Anda di halaman 1dari 6

.

  Syariah

Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan Rasulnya yang merupakan jalan atau
pedoman hidup manusia dalam melakukan hubungan vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan
juga kepada sesame manusia.

Ada dua pendekatan dalam mendefinisikan Syari’ah, yaitu antara lain:


Dari segi tujuan, Syari’ah memiliki pengertian ajaran yang menjaga kehormatan manusia sebagai
makhluk termulia dengan memelihara atau menjamin lima hal penting, yaitu:

a)      Menjamin kebebasan beragama (Berketuhanan Yang Maha Esa)


b)      Menjamin kehiupan yang layak (memelihara jiwa)
c)      Menjamin kelangsungan hidup keluarga (menjaga keturunan)
d)      Menjamin kebebasan berpikir (memelihara akal)
e)      Menjamin kehidupan dengan tersedianya lapangan kerja yang pantas (memelihara harta)
Lima hal pemeliharaan itu akan menjadi ukuran dari lima hukum Islam, seperti wajib, sunnat,
haram, makruh, dan mubah.
Ditinjau dari segi klasifikasi.
Untuk memahami hal ini, ada baiknya terlebih dahulu kita mengetahui arti dari Ibadah
dan Muamalah itu sendiri. Ibadah.
Berikut di bawah ini adalah pengertian dari Ibadah, menurut Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas.

B. Ruang Lingkup Syariah


Ruang lingkup syariah lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut :
1. Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT
(ritual), yang terdiri dari :
a. Rukun Islam : mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan haji.
b. Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rumun Islam.
1. Badani (bersifat fisik) : bersuci meliputi wudlu, mandi, tayamum, pengaturan menghilangkan
najis, peraturan air, istinja, adzan, qomat, I’tikaf, do’a, sholawat, umroh, tasbih, istighfar, khitan,
pengurusan mayit, dan lain-lain.
2. Mali (bersifat harta) : qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain.
2. Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan yang lainnya dalam
hal tukar-menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam,
sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-
piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan, jizah, pesanan, dan lain-lain.
3. Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam
hubungan berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya : perkawinan,
perceraian, pengaturan nafkah, penyusunan, memelihara anak, pergaulan suami istri, mas kawin,
berkabung dari suami yang wafat, meminang, khulu’, li’am dzilar, ilam walimah, wasiyat, dan
lain-lain.
4. Jinayat, yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat, kifarat,
pembunuhan, zinah, minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan, kesaksian dan lain-lain.
5. Siyasa, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantaranya :
ukhuwa (persaudaraan) musyawarah (persamaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (tolong
menolong), tasamu (toleransi), takafulul ijtimah (tanggung jawab sosial), zi’amah
(kepemimpinan) pemerintahan dan lain-lain.
6. Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar, tawadlu,
(rendah hati), pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah (berani), birrul walidain
(berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.
7. Peraturan-peraturan lainnya seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar,
pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang, dan lain-lain.

C. Sumber-Sumber Syariah
1. Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan merupakan
Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.
2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian
terhadap hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Ra’yu (Ijtihad), upaya para ahli mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menetapkan hukum
yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. 

