia ini,10 dalam rangka merealisasikan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan
di dalamnya. Manusia mempunyai tugas pengabdian dalam skala yang luas, karena
pada hakikatnya, aktivitas manusia yang beriman masuk ke dalam terma pengabdian
sepanjang keikhlasan tersemat di dalamnya. Jadi, semua usaha manusia dalam
rangka memakmurkan bumi dan seluruh isinya merupakan bentuk pengakuan kepada
Allah. Di situlah, Islam sebagai agama yang terkonstruk sebagai sebuah sistem ajaran
yang universal.
Untuk mencapai tujuan yang sangat mulia ini, Allah telah memberikan
petunjuk yang mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia sebagai
khalifah Allah di bumi ini, baik petunjuk itu berupa aqidah, akhlak maupun sharî‘ah.
Dua komponen pertama, aqidah dan akhlak, bersifat konstan dan absolut. Keduanya
tidak dapat direduksi dalam lintasan waktu dan tempat (akan selalu relevan dalam
setiap waktu dan tempat). Sedangkan dalam aspek sharî‘ah atau mu‘âmalah, ia akan
senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban
manusia.11

8
Abdul Rahman Ghazaly, dkk., Fiqh Muamalat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hal. 3-
4.
9
al-Qur’ân, 17: 107
10
Dalam surah al-Baqarah ayat 30 Allah mengisahkan tentang kelebihan manusia (sebagai
makhluk) dibandingkan dengan makhluk lainnya, manusia memiliki kemampuan untuk mengelolah
alam, sehingga dia dipercaya dan ditunjuk untuk menjadi khalifah di bumi ini. Lihat al-Qur’ân, 2: 30.
Baca lebih lengkapnya dalam Mah}mûd Muh}ammad H{ijâzî, Al-Tafsîr al-Wâd}ih}, Vol. 1 (Beirut:
Dâr al-Jabal, t.th.), 29.
11
al-Qur’ân, 5: 48.
Allah dalam surah al-Nisâ’ ayat 5 menegaskan bahwa untuk tiap-tiap umat di
antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. ayat tersebut di atas menunjukkan
adanya nilai fleksibelitas dan elastisitas. Artinya Islam tidak rigid dan eksklusif,
karena pernyataan itu dapat diberlakukan kapan dan di mana pun sesuai dengan taraf
dan perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, sharî‘ah Islam sebagai suatu
aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad memiliki keunikan tersendiri.
Sebab sharî‘ah ini bukan saja komprehensif tetapi juga universal. Karakter
istimewa ini diperlukan, sebab tidak akan ada sharî‘ah yang datang kemudian untuk
menyempurnakannya. Komprehensif, berarti sharî‘ah Islam mencakup seluruh aspek
kehidupan, baik ibadah (habl min Allâh) maupun muamalah (habl min alnâs). Ibadah
diperlukan dalam kehidupan beragama untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan
hubungan manusia dengan Khaliknya.
Sedangkan aspek mu‘âmalah merupakan aturan main dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan sehingga aturannya bersifat longgar sesuai tingkat perkembangan
masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan universal, bahwa sharî‘ah Islam dapat
diaplikasikan di setiap waktu dan tempat (shâlih li kull zamân wa makân). Oleh
karenanya, universalitas ini dibutuhkan pada konteks fiqh bidang mu‘âmalah karena
cakupannya yang sangat luas dan dituntut untuk selalu fleksibel.12
Dewasa ini banyak persoalan-persoalan aktual menyangkut fiqh mu‘âmalah
baik dalam bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya yang belum
dipahami oleh sebagian besar umat Islam tentang bagaimana status hukum dan
solusinya, apakah persoalan itu masuk dalam kategori khilâfîyah atau tidak. Semua
persoalan ini mesti diselesaikan melalui produksi fiqh yang lebih akomodatif.

12
Jamaluddin , Konsep Dasar Muamalah & Etika Jual Beli (Al-Ba’i) Perspektif Islam , Vol 28,
No 2, Tahun 2017, hal. 289
Kelangkaan komunikasi fiqh kontemporer dan penghayatan sharî‘ah serta wacana
ijtihad aktual yang baik dan akomodatif sebenarnya telah lama menjadi keprihatinan
banyak pihak untuk menghadapi begitu banyak problematika kekinian.
Sementara di pihak lain tidak mudah mendapatkan jawaban fiqh yang
memuaskan atau minimal memperoleh pencerahan wawasan sharî‘ah. Hal itu
dikarenakan jumlah teks-teks normatif, baik al-Qur’ân dan Sunnah, yang sangat
terbatas sedangkan problematika kontemporer yang membutuhkan solusi terus-
menerus bermunculan. Bagi Jasser Auda, walaupun al-Qur’ân dan Sunnah Nabi
dianggap sebagai sumber rujukan yang bersifat final, tetapi ia terbuka untuk dipahami
dan ditafsirkan. Sebagai teks rujukan, keduanya telah menjadi pedoman hidup yang
memiliki visi keadilan, hikmah dan kerahmatan dalam segenap situasi dan kondisi.