B.Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan
menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya
satu. Definisi itu antara lain adalah:
1.      Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-
Nya.
2.       Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang
paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3.       Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa
Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki
supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki
Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58].
            Allah SWT. memberitahukan hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka
agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.dan Allah SWT. Maha Kaya, tidak
membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi mereka yang membutukan-Nya. Karena
ketergantungan mereka kepada Allah SWT. maka mereka menyembah-Nya sesuai aturan
syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak ibadah kepada Allah SWT. ia adalah sombong. Siapa
yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan maka ia adalah mubtadi
(pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia
adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).
            Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut)
adalah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah
ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati).
C.     Muamalah
Secara Etiomologi Muamalah berasal dari kata (‫ )العمل‬yang merupakan istilah yang
digunakan untuk mengungkapkan semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. muamalah
mengikuti pola (‫ ) ُمفَا َعلَة‬yang bermakna bergaul (‫)التَّ َعا ُمل‬.
Secara Terminologi Muamalah adalah istilah yang digunakan untuk permasalahan selain
ibadah.
 Menurut fiqih, muamalah ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi
manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal muamalah adalah jual beli, sewa
menyewa, upah mengupah, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat dan lain-lain.
Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yaitu harus ada
contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad SAW. Konsep ibadah ini berdasarkan
kepada mamnu’ (dilarang atas haram). Ibadah ini antara lain meliputi shalat, zakat, puasa, dan
haji. Sedangkan masalah mu’amalah (hubungan kita dengan sesame manusia dan lingkungan),
masalah-masalah dunia, seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi, berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada larangan
yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya.
Berkaitan dengan hal di atas (mu’amalah), Nabi Muhammad SAW mengatakan:
“Bila dalam urusan agama (aqidah dan ibadah) Anda contohlah saya. Tapi, dalam urusan dunia
Anda, (teknis mu’amalah), Anda lebih tahu tentang dunia Anda.”
Dalam ibadah, sangat penting untuk diketahui apakah ada suruhan atau contoh tatacara,
atau aturan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Apabila hal itu tidak ada, maka
tindakan yang kita lakukan dalam ibadah itu akan jatuh kepada bid’ah, dan setiap
perbuatan bid’ah adalah dhalalah (sesat). Sebaliknya dalam mu’amalah yang harus dan penting
untuk diketahui adalah apakah ada larangan tegas dari Allah dan Rasul-Nya, karena apabila tidak
ada, hal tersebut boleh saja dilakukan.
Dalam hal ini, Dr. Kaelany juga menjelaskan adanya dua prinsip yang perlu kita
perhatikan, yaitu:
Pertama: Manusia dilarang “menciptakan agama, termasuk system ibadah dan tata caranya,
karena masalah agama dan ibadah adalah hak mutlak Allah dan para Rasul-Nya yang ditugasi
menyampaikan agama itu kepada masyarakat. Maka menciptakan agama dan ibadah adalah
bid’ah. Sedang setiap bid’ah adalah sesat.
Kedua: Adanya kebebasan dasar dalam menempuh hidup ini, yaitu hal-hal yang berkaitan
dengan masalah mu’amalah, seperti pergaulan hidup dan kehidupan dalam masyarakat dan
lingkungan, yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia (Bani Adam) dengan batasan atau
larangan tertentu yang harus dijaga. Sebaliknya melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah.
Dalam menjalankan keseharian, penting bagi kita untuk mengingat dua prinsip di atas.
Ibadah tidak dapat dilakukan dengan sekehendak hati kita karena semua ketentuan dan aturan
telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta contoh dan tatacaranya telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW semasa hidupnya. Melakukan sesuatu dalam ibadah, yang tidak ada disebutkan
dalam Al-Qur’an dan Sunnah berarti melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah
SWT, dan ini sungguh merupakan perbuatan yang sesat.
Namun dalam beberapa hal, tentu ada hal yang harus diperhatikan sesuai dengan
perkembangan zaman. Di sini lah implikasi dari mu’amaah itu sendiri. Selama tidak ada
larangan secara tegas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, hal yang dipertimbangkan itu boleh
dilakukan. Hal ini telah diterangkan oleh Rasul dalam sabdanya yang sudah ditulis di atas.
Sebagai contoh adalah dalam kehidupan sehari-hari, pada zaman hidupnya Rasulullah,
masyarakat yang mengadakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain menggunakan binatang
Unta sebagai kendaraan. Akan tetapi hal itu tidak mungkin sama dalam kehidupan zaman
modern ini. Dan karenanya, menggunakan kendaraan bermotor diperbolehkan karena tidak ada
larangan dari Allah dan Rasul-Nya (tidak tertera larangan yang tegas dalam Al-Qur’an dan
Sunnah).
Syariat Islam adalah ajaran islam yang membicarakanamal manusia baik
sebagai makluk ciptaan Allah maupun hamba Allah.
Terkait dengan susunan tertib Syari’at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan
bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak
diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa
jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka
umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh
ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan
ketentuannya sudah dimaafkanAllah.

D.     Macam – macam Ibadah dan Mu’amalah


Persamaan pengertian muamalah dalam arti sempit dengan muamalah dalam arti luas ialah
sama sama mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitan dengan pengaturan harta.
Pembagian Muamalah
Menurut Ibn Abidin, fiqh muamarah terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
a. Mu'awadlah Matiyah (Hukum Kebendaan),
b. Munakahat (Hukum Perkawinan),
c. Muhasanat (Hukum Acara),
d. Amanat dan ‘Aryah (pinjaman),
e. Tirkah (Harta Peninggalan).
Ibn Abidin adalah salah seorang yang mendefinisikan muamalah secara luas sehingga munakahat
termasuk salah satu bagian fiqh muamalah, padahal munakahat diatur dalam disiplin ilmu
tersendiri, yaitu fiqh munakahat.