Inilah pengertian sharî‘ah Islam dalam level pertama.13
Sedangkan pada level fiqh, sharî‘ah Islam harus dipahami sebagai usaha
untuk “membumikan” tujuan yang diinginkan oleh Pembuat sharîah (shâri‘). Usaha
ini dilakukan melalui pemikiran mendalam atau apa yang biasa disebut dengan
ijtihad. Melalui ijtihad, al-Qur’ân dan Sunnah dijabarkan menjadi aturan hukum
sesuai dengan situasi lingkungan yang melingkupi seorang mujtahid. Sementara pada
level fatwa, sharî‘ah hanya dapat diakui sejauh mencerminkan tujuan sharî‘ah itu
sendiri. Sharî‘ah dalam pengertian level yang terakhir ini sangat terkait dengan
perwujudan dari tujuan sharî‘ah, bukan berorientasi kepada ideologi atau mazhab
tertentu. Dengan pemahaman seperti itu, maka sharî‘ah Islam adalah wahyu (al-
Qur’ân dan Sunnah) yang sempurna, sedangkan kesempurnaan sharî‘ah bergantung
pada upayanya yang selalu berkesinambungan untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi masyarakat dan mengarahkan manusia pada esensi kemanusiaan dan
semangat kehidupan.
Di sini, sharî‘ah sebagai wahyu harus dibedakan dengan hasil pemikiran
tentang sharî‘ah atau interpretasi terhadap wahyu. Sharî‘ah bukanlah segala hukum
agama, aturan ibadah, legislasi hukum, segala pendapat para ahli fiqh, mufassir,
13
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 26.
pandangan para komentator dan ajaran tokoh agama. Pencerahan wawasan sharî‘ah
dapat dilakukan dengan memberikan informasi, pengetahuan serta pemahaman
komprehensif dan relevan dengan masalah kontemporer sehingga mendapatkan
masukan baru yang implikasinya lebih luas. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh
Nabi ketika ditanya tentang hukum air laut, apakah boleh dipakai untuk wudu? Nabi
memberikan fatwa bahwa air laut itu suci dan halal bangkai binatangnya. Oleh karena
itu dalam kajian fiqh diperlukan format fleksibel yang dapat memberikan wawasan
jawaban sesuai prinsip maqâs}id al-sharî‘ah, yaitu untuk menebar kemaslahatan dan
menekan terjadinya kerusakan dan kesempitan.14
3. Urgensi Fiqih Muamalah
Pendapat Muhammad Yusuf Musa tentang muamalah yaitu perintah dan
larangan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk
senantiasa menjaga kepentingan manusia. Semua manusia pasti melakukan kegiatan
muamalah. Maka muamalah memiliki posisi penting dalam kehidupan
bermasyarakat, diantaranya adalah:
1. Fikih Muamalah sebagai Pedoman Praktik Ekonomi Islam
Praktik ekonomi Islam sekarang ini telah berkembang dan berbentuk
kelembagaan. Perkembangan ekonomi Islam di bidang Lembaga Keuangan
Syari’ah (LKS) mengalami kemajuan yang sangat pesat di Indonesia.
Perkembangan ini telah menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan di banyak
kabupaten atau kota. Dalam praktek, tentunya lembaga keuangan tersebut
memiliki pedoman menjalankan transaksi dan juga manajemen-nya. Islam
memiliki acuan dalam setiap aktifitasnya, dalam kegiatan ekonomi khususnya
ada fikih muamalah yang menjadi pedoman praktiknya. Pedoman tersebut
dapat kita lihat aplikasinya salah satunya dalam bentuk akad. Akadakad fikih
muamalah yang lazim dipakai dalam busines finance diantaranya:
 Al-tabaru’, takaful, tadhamun

14
Moh. Asra Maksum , Egalitarianisme Egalitarianisme Fiqhmu‘Âmalah Dalam Sistem
Ekonomi Islam, ISLAMICA , Vol 7, No 1, Tahun 2012, hal. 233
 Al-muwâlah
 Al- mudhârabah
 Al-musyârakah
 Al-wakâlah (Agency)
 Al-mushâqah
 Bai’ al-murâbahah
 Al-wadî’ah (tentang penitipan)
Beberapa akad yang disebutkan di atas dapat kita temukan prakteknya
di berbagai LKS seperti bank syari’ah, asuransi syari’ah, gadai syari’ah dan
lain-lain. Dengan begitu sudah jelaslah bahwa transaksi yang digunakan di
berbagai lembaga tersebut merujuk pada konsep yang ada dalam fikih
muamalah, namun untuk masa sekarang dalam prakteknya terdapat banyak
upgrading guna mengikuti perkembangan zaman dan teknologi.