E.     Perkara yang Dihadapi Umat Islam


Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani
hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang
disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara’ dan perkara yang masuk
dalam kategori Furu’ Syara’.
1.      Asas Syara’
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadits. Kedudukannya sebagaiPokok Syari’at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara’
dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara’. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh
dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali
dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan
umat Islamtidak mentaati syari’at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang
membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau
tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak
berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari’at
yang berlaku.
2.      Furu’ Syara’
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al
Hadist.Kedudukannya sebaga Cabang Syari’at Islam.Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat
seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan /
perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu’ syara’ ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.

F.      Filsafat Ibadah dan Muamalah


Pendahuluan Tujuan penciptaan manusia dan jin hanya tiada lain adalah untuk beribadah
kepada Allah SWT. Penciptaan itu bukan sekedar main-main atau hal yang percuma. Di balik
penciptaan itu, Allah SWT mempunyai rencana yang sungguh-sungguh. Setiap makhluk diberi
kesempatan untuk berkembang maju ke arah suatu tujuan itu, yaitu keridhaan-Nya. Allah SWT
adalah sumber dan pusat segala kekuasaan dan kesempurnaan. Kemajuan yang kita capai
tergantung kepada cara kita mendapatkan diri sesuai dengan kehendak-Nya. Inilah sebaik-baik
ibadah kita kepada-Nya. Gambaran tentang kemampuan syari'at Islam dalam menjawab segala
persoalan modern dapat diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syari'at Islam
mengenai tatanan hidup secara vertikal (antara manusia dengan Tuhannya) dan secara horizontal
(antara sesama manusia). kebanyakan ahli fiqh teah menetapkan kaidah bahwa hukum asal
segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu'amalat) adalah
boleh, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dilarang. Kaidah di atas
berlawanan dengan kaidah hukum dalam bidang ibadah. Dalam bidang ibadah, syari'at Islam
menetapkan sendiri garis-garisnya.
Di sini dikemukakan nash yang tidak dapat ditafsirkan lain, sehingga terjaga dari
kesimpangsiuran. Dalam bidang yang disebut terakhir ini terdapat kaidah bahwa ibadah tidak
dapat dilakukan kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu telah
diperintahkan oleh Allah SWT dan atau dicontohkan oleh Rasulullah. Sebagaimana yang
dikatakan oleh imam al-Syathibi, ibadah memiliki maksud asli dan maksud sekunder, maksud
asli adalah semata-mata menuju Allah SWT dengan tujuan tunduk, taat, mencintai dan menuju
kepada Allah SWT dalam setiap kondisi, kemudian diikuti dengan bukti berupa beribadah untuk
mendapatkan derajat di akhirat atau menjadi kekasih Allah SWT dan lain-lain. Sedangkan
maksud sekunder dalam ibadah adalah seperti meluruskan diri dan mendapatkan keutamaan.
Apabila makna-makna ibadah yang diberikan oleh masing-masing ahli ilmu diperhatikan baik,
nyatalah bahwa takrif yang diberikan oleh suatu golongan berpaut untuk menyempurnakannya
dengan takrif yang diberikan oleh golongan yang lain.
Jelasnya, tidaklah dipandang seorang mukallaf telah beribadah (sempurna ibadahnya) kalau
ia hanya mengerjakan ibadah-ibadah dalam pengertian fuqaha, atau ahli ushul saja. Di samping
ia beribadah dengan ibadah yang dimaksudkan oleh ahli tauhid, ahli hadits dan ahli tafsir. Dan
perlu pula ia beribadah dengan yang dimaksudkan oleh ahli akhlak, yaitu memperbaiki budi
pekerti. Maka apabila pengertian-pengertian tersebut telah menyatu, barulah terdapat hakikat