2. Fikih Muamalah sebagai Etika Bisnis Islam
Etika berasal dari bahasa Yunani, ethikos yang memiliki arti sebagai
konsep yang harus diterapkan dalam tindakan aplikatif. Kemudian ekonomi
diartikan dengan usaha, perdagangan atau urusan komersial. Terdapat
sejumlah kata dalam Al-Qur’an yang dapat mewakili pengertian etika dan
bisnis. Etika dalam khasanah pemikiran Islam disebut juga dengan al-akhlaq,
al-adab atau al-falsafah al-adabiyah. Kemudian kata bisnis dalam Al-Qur’an
disebutkan dengan kata al-tijarah, al-bai’, tadayantum, dan isytara. Landasan
fikih muamalah sebagai etika bisnis terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an,
diantaranya surah Al-Baqarah ayat 282 dan surah An-Nisa ayat 29. Ayat ini
menurut Ali as-Sayis dengan tegas melarang setiap orang beriman memakan
harta dengan cara yang bathil.
Kegiatan bisnis dalam perpektif fikih muamalah sangat berbeda
dengan ekonomi sekuler yang beranggapan bahwa dalam setiap urusan binis
tidak dikenal adanya etika sebagai kerngka acuan, sehingga dalam dalam
pandangan kaum kapitalis kegiatan bisnis adalah amoral. Prinsip ini
menunjukan bahwa setiap kegiatan bisnis tidak ada hubungannya dengan
moral apapun, bahkan agama sekalipun, tapi kegiatan ekonomi didasarkan
pada perolehan kesejahteraan materi sebagai tujuan utama. Berbeda dengan
pelaku keuangan syari’ah yang seharusnya akan senan tiasa
mempertimbangkan segala aktivitasnya dalam bingkai ajaran Islam dengan
prinsip-prinsip moralnya. (Ismanto, 2009)
3. Fikih Muamalah sebagai Kajian Keilmuan Ekonomi Islam
Fikih muamalah telah lama menjadi kajian keilmuan dalam
lembagalembaga, baik formal maupun non-formal. Kitab-kitab Islam tentang
mu’amalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan berlimpah, jumlahnya lebih
dari ribuan judul buku. Para ulama tidak pernah mengabaikan kajian
mu’amalah dalam kitab-kitab fikih mereka dan dalam halaqah
(pengajianpengajian) keislaman mereka. Bahkan cukup banyak para ulama
yang secara khusus membahas ekonomi Islam, seperti kitab Al-Amwal oleh
Abu Ubaid, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf, Al-Iktisab fi Rizqi al-
Mustathab oleh Hasan Asy-Syaibani, Al-Hisbah oleh Ibnu Taymiyah, dan
banyak lagi yang tersebar di buku-buku Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Al-
Ghazali, dan sebagainya.15
4. Prinsip-prinsip Muamalah
Prinsip dalam muamalah adalah setiap muslim bebas melakukan apa saja yang
dikehendakinya sepanjang tidak dilarang oleh Allah berdasarkan Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
1. Prinsip Umum Muamalah Dalam fikih muamalah, terdapat beberapa prinsip
dasar yang harus diperhatikan, yaitu:
a. kaidah fikih (hukum Islam) yang menyatakan: “pada dasarnya, segala
bentuk muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang

15
Moh. Asra Maksum , Egalitarianisme Egalitarianisme Fiqhmu‘Âmalah Dalam Sistem
Ekonomi Islam, ISLAMICA , Vol 7, No 1, Tahun 2012, hal.237
mengharamkannya”. Ini mengandung arti, bahwa hukum Islam memberi
kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan macam muamalah baru
sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
b. mu’amalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudharat (jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid) atau
sering disebut maslahah (kemaslahatan). Konsekuensi dari prinsip ini
adalah bahwa segala bentuk muamalah yang dapat merusak atau
mengganggu kehidupan masyarakat tidak dibenarkan, seperti perjudian,
penjualan narkotika, prostitusi dan sebagainya
c. muamalah dilaksanakan dengan memilahara nilai keseimbangan
(tawazun) dalam pembangunan. Konsep keseimbangan dalam konsep
syariah/muamalah Islam meliputi berbagai segi, antara lain meliputi
keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual; pengembangan
sektor keuangan dan sektor riil; dan pemanfaatan serta pelestarian sumber
daya.
d. muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai adil dan menghindari
unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk muamalah yang mengandung unsur
penindasan tidak dibenarkan. Keadilan adalah menempatkan sesuatu
hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak,
serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya.
2. Prinsip Khusus Muamalah
Secara khusus prinsip dalam muamalah ini dapat dikategorikan pada
dua hal, yaitu hal-hal yang dilarang untuk dilakukan dalam kegiatan
muamalah dan hal-hal yang di perintahkan untuk dilakukan dalam bidang
muamalah.
a. Hal-hal yang Diperintahkan untuk Dilakukan
Beberapa prinsip muamalah yang diperintahkan antara lain:
objek perniagan harus halal dan thayyib, didasarkan pada kerelaan (an-
taradhin), dan pengelolaan yang amanah. Berikut adalah penjelasan dari
masing-masing tersebut.
1) Objek perniagaan halal
Prinsip dalam muamalah adalah mesti halal dan bukan
berbisnis barangbarang yang diharamkan oleh Islam. Islam
memerintahkan pemeluknya untuk melaksanakan hal-hal yang baik
dan menghindari hal-hal yang dibenci Allah. Dalam perdagangan tidak
dibenarkan memperjualbelikan atau melakukan tindakan haram.
Umpanya Islam melarang menjual minuman keras, najis, alat-alat
perjudian, dan lain-lain.
2) Adanya kerelaan (arridhaiyyah)
Dasar asas ini adalah kalimat “antaradhin minkum” (saling rela
diantara kalian) sebagaimana terdapat dalam Alquran surah Annisa
ayat 29. Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan
harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak. Kerelaan antara
pihak-pihak yang berakad dianngap sebagai prasyarat bagi
terwujudnya semua transaksi. Jika dalam transaksi tidak terpenuhi asa
ini, maka itu sama artinya dengan memakan sesuatu dengan cara yang
bathil (al-akl bil bathil).
3) Pengurusan dana yang amanah
Dalam berbisnis, nilai kejujuran dan amanah dalam mengurus
dana merupakan ciri yang mesti ditunjukkan karena merupakan sifat
Nabi dan rasul dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah bersabda:
pedaganfg yang jujur danamanah berada bersama para nabi dan para
suhada. Kejujuran dan amanah merupakan sifat-sifat yang hampir
bersamaan, antara satu dengan yang lain saling memperkuat. Nilai-
nilai amanah ini, banyak dijelaskan Alquran, antara lain: “dan orang-
orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan (juga)
janji-janji”.
b. Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan
Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan dalam kegiatan muamalah
adalah berupa kegiatan transaksi yang didasarkan pada riba, gharar atau
taghrir, tadlis, tahkir atau ihtikar, bai al-najasy, maysir, dan risywah.16

16
Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hal. 152-159
KESIMPULAN
Muamalah dalam arti sempit yaitu semua akad yang membolehkan manusia
saling menukar manfaatnya dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah ditentukan
Allah dan manusia wajib mentaati-Nya. Muamalah merupakan salah satu
pembahasan yang menempati sangat penting dalam kajian keislaman, dikarenakan
pada dasarnya fikih muamalah merupakan bagian dari ilmu syari’at yang wajib untuk
dipelajari dan diamalkan hukum-hukumnya.
Pada dasarnya pembejasan fikih muamalah mempunyai beberapa prinsip
dasar, namun yang paling mendasari dari semuanya adalah bahawa adanya prinsip
“asal dari hukummuamalah adalah diperbolehkan selama tidak ada dalil yang
melarangnya”. Hal ini dikarenakan luasnya pembahasan dalalm muamalah serta
perubahan perkembangan yang pesat dalam pengamalanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrauf. 2012. Penerapan Teori akad pada perbankan syariah , Al-Iqtishad, Vol
IV, No. 1
Ghufron A. Mas’adi,. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Pesada)
Nurfaizal. 2013. Prinsip-Prinsip Muamalah Dan Inplementasinya Dalam Hukum
Perbankan Indonesia, HUKUM ISLAM, Vol. XIII No. 1
Abdul Rahman Ghazaly, dkk., 2010. Fiqh Muamalat, (Jakarta: Prenada Media
Group)
Jamaluddin. 2017. Konsep Dasar Muamalah & Etika Jual Beli (Al-Ba’i) Perspektif
Islam , Vol 28, No 2
Suhendi Hendi. 1997. Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)
Moh. Asra Maksum . 2012. Egalitarianisme Egalitarianisme Fiqhmu‘Âmalah Dalam
Sistem Ekonomi Islam, ISLAMICA , Vol 7, No 1
Fathurrahman Djamil. 2015. Hukum Ekonomi Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika)

Anda mungkin juga menyukai