ibadah dan ruhnya : barulah rangka ibadahnya mempunyai motor yang menggerakkan. Al-Qur'an
dan Al-Sunnah yang menjadi sumber dan pedoman bagi umat untuk beribadah mengandung
ajaran-ajaran yang oleh Mahmud Syaltut dibagi kepada dua bagian, yaitu : ajaran tentang akidah
dan ajaran tentang syari'ah, kemudian syari'ah itu sendiri terdiri atas ibadah dan mu'amalah.
Ajaran tentang akidah berkaitan dengan persoalan keimanan dan keyakinan seseorang
terhadap eksistensi Allah SWT, para malaikat, Rasul, kitab suci yang diturunkan Allah SWT,
tentang hari akhirat, dan lain sebagainya. Ajaran tentang akidah bersifat permanen, pasti dan
tidak berubah disebabkan terjadinya perubahan sosial-kultural Ajaran tentang ibadah berkaitan
dengan persoalan-persoalan pengabdian kepada Allah SWT dalam bentuk-bentuk yang khusus
seperti shalat, puasa, haji, zakat dan sebagainya. Ajaran tentang ibadah ini bersifat permanen dan
ditetapkan secara rinci baik oleh Al-Qur'an maupun oleh Al-Sunnah, sikap seorang Muslim
dalam persoalan ibadah adalah melaksanakannya sesuai dengan petunjuk dalil yang ada dalam
Al-Qur'an yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui sunahnya. Ajaran tentang mu'amalah
berkaitan dengan persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia dalam memenuhi
kebutuhan masing-masing, sesuai dengan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip yang dikandung oleh
Al-Qur'an dan Al-Sunnah, itulah sebabnya bahwa bidang muamalah tidak bisa dipisahkan sama
sekali dengan nilai-nilai ketuhanan.
Dengan demikian, akidah, ibadah, muamalah merupakan tiga rangkaian yang sama sekali
tidak bisa dipisahkan. Al-Syatibi mencoba mengembangkan lebih lanjut prinsip-prinsip di atas,
ia sebagaimana ahli fiqh lainnya, membedakan materi hukum Islam menjadi dua bagian, bagian
pertama, materi hukum Islam yang menyangkut ibadah daan bagian kedua materi hukum Islam
yang menyangkut muamalah (adat). Ia secara filosofis telah merumuskan kaidah sebagai
berikut : "Prinsip dalam persoalan ibadat bagi mukallaf adalah ta'abbud tanpa perlu melihat
kepada nilai atau hikmah, sedangkan prinsip dalam persoalan adat (muamalat) adalah melihat
kepada nilai atau hikmah" Perlu segera ditambahkan, bahwa Al-Syatibi sendiri mengakui adanya
beberapa bentuk muamalat yang mempunyai nilai ta'abbudi.
Kelihatannya yang dimaksud dengan ta'abbudi di sini adalah hukum yang ditetapkan
berdasarkan dalil yang terperinci. Berdasarkan prinsip di atas dapat dipahami bahwa
modernisasi, dalam arti meliputi segala macam bentuk muamalat, diizinkan oleh syari'at Islam,
selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syari'at Islam itu sendiri. Menyadari bahwa
kehidupan dan kebutuhan manusia selalu berkembang dan berubah, syari'at dalam bidang
muamalat, pada umumnya hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum secara umum.
Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat Islam, dimana pun mereka berada.
Tentu prinsip dan jiwa syari'at Islam. Dapat dikatakan bahwa jiwa dan prinsip hukum
Islam bersifat konstant, permanen dan stabil, tidak berubah sepanjang masa, betapa pun
kemajuan peradaban manusia. Sementara itu peristiwa hukum, teknis, dan cabang-cabang
mengalami perubahan, berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Dengan tetap
teguhnya jiwa dan prinsip hukum, dibarengi oleh terbuka lebarnya perubahan dan kemajuan ilmu
pengetahuan secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh norma hukum yang ketat dan kuat.
Dengan adanya perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang hukum Islam
di bidang muamalat semakin bertambah materi hukumnya, semakin banyak perbedaannya dan
semakin sempurna pembahasannya. Berbeda dengan bidang muamalat, hukum Islam dalam
bidangibadah mahdah tidak terbuka kemungkinan adanya modernisasi, melainkan materinya
harus berorientasi kepada nash Al-Qur'an dan Hadits yang mengatur secara jelas tentang tata cara
pelaksanaan ibadah tersebut. Namun demikian, modernisasi dalam bidang sarana dan prasarana
ibadah mungkin untuk dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai